Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla Serrata Di Desa Ujung Alang, Cilacap Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture

KARAKTERISTIK HABITAT ALAMI KEPITING BAKAU Scylla serrata
DI DESA UJUNG ALANG, CILACAP SEBAGAI ACUAN KEGIATAN
AQUASILVICULTURE

VERONIKA ERI FEBRIANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Karakteristik Habitat Alami
Kepiting Bakau Scylla serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan
Kegiatan Aquasilviculture” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Veronika Eri Febriani
NIM C14110023

ABSTRAK
VERONIKA ERI FEBRIANI. Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla
serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture.
Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan YUNI PUJI HASTUTI.
Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Sebagian besar produksi kepiting bakau di Indonesia berasal dari
kegiatan penangkapan dan produksi dari budidaya belum optimal. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan produksi budidaya adalah
melalui aquasilviculture. Supaya dapat mencapai keberhasilan dalam kegiatan
aquasilviculture, perlu diperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah kondisi
lingkungan habitat alami. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
karakteristik habitat alami kepiting bakau Scylla serrata di Desa Ujung Alang,
Cilacap sebagai acuan kegiatan aquasilviculture. Berdasarkan hasil analisis
terhadap kualitas air, vegetasi mangrove, kelimpahan serasah, dan analisis

makrozoobentos, dapat disimpulkan bahwa Stasiun 2 memiliki karakteristik
habitat alami yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau.
Kata kunci: aquasilviculture, karakteristik, kepiting bakau

ABSTRACT
VERONIKA ERI FEBRIANI. The Characteristic of Natural Habitat of Mud Crab
Scylla serrata in Ujung Alang Village, Cilacap as a Reference of Aquasilviculture
Activity. Supervised by KUKUH NIRMALA and YUNI PUJI HASTUTI.
Mud crab is fisheries commodity having high economic value. Most of its
production in Indonesia are derived from catching activities and the production
from aquaculture has not been optimal. One of efforts which can probably be done
to optimize the production of aquaculture is through aquasilviculture. In order to
achieve success in aquasilviculture activities, it should be noted a number of
things, one of them was environmental conditions of natural habitats. This
research aimed to analyze the characteristic of natural habitat of mud crab Scylla
serrata in Ujung Alang Village, Cilacap as a reference of aquasilviculture activity.
Based on the analysis of water quality, mangrove vegetation, abundance of litter,
and analysis of macrozoobenthos, can be concluded that Station 2 having the best
natural habitat characteristic for mud crab aquasilviculture activity.
Keywords: aquasilviculture, characteristic, mud crab


KARAKTERISTIK HABITAT ALAMI KEPITING BAKAU Scylla serrata
DI DESA UJUNG ALANG, CILACAP SEBAGAI ACUAN KEGIATAN
AQUASILVICULTURE

VERONIKA ERI FEBRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi


: Karakteristik Habitat

Alami Kepiting Bakau scylra serratq di Desa
Alang, Cilac ap sebagai Acuan Ke giatat A q u a s ilv i c u I h r e
: Veronika Eri Febriani
: C14110023
: Teknol,ogi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Uj ung

Nama

NIM
Program Surdi

Disetujui oleh

W

Dr Ir Kukuh Nirmala. MSc

Pembimbing I

Tanggal Lulus:

1 B AUG ?Oi5

ffi
Yuni Puji Hastuti. SPi MSi
Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berujudul “Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla serrata di desa
Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Ibu Yuni Puji Hastuti, SPi MSi
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan
nasihat;

2. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku Dosen Penguji Tamu;
3. Ibu Dr Dinamella Wahjuningrum, SSi MSi selaku Wakil Komisi
Pendidikan Departemen Budidaya Perairan;
4. Bapak Dr Ir Sukenda MSc selaku Ketua Departemen Budidaya Perairan;
5. Ayahanda Robertus Suryadi dan Ibunda Yustina Murdiyem atas segala
kasih, semangat, dukungan, doa, dan nasihat yang telah diberikan, serta
kakak-kakak yang terkasih Lusia Ernawati, Florencius Erwantoko, dan
Bernadetta Tri Widi Hartini;
6. Bapak Jajang, Kang Abe, Bapak Wasjan, Mba Retno, Bang Aris, Bapak
Marjanta, Mba Yuli, serta semua staf Departemen Budidaya Perairan;
7. Bapak Wahyono dan keluarga, Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) Cilacap, Badan Pengembangan dan Pengelolaan Daerah
(BAPPEDA) Cilacap, serta semua pihak yang membantu selama jalannya
penelitian di lapang;
8. Rekan penelitian Iyen Suryani dan Heri Kiswanto yang telah berbagi suka
dan duka selama penelitian ini berlangsung;
9. Kakak-kakak dan teman-teman tercinta mahasiswa lingkungan (Kak
Kurnia, Kak Wildan, Nurul, Dessy, Bianingrum, Dwi Septarini, Alit,
Sukri, Zul, Angga, Idris, Udin, Torong, Kak Dea, Bang Kahfi) yang telah
memberikan bantuan dan semangat;

10. Ermianus Samalei, SPi atas kebersamaan, semangat, dukungan, doa, dan
bantuan;
11. Maria Nangke, Wulan, Kewel, dan Mulya atas kebersamaan selama ini.
12. Kakak-kakak dan teman-teman Keluarga Mahasiswa Katolik IPB
(KeMaKi) angkatan 45, 46, 47, dan 48;
13. Teman-teman di Wisma Ananda yang telah memberikan semangat dan
dukungan;
14. Keluarga besar BDP 48 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebersamaan yang tak akan pernah terlupakan;
15. Kakak-kakak BDP 45, 46, 47 dan adik-adik BDP 49 dan 50 yang telah
memberikan banyak pengalaman tak terlupakan;
16. Teman-teman sekalian yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Veronika Eri Febriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

Latar Belakang.................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
METODE ................................................................................................................ 2
Waktu dan Tempat .............................................................................................. 2
Prosedur Penelitian ............................................................................................. 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 5
Hasil .................................................................................................................... 5
Pembahasan ...................................................................................................... 10
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 17
Kesimpulan ....................................................................................................... 18
Saran ................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18
LAMPIRAN .......................................................................................................... 23
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 32

DAFTAR TABEL
1 Parameter yang dianalisis dan satuan, alat atau metode pengukuran, dan
tempat pengukuran ..............................................................................................3
2 Pengukuran parameter fisika perairan di masing-masing stasiun
penelitian ............................................................................................................5

3 Pengukuran parameter kimia perairan di masing-masing stasiun
penelitian ............................................................................................................5
4 Kelimpahan dan dominansi plankton di masing-masing stasiun penelitian........6
5 Jenis dan kelimpahan mangrove di masing-masing stasiun penelitian ...............7
6 Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian ..................................8
7 Pengukuran bahan organik di substrat pada masing-masing stasiun
penelitian ............................................................................................................8
8 Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun
penelitian ............................................................................................................8
9 Hasil pengukuran mikroklimat di masing-masing stasiun penelitian .................9

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

9

Skema peran penelitian dalam ruang lingkup industri perikanan budidaya ......23
Peta lokasi stasiun penelitian .............................................................................23
Kondisi masing-masing stasiun penelitian ........................................................24
Pengukuran kualitas air secara in-situ di lokasi penelitian ...............................25
Analisis jenis dan kelimpahan mangrove ..........................................................25
Pengukuran kelimpahan serasah .......................................................................25
Pengukuran kelimpahan makrozoobentos .........................................................26
Pengukuran mikroklimat ...................................................................................26
Pengumpulan informasi data produksi kepiting bakau di Desa Ujung
Alang ...............................................................................................................26
10 Jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian ............................................27
11 Data curah hujan bulanan tahun 2014 di daerah Cilacap ..................................29
12 Ringkasan data masing-masing parameter ........................................................30
13 Data produksi kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian pada
tahun 2014 .........................................................................................................31

1


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dengan harga berkisar antara Rp 100.000150.000/kilogram (Samudro 2015). Selain itu, kepiting bakau merupakan salah
satu komoditas ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa,
Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan (Direktorat
Jenderal Perikanan 1990). Kepiting bakau merupakan sumber nutrisi penting
(Truong et al. 2008). Menurut Moosa et al. (1985), kepiting bakau memiliki telur
dan daging dengan kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu 65,7% dan 82,6%
bobot kering, serta kandungan lemak yang cukup rendah yaitu 0,9% dan 8,2%
bobot kering. Selain kepiting bakau jenis Scylla serrata, terdapat pula jenis
kepiting bakau lainnya, yaitu S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea
(FAO 2015). Sedangkan di Indonesia, jenis kepiting bakau yang banyak
diperdagangkan adalah Scylla serrata (KKP 2009).
Produksi kepiting bakau di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan
kegiatan penangkapan, seperti yang terjadi di Desa Ujung Alang, padahal jika
dilakukan kegiatan budidaya dalam lingkungan terkontrol akan menghasilkan
output yang lebih optimal. Pemeliharaan dalam lingkungan terkontrol sangat erat
hubungannya dengan keterlibatan pembudidaya. Keterlibatan tersebut antara lain
dalam pengelolaan kualitas air dan pakan serta pencegahan hama.
Salah satu metode budidaya yang dapat diterapkan adalah budidaya di
kawasan hutan mangrove. Budidaya di kawasan hutan mangrove merupakan
budidaya yang ramah lingkungan dan hal ini dapat menjadi salah satu solusi untuk
menanggapi adanya isu global mengenai permintaan konsumen akan produk
akuakultur organik. Akuakultur organik merupakan budidaya yang ramah
lingkungan tanpa adanya penggunaan bahan kimia, antibiotik, dan hormon dalam
proses produksi. Isu utama dalam akuakultur organik adalah keamanan pangan,
kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Akuakultur organik memiliki
kelebihan selain ramah lingkungan juga memiliki nilai jual produk yang lebih
tinggi. Salah satu contohnya adalah udang windu organik memiliki harga jual
yang lebih tinggi 1 US$ per kilogram dibandingkan udang windu tanpa sistem
budidaya organik.
Salah satu metode budidaya di kawasan hutan mangrove yang dapat
diterapkan adalah aquasilviculture. Aquasilviculture merupakan sistem produksi
multi tujuan yang memungkinkan budidaya ikan dalam kawasan hutan mangrove
(Romeo & Florida 2014). Supaya dapat mencapai keberhasilan dalam kegiatan
aquasilviculture perlu diperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah kondisi
lingkungan. Kondisi lingkungan yang terdiri dari air, tanah, iklim, dan vegetasi
merupakan komponen sumber daya alam (SDA) dalam input industri perikanan
budidaya. Dengan diketahuinya kondisi lingkungan, maka selanjutnya dalam
proses produksi diharapkan dapat diciptakan teknologi yang tepat untuk mencapai
kondisi lingkungan yang optimal bagi kepiting bakau. Sehingga pada akhirnya
dapat dihasilkan output yang optimal (Lampiran 1). Oleh karena itu perlu
diketahui karakteristik habitat alami kepiting bakau di kawasan hutan mangrove.

2

Hutan mangrove dalam aquasilviculture memiliki peran yang sangat
penting karena akan menyediakan iklim mikro dan mendukung ketersediaan
pakan alami bagi kepiting bakau. Salah satu hutan mangrove yang terluas di Pulau
Jawa adalah kawasan Segara Anakan, Cilacap (Pribadi et al. 2009) dengan luas
kawasan pada tahun 2014 sebesar 6.716 ha (DKP2SKSA 2015). Salah satu daerah
penghasil kepiting bakau di Segara Anakan adalah Desa Ujung Alang. Dengan
adanya hasil tangkapan kepiting bakau di Desa Ujung Alang, maka diduga
lingkungan kawasan tersebut sesuai untuk kepiting bakau. Oleh karena itu
dilakukan kajian karakteristik lingkungan di hutan mangrove Desa Ujung Alang
untuk mengetahui karakteristik lingkungan yang optimal untuk kepiting bakau.
Selanjutnya hasil dari kajian tersebut dapat digunakan sebagai informasi dasar
untuk kegiatan aquasilviculture.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik habitat alami
kepiting bakau Scylla serrata di Desa Ujung Alang, Cilacap sebagai acuan
kegiatan aquasilviculture.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2015. Lokasi
penelitian terletak di Desa Ujung Alang, Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah.
Lokasi ini dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan kawasan tangkapan
kepiting bakau paling tinggi di daerah Segara Anakan.

Prosedur Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan titik atau stasiun penelitian berdasarkan perbedaan kerapatan
mangrove dan lokasi tersebut merupakan daerah penangkapan kepiting bakau.
Terdapat empat stasiun penelitian (Lampiran 2) antara lain:
Stasiun 1 : Hutan mangrove di Dusun Bondan Barat (Lampiran 3)
Stasiun 2 : Hutan mangrove di dekat Sungai Kalibener (Lampiran 3)
Stasiun 3 : Perairan depan hutan mangrove gundul di daerah Sungai Kalibener
(Lampiran 3)
Stasiun 4 : Perairan depan hutan mangrove jarang di daerah Sungai Kalibener
(Lampiran 3)

3

Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Parameter yang
dianalisis, alat/metode pengukuran, satuan, dan tempat analisis disajikan pada
Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Parameter yang dianalisis dan satuan, alat atau metode pengukuran, dan
tempat analisis
No
Parameter
1. Kualitas Air
Fisika perairan
Salinitas
Suhu
Kimia perairan
pH
DO
TAN
Nitrit
Nitrat
TOM
Biologi perairan
Kelimpahan plankton

Alat/Metode Pengukuran

Satuan

Tempat

Hand refractometera
DO meterb


ºC

In-situ
In-situ

pH meterb
DO meterb
Metode Phenatec
Metode Sulfanilamidec
Metode Bruchinec
Metode Oksidimetric

g/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L

In-situ
In-situ
Ex-situ
Ex-situ
Ex-situ
Ex-situ

Plankton net, mikroskop, buku
identifikasid,e
Mikroskop, buku
identifikasid,e

sel/m3

Ex-situ

2. Vegetasi mangrove
Kelimpahan mangrove

Petak pengamatan 10 x 10 mg

Identifikasi jenis
3. Kelimpahan serasah

Petak pengamatan 10 x 10 mf
Petak pengamatan 1 x 1 m dan
timbangan digitalfg

ind/100 In-situ
m2
individu In-situ
g/m2
Ex-situ

Identifikasi jenis plankton

individu Ex-situ

4. Bahan organik di substrat
TOM substrat
Metode gravimetric
%
Ex-situ
C-organik
Metode Walkley and Blackc
%
Ex-situ
5. Analisis makrozoobentos
Kelimpahan makrozoobentos
Petak pengamatan 1 x 1 mg
ind/m2
Ex-situ
Identifikasi jenis makrozoobentos
Buku identifikasi
individu Ex-situ
6. Kondisi mikroklimat
Intensitas cahaya
Lux meterh
lux
In-situ
Suhu udara
Lux meterh
ºC
In-situ
Kelembaban
Lux meterh
%RH
In-situ
a
APHA (1998), bAPHA (1999), cBalai Penelitian Tanah (2009), dMizuko (1979), eYamaji (1979),
f
Giesen et al. (2007), gNazar (2002), hHafsah et al. (2009).

Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Pengukuran
kualitas air secara in-situ dilakukan terhadap beberapa parameter antara lain suhu,
salinitas, pH, dan DO (Lampiran 4). Sedangkan pengukuran kualitas air secara exsitu dilakukan terhadap beberapa parameter antara lain TAN, nitrit, dan nitrat.
Pengambilan sampel air menggunakan metode grab sampling yaitu sampling yang
dilakukan secara langsung di badan air yang sedang dipantau. Sampling ini hanya
menggambarkan karakteristik air pada saat sampling dilakukan (Effendi 2003).
Sampel air pada masing-masing stasiun diambil pada petak pengamatan 10 x 10
m. Sampel air untuk pengukuran ex-situ diambil pada tiga titik yang ditarik secara
diagonal pada petak pengamatan. Sampel air dari ketiga titik tersebut kemudian

4

dihomogenisasi dan dianalisis di laboratorium. Pengukuran parameter in-situ
dilakukan pada titik tengah di petak pengamatan. Pengambilan sampel air
dilakukan pada pagi dan sore dalam satu hari pengamatan. Pengambilan sampel
pada pagi hari dilakukan pada pukul 08.00 WIB dengan kedalaman air 50 cm.
Pengambilan sampel pada sore hari dilakukan pada pukul 16.00 dengan
kedalaman air 90 cm.
Analisis Vegetasi Mangrove
Analisis vegetasi mangrove meliputi identifikasi jenis dan kelimpahan
mangrove (Lampiran 5). Identifikasi jenis mangrove dilakukan dengan
menggunakan bantuan website wetland.or.id. Sedangkan pengukuran kelimpahan
mangrove dengan membuat petak pengamatan berukuran 10 x 10 m, dengan
menghitung jumlah mangrove kategori pohon (diameter > 10 cm) dan kategori
anakan (diameter < 10 cm) (Nazar 2002). Pada masing-masing stasiun terdapat
satu petak pengamatan.
Pengukuran Kelimpahan Serasah
Pengukuran kelimpahan serasah dilakukan pada petak pengamatan
berukuran 1 x 1 m (Lampiran 6) di masing-masing stasiun penelitian (Nazar
2002). Kemudian serasah dioven di laboratorium dan ditimbang bobot kering.
Pengukuran Bahan Organik di Substrat
Pengukuran bahan organik di substrat meliputi pengukuran terhadap nilai
bahan organik total (Total Organic Matter; TOM) dan C-organik. Substrat pada
masing-masing stasiun diambil pada petak pengamatan 10 x 10 m. Substrat
diambil pada tiga titik yang ditarik secara diagonal pada petak pengamatan.
Substrat dari ketiga titik tersebut kemudian dihomogenisasi dan dianalisis di
laboratorium.
Analisis Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos
Analisis jenis dan kelimpahan makrozoobentos dilakukan pada petak
pengamatan 1 x 1 m pada masing-masing stasiun penelitian (Nazar 2002). Jenis
makrozoobentos dianalisis menggunakan buku identifikasi. Kelimpahan
makrozoobentos dihitung pada petak pengamatan berukuran 1 x 1 m (Lampiran
7).
Pengukuran Mikroklimat
Pengukuran mikroklimat pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan
secara in-situ (Lampiran 8). Pengukuran intensitas cahaya, suhu udara, dan
kelembaban udara dilakukan di bawah naungan mangrove.
Pengumpulan Data Produksi Kepiting Bakau
Pengumpulan data produksi kepiting bakau (Lampiran 9) menggunakan
metode purposive sampling. Pengumpulan data produksi dilakukan dengan
mewawancarai narasumber kunci yang berjumlah lima orang, terdiri dari pengepul
dan nelayan kepiting bakau

5

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisis secara deskriptif
dilakukan dengan cara menyajikan, menyusun serta mengukur nilai-nilai data
yang terkumpul sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan mudah
dimengerti (Saleh 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan terhadap parameter fisika, kimia, dan
biologi. Parameter fisika perairan yang diukur meliputi suhu dan salinitas.
Parameter kimia perairan yang diukur meliputi pH, Dissolved Oxygen (DO), Total
Amonia Nitrogen (TAN), nitrit, nitrat, dan Total Organic Matter (TOM).
Parameter biologi perairan yang dianalisis meliputi jenis dan kelimpahan
plankton. Hasil pengukuran parameter fisika perairan disajikan pada Tabel 2, hasil
pengukuran parameter kimia perairan disajikan pada Tabel 3, dan hasil analisis
terhadap parameter biologi perairan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 2 Pengukuran parameter fisika perairan di masing-masing stasiun
penelitian
Suhu (°C)

Salinitas (‰)

Lokasi

Pagi

Sore

Pagi

Sore

St. 1

0,0

0,0

31,2

33,9

St. 2

0,0

0,0

31,0

30,0

St. 3

0,5

0,5

31,0

30,1

0,5

0,5

34,0

29,9

St. 4
Keterangan: St. = Stasiun

Salinitas perairan pada masing-masing stasiun ketika pagi dan sore
berkisar antara 0,0-0,5‰. Suhu perairan pada masing-masing stasiun ketika pagi
berkisar antara 31,0-34,0°C. Suhu terendah pada Stasiun 2 dan 3 yaitu 31,0oC.
Suhu tertinggi pada Stasiun 4 yaitu 34,0oC. Suhu perairan pada masing-masing
stasiun ketika sore berkisar antara 29,9-33,9 oC. Suhu terendah pada Stasiun 4
yaitu 29,91oC dan suhu tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 33,9oC.
Tabel 3 Pengukuran parameter kimia perairan di masing-masing stasiun
penelitian
pH

Lokasi

DO
(mg/L)
P
S

TAN
(mg/L)
P
S

Nitrit
(mg/L)
P
S

Nitrat
(mg/L)
P
S

P

S

St 1

6,34

6,17

4,8

3,3

0,16

0,18

0,05

1,26

0,45

St 2

7,01

6,11

2,4

3,3

0,12

0,18

0,10

0,17

St 3

7,22

6,29

4,1

4,3

0,14

0,15

0,05

St 4

6,42

6,12

4,6

5,6

0,01

0,02

0,05

TOM
(mg/L)
P

S

0,55

47,52

31,97

0,60

0,58

45,79

44,06

0,16

0,57

0,40

56,16

42,34

0,11

0,38

0,46

46,66

34,56

6

Keterangan:
St. = Stasiun, P = Pagi, S = Sore

Nilai pH perairan ketika pagi berkisar antara 6,34-7,22. Nilai pH terendah
ketika pagi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 6,34 dan pH tertinggi pada Stasiun 3
yaitu 7,22. Nilai pH perairan ketika sore berkisar antara 6,11-6,29. Nilai pH
terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 2 yaitu 6,11 dan pH tertinggi pada
Stasiun 3 yaitu 6,29.
Nilai Dissolved Oxygen (DO) perairan ketika pagi berkisar antara 2,4-4,8
mg/L. Nilai DO terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 2 yaitu 2,4 mg/L dan
DO tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 4,8 mg/L. Nilai DO perairan ketika sore
berkisar antara 3,3-5,6 mg/L. Nilai DO terendah ketika sore terdapat pada Stasiun
1 dan 2 yaitu 3,3 mg/L dan DO tertinggi pada Stasiun 4 yaitu 5,6 mg/L.
Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) perairan ketika pagi berkisar antara
0,01-0,16 mg/L. Nilai TAN terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu
0,01 mg/L dan nilai TAN tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 0,16 mg/L. Nilai TAN
perairan ketika sore berkisar antara 0,02-0,18 mg/L. Nilai TAN terendah ketika
sore terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,02 mg/L dan nilai TAN tertinggi pada Stasiun
1 dan 2 yaitu 0,18 mg/L.
Nilai nitrit perairan ketika pagi berkisar antara 0,05-0,10 mg/L. Nilai nitrit
terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 1, 3, dan 4 yaitu 0,05 mg/L dan nilai
nitrit tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,10 mg/L. Nilai nitrit perairan ketika sore
berkisar antara 0,11-1,26 mg/L. Nilai nitrit terendah ketika sore terdapat pada
Stasiun 4 yaitu 0,11 mg/L dan nilai nitrit tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 1,26 mg/L.
Nilai nitrat perairan ketika pagi berkisar antara 0,38-0,60 mg/L. Nilai nitrat
terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,38 mg/L dan nilai nitrat
tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,60 mg/L. Nilai nitrat perairan ketika sore berkisar
antara 0,40-0,58 mg/L. Nilai nitrat terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 3
yaitu 0,40 mg/L dan nilai nitrat tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,58 mg/L.
Nilai Total Organic Matter (TOM) perairan ketika pagi berkisar antara
45,79-56,16 mg/L. Nilai TOM terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 2 yaitu
45,79 mg/L dan nilai TOM tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 56,16 mg/L. Nilai TOM
perairan ketika sore berkisar antara 31,97-44,06 mg/L. Nilai TOM terendah ketika
sore terdapat pada Stasiun 1 yaitu 31,97 mg/L dan nilai TOM tertinggi pada
Stasiun 2 yaitu 44,06 mg/L.
Tabel 4 Kelimpahan dan dominansi plankton di masing-masing stasiun penelitian
Lokasi
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Keterangan: St. = Stasiun

Kelimpahan (sel/m3)
207.870
486.115
827.068
637.594

Dominansi
Pediastrum sp.
Coscinodiscus sp.
Oscillatoria sp.
Oscillatoria sp.

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa kelimpahan plankton tertinggi
terdapat pada Stasiun 3 yaitu 827.068 sel/m3 dan kelimpahan terendah terdapat
pada Stasiun 1 yaitu 207.870 sel/m3.

7

Analisis Vegetasi Mangrove
Pengamatan vegetasi dan kelimpahan mangrove bertujuan untuk
mengetahui perbedaan kerapatan serta keragaman mangrove yang terdapat pada
masing-masing stasiun penelitian. Jenis dan kelimpahan mangrove yang terdapat
pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis dan kelimpahan mangrove di masing-masing stasiun penelitian
Lokasi

Jenis mangrove

Keterangan

Jumlah

St. 1

Sonneratia caseolaris

pohon

16

Avicennia marina

pohon

3

Nypa fruticans

anakan

6

Aegiceras corniculatum

anakan

22

St. 2

Aegiceras floridum

anakan

1

Rhizophora mucronata

anakan

4

Rhizophora apiculata

anakan

19

Nypa fruticans

anakan

3

Kelimpahan
(ind/100 m2)
25

50

Sonneratia caseolaris

anakan

1

St. 3

Nypa fruticans

anakan

1

1

St. 4

Bruguiera gymnorrhiza

pohon

1

17

Bruguiera gymnorrhiza

anakan

1

Rhizophora mucronata

pohon

3

Rhizophora mucronata
Keterangan: St. = Stasiun

anakan

12

Dominansi jenis mangrove di masing-masing stasiun penelitian berbeda,
seperti yang disajikan pada Tabel 5. Pada Stasiun 1, jenis mangrove didominansi
oleh Sonneratia caseolaris kategori pohon dengan kelimpahan 16 individu/100
m2. Pada Stasiun 2, jenis mangrove didominansi oleh Aegiceras corniculatum
kategori anakan dengan kelimpahan 22 individu/100 m2. Pada Stasiun 3, hanya
terdapat satu jenis mangrove yaitu Nypa fruticans kategori anakan dengan
kelimpahan 1 individu/100 m2. Pada Stasiun 4, jenis mangrove didominansi oleh
Rhizophora mucronata kategori anakan dengan kelimpahan 12 individu/100 m2
(Lampiran 10).
Pengukuran Kelimpahan Serasah
Pengukuran kelimpahan serasah dilakukan untuk menganalisis
ketersediaan pakan alami kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian.
Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian
Lokasi

Kelimpahan serasah (BK) (g/m2)

Kadar Air (%)

St. 1

21,00

79,30

St. 2

44,25

68,90

St. 3

10,57

80,94

St. 4
6,70
Keterangan: St. = Stasiun, BK = Bobot kering

78,00

8

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa kelimpahan serasah tertinggi
pada Stasiun 2, yaitu 44,25 gram bobot kering dengan kadar air sebesar 68,90%.
Sedangkan kelimpahan serasah terendah terdapat pada Stasiun 4, yaitu 6,70 gram
bobot kering dengan kadar air sebesar 78,00%.
Pengukuran Bahan Organik di Substrat
Pengukuran bahan organik di substrat meliputi pengukuran terhadap
parameter Total Organic Matter (TOM) dan C-organik substrat. Hasil pengukuran
bahan organik di substrat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Pengukuran bahan organik di substrat pada masing-masing stasiun
penelitian
Lokasi
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Keterangan: St. = Stasiun

TOM substrat (%)
75,51
64,19
69,69
68,30

C-organik (%)
3,67
2,15
9,09
11,18

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai TOM di masing-masing
stasiun penelitian berkisar antara 64,19-75,51%, dengan nilai TOM terendah pada
Stasiun 2 yaitu 64,19% dan nilai TOM tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 75,51%.
Nilai C-organik di masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 2,15-11,18%,
dengan nilai C-organik terendah pada Stasiun 2 yaitu 2,15% dan nilai C-organik
tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 11,18%.
Analisis Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos
Analisis jenis dan kelimpahan makrozoobentos dilakukan
menganalisis ketersediaan pakan alami kepiting bakau di masing-masing
penelitian. Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing
penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing
penelitian
Stasiun 1
Jumlah
Jenis
(ind/m2)
Ocypode
1
sp.

Stasiun 2
Jumlah
Jenis
(ind/m2)
Epitonium
5
sp.

Sesarma sp.

2

Velutina sp.

7

Velutina sp.
Epitonium
sp.
Kelimpahan
(ind/m2)

7

Uca sp.

2

Stasiun 3
Jumlah
Jenis
(ind/m2)
Epitonium
3
sp.
Trichotropis
2
sp.
Velutina sp.
3

4

Sesarma sp.

3

Sesarma sp.

2

14

Kelimpahan
(ind/m2)

17

Kelimpahan
(ind/m2)

10

untuk
stasiun
stasiun
stasiun

Stasiun 4
Jumlah
Jenis
(ind/m2)
Epitonium
3
sp.
Uca sp.

1

Sesarma sp.

1

Kelimpahan
(ind/m2)

5

Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa kelimpahan makrozoobentos
tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 17 ind/m2 dan kelimpahan terendah terdapat pada
Stasiun 4 yaitu 5 ind/m2. Pada Stasiun 1 dan 2, jenis makrozoobentos yang
mendominasi adalah Velutina sp. yaitu sebanyak 7 ind/m2. Pada Stasiun 3, jenis
makrozoobentos yang mendominasi adalah Epitonium sp. dan Velutina sp.

9

sebanyak 3 ind/m2. Sedangkan pada Stasiun 4, jenis makrozoobentos yang
mendominasi adalah Epitonium sp. sebanyak 3 ind/m2.
Pengukuran Mikroklimat
Pengukuran mikroklimat bertujuan untuk mengetahui gambaran
mikroklimat pada masing-masing stasiun, yang meliputi intensitas cahaya, suhu
udara, dan kelembaban udara. Hasil pengukuran mikroklimat di masing-masing
stasiun penelitian disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Pengukuran mikroklimat di masing-masing stasiun penelitian

Lokasi

Intensitas cahaya
(lux)

Suhu udara (oC)

Kelembaban
(%RH)

Kondisi
cuaca

Pagi

Sore

Pagi

Sore

Pagi

Sore

Pagi

Sore

St. 1

6.500

3.470

35,30

37,30

71,90

63,70

cerah

cerah

St. 2

3.340

3.390

37,80

32,20

61,20

77,90

cerah

cerah

St. 3

8.800

2.910

41,40

30,10

56,30

78,90

cerah

cerah

42,00

30,40

55,80

84,50

cerah

cerah

St. 4
1.800
428
Keterangan: St = Stasiun

Intensitas cahaya ketika pagi berkisar antara 1.800-8.800 lux. Intensitas
cahaya terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 1.800 lux dan intensitas
cahaya tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yaitu 8.800 lux. Intensitas cahaya ketika
sore berkisar antara 428-3.470 lux. Intensitas cahaya terendah ketika sore terdapat
pada Stasiun 4 yaitu 1.800 lux dan intensitas cahaya tertinggi terdapat pada
Stasiun 3 yaitu 8.800 lux.
Suhu udara ketika pagi berkisar antara 35,3-42,0oC. Suhu udara terendah
ketika pagi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 35,3 oC dan suhu udara tertinggi terdapat
pada Stasiun 4 yaitu 42,0oC. Suhu udara ketika sore berkisar antara 30,1-37,3oC.
Suhu udara terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 3 yaitu 30,1 oC dan suhu
udara tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 37,3 oC.
Kelembaban udara ketika pagi berkisar antara 55,8-71,9%RH.
Kelembaban udara terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 55,8% dan
kelembaban udara tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 71,9%RH. Kelembaban
udara ketika sore berkisar antara 63,7-84,5%RH. Kelembaban udara terendah
ketika sore terdapat pada Stasiun 1 yaitu 63,7%RH dan kelembaban udara
tertinggi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 84,5%RH.
Produksi Kepiting Bakau
Data produksi kepiting bakau diperoleh berdasarkan wawancara langsung
dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau. Data produksi kepiting bakau dari
kegiatan penangkapan di masing-masing stasiun penelitian pada tahun 2014
disajikan pada Gambar 1.

10

Sumber: Wawancara langsung dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau di Desa Ujung Alang

Gambar 1 Data Produksi kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian
pada tahun 2014
Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa produksi kepiting bakau
tertinggi pada musim kemarau adalah pada Stasiun 2 yaitu sebesar 84 kg.
Sedangkan pada musim hujan, produksi pada masing-masing stasiun adalah sama
yaitu 0 kg.

Pembahasan

Produksi kepiting bakau sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan dan
ketersediaan pakan. Analisis kondisi lingkungan di daerah mangrove Desa Ujung
Alang dilakukan terhadap parameter fisika perairan, kimia perairan, biologi
perairan, dan kondisi mikroklimat. Analisis ketersediaan pakan dilakukan dengan
mengamati jenis dan kelimpahan mangrove, kelimpahan serasah, kandungan
bahan organik di substrat, dan kelimpahan makrozoobentos.
Berdasarkan analisis terhadap kondisi lingkungan di daerah mangrove
Desa Ujung Alang, diperoleh hasil bahwa salinitas air pada masing-masing stasiun
berkisar antara 0,0-0,5‰ (Tabel 2). Salinitas tersebut merupakan nilai yang
rendah. Rendahnya salinitas tersebut diduga disebabkan oleh tingginya masukan
air tawar dari tiga sungai yang berada di sekitar stasiun penelitian, yaitu Sungai
Citanduy, Cibereum, dan Cikonde. Air tawar dari ketiga sungai tersebut diduga
jumlahnya lebih banyak dibandingkan air laut, sehingga menyebabkan salinitas
rendah. Berdasarkan hasil wawancara dan data curah hujan (Lampiran 11), waktu
ketika dilakukan penelitian termasuk dalam musim hujan di perairan Segara
Anakan. Adapun musim hujan adalah pada bulan November-Juli dengan jumlah
curah hujan bulanan berkisar antara 182-659 mm (Lampiran 11) (BMKG 2015).
Musim kemarau adalah pada bulan Agustus-Oktober dengan jumlah curah hujan
bulanan berkisar antara 4-91 mm (Lampiran 11) (BMKG 2015).
Ketika sore, salinitas pada masing-masing stasiun tetap berkisar antara 0,00,5‰. Hal ini disebabkan, meskipun jumlah air laut yang masuk lebih banyak
dibandingkan saat pagi, namun belum dapat mengimbangi jumlah air tawar yang
masuk. Hal ini menyebabkan salinitas tetap berkisar antara 0,0-0,5‰. Menurut

11

Nybakken (1988), perubahan salinitas musiman di estuaria biasanya merupakan
akibat perubahan penguapan musiman dan/ atau perubahan aliran air tawar
musiman. Dengan mulainya kenaikan aliran air tawar, gradien salinitas digeser ke
arah mulut estuaria. Oleh karena itu pada berbagai musim, suatu titik tertentu di
estuaria dapat mengalami salinitas yang berbeda-beda (Nybakken 1988).
Salinitas yang sangat rendah tersebut kurang sesuai dengan kehidupan
kepiting bakau. Hal ini didukung oleh data FAO (2011) yang menyatakan bahwa
salinitas optimal untuk S. serrata adalah 10-25‰ dan berdasarkan penelitian
Safrina (2013), salinitas optimal untuk S. serrata adalah 25‰. Selain itu, menurut
Paital & Chainy (2012), S. serrata menyukai hutan mangrove dengan dasar
berlumpur dan salinitas yang berfluktuasi. Salinitas di daerah Ujung Alang sangat
rendah jika dibandingkan dengan salinitas di habitat S. serrata di daerah
mangrove Kosrae, Micronesia yang berkisar antara 26,8-30,1‰ (Amanda et al.
2008). Salinitas yang rendah dapat merusak protein dan lipid pada jaringan insang
kepiting bakau (Kong et al. 2008). Selain itu menurut McGaw (2006), salinitas
lingkungan yang rendah pada kepiting bakau akan mengakibatkan takikardia atau
denyut jantung yang cepat, ditambah dengan peningkatan tingkat ventilasi dan
pengambilan oksigen.
Suhu perairan mangrove di Stasiun 1 berkisar antara 31,2-33,9ºC, suhu
perairan di Stasiun 2 berkisar antara 30,0-31,0ºC, suhu perairan di Stasiun 3
berkisar antara 30,1-31,0ºC, dan suhu perairan di Stasiun 4 berkisar antara 29,934,0ºC (Tabel 2). Kisaran suhu pada masing-masing stasiun tersebut sesuai untuk
kepiting bakau, terutama pada Stasiun 2. Hal ini didukung oleh data FAO (2011)
yang menyatakan bahwa pertumbuhan optimal untuk S. serrata adalah pada suhu
30ºC, dan pertumbuhan yang baik pada suhu 25-35ºC. Berdasarkan penelitian
Millaty (2014), suhu yang optimal untuk S. serrata adalah 29ºC. Menurut Paital &
Chainy (2012), faktor lingkungan untuk Scylla di India dapat berubah-ubah
dengan kisaran suhu yang luas yaitu 18-31ºC. Sedangkan suhu perairan di daerah
mangrove Kosrae, Micronesia dalam penelitian Amanda et al. (2008) berkisar
antara 28,7-31,8ºC.
Nilai pH perairan di Stasiun 1 berkisar antara 6,17-6,34, pH perairan di
Stasiun 2 berkisar antara 6,11-7,01, pH perairan di Stasiun 3 berkisar antara 6,297,22, dan pH perairan di Stasiun 4 berkisar antara 6,12-6,42 (Tabel 3). Nilai
tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan data FAO (2011) yang
menyatakan bahwa pH untuk pemeliharaan S. serrata adalah pada kisaran 7,5-8,5.
Sedangkan menurut penelitian Nadeak (2014), pH yang optimum untuk S. serrata
adalah pada pH 7. Nilai pH di daerah mangrove Ujung Alang cukup rendah,
namun masih dapat mempertahankan keseimbangan dalam ekosistem. Menurut
Chandrasekhar et al. (2003), ketika pH dalam kisaran 5,5-8,5 keseimbangan
dalam ekosistem dapat dipertahankan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat
diketahui bahwa nilai pH ketika pagi pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan
ketika sore pada sore hari. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas metabolisme
autotrof yang lebih tinggi pada pagi hari karena intensitas cahaya matahari yang
lebih tinggi ketika pagi hingga siang hari. Menurut Kaul & Handoo (1980),
peningkatan pH di perairan disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas
metabolisme autotrof, karena pada umumnya mereka memanfaatkan CO2 dan
membebaskan O2 sehingga mengurangi nilai H+ di perairan. Nilai pH yang rendah
disebabkan pula oleh adanya pelepasan asam dari proses dekomposisi bahan

12

organik. Nilai pH perairan yang mendekati nilai optimum untuk kepiting bakau
terdapat di Stasiun 2 dan 3.
Kisaran nilai Dissolved Oxygen (DO) pada Stasiun 1 adalah 3,3-4,8 mg/L,
pada Stasiun 2 adalah 2,4-3,3 mg/L, pada Stasiun 3 adalah 4,1-4,3 mg/L, dan pada
Stasiun 4 adalah 4,6-5,6 mg/L (Tabel 3). Nilai DO tersebut cukup rendah jika
dibandingkan kisaran DO pada habitat alami S. serrata di perairan India, yang
berkisar antara 4-10 mg/L (Paital & Chainy 2012). Namun kisaran DO pada
Stasiun 4 lebih baik dibandingkan stasiun lainnya. Secara umum, DO yang
diperoleh pada masing-masing stasiun masih sesuai dengan pernyataan Effendi
(2003), bahwa kadar oksigen di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L.
Kisaran DO yang cukup rendah di perairan alami bukanlah suatu permasalahan,
hal ini karena di perairan alami terjadi flushing (pergantian air). Rendahnya nilai
DO ketika pagi pada Stasiun 2, yaitu sebesar 2,4 mg/L diduga karena Stasiun 2
merupakan stasiun dengan kerapatan mangrove paling tinggi. Kerapatan
mangrove yang tinggi akan menghasilkan jumlah serasah yang tinggi pula dan
serasah yang jatuh ke air akan didekomposisi oleh bakteri pengurai. Proses
dekomposisi serasah oleh bakteri pengurai memerlukan oksigen. Hal tersebut
menyebabkan kadar oksigen terlarut di perairan berkurang. Rendahnya nilai DO
dapat pula dipengaruhi oleh naiknya suhu perairan (Nybakken 1988).
Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) perairan yang diperoleh di Stasiun 1
berkisar antara 0,16-0,18 mg/L, pada Stasiun 2 berkisar antara 0,12-0,18 mg/L,
pada Stasiun 3 berkisar antara 0,14-0,15 mg/L, dan pada Stasiun 4 berkisar antara
0,01-0,02 mg/L (Tabel 3). Berdasarkan hasil penelitian di lapang, nilai TAN yang
diperoleh pada masing-masing stasiun berada dalam kisaran yang sesuai untuk
kepiting bakau, terutama pada Stasiun 4. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Kepmen-LH (2004) yang menyatakan bahwa nilai amonia total di perairan untuk
biota air laut adalah 0,3 mg/L. Nilai TAN yang rendah sangat baik dalam kegiatan
budidaya, karena menurut Neil et al. (2005), amonia akan memberikan efek pada
larva S. serrata meskipun dalam jumlah yang sedikit (0-0,5 mg/L).
Nilai nitrit perairan di Stasiun 1 berkisar antara 0,05-1,26 mg/L, nilai di
Stasiun 2 berkisar antara 0,10-0,17 mg/L, nilai di Stasiun 3 berkisar antara 0,050,16 mg/L, dan nilai di Stasiun 4 berkisar antara 0,05-0,11 mg/L (Tabel 3). Nillai
nitrit terendah terdapat pada Stasiun 4 dan nilai nitrit sebesar 1,26 mg/L pada
stasiun 1 ketika sore merupakan nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
nilai nitrit pada pemeliharaan S. serrata di Filipina yaitu 0,0-0,19 mg/L
(Millamena & Banggaya 2001). Namun nilai nitrit yang cukup tinggi tersebut
tidaklah menjadi masalah dalam aquasilviculture apabila di daerah tersebut terjadi
flushing (pergantian air). Dengan adanya flushing, maka bahan organik akan
terbawa dan tidak menyebabkan terjadinya pengendapan, sehingga tidak akan
membahayakan organisme budidaya. Nitrit dalam kegiatan budidaya harus
diupayakan seminimal mungkin, hal ini karena nitrit di dalam darah ikan dapat
bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin (Boyd 2000).
Methemoglobin tersebut tidak dapat berikatan dengan oksigen seperti
hemoglobin, sehingga proses respirasi organisme akan terganggu jika terdapat
nitrit dalam jumlah yang tinggi. Darah yang mengandung methemoglobin akan
berwarna coklat, sehingga nama umum untuk keracunan nitrit pada ikan adalah
brown blood disease. Pada krustasea, nitrit dapat mengikat hemocyanin dalam

13

darah untuk menurunkan kemampuan darah dalam mengikat oksigen (Boyd
2000).
Nilai nitrat perairan di Stasiun 1 berkisar antara 0,45-0,55 mg/L, nilai di
Stasiun 2 berkisar antara 0,58-0,60 mg/L, nilai di Stasiun 3 berkisar antara 0,050,16 mg/L, dan nilai di Stasiun 4 berkisar antara 0,40-0,57 mg/L (Tabel 3).
Berdasarkan penelitian Hartoko et al. (2013), nilai nitrat pada masing-masing
stasiun di daerah mangrove Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa berkisar
antara 0,71-6,27 mg/L. Dapat diketahui bahwa nilai nitrat yang diperoleh pada
masing-masing stasiun di daerah mangrove Desa Ujung Alang cukup rendah dan
mengindikasikan bahwa perairan memiliki kriteria kesuburan sedang menurut
Vollenweider (1968). Kandungan nitrat sebesar