Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di pegunungan dan

kawasan wana ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000 m dpl. b. Wana, merupakan kawasan hutan rimba, di mana tidak dijumpai adanya aktivitas pertanian di dalamnya. Bagi masyarakat adat Toro, wana merupakan habitat tumbuhan dan berkembangbiaknya hewan langka seperti, Anoa Lupu, Babi rusa dolodo, serta berfungsi sebagai penyangga kandungan air sumber air. Selama ini, wana hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti: getah damar, obat-obatan, rotan serta bahan wewangian. Kepemilikan pribadi dodoha di dalam kawasan ini hanya berlaku terhadap pohon damar yang tumbuh di dalamnya, di mana kepemilikannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat huaka. Kawasan wana ini merupakan kawasan hutan yang terluas di wilayah adat ngata 11 Toro 11. 290 Ha.

c. Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di pegunungan dan

dataran, serta termasuk kategori kawasan peralihan antara hutan primer dan sekunder. Sebagian dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh generasi pendahulu mereka dan kini telah mengalami suksesi secara alamiah. Masyarakat Toro menganggap pangale sebagai lahan cadangan, yang dipersiapkan untuk kebun pada daerah berlereng dan sawah pada daerah yang datar. Atas izin dari lembaga adat atau pemerintah desa, masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu, rotan, damar, dan wewangian yang sebatas digunakan untuk keperluan rumah tangga. Kawasan ini memiliki luas 2.950 Ha. d. Pahawa Pongko, termasuk dalam kategori kawasan pangale, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan lebih dari 25 tahun sehingga hampir menyerupai hutan sekunder. Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar dan bila ingin menebangnya harus menggunakan “pongko”. Pongko adalah tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu, diletakkan agak tinggi dari tanah agar dapat menebang batang pohon dengan leluasa. Hal yang menarik adalah dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini diharapkan 11 Ngata adalah sebutan untuk desa sebagai istilah asli untuk menunjuk kesatuan masyarakat hukum di Toro yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Toro berdasarkan asal-usul, adat istiadat dan karakteristik sosial-budaya setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten Donggala Draft Perdes Toro. tunggulnya dapat bertrubus dan tumbuh tunas baru. Sedangkan pahawa berarti mengganti atau ganti. Kawasan ini tidak termasuk dalam hak kepemilikan pribadi, terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya. e. Oma, merupakan lahan bekas kebun yang sering diolah dan banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao, dan tanaman tahunan lainnya. Dalam kawasan ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi dodoha dan tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan kolektif huaka. Oma diklasifikasikan berdasarkan usia pemanfaatannya yang terdiri atas 3 tiga jenis yaitu : −−−− Oma ntua, berarti bekas lahan kebun tua yang telah ditinggalkan selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya tergolong tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih kembali. Oma ntua telah siap dan dapat diolah kembali menjadi kebun. −−−− Oma Ngura, berarti bekas lahan kebun muda yang telah ditinggalkan selama 3 – 15 tahun. Tingkatan suksesinya masih merupakan tipe hutan yang lebih muda dibandingkan dengan oma ntua. Pohon- pohonnya belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya dengan parang. Oma ngura masih merupakan belukar dan dicirikan dengan masih banyaknya rerumputan. −−−− Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang usianya 1 - 2 tahun dan dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan rerumputan. f. Balingkea, adalah lahan bekas kebun yang usianya 6 bulan –1 tahun, sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah berkurang. Namun lahan ini masih sering aktif diolah kesuburan tanahnya cukup untuk ditanami jenis palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica, dan sayur-sayuran. Kategori lahan oma dan balingkea sudah termasuk dalam hak kepemilikan pribadi dodoha. Terdapat dua kategori adat terkait dengan hak penguasaan kepemilikan terhadap sumberdaya alam di Toro, yaitu: 1 Hak kepemilikan bersamakolektif–komunal Nanu Hangkani. Lahan dan segala sumberdaya alam yang ada di wilayah adat huaka, adalah milik bersama seluruh masyarakat adat ngata Toro. Milik bersama ini mencakup kawasan hutan wana ngkiki, wana, dan pangale dengan segala yang ada di dalamnya, kecuali pohon damar yang sudah diolah oleh orang pertama. Hak komunal ini tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan, disewakan dikontrak kepada siapapun juga, terutama pihak-pihak luar yang bukan masyarakat adat ngata Toro. Hak kepemilikan kolektifkomunal terbatas pada pemanfaatan yang diatur dan ditetapkan oleh Lembaga Adat Ngata Toro. 2 Hak kepemilikan pribadi individu Nanu Hadua. Tanah dan segala sumberdaya alam dapat menjadi milik pribadiindividu apabila sudah dikelola yang dihitung mulai pembukaan lahan hutan pertama kali yang disebut popangalea. Semua tanahhutan yang dikuasai melalui popangalea di sebut “dodoha”. Masyarakat Toro dalam membuka lahan baru mempunyai proses, keteraturan, dan aturan yang diberlakukan. Terdapat sejumlah nilai dan norma sosial yang dianut serta dilaksanakan sebelum melakukan aktifitas pembukaan lahan di luar dan di dalam kawasan hutan, baik untuk berladang, berkebun, maupun tujuan lainnya. Norma dan nilai tersebut adalah: • Melakukan konfirmasi sosial “mepekune, mopahibali”, yang artinya menanyakan apakah areal itu sudah menjadi milik orang lain ataukah belum. Hal tersebut dilakukan guna menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari. Jika ternyata areal itu belum ada yang memiliki, maka ia dapat mengajukan permohonan untuk membuka lahan tersebut kepada lembaga adat, “Mampekune pade mopahi bali hi Totua Ngata bonanemo maria to pokamaro“. • Mematuhi kebijakan adat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Ketentuan normanya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu Toipopalia dan Toipetagi. Toipopalia adalah larangan menebang kayu yang ada pada palungan sungai, atau kali-kali kecil yang ada di dalam hutan, yang alirannya melewati pemukiman penduduk. Larangan untuk menebang pohon juga diberlakukan untuk pohon yang mempunyai khasiat obat-obatan tradisional. Toipopalia juga berarti larangan membuka hutan yang di dalamnya ada pohon damar, dan larangan membuka hutan sampai pada puncak gunung “nemo mobone maratai pongku bulu“. Sedangkan Toipetagi merupakan pantangan yang bersifat mutlak maupun tidak mutlak. Salah satu contoh adalah “tidak diperkenankan membuka dan mengolah lahan hutan di mana pada lokasi tersebut terdapat mata air “ue ntumu mata ue bohe”. Lahan hutan yang telah dibuka oleh seseorang secara otomatis menjadi hak miliknya, dan terus berlaku untuk diwariskan kepada keturunannya. Meskipun lahan tersebut tidak lagi digarap oleh pemiliknya, namun status kepemilikan yang melekat padanya tidak akan berubah. Lahan yang telah dibuka 12 dan produktif disebut bone atau ladang. Lahan ini biasanya ditanami padi, jagung, atau tanaman pangan musiman lainnya. Setelah beberapa daur tanam, kesuburannya akan menurun. Lahan yang menurun kesuburannya akan diberakan oleh pemiliknya. Kategori lahan yang diberakan oleh pemiliknya disebut balingkea. Meski demikian, lahan ini masih bisa dimanfaatkan sesekali untuk menanam sayuran atau tanaman pangan lainnya. Proses pemanfaatannya disebut mo’balingkea. Lahan yang tidak dimanfaatkan atau diistirahatkan, sering dimanfaatkan sebagai lahan penggembalaan ternak. Balingkea yang telah diistirahatkan lebih dari satu tahun, dan ditandai oleh tumbuhnya semak disebut oma. Kategori ini dibedakan menjadi 3, berdasarkan lamanya masa istirahat yaitu: oma ngkuku sekitar 1-2 tahun, oma ngura diistirahatkan sekitar 3-5 tahun, dan oma ntua diistirahatkan selama 16-25 tahun. Oma ntua oleh sebagian masyarakat disebut pahawa pongko Gambar 13. Di luar kategori tersebut terdapat pula lahan pekarangan atau kebun, yakni lahan dekat pemukiman yang intensif diolah sepanjang tahun pampa. Oleh pemiliknya lahan ini ditanami dengan sayur-manyur dan tanaman semusim lainnya. Berbeda dengan lahan bone, balingkea, dan oma, pada lahan pampa tidak dikenal praktek pinjam garap. 12 Pembukaan lahan diawali dengan pelaksanaan upacara rituil. Setelah itu, diikuti dengan kegiatan memaras mantalu, menebang pohon-pohon kecil mampeanai, menebang kayu-kayu besar motowo kau-kau tobohe, mencincang dahan kayu yang telah ditebang morona, mengeringkan mopokara selama lebih kurang satu bulan, yang dilanjutkan dengan membakar mohuwe, kemudian lahan telah siap untuk ditanami. Gambar 13 Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir Diadaptasi dari Sohibuddin 2005. Selain melalui pembukaan hutan primer mopangalea, di Toro dikenal pula bentuk penguasaan lahan melalui pewarisan motira atau pembagian harta di antara keturunan. Sistem pewarisan dibedakan antara lahan yang secara aktual telah dibagikan di antara ahli waris, dan telah menjadi hak milik keluarga- keluarga individual, dengan hak akses atas lahan yang belum dibagikan di antara keluarga-keluarga individual dan masih dikuasai oleh keluarga besar. Penguasaan harta oleh keluarga besar dibedakan ke dalam dua jenis penguasaan, yaitu hampupuka dan hampo ompia. Hampupuka adalah penguasaan oleh rumpun keluarga setingkat marga atas lahan milik bersama disebut ataha, yaitu berupa lahan oma. Semua keluarga individual yang termasuk dalam rumpun ini berhak menggarap lahan oma yang dimiliki bersama. Keluarga individual dapat membuka sebidang lahan pertanian dalam oma ini, namun ia harus meminta ijin terlebih dulu kepada keluarga besarnya melalui keturunan yang paling dituakan. Sedangkan hampo ompia adalah penguasaan harta oleh rumpun keluarga yang lebih kecil, yakni hanya menjangkau hubungan antar sepupu satu nenek. Rumpun keluarga ini menguasai harta bersama yang disebut dodoha berupa harta dalam rumah seperti emas, dulang, dan mbesa. Bentuk akses terhadap lahan yang lain adalah melalui pola hubungan penyakapan tenancy dan alih kepemilikan. Namun, khusus untuk alih kepemilikan lahan terbatas hanya bagi warga Toro, dan tidak berlaku bagi pendatang atau orang luar. Meskipun pembatasan ini tidak diatur secara formal Pangale Popangale Bone Balingkea Oma Mo’pangale Mo’balingkea Mo’bone Keterangan: : Menunjukkan daur pengelolaan lahan dalam sistem : Menunjukan perubahan kategori lahan seiring daur produksi Pampa melalui perdes, masyarakat umumnya mengetahui tentang pembatasan alih kepemilikan lahan di Toro. Secara ringkas bentuk-bentuk akses atas lahan yang dikenal dewasa ini, dan keberlakuannya di antara ketiga etnis yang ada di Toro disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Bentuk-bentuk akses atas lahan komunitas adat Toro Kelompok Etnis Moma Uma Rampi Pengertian Melume Mebolo Pemalu Meminjam garap atas lahan oma untuk dibuka dan diolah. Mehabi Mesabi, Mepulu Mesabi Mohon ijin memakai, sifatnya umum, tidak cuma lahan. Istilah ini juga biasa dipakai untuk pinjam garap lahan sawah. Catatan: praktik pinjam garap lahan ini tidak berlaku untuk pampa, yaitu lahan kebun yang sudah ditanami tanaman tahunan. Nahodi Lebih sering memakai istilah Moma Lebih sering memakai istilah Moma Memberi ganti ala kadarnya untuk alih kepemilikan lahan secara permanen harga kekeluargaan. Catatan: Penduduk menolak menyebut transaksi ini sebagai jual beli, melainkan memakai istilah “memberi ganti kecapekan” kepada orang yang telah membuka lahan. Naadai Lebih sering memakai istilah Moma Lebih sering memakai istilah Moma Alih kepemilikan lahan secara permanen melalui transaksi jual beli dengan harga pasar yang berlaku. Notagala Kakamu, Pentoe Lebih sering memakai istilah Moma atau bahasa Indonesia gadai Gadai alias penjaminan lahan untuk meminjam suatu barang atau uang. Catatan: Untuk etnis Uma disebut kakamu kalau barang yang dipinjam itu benda mati dan pentoe kalau berupa benda hidup. Ada ketentuan penjaminan yang berbeda sesuai perbedaan barang yang dipinjam Haipotiraka, Ahirara Lebih sering memakai istilah Moma Lebih sering memakai istilah Moma Pembagian lahan kepada orang lain karena kemurahan hati. Raodo, Kuhaodi Keodo Lebih sering memakai istilah Moma Bagi hasil yang jumlahnya tidak ditentukan berdasar kemurahan hati. Gagu huma ngata Lebih sering memakai istilah Moma Lebih sering memakai istilah Moma Sumberdaya milik bersama seluruh anggota komunitas. Sumber: Diadaptasi dari Shohibuddin 2005 Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dipertahankan dan diadaptasikan sesuai perkembangan jaman, merupakan salah satu indikasi masih kuatnya “modal sosial” social capital yang dimiliki komunitas adat Toro. Hal ini merupakan akumulasi pola hubungan aktif antar individu dalam suatu komunitas, yang masih dilandasi oleh kepercayaan trust, dan saling memahami. Berbagai nilai dan prilaku tersebut makin meningkatkan kehandalan aksi kolektif dalam komunitas di Toro Cohen dan Prusak 2001. Salah satu contoh modal sosial di Toro adalah sistem nilai gotong-royong maromu. Semangat maromu nyata terlihat pada beberapa kegiatan pengolahan tanahhutan di Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan hingga panen, sistem maromu dilakukan secara bergiliran dari satu keluargapribadi kepada yang lain. Namun demikian, saat ini telah terjadi perubahan pada sitem nilai maromu. Sistem nilai yang saat ini dikenal dengan istilah persatuan, telah memiliki orientasi yang berbeda dengan konteks maromu pada masa lalu Gambar 14 15. Perbedaan yang dimaksud adalah adanya motivasi ekonomi yang melandasi pembentukan kelompok persatuan. Awalnya kelompok ini dibentuk oleh lembaga gereja di Toro, yang ditujukan untuk menggalang dana pembangunana gereja. Dalam perjalanannya orientasi komersil kian mendominasi, ditandai dengan banyaknya terbentuk kelompok-kelompok persatuan lainnya, yang khusus menyediakan jasa tenaga kerja bagi siapa saja yang membutuhkan, dengan imbalan pembayaran upah kerja. Namun demikian, nilai-nilai dan semangat gotong-royong yang sesungguhya masih tetap ada di Toro, utamanya dalam pelaksanaan pesta perkawinan, kematian, dan kegiatan adat lainnya. Gambar 14 Kelompok maromu dalam pengelolaan lahan sawah Foto: Helmy 2005. Gambar 15 Kelompok maromu dalam kegiatan menanam padi di sawah Foto: Golar 2005. Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika Politik Pertumbuhan dan Tekanan Penduduk Angka pertumbuhan penduduk menunjukan rata-rata pertambahan penduduk per tahun pada periodewaktu tertentu yang dinyatakan dalam persen . Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka pertumbuhan penduduk, satu di antaranya adalah metode Pertumbuhan Eksponensial 13 Yasin 2004. Berdasarkan metode ini diketahui bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Toro pada periode 1990 - 2004 adalah sebesar 2.1 per tahun, dan tergolong rendah 14 bila dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk di kecamatan Kulawi 2.51, Sigi Biromaru 3.54, Palolo 6.34, dan Lore Utara 6.98. Pertumbuhan penduduk per lima tahun di Toro disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk di Toro 1978 - 2004 Sumber: TNC 2004 , diolah. Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada periode 1995 -2000 sebesar 4.1. Angka tersebut jauh di atas rata-rata pertumbuhan penduduk tahunan sebesar 1.80 per tahun. Lonjakan ini terkait erat dengan kerusuhan yang terjadi di Poso, di mana Toro menjadi salah satu lokasi penampungan pengungsi. Keadaan ini berlangsung hingga pertengahan tahun 2001. Di tahun 2002 sebagian pengungsi kembali ke Poso dan selebihnya memilih untuk menetap di Toro. Bagi yang menetap dipinjamkan lokasi oleh pemerintah desa 13 Dalam penelitian ini digunakan metode Pertumbuhan Eksponensial, dengan formulasi: P t = P o . e r n di mana P t = banyaknya penduduk pada tahun terakhir, P o = jumlah penduduk pada tahun awal, dan e = angka eksponensial 2,71828. 14 Mengacu pada UU no. 561960 maka tingkat kepadatan penduduk dikategorikan menjadi tidak padat ≤ 50orangkm 2 , kurang padat 51-250 orang km 2 , cukup padat 251 – 400 orang km 2 , dan sangat padat ≥ 401 orang km 2 . Tahun Jumlah Penduduk jiwa Jumlah rumahtangga Pertumbuhan tahun Kepadatan jiwakm 2 1980 1985 1990 1995 2000 2004 1.387 1.506 1.598 1.628 2.005 2.133 235 274 315 351 502 562 1.6 1.2 0.4 4.1 1.5 6.0 7.0 7.0 7.0 9.0 9.0 untuk tempat bermukim dan lahan-lahan yang dapat dikelola untuk bercocok tanam. Kepadatan penduduk 15 Toro pada tahun 2004 adalah sebesar 9.3 orangkm 2 . Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kecamatan Kulawi maupun kecamatan lain di sekitar TNLL, di antaranya Kecamatan Sigi Biromaru, Palolo, dan Lore Utara. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Karateristik demografi untuk tiap-tiap kecamatan di sekitar TNLL dan Toro periode tahun 1980 - 2002 Klasifikasi Sigi Biromaru Palolo Kulawi Lore Utara Toro 1. Kerapatan penduduk per km 2 86.49 42.96 10.35 9.95 9.30 2. Pertumbuhan penduduk tahunan : a. 19851990 b. 19902004 2.49 3.54 2.01 6.34 1.27 2.51 3.10 6.98 0.92 2.1 Sumber: The Nature Conservancy 2004. Dalam perspektif emik, tekanan penduduk belum dirasakan di Toro. Hal ini dibuktikan melalui jumlah lokasi lahan pertanian yang dikuasai oleh masyarakat, yang rata-rata berjumlah lebih dari 2 lokasi Gambar 7. Selain itu, lahan cadangan masyarakat yang terletak di pangale hingga saat ini belum dikelola oleh pemiliknya. Hal ini menurut masyarakat dikarenakan masih mencukupi kebutuhan mereka sehingga belum dibutuhkan lahan tambahan. Intervensi Ekonomi Pasar Intervensi ekonomi pasar telah berpengaruh terhadap laju konversi lahan, perubahan preverensi ekonomi masyarakat, dan diversifikasi usaha masyarakat. Toro yang relatif terbuka dan didukung oleh jaringan jalan yang memadai membuat masyarakat dengan mudah menjangkau kota-kota atau pusat-pusat pertumbuhan di daerah sekitarnya, serta memudahkan akses informasi dari dan ke dalam Toro. Keterbukaan Toro ditandai pula oleh ketersediaan fasilitas listrik umum, meskipun masih terbatas. Kedua fasilitas tersebut merupakan sarana penting yang dapat mendukung berkembangnya penggunaan sarana transportasi dan komunikasi di kalangan penduduk, yang menghubungkan mereka dengan masyarakat luas di luar Toro. 15 Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan total luas wilayah Toro 229.50 Km 2 . Ketersediaan sarana jalan raya mempermudah pedagang-pedagang untuk masuk ke Toro. Mulai dari pedagang yang bertujuan untuk menjual barang kebutuhan sandang dan pangan, hingga pedagang-pedagang hasil bumi, yang bertujuan membeli hasil kebun dan sawah milik masyarakat Toro. Untuk menarik minat masyarakat menjual hasil kebunnya kepada mereka, sebagian dari pedagang berani untuk memberikan panjar kepada masyarakat, meskipun lahan- lahan mereka belum siap untuk di panen. Permintaan yang tinggi terhadap tanaman komersil, seperti kakao, kopi, dan vanila secara langsung berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat, yang berdampak pada perubahan struktur okupasi di Toro. Perubahan tersebut ditandai oleh peningkatan jumlah lahan-lahan yang dikonversi oleh masyarakat untuk ditanami dengan tanaman komersil Gambar 16 17. Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 9, diketahui bahwa laju konversi lahan tertinggi terjadi pada periode tahun 1990 – 2000 yang mencapai 400 ha 41.6. Laju konversi lahan yang tinggi disebabkan pula oleh faktor harga jual komoditas kakao yang terus meningkat di era 90-an, terlebih setelah Indonesia mengalami krisis moneter di awal tahun 1997 Ruf 2004. Menurut masyarakat, diakhir tahun 1997 harga jual kakao mengalami kenaikan dari Rp 2.500.00 per kg menjadi Rp 5.000.00 per kg. Tak berselang lama, di awal tahun 1998 harga kakao kembali naik hingga mencapai harga Rp 14.000.00 per kg, bahkan pernah mencapai harga Rp 20.000.00 per kg. Harga ini terus bertahan hingga awal tahun 2000. Gambar 16 Tanaman kopi yang dibudidayakan masyarakat di bawah tegakan hutan sekunder Foto: Golar 2005. Gambar 17 Tanaman kakao yang dibudidayakan masyarakat di bawah tegakan hutan sekunder Foto: Golar 2005. Faktor yang juga turut memotivasi masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao di Toro adalah biaya investasi yang relatif murah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat tidak menggunakan pupuk dan pestisida pada tanaman kakao. Menurut masyarakat, hal ini lebih disebabkan kondisi tanah-tanah mereka yang subur sehingga tidak membutuhkan input pupuk. Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan dan tidak menggunakan pupuk untuk tanaman kakao disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan pupuk dengan yang tidak menggunakan pupuk pada tanaman kakao di Toro Sumber: Sensus Penduduk STORMA 2004. Lain-lain = pupuk tablet Tabel 20 menujukkan bahwa pada umumnya 88.2 masyarakat tidak menggunakan pupuk dalam bercocok tanam kakao. Hal ini lebih disebabkan tingkat kesuburan tanah masyarakat yang baik. Kajian yang dilakukan Ruf 2004 pada dataran tinggi Sulawesi membuktikan bahwa produktifitas tanaman kakao semakin ditingkatkan oleh kondisi tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi. Tidak adanya musim kemarau yang sesunggunya, memungkinkan distribusi pemetikan buah yang lebih baik, sehingga produktifitas kakao akan lebih tinggi. Selain pupuk, intensitas penggunaan pestisida pun tergolong rendah di Toro. Hal tersebut disebabkan karena tanaman kakao yang mereka tanam, terutama yang ditanam di bawah tegakan hutan alam dan hutan sekunder, belum pernah terserang hama yang berarti. Perbandingan jumlah masyarakat yang menggunakan dan tidak menggunakan pupuk disajikan pada Gambar 18. Jenis pupuk Jumlah Penduduk jiwa Persentase Tidak menggunakan pupuk UREA TSP KCL UREA+ TSP UREA + KCL UREA + TSP + KCL Pupuk Organis Lain-lain 1.045 18 4 1 13 8 70 10 16 88.2 1.5 0.3 0.1 1.1 0.7 5.9 0.8 1.4 Jumlah 1.185 100 Gambar 18 menjelaskan bahwa sebagian besar 78 masyarakat Toro tidak menggunakan pestisida untuk tanaman kakao mereka. Salah seorang informan kunci menjelaskan bahwa hal tersebut lebih disebakan pada keyakinan masyarakat bahwa bila menggunakan pestisida justru akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pada tanaman milik mereka, utamanya terhadap lahan persawahan yang letaknya di daerah bawah akan ikut terkena dampak racun yang dihasilkan. Atas dasar pertimbangan itu, masyarakat lebih memilih untuk menanggulangi secara alamiah, yaitu dengan meningkatkan intensitas pemeliharaan tanaman melalui penyiangan, pemangkasan, dan pembersihan. Respon lain yang ditunjukkan oleh masyarakat Toro dalam menghadapi tekanan intervensi pasar adalah melalui pengembangan usaha berskala lokal, tenaga upahan, dan alternatif usaha lain; menjadi supir dan membuka warung dan toko. Saat ini dijumpai sedikitnya 5 unit usaha pemanfaatan dan pengolahan hasil hutan kayu milik masyarakat di Toro, seperti usaha meubel dan kusen Gambar 19 20. Usaha-saha tersebut mulai dikembangkan sejak tahun 2001. Motivasi awal yang mendorong untuk membuka usaha ini adalah meningkatnya permintaan lokal terhadap meubel dan kusen. Hal tersebut di atas terkait erat dengan peningkatan pendapatan masyarakat dari usaha pertanian, utamanya kakao. Peningkatan pendapatan atau income masyarakat dari hasil kebun yang dikelola memberi kekuatan untuk membeli daya beli, dan mengkonsumsi barang maupun jasa yang diperlukannya, agar dia, dan mungkin keluarganya, dapat hidup layak. Bahkan 22 78 tanpa pestisida menggunakan pestisida 22 78 tanpa pestisida menggunakan pestisida Gambar 18 Perbandingan penduduk yang menggunakan pestisida dengan yang tidak menggunakannya pada tanaman kakao di Toro sumber: Sensus penduduk, STORMA 2004. dari pendapatan itu pula dia dapat menabung untuk membina sumber-sumber pendapatan yang lebih besar Darusman 2002. Motivasi lain masyarakat untuk mengembangkan usaha meubel adalah pendapatan yang diperoleh dari usaha ini lebih menjanjikan. Dalam setiap satu meter kubik kayu yang diolah, sedikitnya diperoleh Rp 1.500.000.00. Nilai ini jauh lebih besar bila dibandingkan harga jual kayu log atau papan yang hanya berkisar antara Rp 300.000.00 - Rp 700.000.00. Dalam setiap bulannya, unit usaha meubel dan kusen rata-rata membutuhkan 1 m 3 kayu, yang diperoleh dari hutan-hutan di sekitar Toro wilayah oma dan pangale 16 . Para pemilik usaha memesan kayu kepada warga yang berprofesi sebagai penebang chainsaw man, setelah sebelumnya memperoleh izin dari pihak pemerintah dan lembaga adat. Proses perizinan dibebankan pada si pemilik usaha yang akan memanfaatkan kayu tersebut. Pekerjaan sampingan rumah tangga di Toro adalah sebagai tenaga upahan, baik dilakukan oleh kepala keluarga suami, isteri, maupun anak-anak mereka yang telah dewasa guna menambah pendapatan keluarga mereka. Proporsi pekerjaan yang dilakukan pria lebih besar bila dibandingkan proporsi kaum perempuan Gambar 21, di mana sebagian besar 57 pekerjaan sampingan dilakukan oleh pihak laki-laki kepala keluarga. Sedangkan pihak perempuan istri dan anak-anak mereka yang telah dewasa masing-masing memiliki proporsi sebesar 20 dan 30. 16 Saat ini pemanfaatan kayu di wilayah pangale telah dibatasi oleh lembaga adat. Hal ini dimaksudkan agar fungsi utama lahan tersebut, sebagai lahan cadangan, dapat tetap terpelihara. Gambar 19 Usaha Pembuatan kusen masyarakat Toro Foto: Golar 2005. Gambar 20 Usaha Pembuatan meubel masyarakat Toro Foto: Golar 2005. 57 20 23 57 20 23 Gambar 21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Toro berdasarkan pembagian jenis kelamin STORMA 2004, diolah. Sementara itu, ragam pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Toro disajikan pada Tabel 21 berikut. Tabel 21 Ragam pekerjaan sampingan di Toro Sumber: Sensus Penduduk STORMA 2004, diolah Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar 80 masyarakat di Toro memperoleh penghasilan tambahan melalui kegiatan buruh tani pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, pembersihan lahan, membuat pondok-pondok. Sementara pekerjaan sampingan terbesar setelah buruh tani adalah kegiatan mengumpulkan rotan dan penebangan pohon 10.9. Menurut informasi masyarakat bahwa kegiatan buruh tani dilakukan pada lahan-lahan milik keluarga dan kerabat mereka, dan umumnya yang tinggal satu dusun dengan mereka. Meskipun demikian, mereka juga sering membatu kerabat mereka yang berasal dari dusun lain di Toro. Bentuk upah yang diterima dapat berupa uang, persen bagi hasil, dan balasan tenaga. Namun, saat ini umumnya Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Persentase Buruh tani Pengolahan padi Pedagang pengumpul Pencari rotan dan penebang pohon Supir mobil Menjaga toko Usaha kerajinan 295 2 5 40 3 4 18 80.4 0.5 1.4 10.9 0.8 1.1 4.9 Jumlah 362 100 Kepala keluarga Anak dewasa Istri mereka menerima upah dalam bentuk uang tunai. Situasi ini berlangsung terutama setelah terbentuknya kelompok persatuan di tiap-tiap dusun di Toro yang dibentuk untuk menggalang dana dari pemilik lahan, baik untuk kepentingan kolektif perbaikan rumah ibadah, maupun kebutuhan tiap-tiap individu yang terlibat di dalamnya. Kelompok ini dikoordinir di tiap-tiap dusun di Toro. Selain usaha tersebut di atas, berkembang pula usaha warung dan toko yang melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat. Motivasi yang mendorong mereka membuka warung maupun toko di Toro adalah tingginya permintaan, utamanya setelah Toro menjadi salah satu lokasi penelitian STORMA dan institusi lainnya. Dinamika Politik

1. Dinamika Internal