Penyelesaian Penguasaan Tanah Di Dalam
Mumu Muhajir Siti Chaakimah
Desi Martika
Jakarta 2015
Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan: Panduan Implementasi Perber 4 Menteri/ Mumu Muhajir, Siti Chaakimah, Desi Martika - Jakarta : Epistema Institute, 2015
viii + 77hlm. : ill. : 16 x 24 cm ISBN 978-602-1304-07-5
Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan: Panduan Implementasi Perber 4 Menteri
copyrights 2015 All rights reserved
Penulis: Mumu Muhajir, Siti Chaakimah, Desi Martika
Desain dan tata letak: Ahmad Taqiyuddin
Rancang sampul: Ahmad Taqiyuddin
Edisi Pertama: Agustus 2015 Penerbit:
EPISTEMA INSTITUTE Jalan Jati Padang Raya No. 25 Pasar Minggu, Jakarta 12540 Telepon : +6221 78832167 Faximile : +6221 78830500 E-mail: epistema@epistema.or.id website: www.epistema.or.id
Buku ini diterbitkan dengan dukungan Rights and Resources Initiative (RRI), dengan Proyek Nomor 15 EPIS 02.
Menjelang berakhirnya era pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) lahir satu peraturan perundang-undangan yang bisa dianggap sebagai terobosan hukum bagi berlarut-larutnya konflik tenurial
KATA
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri PENGANTAR
di dalam kawasan hutan. Terobosan hukum itu berupa
Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 Menteri). Peraturan ini membuka ruang satu penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan dengan nuansa lintas sektor. Di dalamnya terdapat pilihan penyelesaian konflik yang terintegratif dengan menyinkronkan berbagai peraturan dan kewenangan terkait lahan dan hutan. Perber 4 Menteri dianggap bisa membangun jembatan untuk terbentuknya satu sistem pertanahan di Indonesia dan sekaligus kawasan hutan yang sah dan legitimate.
Karena sifatnya terobosan hukum, dapat diperkirakan dalam pelaksanaannya menimbulkan kontroversi atau resistensi. Ada yang mempertanyakan bentuk formalnya yang peraturan menteri bersama, ada yang mengaitkannya dengan perbenturannya dengan peraturan kehutanan dan kekawatiran Perber 4 Menteri dipakai pihak-pihak tertentu untuk mengurangi luasan kawasan hutan dan banyak lainnya.
Memang, Perber 4 Menteri ini memberikan ruang yang lebih terbuka (dan bahkan menyeimbangkan level “pertarungan”) bagi masyarakat lokal dan adat untuk memperjuangkan klaim hak atas tanah/wilayah adat di dalam kawasan hutan. Namun Kekawatiran menyempitnya kawasan hutan karena klaim-klaim itu tidak cukup beralasan dengan mengingat tata kelola hutan yang buruk. Sebaliknya, kejelasan hak-hak masyarakat lokal/adat yang selama ini tertutupi oleh klaim sepihak negara justru dapat membuka jalan ke arah kawasan hutan yang berlegitimasi kuat.
Buku ini diterbitkan dengan maksud menjadi pegangan bagi fasilitator masyarakat dan masyarakat dalam memanfaatkan momentum implementasi Perber 4 Menteri tersebut. Disusun dengan memperbanyak ilustrasi gambar agar memungkinkan masyarakat mengembangkan sendiri imajinasinya dalam memanfaatkan momentum itu. Apa yang dituliskan di dalamnya lebih berupa menceritakan proses daripada menyodorkan hasil dari proses, atau dalam pengertian umum, menceritakan cara memancing daripada menceritakan hasil pancingannya. Buku ini juga lebih banyak menyadur dan menyerap berbagai pengalaman baik dalam proses implementasi Perber 4 Menteri atau bukan namun terkait dan memiliki kesamaan tujuan. Sebagai catatan, sampai buku ini diterbitkan, tidak ada satupun pemohon yang sudah menjalani proses Perber 4 Menteri sampai tuntas.
Karena isinya banyak saduran dan pengalaman baik dari kegiatan Epistema maupun pihak lain, akan banyak pihak dan nama yang perlu diberikan ucapan terima kasih. Untuk keperluan kata pengantar ini, sedikit nama yang bisa disebutkan antara lain adalah kawan-kawan Pager Kulon di Pandeglang, Lingkar Studi Pengembangan Pedesaan (LSPP) Temanggung, Yayasan Betang Borneo di Palangkaraya, Serikat Petani Merdeka (STAM) di Cilacap, Serikat Petani Lumajang (SPL), Asosiasi Kepala Desa (AKD) di Lumajang, SD Inpres Kediri, Rimbawan Muda Indonesia, Bogor. Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rights and Resources Initiative yang bermurah hati mendanai penerbitan buku sederhana ini.
Jakarta, Agustus 2015 Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
vii
Bab I - Pendahuluan
3 Mengapa Perber 4 Menteri Penting?
Latar belakang
5 Bab II - Kondisi Kawasan Hutan di Indonesia
7 Carut Marut Kawasan Hutan
12
Kasus Barito Selatan
14 Bab III - IP4T dan Penyelesaian Konflik
Kasus Lebak Banten
17
19 Modifikasi Susunan Tim IP4T
Tim IP4T
20 Kedudukan Unik Kepala Desa dalam IP4T
22
23
Tugas Tim IP4T
24
Pemohon IP4T
25
Proses IP4T
29 Bukti Tertulis dan Tidak Tertulis
Proses Verifikasi
34 Bab IV - Apa yang bisa dilakukan masyarakat?
41 Jika Tim IP4T Belum Terbentuk
43 Penentuan Kawasan/Desa Prioritas
44 Pengumpulan Data Penggunaan Lahan di Desa
47 Pendanaan oleh Masyarakat dalam Proses IP4T
49 Antisipasi Konflik di Internal
50 Pendampingan Proses Verifikasi Lapangan
51
52 Pengawasan Proses IP4T di Tingkat Nasional
Jika Masyarakat Adat?
54 Memilih Perhutanan Sosial
55
57
Jaring Pengaman
59
Lampiran
73
Glosarium
Bab I Pendahuluan
Ketidakjelasan penguasaan/pemilikan lahan di dalam kawasan hutan merupakan faktor penting bagi masih tingginya angka deforestasi hutan dan kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan masih tingginya konflik di dalam kawasan hutan. Masyarakat yang berkonflik tidak bisa mengakses lahan dan bahkan kehilangan lahannya akibat ketidakjelasan
L ATAR
lain yang terlibat: pengusaha dan pemerintah. Pengusaha B ELAKANG
penguasaan/pemilikan lahan ini. Kerugian juga dialami oleh pihak
kehilangan waktu dan biaya menjalankan operasional perusahaannya. Pemerintah kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari masyarakat. Kerugian juga dialami oleh masyarakat luas yang terhalangi dan tidak bisa menikmati hak atas berfungsinya hutan dengan baik.
PENGUKUHAN KAWASAN Putusan MK 45/PUU-IX/2011:
Kawasan hutan yang memiliki kekuatan hukum hanya yang sudah ditetapkan.
Tujuan:
HUTAN termasuk perbuatan sewenang-wenang pemerintah
Penunjukan kawasan hutan yang dilakukan selama ini
Memberikan kepastian hukum
Putusan MK 34/PUU-IX/2011:
atas kawasan hutan (UU 41/1999). Pengukuhan Kawasan Hutan harus
menghormati hak atas tanah yang ada.
Diperjelas dalam PP 44/2004 dengan memberikan kepastian hukum Putusan MK 35/PUU-X/2012:
Kawasan hutan tidak sama dengan
atas status, letak, batas kawasan hutan negara. Kawasan hutan
terdiri dari Hutan Negara,
dan luas kawasan hutan. Hutan Hak (didalamnya ada Hutan Adat)
Dalam tata kelola hutan di Indonesia, persoalan kejelasan kepemilikan/penguasaan lahan ini menempati prioritas pertama dalam
pengurusan hutan. Proses yang disebut sebagai pengukuhan kawasan hutan, memungkinkan adanya kejelasan siapa penguasa atau pemilik dari lahan yang ada di suatu kawasan yang akan dijadikan kawasan hutan, di mana posisi hutannya, berbatasan dengan apa dan siapa, dan berapa luasnya.
Prosesnya sendiri berjenjang dari proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Hanya hutan yang sudah melewati 4 tahapan proses pengukuhan kawasan hutan tersebut yang memiliki kekuatan hukum. Hanya saja, memiliki kekuatan hukum tidak serta merta menghasilkan kawasan hutan yang memiliki legitimasi. Hal ini Prosesnya sendiri berjenjang dari proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Hanya hutan yang sudah melewati 4 tahapan proses pengukuhan kawasan hutan tersebut yang memiliki kekuatan hukum. Hanya saja, memiliki kekuatan hukum tidak serta merta menghasilkan kawasan hutan yang memiliki legitimasi. Hal ini
Padahal dengan pengukuhan kawasan hutan yang baik dapat dibedakan antara mana kawasan hutan dan non- kawasan hutan. Di dalam kawasan hutan sendiri dimungkinkan adanya hak-hak atas tanah atau wilayah adat. Hanya di atas kawasan hutan negara saja yang bersih dari hak-hak atas tanah dan wilayah adat.
Dengan pengukuhan kawasan hutan yang baik dapat pula dipetakan masyarakat yang berhak mendapatkan kompensasi akibat hilangnya akses dan hilangnya hak atas tanah. Sampai saat ini tidak pernah ada pelaksanaan penggantian kompensasi kepada masyarakat yang kehilangan hak atas tanah atau akses pada lahan ketika ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Dalam proses pengukuhan kawasan hutan sebenarnya dikenal tahapan penyelesaian konflik dan pilihan penyelesaiannya. Dalam proses penataan batas, disebutkan (1) jika garis batas melewati lahan yang ada hak atas tanahnya, maka dikeluarkan dari peta batas kawasan hutan; (2) jika lahan itu ada di dalam kawasan hutan, maka dienclave dari kawasan hutan. Jelas sekali penyelesaiannya.
Untuk kawasan hutan yang sudah ditetapkan (ada SK penetapan Kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan), penyelesaian konfliknya juga ada dengan mengingat bahwa proses penetapan ini masih menyisakan adanya klaim dari masyarakat. Opsi penyelesaiannya memang diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, penyelesaian konflik tidak terbatas pada kawasan hutan yang ditunjuk atau sedang ditata batas, tetapi juga pada kawasan hutan yang sudah ditetapkan.
Hanya saja, pelaksanaan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di atas tidak efektif berjalan di lapangan. Faktor utamanya adalah penyelesaiannya dilakukan oleh satu instansi saja, tanpa mengajak pihak lain yang memiliki kompetensi.
M ENGAPA
PERBER 4
Terbitnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala
MENTERI
Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang
Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 Menteri) PENTING ?
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
membuka ruang satu penyelesaian konflik yang lintas sektor. Satu opsi penyelesaian yang terintegratif dengan berbagai kebijakan yang membangun jembatan pada terbangunnya satu sistem pertanahan (satu institusi mengurus status tanah, satu institusi mengurus fungsi hutan) dan kawasan hutan tetap yang sah dan dihormati pihak lain.
Bagaimanapun soal hutan berkaitan dengan soal kebijakan pertanahan yang sekarang dinaungi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. KLHK tidak memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang menyangkut hubungan orang dengan tanah.
Perber 4 Menteri memberi ruang kepada BPN untuk mengidentifikasi dan memverifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan lahan di dalam kawasan hutan. Selama ini BPN seperti terlarang untuk melakukan pendataan tenurial lahan di dalam kawasan hutan. Padahal sebenarnya tidak ada aturan yang melarangnya.
Kejelasan status atas lahan tersebut memudahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan penyikapan. Jika memang terbukti adanya hak pihak ketiga baik berupa hak atas tanah maupun wilayah adat, maka KLHK mengeluarkannya dari kawasan hutan (negara): (1) sebagian ditetapkan sebagai hutan hak dan hutan adat; (2) sebagian lagi (berupa pemukiman, fasum dan fasos, lahan garapan pertanian, lahan yang tidak berfungsi hutan) dikeluarkan dari kawasan hutan.
Setelah BPN mendaftarkan hak atas tanah pihak ketiga (baik individual, kolektif atau Komunal), maka pada lahan tersebut perlu ada perlindungan tata ruang. Kementerian ATR kembali berperan di sini untuk menyesuaikan perubahan status itu ke dalam revisi RTRW.
Dengan penyelesaian yang terintegratif ini, maka masyarakat yang mengklaim lahan di dalam kawasan hutan terlindungi secara hukum. Ini berbeda dengan praktek dalam banyak kasus pelepasan kawasan hutan, dimana posisi masyarakat hanya sekedar pemicu terjadinya pelepasan kawasan hutan (dan lalu mendapatkan lahan yang sangat sedikit) sementara penikmat utama dari pelepasan kawasan hutan ini adalah para pemodal besar (dengan lahan yang lebih besar dan lebih baik). Karena itu pula dalam Perber 4 Menteri, pemodal (pengusaha) tidak menjadi pihak pemohon. Hanya masyarakat, pemerintah dan badan sosial dan keagamaan yang menjadi pemohon.
Perber 4 Menteri juga berprinsip sejauh mungkin tidak ada penghilangan hak dan/atau pengusiran. Hal ini terlihat dari adanya opsi penyelesaian berupa kemitraan dan perhutanan sosial. Opsi ini diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki klaim atau klaimnya tidak terbukti, namum masyarakat tersebut secara de facto mempergunakan lahan itu dengan niat baik.
PENATAAN SISTEM AGRARIA NASIONAL
Lahirnya Perber 4 Menteri diharapkan mampu menjadi:
a. Pembuka jalan untuk lahirnya satu Sistem Pertanahan Nasional
b. Pembuka jalan untuk adanya Hutan Tetap
c. Penyelesaian konflik lintas sektor dan terintegrasi lengkap dengan perlindungan hukumnya
d. Pengakuan pada penguasaan de facto para pihak atas tanah di dalam Kawasan Hutan (Negara)
e. Prinisip tidak ada yang ditinggalkan (bahkan masyarakat yang tidak punya hak pun ada solusinya)
Bab II Kondisi
Kawasan Hutan di Indonesia
CARUT
Data tahun 2014 menunjukkan luas (daratan) kawasan hutan Indonesia adalah 120.783.631 ha. Angka luas kawasan hutan ini
sebenarnya selalu naik turun tiap tahunnya. Mengapa? Karena adanya proses yang selalu berjalan tiap tahun yang memastikan keberadaan letak, status dan luas kawasan hutan. Proses itu
MARUT
dilihat di bagian pendahuluan di halaman sebelumnya). Angka 120 KAWASAN
dinamakan pengukuhan kawasan hutan (penjelasan singkatnya bisa
HUTAN
juta hektar itu adalah angka kawasan hutan yang ditunjuk. Namanya ditunjuk berarti belum pasti. Karena siapapun bisa menunjuk.
Supaya sampai pada kepastian maka serangkaian kegiatan perlu dilakukan: penataan batas, pemetaan dan akhirnya penetapan kawasan hutan. Dan pada titik itu senjangnya terlihat ( lihat bagan di bawah ). Proses penataan batas bisa dikatakan sudah hampir 80%. Tinggal sedikit lagi kawasan hutan yang sama sekali tidak memiliki batas sementara atau batas definitif. Tapi perhatikan angka penetapan kawasan hutannya, hanya 62,30% (tahun 2014). Sisanya (berarti yang sudah ditata batas maupun belum) merupakan kawasan hutan yang kekuatan hukumnya belum pasti.
Panjang Batas
Luas
kawasan hutan:
Kawasan Hutan:
Luas Penetapan Target Renstra
Sisa Tata Batas
s/d Desember 2014: (2010-2014):
s/d 2009:
62.056.374, 624 ha 25.000 km
2014 Tata Batas: Luas Penetapan s/d 2009:
Realisasi
219.206 km
13.819.510,12 ha
Pertanyaannya kenapa terjadi seperti itu? Pejabat di Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan ada tiga faktor: konflik, pelaksanaan tata batas tidak berjalan baik dan tumpeng tindih peraturan perundang-undangan. Di antara tiga faktor itu, konflik menjadi penghambat utama.
Akibat konflik ini membuat layanan pemerintah pada masyarakat tidak berjalan dengan baik, ketidakpastian usaha dan rusaknya hutan. Perhatikan desa-desa yang berada di dalam kawasan hutan dimana layanan pemerintah tidak
berjalan optimal. Jalan sulit dibangun, fasilitas umum dan sosial sulit didirikan dan ketika didirikan perlu melalui birokrasi yang berbelit. Bagi masyarakat sendiri, ketika hak atas tanah dan sumber daya hutan tidak diakui atau bahkan dihilangkan, maka mereka tidak memiliki kepentingan untuk menjaga hutan di sekitarnya.
Di sisi lain kita juga melihat bahwa di tengah ketidakpastian hukum atas kawasan hutannya dan masyarakat yang tidak diakui haknya, Pemerintah justru memberikan banyak izin kepada pemodal besar di atasnya, sebagian di atas wilayah yang berkonflik dengan masyarakat. Wilayah yang tadinya ruwet semakin ruwet bertumpang tindih. Pemberian izin tersebut juga memperlihatkan kesenjangan dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Lebih dari 90% kawasan hutan dikelola oleh swasta sementara hanya 3% saja yang dikelola oleh masyarakat.
Ironisnya lagi, di atas kawasan hutan yang berkonflik itu banyak pula yang diberikan izin untuk kegiatan yang bertentangan dengan tujuan pelestarian hutan, seperti pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan terbuka. Sudahlah tidak adil dalam pembagian kue, pemanfaatannya banyak yang bertentangan dengan tata kelola hutan yang baik.
Kondisi suram itu perlu dilihat konteksnya dalam kelahiran Perber 4 Menteri, yang merupakan salah satu elemen harapan ke arah perbaikan. Elemen perbaikan lain juga pelan-pelan muncul, seperti dalam RPJMN 2015-2019 yang antara lain menegaskan adanya 12,7 juta ha kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat atau dimitrakan dengan masyarakat.
Mengapa ada kesenjangan antara tata batas yang dilakukan dan penetapan kawasan hutan? 1. Adanya perbedaan persepsi tata batas kawasan hutan / konflik dengan hak-hak pihak ketiga; 2. Pelaksanaan tata batas kurang bagus; 3. Tumpang tindih peraturan perundangan
Akibatnya?
1. Konflik (bahkan terjadi di kawasan hutan yang sudah ditetapkan!) 2. Terhambatnya layanan pemerintah
3. Ketidakpastian usaha
4. Rusaknya hutan
Tumpang Tindih Wilayah Adat dengan HPH/HTI
WILAYAH ADAT Peta Wilayah Adat seluas 3,9 juta hektar, ada sekitar 3,1 juta hektar overlap dengan kawasan hutan non-adat (JKPP 2013)
14,7 juta hektare areal penggunaan lahan yang tumpang tindih antara IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan (FWI, 2014)
No. Provinsi
HP
HPK
HPT Jumlah
66 66 2 Kalimantan Barat
178.060 3 Kalimantan Selatan
17.346 4 Kalimantan Tengah
6 5.549 5 Kalimantan Timur
5.281 7 Maluku Utara
5.551 8 Nusa Tenggara Barat
11.377 10 Papua Barat
23.646 12 Sulawesi Selatan
149 13 Sulawesi Tengah
Jumlah(Ha)
Baru Tata Batas Sementara, tapi sudah ditetapkan
BARITO SELATAN
a Oktober 2013 ata Batas Sementar Dari Berita Acara T
wasan Hutan
t ke Penetapan Ka langsung melonca ehutanan pada 14 Mei 2014, yarakat
dengan SK Menteri K yelesaian hak-hak mas ata batas tidak ada pelaksanaan pen wasan Hutan yang dit
yang ada di dalam Ka
finitif.
a Acara Tata Batas De atau bahkan Berit
terdapat hak-hak masyarakat
Kabupaten Barito Selatan pernah hangat dibicarakan pada tahun 2012-2014 ketika bersedia menjadi kabupaten pelopor untuk dua hal: perbaikan perizinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Karena basis ekonominya masih lahan, dua kepeloporan itu saling terkait.
2013 dilakukan penataan batas di satu kawasan hutan yang disebut Kawasan Hutan Lindung Sungai Barito-Sungai Kapuas (HLSBSK) sepanjang kurang lebih 114 km. Penataan batas kawasan HLSBSK ini melewati dan menyentuh sekitar 18 desa yang berada di sekitarnya. Kenyataannya setidaknya ada 7 desa yang berada di dalam kawasan hutan (Madara, Muara Talang, Batampang, Batilap, Bintang Kurung, Tampijak, Danau Masura). Kurangnya sosialisasi tentang fungsi hutan, tidak pernah hadirnya layanan pemerintah ke tingkat lokal, adalah beberapa faktor yang membuat masyarakat bereaksi.
Sesuai tahapan dalam penataan batas kawasan hutan, setelah penetapan tata batas sementara dilakukan pembuatan berita acara tata batas kawasan hutan sementara dan dilanjutkan dengan penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebelum kemudian masuk dalam tahapan penetapan tata batas definitif dan akhirnya ditetapkan. Dalam 4 kali rapat yang diselenggarakan oleh Panitia Tata Batas (PTB), ketidaksetujuan masyarakat selalu muncul dan akhirnya memang diterangkan dalam Berita Acara Tata Batas Sementara. Kejadian itu ada di akhir tahun 2013. Setelah ada Berita Acara Tata Batas Sementara itu seharusnya dilakukan penyelesaian hak-hak pihak ketiga.
Proses lanjutan itu tidak pernah dilaksanakan di lapangan. Sementara masyarakat menunggu kejelasan hak-hak yang berpotensi hilang itu, pada bulan Mei 2014 muncullah SK Menteri Kehutanan Nomor: SK. 392/ Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung Sungai Barito, Sungai Kapuas seluas 180.400,88 ha di Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Tentu saja, dilihat dari sisi manapun SK penetapan HLSBSK ini janggal adanya. Bahkan dilihat dari urutan pengukuhan kawasan hutan yang aturannya dibuat sendiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Apa yang terjadi di Barito Selatan ini menjadi fakta kuat bahwa konflik tidak hanya terjadi di kawasan hutan yang ditunjuk, tetapi juga di kawasan hutan yang ditetapkan. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa pengukuhan kawasan hutan ala Orde Baru yang hanya melukis di atas meja, diulang kembali. Lebih dalam dari itu adalah kejadian ini, mengutip dalil Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK 45/PUU-IX/2011, mengulang perbuatan aniaya pemerintah dengan proses pengukuhan kawasan.
K ASUS
Kasus konflik tenurial di dalam kawasan hutan tidak lengkap
jika tidak menyitir apa yang terjadi dengan perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Kabupaten Lebak. Pada saat pertama kali ditunjuk pada tahun 1992 sebagai
LEBAK
ternyata didalamnya sudah termasuk 3 Kecamatan dan 13 Desa BANTEN
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 16.380 ha,
dengan segala fasilitas umum dan bahkan fasilitas pemerintahan di atasnya. Tidak berhenti di sana, pada tahun 2003, Taman Nasional tersebut diperluas lagi menjadi 113.357 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003. Dampak dari perluasan ini adalah ada 10 Kecamatan dan 44 Desa yang masuk ke dalam wilayah Taman Nasional. Penunjukan dan perluasan dilakukan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.
Wilayah Pedesaan dan Pemukiman Warga, masuk dalam penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kondisi tersebut mendorong Pemerintah Kabupaten Lebak mengambil inisiatif dengan mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi KLHK) sebanyak 8 kali. Tak terhitung berbagai seminar dan lobi yang sudah dikerjakan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Reaksi wajar dari Pemkab Lebak ini dilakukan karena memang tidak hanya masyarakat yang dirugikan, tetapi pemerintah Kabupaten Lebak juga. Akibat perluasan Taman Nasional itu tidak kurang 44 Gedung Pemerintahan, 21 sarana kesehatan, 176 sarana pendidikan, 312 sarana keagamaan (Islam) yang sekarang posisinya berada di dalam kawasan hutan. Sementara lahan garapan yang tiba-tiba berubah menjadi kawasan hutan seluas 19.036 ha yang terdiri dari 11.898 ha sawah, 5086 ha kebun, 1020 ha ladang, 5 ha kolam dan 1028 ha hutan hak. Itu merupakan data resmi dari pemerintah Kabupaten. Perlu juga diingat bahwa di dalam Taman Nasional itu sendiri sudah lama hidup masyarakat adat Kasepuhan. Masyarakat adat Kasepuhan ini baru saja mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Lebak lewat Perda.
Luas TNGH-S di Lebak:
wilayah
pedesaan dan Data penduduk,
42.925,15 Ha
pemukiman warga, fasilitas umum,
masuk dalam Kawasan Hutan fasilitas sosial,
(meliputi 10 kecamatan
dan 44 desa)
Taman Nasional lahan garapan
Gunung di dalam TNGHS
Kecamatan yang masuk
di dalam TNGHS:
Halimun Salak
Leuwidamar, Muncang,
Sobang, Cipanas,
Luas Pemukiman : 1.119 Ha Lebakgedong, Cigemblong, Penduduk Terkena Dampak : 25.629 KK
Panggarangan, Cibeber,
(112.664 Orang)
Sajira dan Bayah
Gedung Pemerintahan :
44 Buah
Sarana Kesehatan :
21 Buah
Sarana Pendidikan : 176 Buah Sarana Keagamaan : 312 Buah Unit Industri Kecil : 1.002 Unit
Lebakgedong
Panggarangan
Sobang Cibeber
Hariang Sinargalih Luas Lahan Garapan : Gunung Wangun 19.036 Ha Banjarsari
Gunung Gede
Cilebang Terdiri Dari : Situmulya
Ciladeun
Blok Cirotan
Sukajaya Kujangsari Sawah : 11.898 Ha
Sindanglaya Cisungsang Kebun : 5.086 Ha
Pasir Haur
Cirompang
Giriharja
Sukamaju Hegarmanah Citujah
Ladang : Cihambali 1.020 Ha
Majasari Sukamulya Kolam :
Sajira
Girilaya Luhurjaya
Citorek Selatan Hutan Hak : 1.028 Ha
5 Ha
Desa Maraya
Cipanas
Suka Resmi Blok Gn. Endut
Citorek Barat
Bayah
Citorek Timur Karangcombong
Citorek Tengah Kujangjaya
Wangun Jaya
Leuwicoo Cikarang
kecamatan
Jalan Sungai Wilayah Kasepuhan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
Kecamatan Cibeber 1. Kasepuhan Cisitu (1.367,974 Ha) 2. Kasepuhan Cibedung (2.167,390 Ha)
3. Kasepuhan Citorek (7.534,975 Ha) 4. Kasepuhan Cirompang (646,352 Ha)
Kecamatan Muncang 5. Kasepuhan Karang (338,572 Ha)
Sumber Peta 1. Peta Partisipatif Wilayah Adat Propinsi Banten 3. WMS Kawasan Hutan Departemen Kehutanan 2. Peta Indikatif Administrasi BPS 2010
Sumber gambar: RMI dan JKPP, 2014
Perdanya sendiri dilampiri dengan peta wilayah adat Kasepuhan yang sebagian besar berada di dalam Taman Nasional. Tercatat ada 9 Kasepuhan induk yang disebutkan masuk ke dalam kawasan TNGHS (Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug, Cirompang, Karang, Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten; Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya dan Sinarresmi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Luas wilayah 9 Kasepuhan ini sekitar 18.055,263 ha berdasarkan pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI dan AMAN tahun 2014.
Melihat skala potensi kerugian yang massif seperti ini memang agak mengherankan jika saat perluasaan taman nasional itu tidak ada konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat dan Pemda Lebak.
Kasus di Lebak ini jika dikaitkan dengan Perber 4 Menteri akan semakin menarik. Pertama, ini terjadi di taman nasional. Kedua, yang mendapatkan kerugian tidak hanya masyarakat, tetapi juga pemerintah kabupaten. Perber 4 Menteri sendiri sudah mengakomodasi pemohon dari individu/kelompok masyarakat dan pemerintah serta badan sosial. Ketiga, adanya Masyarakat Adat Kasepuhan dengan wilayah adatnya yang massif itu yang sebagian besar berada di dalam Taman Nasional. Dan masyarakat adat ini baru saja diakui dengan Perda Pemkab Lebak tahun 2015.
Bab III IP4T dan
Penyelesaian Konflik
Proses penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan melalui Perber 4 Menteri dilakukan melalui proses inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T).
T IM
Pelaksanaan IP4T dimulai dengan pembentukan Tim IP4T, penentuan lokasi prioritas, sosialisasi, pengumpulan permohonan dari masyarakat, verifikasi
IP4T
permohonan, rapat internal tim IP4T dan pembuatan rekomendasi.
Tim IP4T disusun berdasarkan lokasi dimana pelaksanaan IP4T dilangsungkan. TIM TIM IP4T KABUPATEN IP4T
PROVINSI
KEPALA KANTOR PERTANAHAN KEPALA KANTOR WILAYAH BPN KABUPATEN/KOTA
Bupati/ WALIKOTA
UNSUR DINAS PROVINSI UNSUR DINAS KABUPATEN/KOTA
gubernur
YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG KEHUTANAN YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG KEHUTANAN
UNSUR BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN UNSUR BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN UNSUR DINAS/BADAN KABUPATEN/KOTA UNSUR DINAS/BADAN KABUPATEN/KOTA
YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG TATA RUANG YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG TATA RUANG
KEPALA KANTOR PERTANAHAN CAMAT SETEMPAT
pelaksanaan IP4T jika lokasi
berada di dua atau pelaksAnaan IP4T jika lokasi
KABUPATEN/KOTA TERKAIT ATAU PEJABAT YANG DITUNJUK
berada di dalam satu kabupaten
lebih kabupaten
(lintas kabupaten)
CAMAT SETEMPAT LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT
ATAU PEJABAT YANG DITUNJUK ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN
LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT
ANGGOTA
ANGGOTA
ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN
Penetapan susunan Tim IP4T tingkat Kabupaten dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati.
Penetapan Tim IP4T tingkat provinsi dilakukan dengan Surat Keputusan Gubernur.
Perber tidak mengatur masa tugas Tim IP4T. TIM IP4T terus bertugas sampai ada pencabutan SK oleh Bupati/Gubernur.
Menteri memang nampak terbatas. Beberapa kabupaten M ODIFIKASI
S usunan anggota Tim IP4T yang ditetapkan di dalam Perber 4
SUSUNAN
melihat bahwa persoalan konflik di dalam kawasan hutan ini kompleks sehingga susunan anggota Tim IP4T yang ditetapkan
TIM IP4T
oleh Perber 4 Menteri dianggap tidak cukup memadai.
Karena itu susunan anggota Tim IP4T dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan khas daerahnya namun tetap tidak menyalahi aturan di dalam Perber 4 Menteri.Modifikasi susunan anggota Tim IP4T ini sah saja dilakukan dan merupakan diskresi dari Gubernur/Bupati.
Sebagai contoh, modifikasi susunan anggota Tim IP4T dilakukan oleh Kabupaten Barito Selatan. Dalam SK Bupati Barito Selatan Nomor 130 Tahun 2015 tentang Pembentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah di Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Selatan Tahun 2015 disebutkan susunan anggota Tim IP4T yang jumlahnya lebih banyak dari yang diatur dalam Perber 4 Menteri. Berikut susunan Tim IP4T Barito Selatan:
TIM INTI IP4T
Pengarah
BARITO SELATAN
Bupati Barito Selatan Wakil Bupati Barito Selatan
Koordinator
Sekretaris Daerah Kabupaten Barito Selatan
Ketua
Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Barito Selatan
Sekretaris
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Selatan
Anggota
Kepala Balai Pemantapan Kepala Desa Danau Masura Kawasan Wilayah XXI Kepala Desa Teluk Telaga
Palangka Raya Kepala Desa Muara Talang Kepala Bappeda Kabupaten Kepala Desa Bintang Kurung
Barito Selatan Kepala Desa Tampijak Asisten Administrasi Kepala Desa Teluk Sampudau Pemerintahan Sekda Kepala Desa Selat Baru Kabupaten Barito Selatan Kepala Desa Talio
Camat Dusun Selatan Kepala Desa Sungai Jaya Camat Karau Kuala Kepala Desa Batampang
Camat Dusun Hilir Kepala Desa Teluk Timbau
Camat Jenamas Kepala Desa Batilap Kepala Desa Sababilah Kepala Dusun Muara Puning Kepala Desa Lembeng Kepala Dusun Simpang Telo
Kepala Desa Rangga Ilung
TIM PENDAMPING IP4T BARITO SELATAN
Ketua Tim Pendamping
Asisten Perekonomian, Pembangunan dan Kesra Sekda Kabupaten Barito Selatan
Anggota
Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kabupaten Barito Selatan Kepala Bagian Administrasi Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan Kepala Bidang Pengembangan Wilayah Sarana dan Prasarana pada Bappeda Kabupaten Barito Selatan Kepala Seksi Pemanfaatan Hutan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Selatan Kepala Sub Bagian SDA dan Lingkungan pada Bagian Administrasi Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan Kepala Seksi Pengaturan Penataan Pertanahan pada Kantor BPN Kabupaten Barito Selatan Kepala Sub Bidang Pengembangan Wilayah pada Bappeda Kabupaten Barito Selatan Kepala Sub Bagian Produk Hukum Daerah pada Bagian Hukum Setda Kabupaten Barito Selatan
SEKRETARIAT TIM IP4T BARITO SELATAN
Ketua Sekretariat
Kepala Bidang Perencanaan Hutan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Barito Selatan
Anggota
Kepala Seksi Perpetaan dan Pentatagunaan Kawasan Hutan pada Dinas Kehutanan dan Pekebunan Kabupaten Barito Selatan Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada Kantor BPN Kabupaten Barito Selatan Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada Kantor BPN Kabupaten Barito Selatan Irmatati, SE, Pelaksana pada Bagian Administrasi Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan Aris Octavia, S.Hut, Pelaksana pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Selatan Amelia, A.Md, Pelaksana pada Bagian Administrasi Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan Silaprionson, Pelaksana pada Dinas Kehutanan dan Pekebunan Kabupaten Barito Selatan Eramayuni, S.Hut, Staf Operator Komputer pada Dinas Kehutanan dan Pekebunan Kabupaten Barito Selatan
K EDUDUKAN
Kepala Desa memiliki posisi unik dalam Perber
anggota Tim IP4T sekaligus menjadi pihak yang UNIK KEPALA DESA
4 Menteri. Kepala Desa berposisi sebagai
DALAM IP4T
mengajukan permohonan pelaksanaan IP4T di desanya. Ini disebabkan karena Perber 4
menteri menginginkan proses permohonan dikerjakan secara kolektif, secara bersama- sama oleh masing-masing desa.
Kepala Desa dan jajarannya menjadi pihak yang membantu masyarakat dalam mengumpulkan bukti penguasaan tanahnya di dalam kawasan hutan. Kepala Desa pula yang membuat sketsa desa yang berisi keterangan persil-persil tanah yang diajukan oleh para pemohon. Karena itu Kepala Desa memiliki tanggung jawab besar memastikan setiap permohonan dari warganya itu memiliki klaim yang dapat diterima secara hukum. Dan masyarakat perlu mengawasi dengan ketat Kepala Desanya. Jangan sampai Kepala Desa memanfaatkan proses IP4T ini hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hubungan yang baik dengan Kepala Desa akan memastikan keberhasilan di tingkat awal pelaksanaan IP4T selanjutnya. Hal ini bisa dilihat dari Asosiasi Kepala Desa di Lumajang yang cukup berhasil mendesakkan agenda keberadaan Tim IP4T di Lumajang kepada berbagai pihak, yang berujung pada lahirnya SK Bupati Lumajang tentang pembentukan Tim IP4T di Lumajang.
T UGAS
TIM IP4T
1. Menerima pendaftaran permohonan IP4T.
2. Melakukan verifikasi permohonan. 3. Mensosialisasikan kegiatan IP4T pada tanah
yang berada di dalam kawasan hutan kepada aparat pemerintah tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
4. Melaksanakan pendataan lapangan. 5. Melakukan analisa data yuridis dan data fisik
bidang-bidang tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.
6. Menerbitkan hasil analisis berupa rekomendasi dengan melampirkan Peta IP4T Non Kadastral
dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah
SP2FBT ( ) yang ditandatangani oleh masing-masing pemohon serta salinan bukti-bukti penguasaan tanah lainnya.
7. Menyerahkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada point 6 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tim IP4T mempergunakan
Ditandatangangi oleh
Alat GPS untuk
pemohon, 2 orang atau
menentukan batas
lebih saksi, dan diketahui
melalui pembuatan
oleh pihak Kelurahan /
Peta dengan skala
Desa atau nama lainnya
tertentu dan sudah ada batas administrasi
Dari urutan tugas Tim IP4T itu nampak bahwa Tim IP4T ini sebenarnya pasif; dalam arti bersikap menunggu permohonan pelaksanaan IP4T dari masyarakat.
Namun di beberapa kabupaten yang sudah ada Tim IP4T, ternyata Tim IP4T juga melakukan pendataan untuk membantu masyarakat menyusun permohonan pelaksanaan IP4T di wilayahnya. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Barito Selatan. Kegiatan ini dilakukan karena setelah menunggu sekian lama, belum ada masyarakat (lewat Kepala Desa yang berada di lokasi prioritas) yang mengajukan permohonan pelaksanaan IP4T. Karena itu Tim IP4T melakukan jemput bola melakukan pendataan untuk kepentingan memenuhi persyaratan permohonan.
Permohonan IP4T dapat dilakukan oleh siapa saja yang menguasai, memiliki, menggunakan atau memanfaatkan lahannya di dalam kawasan hutan, KECUALI PERUSAHAAN. Ini titik yang menarik dalam Perber 4 Menteri. Perusahaan tidak menjadi pihak dalam proses IP4T. Ini dengan pemikiran bahwa
perusahaan merupakan pihak yang tergantung, utamanya pada P EMOHON
IP4T
pemerintah yang memberinya izin. Ini berbeda posisinya dengan masyarakat atau individu yang dapat mengklaim suatu hak atas
tanah. Sehingga sebenarnya yang sedang dipertanyakan klaimnya adalah negara. Kalaupun hasilnya nanti ternyata terbukti masyarakat berhak atas lahan di dalam kawasan hutan, maka urusannya adalah antara perusahaan dan pemerintah.
Pemohon IP4T yang diatur dalam Perber 4 Menteri adalah (1) orang-perorangan (individu), misalnya ia mempunyai kebun rotan atau karet
yang setiap musim dilakukan pemanenan; kemudian (2) pemerintah, misalnya kantor desa yang ditempati oleh pemerintah ternyata berada di dalam kawasan hutan; (3) badan sosial/ keagamaan, misalnya lembaga yang mengurus masjid,
mengelola lapangan bola, yang sering dipakai bersama-sama ternyata berada di dalam kawasan hutan; dan
(4) masyarakat hukum adat.
kelompok Pemerintah
unit di desa Pemerintah
Badan hukum swasta Pemerintah
seperti perusahaan desa
LEMBAGA KEAGAMAAN
pusat
SUBYEK
LEMBAGA IP4T
BUKAN SUBYEK IP4T
Proses IP4T merupakan proses yang berkesinambungan antar berbagai pihak yang menjadi anggota di dalam IP4T. Tim IP4T sendiri jika dilihat dari kewenangannya bersifat menunggu, dalam arti tidak turun ke lapangan untuk mengumpulkan permohonan.
1) Tahapan pertama IP4T adalah permohonan yang dilakukan P ROSES
IP4T
secara kolektif oleh masyarakat pemohon dan pemerintah kepala desa. Namun tidak menutup kemungkinan jika Tim
IP4T menjemput bola permohonan yang ada di masyarakat ketika masyarakat, karena satu dan beberapa hal, tidak aktif mengajukan. Dalam arti Tim IP4T mengumpulkan dan mengindentifikasi wilayah yang dikuasai oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Berdasarkan permohonan tersebut, Tim IP4T menentukan lokasi prioritas pelaksanaan IP4T. Lokasi prioritas ini menjadi kerja Tim IP4T selama 6 bulan. Penentuan lokasi prioritas dapat juga dilakukan secara “top down” dalam arti Tim IP4T menentukan lokasi prioritas dan kemudian menunggu atau menjemput bola permohonan masyarakat.
2) Setelah ada permohonan dari masyarakat lewat Kepala Desa, Tim IP4T akan memeriksa data yang dimohonkan. Dokumen permohonan itu sendiri ada template-nya yang disediakan oleh Tim IP4T (Masyarakat hanya tinggal mengisinya dan menambahkan dengan persyaratan lainnya).
3) Pemeriksaan permohonan selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan di lapangan. Satu hal yang wajib ada dalam proses pemeriksaan lapangan adalah alat navigasi/GPS untuk memeriksa batas lahan yang dimohonkan. Keharusan adanya alat navigasi ini menjadi penting karena selain soal persyaratan administratif, juga diharuskan disertai dengan peta.
4) Setelah pemeriksaan di lapangan, Tim IP4T melakukan pengolahan dan analisis data fisik dan data yuridis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil pengolahan data ini yang menjadi dasar rekomendasi IP4T.
5) Hasil rekomendasi Tim IP4T Provinsi diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi, sedangkan untuk hasil rekomendasi Tim IP4T Kabupaten/Kota diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
6) Selanjutnya, Kepala Kantor Wilayah BPN menyerahkan hasil rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan cq. Ditjen Planologi Kehutanan ditembuskan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Menteri Dalam Negeri, Gubernur/ Bupati/ Walikota yang bersangkutan.
7) Setelah menerima berkas hasil analisis, Kementerian Kehutanan akan melakukan kajian terhadap laporan hasil analisis Tim IP4T dan memerintahkan pelaksanaan tata batas kawasan hutan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas hasil analisis.
8) Berdasarkan hasil tata batas kawasan hutan, Direktur Jenderal Planologi atas nama Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan beserta lampiran peta sebagai dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah. Kemudian Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Perubahan Kawasan Hutan dalam waktu paling lama 2 (dua)bulan sejak terbitnya Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan.
9) Setelah itu, dilakukan revisi terhadap RTRWP/K. Revisi dilakukan 1 kali dalam 5 tahun sejak ditetapkannya RTRWP/K. Selama proses integrasi tata ruang pemberian tanda bukti hak dapat dilaksanakan.
1a 1b PEMERINTAH DESA
DAN MASYARAKAT
JALUR
BUPATI /
MENGUMPULKAN
GUBERNUR
BUKTI KLAIM
IP4T
MEMBENTUK TIM IP4T
MELAKUKAN 3
TIM IP4T
5 TIM IP4T
VERIFIKASI
DATA PEMOHON
MELAKUKAN
2 TIM IP4T
ANALISIS DATA
MENERIMA
YURIDIS DAN FISIK
PENDAFTARAN 4 TIM IP4T MELAKUKAN
TIM IP4T KLHK MENGKAJI
PENDATAAN
LAPANGAN
MENYAMPAIKAN
6 REKOMENDASI BATAS ULANG
8 DAN MENATA
KEPADA KANTAH / KAWASAN HUTAN
KANWIL BPN (14 HARI KERJA)
KANTAH/KANWIL
7 MENYAMPAIKAN REKOMENDASI PADA KLHK
SK PERUBAHAN
9 BATAS KAWASAN HUTAN (NEGARA)
PENEGASAN / PENGAKUAN DAN SK PERUBAHAN HAK ATAS TANAH KAWASAN HUTAN ATAU REFORMA AGRARIA / (NEGARA) REDISTRIBUSI TANAH ATAU BENTUK MANAJEMEN KOLABORASI DAN PERHUTANAN SOSIAL DAN PENGAKUAN MASYARAKAT
REVISI
ADAT LEWAT PERDA
11 PERDA RT/RW
Dari pemaparan urutan kerja ini, ada beberapa tahapan dimana masyarakat bisa mengawasi dan bahkan terlibat aktif. Misalkan saja dalam proses penentuan lokasi prioritas. Masyarakat bisa mengajukan usulan kepada Ketua Tim IP4T (Kantor Pertanahan atau Kakanwil Pertanahan) agar menjadikan desanya sebagai lokasi prioritas IP4T.
Masyarakat juga bisa terlibat aktif dalam mengawasi kegiatan rapat-rapat Tim IP4T dalam menyusun rekomendasi.
1 MENERIMA
TIM IP4T
PENDAFTARAN
6 Bulan
TIM IP4T MENYAMPAIKAN
2 HASIL ANALISIS
& REKOMENDASI KEPADA KANTAH / KANWIL BPN
DURASI &
KANTAH /
PROSES
KANWIL BPN MENYAMPAIKAN
3 HASIL ANALISIS
IP4T
KEPADA DIRJEN
PLANOLOGI
4 DIRJEN
PLANOLOGI MEMERINTAHKAN
Paling lambat
PELAKSANAAN
14 hari setelah
TATA BATAS
diterimanya
Penetapan SK KAWASAN
hasil analisis
Perubahan HUTAN
tim IP4T
Kawasan Hutan dapat dilaksanakan sebelum ada revisi RTRW
DIRJEN PLANOLOGI
Tidak
MENERBITKAN rangkaian kegiatan SK PERUBAHAN
ada
batas
BATAS KAWASAN waktu
proses & waktu
5 HUTAN
MENTERI
Paling lambat
KEHUTANAN
dua bulan
REVISI
PERDA 8c
6 SK PERUBAHAN SK Dirjen Planologi tentang perubahan
MENERBITKAN
setelah ada
RT/RW
BATAS KAWASAN HUTAN batas kawasan
hutan
PEMBERIAN HAK ATAS TANAH OLEH BPN
Pemberian
BUPATI /
7 GUBERNUR 8b ataupun penunjukan
hak atas tanah
pengikutsertaan ATAS SK DIRJEN PLANOLOGI
MENERBITKAN SK PENGINTEGRASIAN
PEMBERIAN SK masyarakat dalam TENTANG PERUBAHAN
PERHUTANAN SOSIAL kehutanan sosial BATAS KAWASAN HUTAN DAN
ATAU KEHUTANAN maupun kehutanan SK MENTERI KEHUTANAN
KOLABORATIF kolaboratif TENTANG PERUBAHAN BATAS
OLEH MENTERI tetap bisa KAWASAN HUTAN
KEHUTANAN dilakukan KE DALAM RTRW
BAGI MASYARAKAT selama masa
8a revisi RTRW
Setelah Tim IP4T menerima permohonan dari masyarakat, tim akan mengecek (memverifikasi) kebenarannya di lapangan sambil melakukan pendataan lapangan.
P ROSES
Perber 4 Menteri menerbitkan indikator verifikasi yang cukup sederhana yang bertumpu pada hukum adat dan sesuai dengan
ini menjadi pegangan TIM IP4T ketika melakukan kajian data VERIFIKASI
peraturan perundangan terkait pertanahan. Indikator verifikasi
yuridis dan data fisik di lapangan.
Verifikasi Wilayah
Verifikasi
Adat
Permen ATR/BPN 9/2015
Subyek Masyarakat
Hukum
Adat Permendagri 52/2014
Surat Keputusan Walikota / Bupati / Gubernur
Surat Keputusan
TIM IP4T
Walikota / Bupati
/ Gubernur atau
Hak Komunal
Peraturan Daerah
didaftarkan
Kota / Kabupaten
di Kantor
/ Provinsi
Pertanahan untuk
Panitia Verifikasi
Hukum Adat
hak komunal
yang subyeknya adalah masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya
Setelah penunjukan kawasan hutan
1) Telah ditetapkan dalam Perda
2) Tercatat pada statistik Desa / Kecamatan
3) Penduduk >10 KK dan terdiri dari <10 rumah
4) Tidak berlaku pada Provinsi yang luas kawasan Hutannya <30%
Sebelum penunjukan kawasan hutan
Dibuktikan dengan sejarah keberadaan
jika klaim terbukti maka wajib dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan
jika pemohonnya Pemerintah dan Badan Sosial & keagamaan
seperti desa, puskesmas sekolah, rumah ibadah, dsb
Kriteria di dalam Permenhut P52/2012 jo P62/2013
TIM IP4T
TERBUKTI
MEREKOMENDASIKAN PENEGASAN HAK
MENGUASAI LAHAN
LEBIH DARI 20 TAHUN
ATAS LAHAN
YANG DIAJUKAN
ATAU LEBIH BERTURU-TURUT
LAHAN YANG DIAJUKAN DIREKOMENDASIKAN
TERBUKTI
MENGUASAI LAHAN
SEBAGAI OBJEK
KURANG DARI 20 TAHUN
REFORMA AGRARIA
PEMOHON DIREKOMENDASIKAN DALAM MANAJEMEN
TIDAK
TERBUKTI
KEHUTANAN KOLABORATIF
KLAIMNYA
ATAU PERHUTANAN SOSIAL
jika pemohonnya masyarakat individual
Ingat, dasar verifikasi menurut Perber 4 Menteri berupa memenuhi kriteria penguasaan / pemilikan / penggunaan / pemanfaatan lahan selama dua puluh tahun atau kurang dari dua puluh tahun.
Dasar verifikasi seperti ini membutuhkan satu bukti berupa sejarah penguasaan tanah (di dalam kawasan hutan) yang detail. Sejarah penguasaan tanah itu harus didapatkan keterangannya dari mereka yang mengetahui proses pertama kalinya seseorang menguasai lahan. Jika tidak mengetahui pertama kalinya, bisa juga sejarahnya berupa keterangan yang bisa dibuktikan terjadinya peralihan kepemilikan atau penggunaan atas kawasan tersebut.
Ingat pula, yang menjadi dasar klaim adalah sebidang atau beberapa bidang lahan. Bukan pembuktian subjeknya. Sehingga yang penting adalah sejarah penggunaan lahan itu, bukan proses peralihan haknya.
Jikapun dalam proses IP4T, klaim dari seseorang tidak terbukti, maka Perber 4 Menteri tetap menyediakan alternatif penyelesaiannya berupa perhutanan sosial. Perber 4 Menteri menghendaki tidak ada lagi masyarakat yang diusir dari dalam kawasan hutan, apalagi masyarakat itu sangat membutuhkan sumber daya hutan untuk mencari hidup.
Indikator waktu yang dipakai dalam verifikasi ini membutuhkan ketepatan dalam menuliskan riwayat penguasaan / pemilikan / penggunaan / pemanfaatan lahan. Riwayat / sejarah penguasaan tanah ini harus detail dan dapat dipercaya. Karena itu ia membutuhkan dukungan dari orang yang berbatasan dengan lahannya, orang tua/tokoh masyarakat yang mengetahui pasti riwayat penguasaan tanah tersebut dan ada penegasan dari kepala desa setempat.
Batas waktu 20 tahun menentukan: (1) jika memang terbukti penguasaan lahannya 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, maka yang bersangkutan mendapatkan penegasan hak; (2) jika penguasaan lahannya kurang dari 20 tahun, maka yang bersangkutan berhak diikutkan dalam program reforma agraria di dalam kawasan hutan (nantinya yang bersangkutan akan memperoleh pemberian hak); (3) jika klaim penguasaannya tidak terbukti atau tidak memiliki klaim namun sudah menguasai lahan di dalam kawasan hutan, maka yang bersangkutan diikutkan dalam program perhutanan sosial dan kemitraan.
Verifikasi dengan batas waktu 20 tahun ini hanya berlaku bagi masyarakat biasa (individual) dan tidak berlaku bagi masyarakat adat.
Kriteria dan indikator verifikasi bagi masyarakat adat ditentukan tersendiri menurut peraturan yang berlaku. Begitu juga kriteria dan indikator bagi pemohon dari pemerintah dan badan sosial atau keagamaan
Batas 20 tahun dihitung sejak Perber 4 Menteri diterbitkan (17 Oktober 2014)
Jalur IP4T Individu
1 TIM IP4T MENERIMA
PENDAFTARAN
MELAKUKAN 2
TIM IP4T
VERIFIKASI DATA PEMOHON
4 TIM IP4T TIM IP4T
MELAKUKAN
MELAKUKAN
ANALISIS DATA
PENDATAAN
10 LAPANGAN
YURIDIS DAN FISIK
5c KANTAH / KANWIL
TIDAK
MENERBITKAN
TERBUKTI KLAIMNYA
SERTIFIKAT HAK
5b
ATAS LAHAN 5a TERBUKTI
TERBUKTI MENGUASAI
MENGUASAI LAHAN
LAHAN
LEBIH DARI
KURANG DARI
20 TAHUN ATAU LEBIH
20 TAHUN
BERTURU-TURUT
PEMOHON DIREKOMENDASIKAN DALAM MANAJEMEN
6c 6a TIM IP4T
6b KOLABORATIF ATAU LAHAN YANG DIAJUKAN
MEREKOMENDASIKAN SEBAGAI OBJEK
PENEGASAN HAK REFORMA ATAS LAHAN
AGRARIA
SK PERUBAHAN
YANG DIAJUKAN TERSEBUT
BATAS KAWASAN HUTAN (NEGARA)
DAN SK PERUBAHAN KAWASAN HUTAN
KLHK MENGKAJI
(NEGARA)
DAN MENATA
TIM IP4T
MENYAMPAIKAN
BATAS ULANG
REKOMENDASI
KAWASAN HUTAN
Batas 20 tahun KEPADA KANTAH /
dihitung sejak KANWIL BPN
(14 HARI KERJA)
7 diterbitkan 8
Perber 4 Menteri
(17 Oktober 2014)
Bukti adalah segala sesuatu yang dapat menunjukkan lahan tersebut dimiliki atau dikuasai atau dimanfaatkan atau digunakan oleh pemohon IP4T.
B UKTI TERTULIS
Kedudukan bukti sangatlah penting dalam proses
diajukan dapat mendukung hak atas tanah yang & TIDAK TERTULIS
IP4T, agar setiap klaim permohonan yang
dimiliki oleh masyarakat dalam kawasan hutan. Dalam proses IP4T dikenal 2 (dua) jenis bukti yaitu bukti tertulis
maupun bukti tidak tertulis.
Surat Pernyataan Penguasaan Fisik
Bidang Tanah (sporadik) yang dibuat oleh warga Ujung Jaya, Sumur, Pandeglang, Banten
Proses Identifikasi Penguasaan Lahan yang dilakukan secara kolektif
oleh warga Legon, Banten
Surat Pernyataan Penguasaan Fisik
Bidang Tanah (sporadik)
Peta penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Dusun Muara Puning Kabupaten Barito Selatan
Pada saat pengajuan permohonan IP4T secara kolektif, masyarakat besama Lurah/Kepala Desa, wajib melampirkan berkas:
1. Daftar permohonan IP4T secara kolektif yang diketahui oleh
Kepala Desa/Lurah dan Camat;
2. Fotokopi identitas masing-masing pemohon (KTP, KK, kartu
identitas lain);
3. Alas hak/surat keterangan riwayat tanah/SPPT (bagi yang
memiliki);
4. Surat pernyataan sudah memasang tanda batas bidang tanah;
5. Sket bidang tanah dikuasai oleh pemohon yang berada dalam
kawasan hutan.
BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN
TERTULIS
Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah dapat dibagi menjadi menjadi 2 (dua), yaitu alat bukti untuk pendaftaran Hak Atas Tanah (HAT) baru dan pendaftaran HAT lama.
Hak atas tanah baru dibuktikan dengan:
a. Apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan dibuktikan dengan Penetapan pemberian hak oleh Pejabat yang berwenang;
b. Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak pemegang hak milik
kepada penerima hak guna bangunan dan hak pakai;
c. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak
pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;
d. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
e. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta
pemisahan;