mereka sebagai etnis pendatang. Meskipun lembaga adat dan pemerintah desa telah memberikan jaminan dan pengakuan bahwa mereka adalah warga Toro,
etnis Rampi tetap merasa khawatir terutama terhadap kepastian hak penguasaan dan pemilikan lahan di Toro. Penjelasan terhadap kasus tersebut
disampaikan oleh salah seorang anggota lembaga adat di Toro, yang menyatakan bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan latar sejarah kedatangan
dan proses perolehan lahan etnis Rampi dan Uma di Toro. Kedua etnis ini memperoleh lahan garapan melalui pemberian dan sebagian melalui pembelian
terutama etnis Uma, bukan melalui proses pembukaan lahan mo’pangale. Olehnya, kedua etnis ini tidak berhak terhadap lahan-lahan yang dahulunya telah
di buka oleh orang-orang tua etnis asli di Toro Oma dan Pangale. Di kedua tipe lahan ini umumnya telah memiliki status penguasaan yang jelas, meskipun
hingga saat ini lahan-lahan tersebut tidak atau belum dikelola masyarakat. Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh etnis pendatang untuk
memperoleh lahan adalah dengan cara pembelian kepada etnis asli. Dalam proses jual beli yang melibatkan etnis Rampi maupun Uma biasanya dilakukan di
kantor Desa. Inisiatif yang datang dari etnis Rampi maupun Uma merupakan salah satu upaya mereka untuk memperoleh jaminan atas transaksi jual beli
lahan yang mereka lakukan. Setelah itu mereka mengupayakan untuk segera memperoleh surat keterangan dari desa, baik itu berupa surat penyerahan,
maupun surat keterangan, yang intinya menyatakan bahwa tanah tersebut telah dibeli dan kini sah menjadi milik mereka.
2. Dinamika Eksternal Lembaga swadaya masyarakat dan dinamika sosial di Toro
Gerakan ORNOP di Sulawesi Tengah mulai muncul sekitar tahun 1980-an dengan isu lingkungan hidup sebagai ruang lingkup aksinya. Dalam
perkembangannya ORNOP-ORNOP tersebut mulai menunjukkan orientasi dan spesialisasi yang berbeda, seperti kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat
community development dan advokasi lingkungan shohibuddin 2003. Perkembangan ORNOP tidak saja pada lingkup lokal, namun juga muncul
melalui jalur internasional seperti CARE dan TNC. Hal yang mencirikan ORNOP internasional adalah orientasi gerakan yang lebih difokuskan pada isu-isu
konservasi di dalam dan di sekitar TNLL.
Isu-isu beragam yang diperjuangkan oleh tiap-tiap ORNOP sering menimbulkan persaingan, utamanya dalam memperebutkan basis atau
dampingan demi mendapatkan dukungan di tingkat masyarakat. Kondisi ini justeru menimbulkan dampak negatif terhadap eksistensi masyarakat khususnya
dalam memanfaatkan sumberdaya alam, seperti kasus yang dialami Dongi- dongi
18
di kawasan TNLL Alimudin Paada 2006, diskusi pribadi. Dalam konteks Toro, secara internal mereka telah memproteksi diri
terhadap kemungkinan terjadinya hal tersebut. Para tokoh pimpinan di Toro selalu menekankan bahwa ”masyarakat Toro bukanlah dampingan dari ORNOP
manapun”. Namun mereka tetap terbuka bagi kehadiran berbagai ORNOP di Toro, selama memiliki misi dan tujuan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat dapat leluasa berinteraksi dengan pihak manapun, yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Toro.
Di masa perjuangan 1993 – 2000, ORNOP yang pertama masuk di Toro adalah CARE 1994. ORNOP ini membawa misi community development,
dengan sasaran utama untuk membantu peningkatan keterampilan masyarakat di Toro melalui pelatihan pembuatan baju adat yang terbuat dari kulit kayu.
Selang dua tahun kemudian atau tepatnya di tahun 1996, CARE kembali memfasilitasi pembuatan sarana sanitasi air. Dalam pelaksanaannya, CARE
memfasilitasi bahan
baku dan
masyarakat secara
bergotong-royong mengerjakannya.
Ditahun 1999 masyarakat Toro bersama-sama dengan Yayasan Tanah Merdeka YTM dan Yayasan Pendidikan Rakyat RPR melaksanakan
pertemuan tingkat regional masyarakat adat se-Sulawesi Tengah. Di tahun yang sama Natural Resource Management NRM bekerjasama dengan Yayasan
JAMBATA juga melangsungkan workshop di Toro terkait dengan tema pemberdayaan kelompok pengrajin baju adat di sekitar TNLL. Pada akhir tahun
1999, atas prakarsa masyarakat Toro difasilitasi oleh YTM dan Jaringan Kemitraan Pemetaan Partisipatif JKPP melakukan penggalian pengetahuan
tradisional di Toro dan pembuatan peta partisipatif penggunaan lahan tradisional di Toro.
18
Rusaknya kawasan hutan Dongi-dongi merupakan akibat nyata adanya kotroversi dari berbagai ORNOP yang pro dan kontra terhadap pendudukan masyarakat pada kawasan konservasi
Dongi-dongi. Kontorversi yang terjadi menimbulkan perdebatan dan konflik di antara ORNOP di Sulawesi Tengah Abbas et al. 2002.
Ditahun 2000, atas dukungan CARE, pimpinan di Toro membantu proses revitalisasi terhadap hukum adat, pengetahuan lokal, dan tradisi di desa Sungku.
Hal sama dilakukan pula di desa Marena, dan Oo Parese, atas dukungan LBH Bantaya dan Awam Green. Ditahun yang sama, YTM kembali memfasilitasi
masyarakat untuk melaksanakan diskusi publik masyarakat di sekitar TNLL. Selain itu, antara tahun 2000 dan 2001 Toro mendapatkan kunjungan dari
berbagai kelompok masyarakat diantaranya: masyarakat Katu, Toli-toli, masyarakat adat Da’a, masyarakat Tinombo, anggota the Community Forestry
Organization; masyarakat adat Kutai Barat, yang masing-masing difasilitasi oleh YTM, Dopalak, dan YPR.
Di tahun 2001, dengan difasilitasi oleh Nawakamal Foundation, salah satu ORNOP dari Jogyakarta, dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap hasil-hasil
peta partisipatif lahan tradisional di Toro. Ditahun yang sama, ORNOP Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah KPKP-ST dan yayasan
Nadi memfasilitasi workshop untuk mendapatkan pengakuan hak-hak perempuan.
Atas dukungan dana dari The Nature Conservancy TNC, maka di tahun 2001 dilakukan monitoring dan inspeksi terhadap lahan-lahan tradisional dan
kawasan hutan di Toro oleh Tondo ngata dan POLHUT. Selanjutnya, ditahun 2002 – 2003 atas inisiatif OPANT dan didukung oleh The Asian Foundation
dilakukan kegiatan pemberdayaan perempuan di tiga desa Bolapapu, Sungku, dan Mataue. Di tahun yang sama YTM memfasilitasi penyelesaian sengketa
tata batas antara Toro dan Katu di tahun 2002. Selang beberapa bulan, atas dukungan dari Jambata Foundation, Toro kembali menerima kunjungan dari
masyarakat adat Buol untuk berbagi pengalaman terhadap pengelolaan sumberdaya hutan di Toro. Di tahun 2003, atas dukungan Tadulako Foundation
dilakukanlah diskusi lintas desa sindue, Bora, Bunga, Balaesang, dan Toro di Toro.
Uraian-uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa kiprah dan peran ORNOP cukup besar di Toro, utamanya selama fase-fase perjuangan dan
pengakuan 1993-2000. Tidak seperti desa-desa lainnya di sekitar TNLL, yang merupakan dampingan ORNOP tertentu, di Toro tidak ada satupun ORNOP
yang mengklaim sebagai pendamping desa ini. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Toro telah
memberikan kontribusi terhadap perubahan dan percepatan revitalisasi yang berlangsung .
Taman nasional dan konflik tenurial di Toro
Berdasarkan UU No.51990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian
alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sebagai kawasan pelestarian alam, taman nasional memiliki fungsi lindung sistem peyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya.
TNLL memiliki status hukum sebagai taman nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.593Kpts-II1993. Sebelumnya, dari
tahun 1982 kawasan ini masih berstatus sebagai calon taman nasional setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali melalui keputusan
Menteri Pertanian No.736MenteriX1982. Dasar hukum TNLL tercakup dalam status Suaka Margasatwa Lore Kalamanta 131.000 ha yang ditetapkan
berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 522KptsUm1073 tanggal 20 Oktober 1973; Hutan Wisata Danau Lindu 31.000 ha yang ditetapkan berdasarkan SK.
Menteri Pertanian No. 46KptsUm178 tanggal 25 Januari 1978; dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian
No. 1012KptsUm1281 tanggal 10 Desember 1981. Kawasan ini dikukuhkan sebagai TNLL oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Keputusan
No.464Kpts-II1999 tanggal 23 Juni 1999, dengan luas kawasan 217.991.18 ha. Sebelum terbentuknya TNLL, pengakuan sebagai kawasan konservasi
telah dimulai. Beberapa pengakuan antara lain: a sebagai suaka biosfer UNESCO tahun 1977, di mana areal ini diresmikan sebagai suaka biosfer di
dalam Program Man and the Biosphere MAB UNESCO; b usulan lokasi warisan dunia World Heritage Site UNESCO, dengan pertimbangan bahwa
lokasi ini memiliki peran budaya dan arkeologi, serta memiliki peran ekologi dan lansekap; c sebagai kawasan burung endemik EBA, di mana Birdlife
International telah mengidentifikasi 218 kawasan burung endemik EBA, termasuk EBA Sulawesi. Empat puluh dua jenis yang berhabitat terbatas
merupakan burung endemik Sulawesi. Sebagai tambahan, 12 jenis dengan
habitat terbatas dimiliki EBA Sulawesi dan EBA-EBA lain. Secara keseluruhan, 48 jenis yang terbatas habitatnya telah tercatat di Sulawesi Tengah, 46 di
antaranya telah terlihat di TNLL; d Sebagai Pusat Keanekaragaman Tumbuhan CPD; dan e Wilayah Ekologi Global 200 Global 200 Ecoregions-G200 ES
BTNLL 2004 Eksistensi kawasan konservasi tersebut ternyata menimbulkan persoalan
politik bagi masyarakat Toro. Persoalan utama yang muncul adalah “klaim pihak pengelola kawasan konservasi terhadap wilayah adat Toro”, yang mencapai 80
dari total luas wilayah di Toro. Klaim sepihak ini terjadi pada tahun 1973. Saat itu, petugas pemerintah yang ditugaskan untuk melakukan penataan batas mencoba
memperdaya masyarakat, dengan sejumlah janji-janji yang ditawarkan. Mereka mencoba meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada maksud untuk mengambil
alih lahan-lahan masyarakat, dan pemasangan PAL batas hanya sekadar simbol dari status kawasan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, dan tidak akan
berdampak apa-apa terhadap masyarakat. Di luar dugaan masyarakat, setelah satu tahun pemasangan PAL batas pihak pemerintah mengeluarkan ketentuan
sepihak, bahwa lahan-lahan yang telah dibatasi oleh PAL batas merupakan kawasan Suaka Margasatwa milik pemerintah, dan tidak boleh dimasuki oleh
siapa pun termasuk masyarakat Toro. Padahal jauh sebelum penetapan status kawasan tersebut, hutan-hutan telah dikelola oleh masyarakat Toro, sehingga
wajar bila mereka merasa keberatan atas pengambilan paksa oleh pihak pemerintah terhadap lahan-lahannya.
Penetapan status kawasan konservasi otomatis melumpuhkan peran otoritas lembaga Adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan di wilayah hukum adat Toro. Ketika masyarakat menghadapi tekanan atas hak komunal dan hak pribadi mereka, Lembaga Adat tidak lagi
berdaya memainkan fungsi advokasinya. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan berupa hilangnya kewibawaan lembaga Adat di hadapan masyarakat saat itu,
karena lembaga adat dinilai tidak mampu lagi melindungi kepentingan masyarakatnya.
Pengambil-alihan lahan secara paksa dan disertai intimidasi bagi yang melanggar ketentuan sepihak tentang batas kawasan telah memancing
gelombang protes, baik di tingkat lembaga adat maupun di tingkat masyarakat. Meskipun masyarakat sering tidak kuasa melawan secara terbuka, tetapi
tindakan-tindakan petugas justeru kian mendorong resistensi masyarakat Toro
terhadap TNLL. Mereka menganggap TNLL sebagai ”ancaman”, olehnya harus ditolak. Contoh kasus yang dapat menjelaskan bentuk perlawanan yang
dilakukan, yaitu: ”pelanggaran terhadap aturan tentang larangan memasang jerat untuk tujuan menangkap atau membunuh binatang buruan”; serta dilanggarnya
ketentuan larangan dari pihak pemerintah untuk mengambil rotan di dalam kawasan hutan.
Sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sering memunculkan arogansi pihak pemerintah. Bila petugas menemukan anggota masyarakat yang
mengambil atau membawa rotan, maka petugas jagawana serta-merta menyita dan memotong-motong rotan tersebut. Fenomena ini menunjukkan hubungan
yang rentan antar pihak pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi pihak pemerintah mendemonstrasikan kekuatan represif, di sisi lain masyarakat
menunjukkan sikap perlawanan dalam bentuk pelanggaran atas larangan- larangan yang diberlakukan oleh pemerintah.
Selain itu, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah dipicu pula oleh penerbitan sejumlah izin pemanfaatan lahan di TNLL dari pemerintah daerah
kepada pihak swasta. Di kawasan TNLL, tepatnya di Napu terdapat perkebunan kopi dan Teh milik PT. Hasfarm seluas 7.740 ha; di Gimpu terdapat perkebunan
kopi arabika milik PT. Gimpu Jaya Coklat seluas 5000 ha; di Palolo terdapat perkebunan kakao seluas 99 ha milik PT. Sintuvu Karya; dan di Kulawi terdapat
perkebunan kopi arabika seluas 275 ha milik PT. Tongkolowi Makmur, kopi arabika seluas 125 ha milik KPN Adhyaksa Kejati, perkebunan cengkeh seluas
375 ha milik PD Sulteng di Kulawi, dan perkebunan kakao seluas 99 ha milik PT. Kebun Sari Adi Dharma di Toro.
Di satu sisi masyarakat dibatasi akses terhadap lahan hutan, di sisi lain pemerintah daerah ”membagi-bagi lahan untuk kepentingan pihak swasta
Sangaji 2002. Kondisi tersebut diterjemahkan oleh masyarakat sebagai wujud ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya. Hal inilah yang memicu konflik
tenurial terhadap sistem pemilikan dan penguasaan yang berbasis masyarakat adat dengan yang berbasis pemerintah di kawasan TNLL.
Ringkasan
Uraian terdahulu pertumbuhan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik menunjukkan terjadinya perubahan lingkungan di Toro.
Tekanan penduduk di Toro dalam perspektif emik tidak memiliki pengaruh langsung terhadap intensitas pemanfatan lahan dan sumberdaya hutan. Hal ini
disebabkan karena lahan-lahan di Toro masih cukup tersedia, termasuk lahan- lahan cadangan mereka di pangale
yang hingga saat ini belum dimanfaatkan
. Sementara itu, intervensi ekonomi pasar justru memiliki dampak langsung
terhadap perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Dampaknya mulai nampak ketika tanaman kakao diminati dan mulai dikembangkan secara merata
di Toro. Hal tersebut didukung pula oleh hadirnya pedagang-pedagang hasil bumi yang berpengaruh terhadap perubahan preferensi ekonomi masyarakat,
terutama terhadap keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Keinginan tersebut sedikit-banyak telah mempengaruhi masyarakat untuk “berpacu”
meningkatkan produktifitas lahan dengan memilih jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi dengan cara mengkonversi ladang dan lahan garapan lainnya
untuk ditanami kakao. Demikian pula halnya sektor usaha non-pertanian melalui munculnya ragam usaha masyarakat sebagai salah wujud diversifikasi usaha
yang berorientasi komersil di Toro. Dinamika politik yang terjadi di Toro, internal maupun eksternal, didominasi
oleh masalah-masalah ketidak-seimbangan hak penguasaan dan pemilikan lahan, baik antar sesama warga Toro, maupun antara warga Toro dan pihak
otoritas TNLL. Kondisi ini terkait erat dengan perubahan fungsi kepemimpinan tradisional di Toro, yang berimplikasi langsung terhadap melemahnya peran dan
fungsi lembaga adat. Akibatnya, peran lembaga adat lebih dominan terhadap pengaturan hubungan manusia dengan manusia hintuwu, termasuk di
dalamnya urusan adat istiadat. Sedangkan peran utama dalam mengatur pola hubungan manusia dengan alam katuwua telah ”tergantikan” oleh kehadiran
pihak otoritas TNLL. Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan fungsi kontrol lembaga adat semakin lemah terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, dan
meningkatnya pelanggaran yang dilakukan masyarakat Toro terhadap aturan yang ditetapkan oleh BTNLL.
Secara menyeluruh, perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya hutan.
Perubahan-perubahan yang terjadi, membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai wujud adaptasi guna
mengimbangi perubahan lingkungan yang terjadi di Toro.
REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Dalam bab terdahulu telah diuraikan tentang perubahan lingkungan yang terjadi di Toro, baik disebabkan oleh intervensi ekonomi pasar maupun yang
disebabkan oleh dinamika politik. Perubahan yang terjadi mendorong respon kolektif masyarakat Toro untuk melakukan revitalisasi kelembagaan adat.
Pembahasan dalam bab ini diawali dengan uraian tentang bagaimana dinamika internal dan eksternal yang terjadi di Toro serta aktor-aktor yang
memainkan peranan dalam proses revitalisasi kelembagaan adat. Selanjutnya diuraikan pula performansi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam perspektif etik dan emik terhadap revitalisasi kelembagan adat di Toro.
Dinamika Kolektif Komunitas Toro
Seperti diuraikan terdahulu, bahwa revitalisasi kelembagaan adat merupakan wujud respon kolektif masyarakat terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi di Toro, baik disebabkan oleh faktor intervensi ekonomi pasar, maupun dinamika politik, yang berdampak pada sistem sosial masyarakat,
terutama dalam berinteraksi dengan sumberdaya lahan dan hutan di Toro. Pembahasan tentang respon kolektif masyarakat Toro dikelompokkan ke
dalam dua sub-bab, yaitu: a respon masyarakat Toro pra-pengakuan oleh pihak Balai TNLL; dan b respon masyarakat Toro pasca pengakuan Balai TNLL.
Respon Masyarakat Toro Pra-Pengakuan BTNLL 1993-2000
Seperti diuraikan sebelumnya, perjuangan masyarakat Toro untuk merevitalisasi kelembagaan adat membutuhkan waktu yang cukup lama, dimulai
sejak tahun 1993 hingga sekarang. Didampingi oleh sejumlah ORNOP, masyarakat Toro telah melakukan inventarisasi dan mendokumentasikan
kembali pengetahuan-pengetahuan tradisional, norma-norma, dan adat-istiadat terkait pola interaksi mereka dengan sumberdaya hutan.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membangun kembali Lobo Gambar 22, sebuah bangunan tempat pertemuan adat. Lobo memiliki arti yang
sangat penting bagi masyarakat Toro. Selain fungsinya sebagai tempat untuk melakukan pertemuan dan musyawarah adat, Toro merupakan “spirit kehidupan”
dan simbol pemersatu simbol kolektifitas masyarakat Toro. Dengan dibangunnya lobo, sama halnya membangun kembali semangat kolektifitas di
Toro. Semangat kolektifitas tersebut amat penting, terutama dalam menjaga kekokohan kelembagaan yang telah ada bdk. Ostrom 1999; Ghate 2004;
Badstue et al. 2006.
Mengacu pada laporan Sohibuddin 2003, bahwa pembangunan lobo dan berbagai proses-proses yang terjadi di dalamnya telah membenihkan semangat
awal revitalisasi, utamanya terhadap aspek-aspek tradisi yang sepenuhnya berasal dari prakarsa lokal masyarakat Toro. Semangat awal revitalisasi tersebut
diikuti dengan proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Di tahun 1998, pemerintah Toro yang difasilitasi oleh YTM melakukan
dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan lembaga adat dan 8 kepala desa dari 8 desa yang desanya berbatasan langsung dengan TNLL. Melalui
pertemuan tersebut berhasil disusun naskah dokumentasi mengenai potensi dan pengetahuan ekologis, tata guna lahan tradisional, serta berbagai praktek-
praktek kearifan tradisional dalam memanfaatkan lahan dari pendahulu- pendahulu mereka di Toro. Hasil pertemuan tersebut dijadikan salah satu dasar
bagi masyarakat Toro untuk membuat peta partisipatif Gambar 24. Peta ini memuat kategorisasi sistem tenurial tradisional adat Toro, sebagai dasar dalam
pengaturan tata guna lahan di Toro saat ini. Pembuatan peta partisipatif awalnya
Gambar 22 Lobo, bangunan adat Toro Dokumentasi : Golar 2005.
diprakarsai oleh YTM. Sistem kategorisasi lahan yang awalnya masih merupakan peta mental dalam alam kognitif cognitive map masyarakat,
ditranser secara visual dan grafis melalui pemetaan partisipatif. Dari sudut pandang politik, pemetaan partisipatif amat penting dilakukan.
Peta merupakan gambaran simbol dan instrumen kekuasaan. Seperti TNLL, yang tidak saja menggambarkan lokasi dan batas-batas kawasan itu, tetapi
sekaligus memperlihatkan siapa yang memiliki kewenangan atau kuasa kontrol atas wilayah itu dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, peta
TNLL telah mengeliminir penguasaan masyarakat Toro atas lahan di wilayah hukum adatnya.
Peniadaan hak-hak tenurial harus dilawan dengan akal sehat, melalui pembekalan yang diberikan kepada masyarakat tentang pengetahuan tentang
hak-hak tenurial Sangaji 2002. Hal inilah yang dilakukan oleh YTM di tahun 1997. Diawali dengan upaya fasilitasi kepada masyarakat Toro, melalui pelatihan
dasar-dasar pembuatan peta kepada pemuda di Toro. Kegiatan pelatihan meliputi cara pembuatan skala peta, arah mata angin, membaca peta topografi,
dan survey dengan menggunakan kompas dan global positioning system GPS. Setelah itu, mereka dilatih pula cara-cara menggambar peta.
Output yang dihasilkan saat itu adalah sebuah peta, yang di dalamnya secara rinci menggambarkan sistem kategorisasi lahan tradisional adat Toro
beserta letak dan posisinya secara pasti di lapangan Gambar 23. Peta partisipatif tersebut digunakan oleh masyarakat untuk mengkomunikasikan
hukum adat mereka, yang terkait dengan pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya membantu dalam menyelesaikan
sengketa dengan pihak lain, memperoleh pengakuan atas wilayah adat, membantu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya alam, serta membantu
mewariskan kepada generasi yang akan datang tentang sejarah, tradisi,dan hukum adat di Toro Sangaji 2002.
Gambar 23 Peta partisipatif wilayah adat Toro Sumber: Arsip desa Toro 2005.
Melalui peta partisipatif, masyarakat Toro dapat memberikan penegasan kembali mengenai asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat, yang selama ini
diklaim sebagai wilayah TNLL. Mereka juga mencoba untuk merasionalkan pola pemanfaatan lahan yang selama ini mereka terapkan, yang merupakan
konkritisasi upaya-upaya konservasi dan dikemas dalam konteks budaya dan religi masyarakat Toro bdk. Soedjito Sukara 2006.
Balai TNLL merespon positif upaya yang dilakukan oleh masyarakat Toro, dan memandang apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh masyarakat Toro
perlu mendapatkan dukungan, dalam rangka pengembangan keterpaduan sudut pandang yang proaktif dan holistik terhadap kondisi sosial, ekologi, dan budaya
masyarakat di sekitar TNLL. Selain itu, secara normatif sistem kategorisasi lahan yang dibuat oleh masyarakat Toro dianggap memiliki keselarasan,
walaupun tidak sama, dengan sistem pengelolaan taman nasional di Indonesia Gambar 24. Olehnya akan lebih memberikan jaminan terhadap keberlanjutan
pengelolaan TNLL Helmy 2005, diskusi pribadi, Juli 2005.
Wujud konkrit pengakuan yang diberikan oleh pihak Balai TNLL kepada masyarakat Toro adalah dikeluarkannya surat pernyataan, yang intinya
merupakan pengakuan terhadap hak masyarakat Toro terhadap wilayah hukum adat seluas 18.000 ha, yang awalnya diklaim sebagai bagian dari TNLL.
Pengakuan ini diikuti pula dengan penandatanganan piagam kesepakatan pengawasan TNLL, antara pihak Balai TNLL dengan masyarakat Toro Gambar
25 26 pada tanggal 18 Juli 2000.
Kesetaraan
Gambar 24
Keselarasan sistem zonasi TNLL dan kategorisasi lahan adat Toro.
S is
te m
Z ona
si T
N L
L
K a
te g
o ris
a s
i l a
h a
n a
d a
t
Penandatanganan prasasti tersebut merupakan bentuk simbolik rencana legal kerja sama antara kelembagaan adat dan BTNLL. Butir-butir kesepakatan
pada intinya berisi pengakuan atas hak lahan komunal masyarakat adat Toro, yang berimplikasi pada pelimpahan kewenangan dalam hal pengelolaan
sumberdaya hutan, dari pihak BTNLL kepada pihak lembaga adat Toro, serta pengawasan bersama terhadap kelestarian TNLL.
Pengakuan tersebut mengandung makna politik yang telah memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat Toro dalam mempertahankan kehidupan
mereka di atas tanah leluhurnya, serta membangkitkan kembali tanggung jawab masyarakat untuk mengotrol wilayah tradisional dan kawasan TNLL secara
kolektif. Dalam situasi demikian, hubungan dan ikatan kolektif antara pihak BTNLL dengan lembaga adat dapat menjadi modal sosial social capital yang
memungkinkan dilindunginya hutan-hutan yang masih tersisa di TNLL Grant 2001; Flint Luloff 2005; Kartodihardjo 2006.
Respon Masyarakat Toro Pasca-Pengakuan BTNLL 2000-sekarang
Pasca pengakuan antara masyarakat dan BTNLL, lembaga adat kembali berdaya dalam mengelola sumberdaya lahan dan hutan. Mulai dari pemanfaatan
lahan dan hasil hutan hingga pengawasan terhadap wilayah hukum adat menjadi kewenangan lembaga adat Toro. Dengan berdayanya lembaga adat
dalam mengatur
pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya
hutan, diharapkan kelestarian sumberdaya hutan TNLL akan lebih terjamin. Namun
Gambar 25
Salah seorang angota Totua Ngata
menyerahkan piagam
kesepakatan kepada
Kepala Balai TNLL Foto: Dokumentasi
masyarakat Toro 2000.
Gambar 26
Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling Prasasti
Pengakuan Foto: Dokumentasi masyarakat Toro 2000.
demikian, pasca pengakuan muncul berbagai kasus terkait pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal di Toro, seperti yang dijelaskan salah seorang informan
kunci FL 2005, sebagai berikut. .... pasca penandatanganan prasasti kesepakatan, muncul
aktifitas illegal loging yang diduga merupakan hasil kerjasama antara oknum masyarakat Toro dengan pihak luar. Saat itu, tanpa
izin dari lembaga adat, oknum tersebut melakukan penebangan pohon di wilayah hukum adat, bahkan masuk hingga ke wilayah
kawasan TNLL. Hasil tebangan tersebut mereka upayakan untuk diselundupkan keluar dari Toro oleh oknum masyarakat Toro.
Sementara itu, pihak luar ikut berperan dalam memfasilitasi sarana angkut dan dokumen-dokumen palsu. Namun, rencana
tersebut berhasil digagalkan oleh pihak Tondo ngata, dan kayu illegal tersebut disita oleh pemerintah desa...
Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku pelanggaran. Ada yang karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga, dan ada pula yang mengaku
tidak paham dengan aturan main hasil kesepakatan antara Balai TNLL dengan masyarakat Toro. Mereka mendefenisikan kesepakatan tersebut sebagai bentuk
simbolisasi “kebebasan” dalam memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu untuk berbagai tujuan. Namn demikian, terlepas dari berbagai alasan yang
dikemukakan, mereka tetap dianggap melanggar oleh pihak lembaga adat dan layak dijatuhi hukuman
sanksi adat. Meskipun kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui mekanisme adat,
namun tatacara adat yang dimaksud berbeda dengan tatacara yang pernah dilakukan pendahulu mereka, di mana oknum yang melakukan pelanggaran
seharusnya disidang di muka para tetua adat, dan disaksikan oleh utusan-utusan lembaga yang ada di Toro. Namun faktanya, penyelesaian kasus hanya
ditangani oleh salah seorang Totua ngata, dan tidak melibatkan unsur lain. Terlebih lagi, penyelesaian kasus tidak dilakukan di Lobo, namun di kediaman
salah seorang tetua adat. Hal tersebut terjadi secara berulang untuk kasus-kasus lain, sehingga menimbulkan kesan, utamaya bagi para pelaku pelanggaran
bahwa penyelesaian pelanggaran yang dilakukan “mudah diatur”. Kejadian tersebut di atas menimbulkan keluhan dan kekecewaan beberapa
kalangan masyarakat terhadap kinerja lembaga adat dalam menangani kasus tersebut. Lembaga adat dinilai subjektif, dan dicurigai “bekerjasama” dengan
oknum tersebut. Sejak saat itu, bermunculan ragam tanggapan dan kritik, termasuk dari kalangan anggota lembaga adat itu sendiri yang menilai semakin
lemahnya peran kolektif lembaga adat akibat dominansi salah seorang Totua
ngata. Kondisi ini mendorong respon kolektif masyarakat, yang mendesak untuk segera dilakukannya penataan kembali terhadap lembaga kepemimpinan lokal di
Toro. Langkah konkrit yang dilakukan adalah pelaksanaan musyawarah desa pertama di Toro, yang diselenggarakan pada tanggal 4 – 7 Desember 2000. Isu
yang diangkat menyangkut penataan lembaga kepemimpinan lokal di Toro, khususnya terhadap pembenahan struktur kelembagaannya.
Dalam pertemuan pertama tersebut di atas, berkembang pemikiran untuk memperluas sistem keanggotaan dewan adat totua ngata, yakni dengan
memberikan kesempatan bagi utusan-utusan masyarakat di luar totua ngata yang ada saat itu. Pemikiran tersebut didasari oleh penilaian masyarakat bahwa
selama ini kesempatan untuk menjadi anggota lembaga adat hanya dimiliki oleh kalangan tertentu; keturunan Maradika saja.
Pemikiran lain yang juga berkembang adalah adanya keinginan untuk menjadikan pemerintahan desa ”identik” dengan fungsi pemerintahan di bawah
totua ngata di masa pra-kolonial, serta keinginan untuk menghidupkan kembali lembaga permusyawaratan di Toro. Upaya memberlakukan kembali lembaga-
lembaga kepemimpinan masa lalu dimaksudkan untuk mentransformasi sistem kepemimpinan tradisional ke dalam bentuk lembaga-lembaga baru yang memiliki
fungsi serupa. Secara skematis, struktur kelembagaan yang ditawarkan saat itu disajikan pada gambar 27.
Gambar 27 Struktur hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah I, tahun 2001.
Wakil tokoh masyarakat
Totua ngata Dewan Adat
Pemerintah desa
Badan pengawasan Pemeriksaan ngata
Masyarakat Adat Toro
Gambar 27 secara jelas memperlihatkan bahwa pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya berada di bawah dewan adat totua ngata
dan wakil tokoh masyarakat. Dengan demikian, secara struktural, pemerintah desa merupakan perangkat operasional dari lembaga adat. Sehingga,
pemerintah desa bertanggung jawab sepenuhnya pada dewan adat
19
. Namun demikian, upaya tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh
perserta musyawarah. Bahkan menimbulkan konflik internal dikalangan masyarakat Toro. Kasus berikut memberikan gambaran tentang terjadinya selisih
pendapat atas usulan yang dihasilkan FL 2005. ”..... keputusan tentang penataan kembali kepemimpinan lokal di
Toro, ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh peserta yang hadir saat itu. Situasi ini terus berlanjut meskipun musyawarah telah
selesai dilaksanakan. Bahkan kejadian ini mengakibatkan terjadinya disharmonisasi hubungan internal di antara anggota-
anggota lembaga adat, yang berimbas pada upaya penataan kelembagaan kepemimpinan di Toro...
Melalui proses mediasi yang dilakukan beberapa tokoh masyarakat di Toro, akhirnya disepakati untuk melaksanakan kembali musyawarah desa.
Rencana tersebut baru dapat direalisasikan pada bulan April 2001. Kegiatan musyawarah ke dua ini dihadiri sekitar 40 orang, yang terdiri atas perwakilan
lembaga dan utusan tiap-tiap dusun boya yang ada di Toro. Dalam musyawarah tersebut mengemuka sejumlah isu krusial di antaranya: struktur
dan komposisi lembaga adat yang terkesan dibatasi; tidak adanya struktur dan pola-pola hubungan yang jelas antar lembaga; serta tidak dimilikinya aturan-
aturan baku terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro.
Berbeda dengan musyawarah pertama, pada musyawarah ke dua sebagian besar isu yang diangkat disetujui untuk dibahas. Melalui pertemuan ini
berhasil disepakati beberapa point penting, di antaranya: a Seluruh lembaga yang ada di Toro harus dipadukan, dan dimasukkan dalam
struktur pemerintahan di Toro, yang terdiri atas: pemerintah desa, lembaga adat, Badan Perwakilan Desa BPD, dan Organisasi Perempuan Adat Ngata
Toro OPANT.
19
Model ini bertentangan dengan UU pemerintahan desa yang berlaku saat ini, dimana kepala desa bertanggungjawab sepenuhnya kepada bupati.
b Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian beberapa istilah seperti lembaga adat diubah menjadi lembaga masyarakat adat LMA
20
, pemerintah desa diubah menjadi pemerintah ngata, dan badan perwakilan desa diubah
menjadi lembaga perwakilan ngata. Usulan tersebut baru berhasil ditindak lanjuti setelah dilakukan pertemuan
ke tiga, pada tanggal 25 – 30 oktober 2003. Kegiatan ini dihadiri oleh 80 utusan dari tiap lembaga dan dusun yang ada di Toro. Berbeda dengan dua pertemuan
sebelumnnya, pada pertemuan ketiga menyerupai kegiatan workshop, sebab kegiatan ini semata-mata membahas hasil rumusan terhadap rancangan struktur
kelembagaan, dan sejumlah aturan main terkait pemanfaatan sumberdaya alam di Toro.
Seperti diuraikan terdahulu, bahwa struktur kelembagaan yang berlaku di Toro hingga saat ini merupakan hasil dari pertemuan ke tiga, di mana struktur
pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa pemerintah ngata, Lembaga Masyarakat Adat LMA, dan Lembaga Perwakilan Ngata LPN. Ketiga lembaga
ini berkedudukan sejajar dalam struktur organisasinya. Faktor yang membedakan ketiganya terletak pada fungsi dan perannya masing-masing.
Sementara itu, aturan-aturan main yang berhasil dirumuskan pada pertemuan ke tiga ini di antaranya: a struktur dan hubungan kerja antar
lembaga; b fungsi dan struktur lembaga masyarakat adat LMA; dan c Pengelolaan Sumberdaya Alam PSDA. Selain itu berhasil disusun rencana
strategis Renstra Toro untuk lima tahun kedepan tahun 2003-2008. Dalam renstra tersebut memuat visi antoa masyarakat Toro: ”terwujudnya
kebersamaan ngata untuk kehidupan yang harmonis dengan alam dan berkelanjutan Hintuwu ngata molingku katuwua”. Sedangkan misi yang termuat
dalam renstra tersebut di antaranya: a memelihara dan mempertahankan adat secara konsisten; b meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan dan tingkat
perekonomian masyarakat; dan c membangun solidaritas perjuangan masyarakat adat antar desa. Renstra inilah yang dijadikan acuan pembuatan
draft peraturan desa Perdes Toro, yang di dalamnya mengatur sistem pemerintahan yang baru di Toro.
20
Dalam Draft Perdes Desa Toro, istilah LMA didefinisikan sebagai lembaga adat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat hukum adat di Toro, dan berakar pada sejarah asal-
usul dan identitas sosial budayanya. Namun hingga penelitian ini selesai dilakukan masih diperdebatkan terkait penggunaan istilah LMA.
Struktur dan hubungan kerja antar lembaga
Komponen kelembagaan di Toro terdiri atas pemerintahan ngata dan lembaga kemasyarakatan. Lembaga Pemerintahan ngata Toro terdiri atas:
a Lembaga Pemerintah ngata dan b Lembaga Perwakilan Ngata LPN. Sedangkan lembaga kemasyarakatan di Toro terdiri atas a Lembaga
Masyarakat Adat LMA dan b Organisasi Perempuan Ngata Toro OPANT. Dalam Perdes secara jelas diatur pula fungsi dan peran tiap-tiap lembaga
beserta wewenang yang dimiliki. Pemerintah desa memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi pemerintahan di tingkat desa. Selain menjalankan fungsi
pemerintahan, pemerintah desa bersama dengan LPN menyusun, membahas, dan menetapkan sejumlah peraturan desa serta anggaran pendapatan dan
belanja desa. Selain dengan LPN, pemerintah bersama-sama dengan LMA mengeluarkan izin serta mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah
adat Toro. LPN sebagai lembaga legislatif desa juga memiliki wewenang dan tugas dalam menyelenggarakan pemilihan kepala desa, dengan membentuk panitia
pemilihan serta mengusulkan pelantikan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Fungsi utama dan penting dari lembaga ini adalah dalam hal
pelaksanakan pengawasan terhadap implementasi peraturan desa dan anggaran pendapatan dan belanja desa.
Sementara itu, LMA sebagai lembaga kemasyarakatan desa merupakan mitra pemerintahan desa dalam mendorong kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan yang berpedoman pada hukum adat. Olehnya, wewenang yang dimiliki oleh LMA
di antaranya: a mewakili masyarakat adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat adat; b bersama dengan pemerintah desa
memberikan izin dan mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hukum adat Toro yang telah dipetakan secara partisipatif; c mengelola hak-hak adat
danatau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat; d membuat aturan dan sanksi adat mengenai hubungan antar
manusia hintuwu dan interaksi manusia-alam katuwua yang dicakup dalam pengaturan hukum adat, serta e menyelenggarakan peradilan adat untuk
menyelesaikan berbagai pelanggaran adat ataupun sengketa antar warga masyarakat. Secara skematis, disajikan pada Gambar 28.
Keterangan
Dengan demikian, fungsi utama LMA di Toro adalah memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat serta kebiasaan hidup yang
telah berlangsung turun-temurun untuk menjaga tata harmoni sosial, memperkaya identitas budaya, dan menjamin stabilitas ekologi, serta melakukan
kerja sama dengan desa-desa di sekitar tongki ngata Toro dalam kerangka pelaksanaan wewenang dan tugasnya.
Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga, maka semakin jelas pulalah sistem kelembagaan di Toro, utamanya dalam mengatur
dan mengendalikan perilaku masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya hutan la. Kasper el
al. 1996 dan Basturo 2006.
Ketentuan pengelolaan sumberdaya alam
Dalam ketentuan pengelolaan sumberdaya alam di Toro secara eksplisit diatur prosedur pembukaan lahan, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu,
bahan obat-obatan tradisional, hingga pertambangan tradisional, termasuk prihal perizinan dan biaya yang dibebankan kepada pemohon. Dalam prosedur
pembukaan lahan, aturan adat menetapkan bahwa kategori lahan yang dapat dibuka adalah Oma, utamanya Oma Ngura dan Oma Ntua. Sementara itu,
kategori lahan lainnya terutama pangale tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun.
LMA : Lembaga Masyarakat Adat LPN : Lembaga Perwakian Ngata
OPANT : Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro Garis mitra kerja pengabdian
Garis pengawasan Garis perwakilan aspirasi
LPN L M A
Masyarakat Adat Ngata Toro
Pemerintah Ngata
Gambar 28 Struktur Hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah Tahun 2005.
Totua Ngata, OPANT
Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA disertai alasan, lokasi yang akan
dimanfaatkan, dan luas lahan yang dibutuhkan. Pemberian izin akan diputuskan setelah sebelumya dilakukan musyawarah antara LMA dan pemerintah desa.
Dasar yang digunakan dalam memutuskan pemberian izin tersebut adalah alasan yang dikemukakan si pemohon, lokasi dan luas lahan, serta prinsip-
prinsip kearifan tradisional. Namun demikian, salah seorang informan kunci AL menjelaskan bahwa di antara empat persyaratan tersebut, prasyarat utama
adalah mampu-tidaknya yang bersangkutan memenuhi prinsip-prinsip kearifan tradisional, di antaranya: kecermatannya dalam memperhatikan musim, tidak
melakukan pembakaran dalam membuka lahan, memperhatikan kemiringan lahan, serta tidak mengganggu mata air yang berada di dekatnya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk meminimalkan resiko kerusakan yang akan ditimbulkan. Izin pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah desa. Dalam hal mana izin
diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat “mohamele manu bula
21
” yang dilakukan sesuai kepercayaan yang dianut pemohon. Batasan-batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis tanah,
kebutuhan lahan dan kemampuan mengolah dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Pengelolaan lahan dilakukan secara berkelompok atau gotong-royong
mome ala pale dengan mengedepankan orientasi sosial dan bukan semata- mata ekonomis.
Dalam ketentuan izin pengambilan kayu dijelaskan bahwa izin dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik, seperti:
bangunan sosial, ramuan rumah, perabot dapur, dan alat-alat pertanian. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu
untuk kebutuhan bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. Prosedur pengajuan izin menyerupai prosedur pembukaan lahan. Hanya
saja, dalam izin pemanfaatan kayu, pemohon harus menyebutkan jenis kayu, lokasi penebangan, dan kubikasi kayu yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam
prosedur perizinan tidak diatur atau ditentukan batas kubikasi kayu yang diperbolehkan untuk ditebang. Izin penebangan dikeluarkan oleh pemerintah
desa, dan si pemohon terlebih dahulu harus melakukan upacara adat “mowurera
21
Dalam konteks kekinian, upacara tersebut disamakan dengan istilah selamatan, yang disimbolkan dengan pemotongan ternak unggas atau ternak lain, sesuai kemampuan si
pemohon.
pu kau
22
” yang diiringi dengan menancapkan kapak di salah satu pohon yang tumbuh di lokasi tersebut. Selain itu, si pemohon harus memperhatikan prinsip-
prinsip ekologis berdasarkan kearifan tradisional mereka, yaitu kayu yang ditebang minimal berdiameter 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di
daerah Taolo, yaitu di lokasi-lokasi yang bertopografi miring, sepanjang daerah aliran sungai, dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.
Demikian halnya dengan hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, gaharu, bahan wewangian, dan obat-obatan, selain untuk kebutuhan domestik,
juga dapat digunakan untuk tujuan komersil. Prosedur pengajuan dan persyaratan perizinan, khususnya untuk kebutuhan komersil, menyerupai
prosedur pemanfaatan hasil hutan kayu. Faktor pembeda terletak pada aturan pengambilan atau pemanenannya.
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari 3 tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat, dengan memperhatikan
prinsip rotasi ra ombo. Hal ini dimaksudkan agar kelestarian rotan dapat terpelihara dengan baik. Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan oleh
pemohon adalah larangan untuk mengilir atau menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Bila hal ini tidak diperhatikan, maka akan berakibat terhadap gagalnya panen nakahoana padi-padi milik masyarakat, terutama yang memanfaatkan
pengairan dari aliran sungai tersebut. Sementara
itu, untuk
pengambilan gaharu,
masyarakat hanya
diperkenankan untuk pohon yang telah berumur tua. Demikian halnya untuk penyadapan damar, di mana pohon yang akan diolah minimal memiliki diameter
50 cm, dan dilarang melakukan penebangan. Selain itu, hal utama yang harus diperhatikan adalah sejarah penguasaan lahan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari terkait klaim terhadap pemilikan pohon damar tersebut. Selain jenis-jenis hasil hutan non kayu tersebut di atas,
diatur pula mengenai prosedur pengambilan untuk hasil hutan lainnya, seperti pandan hutan, dan liur burung wallet ilu tonci popore. Kedua jenis hasil hutan
ini memiliki prosedur pemanfaatan hasil hutan yang relative sama dengan hasil hutan lainnya. Selain itu, ditegaskan pula perihal larangan untuk merusak habitat
22
Upacara ini dahulu digunakan sebagai ritual sebelum mereka melakukan penebangan. Bisa- tidaknya pohon-pohon di lokasi tersebut ditebang, ditunjukkan oleh kapak yang ditancapkan
pada batang pohon, di mana bila dalam rentang waktu beberapa hari, kapak tersebut masih tertancap, berarti pohon tersebut dapat ditebang. Demikian sebaliknya.
flora dan fauna, memasang jerat dan berburu, menggunakan stroom dan racun untuk menangkap ikan. Sementara itu, aturan tentang aktifitas penambangan
tradisional juga mensyaratkan beberapa hal di antaranya: a penambangan harus dilakukan secara tradisional dengan menggunakan dulang yang terbuat
dari kayu mangemo, melarang penggunaan alat modern, dan bahan-bahan kimia yang akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan.
Secara keseluruhan, permohonan izin dilakukan secara tertulis kepada pemerintah desa melalui LMA, dengan cara mengisi formulir yang telah
disediakan. Pemberian izin diputuskan melalui musyawarah LMA dan pemerintah desa. Surat izin dikeluarkan oleh pemerintah desa, mengetahui LMA, dan
tembusan kepada OPANT dan LPN. Setiap penerbitan surat izin dikenai biaya adminsitrasi dan biaya konpensasi pemulihan restitusi dengan nilai yang
disesuaikan untuk setiap jenis SDA yang dikelola, sebagai berikut:
Tabel 22 Komponen biaya pemanfaatan sumberdaya alam di Toro
Biaya Rp Satuan
No Bentuk pemanfaatan Administrasi Restitusi
1. Pembukaan lahan 50.000
25.000 Per are
2. Pegelolaan kayu 10.000
25.000 Per kubik
3. Pengolahan rotan 10.000
25.000 Per ton
4. Pegelolaan gaharu 50.000
100.000 Per kilo
5. Pengelolaan damar 10.000
200.000 Per ton
6. Pengelolaan obat-obatan tradisional
10.000 10
Dari nilai jual 7. Pertambangan tradisional
25.000 25.000
Per gram 8. Pengambilan liur burung wallet
25.000 50.000
Per kilo Sumber: Dokumen aturan pengelolaan sumberdaya alam Toro 2002.
Biaya kompensasi dikenakan terhadap permohonan izin pemanfaatan di luar kepentingan sosial komersil. Meskipun si pemohon telah membayar biaya
restitusi, bukan berarti mereka lepas tanggung jawab untuk mempertahankan kelestariannya. Biaya tersebut hanya digunakan sebagai dana cadangan bila
mana terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap lahan-lahan yang dikelola masyarakat.
Untuk menjaga stabilitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan oleh masyarakat, maka diatur pula mengenai sanksi pelanggaran dan mekanisme
penjatuhan sanksi. Bentuk dan nilai sanksi terkait dengan pelanggaran kepemilikan lahan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Bentuk-bentuk sanksi
yang diatur meliputi:
a. Kepemilikan lahan dan pengelolaan hasil hutan kayu, rotan, gaharu dan
damar, dan perburuan hewan yang dilindungi anoa dan babi rusa, yang tidak berdasarkan kebijakan hukum adat, dikenakan sanksi berupa; tolu
ungu, tolo mpulu, tolu ngkau tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tigapuluh dulangpiring, dan tiga lembar kain mbesakain adat. Apabila dikonversi ke
dalam rupiah, nilainya bisa mencapai lima juta rupiah. b.
Penambangan yang tidak berdasarkan hukum adat, dikenakan sanksi adat berupa pitu ongu, pitu mbulu, pitu ngkau, tujuh ekor hewan kerbausapi,
tujuh puluh dulang dan tujuh lembar kain mbesakain adat. Jika dirupiahkan nilainya mencapai sebelas juta rupiah.
c. Penangkapan ikan yang menggunakan bahan kimia beracun, stroom listrik
atau sejenisnya yang dapat merugikan keberlanjutan dan kelestarian jenis- jenis ikan dikenakan sanksi adat yakni; rongu, rompulu, rongkau dua ekor
hewan kerbausapi, dua puluh dulang dan dua lembar kain mbesakain adat. Bila dirupiahkan nilainya mencapai tiga juta rupiah.
Setiap bentuk laporan atas pelanggaran yang terjadi, baik yang berasal dari masyarakat, Tondo ngata, maupun Polhut ditujukan secara lisan maupun tertulis
kepada LMA dan pemerintah desa. Laporan-laporan yang diterima akan dikelompokkan oleh LMA, dengan maksud memisahkan jenis pelanggaran mana
yang dapat dan tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan adat. Bagi pelanggaran yang masuk dalam kategori dapat diselesaikan melalui mekanisme
peradilan adat, maka akan segera dilakukan musyawarah LMA untuk membahasnya. Sedangkan kasus-kasus yang tidak bisa diselesaikan oleh LMA,
biasanya dilakukan musyawarah lintas lembaga pemerintah desa, OPANT, lembaga keagamaan, dan utusan tiap boya guna menetapkan jenis sanksi yang
akan diberikan, seperti disajikan pada Gambar 28.
Pemberian sanksi bagi setiap pelanggaran merupakan wujud dari penegakan norma-norma, yang didasarkan pada nilai yang berkembang di
kalangan masyarakat lokal. Bagi masyarakat Toro, aturan-aturan tersebut bukan semata-mata sanksi, namun lebih jauh dimaknai sebagai “pantangan”. Bentuk
pantangan ini terkait erat dengan nilai-nilai yang tertanam pada setiap individu dalam komunitas masyarakat, sehingga lebih bertahan dan dipatuhi bila
dibandingkan sanksi-sanksi formal bentukan pemerintah McKean 1992; Sallatang 1999; Li 2000. Oleh karena itu, sanksi-sanksi adat tersebut dipatuhi
dan diterapkan secara konsisten, maka dapat menjadi insentif terhadap kelestarian TNLL, khususnya kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adat
Toro.
Aktor-aktor yang berperan dalam proses revitalisasi kelembagaan adat
Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari peran kepemimpinan lokal dan beberapa tokoh perjuangan di Toro. Tokoh-tokoh atau aktor-aktor lokal
penting yang aktif dalam memperjuangkan revitalisasi kelembagaan adat diantaranya; Kepala Desa Naftali B. Porentjo, tokoh-tokoh Totua ngata CH.
Towaha, P.Toheke, Ace Lagimpu, Andreas Lagimpu, Rahman Pepuloi, tokoh wanita Rukmini Rizal, Sinarjati Lagimpu, tokoh-tokoh pemuda Silas Lahigi,
Berwin P. Toheke, serta seorang pendeta Protestan Ferdy Lumba, yang masing-masing memainkan peranan dalam proses revitalisasi.
Laporan Pelanggaran
Tertulis Lisan
LMA
Lembaga lain
Musyawarah dgn pemerintah
Musyawarah Lintas Lembaga
Penetapan Sanksi Adat
Penetapan Sanksi Negara
Gambar 29
Skema mekanisme penjatuhan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Peran kepala desa amat menentukan, utamanya dalam mengadaptasi aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional ke dalam kondisi saat ini.
Berdasarkan inisiatifnya dicoba untuk menginternalisasikan aspek-aspek tradisi sistem pemerintahan tradisional ke dalam sistem pemerintah formal. Langkah
awal yang dilakukan adalah dengan memposisikan secara langsung tokoh Totua ngata dan perwakilan tokoh perempuan sebagai anggota BPD tanpa melalui
mekanisme pemilihan, sementara selebihnya dipilih berdasarkan proporsi tiap- tiap dusun boya. Terobosan yang dilakukan memiliki konsekuensi terhadap
kurangnya wewenang kepala desa. Namun hal tersebut didasari oleh kesadaran kolektif yang dimiliki, sebagai upaya mendukung revitalisasi fungsi dan
wewenang tradisional yang dimiliki lembaga adat di masa lalu Sohibuddin 2003. Selain kepala desa, para Totua ngata di Toro memiliki andil besar dalam
proses revitalisasi. Peran utama yang dimainkan terutama pada proses penggalian aspek-aspek pengetahuan tradisional, meliputi pengetahuan ekologis
pemanfaatan sumberdaya hutan, dan sejumlah nilai dan norma sosial yang merasionalkannya. Demikian halnya dengan tokoh pemuda, Silas Lagihi dan
Berwin P. Toheke, yang juga aktif membantu proses-proses penggalian terhadap potensi kearifan lokal yang dimiliki pendahulu-pendahulu mereka. Selain tokoh
pemuda di Toro, juga yang tak kalah berperan adalah tokoh-tokoh perempuan, di antaranya: Rukmini Rizal dan Sinarjati Lagimpu, yang berjuang dalam menggali
kembali peran-peran perempuan adat Toro Tina ngata. Salah satu wujud konkrit yang dilakukan adalah memperjuangkan berdirinya Organisasi
Perempuan Adat Ngata Toro OPANT. Organisasi ini dimaksudkan sebagai perwujudan Tina ngata di masa sekarang. Perjuangan yang dilakukan oleh tokoh
perempuan tersebut tidak sebatas pada lingkup internal Toro, namun dilakukan pula diseminasi ke desa-desa lain di sekitar TNLL. Hal ini tak lain dimaksudkan
untuk mendapatkan dukungan, bukan saja pada lingkup lokal Toro namun juga pada lingkup yang lebih luas.
Tokoh lain yang tak kalah penting dalam memperjuangkan revitalisasi kelembagaan adat di Toro adalah Pdt. Ferdi Lumba dan Andreas Lagimpu.
Kedua tokoh ini memiliki kemampuan untuk merasionalkan berbagai pengetahuan dan praktek-praktek tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat
Toro ke dalam konteks modern, yang lebih bisa dipahami dan diterima oleh berbagai pihak, termasuk pihak luar. Mereka juga memiliki relasi jaringan keluar
dengan berbagai kalangan ORNOP dan aliansi masyarakat adat.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa kolektifitas internal di Toro masih berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan melalui pembagian peran yang
baik dalam upaya mencapai tujuan revitalisasi kelembagaan adat di Toro. Selain itu, adanya dukungan dan komitmen masyarakat dalam menerapkan aturan main
yang dihasilkan melalui proses revitalisasi merupakan cerminan modal sosial yang kuat, utamanya “kepercayaan” masyarakat terhadap lembaga adat.
Kolektifitas dan modal sosial merupakan dua komponen penting yang mengindikasikan berfungsinya kelembagaan dalam sistem sosial kehidupan
masyarakat di Toro, yang merupakan salah satu jaminan terhadap efektifitas pencapain revitalisasi kelembagaan yang sedang diperjuangkan Grant 2001;
Flint 2005. Sungguhpun demikian, performansi kelembagaan adat yang dihasilkan melalui revitalisasi perlu diuji melalui perspektif etik maupun emik
masyarakat Toro.
Performansi Kelembagaan Adat Perspektif Etik terhadap Kinerja Kelembagaan Adat
Kelembagaan yang baik, berkembang, dan dipertahankan oleh suatu komunitas sedikitnya memiliki tiga fungsi, di antaranya: a mampu memberikan
pedoman kepada anggota-anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang
dihadapi, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhannya; b mampu menjaga keutuhan masyarakat; dan c memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
keperluan dalam suatu pengendalian dan pengawasan sosial social control Sallatang 1999; Grant 2001.
Salah satu fungsi dan peran kelembagaan adat di Toro adalah mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang menjadi hak
bersama nanu hangkani maupun yang menjadi hak individu nanu handua. Pola pengaturan tersebut menciptakan suatu sistem hubungan sosial yang
terstruktur, sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Konsep Ostrom 1994 cukup relevan digunakan untuk memahami lebih jauh bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat lokal dapat
mempengaruhi pengelolaan hutan secara positif terhadap kelestarian sumberdaya alam, di bawah pengendaliankontrol kolektif lembaga adat. Ia
menguraikan delapan ‘prinsip rancangan’, yang jika dipenuhi akan mengarah kepada pengelolaan efektif sumberdaya alam milik bersama, yaitu: 1 batas-
batas sumberdaya alam dan kelompok penggunanya didefinisikan secara jelas; 2 mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam yang spesifik dan sesuai dengan
kondisi lokal; 3 modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal; 4 terdapat mekanisme pemantauan sumberdaya alam;
5 terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efisien; 6 para pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat; 7 terdapat berbagai
bentuk masukan; dan 8 adanya komitmen terhadap kelestarian. Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa dalam proses revitalisasi
kelembagaan adat, masyarakat Toro secara bertahap melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan pengakuan atas wilayah hukum adatnya. Beberapa hal yang
telah dilakukan untuk mendapat pengakuan tersebut di antaranya:
a pembuatan peta partisipatif wilayah hukum adat oleh masyarakat Toro; b pembenahan terhadap struktur kelembagaan adat; c penyusunan aturan
main terkait pemanfaatan sumberdaya alam yang meliputi; mekanisme penguasaan lahan, proses perizinan pemanfaatan lahan dan hasil hutan,
mekanisme resolusi konflik, dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya alam.
Upaya-upaya tersebut menghasilkan pengakuan dari pihak BTNLL dan desa-desa lain yang berbatasan langsung dengan wilayah hukum adat Toro, di
antaranya adalah desa Katu, desa Oo Parese, dan desa Sungku. Pengakuan tersebut semakin mempertegas eksistensi masyarakat adat Toro dalam
mengelola lahan dan hutan di wilayah hukum adatnya. Salah satu wujud kepastian hak adalah kejelasan mengenai tata batas antara ruang hidup
masyarakat dengan pihak-pihak lainnya la. Suhardjito 1999; Kartodihardjo 2006. Kepastian hak atas lahan dan hasil hutan menjadi prasyarat bagi
pencapaian kelestarian pengelolaan sumberdaya alam. Pembenahan utama dilakukan terhadap aturan main rule of the game
dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan di Toro. Pasca revitalisasi, telah berhasil terdokumentasi sejumlah nilai dan norma-norma
adat pendahulu mereka dalam mengelola dan memanfaatakan sumberdaya hutan. Sejumlah nilai dan norma sosial yang dianggap relevan dengan konteks
masa kini diadaptasi ke dalam aturan formal pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan di Toro. Bentuk konkrit aturan main yang dimiliki oleh masyarakat adat
Toro saat ini di antaranya: aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam, fungsi dan struktur Lembaga Masyarakat Adat, dan aturan tentang struktur hubungan
kerja antar lembaga 2002; Rencana Strategis Lembaga Masyarakat Adat Toro untuk periode 2003 - 2009 2003; dan yang terbaru adalah Draft Peraturan desa
Toro 2005. Melalui aturan-aturan tersebut, sistem pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro diatur secara spesifik dan sesuai dengan nilai dan
norma sosial yang berlaku di Toro. Olehnya hak kepemilikan property right terhadap lahan-lahan di Toro semakin jelas.
Terkait dengan pembenahan struktur kelembagaan adat di Toro, saat ini telah diatur secara jelas menyangkut kedudukan, wewenang, dan tugas
pemerintah desa, LMA, dan LPN. Aturan tersebut diatur dalam Perdes Toro Bab V, pasal 16 sampai dengan pasal 25. Dalam implementasi di lapangan,
LMA dibantu oleh Tondo ngata yang dipercayakan untuk mengawasi sumberdaya hutan di wilayah hukum adat Toro. Jumlah mereka tergolong sedikit
9 orang, tentunya bila dibandingkan dengan keseluruhan luas wilayah adat Toro 22.950 ha, namun mereka adalah orang-orang pilihan dari setiap
dusunnya boya, yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengenal dengan baik kondisi hutan di Toro Gambar 30 31. Secara bergiliran, para
tondo ngata berpatroli dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengawasi hutan.
Sejak penandatanganan prasasti kesepakatan pengawasan bersama antara BTNLL dan LMA, Tondo ngata telah berhasil menggagalkan beberapa
kegiatan illegal loging dan perambahan hutan, baik yang dilakukan oleh
Gambar 30
Anggota Tondo ngata melakukan persiapan sebelum menjalankan
tugasnya Foto: Golar 2005.
Gambar 31
Anggota Tondo ngata berangkat ke dalam hutan Foto: Golar 2005.
masyarakat Toro maupun oknum lainnya. Salah satunya adalah penangkapan seorang warga Toro yang sedang membuka lahan kebun di dalam kawasan
TNLL, seperti kasus NL berikut: ....NL, seorang warga Toro, yang sehari-hari bekerja sebagai
pencari rotan ditangkap oleh anggota Tondo ngata saat sedang membuka lahan untuk berkebun. Ketika ditanya oleh petugas
Tondo ngata mengapa melakukan perambahan; ia beralasan karena tidak memiliki lahan garapan, olehnya ia membuka lahan
hutan, yang menurutnya tidak diketahui merupakan kawasan pangale....
Kejadian tersebut sangat mengejutkan bagi pihak Tondo ngata, sebab selama ini perambahan hutan hanya dilakukan oleh warga di luar Toro. Tapi kini
mereka mendapati warga Toro yang merambah hutan. Atas kesepakatan Totua ngata, NL disidang secara adat, dan dijatuhi sanksi sesuai mekanisme
penjatuhan sanksi yang telah diatur dalam aturan main pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan Tondo ngata dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah kepedulian dan
komitmen masyarakat dalam membantu tugas Tondo ngata. Misalnya dengan memberikan laporan apabila mereka menjumpai pelanggaran di dalam hutan,
walaupun yang melakukan pelanggaran adalah warga Toro sendiri. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol
sosial di Toro masih berjalan dengan baik. Selain berfungsi dalam melakukan pengaturan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan, LMA juga berperan sebagai wadah resolusi sengketa atau konflik, baik yang terjadi sesama manusia hintuwu,
maupun antara manusia dengan sumberdaya alam katuwua. Melalui “self regulating mechanism” yang dimiliki, lembaga adat Toro sering kali lebih efektif
dalam menyelesaikan sengketa dan pemulih situasi ketertiban sosial, bila dibandingkan lembaga formal lainnya. Masyarakat umumnya membawa kasus-
kasus atau sengketa-sengketa yang dialaminya kepada LMA. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui negosiasi internal, dan jarang sekali mengundang
lembaga dari luar sebagai mediator. Terlebih bila kasus atau konflik yang terjadi menyangkut sistem nilai dan norma sosial, pelanggaran aturan-aturan adat
dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, dan pelanggaran susila. Namun demikian, bila konflik telah mengarah pada kasus atau tindak kriminal murni,
seperti pembunuhan atau perampokan, maka selain diselesaikan secara adat,
juga dilimpahkan pada pihak yang berwenang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sistem penyelesaian konflik yang berlaku di Toro lebih mengedepankan
fungsi rekonsiliasi dan reintegrasi sosial yang konkrit, seperti yang ditekankan dalam praktek peradilan adat.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, selain dibutuhkan kelembagaan adat yang berfungsi dan berperan dengan baik,
juga dibutuhkan sejumlah masukan input, di antaranya: peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan.
Dalam penerapannya, LMA menjalin kemitraan dengan sejumlah ORNOP di tingkat lokal, nasional, maupun internasional seperti diuraikan pada bab
sebelumnya. Bentuk-bentuk kemitraan yang terjalin dengan berbagai ORNOP dan institusi-instutusi lain diutamakan pada upaya peningkatan kemampuan
23
sumberdaya mayarakat dalam mengelola, memanfaatkan, dan mengendalikan kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di wilayah hukum adatnya.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa kedelapan prinsip yang dikembangkan Ostrom 1994, sebagian besar telah sesuai dengan
kelembagaan adat di Toro. Terkait dengan kejelasan batas-batas sumberdaya hutan dan kelompok pengguna, mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam, dan
modifikasi kebijakan dapat dijelaskan melalui kemampuan masyarakat Toro dalam menyelesaikan permasalahan tata batas antara “ruang hidup masyarakat”
dengan pihak BTNLL, yang dilakukan melalui pengaturan batas juridiksi
24
tradisional, beserta seperangkat norma-norma yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan. Selain itu, pembenahan struktur lembaga yang
dilakukan semakin memperjelas aturan representasi, “siapa berperan apa” di Toro. Revitalisasi kelembagaan adat, atau dalam konsep Ostrom diistilahkan
dengan modifikasi kebijakan, dilakukan secara partisipatif dan melibatkan perwakilan masyarakat adat Toro.
Sementara itu, terkait dengan kemampuan masyarakat Toro dalam “melindungi sumberdaya alam” dan “pemantauan” dapat dijelaskan melalui
eksistensi Tondo ngata, yang merupakan tenaga operasional lembaga adat
23
Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di Toro telah dibuktikan melalui pelatihan pembuatan peta, difasilitasi YTM, monitoring kerusakan, dan pemantauan terhadap sumberdaya
alam, difasilitasi TNC. Sementara itu, STORMA dan institusi peneliti lainnya telah menyumbangkan informasi berharga tentang gambaran potensi sumberdaya alam yang dimiliki
oleh masyarakat Toro.
24
Batas juridiksi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai batas wilayah kekuasan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat Pakpahan 1989
dalam mengamankan sumberdaya alam di wilayah hukum adat. Demikian halnya dengan mekanisme penyelesaikan konflik yang berjalan efektif, disebabkan
telah adanya sejumlah aturan yang mengatur hal tersebut di Toro, termasuk di dalamnya sanksi-sanksi yang menyertainya.
Terkait dengan “berbagai bentuk masukan” dapat dijelaskan melalui sejumlah upaya yang telah dilakukan masyarakat Toro dalam meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan secara berkelanjutan. Salah satunya melalui
kerjasama dengan berbagai ORNOP dan lembaga-lembaga penelitian dalam dan luar negeri. Hal ini membuktikan adanya komitmen yang dimiliki oleh
masyarakat Toro untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya alamnya.
Persfektif Emik terhadap Kinerja Kelembagaan Adat
Penilaian internal dimaksudkan untuk mengetahui perspektif emik masyarakat dalam menilai kinerja kelembagaan adat Toro pasca revitalisasi,
utamanya dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Berbeda dengan penilaian kinerja kelembagaan adat yang menggunakan kriteria
Ostrom, dalam penilaian internal digunakan kriteria yang berasal dari sudut pandang masyarakat. Penilaian difokuskan terhadap aturan main yang
dihasilkan melalui revitalisasi kelembagaan adat. Kriteria yang dihasilkan disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Penetapan kriteria umum dalam menilai kinerja kelembagaan adat dalam
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro
No Kriteria yang dihasilkan Modus
n=30
1. Aturan mudah diterapkan 2. Pembagian peran adat dan pemerintah jelas
3. Tidak merugikan masyarakat 4. Memberikan penegasan terhadap tata batas kawasan
5. Kejelasan status penguasaan lahan 6. Memberikan kemudahan akses terhadap lahan dan
hutan 7. Memberikan rasa aman
8. Penerapan sanksi bersifat adil 9. Kemudahan memperoleh lahan
10. Izin memanfaatkan kayu lebih mudah 11. Mampu membatasi pendatang
25 5
7 28
22 27
5 15
5 3
5 83.3
16.7 23.3
93.3 73.3
90.0 16.7
50.0 16.7
10.0 16.7
Sumber: Data primer setelah diolah 2006.
Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 11 kriteria yang di sebutkan oleh responden, diperoleh 5 kriteria masyarakat yang memiliki nilai modus di atas
50. Dengan demikian kriteria tersebut dianggap sebagai kriteria umum yang dapat digunakan untuk menilai sikap responden terhadap kinerja kelembagaan
adat yang baru. Kriteria tersebut di antaranya; a aturan main yang mudah diterapkan; b ada penegasan terhadap tata batas; c kejelasan status
penguasaan lahan; d kemudahan akses terhadap sumberdaya lahan dan hutan; dan e penerapan sanksi yang bersifat adil.
Dengan menggunakan model sikap Fishbein Santoso 2005, kriteria- kriteria tersebut diukur berdasarkan keyakinan belief responden terhadap
sejumlah kriteria yang diajukan, dan didasarkan atas evaluasi evaluation responden terhadap kinerja kelembagaan adat Toro. Dalam pengukuran belief,
pertanyaan yang diajukan tidak dikaitkan dengan kriteria kinerja kelembagaan Toro, namun kriteria penilaian kinerja kelembagaan secara umum. Sementara itu
pengukuran evaluation didasarkan atas penilaian kinerja kelembagaan adat Toro oleh responden. Hasil perhitungan keakinan dan evaluasi responden terhdap
kinerja kelembagaan adat Toro disajikan pada Tabel 24 dan Gambar 32.
Tabel 24
Penilaian sikap responden terhadap kinerja kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro
No Kriteria Rata-rata
Belief Rata-rata
Evaluation
1. Mudah diterapkan oleh seluruh masyarakat 2. Memberikan penegasan terhadap tata batas kawasan
3. Kejelasan status penguasaan lahan 4. Memberikan kemudahan akses terhadap lahan dan hutan
5. Penerapan sanksi bersifat adil 4.5
4.4 4.3
4.2 4.3
3.6 4.5
3.8 4.1
4.2
Sumber: Data primer setelah diolah 2006. Keterangan: - belief
: 1 = sangat tidak penting; 2 = tidak penting; 3 = cukup penting;
4 = penting ; dan 5 = sangat penting
-
evaluation :
1 = sangat tidak puas; 2 = tidak puas; 3 = netral; 4 = puas; dan 5 = sangat puas
Keterangan
:
Gambar 32
Diagram perbandingan antara nilai rata-rata belief dan evaluation.
Tabel 24 dan Gambar 32 di atas menunjukkan, bahwa kriteria-kriteria umum masyarakat tersebut di atas, di antaranya aturan yang mudah diterapkan;
penegasan tata batas; kejelasan status penguasaan lahan; kemudahan akses terhadap lahan dan sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai
penting oleh seluruh responden dalam mengukur kinerja suatu kelembagaan. Menurut mereka, kriteria baik-buruk suatu aturan dicirikan oleh beberapa hal, di
antaranya a tingkat kemudahan untuk diterapkan, yang dicirikan oleh penggunaan bahasa yang sederhana, tidak bertentangan dengan nilai, norma,
dan adat istiadat, memiliki pedoman pelaksanaan yang jelas, serta disosialisasikan secara terus-menerus kepada masyarakat; b aturan tersebut
harus mampu memberikan penegasan terhadap batas-batas kawasan, sehingga dapat meredam munculnya konflik dalam pemanfaatannya; c tata guna lahan
diatur secara jelas sehingga penguasaannya tidak tumpang tindih; d akses masyarakat terhadap lahan dan hutan relatif lebih mudah, serta; e penerapan
sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan bersifat adil, dan tidak memandang asal etnis, agama, dan status sosial.
Sementara itu, evaluasi evaluation responden terhadap kinerja kelembagaan adat menunjukkan nilai yang bervariasi, utamanya terhadap
kriteria kemudahan dalam penerapan aturan dan kejelasan status penguasaan lahan. Kedua kriteria tersebut diberi skor lebih rendah oleh responden.
Belief Evaluation
Penilaian 4.4
4.3 4.2
4.3 3.6
4.5 3.8
4.1 4.2
4.5
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5 5
1 2
3 4
5 Kriteria
Aturan yang ada, khususnya tentang pemanfaatan dan pengolahan sumberdaya lahan dan hutan, belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh
masyarakat. Hal tersebut lebih disebabkan karena aturan-aturan yang belum tersosialisasi dengan baik di tingkat masyarakat. Bahkan, beberapa responden
mengaku belum mengetahui tentang adanya aturan tersebut. Hal berbeda disampaikan oleh responden lainnya, di mana mereka mengaku telah
mengetahui tentang adanya aturan pemanfaatan sumberdaya alam, namun aturan tersebut belum sepenuhnya berjalan. Dicontohkan bahwa dalam aturan
dijelaskan ‘mekanisme perizinan pemanfaatan lahan harus diajukan kepada kepala desa melalui lembaga adat’.
Namun kenyataannya, beberapa dari masyarakat dapat pula mengajukan izin secara langsung kepada pemerintah desa tanpa melalui lembaga adat.
Kasus lain dicontohkan perihal aturan pembukaan lahan, di mana bagi masyarakat yang akan membuka lahan disyaratkan untuk memperhatikan musim
berdasarkan perhitungan bulan dan bintang. Faktanya, proses perizinan dapat dilakukan kapan saja. Hal ini mengidikasikan belum konsistennya penerapan
peraturan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro. Sungguhpun demikian, sebagian besar masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu hal yang
wajar, sebagai suatu proses dinamika ke arah pembenahan kelembagaan adat di Toro.
Terkait dengan kejelasan aturan tentang status penguasaan lahan, terdapat beberapa hal yang masih menimbulkan interpretasi ganda masyarakat. Dalam
aturan disebutkan bahwa ‘batasan-batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis tanah, kebutuhan lahan, dan kemampuan mengolah dengan
tetap memperhatikan rasa keadilan’. Bagi sebagian masyarakat utamanya etnis asli asal-usul historis diterjemahkan sebagai warisan dari pendahulu mereka,
sehingga mereka secara otomatis berhak terhadap lahan tersebut. Berbeda dengan sikap etnis pendatang, yang memandang aturan tersebut sebagai
‘pembatasan’ terhadap kesempatan mereka untuk membuka lahan, utamanya pada lahan oma dan pangale.
Sementara itu, responden lain justeru memandang aturan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah dibuat justeru berupaya untuk memberikan
kesempatan yang merata bagi masyarakat Toro dalam memanfaatkan sumberdaya lahan di wilayah kelola adat. Hal ini dibuktikan dengan penegasan
yang terdapat dalam aturan tersebut untuk memperhatikan ‘rasa keadilan’.
Penegasan ini mengandung makna bahwa siapa saja, tanpa memandang asal- usul etnis dan agama, asalkan warga Toro maka dia memiliki kesempatan yang
sama untuk memanfaatkan sumberdaya alam di Toro. Meskipun demikian, secara keseluruhan sikap masyarakat yang diukur
berdasarkan kriteria umum masyarakat menunjukkan sikap positip terhadap kinerja kelembagaan yang baru, utamanya dalam mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Hal ini mulai dirasakan sejak dilakukannya revitalisasi, atau menurut versi mereka setelah adanya pengakuan
dari pihak BTNLL terhadap wilayah hukum adat Toro. Hal positif yang dirasakan, antara lain meningkatnya fungsi dan peran lembaga adat dalam mengatur tata
batas di wilayah hukum adat. Dahulu, sebelum digulirkannya revitalisasi, konflik masyarakat dengan pihak TNLL, atau desa-desa lain sering terjadi.
Kejelasan tata batas secara tidak langsung juga berpengaruh positif terhadap mekanisme pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Masyarakat merasa lebih mudah dalam memilah dan memilih bentuk pemanfaatan lahan yang sesuai dengan tipologi lahan di Toro. Selain itu, hal
mendasar yang langsung dirasakan secara positif oleh masyarakat adalah adanya keberpihakan lembaga adat kepada upaya pengembangan ekonomi
lokal, dengan kebijakan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya hutan, utamanya kayu, hanya untuk masyarakat Toro. Salah satunya adalah adanya
aturan yang secara tegas melarang penjualan kayu dalam bentuk log ke luar Toro, sehingga membatasi ruang gerak pengusaha-pengusaha luar maupun free
rider lain yang ingin melakukan spekulasi di Toro. Sebaliknya, bagi usaha-usaha masyarakat berskala lokal, lembaga adat tetap memberikan izin untuk
memanfaatkan kayu, tentunya melalui mekanisme dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan.
Bagi masyarakat, penetapan larangan bagi pihak luar untuk memanfaatkan kayu di Toro merupakan salah satu kebijakan strategis lembaga adat yang
dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan adanya kebijakan tersebut, peluang pengembangan usaha meubel berskala lokal terbuka lebar, sehingga
setiap warga Toro memiliki peluang yang sama untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Ringkasan
Semangat awal revitalisasi terhadap kelembagaan adat di Toro diawali oleh proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan
sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, diikuti pula dengan pembuatan peta partisipatif. Melalui peta
partisipatif tersebut mereka mengkomunikasikan hukum adat mereka prihal pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya membantu
dalam menyelesaikan sengketa dengan pihak lain, memperoleh pengakuan atas wilayah adat, membantu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya alam,
serta membantu mewariskan kepada generasi yang akan datang tentang sejarah, tradisi,dan hukum adat di Toro. Melalui peta ini pula masyarakat Toro
memberikan penegasan kembali prihal asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat mereka, yang selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL.
Pasca pengakuan dari pihak TNLL kepada masyarakat Toro, muncul berbagai kasus pemanfaatan hasil hutan kayu yang cenderung illegal. Hal ini
disebabkan oleh “lemahnya” kinerja lembaga adat saat itu. Hal ini dicirikan oleh inkonsistensi penerapan sanksi adat, dan terkesan subjektif. Hal inilah yang
memotivasi masyarakat Toro untuk segera melakukan revitalisasi terhadap kelembagaan adat. Hal utama yang dilakukan adalah pembenahan terhadap
struktur dan hubungan kerja antar lembaga yang ada di Toro. Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga, maka semakin jelas pula sistem
kelembagaan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik yang dapat
merugikan ekosistem sumberdaya alam d Toro Kesper and Streit 1996 Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari peran kepemimpinan
lokal. Peran kepala desa amat menentukan, utamanya dalam mengadaptasikan aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional ke dalam kondisi saat ini. Para
totua ngata dan tokoh-tokoh pemuda yang juga berperan dalam proses penggalian aspek-aspek pengetahuan tradisional, utamanya terkait dengan
pengetahuan ekologis pemanfaatan sumberdaya hutan. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh perempuan berjuang dalam menggali kembali fungsi dan peran
perempuan adat Toro tina ngata. Hal penting yang dihasilkan melalui proses revitalisasi kelembagaan adat
adalah sejumlah aturan-aturan tertulis, yang juga memuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat spesifik, di mana bentuk dan nilai dari sanksi
atas pelanggaran ditetapkan menurut hukum adat dan melalui mekanisme musyawarah adat. Dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan,
Toro memiliki mekanisme pengawasan yang telah ada jauh sebelum Lore Lindu ditetapkan sebagai taman nasional. Salah satu faktor yang turut mendukung
keberhasilan dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah tingginya kepedulian dan komitmen masyarakat dalam membantu tugas tondo
ngata. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol sosial di Toro masih berjalan dengan baik.
Dalam perspektif emik terungkap bahwa kinerja kelembagaan adat yang baru belum sepenuhnya baik, utamanya dalam hal pengaturan tentang kejelasan
hak penguasaan lahan. Namun secara keseluruhan masyarakat memberikan penilaian baik terhadap kinerja kelembagaan adat Toro, khususnya dalam
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro. Penilaian emik ini secara umum memiliki kesesuaian dengan penilaian yang menggunakan
kriteria Ostrom. Hanya saja, kriteria yang dikembangkan masyarakat relatif lebih sederhana dan faktual, bila dibandingkan kriteria yang dikembangkan Ostrom.
IMPLIKASI REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN
Dalam bab terdahulu dijelaskan tentang bagaimana performansi kelembagaan adat Toro dalam mengelola sumberdaya hutan. Untuk
menganalisnya telah digunakan kriteria Ostrom dan kriteria emik masyarakat, di mana kedua kriteria tersebut memuat sejumlah kondisi sosial yang dibutuhkan
dalam mengukur performansi kelembagaan dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum common property resources.
Namun demikian, kriteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan implikasi kelembagaan yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan.
Disertasi ini menggunakan perangkat kriteria dan indikator KI, dalam menjelaskan sejauhmana implikasi dari aturan main dan struktur kelembagaan
adat yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pendekatan KI yang digunakan adalah perangkat Kriteria dan Indikator LEI LEI 2004. Di dalam
naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting di antaranya: fungsi kawasan,
status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek
pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian.
Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam 3 tiga kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan KBK, kawasan budidaya non kehutanan KBNK, dan
kawasan yang dilindungi KD. Bagi KBK dan KD, pertimbangan utama terletak pada kepentingan publik dibandingkan kepentingan pihak pengelola. Sedangkan
pada KBNK berlaku sebaliknya. Variabel status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan publik yang
dikuasai negara, lahan adat, dan lahan dengan hak milik formal berdasarkan hukum positif. Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi
pemegang hak penguasaan lahan. Penggunaan variabel ini, selain merujuk pada ketetapan yang diberikan oleh hukum positif secara formal, juga mengacu dan
bersandar pada pengakuan hukum adat setempat. Dengan demikian, secara teori maupun praktek, pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dapat
dilakukan pada semua status penguasaan lahan, di mana pada ketiganya terdapat perbedaan hak dan kewajiban bagi pelaku-pelakunya. Dengan demikian
kejelasan terhadap status penguasaan lahan sangat menentukan perilaku pengelola, sehingga akan menentukan pula terhadap pencapaian keberlanjutan
fungsi hutan. Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat
komersial dan subsisten. Secara teoritis, perilaku yang berorientasi komersial akan cenderung mengutamakan keuntungan dan akumulasi modal. Sebaliknya,
perilaku subsisten cenderung akan memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas, serta memperhatikan kapasitas produksi alamiahnya. Karena itu, di
dalam pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, kecenderungan untuk melakukan eksploitasi berlebih sangat terbuka dalam rangka mencapai tingkatan
ekonomi tertentu, yang tentunya berorientasi pada keuntungan dan peningkatan modal capital, melalui re-investasi reinvestation Suharjito et al. 2003: 5.
Olehnya, di dalam pola pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, peluang terjadinya pengelolaan hutan yang tidak lestari akan sangat besar. Sebaliknya,
pengelolaan hutan yang lebih pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten akan memiliki kecenderungan terhadap pemeliharaan kelestarian fungsi hutan yang
lebih baik LEI 2004. Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola,
kayu dan atau non kayu dari hutan. Pembedaan ini sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap kelestarian fungsi ekologis hutan. Pemanenan kayu akan
cenderung memberikan dampak ekologis lebih besar, dibandingkan pemanenan non-kayu maupun jasa, meskipun tidak berarti bahwa, seluruh usaha
pengelolaan hasil hutan non kayu tidak akan menimbulkan kerusakan fungsi ekologis hutan.
Tipologi Hutan di Toro
Mengacu pada variabel fungsi kawasan, wilayah Toro sebagian dimasukkan dalam kawasan TNLL, selebihnya merupakan Areal Penggunaan
Lain APL Gambar 33. Namun demikian, berdasarkan status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan, wilayah desa Toro dikategorikan
sebagai tanah adat
25
. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tipologi lahan
25
Lahan adat diterminologikan sebagai sebidang tanah yang diklaim sebagai hak milik suatu komunitas tertentu, dan pengelolaannya diatur berdasarkan hukum adat mereka, terlepas dari
keberadaannya yang terletak di dalam kawasan yang diklaim sebagai Tanah Negara TN oleh pemerintah maupun yang berada di luar kawasan TN dan yang dalam hal penguasaannya
bersifat individual maupun komunal LEI 2004.
adat, utamanya wana dan pangale, dikuasai secara komunal atau bersama oleh seluruh anggota komunitas communal-customary land, dan sepenuhnya
dikelola oleh lembaga adat Toro. Berdasarkan karakterisitik kedua wilayah di atas, serta sumberdaya alam
yang dimiliki desa Toro, instrument KI LEI yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur secara relatif kelestarian sumberdaya hutan yang dikelola oleh
lembaga adat adalah kategori K-II, no. 09 dan no. 10. Kategori tersebut
diperuntukkan bagi sumberdaya hutan yang menghasilkan kayu secara komersial pada tanah publiknegara, dan tanah-tanah adat yang dikuasai secara
komunal. Meskipun wilayah kelola adat Toro sebagian besar merupakan kawasan
lindung, namun di beberapa tipologi lahan adat, seperti: pangale, pahawa pongko dan oma, masyarakat masih diperkenankan untuk memanfaatkan
sumberdaya lahan, hasil hutan kayu dan non kayu, sehingga dapat dikategorikan ”sama” dengan kawasan budidaya kehutanan. Selain itu, kategori tersebut juga
menekankan pada kebutuhan dalam menjaga sejumlah kepentingan komunal, meliputi kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial yang berimbang. Olehnya,
sangat sesuai dengan konsep pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Toro.
Sumber: Direktorat Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan dan Kebun, DEPHUTBUN, 1998.
Gambar 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi Tengah 1998, Dishut 2000.
Toro
Kelestarian Fungsi Sosial
Kelestarian fungsi sosial memiliki pengertian, bahwa kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dapat
memberikan jaminan keberlanjutan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan hutan, utamanya bagi kehidupan seluruh anggota komunitas secara lintas generasi LEI
2004. Dengan demikian jelas bahwa sasaran dari kelestarian fungsi sosial adalah dibuatnya aturan main yang dapat memberikan jaminan bagi
kesejahteraan masyarakat, utamanya mereka yang berinteraksi secara langsung dengan sumberdaya hutan.
Kelestarian fungsi sosial diukur dengan menggunakan empat kriteria, di antaranya: 1 kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau
areal hutan yang dipergunakan; 2 keterjaminan dalam pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas; 3 terbangun pola hubungan sosial yang setara
dalam proses produksi; dan 4 keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas.
Kejelasan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Lahan atau Areal Hutan
Kriteria ini digunakan untuk menganalisis pola hubungan kuasa antara komunitas Toro dengan sumberdaya lahan dan hasil hutan. Melalui pola
hubungan kuasa akan ditentukan pola-pola pemanfaatanpenggunaan lahan hutan. Analisis ditujukan terhadap kelembagaan yang mengatur pola-pola
pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan, status peguasaan lahan, kejelasan batas-batas kawasan, dan mekanisme resolusi konflik yang dimiliki oleh lembaga
adat Toro. Keempat indikator tersebut di atas memiliki kesepadanan dengan kriteria
kelestarian berdasarkan pemahaman masyarakat Toro, utamanya terhadap “kejelasan status lahan” dan “jaminan kelembagaan terhadap penyelesaian
konflik pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang bersifat adil”. Kedua kriteria tersebut dapat memberikan jaminan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya lahan oleh masyarakat secara aman. Pemberian skor terhadap kriteria kejelasan hak penguasan dan pengelolaan lahan atau areal hutan
disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal
hutan
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Pengelola hutan adalah warga komunitas 1.0
5.0 5.0
2. Status lahan tidak dalam sengketa dengan warga anggota komunitas maupun pihak lain
1.0 5.0
5.0 3. Kejelasan batas-batas
areal hutan
yang dipergunakan
1.0 5.0
5.0 4. Digunakan
tata cara
atau mekanisme
penyelesaian sengketa
yang berkeadilan
terhadap klaimsengketa yang terjadi 1.0
5.0 5.0
Rerata Skor 5.0
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 25 menunjukkan bahwa rerata skor yang dihasilkan oleh kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan masuk dalam
kategori baik 5.0. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan di Toro dikelola oleh lembaga adat, dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh
masyarakat lokal. Sebenarnya, jauh sebelum adanya pengakuan dari pihak BTNLL, wilayah kelola adat Toro telah mendapatkan pengakuan dari desa-desa
lain, terutama yang berbatasan langsung dengan wilayah desa Toro, seperti desa Katu, Oo Parese, dan Sungku. Olehnya, peluang terjadinya sengketa
terhadap pemanfaatan lahan, utamanya dengan desa lain, sangatlah kecil. Kalaupun ada, lembaga adat telah memiliki resolusi konflik yang diakui dan
disepakati bersama baik internal maupun eksternal Toro, meliputi: metode musyawarah, mediasi, dan mekanisme peradilan adat.
Dalam penerapannya, khususnya terhadap konflik internal di Toro, lembaga adat tidak sekedar menyelesaikan sengketa yang terjadi, namun lebih jauh
mengupayakan untuk merekatkan kembali kekerabatan kedua belah pihak yang bertikai. Upaya tersebut biasanya dilakukan melalui ”upacara pendamaian”, di
mana penyelenggaraan ditanggung sepenuhnya oleh kedua belah pihak. Hal ini pula yang menyebabkan hampir setiap sengketa lahan yang terjadi di Toro dapat
diselesaikan dengan baik Gambar 34 35. Meskipun batas-batas lahan tidak nampak secara fisik, namun masyarakat
mampu mengenali dengan mudah di lapangan. Hal ini lebih disebabkan karena lembaga adat menggunakan batas-batas alam sebagai penandanya, seperti:
punggung bukit dan sungai. Sementara itu, untuk membedakan tiap-tiap tipologi lahan tradisional digunakan “tanaman indikator” damar dan rotan, “karakteristik
biofisik lahan” kemiringan dan ketinggian tempat; dan sejumlah “tanda-tanda lain yang mencirikan lokasi yang dilindungi” mata air dan tanaman obat-obatan.
Keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi Komunitas
Kriteria ini digunakan untuk menganalisis sejauhmana kelembagaan adat yang direvitalisasi mampu mengatur dan mempertahankan pola keseimbangan di
dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun budaya. Secara mikro, kriteria ini bermanfaat untuk
mengetahui efektifitas dari aturan main yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, utamanya dalam memperkuat
kemampuan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, secara relatif diharapkan bahwa tiap-tiap warga masyarakat dapat memenuhi segala
kebutuhan keluarganya melalui aktifitas produksi di dalam hutan. Pemberian skor terhadap kriteria keterjaminan pengembangan dan ketahanan ekonomi
komunitas disajikan pada Tabel 26.
Gambar 34 Rapat penyelesaian sengketa lahan
antar masyarakat Toro Foto: Golar 2005.
Gambar 35 Makan Bersama sebagai simbolisasi
selesainya sengketa di antara mereka Foto: Golar 2005.
17.2 71
9.6 2.2
10 20
30 40
50 60
70 80
sangat baik baik
sedang buruk
kategori
Tabel 26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan
Ekonomi komunitas
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan
mampu mendukung
kelangsungan hidup
komunitas dalam lintas generasi 1.0
4.0 4.0
2. Terjaganya integrasi kegiatan ekonomi kayu
dengan kegiatan non ekonomi di dalam kawasan hutan
1.0 5.0
5.0 3.
Penerapan teknologi produksi dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat
penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan
1.0 5.0
5.0
Rerata nilai Skor 4.6
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas masuk dalam
kategori baik skor=4.6. Berdasarkan penjelasan masyarakat, peluang akses mereka terhadap sumberdaya lahan dan hutan saat ini jauh lebih baik bila
dibandingkan sebelum ada kesepakatan dengan pihak BTNLL. Lebih dari 70 atau lebih kurang 365 rumahtangga di Toro menyatakan “baik”, bahkan 17.2,
atau lebih kurang 88 rumahtangga menyatakan “sangat baik” bila dibandingkan sebelum digulirkannya revitalisasi Gambar 36.
Gambar 36
Peluang akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan pasca revitalisasi sumber: data STORMA
2004, diolah.
Sebelum ada kelembagaan adat yang secara khusus mengatur tentang pemanfaatan lahan dan hasil hutan kayu di Toro, masyarakat hanya
menggantungkan hidupnya dari hasil sawah dan mengumpul rotan ba’rotan. Sebelum tahun 1996, rata-rata 50 rumahtangga di Toro melakukan kegiatan
mengumpul rotan, utamanya di saat sawah-sawah mereka mengalami paceklik. Mereka masuk ke dalam hutan berminggu-minggu untuk mecari rotan sesuai
pesanan. Dalam setiap minggunya mereka menghasilkan 150 kg -100 kg, dengan harga berkisar antara Rp 100.000.00–Rp 200.000.00. Sementara itu,
biaya yang dikeluarkan untuk bekal mereka ke dalam hutan gula, rokok, dan lauk-pauk adalah Rp 50.000.00 – Rp 80.000.00. Dengan demikian, nampak
jelas bahwa hasil yang diperoleh masyarakat tidak seimbang dengan pengorbanan yang dikeluarkan.
Hal tersebut di atas dikeluhkan oleh istri-istri mereka, di mana hasil yang diperoleh dari usaha mengumpul rotan dinilai tidak sebanding dengan waktu dan
biaya yang telah dikorbankan, bahkan cenderung “merugi” disebabkan sepulang merotan suami-suami mereka sering mengeluh sakit, sehingga mereka harus
mengeluarkan lagi sejumlah biaya untuk membeli obat. Hal serupa dikemukakan oleh kepala desa Toro, bahwa kegiatan mengumpul rotan yang dikerjakan oleh
masyarakatnya tidak lagi memberikan untung, bahkan tidak sedikit dari mereka mengalami kerugian disebabkan tidak mampu lagi untuk memenuhi target sesuai
pesanan pembeli, sementara uang panjar telah diterima, sehingga menjadi beban hutang bagi mereka. Untuk membayarnya, mereka sering menjual lahan-
lahan yang dimiliki atau langsung menyerahkan lahan tersebut kepada si pemberi panjar
26
untuk melunasi hutangnya. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan lembaga adat dan pemerintah desa untuk memberikan
peluang bagi masyarakatnya dalam memanfaatkan lahan-lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro.
Pemberian peluang tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Bagi mereka yang selama ini hanya mengandalkan
hasil panen sawah, dengan dibukanya peluang tersebut, kini mereka dapat memanfaatkan lahan-lahan di bawah tegakan hutan, baik untuk ditanami kakao,
kopi dan vanilli. Situasi ini secara langsung telah memberikan tambahan pendapatan add incomes masyarakat di Toro. Kajian yang dilakukan
26
Pemberi panjar adalah pedagang pengumpul di Desa Toro, yang juga menerima pesanan dari eksportir di Palu.
Schwarze 2005, menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari sektor pertanian pasca kesepakatan 2000-2004, utamanya untuk komoditas kakao, kopi, dan
vanila telah memberikan kontribusi sebesar 44 terhadap total pendapatan rumahtangga di Toro. Demikian halnya terhadap peluang untuk memanfaatkan
hasil hutan kayu, dirasakan sangat berarti oleh masyarakat, utamanya bagi mereka yang sedang mengembangkan usaha meubel berskala lokal.
Seperti dijelaskan terdahulu, bahwa bahan baku kayu yang digunakan oleh pengrajin meubel di Toro umumnya diperoleh dengan cara memesan pada
seseorang yang berprofesi penebang chainsaw man. Untuk setiap 1 m
3
kayu, misanya untuk jenis tahiti dan cempaka, si pengrajin rata-rata membayar Rp
300.000.00 kepada si penebang dalam bentuk papan atau balok sesuai pesanan. Harga tersebut tidak termasuk biaya angkut dari hutan ke tempat si
pengrajin. Untuk jasa tersebut, biasanya dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 250.000.00 – Rp 300.000.00. Selain biaya tersebut, pemilik kayu berkewajiban
pula untuk membayar kas desa sebesar Rp 25.000.00 untuk tiap 1 m
3
. Dengan demikian, setiap 1 m
3
kayu di Toro memiliki harga berkisar Rp 550.000.00–Rp 600.000.00.
Meskipun demikian, nilai jual kembali dari produk yang telah dihasilkan dihasilkan, seperti: pintu, kusen, dan meubel jauh lebih menguntungkan. Sebagai
ilustrasi, dalam 1 m
3
kayu hasil tebangan dapat dibuat menjadi 30–50 lembar papan, tergantung ukuran dan ketebalannya. Dari papan-papan tersebut, bila
ingin dibuat menjadi pintu sedikitnya dibutuhkan dua lembar papan. Bila telah menjadi pintu oleh si pengrajin dihargai Rp 200.000.00. Jika diasumsikan bahwa,
dalam 1 m
3
kayu dapat dibuat menjadi 20 buah pintu, maka pendapatan kotor yang dapat diterima pengrajin tersebut adalah sebesar Rp 4.000.000.00, atau
berkisar Rp 2.500.000.00 setelah dikurangi dengan komponen biaya. Hal tersebut di atas membuktikan bahwa lembaga adat dan pemerintah
desa Toro telah menjalankan salah satu fungsinya dalam mendukung dan menjaga keutuhan masyarakat, melalui jaminan kepastian usaha dan
keberlanjutan sumber-sumber ekonomi komunitas. Indikator ini memiliki kesepadanan dengan kriteria “emik”, yaitu “adanya keterjaminan terhadap
sumber-sumber ekonomi masyarakat melalui pemberian kesempatan dalam memanfaatkan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro”.
Peningkatan pendapatan
masyarakat dapat
diindikasikan melalui
kemampuan masyarakat Toro dalam menginstalasi jaringan listrik; di mana lebih
dari setengah 60 rumah tangga di Toro telah memasangnya secara individu, dan sekitar 20 yang mencantol pada keluarga lain. Selain itu, hal lain yang
mencirikan adalah peningkatan daya beli masyarakat Toro terhadap kebutuhan sekunder, seperti: membeli pesawat televisi, radio, parabola, dan kendaraan
bermotor Tabel 27. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat seiring digulirkannya revitalisasi
kelembagaan adat, yang secara langsung telah memberikan proporsi berimbang dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.
Tabel 27
Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004
No Jenis asset Jumlah
Jiwa
1. Sambungan listrik sendiri 2. Pesawat televisi
3. Pesawat radio 4. Parabola
5. VCD 6. Motor
317 72
375 43
116 70
61 14
72 8
22 13
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006. Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan total rumahtangga di Toro 253 kk
Meskipun saat ini motif ekonomi telah mewarnai sistem pemanfaatan lahan di Toro, namun prosesi adat, sebagai salah satu tahapan dalam aktivitas
pemanfaatan lahan hutan masih tetap dijumpai. Namun, kini wujudnya lebih kepada pendekatan yang sifatnya keagamaan. Hal ini merupakan satu indikasi
masih bertahannya sistem kearifan tradisional Toro dalam aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan, yang mampu mengintegrasikan aktivitas sosial budaya,
religius, dan non-ekonomis lainnya secara sinergis. Untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di
Toro, secara tegas diatur tentang pembatasan kategori wilayah adat yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan kayunya. Tipe lahan yang diperkenankan untuk
dimanfaatkan kayunya adalah oma oma ntua dan oma ngura dan pahawa pongko. Sementara itu, untuk tipe pangale kini tidak lagi diperkenankan untuk
dimanfaatkan kayunya. Hal tersebut dimaksudkan agar sumberdaya hutan dan lahan yang dipertahankan, baik sebagai hutan yang dilindungi maupun sebagai
hutan cadangan adat dapat terpelihara dengan baik. Upaya lain yang ditempuh oleh pemerintah desa dan lembaga adat di Toro adalah melalui himbauan
kepada warga masyarakat untuk tidak menjual lahan pada orang di luar Toro. Alasan yang mendasari himbauan tersebut adalah untuk menjaga tertib sosial,
terutama yang berkaitan dengan kesinambungan tradisi. Alasan yang mendasari adalah “jika Toro secara turun-temurun dihuni, dan lahan dimiliki atau dikuasai
oleh penduduk lokal, maka ”sistem pengaturan sosial” yang diperankan oleh lembaga adat akan berjalan dengan baik. Semakin homogen suatu masyarakat,
akan semakin mudah memelihara kesinambungan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, yang tentunya menjadi insentif bagi kelestarian hutan di Toro” bdk.
Li 2002; Leach et al 1997. Konsepsi pemikiran tokoh masyarakat di Toro, sejalan dengan studi yang
pernah dilakukan oleh Universitas Idaho di Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan oleh penduduk asli di hutan lindung
Bosawas, Nikaragua, secara drastis mampu mengurangi pembukaan hutan menjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang bukan penduduk
asli. Dalam tahun 2002, rata-rata setiap petani yang bukan penduduk asli membuka hutan 17 kali lebih luas dibandingkan dengan penduduk asli. Para
petani pendatang membuka hutan lebih luas karena pada saat mereka selesai berladang, mereka membiarkan lahannya ditumbuhi rumput. Sebaliknya, suku
Mayangnas dan Miskitus suku asli tidak pernah membiarkan lahannya tidur. Mereka terus menerus menanami ladangnya dengan tanaman pertanian. Para
petani pendatang menggunakan sebagian rumput yang tumbuh untuk makanan ternaknya. Sebagian dari mereka dengan mudah mengklaim lahan tersebut
sebagai tanah peninggalan leluhur mereka. Para penduduk asli sebaliknya menjaga ternak mereka di dalam perkampungannya, dan mengelola lahan
garapannya secara berkelompok Hecht et al. 2006. Studi tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa tindakan protektif yang
dilakukan oleh lembaga adat Toro, dalam mencegah masuknya pendatang untuk mengelola lahan dan hutan di Toro cukup rasional. Sekaligus membuktikan
komitment lembaga adat mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan untuk generasi mendatang.
Pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi
Kriteria ini digunakan dalam menilai bagaimana pola hubungan sosial yang terbangun dalam pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya
kejelasan pembagian wewenang dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Toro.
Kewenangan yang jelas akan menunjukkan adanya kejelasan pertanggung- jawaban atas kinerja, maupun atas dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan
dari segala aktifitas pengelolaan sumberdaya hutan. Pemberian skor terhadap kriteria tersebut disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam
proses produksi
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara
berbagai pihak dalam pengelolaan merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar
1.0 5.0
5.0 2.
Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam kelembagaan pengelolaan SDH
1.0 4.0
4.0
Rerata nilai Skor 4.5
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 28 menunjukkan bahwa kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi masuk dalam kategori baik skor= 4.5.
Seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat dua tipologi penguasaan lahan di wilayah kelola adat Toro yakni: a tipologi lahan yang dikuasai secara kolektif
nanu hangkani, seperti: wanangkiki, wana, pangale, dan pahawa pongko, dan b tipologi lahan yang kuasai secara individu nanu handua, seperti oma dan
balingkea. Pengaturan pemanfaatan lahan-lahan tersebut merupakan wewenang lembaga adat dan pemerintah desa. Hal ini berarti bahwa, meskipun lahan yang
akan dikelola oleh masyarakat masuk dalam tipologi lahan yang dapat dikuasai secara individu, namun bila ingin mengelolanya mereka tetap harus melalui
proses perizinan kepada pemerintah desa dan lembaga adat. Hal tersebut di atas dimaksudkan agar pemerintah desa dan lembaga adat
dapat tetap memantau segala aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar bila terjadi
konflik internal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan dan hasil hutan pihak lembaga adat telah memiliki data konkrit terkait penguasaan
dan pemanfaatan lahan di wilayah kelola adatnya, sehingga penyelesaian yang ditempuh oleh pihak lembaga adat diharapkan tidak merugikan salah satu pihak
yang bertikai. Dalam proses perizinan, masyarakat diminta untuk mengemukakan tujuan
pemanfaatan lahan atau hasil hutan, dan letak lokasi lahan tersebut. Bila lokasi
terletak pada lahan yang dapat dikuasai secara individu, maka si pemohon berkewajiban menyertakan informasi luasan, sejarah kepemilikan, serta data
atau informasi menyangkut pemilik lahan yang berbatasan langsung dengan lokasi yang akan diajukan untuk dikelola atau dimanfaatkan hasilnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan munculnya tuntutan di kemudian hari terkait pemanfaatan lahan tersebut, dan aturan ini diberlakukan bagi setiap
warga Toro, tanpa melihat asal-usul etnisnya. Dengan demikian, pola hubungan sosial yang terbangun di Toro, utamanya dalam memanfaatkan dan mengelola
hutan merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar. Sebelum pemerintah desa mengeluarkan izin akan dilakukan konsultasi
antara pemerintah desa dengan pihak lembaga adat, dalam hal ini pihak tondo ngata. Hal tersebut dilakukan karena tondo ngata selaku tenaga operasional
lembaga adat dianggap mengetahui dan menguasai kondisi lokasi di wilayah hukum adat Toro. Keputusan yang akan diambil pihak pemerintah sangat
bergantung pada hasil konsultasi tersebut. Namun demikian, di tingkat lapangan masih ditemukan bahwa proses perizinan ada kalanya diperoleh langsung dari
pemerintah desa tanpa melalui proses konsultasi dengan lembaga adat, utamanya bagi mereka yang mengajukan izin pemanfaatan di lokasi nanu
handua. Hal ini mengindikasikan bahwa pembagian tugas dan wewenang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah desa dan pihak lembaga adat
belum berjalan baik. Proses perizinan untuk memanfaatkan lahan dan sumberdaya hutan disajikan pada Gambar 37.
Pengajuan masyarakat
Kepala desa Toro
Lembaga Adat Tondo
ngata Layak tidak
Gambar 37 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan kayu di Toro.
Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas
Kriteria ini digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya kompensasi yang diberikan oleh pihak lembaga adat dan pemerintah desa kepada masyarakat
Toro, utamanya terhadap kerugian yang diakibatkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan; sejauhmana tingkat keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, kesamaan hak yang dimiliki anggota komunitas, dan ada-tidaknya diskriminasi etnis dan agama. Selain itu, kriteria ini digunakan
pula untuk mengetahui mekanisme pertanggung-jawaban lembaga adat kepada masyarakat, terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Hasil skor
terhadap kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita
komunitas secara
keseluruhan akibat
pengelolaan hutan
oleh kelompok
dan disepakati seluruh warga komunitas
1.0 3.0
3.0
2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka
untuk terlibat
dalam penyelenggaraan
pengelolaan SDH 1.0
3.0 3.0
3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik
dari pengelola terhadap komunitas 1.0
5.0 5.0
Rerata nilai Skor 3.6
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 29 menunjukkan bahwa secara keseluruhan penilaian terhadap kriteria keadilan manfaat masuk dalam kategori sedang 3.60. Hal ini didasari
oleh fakta bahwa mekanisme konpensasi terhadap dampak pemanfaatan hutan belum diatur secara khusus di Toro. Berdasarkan penjelasan informan kunci, dan
dipadu dengan hasil focus group discussion, diketahui bahwa makna kompensasi di Toro adalah ”pemberian atau perolehan kesempatan yang sama”,
terutama bagi setiap warga Toro dalam memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah kelola adat. Di sini nampak bahwa kompensasi hanya diberlakukan
khusus bagi masyarakat Toro. Hal ini menunjukkan tingkat pemahaman, dan tingkat pengakuan terhadap kepentingan masyarakat yang berada di luar Toro
belum memadai. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat pemahaman masyarakat Toro terhadap kelestariaan hutan masih “bersifat lokal”. Artinya,
dalam konteks pemikiran masyarakat tentang kelestarian hutan masih sebatas kepentingan warga masyarakat Toro.
Sementara itu, mekanisme pertangung-jawaban publik dari pihak lembaga adat dan pemerintah desa kepada masyarakat telah berjalan di Toro. Pemerintah
desa dan lembaga adat menginformasikan prihal kondisi sumberdaya hutan di Toro saat ini melalui forum non-formal, seperti saat ibadah Shalat Jum’at,
maupun kebaktian di gereja-gereja yang ada di Toro. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari
patroli tondo ngata.
Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian Sumberdaya
Dalam mengukur kriteria kelestarian sumberdaya hutan digunakan beberapa indikator di antaranya: kejelasan status dan batas lahan; perubahan
luas lahan yang diakibatkan gangguan alam maupun manusia; manajemen pemeliharaan hutan yang dilakukan; dan penggunaan sistem silvikultur yang
sesuai daya dukung hutan. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian sumberdaya disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Skor kriteria kelestarian sumberdaya
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Status dan batas lahan jelas
1.0 5.0
5.0 2.
Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman, terutama yang diakibatkan gangguan alam
maupun manusia 1.0
4.0 4.0
3. Manajemen pemeliharaan hutan
1.0 3.0
3.0 4.
Teknik silvikultur sesuai daya dukung hutan 1.0
4.0 4.0
Rerata nilai Skor 4.00
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 30 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria kelestarian sumberdaya termasuk dalam kategori baik 4.00. Pada uraian terdahulu
dijelasan, bahwa sejak digagasnya revitalisasi di Toro, status dan batas kawasan telah terdefenisikan secara jelas, dan dikonkritkan ke dalam peta
partisipatif komunitas adat Toro. Peta ini pula yang dijadikan dasar untuk memperoleh pengakuan pihak BTNLL terhadap wilayah kelola adat mereka.
Pengakuan yang diberikan oleh pihak BTNLL, melalui surat pernyataan no. 651VI.BTNLL.12000, tentang pengakuan terhadap eksistensi lembaga adat
Toro dalam mengelola sumberdaya hutan, semakin memperkuat status wilayah kelola adat yang selama ini diklaim sebagai bagian dari TNLL, seluas ± 18.360
ha. Dengan demikian, total luas defenitif wilayah kelola adat Toro adalah seluas 22.950 ha sesuai peta partisipatifnya.
Lahan-lahan yang dikuasai oleh masyarakat di Toro pada umumnya telah mendapatkan pengakuan dari lembaga adat. Hal ini secara jelas diatur dalam
peraturan tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam PSDA Tahun 2002, Bab I, point 3 Lampiran 5, dan Perdes Toro No.1 Tahun 2004, Bab V pasal 16-18,
tentang kedudukan, wewenang, dan tugas pemerintah desa, dan pasal 21-23 tentang kedudukan, wewenang, dan tugas LMA lampiran 4, yang intinya
bahwa, bagi setiap warga Toro yang ingin membuka lahan harus mengajukan ijin kepada pihak lembaga adat dan pemerintah desa. Tanpa melalui mekanisme
tersebut, segala aktifitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh warga Toro dianggap illegal.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa mekanisme perizinan tersebut di atas telah berjalan di Toro. Aturan yang diberlakukan tersebut telah mampu meredam
laju konversi lahan hutan dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan secara berlebihan. Menurut masyarakat, bila dibandingkan sebelum digulirkannya
revitalisasi, laju konversi lahan hutan di Toro saat ini lebih terkendali. Dengan demikian akan berdampak positif terhadap kelestarian sumberdaya hutan di
wilayah adat Toro. Sementara itu, prosedur pemeliharaan hutan yang diterapkan di Toro
memiliki perbedaan dengan prosedur pemeliharaan hutan yang sering diterapkan pada pengelolaan hutan yang berskala komersil sesuai arahan
kriteria LEI. Mekanisme pemeliharaan terhadap sumberdaya hutan di Toro terintegrasi dengan sistem pemanfaatan tradisional. Artinya, dalam setiap
aktifitas pemanfaatan yang dilakukan masyarakat, baik itu pemanfaatan lahan maupun hasil hutan diwajibkan kepadanya untuk melakukan pemeliharaan.
Komitmen tersebut disepakati sejak proses awal pengajuan izin pemanfaatan lahan dan hasil hutan di Toro. suatu bentuk kontrak sosial yang terjalin antara
masyarakat sebagai pihak pemanfaat hutan dengan lembaga adat sebagai pihak pengelola hutan.
Hal tersebut di atas didukung pula oleh teknik “silvikultur tradisional,”
27
di Toro, yang mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan, dan teknik pemungutan
hasil. Kegiatan regenerasi dan pemungutan hasil merupakan dua kegiatan yang merupakan satu kesatuan tidak terpisah. Dalam ilmu silvikultur, pemungutan
hasil adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses regenerasi atau pertumbuhan dari anakan dengan kualiatas baik Soekotjo
2006. Di Toro, meskipun masyarakat tidak melakukan penanaman kembali pada lahan-lahan yang telah di tebang kayunya, namun mereka sangat
memperhatikan dan menjaga kondisi anakan alam sebelum dilakukan kegiatan penebangan. Bermodalkan keyakinan dan sejumlah pengalaman yang diperoleh
dari pendahulu mereka, diyakini bahwa anakan-anakan tersebut akan tumbuh dengan baik dan siap menggantikan pohon yang telah di tebang, asalkan dalam
proses penebangan anakan-anakan tersebut tidak terganggu. Beberapa informan di Toro tidak satupun yang mampu memberikan
penjelasan secara rinci prihal kriteria yang digunakan untuk menentukan kualitas anakan alam, yang terjamin pertumbuhannya dan berapa jumlah minimal yang
seharusnya tersedia di lapangan, sehingga lokasi tersebut dianggap layak untuk dipanen kayunya. Hal ini penting diketahui, sebab jaminan terhadap regenerasi
pohon yang akan ditebang sangat bergantung pada anakan yang memiliki jaminan pertumbuhan yang baik, meskipun lokasi tersebut tidak diperuntukan
secara khusus sebagai hutan produksi. Namun demikian, kelembagaan adat Toro yang direvitalisasi dapat
dipandang sebagai suatu upaya penataan hutan yang dilakukan oleh pemerintah desa dan lembaga adat di Toro dalam rangka mempertahankan kelestarian
sumberdaya hutan di wilayah hukum adatnya.
Kelestarian Hasil
Tingkat kelestarian hasil dari suatu unit pengelolaan hutan biasanya dicirikan oleh dilakukannya penataan areal, adanya kepastian potensi hutan yang
akan di produksi; dilakukan pengaturan terhadap hasil hutan serta; ada upaya efisiensi dalam pemanfaatannya. Secara lebih rinci kriteria dan indikator LEI
menambahkan beberapa komponen yang perlu diukur terkait dengan penilaian terhadap kelestarian hasil, di antaranya: keabsahan sistem lacak balak; dan
27
Mekanisme penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan tradisional, yang sesuai dengan kaidah ilmiah dalam pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan.
pengaturan manfaat hasil hutan. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian hasil disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Skor kriteria kelestarian hasil
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Penataan areal pengelolan hutan
1.0 3.0
3.0 2.
Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari
1.0 3.0
3.0 3.
Pengaturan hasil 1.0
3.0 3.0
4. 5.
6. Efisiensi pemanfaatan hutan
Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan Pengaturan manfaat hasil
1.0 1.0
1.0 4.0
3.0 3.0
4.0 3.0
3.0
Rerata nilai Skor 3.10
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 31 di atas menunjukan bahwa penilaian terhadap kelestarian hasil dari pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Toro masuk dalam kategori
sedang 3.40. Penilaian tersebut didasari atas fakta bahwa penataan areal pengelolaan hutan tidak diatur secara spesifik. Tidak dimilikinya rencana
pengelolaan untuk tiap-tiap tipologi lahan merupakan salah satu buktinya. Kondisi ini didasari fakta bahwa hingga saat ini “tidak tersedia data rill”
menyangkut potensi kayu dan non kayu di tiap-tiap tipologi hutan adatnya, sehingga tidak ada dasar yang kuat bagi lembaga adat dan pemerintah desa
dalam menetapkan rencana pengelolaan hutan secara spesifik. Hal lain yang juga menjadi faktor pembatas adalah sebagian besar wilayah Toro masuk
memiliki topografi curam sehingga perlu dilindungi, olehnya diperlukan ekstra hati-hati dalam menentukan secara spesifik rencana pengelolaannya.
Guna mengantisipasi faktor-faktor pembatas tersebut di atas, pihak lembaga adat dan pemerintah desa telah melakukan sejumlah tindakan
prepentif, yang intinya adalah untuk mebatasi sedini mungkin pemanfaatan sumberdaya hutan yang melampaui batas. Upaya yang dilakukan antara lain:
a setiap pengajuan ijin pemanfaatan harus menetapkan lokasi dengan tepat tidak termasuk dalam wilayah yang dilindungi; b melakukan pembatasan pada
skala penebangan, di mana jarak minimal antara satu pohon yang akan ditebang dengan pohon lain adalah 200 meter, dengan maksud agar struktur dan
komposisi tegakan dapat dipertahankan, dan c mengupayakan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan dengan cara mengurangi limbah-limbah penebangan,
dan melarang
dilakukannya penebangan
pohon saat
mengumpulkan rotan. Namun demikian, Implementasi di lapangan masih sulit mencapai tataran
ideal seperti yang disyaratkan. Hingga saat ini sisa-sisa penebangan limbah akibat kesalahan penebangan, maunpun yang sengaja ditinggalkan masih sering
dijumpai Gambar 38 39. Tidak adanya standar prosedur penebangan pohon menjadi salah satu penyebabnya.
Terkait dengan keabsahan sistem lacak balak, terutama kesesuaian antara jenis dan lokasi penebangan yang diusulkan masyarakat dengan realisasi di
lapangan, ditemukan adanya perbedaan. Berbagai argumentasi dikemukakan masyarakat terkait perbedaan tersebut, di antaranya: adanya kendala lokasi
yang terlalu curam; pohon yang belum layak di tebang; serta tidak tersedia anakan, seperti yang disyaratkan kepada mereka. Olehnya, masyarakat akan
mencari lokasi lain sebagai penggantinya. Beberapa hal yang sering menyebabkan terjadinya perubahan lokasi, di antaranya: a informasi yang tidak
akurat di terima oleh masyarakat, dan dijadikan dasar dalam mengajukan izin penebangan kayu. Umumnya masyarakat hanya menerima informasi tentang
keberadaan pohon beserta lokasinya dari para pencari rotan, yang terkadang bersifat umum; b adanya prioritas jenis kayu tertentu yang akan di tebang,
seperti tahiti dan cempaka, yang terkadang tidak dijumpai pada lokasi awal yang
Gambar 38 Limbah kayu yang dihasilkan
dalam proses
penebangan pohon di Toro Dokumentasi
Golar 2005.
Gambar 39 Alat yang digunakan untuk melakukan
kegiatan penebangan pohon di Toro Dokumentasi Perkumpulan KARSA
Palu 2005.
telah diusulkannya. Sehingga mereka terpaksa mencari lokasi lain yang ditumbuhi oleh kedua jenis pohon tersebut.
Namun, perubahan lokasi yang dilakukan biasanya tidak dikonfirmasi kembali kepada pihak lembaga adat atau pemerintah desa, dan menurut
masyarakat hal tersebut pun tidak dipermasalahkan oleh pemerintah desa atau lembaga adat, selama mereka tidak melanggar kelembagaan adat, yaitu untuk
tidak menebang pada kawasan pangale, wana, dan wana ngkiki. Mereka hanya melaporkan jumlah kubikasi dan jenis kayu yang telah ditebang. Dengan
demikian, pihak tondo ngata mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan memastikan lokasi asal penebangan yang dilakukan. Hal ini menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pengaturan dan pemanfaatan hasil hutan di Toro secara profesional.
Kelestarian Usaha
Dalam konsep pengelolaan sumberdaya hutan modern, kestabilan usaha lazim diukur dengan sejumlah instrument ekonomi, yang menekankan pada
profitabilitas usaha yang dilakukan. Untuk pengelolaan hutan berskala lokal, ukuran yang digunakan umumnya lebih sederhana, terdiri atas indikator
kesehatan usaha, kemampuan akses pasar,dimilikinya sistem informasi manajemen, ketersediaan tenaga terampil, investasi dan re-investasi yang
dilakukan, serta kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat LEI 2004. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian usaha disajikan
pada Tabel 32.
Tabel 32 Skor kriteria kelestarian usaha
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1. Kesehatan usaha
1.0 3.0
3.0 2.
Kemampuan akses pasar 1.0
3.0 3.0
3. Sistem informasi manajemen
1.0 3.0
3.0 4.
5. 6.
Ketersediaan tenaga terampil Investasi dan re-investasi pengelolaan hutan
Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat
1.0 1.0
1.0 3.0
3.0 5.0
3.0 3.0
5.0
Rerata nilai Skor 3.30
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Kesehatan usaha pengelolaan hutan di Toro dicirikan oleh adanya kemampuan pihak pengelola pemerintah desa dan lembaga adat dalam
memberikan jaminan terhadap kesinambungan pemanfaatan hutan. Di Toro, salah satu indikator yang mencirikan kesehatan usaha adalah dimilikinya
kelembagaan adat, yang secara tegas membatasi setiap usaha untuk menjual kayu, baik dalam bentuk log maupun papan ke luar Toro. Pemanfaatan kayu
saat ini sepenuhnya diperuntukkan bagi upaya pengembangan usaha lokal masyasrakat Toro. Pembatasan tersebut dirasakan sebagai insentif dan jaminan
bagi sumber perolehan bahan baku usaha meubel di Toro. Meskipun usaha tersebut di atas masih berskala lokal, namun produk dihasilkan kini diminati oleh
pembeli yang datangnya dari desa sekitar, kecamatan, bahkan dari Palu. Hal ini mengindikasikan adanya kemampuan produk lokal di Toro untuk bersaing dan
menembus pasar hingga ke Kota Palu. Dengan demikian, peluang pengembangan usaha tersebut di Toro semakin terbuka lebar bagi seluruh
masyarakat di Toro. Namun demikian, hingga saat ini pihak pengelola belum memiliki sistem
informasi manajemen SIM yang memadai. SIM yang dimaksudkan dalam hal ini adalah data based atau file arsip desa yang terdokumentasikan dengan baik
tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya, utamanya yang telah dan sedang dilakukan. Meskipun pengelolaan
hutan di Toro tidak memfokuskan terhadap aspek produksi, namun keberadaan SIM amatlah diperlukan, utamanya dalam mengevaluasi kinerja pengelolaan dan
mengukur kelestarian hutan yang telah dicapai, sebagai salah satu komponen penting dalam perbaikan kinerja pengelolaan di masa yang akan datang.
Sementara itu, terkait dengan upaya investasi dan re-investasi pengelolaan sumberdaya hutan, yang dicirikan oleh adanya alokasi dana khusus bagi
perbaikan kinerja
pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya
hutan perencanaan, perlindungan, produksi, dan pembinaan hutan, pengembangan
sumberdaya manusia, prasarana dan sarana hutan, serta manajemen usaha belum tersedia di Toro. Salah satu contohnya adalah belum tersedianya alokasi
dana khusus kepada tenaga operasional lembaga adat tondo ngata yang tetap. Selama ini operasionalisasi tondo ngata memperoleh dana yang bersifat
insidentil dari berbagai pihak, seperti bantuan dalam kegiatan patroli tondo ngata dan POLHUT yang diperoleh dari pihak TNC dan STROMA. Hal ini penting
diperhatikan, meskipun para anggota tondo ngata mau melakukannya dengan suka cita walau tanpa diberikan gaji, namun perlu disadari bahwa waktu mereka
yang digunakan untuk menafkahi istri dan keluarganya “tersita” oleh tugas- tugasnya sebagai tondo ngata. Olehnya, wajar bila insentif terhadap tugas yang
diemban anggota tondo ngata tersebut mendapatkan perhatian secara khusus dari pihak pemerintah desa, atau dari pihak otoritas TNLL, yang juga menikmati
hasil pekerjaan tondo ngata di Toro dalam mengawasi dan mempertahankan kelestarian TNLL.
Kelestarian Fungsi Ekologis
Kelestarian fungsi ekologis diterminologikan sebagai kemampuan lembaga adat dalam mendukung dan memelihara keseimbangan integrasi komunitas
kehidupan hayati, yang memiliki komposisi jenis, keanekaragaman, dan berbagai fungsi yang seimbang dan terpadu, seperti kondisi habitat alaminya. Kriteria yang
digunakan untuk menganalisisnya antara lain: 1 stabilitas ekosistem hutan yang dapat dipelihara serta gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola;
dan 2 sintasan spesies endemik, langka, atau dilindungi dapat dipertahankan dan gangguan terhadap sintasan tersebut dapat diminimalisir.
Stabilitas ekosistem hutan dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola
Pengelolaan setiap sistem penggunaan lahan harus mempertimbangkan karakteristik dan batas wilayah yang dilindungi dengan intensitas penggunaan
yang berbeda-beda. Seperti halnya di dalam wilayah kelola adat Toro, terdapat daerah yang dilindungi berdasarkan ketentuan-ketentuan adat, seperti sempadan
sungai, mata air, dan daerah-daerah curam. Eksistensi daerah yang dilindungi tersebut bergantung sepenuhnya kepada performansi kelembagaan adat Toro.
Hasil penilaian terhadap kriteria stabilitas ekosistem hutan disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan
terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1 Adanya tata batas dan upaya pengelolaan
kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi dalam areal
1.0 4.0
4.0 2
Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas
lingkungan 1.0
4.0 4.0
3 Ketersediaan informasi dan dokumen dampak
kegiatan 1.0
3.0 3.0
4 Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif
1.0 3.0
3.0
Rerata nilai Skor 3.5
Sumber
:
Data Primer setelah diolah 2006.
Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan ekosistem hutan pada kawasan yang dilindungi adalah adanya tata batas yang jelas, sehingga
dapat dibedakan dengan kawasan-kawasan lainnya. Meskipun tidak terdapat batas-batas fisik di lapangan, namun masyarakat Toro pada umumnya mampu
untuk mengenali dan membedakan berdasarkan ciri-ciri wilayah yang dilindungi oleh kelembagaan adat. Ciri-ciri ini diketahui oleh masyarakat Toro, dan mereka
mampu secara jelas mendeskripsikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap warga Toro telah mengetahui secara pasti tentang lahan-lahan mana saja yang
dapat dimanfaatkan dan yang harus dilindungi. Lembaga adat melalui sejumlah aturan mainnya, juga mengendalikan atau
membatasi pemanfaatan sumberdaya hutan yang berlebih, utamanya terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi guna memberi peluang bagi pemulihan
ekosistem
28
. Selain dilakukan pembatasan, juga terdapat sejumlah larangan untuk memanfaatkan kayu, utamanya pada sepanjang sempadan sungai,
sumber-sumber mata air, daerah rawan longsor, serta beberapa lokasi yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Meskipun demikian, pemanfaatan hasil
hutan non-kayu rotan dan buah-buahan, pada kawasan tersebut masih diperkenankan tentunya dengan jumlah yang terbatas sebatas keperluan
28
Pembatasan pemanfaatan diutamakan bagi hasil hutan kayu dan non kayu rotan. Pembatasan bukan saja terhadap karakteristik lokasinya tofografi, ketinggian dsb, namun lebih jauh pada
perkiraan kemampuan suatu lahan untuk ”dipulihkan”. Khusus terhadap hasil hutan non kayu, utamanya rotan dan pandan hutan, terdapat penggiliran tempat dan waktu ra-ombo.
ekonomi keluarga sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan terhadap ekosistem tempat mereka mengekstraksinya.
Dalam upaya mencegah kemungkinan terjadinya konversi terhadap kawasan yang dilindungi, secara periodik lembaga adat menugaskan tondo
ngata untuk terus memantau kondisi kawasan-kawasan tersebut dan melaporkannya pada lembaga adat. Selain tondo ngata, lembaga adat juga
sering mendapatkan laporan dan informasi mengenai kondisi sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya melalui para pencari rotan. Upaya tersebut
dimaksudkan agar lembaga adat dapat tetap memiliki informasi terkini, perihal kondisi sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya. Hal tersebut membuktikan
bahwa meskipun pihak tondo ngata tidak mendatangi tiap-tiap lokasi tempat mereka memungut rotan, namun masyarakat tetap patuh untuk tidak melakukan
pelanggaran sesuai ketentuan adat. Suatu perilaku arif, yang masih dipertahankan oleh komunitas Toro hingga saat ini. Hal ini lebih disebabkan
karena pembatasan terhadap pemanfaatan kawasan yang dilindungi bagi masyarakat tidak dipandang semata-mata sebagai suatu bentuk “larangan”,
namun lebih pada “pantangan”, sehingga memiliki konsekuensi terhadap sanksi sosial yang lebih besar. Hal inilah yang membuat eksistensi kawasan yang
dilindungi di Toro dapat tetap dipertahankan
29
.
Sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan
Tersedianya informasi mengenai spesies endemik atau spesies dilindungi beserta habitanya, utamanya dalam kawasan yang akan dikelola, merupakan
salah satu faktor penunjang kinerja kelembagaan. Namun, informasi tersebut amat minim dimiliki oleh masyarakat adat di Toro. Selama ini, lembaga adat
hanya mengandalkan informasi dari tondo ngata dan informasi dari masyarakat, Seperti disajikan pada Tabel 34.
29
Beberapa indikasi eksistensi kawasan yang dilindungi di Toro, diantaranya: debit air sungai yang normal sepanjang tahun, serta belum pernah terjadi tanah longsor yang menyebabkan kerugian
baik materi maupun nyawa.
Tabel 34 Skor kiteria
sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan
No Indikator
Bobot Nilai
Skor
1 Tersedianya
informasi mengenai
spesies endemik
langka dilindungi
dan agihan
habitatnya yang penting dalam kawasan 1.0
3.0 30
2 Adanya upaya meminimumkan dampak kelola
produksi terhadap spesies 1.0
3.0 3.0
Rerata nilai Skor 3.0
Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.
Tabel 34 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria tersebut termasuk dalam kategori sedang 3.0. Beberapa kajian terdahulu yang dilakukan oleh
lembaga penelitian asing, maupun peneliti-peneliti dari Universitas Tadulako, diketahui bahwa terdapat 4 empat spesies mamalia besar, di antaranya anoa,
babirusa, babi liar Sulawesi, dan monyet Toki yang diperkirakan hidup di kawasan TNLL. Namun, hingga saat ini tidak dapat diketahui secara pasti
tentang distribusi atau kelimpahannya TNC 2004. Hasil pendugaan terhadap populasi Anoa dan babi liar Sulawesi, yang didasarkan pada jejak kotoran
diketahui bahwa pada kawasan hutan, termasuk di wilayah kelola adat Toro, masih dijumpai jejak anoa maupun babi liar, seperti disajikan pada Gambar 40.
Berbeda dengan metode di atas, masyarakat Toro menggunakan pendekatan jejak kaki yang ditinggalkan oleh hewan tersebut untuk mengetahui
keberadaannya. Menurut masyarakat jejak kaki dapat bertahan lebih lama bila dibandingkan dengan jejak kotoran yang ditinggalkan. Melalui cara itu, jejak-jejak
anoa dan babi liar Sulawesi masih sering dijumpai oleh penduduk yang kebetulan mencari rotan di kawasan wana. Informasi tersebut biasanya langsung
disampaikan pada petugas tondo ngata. Cara inilah yang selama ini digunakan oleh masyarakat Toro dalam memantau keberadaan fauna yang dilindungi di
wilayah Toro.
Gambar 40 Perbandingan tingkat temuan jejak kotoran Anoa dan babi liar Sulawesi
di 8 lokasi berbeda; sumber: diadaptasi dari TNC 2004; dan Pitopang 2006.
Ancaman paling penting bagi anoa dan babi liar Sulawesi di TNLL adalah masalah perburuan. Seperti di Toro, ancaman terhadap aktifitas perburuan liar
datang dari penduduk desa lain, yang hidup dekat dengan wilayah-wilayah hutan Toro. Hasil patroli tondo ngata, yang dilaksanakan pada bulan Juli 2005,
berhasil menemukan beberapa jerat yang dipasang di hutan wilayah kelola adat, oleh penduduk yang berasal dari desa Katu Said Tohoho 2005, diskusi
pribadi. Di Toro, telah diatur secara jelas melalui peraturan tentang PSDA, Bab II, yang memuat tentang larangan untuk memasang jerat atau berburu di dalam
hutan, menggunakan alat stroom dan racun untuk menangkap ikan, dan penggunaan senapan angin. Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk tidak
merusak habitatnya dengan tidak melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan secara ekstrim. Wilayah yang ditetapkan oleh lembaga adat sebagai sintasan
hewan-hewan liar tersebut adalah kawasan wana dan wana ngkiki. Hal ini merupakan indikasi adanya upaya lembaga adat untuk melokalisir dan
melindungi populasi serta habitat fauna langka Sulawesi dari dampak kelola produksi hutan yang dilakukan.
Terkait dengan potensi flora di Toro, hingga saat ini lembaga adat belum memiliki informasi rill menyangkut struktur dan komposisi flora endemik pada
kawasan kelola adat Toro. Namun demikian, upaya-upaya yang mengarah pada pelestarian dan perlindungan flora endemik dan dilindungi telah dilakukan. Salah
satunya adalah dengan menugaskan tondo ngata untuk menginventarisasi dan
Lokasi
mengumpulkan jenis-jenis baru yang belum mereka ketahui. Selanjutnya, sampel tersebut mereka serahkan pada LSM atau lembaga penelitian mitranya untuk
diidentifikasi. Kajian terkini dari Pitopang 2006 melaporkan bahwa sedikitnya ditemukan
52 spesies pohon kayu yang memiliki nilai ekonomi penting, dan 66 spesies yang tergolong endemik Sulawesi yang terdapat di hutan Toro. Khusus yang tumbuh
pada hutan primer wana, dijumpai sedikitnya 63 pohon per 0.25 ha. Jumlah spesies ini secara gradual berkurang untuk kawasan pangale, pahawa pongko
dan oma. Hal tersebut disebabkan karena tiap-tiap tipologi lahan di Toro memiliki pola dan intensitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang berbeda-beda.
Secara gradual pula, intensitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat semakin tinggi pada kawasan-kawasan di bawahnya pangale, pahawa pongko, dan
oma. Hal tersebut membuktikan, bahwa meskipun batas-batas antar tiap-tiap tipologi pemanfaatan lahan merupakan “batas imajiner”, namun terbukti mampu
membatasi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan dan hasil hutan pada kawasan-kawasan tersebut. Bila kondisi ini dapat dipertahankan dengan
baik, maka kelestarian ekologis hutan Toro akan lebih terjamin.
Penilaian terhadap Tingkat Kelestarian Hutan
Implikasi performansi kelembagaan adat terhadap Kelestarian sumberdaya hutan dinilai berdasarkan skor indikator di tiap-tiap kriteria yang telah diuraikan
sebelumnya. Pencapaian kelestarian merupakan nilai total seluruh indikator yang digunakan LEI 2004. Masing-masing skor yang dihasilkan dikelompokkan ke
dalam tiap-tiap kriteria dan prinsipnya masing-masing, seperti disajikan pada Tabel 35- 37.
Tabel 35 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial
Dimensi Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Kejelasan tentang hak penguasaan
dan pengelolaan lahan atau areal
hutan yang dipergunakan
Terjaminnya pengembangan
dan ketahanan ekonomi
komunitas Terbangun
pola hubungan sosial yang
setara dalam proses produksi
Keadilan manfaat
menurut kepentingan
komunitas
1. MANAJEMEN KAWASAN