Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (PENAEID) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

PENGARUH PERIKANAN APONG TERHADAP
KEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl
PERAIRAN KARANG ANYAR, KABUPATEN CILACAP,
JAWA TENGAH
(Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

OLEH :
SUPARMAN SASMITA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK

SUPARMAN SASMITA. Pengaruh Perikanan Apong Terhadap Keberadaan Udang
(Penaeid) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh:
JOKO PURWANTO dan SULISTIONO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan atau biomassa hasil tangkapan
apong dan pengaruh kegiatan perikanan apong terhadap kelestarian sumberdaya udang
penaeid di Segara Anakan, mengidentifikasi pengaruh konstruksi alat apong serta teknik

pemasangan alat dalam operasi penangkapan nelayan, memberikan alternatif pola
penggunaan alat yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya udang agar tetap lestari.
Hasil Tangkapan yang diperoleh pada bulan gelap 1 (bulan Juni), terdapat ukuran
yang kecil yang diperoleh dengan kecendrungan semakin membesar. frekuensi panjang
karapas M. elegans sebesar 34 % pada ukuran 2,2 - 3,O cm, sebesar 96 % M. dobsoni
dengan ukuran 1,54 - 1,90 cm dan 23 % P. merguensis dengan ukuran 3,6 - 4,8 cm.
Ratio antara panjang total dan panjang karapas udang untuk Metapenaeus elegans 2,85
cm, M. dobsoni 2,85 - 2,9 cm dan P. merguensis 4 - 4,2 cm. Untuk hasil tangkapan pada
gelap 2 (bulan Juli), ukuran udang relatif lebih kecil. Ratio antara panjang total dan panjang
karapas dari hasil tangkapan selama bulan gelap 2 diperoleh ratio untuk Merapenaeus
elegans sebesar 0,29, M. dobsoni 0,29, dan Penaeus merguensis sebesar 0,5.
Hasil Analisis dengan Uji Liliefors, jenis udang di bulan gelap 1 menghasilkan nilai
L sebesar 0,268 untuk M. elegans, 0,463 untuk M, dobsoni, dan 0,16 untuk P. merguensis.
Pada populasi M, elegans dan M. dobsoni pada saat bulan gelap I , tidak menyebar normal
pada perairan. Pada bulan gelap 2, nilai L sebesar 0,178 M. elegans, 0,243 M. dobsoni
dan P. merguensis. Nilai L tabel pada bulan gelap 2 pada taraf kepercayaan 0,05, sebesar
0,249. Sehingga nilai L hitung dari ketiga jenis penaeid (Metapenaeus elegans,
Metapenaeus dobsoni dan Penaeus merguensis) lebih kecil dari nilai L tabel (0,05).
Populasi hasil tangkapan di analisis Uji Wilcoron yntuk bulan gelap 1 dan 2,
dimana M. elegans memiliki nilai 53 dari has11peringkat. Dari hasil tersebut nilai tengall

kedua populasi tidak berbeda nyata. Jenis M. dobsoni memiliki nilai u hitung lebih kecil
dari u tabel pada taraf 95% (0,05), sangat berbeda nyata antara bulan gelap 1 dan bulan
gelap 2. Untuk jenis P. merguensis, memiliki nilai tengah populasi yang berbeda nyata.
Dengan melakukan perhitungan dengan menggunakan analisis komponen utama
(PCA) diperoleh hasil terlihat pada grafik yang menunjukan hubungan antara musim,
kelimpahan dan waktu penangkapan.
Alternatif pemasangan alat berupa pengaturan jarak sejauh 10 hingga 15 meter
antar setiap alat. Untuk sungai yang lebar pemasangan dapat dipasang sejajar antar alat
dengan batas lapis 2 lapis dan sungai yang sempit dipasang zig zag dengan jarak 10 - 15
meter.
Secara potensial perikanan apong di Segara Anakan dapat menghilangkan
peluang lahirnya larva-larva udang penaeid baru kira-kira sebanyal 26.074.530.000 ekor
pada musim paceklik dan 95.592.330.000 ekor pada musim subur.
Kata Kunci : penaeid, jaring apong.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
PENGARUHPERIKANANAPONGTERHADAPKEBERADAAN
SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl PERAIRAN KARANG ANYAR,
KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH
(Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan
dapat diperiksa kebenarnnya.

Bogor, Desember 2002

Suparman Sasmita
NRP. 99687

PENGARUH PERIKANAN APONG TERHADAP
KEBERADAAN SUMBERDAYA UDANG (PENAEID) Dl
PERAIRAN KARANG ANYAR, KABUPATEN CILACAP,
JAWA TENGAH

SUPARMAN SASMITA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sairis pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: PENGARUH

Nama

: Suparman Sasmita

NRP.

: 99687

PERIKANAN
KEBERADAAN SUMBERDAYA
PERAIRAN KARANG ANYAR,

JAWA TENGAH (Studi Kasus di
Kabupaten Cilacap)

APONG
TERHADAP
UDANG (PENAEID) Dl
KABUPATEN CILACAP,
Perairan Segara Anakan,

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Anggota

Ketua

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Laut

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.

Tanggal Lulus : 27 Desember 2002

3. Direktur Program Pascasarjana

MS.

Suparman Samita, penulis merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara
putera dari pasangan Sasmita Urijan dan Yayah Dariyah, dilahirkan pada
Tanggal 26 Desernber 1972 di Jakarta.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Teladan Lampung
dan SDN Sempur Kaler Bogor tahun 1979-1985, SMP PGRl 6 Bogor Tahun
1985-1998, SMA PGRl4 Bogor Tahun 1988-1991, Pada Bulan September 1991
melanjutkan studi di program S1 pada jurusan Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan, Fakultas Perikanan, lnstitut Pertanian Bogor dan menyelesaikan studi
pada Bulan Mei 1997. Penulis meneruskan studi ke jenjang S2 Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Program Pascasarjana lnstitut
Pertanian Bogor.
Selama masa studi penulis banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler
antara lain: OSIS, Wakil Ketua Pengurus Pramuka SMA PGRl 4 Bogor, Wakil
Ketua Himpunan Profesi Mahasiswa PSP, Kepala Biro Pengabdian Masyarakat
pada HIMAPIKANI, Kepala Sekretariatan Resimen Mahasiswa Kompi-A IPB
Tahun 1993 - 1996, Anggota Staf Menwa Batalyon VII Suva Kancana Tahun
1996, Anggota Redaksi Buletin PSP Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan Tahun 2000.

Alhamdulillah, penulis ungkapkan atas izin dan ridho Allah SWT. tesis ini
dapat diselesaikan. Semoga seluruh aktivitas penyusunan tesis ini menjadi jalan
terbaik dan bermanfaat, serta berkat dukungan, semangat, kritik dan saran
menjadi jalan bagi kebaikan penyusunannya.
Tesis ini merupakan salah satu gambaran perkembangan perikanan di
Perairan Segara Anakan khususnya perairan Kelurahan Karang Anyar dengan
aktivitas perikanan yang dominan menggunakan alat tangkap apong. Dengan
fenomena yang ada, dimana nelayan semakin terdesak dengan kondisi perairan

yang semakin sempit dan dangkal dengan adanya sedimentasi terus menerus.
Aktivitas perikanan apong telah lama ada dan secara turun temurun
menempati tempat yang dijadikan hak milik bagi setiap nelayan. Permasalahan
timbul pada saat hasil tangkapan semakin berkurang ditambah dengan wilayah
penangkapan yang semakin sempit. Alat apong beroperasi di hampir menutup
perairan sehingga sering mengganggu alur pelayaran kapal penurnpang yang
melintas, terurama pada saat musim kemarau dengan kedalaman atau
ketinggian air waktu pasang relatif rendah.
Sumberdaya udang yang ada di kawasan Segara Anakan dapat terancam
dengan keberadaan alat tangkap apong, sehingga perlu diatur penggunaannya.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan, sehubungan
dengan keberlanjutan kawasan Segara Anakan sebagai salah satu kawasan
yang memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi.
Semoga Allah SWT. memberikan jalan yang terbaik untuk kelestarian
sumberdaya udang yang ada dan memberikan rizki yang lebih banyak bagi para
nelayan. Amin.

Bogor, Desember 2002
Suparman Sasmita


Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Pendahuluan

Latar Belakang ...............................................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................
Hipotesis ....................................................................................................
Pendekatan Masalah ........................... .
.
.....................................................
Kerangka Pemikiran ............................. .
.
..................................................
Tinjauan Pustaka

Pemanfaatan Sumberdaya Udang ...............................................................
Udang Penaeid .............................................................................................

Ekologi dan Daur Hidup Udang ...............................
.
................................
Kondisi Perairan .......................................................................................
Aktivitas Penangkapan Alat Apong ..............................................................
Konstruksi Alar Tangkap Apong ..................................................................
Daerah Penangkapan Alar Tangkap Apong ..............................................
Metodologi

Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................
Peralatan yang Digunakan .........................................................................
Pengumpulan Data .......................................................................................
Analisis Contoh dan Data .............................................................................
Hasil dan Pembahasan

Hasil Pengamatan .........................................................................................
Alat Tangkap Apong .........................................................................
Data Hasil Pengamatan ....................................................................
Hasil Analisis dan Pembahasan ..................................................................


Pengaruh Apong Terhadap Keberadaan Udang (penaeid) di Segara
Anakan .........................................................................................................

45

Alternatif Pengelolaan Perikanan Apong .................................................

49

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan .................................................................................................

53

Saran ............................................................................................................

54

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Habitat Udang Penaeid .............................................................................................

9

2. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ...........................................................

20

3 . Kondisi Ekonomi Nelayan Apong di Kelurahan Karang Anyar ............................... 50

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................................................
Kurva Hubungan Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..........................
Anatomi Udang Penaeidae

...............................................................................

Daur Hidup Udang ................................................................................................
Alat Tangkap Apong ...........................................................................................
Lokasi Penelitian dan Lokasi Pemasangan Alat Apong di Segara Anakan ......
Pengukuran Panjang Total dan Karapas Udang Penaeid ..................................
Konstruksi Jaring Apong Nelayan Karang Anyar. Cilacap .................................
Model Pemasangan Apong di Segara Anakan ...................................................
Grafik Hasil Pengukuran pH. Salinitas dan Suhu Perairan ................................
Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 1 ....................................................
Grafik Frekuensi Ukuran Panjang Total Penaeid (I4. elegans. M. Dobsoni. dan

P. Merguenssis) Hasil Tangkapan Seiama Bulan Gelap 1 ................................
Grafik Penyebaran Frekuensis (%) Panjang Karapas Penaeid (M. elegans. M.
Dobsoni. dan P. Merguenssis) Pada Bulan Gelap 1 ..........................................
Grafik Ratio Antara Panjang Karapas dan Panjang Total Penaeid Hasil
Tangkapan Apong Pada Bulan Gelap 1 ............................................................
Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 2 ...................................................
Grafik Frekuensi Ukuran Panjang Total Penaeid (M. elegans. M. Dobsoni. dan

P. Merguenssis) Hasil Tangkapan Selama Bulan Gelap 2 ................................
Grafik Penyebaran Frekuensis (%) Panjang Karapas Udang Penaeid (M.
elegans. M. Dobsoni. dan P. Merguenssis) Pada Bulan Gelap 2 ......................
Grafik Ratio Antara Panjang Karapas dan Panjang Total Penaeid Hasil
Tangkapan Apong Pada Bulan Gelap 2 ..............................................................
Grafik Catch per Effort Selama Bulan Gelap 3 ....................................................
Hasil Perhitungan PCA dari Hasil Tangkapan Udand (M. elegans. M. Dobsoni.
dan P. Merguenssis) Penaeid Selama Pene!itian ...............................................
Alternatif Pemasangan Apong .............................................................................

1. PENDAHULUAN

1.l.Latar belakang

Lokasi penangkapan ikan dan udang, pada umumnya berada di wilayah perairan
yang subur dengan bahan organik sebagai makanan bagi udang. Salah satu tempat yang
sesuai untuk pembesaran udang adalah daerah mangrove, meskipun masih sangat
tergantung dengan kondisi lingkungan (alam dan musim). Kondisi lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan dan udang tingkat kerusakan yang dilakukan
oleh manusia seperti pengrusakan hutan mangrove maupun secara alami terjadinya
sedimentasi yang cepat pada wilayah pesisir.
Daerah hutan mangrove memiliki potensi sumberdaya udang yang besar,
terutama dilihat dari kondisi perairan dan ditunjang dengan kondisi lingkungan yang baik
untuk pembesaran (nursery ground) dari berbagai jenis ikan dan udang, serta merupakan
tempat berkembang biak (spawning).

Kondisi ini diperlihatkan adanya penyediakan

potensi unsur-unsur makanan yang dibutuhkan ikan dan udang untuk tumbuh dan
didukung dengan adanya biota lain yang terkait dalam proses rantai makanan. Salah satu
daerah yang memiliki potensi untuk daerah pembesaran ikan dan udang adalah Segara
Anakan, Cilacap. Menurut White ef. a/. dalam Takasima dan Soewardi (1994), daerah
Segara Anakan dan lingkungan disekitarnya merupakan gambaran ekologi yang unik.
Adanya aktifitas nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya yang cenderung
berlebihan pada daerah mangrove dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan dan
keberadaan sumberdaya menjadi tidak lestari.

Nelayan dalam memanfaatkan

sumberdaya menggunakan alat tangkap sederhana (tradisional) atau alat tangkap yang
dimodifikasi sehingga alat tangkap tersebut memperoleh hasil tangkapan yang banyak.

Keadaan ini dapat mengakibatkan hilangnya beberapa jenis biota (ikan atau udang)
tertentu atau berpindahnya biota menuju ekosistem yang sesuai untuk perkembangannya.
Kondisi ini dialami oleh nelayan Cilacap khususnya yang melakukan penangkapan ikan
dan udang disekitar Segara Anakan (laguna).
Untuk betl'luktuasinya hasil tangkapan udang per satuan upaya perlu dilihat faktorfaktor penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga penyebab terjadinya penurunan hasil
tangkapan ikan dan udang per satuan upaya, yaitu jumlah upaya penangkapan yang telah
melampaui batas potensi yang maksimum lestari berimbang (Maximum Sustainable Yield,

MSY), berkurangnya areal hutan mangrove sebagai daerah penangkapan dan terjadi
perubahan alam seperti terjadinya sedimentasi yang berlebihan.
Adanya penyebab lain yang muncul dari sebagian besar pendapat nelayan
tradisional Segara Anakan yang menduga bahwa perikanan apong (sfasionary trawl) yang
beroperasi di sekitar Segara Anakan merupakan penyebab menurunnya hasil tangkapan
ikan dan udang. Dugaan ini berdasarkan asumsi, bahwa alat tangkap apong selain
menangkap udang berukuran besar, memperoleh hasil tangkapan berbagai macam jenis
udang berukuran kecil (larva) yang bernilai tinggi.
Hal ini dimungkinkan apabila melihat ukuran jaring yang digunakan pada alat
tangkap apong dimana badan jaring memiliki variasi ukuran mata jaring antara 4 hingga 5
inci, semakin mengecil hingga mencapai kantong yang menggunakan waring. Disamping
itu ukuran alat menentukan dari kedalaman lokasi pemasangan, dimana untuk ukuran alat
yang besar beroperasi pada kedalaman yang lebih dalam dari alat tangkap berukuran
kecil. Alat tangkap ini umumnya disebut jaring apong yang banyak dioperasikan nelayan
dengan berbagai ukuran panjang dan operasi penangkapan alat tangkap ini mengikuti
kondisi pasang surut perairan Segara Anakan. Disamping itu juga adanya kecenderungan

jumlah alat tangkap jaring apong di Segara Anakan semakin banyak, yaitu sekitar 1600
alat (berbagai ukuran) unit alat dan tersebar di perairan Segara Anakan mulai dari bagian
Barat hingga pintu Timur Segara Anakan.
1.2.

Tujuan dan manfaat penelitian
Penelitian yang akan dilakukan bertujuan :

I)

Mengkaji kelimpahan atau biomassa hasil tangkapan apong dan pengaruh kegiatan
perikanan apong terhadap kelestarian sumberdaya udang penaeid di Segara
Anakan.

2)

Mengidentifikasi pengaruh konstruksi alat apong serta teknik pemasangan alat
dalam operasi penangkapan nelayan.

3)

Memberikan alternatif pola penggunaan alat yang berguna bagi pengelolaan
sumberdaya udang agar tetap lestari.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kebutuhan pengelolaan penangkapan

apong sehingga tidak mengganggu kelestarian sumberdaya udang penaeid di perairan
Segara Anakan. Memberikan informasi dan masukan pada pemerintah setempat dalam
upaya penanganan permasalahan ekologi yang terjadi di kawasan Segara Anakan.

1.3.

Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam rangka mengarahkan penelitian ini antara lain:

I)

Komposisi hasil tangkapan apong terdapat pasca larva yang besar serta ikan pada
ukuran juvenil atau induk dalam jumlah yang besar.

2)

Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi semakin banyak, maka semakin
banyak juvenil udang yang diperoleh. Sehingga dapat mengganggu kelestarian
sumberdaya udang di areal tersebut.

3)

iumian utiang ydrrcj diperoleh uafi iiasii i a l ~ g ~ a p aaiat
n iangkap apong, iiiduga
berfluktuasi sesuai dengan waktu penangkapan (pasang surut, bulan, musim) serta
kondisi lingkungan perairan.

1.4.

Pendekatan Masalah
Aktifitas penangkapan yang menggunakan alat tangkap apong di kawasan Segara

Anakan berkembang dengan pesat. Sehingga untuk menduga dampak dari aktifitas
penangkapan alat tangkap apong terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan udang, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali daerah penangkapan dari
perikanan apong, dikaitkan dengan daur hidup udang. Dugaan demikian, dapat diketahui
pada stadia apa udang dan ikan tertangkap oleh alat apong.
Berdasarkan pambaran daur hidup tersebut, dapat disusun kerangka pemikiran
analisa pendugaan dampak perikanan jaring apong terhadap kelestarian sumberdaya
udang dan ikan (Gambar 1). Selanjutnya dapat di identifikasi beberapa parameter yang
ada untuk dijadikan bahan masukan dalam strategi pengelolaannya.
1.5.

Kerangka Pemikiran
Sumberdaya udang sangat tergantung dengan adanya aktifitas manusia berupa

kegiatan penangkapan salah satunya. Disamping terdapat pengaruh dari kondisi alam
iklim dan siklus hidup dari udang.
Aktivitas penangkapan menyebabkan dua pengaruh pada kelestarian sumberdaya
(populasi) udang, perfama, berdampak baik dan tetap menjaga kelestarian bila
penangkapan dilakukan dengan memperhatikan keberadaan sumberdaya, dan kedua,
dapat berdampak pada penurunan produksi dan menghilangnya populasi udang, bila
dilakukan penangkapan secara berlebihan (over fishing).

Pengelolaan pemanfaatan di pandang perlu dilakukan dengan memperhatikan
sumberdaya udang sebagai faktor pembatas, sehingga aktivitas pemanfaatan dapat
dilakukan secara bijaksana dan berwawasan lingkungan serta berkelanjutan. Kerangka
pemikiran secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1, berikut ini.

Kebutuhan Udangl
Masyarakat

I

, -k

Populasi Udang

Musim

Pemanfaatan Sumberdaya
Udang

Tangkap
I

1

Siklus

E
l
Armada

Sumberdaya
berkurang

ldentifikasi
permasalahan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pemanfaatan Sumberdaya Udang

Pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukan oleh nelayan merupakan salah
satu aktifitas yang berpengaruh terhadap perkembangan udang, terutama yang tumbuh di
daerah mangrove. Pengaruh penangkapan udang terjadi apabila semakin besar laju
penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim
berikutnya.
Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau
masih berukuran kecil (juvenilljuwana) dalam jumlah banyak. Kecenderungan yang terjadi
apabila laju penangkapan semakin meningkat, maka jumlah hasil tangkapan udang
semakin menurun dengan kondisi regenerasi yang sama. Bahkan dapat berakibat fatal,
yaitu terjadi kepunahan sumberdaya udang pada daerah tersebut.
Hubungan antara upaya penangkapan udang dan jumlah hasil tangkap akan
membentuk kurva, dimana titik maksimum dengan nilai

Fmax

yang berarti biologi adalah

sebuah titik puncaknya. Setelah mencapai titik puncak, dimana terjadi keseimbangan
antara jumlah tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) secara alami akan
mengalami penurunan atau tidak mengalami kestabilan sepanjang titik .,F,,

Kondisi

demikian dapat dilihat pada kurva hasil tangkap - upaya (Gambar 2).
Clark dalam Adrianto (1992) menyatakan, dengan adanya peningkatan jumlah
upaya penangkapan hingga melebihi titik Maksimum Susteinable yield (MSY), maka
pertambahan hasil tangkap akan bernilai negatif hingga mencapai titik no1 pada saat hasil
tangkapan sama dengan daya dukung perairan tersebut. Kondisi semacam ini yang

dinamakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih secara biologi (biological
overfishing).

Gambar 2. Kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Sparre and
Venema, 1998).

2.2. Udang Penaeid
Udang penaeid yang berada di Indonesia dikelompokan dalam tiga kategori
disamping udang barong dan udang lainnya. Ketiga kelompok tersebut adalah udang
windu atau giant tiger prawn (Penaeus monodon dan Penaeus semiculatus), udang putih
atau banana prawn (Penaeus merguensis de Man dan Penaeus indicus) dan udang dogol
atau metapenaeus shrimp (Metapenaeus spp.). Selanjutnya dari seluruh hasil tangkapan
udang, maka yang mendominasi hasil tangkapan udang di lndonesia terdiri dari berbagai
jenis spesies, yaitu Penaeus rnerguensis de Man, Penaeus monodon, Penaeus
semiculatus, Metapenaeus afinis, Mefapenaeus brevicornis dan Mefapenaeus ensis
(Nurfirman, 1992).
Udang penaeid memiliki ciri khas yaitu kaki jalan pertama-kedua-ketiga
mempunyai capit, dan kulit chitin (pleura) pada segmen perut yang pertama tidak tertindih
oleh kulit chitin pada degmen perut berikutnya. Secara umum siklus hidup udang penaeid,
terbagi atas 3 kelompok, yaitu (1) keseiuruhan hidupnya di muara sungai, seperti

rbierapenaeus bannettae, dan M. insoliius, (2) keseluruhan hidupnya dl lautan, seperti
Parapenaeus, Hymenopenaeus, Gennades, Aristaeomorpha, dan Funchalia, (3)
keseluruhan hidupnya terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai,
seperti udang penaeus (Kirkegaard, 1973 dalam Asbar, 1994).
Murtidjo (1989), menggambarkan morfologi udang penaeid, dimana bagian
abdomen atau separuh tubuh yang memiliki ekor, dapat dilihat adanya kaki renang
(pleopoda), dan pada kaki keenam akan mengalami perubahan bentuk menjadi sirip ekor
(uropoda), serta ujung ruas membentuk ujung ekor (telson). Selain itu dibawah pangkal
ujung ekor terdapat anus untuk ekskresi kotoran.
Menurut Grey ef.al. (1983), udang jerbung memiliki tubuh berwarna putih
kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit tipis serta tembus cahaya. Rostrum
berbentuk memanjang, langsing dan hampir berbentuk segi tiga. Pada pasangan sungut
pendek (antennule) terdapat ban-ban berwarna merah kecoklatan dan memiliki bintik-bintik
coklat dan hijau pada ujung ekornya (Gambar 3).
Disamping itu terdapat kaki jalan dan kaki renang udang jerbung berwarna
kekuningan dan terkadang berwarna kemerahan. Sirip ekor (uropod) yang berwarna
merah kecoklatan dengan ujung kuning kemerahan atau terkadang sedikit kebiruan.
Udang jerbung dapat mencapai panjang total hingga 24 cm (Naarnin, 1977).

2.3. Ekologi dan Daur Hidup Udang
Udang penaeid di lndonesia terdapat 42 jenis, jenis-jenis yang termasuk ke dalam
genera Penaeus dan Metapenaeus merupakan jenis-jenis utama yang menunjang
perikanan udang lndonesia (Naamin, 1984). Menurut Badrudin dan Barus (1991),

penyebaran udang laut (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) banyak ditemukan hampir
disepanjang pantai landai dan dipengaruhi oleh adanya aliran sungai.
Pada Tabel 1. diperlihatkan habitat dari beberapa udang penaeid yang bernilai
ekonomis tinggi yang terdapat di Indonesia (Holthuis (1980), Unar (1977), Naamin (1975)
dalam Nurfirman (1992)). Udang penaeid umumnya hidup di dasar perairan, dengan
dasar lumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Hal ini terkait dengan kebiasaan makan
penaeid yang makanannya terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat
didasar. Seperti contoh Udang Jerbung hidup didasar berlumpur pada kedalaman 10 - 45
meter.
Secara umum udang penaeid mencari makan pada dasar perairan, yaitu sebagai
detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar. Dasar perairan yang sesuai bagi
udang penaeid berupa lumpur, berpasir dan lumpur berpasir.
Tabel 1. Habitat Udang Penaeid
-

Spesies

Habitat

I

Ukuran Maksimum i
4

Udang Putih
(Penaeus merguensis de Man)

Dasar berlumpur, di muara sungai, 24 cm
estuari, dan hut, kedalaman 10 - 45 m.

Udang Windu
(Penaeus monodon)

Perairan pantai berlumpur atau 24 cm
berpasir, ditambak-tambak dan muara 270 gr
sungai kedalaman 0 - 110 m

Udang Putih
(Penaeus indicus)

Perairan dengan dasar lunak (lumpur 22 cm (bentina)
atau lumpur berpasir), daerah yang
banyak menerima aliran sungai besar;
8 cm (Jantan)
kedalaman 2 - 90 m

Udang Windul
Udang Kembang

Perairan dengan dasar berlumpur atau 23 cm (betina)
berpasir

Penaeus semiculatus

Kedalaman 2 -1 30 m

Metapenaeus affinis

Dasar berlumpur; kedalaman 5 - 92 m

M. brevicornis

Estuari dan laut; kedalaman 0 - 30 m

18 cm (jantan)
22 cm (umumn~a
17 cm)
10 cm (betina)
8 cm (jantan)

I
I

-

-

- - - --

-

--

- - --

---

M. ensis

I M monoceros
I

I

-

Habitat

Spesies

Ukuran Maksimum

Estuari dan laut dengan dasar lumpur 16 (betina)
berpasir
Tambak-tambak; 0 -64 m

13 cm (jantan)

Perairan dasar lumpur, berpasir, 19 cm (betina)
tambak-tambak; kedalaman 1 - 60 m; 15 cm (jantan)
umumnya 10 - 30 m

'

I Muara sungai dan saluran tambak
Parapenaeosis sp.
Sumber : Nurfirman dalam Lindawaty (1994)

Josoef dalam Aziz eta/. (2001), menerangkan bahwa Panaeus merguensis dan P,

indicus mempunyai daya penyesuaian yang besar terhadap semua tipe dasar perairan,

tetapi lebih menyukai dasar perairan lempung liat. P. monodon lebih menyukai tekstur
dasar perairan lempung berdebu (lumpur pasir). Udang Windu lebih menyukasi perairan
yang terlindung dari musim barat, seperti teluk Lampung dan perairan selatan jawa
khususnya di pantai Pangandaran-Cilacap.
Umumnya juvenile udang atau juwana terutama Penaeus Monodon berada di
wilayah perairan estuaria yang dipengaruhi oleh air sungai yang telah dewasa berada
pada perairan dalam (Grey ef. a1.,1983). Udang penaeid bersifat bentik yang hidup pada
permukaan dasar perairan laut. Habitat yang disukai adalah dasar laut yang lunak,
biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Unar dalam Dahuri, 1984).
Menurut Lindawaty (1994), udang penaeid umumnya hidup didasar berlumpur,
berpasir, atau lumpur berpasir. Hal ini berhubungan erat dengan makanan dan cara makan
dari udang. Makanan udang terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat di
dasar perairan
Menurut Aziz et. al. (2001), beberapa jenis udang melakukan aktivitas makannya
siang dan malam dan jarang membenamkan diri dalam substar seperti udang jerbung dan
udang lainnya (udang dogol) lebih senang keluar dari substrat pada malam hari. Udang

I

jerbung meencari makan di atas atau dalam sedimen di dasar perairan, yaitu berupa
detritus, organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air. Selanjutnya untuk jenis
udang seperti Penaeus esculatus, P. merguensis, P. plebejus dan Metapenaeus spp.
terdiri dari sisa-sisa hewan kecil dan sebagian besar material yang tidak dikenal dari
makanan mikroorganisme (bakteri, ganggang dan mikrofauna) yang tumbuh di permukaan
substrat.
Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai cukup besar dan bervegetasi
mangrove merupakan daerah udang penaeid yang baik (Kirkegraad dalam Naamin, 1984).
Daerah Selatan Jawa yang memiliki bentuk teluk, salah satunya adalah kawasan Segara
Anakan, dengan potensi pengaliran air sungai dari beberapa lokasi berbeda yang cukup
besar memberikan masukan air tawar dan hutan mangrove yang cukup luas, sehingga
perairan ini dapat memenuhi kesuburannya sebagai daerah berkembangnya udang.
Beberapa wilayah di Indonesia memiliki beberapa daerah udalig yang baik, seperti
pantai barat sumatera (Meulaboh, Sibolga, dan Air Bangis); pantai timur sumatera mulai
dari langsa di sebelah utara sampai teluk lampung di sebelah selatan; sepanjang pantai
utara jawa; pantai selatan jawa (Pangandaran, Cilacap, selatan Yogya, Pacitan, Nusa
Barung, dan Grajagan); perairan Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, dan Timur);
Sulawesi (Teluk Bone dan Selat Makasar); dan perairan Maluku-lrian Jaya (Laut Arafuru
dan sekitarnya) (Naamin, 1984).
Berdasarkan berbagai hasil penelitian oleh para pakar udang di dunia yang
dirangkum oleh Naamin (1984), bahwa selain keadaan dasar laut dan aliran air sungai
beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perikanan
udang penaeid adalah suhu, salinitas, oksigen, sedimentasi, curah hujan, kekeruhan, arus
dan pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau malam), unsur hara, dan

keadaan hutan mangrove. Menurut Gunarso (1985), keadaan perairan serta perubahan
akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Selanjutnya faktor musim dan
perubahan suhu tahunan akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan suatu jenis
ikan, karena terjadi pula perubahan kelimpahan makanan.
Kehidupan udang penaeid di alam secara garis besar meliputi dua fase, yaitu fase
lautan dan fase muara sungai (Toro dan Soegiarto, 1979). Menurut Gracia dan Le Reste
dalam Aziz ef.al, (2001) mengungkapkan bahwa secara ekosistem, penyebaran udang
dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah muara sungai atau estuaria (sebagai spawning
ground) dan daerah lepas pantai pada stadia dewasa. Udang penaeid secara fisiologis
juga, mengalami perubahan kapasitas dengan kenyataan hidup yang harus dijalani, yaitu
bermigrasi dari satu kondisi lingkungan menuju kondisi lingkungan lainnya.
Daur hidup kelompok udang ini dimulai dari induk udang betina yang memijahkan
telurnya di daerah laut terbuka. Selanjutnya kira-kira setelah 24 jam, telur menetas
menjadi larva tingkat pertama yang dinamakan nauptilus bersifat planktonis. Nauplius ini
bergerak mengikuti arus kearah pantai atau muara sungai.
Menurut Aziz ef. al. (2001), telur penaeid menetas setelah 24 jam dan menjadi
larva (nauplius), selanjutnya mengalami delapan kali pergantian kulit (molting) dan
berubah menjadi profozoea. Protozoea berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit,
dimana pada masa ini bersifat planktonis. Mysis akan menjadi pascalarva setelah berganti
kulit sebanyak tiga kali.
Matosudarmo dan Ranamihardjo (1983) menjelaskan, stadia nauplius berlangsung
sekitar 35 jam pada Penaeus japanicus dan 46 jam untuk Penaeus monodon. Setelah
mengalami molting atau pergantian kulit selama enam kali nauptilus berubah menjadi
mysis selama 3-6 hari (De Los Santos dalam Asbar, 1994). Mysis berubah menjadi pasca

(PL) setelan tiga kali berganti kulit. Umumnya pada pasca larva memiliki pleopoda

berambut (satae) untuk berenang dan merupakan stadia yang sudah mencapai daerah
asuhan (nursery ground) di perairan pantai, serta mulai menuju ke dasar perairan.
Pascalarva merupakan tingkat yang sudah mencapai daerah asuhan di dasar
perairan, dirnana pada masa ini secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah
mengalami bebrapa kali pergantian kulit. Yuwana mencari makan dan tumbuh di daerah
asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian akan mulai beruaya kearah laut seiring
dengan kematangan gonad. Udang akan matang gonad dan memijah di laut. Setelah
matang gonad udang melepaskan telurnya ke laut untuk segera dibuahi sedangkan jenis
udang lain umurnnya menyimpan telurnya samapi menetas menjadi larva.

Fase

kematangan gonad mengalami lima tahapan, yaitu belum berkembang (kondisi kantung
telur), proses berkembang, hampir matang, matang, dan salin. Fekunditas diperkirakan
antara 30.000 - 180.000 telur (Aziz et.al., 2001)
Menurut lmai (1977), berpindahnya udang dari daerah asuhan menuju laut terjadi
pada saat udang sudah matang gonad. Pada dearah laut terbuka udang penaeus menjadi
dewasa kelamin dan melakukan pemijahan. Secara umum gambaran siklus udang dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 2. Anatomi Udang Penaeidae (Grey et. Al. 1983)

Gambar 3. Siklus Udang Penaeidae (Munro, 1986)

2.4.

Kondisi Perairan

Perairan kelurahan Karanganyar termasuk daerah Segara Anakan bagian barat.
Kawasan ~ nmerupakan
i
perairan estuaria yang dinamik, sangat dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dan memiliki suplai air tawar dari beberapa sungai. Sungai yang berakhir di
kawasan Segara Anakan antar lain: sungai Citanduy dan Cibeureum, dimana kedua aliran
sungai ini berpotensi membawa partikel sedimen. Sehingga pengaruh keduanya terhadap
perairan cukup besar, salah satunya dapat mengakibatkan pendangkalan pada daerah
akhir atau kawasan Segara Anakan.
Perubahan kualitas perairan di kawasan ini sangat cepat. Komponen yang dapat
mempengaruhi kualitas perairan antara lain:
a) Pasang Surut
Pengaruh masuknya air laut dari laut lepas menyebabkan berfluktuasinya nilai
kualitas air. Menurut Purba et. a1 dalam Matsuyama et. a/. (1994), Pergerakan air di
kawasana Segara Anakan dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari dua sumber
yaitu, bagian barat dan timur estuaria. Fluktuasi permukaan air laut mengalami dua kali
pasang (M2) atau semidiurnal mencapai 0,5 m di luar estuari.
Menurut Defant, Pasang surut di sepanjang pantai selatan Jawa dominan bersifat
semidiurnal, dimana terjadi dua kali pasang (M2) yang berlangsung kontinyu (Matsuyama
et. al., 1994).
Selanjutnya Matsuyama ef. a/. (1994) mengungkapkan maksimum kecepatan
berasal dari pintu barat Segara Anakan dan berkisar 1,5 meterldetik. Pengaruh pasang ini
mencapai majingklak dan kelurahan klaces, dimana pengaruh pasang melemah pada
sekitar mulut sungai Cibereum dan Cikonde yang ber!angsung selama 3 jam.

Pada kondisi pasang umumnya nelayan apong tidak melakukan pemasangan
apong, akan tetapi melakukan persiapan hingga terjadi surut.
b) Suhu
Adanya perubahan pasang surut dapat berpengaruh terhadap suhu perairan.
Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di perairan adalah fotosintesa tumbuhan
air dan proses fisologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus reproduksinya.
c) pH dan Salinitas
Nilai pH dan salinitas pada perairan Segara Anakan mengalami fluktuasi, dan
sangat tergantung besar kecilnya pengaruh pasang surut dan suplai air yang berasal dari
sungai di sekitar perairan.
Menurut hasil penelitian Taurusman (1999), nilai pH di muara sungai Citanduy
pada waktu kemarau sebesar 6,70 dan salinitas 0, sedangkan pada musim hujan nilai pH
sebesar 7.33 dan salinitas 0,5 %o. Pada daerah tengah laguna pada musim kemarau nilai
pH mencapai 7,11 dengan salinitas 3,O%o, sedangkan pada musim hujan nilai pH sebesar
7.48 dan salinitas 4,O %o.

Sehingga pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya

sangat menentukan.
2.5.

Aktivitas Penangkapan Alat Apong

Alat tangkap yang beroperasi di sekitar Segara Anakan terdiri dari berbagai jenis
diantaranya; jaring lempar, wadong, widei, jaring nilon, dan apong. Lokasi penangkapan
udang dengan alat tangkap tersebut bervariasi, dan sangat tergantung dengan kedalaman
dan sifat alam seperti pasang surut air. Alat jaring dioperasikan pada saat air mulai surut
disekitar mangrove, dimana udang yang berada di hutan mangrove keluar untuk mencari
makanan. Wadong dan jaring nilon memiliki waktu beroperasi yang hampir sama, akan
tetapi alat tersebut merupakan jebakan bagi kepiting yang keluar saat air pasang.

Sedangkan alat tangkap apong yang beroperasi di kawasan Segara Anakan memiliki
jumlah alat yang dominan.
Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi di Segara Anakan semakin meningkat
dan daerah operasi penangkapannya selalu tetap. Setiap satu alat apong memiliki tiang
yang diberi tanda untuk membedakan dengan milik nelayan lainnya. Tiang tanda pada
daerah operasi penangkapan apong biasanya dimiliki secara turun temurun, sehingga
kepemilikan tanda ini tidak dapat diganggu oleh nelayan lain.
2.6.

Konstruksi Alat Tangkap Apong
Alat tangkap apong sejak lama diperkenalkan nelayan dengan menjanjikan hasil

tangkapan yang besar. Alat ini memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl, yaitu
bentuk kantong yang menggunakan ukuran mata jaring besar pada mulut kantong dan
semakin menuju kantong akan semakin mengecil hingga mirip berbentuk kantong besar.
Ukuran alat ini bervariasi, karena tergantung dengan kedalaman lokasi penangkapan.
Ukuran alat yang kecil dikenal dengan nama kisril, sedangkan yang besar disebut sebagai
apong.
Alat tangkap apong yang dioperasikan nelayan terdiri dari 2 (dua) ukuran, yaitu
berukuran besar (apong) dan kecil (kisril). Ukuran besar memiliki bentuk bukaan mulut
hingga mencapai 15 meter, sedangkan ukuran kecil hanya mencapai 5 meter (Gambar 5).
Apong termasuk alat tangkap yang menetap yang dipasang pada kedalaman 3 - 5
m. Konstruksi alat tangkap ini terdiri dari sepasang sayap dan kantong. Alat tangkap ini
diikatkan pada tiang kayu yang dipasang pada dasar perairan. Pemasangan jaring
dilakukan selama seminggu dan diambil hasil tangkapannya setiap hari. Hasil tangkapan
udang dan ikan demersal merupakan hasil terbanyak (Takashima, F. dan Suwardi K.,

1994)

Apong dipasang pada saat air pasang hingga air surut, dimana saat air surut
udang yang melakukan ruaya ke laut akan terperangkap di dalam jaring yang berbentuk
kantung. Jenis ikan yang diperoleh dari penangkapan apong ini sangat banyak jenisnya,
disamping udang kecil dan ikan yang melakukan ruaya menuju wilayah Segara Anakan.
Penggunaan alat tangkap apong sangat tergantung dengan keadaan pasang surut
perairan dan musim. Penghitungan kondisi pasang surut menentukan keberhasilan operasi
penangkapan yang pada umumnya dihitung sesuai dengan keberadaan bulan. Pengaruh
musim ikan akan menentukan jumlah dominan udang atau ikan tertentu pada hasil
tangkapan yang diperoleh.

Gambar 5. Alat Tangkap Apong

2.7. Daerah Penangkapan Alat Tangkap Apong
Alat tangkap apong yang beroperasi di sekitar Segara Anakan pada umumnya
berada pada aeral yang terpengaruh langsung dengan pasang surut perairan. Disamping

itu adanya tingkah laku ikan yang selalu mengikuti perubahan pasang surut dan umumnya
melintas pada pinggir perairan, sehingga pemasangan alat dilakukan pada pinggir
perairan, namun ditemukan banyak sekali alat yang dipasang ditengah perairan dan
mengganggu aktifitas transportasi air di Segara Anakan.

3.1.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Juli - September 2001. Waktu penelitian
tersebut telah termasuk pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diambil
langsung di lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas pemerintah
dan instansi terkait.
Lokasi penelitian berada di sekitar wilayah Segara Anakan terutama daerah
pelawangan barat dan timur segara tersebut. Pada daerah pelawangan barat berada di
sekitar parairan Kelurahan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap (Gambar 6)
3.2.

Peralatan yang digunakan

Peralatan ini ditujukan untuk memperoleh informasi penunjang bagi penelitian yang
dilakukan. Peralatan yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Peralatan yang digunakan dalam penelitian

I No. I
Uraian
I A. Alat Ukur
/ 1 I Panjang Biota (udang)
/ 2 1 Berat Biomass
/ 3 / Keasaman Perairan (pH)

I Jenis Alat
I
I Penggaris
I Timbangan
/ Kertas Lakmus

1
1
1
1
1

14
15

1 Gambaran Biota

I Kamera

(

ITermometer

I
I

6

Suhu Perairan
Penentuan Lokasi

GPS

B. Alat Bantu

1 1 I Pengawet Sampel
12
1

I Formalin
I Kapallperahu

1
I

TELUK PENYU

SAMUDERA INDONESIA

200

0

200

400 Km

Pots Rupr Buml Skale 1 , 2 5 000
BAKOSURTANAL 1998

3.3.

Pengumpuian Data

a). Data Primer
Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan dengan mengikuti operasi
nelayan apong di daerah penelitian setiap waktu penangkapan (15 trip) dan nelayan apong
yang dipilih secara acak. Data primer yang dikumpulkan meliputi (1) komposisi hasil
tangkapan perikanan apong, (2) suhu perairan, (3) Kedalaman perairan, (4) keadaan bulan
(gelap atau terang), (5) salinitas dan (6) data diri nelayan. Dalam komposisi hasil
tangkapan mencakup komposisi jumlah dan berat.
Data keadaan ekonomi dan motivasi nelayan apong sebanyak 20 % dari populasi
jumlah penduduk disetiap desa lokasi penelitian yang dimabil secara acak mencakup
tanggapan nelayan apabila ada pengaturan operasi apong.
Penentuan lokasi pengambilan contoh dilakukan secara acak, yaitu di sekitar
Desa Karang Anyar dan pintu keluar arah laut (sekitar Majingklak). Pengambilan sampel
dilakukan setiap 2 hari selama musim penangkapan untuk setiap ukuran alat.
b). Data Sekunder
Data sekunder berupa jumlah unit alat tangkap apong dan hasil tangkapannya
diperoleh dari Manajemen Proyek Segara Anakan Cilacap, dan dinas perikanan setempat.
3.4.

Analisis Contoh dan Data

Contoh hasil tangkapan apong diidentifikasi dan dianalisis di laboratorium tingkah
laku ikan, FPIK-IPB. Kunci identifikasi yang digunakan antara lain Saanin (1968), dan
Schuster, W.H. dan D. Rustami (1952).
Pada penelitian ini dapat diperoleh jumlah hasil tangkapan pada ukuran alat dan
lokasi operasi penangkapan dengan apong yang berbeda. Struktur populasi dari hasil

tangkapan berupa jumlah dan jenis udang hasil tangkapan selta jumlah individu per jenis
udang.

1)

Sistem Pengukuran Udang
Untuk ukuran udang di ukur panjang total dan panjang karapas udang. Panjang

t ~ t a udang
l
merupakan panjang dimulai dari ujung pangkal karapas hingga ekor udang
(telson). Panjang karapas diukur mulai pangkal karapas depan hingga batas karapas
udang dengan badan. Selanjutnya sistem pengukuran ini dapat dilihat pada Gambar 7
berikut.

.

a

Keteranga: a = Panjang Total; b = Panjang Karapas

Garnbar 7. Pengukuran Panjang Total dan Karapas Udang Penaeid
2)

Uji Kenormalan Liliefors
Untuk mengetahui data yang diperoleh rnenyebar normal, data sampel dianalisis

dengan menggunakan uji kenormalan Liliefors. Menurut Nasution, A.H dan Barizi (1988),
uji kenormalan ini berdasarkan besaran :

atau beda mutlak maksimum antara F(Zi) - S (Zi), untuk i = 1,2,3, ......n. Kaidah
keputusannya adalah jika L 5 L a(n), gagal tolak Ho, sedangkan bila L > L a(n) , tolak Ho.

Nilai L

dapat diperoleh dari daftar tabel (Nasutiotl A.H, 1985), dimana a merupakan

taraf uji bagi kaidah L.

3)

Frekuensi Ratio Ukuran Udang (Penaeid)
Pengukuran dilakukan dengan mengambil ukuran karapas dan panjang individu

menggunakan alat ukur. Hasil tangkapan yang diukur panjangnya dilakukan pada setiap
1

trip atau setting pada bulan gelap yang berbeda (kuartal I dan kuartal 11). Frekuensi ukuran
udang (penaeid) hasil tangkapan di tampilkan dalam bentuk grafik.
4)

Uji Jumlah-Peringkat Wilcoxon
Untuk membandingkan nilai tengah dua populasi salah satunya dengan

menggunakan uji jumlah-peringkat Wilcoxon.

Data sampel yang dianalisis akan

membuktikan sama atau tidak nilai tengah dari sampel hasil tangkapan dan ukuran
karapas pada setiap bulan gelap.
Pengujian Ho bahwa IJI = 1 2 atau 11# p2, dengan cara menarik satu contoh acak
dai masing-masing populasi. Populasi nl dan n2 digabung, selanjutnya dilakukan
pemberian peringkat. Bagi pengamatan yang termasuk dalam contoh yang lebih kecil di
beri tanda dan dijumlahkan peringkatnya (WI) (Walpole, 1995):

dimana :
W I , W ~:

n;

Peubah acak w 1 dan 2

: Peringkat sampel

Hipotes~sno1 pl = p2 kita tolak dan alternatifnya p1< p2 diterima hanya bila wl kecil
dan w2 besar. Begitu pula alternatif pi > p2 diterima hanya bila wl besar dan w2 kecil.
Untuk uji dua arah menolak hipotesis no1 dan menerima hipotesis satu bila wl kecil dan w2
besar atau bila wl besar dan w2 kecil. Dengan kata lain, alternatif pl < p2 diterima bila w2
cukup kecil dan alternatif 11# p2 diterima bila yang terkecil diantara wl dan w2 cukup kecil.
5)

Pengelompokkan Habitat
Pengelompokan habitat berdasarakan data hasil tangkapan udang dengan

menggunakan alat tangkap apong dari setiap setting alat atau trip yang dilakukan pada
setiap bulan gelap. Pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen
Utama (Principal Componen Analysis, PCA) (Bengen, 1998) yang merupakan metode
statistik deskriptif, berfungsi untuk menginterpretasikan dalam bentuk grafik, informasi
maksimum yang terdapat suatu matrik data.
Matrik data terdiri dari stasiun yang mewakili trip atau setting alat tangkap sebagai
kolom dan hasil tangkapan (jenis penaeid) yang dominan diperoleh dari hasil tangkapan
sebagai baris.

Sebelum data tersebut dianalisis komponen utama terlebih dahulu

dinormalisasi melalui pemisahan dan pereduksian.
Pada prinsipnya PCA menggunakan Jarak Euclidean yang didasarkan pada
rumus berikut:

Keterangan:
i,i'

jenis udang

J

= variabel trip

Jarak Euclidean antar waktu penangkapan (trip) makin kecil, maka jenis udang
antar setiap trip, demikian juga sebatiknya.

4. HASlL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan
4.1.1. Alat Tangkap Apong

Secara umum konstruksi alat tangkap apong terdiri dari sayap, badan kantung dan
kantung akhir. Seluruh komponennya terdiri dari jaring dengan berbagai ukuran yang
dibentuk dengan pola yang ada, sehingga menlbentuk jaring dengan kantung. Ukuran alat
apong yang dioperasikan nelayan sangat bervariasi, disesuaikan dengan lokasi atau
tempat memasang alat dan kedalaman perairan pada lokasi tersebut.
Alat tangkap apong yang berukuran kecil (kisril) biasanya dioperasikan pada
daerah dangkal dengan kedalaman 4 hingga 6 meter, sedangkan dengan ukuran besar
yang dikenal dengan nama apong dioperasikan pada kedalaman lebih dari 10 meter.
Jaring apong ini dilengkapi dengan pelampung dan tali (rope) yang diikatkan pada patok
yang telah disediakan.
Konstruksi jaring apong pada bagian sayap berukuran setengah dari panjang ke
seluruhan jaring. Pada umumnya panjang apong besar dapat mencapai kurang lebih SO
meter dengan panjang sayap 15 meter, dan ukuran mata jaring yang digunakan berukuran

4 inci hingga waring pada bagian kantung. Bagian badan jaring terbagi dalam beberapa
ukuran mata jaring semakin kecil hingga mencapai bagian kantung, yaitu 3 meter mulai
dari mulut jaring dengan ukuran mata jaring 1,5 inch, 3 meter dengan ukuran mata jaring 1
inch, 1,5 meter dengan ukuran mata jaring 0,75 inch, 1,5 meter dengan ukuran mata jaring
0,5 inch, dan selanjutnya hingga akhir kantung jaring merupakan waring yang dibentuk
kantung. Untuk bagian sayap terdiri dari beberapa ukuran mata jaring yang digunakan,

yaitu 6 dan 4 inch dan dipasang beberapa pemberat (batu) serta pelampung tanda pada
bagian mulut kantung atau kantung akhir (Gambar 8).

Gambar 8. Konstruksi Jaring Apong Nelayan Karang Anyar, Cilacap.
Untuk waktu tertentu aktifitas nelayan apong sangat rendah, ha1 ini terlihat nelayan
melakukan aktifitas penangkapan dimulai pada saat bulan sudah mendekati bulan gelap

hingga menjelang bulan terang. Kondisi ini terlihat teratur setiap bulannya, terlihat pada
data lapangan, dimana aktifitas nelayan banyak dilakukan pada setiap bulan gelap.
Teknik pemasangan alat apong yang dilakukan nelayan bervariasi dan dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu secara paralel dan seri. Pemasangan secara paralel, yaitu
dengan memasang jaring mulai dari dekat pinggiran laguna hingga ke tengah, secara
sejajar, sedangkan yang dipasang seri, yaitu jaring yang dipasang mengikuti pinggir
daratan atau sejajar dengan pinggiran (bantaran) sungai atau daratan. Selanjutnya dapat
dilihat pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Model Pemasangan Apong di Segara Anakan
Biasanya nelayan melakukan operasi mengikuti perubahan pasang dan surut air,
dimana biasanya mulai bulan mendekati gelap dan kembali ke menjelang bulan terang
bergeser selama 1 jam. Lamanya pemasangan dimulai pada saat perairan mulai surut
dan mengangkat jaring, pada saat menjelang surut terendah atau diperkirakan hasil
tangkapan yang sudah banyak, karena bila yang di tangkap terlalu banyak kemungkinan
jaring putus atau rusak akan lebih besar.

4.1.2. Data Hasil Pengamatan
Data pengamatan yang diperoleh saat penelitian antara lain suhu perairan yang
diukur dengan menggunakan termometer pada saat surut menunjukkan 20 hingga 27 "C,
Salinitas pada perairan saat

sedangkan saat pasang menunjukkan 24 hingga 28 "C.

surut bernilai 6 hingga 9 %O dan saat pasang bernilai 13 hingga 20 %o. Nilai kadar asam
(pH) perairan yang diperoleh saat penelitian berkisar antara 5,8 hingga 7 (Gambar 10).

/ - - c - - Salinitas

I

Pasang ("I,)
--t-Su hu Surut
j

'

5

("C)

Ulangan

Gambar 10. Grafik Hasil Pengukuran pH, Salinitas, dan Suhu Perairan.
Jumlah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan pada saat ini sudah
mencapai 1600 unit dengan berbagai ukuran. Pemasangan alat tangkap dilakukan pada
tempat-tempat yang telah mereka tentukan dan sudah dianggap milik oleh nelayan.
Penelitian dilakukan pada saat aktifitas penangkapan mulai menurun, dimana
dikenal dengan istilah ngember. lstilah daerah ini berarti kondisi perairan pada saat itu
dianggap bening sehingga perairan nampak cerah. Kecerahan air mempengaruhi operasi
penangkapan, sehingga udang dapat menghind