Kajian strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi:

(1)

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT

OLEH MASYARAKAT ADAT DALAM KAWASAN

TAMAN NASIONAL WAKATOBI

LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN

NRP : E051064075

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010

La Ode Muhamad Saleh Hanan NRP E051064075


(3)

ABSTRACT

LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN, Study of Indigenous Marine Resources Management Strategies in Wakatobi National Park.

Under Supervisory of ARZYANA SUNGKAR and RINEKSO SOEKMADI.

This thesis described how to adapt formal management system of Wakatobi National Park (WNP)) and traditional system as a strategy for conservation of the national park to achieve biodiversity conservation and community welfare. The main objective of this research was to formulate strategies of indigenous marine resources management that were compatible with WNP management regulations. The subject of the research were four indigenous groups in Wakatobi Island, namely Liya, Mandati, Wanci and Kapota. The research was conducted from October 2008 until August 2009 comprised of the following stages: (1) Preparation: designing systematic research, collecting references, field observations , preparation of equipments and development of research groups; (2) Implementation using survey method and Rapid Rural Appraisal (RRA) where data were collected through interviews, focus group discussion (FGD), observation and workshops; and (3) Consultations with lecturers and data verification. Results of the study suggested that under the traditional system, Wakatobi’s marine resources were considered as common property which formally belong to sara kadie, with decentralized authority from the sultanate sara system to manage and utilize marine resources. Regulation of the resources were conducted according to spatial divisions, including utilization area, protection area based on sara authority or sacred sites. There were also limited utilization area through fishing gear restrictions and utilization permits from sara. Fishing gears management consisted of fishing gears that could be used only by local fishermen and fishing gears applied to non-local fishermen. These were intended to protect the local fishermen with limited equipments from unfair competitions and spatial conflict. Sara kadie could provide entitlement to community groups or individuals for the use of katond and ompo fishing gears. While under the formal system, i.e, zonation, the customary territories of Liya, Mandati, Wanci and Kapota

kadies were declared as ZPL (Local Utilization Zone), meaning could only be exploited by local people, 1.7% of the coral in the customary teritory was declared as ZPr (Tourism Zone) and 1.2% as ZPB (Marine Protected Zone). Differences encountered between the two systems were found on institutional aspect, authority and total area. Wakatobi National Park had legal authorities over the whole areas, while under traditional system, the authority of sara kadie was within much smaller jurisdiction area as big as a kadie. The Kaledupa Reef and Kapota were traditionally managed by huma system. Owners of huma had authority of po adati yi pasi

(customs in atoll), determine regulations for fishing areas, permits, and use of fishing gears. All of these findings suggested the importance of collaboration management between the formal and traditional systems by adapting the principles of traditional management into the formal management principles of WNP. The form of collaboration developed should include jurisdiction area sharing, where the kadie indigenous territories should be managed by local institution and others by formal system. Location of huma which coincided with the ZPB of Kaledupa and ZPr of Kapota Reefs should be jointly managed under the huma and formal systems. Any management violations that were considered criminal such as destructive fishing, illegal exploitation and pollutions should be settled through the formal law system while civil disputes such as violations and fishing areas should be settled by customary law. Although the indigenous areas were manage by under the customary law, nevertheless, as a whole, indigenous areas within and outside kadies should be under the national park’s management, where national park’s regulations legitimate the customary law governing the kadie indigenous area.

Key words : formal system, traditional system, marine resources management, collaboration management, Wakatobi National Park


(4)

RINGKASAN

Partisipasi masyarakat masih rendah dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Survey pride campaign yang dilaksanakan oleh TNC-WWF Wakatobi dan RARE tahun 2008 terhadap masyarakat Pulau Wangi-Wangi dan Kapota menemukan 68 % dari responden mengetahui kerusakan ekosistem terumbu karang, sebanyak 87 % mengetahui dampak perusakan terhadap perikanan, namun 60 % mengaku sulit menghentikan perusakan, 57 % sulit melaporkan pada petugas pemerintah dan 23 % mengatakan pemerintah harus menghentikan perusakan. Ini terjadi karena sistem formal berada di luar pengetahuan dan kuasa masyarakat yang secara sejarah mengelola kawasan dengan sistem tradisional.

Penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW agar tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat tercapai. Tujuan utama penelitian adalah merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan itu ditetapkan tujuan-tujuan khusus yakni : (1) Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi; (2) Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional; dan (3) Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi.

Subyek penelitian adalah 4 kelompok masyarakat adat yakni kelompok adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Agustus 2009 terbagi dalam 3 tahapan yakni : (1) Persiapan: merancang sistematika penelitian, mengumpulkan referensi, observasi lapangan, menyiapkan peralatan dan pembentukan tim kecil penelitian; (2) Pelaksanaan: menggunakan metode survey dan Rapid Rural Apraisal (RRA), serta pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, focus group discussion (FGD), observasi dan workshop; dan (3) Konsultasi dengan dosen pembimbing, verifikasi kekurangan data ke lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam sistem tradisional, sumberdaya laut Wakatobi adalah milik bersama yang secara formal menjadi milik sara kadie, dengan kewenangan desentralistik dari sara kesultanan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut dilaksanakan berdasarkan pendekatan pembagian ruang yakni ruang pemanfaatan, perlindungan baik berdasarkan penetapan sara maupun sistus keramat. Terdapat juga lokasi pemanfaatan terbatas dengan pembatasan alat tangkap dan pemanfaatan melalui izin pada sara. Selain itu pengaturan berdasarkan alat tangkap terdiri dari alat tangkap yang hanya dapat digunakan nelayan lokal dan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan luar, dimaksudkan untuk melindungi nelayan kampung yang memiliki peralatan terbatas dari persaingan dan konflik ruang. Sara kadie dapat memberikan kuasa pengelolaan kepada kelompok masyarakat atau individu untuk alat tangkap ompo dan katondo. Sedangkan dalam sistem formal yaitu zonasi TNW, wilayah ulayat kadie Liya, Mandati, Wanci dan Kapota umumnya menjadi ZPL (Zona Pemanfaatan Lokal), artinya


(5)

hanya dapat dimanfaatkan nelayan lokal, 1,7 % karang di wilayah ulayat merupakan ZPr (Zona Pariwisata), dan ZPB (Zona Perlindungan Bahari) 1,2%.

Perbedaan yang ditemui dalam pengelolaan sistem formal dan sistem tradisional menyangkut aspek kelembagaan, kewenangan dan luas wilayah. Sistem formal memiliki kewenangan menjalankan hukum dengan wilayah mencakup seluruh kawasan, dalam sistem tradisional sara kadie berwenang membuat dan menjalankan peraturan adat dengan wilayah yurisdiksi lebih kecil sebatas wilayah kadie. Wilayah Karang Kaledupa, Kapota dalam sistem tradisional dikelola dengan sistem huma. Pemilik huma memiliki kuasa po adati yi pasi (adat istiadat di karang atol) menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, penggunaan alat bagi pengguna sumberdaya (resources use). Keseluruhan hasil ini mengarah kepada strategi pengelolaan TNW berdasarkan kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional yakni memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan tradisional masyarakat adat ke dalam prinsip-prinsip pengelolaan formal TNW. Bentuknya pengelolaan kolaborasi adalah pembagian ruang yurisdiksi yakni wilayah adat kadie dikelola dengan kelembagaan adat dan diluar itu diberlakukan pengelolaan dengan sistem formal. Lokasi huma yang berimpit dengan ZPB Karang Kaledupa dan ZPr Karang Kapota dikelola dengan memfungsikan secara bersama sistem huma dan sistem formal. Pelanggaran pengelolaan yang bersifat pidana seperti destruktif fishing, pencurian, pencemaran, diselesaikan dengan hukum formal TNW dan sengketa perdata seperti pelanggaran dan perebutan wilayah tangkap diselesaikan dengan hukum adat. Meskipun wilayah ulayat dikelola dengan adat tetapi secara keseluruhan baik wilayah ulayat kadie maupun luar ulayat kadie tetap dalam prespektif TNW, artinya peraturan TNW melegitimasi peraturan adat yang mengatur wilayah ulayat kadie.

Kata kunci : sistem formal, sistem tradisional, pengelolaan sumberdaya laut, kolaborasi pengelolaan, Taman Nasional Wakatobi.


(6)

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT

OLEH MASYARAKAT ADAT DALAM KAWASAN

TAMAN NASIONAL WAKATOBI

LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN

NRP : E051064075

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(7)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010

La Ode Muhamad Saleh Hanan NRP E051064075


(8)

ABSTRACT

LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN, Study of Indigenous Marine Resources Management Strategies in Wakatobi National Park.

Under Supervisory of ARZYANA SUNGKAR and RINEKSO SOEKMADI.

This thesis described how to adapt formal management system of Wakatobi National Park (WNP)) and traditional system as a strategy for conservation of the national park to achieve biodiversity conservation and community welfare. The main objective of this research was to formulate strategies of indigenous marine resources management that were compatible with WNP management regulations. The subject of the research were four indigenous groups in Wakatobi Island, namely Liya, Mandati, Wanci and Kapota. The research was conducted from October 2008 until August 2009 comprised of the following stages: (1) Preparation: designing systematic research, collecting references, field observations , preparation of equipments and development of research groups; (2) Implementation using survey method and Rapid Rural Appraisal (RRA) where data were collected through interviews, focus group discussion (FGD), observation and workshops; and (3) Consultations with lecturers and data verification. Results of the study suggested that under the traditional system, Wakatobi’s marine resources were considered as common property which formally belong to sara kadie, with decentralized authority from the sultanate sara system to manage and utilize marine resources. Regulation of the resources were conducted according to spatial divisions, including utilization area, protection area based on sara authority or sacred sites. There were also limited utilization area through fishing gear restrictions and utilization permits from sara. Fishing gears management consisted of fishing gears that could be used only by local fishermen and fishing gears applied to non-local fishermen. These were intended to protect the local fishermen with limited equipments from unfair competitions and spatial conflict. Sara kadie could provide entitlement to community groups or individuals for the use of katond and ompo fishing gears. While under the formal system, i.e, zonation, the customary territories of Liya, Mandati, Wanci and Kapota

kadies were declared as ZPL (Local Utilization Zone), meaning could only be exploited by local people, 1.7% of the coral in the customary teritory was declared as ZPr (Tourism Zone) and 1.2% as ZPB (Marine Protected Zone). Differences encountered between the two systems were found on institutional aspect, authority and total area. Wakatobi National Park had legal authorities over the whole areas, while under traditional system, the authority of sara kadie was within much smaller jurisdiction area as big as a kadie. The Kaledupa Reef and Kapota were traditionally managed by huma system. Owners of huma had authority of po adati yi pasi

(customs in atoll), determine regulations for fishing areas, permits, and use of fishing gears. All of these findings suggested the importance of collaboration management between the formal and traditional systems by adapting the principles of traditional management into the formal management principles of WNP. The form of collaboration developed should include jurisdiction area sharing, where the kadie indigenous territories should be managed by local institution and others by formal system. Location of huma which coincided with the ZPB of Kaledupa and ZPr of Kapota Reefs should be jointly managed under the huma and formal systems. Any management violations that were considered criminal such as destructive fishing, illegal exploitation and pollutions should be settled through the formal law system while civil disputes such as violations and fishing areas should be settled by customary law. Although the indigenous areas were manage by under the customary law, nevertheless, as a whole, indigenous areas within and outside kadies should be under the national park’s management, where national park’s regulations legitimate the customary law governing the kadie indigenous area.

Key words : formal system, traditional system, marine resources management, collaboration management, Wakatobi National Park


(9)

RINGKASAN

Partisipasi masyarakat masih rendah dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Survey pride campaign yang dilaksanakan oleh TNC-WWF Wakatobi dan RARE tahun 2008 terhadap masyarakat Pulau Wangi-Wangi dan Kapota menemukan 68 % dari responden mengetahui kerusakan ekosistem terumbu karang, sebanyak 87 % mengetahui dampak perusakan terhadap perikanan, namun 60 % mengaku sulit menghentikan perusakan, 57 % sulit melaporkan pada petugas pemerintah dan 23 % mengatakan pemerintah harus menghentikan perusakan. Ini terjadi karena sistem formal berada di luar pengetahuan dan kuasa masyarakat yang secara sejarah mengelola kawasan dengan sistem tradisional.

Penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW agar tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat tercapai. Tujuan utama penelitian adalah merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan itu ditetapkan tujuan-tujuan khusus yakni : (1) Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi; (2) Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional; dan (3) Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi.

Subyek penelitian adalah 4 kelompok masyarakat adat yakni kelompok adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Agustus 2009 terbagi dalam 3 tahapan yakni : (1) Persiapan: merancang sistematika penelitian, mengumpulkan referensi, observasi lapangan, menyiapkan peralatan dan pembentukan tim kecil penelitian; (2) Pelaksanaan: menggunakan metode survey dan Rapid Rural Apraisal (RRA), serta pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, focus group discussion (FGD), observasi dan workshop; dan (3) Konsultasi dengan dosen pembimbing, verifikasi kekurangan data ke lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam sistem tradisional, sumberdaya laut Wakatobi adalah milik bersama yang secara formal menjadi milik sara kadie, dengan kewenangan desentralistik dari sara kesultanan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut dilaksanakan berdasarkan pendekatan pembagian ruang yakni ruang pemanfaatan, perlindungan baik berdasarkan penetapan sara maupun sistus keramat. Terdapat juga lokasi pemanfaatan terbatas dengan pembatasan alat tangkap dan pemanfaatan melalui izin pada sara. Selain itu pengaturan berdasarkan alat tangkap terdiri dari alat tangkap yang hanya dapat digunakan nelayan lokal dan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan luar, dimaksudkan untuk melindungi nelayan kampung yang memiliki peralatan terbatas dari persaingan dan konflik ruang. Sara kadie dapat memberikan kuasa pengelolaan kepada kelompok masyarakat atau individu untuk alat tangkap ompo dan katondo. Sedangkan dalam sistem formal yaitu zonasi TNW, wilayah ulayat kadie Liya, Mandati, Wanci dan Kapota umumnya menjadi ZPL (Zona Pemanfaatan Lokal), artinya


(10)

hanya dapat dimanfaatkan nelayan lokal, 1,7 % karang di wilayah ulayat merupakan ZPr (Zona Pariwisata), dan ZPB (Zona Perlindungan Bahari) 1,2%.

Perbedaan yang ditemui dalam pengelolaan sistem formal dan sistem tradisional menyangkut aspek kelembagaan, kewenangan dan luas wilayah. Sistem formal memiliki kewenangan menjalankan hukum dengan wilayah mencakup seluruh kawasan, dalam sistem tradisional sara kadie berwenang membuat dan menjalankan peraturan adat dengan wilayah yurisdiksi lebih kecil sebatas wilayah kadie. Wilayah Karang Kaledupa, Kapota dalam sistem tradisional dikelola dengan sistem huma. Pemilik huma memiliki kuasa po adati yi pasi (adat istiadat di karang atol) menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, penggunaan alat bagi pengguna sumberdaya (resources use). Keseluruhan hasil ini mengarah kepada strategi pengelolaan TNW berdasarkan kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional yakni memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan tradisional masyarakat adat ke dalam prinsip-prinsip pengelolaan formal TNW. Bentuknya pengelolaan kolaborasi adalah pembagian ruang yurisdiksi yakni wilayah adat kadie dikelola dengan kelembagaan adat dan diluar itu diberlakukan pengelolaan dengan sistem formal. Lokasi huma yang berimpit dengan ZPB Karang Kaledupa dan ZPr Karang Kapota dikelola dengan memfungsikan secara bersama sistem huma dan sistem formal. Pelanggaran pengelolaan yang bersifat pidana seperti destruktif fishing, pencurian, pencemaran, diselesaikan dengan hukum formal TNW dan sengketa perdata seperti pelanggaran dan perebutan wilayah tangkap diselesaikan dengan hukum adat. Meskipun wilayah ulayat dikelola dengan adat tetapi secara keseluruhan baik wilayah ulayat kadie maupun luar ulayat kadie tetap dalam prespektif TNW, artinya peraturan TNW melegitimasi peraturan adat yang mengatur wilayah ulayat kadie.

Kata kunci : sistem formal, sistem tradisional, pengelolaan sumberdaya laut, kolaborasi pengelolaan, Taman Nasional Wakatobi.


(11)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(12)

Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut

oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi

LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(13)

(14)

Judul Tugas Akhir : Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh

Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi Mayor : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Nama : La Ode Muhamad Saleh Hanan

NRP : E051064075

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor/Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Iman Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS


(15)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul : “Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi.”

Pada kesempatan ini pula penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc dan Bapak Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MScF, pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, juga kepada Ibu Prof. Dr. Ir. E.K.S Harini Muntasib dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS yang terus memberikan dorongan dalam menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa penulis menyampaikan hal yang sama kepada Bapak Hary Koeshardanto dan rekan-rekan RARE Indonesia, TNC dan WWF Joint program Wakatobi, serta semua pihak yang turut membantu penulis selama ini. Secara khusus saya menyampaikan hormat yang tinggi kepada para sesepuh adat/orang tua kampung adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota yang menjadi sumber informasi penelitian ini, serta ayah-ibu saya. Karya tulis ini untuk memenuhi janji penulis pada kampung halaman tentang kedaulatan pengelolaan. Juga pelajaran untuk kedua anak saya, Intan dan Fifa, terima kasih pada ibu mereka. Untuk sahabat saya Idamayasari.

Sebagai manusia biasa penulis tentunya tidak luput dari kealpaan, penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan tulisan ini dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Maret, 2010


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di kampung adat Liya, Kabupaten Buton pada tanggal 16 Agustus 1972 dari ayah La Ode Hanan dan ibu Rusna Mulyani. Penulis adalah anak pertama dari 9 bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus SMA Mutiara Kota Bau-Bau dan pada tahun 2001 menyelesaikan program sarjana (S1) pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Tahun 2007 diterima pada Fakultas Kehutanan Institus Pertanian Bogor untuk melanjutkan Program Pascasarjana.

Pengalaman kerja penulis dimulai sebagai voluntir Walhi Daerah Sulawesi Tenggara tahun 1995 dan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa sampai tahun 1997, staf LSM Yasinta Kendari tahun 2002, United Nation Volunter (UNV) pada Program PKM-UNDP tahun 2003, Deputi Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara tahun 2003 dan staf pada joint program TNC-WWF Wakatobi sejak tahun 2004 – sekarang. Dari tahun 1998 – sekarang penulis aktif dalam organisasi kampung SOROKOKO (Solidaritas dan Reorganisasi Kampo-Kampo).


(17)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Pernyataan Mengenai Tesis dan Sumber Informasi ... ii

Abstract ... iii

Ringkasan ... iv

Lembar Pengesahan ... viii

Kata Pengantar ... x

Riwayat Hidup ... xi

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvi

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kearifan Tradisional ... 10

2.2. Pengelolaan KawasanKonservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi ... 13

2.3. Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah ... 15

2.4. Kolaborasi Manajemen ... 17

III DESKRIPSI KAWASAN LOKASI PENELITIAN 3.1. Karakteristik Fisik ... 19

3.2. Gambaran Keanekaragaman Hayati ... 21

3.3. Gambaran Masyarakat ... 26

3.4. Sejarah Pengelolaan Kawasan ... 29

IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33


(18)

4.2. Alat dan Bahan ... 33

4.3. Tahapan Penelitian ... 33

4.4. Metode ... 36

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hak Ulayat Laut ... 44

5.2. Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Ruang ... 52

5.3. Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap ... 64

5.4. Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ... 72

5.5. Perbandingan Prinsip Pengelolaan Formal dan Tradisional ... 85

5.6. Strategi Pengelolaan oleh Masyarakat Adat ... 85

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 94

6.2. Saran ... 96


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur Pemikiran Penelitian ... 7

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian ... 19

Gambar 3. Posisi Wilayah Adat Kadie dalam Zonasi TNW ... 47

Gambar 4. Peta Zonasi Baru TNW ... 74


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pelaksanaan Wawancara ... 37

Tabel 2. Pelaksanaan FGD ... 40

Tabel 3. Metode Pengumpulan Data ... 43

Tabel 4. Jenis dan Penggunaan Alat Tangkap ... 65

Tabel 5. Proses Revisi Zonasi ... 76

Tabel 6. Kesesuaian Kegiatan Bedasarkan Zonasi TNW ... 84

Tabel 7. Perbandingan Prinsip Pengelolaan ... 86


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Resume Luasan Zonasi TNW ... 100

Lampiran 2. Struktur Organisasi TNW ... 103

Lampiran 3. Struktur Organisasi Dinas KP Wakatobi ... 104


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Wakatobi (TNW) sangat ditentukan pengakuan kepemilikan masyarakat atas sumberdaya oleh pengelola sehingga masyarakat tidak merasa menjadi bagian terpisah dari pengelolaan. Hasil kegiatan outreach joint program TNC, WWF dan TNW dari tahun 2003-2008 pada 64 desa (sekarang mekar menjadi 100 desa) semua menunjukkan aspirasi yang sama yakni masyarakat harus ikut dalam pengelolaan.

Dapat dikatakan bahwa konservasi keanekaragaan hayati pada kasus seperti TNW (kawasan konservasi disekitar pemukiman penduduk) harus paralel dengan konservasi keanekaragaman komunitas sebab melalui kearifan tradisinya komunitas masyarakat adat memiliki beragam pengalaman dalam pengelolaan lingkungannya. Jadi kehadiran norma baru sejatinya adalah menguatkan konsep operasional yang telah ada dalam komunitas-komunitas tersebut.

Keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting dilestarikan karena merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam kawasan. Wilayah ini berada pada coral triangle center dunia meliputi negara Indonesia, Malaysia, Brunai, Philipina dan Kepulauan Solomon, dengan keanekaragaman terumbu karang dan biota laut tertinggi di dunia (TNW 2008).

Tahun 1996 pemerintah menunjuk kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut sebagai Taman Nasional Wakatobi dan bulan Desember tahun 2003 menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Dengan demikian dalam satu hamparan kawasan dengan luas dan batas yang sama (berhimpit) menjadi wilayah taman nasional dan daerah kabupaten. Selain itu bagian-bagian wilayahnya baik di laut maupun darat menjadi wilayah adat dari kampung-kampung yang telah ada jauh sebelumnya.


(23)

Untuk menyeimbangkan kepentingan pembangunan daerah, pemanfaatan oleh masyarakat dan konservasi, maka tahun 2007 dilakukan revisi zonasi taman nasional. Kendati begitu persoalan dalam kawasan tidak berarti berhenti. Praktek penangkapan ikan secara ilegal menyebabkan terjadinya overfishing. Praktek-praktek yang bersifat merusak juga terjadi dengan menggunakan bom, bius dan penambangan karang. Hasil penelitian Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir tahun 2003, menyebutkan penambangan karang oleh masyarakat Bajo berlangsung sejak tahun 1960an.

Luasnya kawasan perairan Wakatobi menyulitkan pemerintah melakukan pengamanan. Penggunaan bius (potasium cianida) juga sulit dibuktikan jika pelaku tidak ditangkap langsung. Sementara itu partisipasi masyarakat cenderung pasif dan menyerahkan persoalan sebagai urusan pemerintah. Survey perception monitoring oleh TNC, WWF bekerjasama dengan Balai TNW tahun 2009 menunjukkan 23 % masyarakat menaruh kepercayaan pada pemerintah nasional untuk menjaga kawasan, 22 % kepada kepala desa dan 21 % kepada TNW. Definisi pemerintah nasional dalam dokumen survey adalah Pemda, Polisi, Angkatan Laut dan Dinas Kelautan dan Perikanan (TNC dan WWF Wakatobi 2009). Ketiga subjek yakni pemerintah nasional, kades dan TNW adalah unsur pemerintah, artinya ketergantungan pada pemerintah sangat tinggi.

Jika dirunut secara kronologis kurangnya partsisipasi masyarakat merupakan akibat dari perubahan pengelolaan sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979 (Nababan 2003). Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara), pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung bersentuhan dengan perihal pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola sumberdaya laut berdasarkan pengetahuan tradisional yang dipelajari secara


(24)

turun-temurun. Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat (Arafah dan Manan, 2000).

Ancaman lain adalah masih adanya masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap taman nasional sebagai pengusiran masyarakat dari wilayah kelola serta anggapan bahwa konservasi bertentangan dengan pembangunan daerah yang dimaknai sebagai aksi eksploitasi hasil untuk PAD. Potensi konflik juga terjadi horisontal, misalnya perbedaan orientasi antara nelayan lokal Wakatobi dengan menambang karang dari komunitas Bajo.

Dengan demikian diperlukan sistem pengelolaan yang menghamoniskan pelestarian keanekaragaman hayati dan pelestarian keanekaragaman komunitas sehingga menekan konflik, sebab pengelolaan lingkungan tidak lain merupakan pengelolaan konflik dari masyarakat yang tersusun dari nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan yang berbeda-beda baik secara individu maupun kelompok (Mitchell B. et al 2007).

Laut di Kepulauan Wakatobi adalah milik kampung, dikelola oleh sara kadie, suatu lembaga masyarakat hukum adat kampung yang diberi kewenangan mengurus rumah tangga sendiri oleh Sara Kesultanan Buton. Desentralisasi semacam itu adalah sebagaimana yang dikatakan Solihin et al (2005) sebagai bentuk pengakuan negara kepada masyarakat yang menghasilkan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan karena terciptanya rasa memiliki pada masyarakat. Kejelasan ruang pengelolaan dalam sistem kadie memudahkan sistem pengawasan sehingga menghindari konflik sesama nelayan (Widodo dan Suadi 2006) dan menghindari laut sebagai wilayah bebas (open access) yang dapat dieksploitasi oleh siapapun, kapanpun dan dengan menggunakan peralatan apapun (Satria 2009b). Bentuk kearifan pengelolaan yaitu sistem adat penting diadopsi guna mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami sistem baru dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru (Arafah dan Manan 2000).

Pengelolaan sumberdaya laut dengan kearifan tradisional bukanlah berarti meniadakan sistem formal, tetapi soal bagaimana memberikan penghormatan kepada


(25)

sistem tradisional selaku ‘tuan rumah’ dalam kawasan dengan cara : (1) tidak menghilangkan eksistensi sistem tradisional, dan (2) Kesesuaian antara sistem formal dan sistem tradisional dalam pengelolaan kawasan. Baik sistem tradisional maupun formal memiliki kesamaan tujuan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk kelangsungan kehidupan.Peran pemerintah tetap penting sebagai fasilitator regulasi dan sistem formal dapat beroperasi pada pengelolaan wilayah-wilayah di luar teritorial masyarakat adat atau untuk menjalankan kewajibannya memenuhi hak masyarakat atas kawasan yang aman dari pelanggaran hukum dan hak atas lingkungan yang lestari.

Kedua sistem dapat dielaborasi dalam skema kolaborasi sistem, lebih dari sekedar kolaborasi manajemen yang memandang masyarakat sebagai participan stakeholders pada event pemerintah. Kolaborasi sistem adalah dekonstruksi dari sistem pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik berbasis masyarakat dimana sistem yang hidup dalam masyarakat diselaraskan dengan sistem formal, bentuknya bisa pembagian ruang mana yang diatur pemerintah dan ruang mana yang diatur sistem lokal. Peluang pemulihan kearifan tradisional dalam kawasan TNW sangat terbuka mengingat fakta bahwa seluruh wilayah kelola adat sara kadie pada sistem tradisional, di dalam skema zonasi TNW telah disepakati masyarakat dan pemerintah sebagai zona pemanfaatan lokal yang mengandung arti hanya dapat dikelola masyarakat lokal Wakatobi. Tentunya untuk menciptakan kesetaraan pengetahuan mengenai sistem tradisional yang ada dalam masyarakat diperlukan langkah awal yakni penggalian nilai-nilai tradisional tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Konservasi keanekaragaman hayati di TNW belum berjalan optimal ditandai dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan masih berlangsungnya kegiatan destruktif fishing seperti pemboman, pembiusan dan penambangan karang, terutama di perairan Pulau Wangi-Wangi. Sistem formal konservasi taman nasional berada


(26)

diluar pengalaman hidup dan pengetahuan alami masyarakat sehingga tujuan konservasi sulit terwujud.

Sementara itu terdapat kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya yang operasional karena terbentuk dan berkembang dari pengalaman masyarakat selama turun-temurun mengelola kawasan tetapi tidak menjadi bagian dari sistem pengelolaan kawasan saat ini. Melemahnya sistem tradisional yang mengurus sumberdaya secara lokal dan menguatnya peran pemerintah memiliki andil besar pada degradasi sumberdaya alam (Satria 2009b).

Degradasi sumberdaya laut dapat diketahui berdasarkan hasil Rapid Ecological Assasement (REA) tahun 2003 di perairan Wakatobi menemukan sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan BTNW tahun 2007 tersisa 4 lokasi pemijahan masih dalam kondisi baik. Kerusakan disebabkan penggunaan alat tangkap potasium cianyda. Demikian juga di pesisir Liya, Mandati dan Kapota, aktivitas penambangan karang masih terjadi.

Tahun 2005 secara partisipatif nelayan Liya menangkap 24 penambang karang dan menahan 22 perahu berkapasitas 2 – 3 kubik karang. Masyarakat Liya kemudian bermusayawarah menetapkan sanksi adat dalam bentuk denda terhadap para pelaku penambangan dan pernyataan tidak akan mengulangi kegiatan penambangan karang, namun DPRD Kabupaten Wakatobi membebaskan semua pelaku penambangan dari sanksi dengan pertimbangan bahwa kegiatan penangkapan oleh masyarakat tidak memiliki dasar hukum. Dampaknya aktivitas penambangan karang di pesisir Liya, pesisir Usuno desa Kolo Liya, pantai barat Pulau Kapota serta pesisir barat Mandati terus terjadi tanpa tindakan pencegahan dari masyarakat lagi. Bahkan di pesisir desa Waelumu dan Waetuno penambangan mulai dilakukan masyarakat lokal desa.

Hasil penelitian Pride Campaign TNC/WWF, RARE di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota tahun 2008 menunjukkan pengetahuan masyarakat yang tinggi terhadap kegiatan perusakan (68%) dan dampak perusakan (87%). Tetapi hasil survey menampakkan lemahnya kemampuan masyarakat untuk bersikap dalam


(27)

menghentikan kegiatan perusakan (60%). Kesulitan ini bisa disebabkan sistem pengelolaan yang ada tidak memberikan kuasa pada masyarakat dan tidak dipahami masyarakat. Untuk sekedar melaporkan kegiatan perusakanpun masyarakat mengalami kesulitan. Masyarakat sulit membuat keputusan dan instansi pembuatan keputusan berada pada jarak sosial dan fisik yang jauh dari kenyataan hidup masyarakat. Keadaan ini menyebabkan tujuan-tujuan konservasi seperti pelestarian keanekaragaman hayati sulit terwujud. Dalam pengelolaan dengan sistem adat pengambilan keputusan berada di tengah kampung. Sara yang merupakan lembaga hukum adat berada di tengah-tengah masyarakat dan anggotanya merupakan bagian dari penduduk kampung.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW. Fokus kajian adalah sistem tradisional pengelolaan laut dalam pengelolaan zonasi TNW apakah memiliki kesesuaian atau tidak memiliki kesesuaian.

Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan awal yang harus terjawab dalam penelitian ini adalah :

1. Apa saja kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya laut?

2. Bagaimana pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem zonasi TNW, kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional. 3. Apa wujud persamaan dan perbedaan sistem formal dan sistem tradisional

dalam mengelola sumberdaya laut di Wakatobi?

1.3 Kerangka Pemikiran

Untuk menyusun rumusan pengelolaan TNW yang adaptif terhadap pengelolaan tradisional masyarakat dalam kawasan harus dimulai dari langkah-langka klarifikasi atas kearifan tradisional dan sistem formal yang berlaku. Kearifan tradisional sebagai hasil karya masyarakat yang timbul dari pengalaman secara teratur berinteraksi dengan alam dalam suatu wilayah kelola yang dikuasainya sebagai hak


(28)

ulayat telah mengilhami pengelolaan sumber daya laut secara ramah dan berkelanjutan sehingga laut Wakatobi dianggap layak menjadi taman nasional dalam prespektif pelestarian oleh pemerintah. Secara tidak langsung hal tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan negara atas pengaruh positif kearifan masyarakat secara turun-temurun.

Pengakuan atas wujud perilaku konservasi yang lahir dalam masyarakat akan bermakna sebagai suatu penghormatan terhadap norma atau adat istiadat dalam pengelolaan dengan menjadikan nilai tradisional tersebut sebagai bagian dari instrumen konservasi kawasan taman nasional. Akomodasi terhadap kearifan lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat karena nilai tersebut dapat dengan mudah dikenali, dipahami dan dijalankan sebab telah menjadi pengalaman dan sejarah hidup masyarakat. Konsep pemikiran tersebut melatarbelakangi gagasan penelitian ini sebagaimana disajikan pada gambar 1.


(29)

Gambar 1 menunjukkan kondisi faktual pengelolaan sumberdaya laut kepulauan Wakatobi berada dalam kewenangan institusi pemerintah yakni pemerintah daerah dan taman nasional. Dilain pihak, terdapat masyarakat lokal yang memiliki hak ulayat. Antara pengelolaan oleh pemerintah daerah dan taman nasional terdapat prinsip-prinsip yang memiliki kesamaan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk menunjang penyediaan bahan baku bagi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Namun demikian terdapat kesenjangan pengelolaan yang harus dirumuskan bersama oleh kedua institusi sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih. Kedua sistem memiliki kesamaan dan kesenjangan sehingga diperlukan kesepakatan-kesepakatan sebagai sistem pengelolaan bersama dan menjadi landasan bagi pengelolaan bersama (colaboration management).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kolaborasi pengelolaan bukan hanya kolaborasi dalam perspektif partisipasi stakeholder (manusia) pada event pemerintah tetapi kolaborasi sistem antara sistem formal pemerintah dan sistem tradisional milik masyarakat. Konsensus yang akan dihasilkan dari kolaborasi tersebut nantinya menjadi sistem konservasi taman nasional.

1.4 Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan utama yakni merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan tersebut maka tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi.

2. Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional.

3. Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi.


(30)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji strategi pengelolaan sumber daya laut di wilayah TNW. Hasil kajian dalam penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi proses yang dibangun para pihak dalam TNW untuk mewujudkan kolaborasi pengelolaan dalam rangka mewujudkan ‘taman nasional untuk rakyat’ yaitu kawasan konservasi yang memberikan layanan ekologis bagi pelestarian ekosistem, mempertahankan sumber pangan masyarakat dan memberi penghormatan pada masyarakat adat yang berada dalam kawasan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kearifan Tradisional

Kearifan tradisional lahir dari ekstraksi pengalaman hidup manusia dengan lingkungan hidupnya selama turun-temurun dan berulang pada wilayah yang dikuasai secara adat. Babcock dalam Arafat dan Manan (2000) menyatakan hal yang sama tentang kearifan masyarakat sebagai kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar pada kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Dari definisi itu nampaklah hubungan erat antara kearifan manusia dengan lingkungan. Ketakterpisahan mahkuk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungan hidupnya dilukiskan Soemarwoto (2008) sebagai dua sejoli, bahwa mahluk hidup membentuk lingkungan hidupnya dan sebaliknya mahluk hidup bergantung pada lingkungan hidupnya. Terdapat hubungan timbal balik, saling ketergantungan, mahluk hidup hanya mungkin dapat mempertahankan proses reproduksinya berkat nilai yang diterima dari lingkungan hidupnya dan kemampuan daya dukung lingkungan tergantung bagaimana mahluk hidup menciptakan keseimbangan dalam lingkungan hidupnya (Soemarwoto 2008).

Fokus dalam hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya adalah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik (tidak hidup) serta tumbuhan dan hewan sebagai materi di dalam lingkungan hidup manusia. Karena itu dalam pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia. Soemarwoto (2008) menambahkan, dalam sejarah hidup manusia, ekologi dan faktor lain seperti ekonomi, teknologi bahkan faktor yang tidak material seperti sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi manusia dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan kunci untuk mengelola lingkungan hidup. Interaksi yang panjang, teratur dan terus-menerus antara manusia dengan alam melahirkan pengalaman-pengalaman hidup di alam berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk


(32)

sumber kehidupan dan mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya (Soemarwoto 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan manusia.

Kebudayaan didapatkan dari proses interaksi yang terus menerus dan teratur dengan lingkungan hidupnya membentuk suatu sistem pengelolaan lingkungan (Ranjabar, 2006). Dari sinilah lahirnya nilai-nilai kearifan yang menjadi sistem tradisional masyarakat. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan yang diyakini adanya kekuatan dalam selubung alam yang memerlukan penghormatan secara religius tetapi dalam nilai-nilai tersebut terdapat pengetahuan yang menjelaskan secara ekologi sebuah kearifan (Susilo 2008). Nababan (2003) menilai kearifan tradisional melekat pada pemilik sumberdaya dalam suatu wilayah yakni masyarakat adat. Contoh yang dapat memperlihatkan kelekatan itu dapat dilihat pada hubungan antara masyarakat adat dengan hutan dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang sebagaimana diuraikan dalam Uluk et al (2001). Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (Nababan 2003). Unsurnya adalah komunitas, histories, wilayah, hukum dan kelembagaan.

Memperhatikan definisi tersebut masyarakat hukum adat pemilik sumberdaya laut di Kepulauan Wakatobi dengan nilai-nilai kearifan yang melekat dengan wilayah kekuasaan adat terbagi dalam 9 kadie dan 1 barata (memiliki 9 limbo atau kadie), merupakan bagian dari 72 kadie dan 4 barata Kesultanan Buton (Zuhdi, 1996). Kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam menarik untuk dicermati mengingat dampak negatif yang cenderung muncul akibat penerapan teknologi modern yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang menghendaki


(33)

harmoni dengan alam, dapat ditemukan pada sistem tradisional, tetapi pendekatan kearifan tradisional bukan berarti memutar roda kehidupan kapada masa lalu dalam dominasi alam. Membangkitkan kearifan tradisional merupakan suatu cara menjaga lingkungan dan meredam watak eksploitatif manusia atas alam. Muatan kearifan lokal yang tidak eksploitatif dibanding teknologi modern yang perlu dikembangkan yakni kearifan yang melayani kebutuhan secara subjektif, sesuai jumlah optimum yang dibutuhkan tanpa eksploitasi besar-besaran (Susilo 2008).

Endah dalam Adnan et al (2008) menuliskan kekhawatiran pada lunturnya minat kaum muda terhadap kearifan tradisional dan lebih memilih budaya-budaya modern seperti kebiasaan berkumpul di warung sambil menonton aneka sajian siaran televisi dari antena parabola di desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, disekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Dampaknya pada penegakan aturan-aturan adat adalah jika ada perlawanan dari pelaku perusakan atau pencurian sumberdaya alam aturan adat tidak bisa menindak. Dalam sidang musyawarah masyarakat para pelaku pelanggaran tersebut selalu menggunggat mana aturan yang dilanggar dan siapa yang menetapkannya. Belajar dari hal tersebut masyarakat desa Batu Kerbau kemudian mulai mendokumentasikan aturan adatnya. Aturan-aturan adat yang disepakati dalam musyawarah masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam dibakukan dalam bentuk piagam kesepakatan sehingga meskipun lembaga adat tradisional telah bubar tetapi piagam menjadi landasan dan pedoman pengambilan keputusan kolektif masyarakat adat. .

Kasus desa Batu Kerbau adalah pelajaran empirik yang menegaskan kedinamisan kearifan tradisional. Bahwa kearifan tradisional terletak pada nilai kelolakan masyarakat pemilik sumber daya, bukan sekedar warisan dari masa lalu (Adimihardja 2008).

Dalam pengelolaan laut, sistem tradisional pudar karena, pertama sistem pengelolaan laut yang berbasis ilmu pengetahuan moderen menganggap pengelolaan yang bersifak lokal tidak relevan karena tidak didasarkan pada metode yang imiah. Akibatnya sistem tradisional diabaikan padahal pengelolaan tradisional sarat dengan


(34)

prinsip moral yang mendorong masyarakat bertanggung jawab atas stabilitas ekosisitem laut. Kedua, pengelolaan laut sentralistik (Satria 2009b).

2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi

Indonesia salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati (melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994) dimana dalam pasal 8 konvensi mewajibkan negara-negara peserta konvensi (yang telah meratifikasi) menetapkan sistem kawasan yang dilindungi atau protected area (DEPHUT, 2005). Menurut Setiawan dan Alikodra (2001) sistem kawasan konservasi di Indonesia dapat dikategorikan :

1. Kawasan suaka alam (nature reserve), terdiri dari Cagar Alam (CA) darat dan laut, serta Suaka Margasatwa (SM) darat dan laut.

2. Kawasan pelestarian Alam (nature reserve), terdiri dari Taman Nasional (TN) darat dan laut, Taman Wisata (TW) darat dan laut serta Taman Hutan Rakyat (Tahura).

3. Kawasan Taman Buru (game reserve).

Disamping kawasan konservasi terdapat hutan lindung yang meskipun berfungsi melindungi sumberdaya hayati tetapi tujuannya adalah untuk melindungi daerah tangkapan air. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah kewenangan pemerintah pusat dibawah Departemen Kehutanan, dengan misi, pertama, menjaga kawasan konservasi, rehabilitasi dan peningkatan potensi. Kedua, pengelolaan kawasan konservasi berwawasan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup. Ketiga peningkatan manfaat hasil dan peran masyarakat (Setiawan dan Alikodra 2001).

Sentralisasi pengelolaan kawasa konservasi mempercepat degradasi sumberdaya alam. Pendekatan sentarlistik berkembang pasca perang dunia II dimana negara-negara baru melakukan proyek nasionalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang kemudian dimanfaatkan negara-negara kapital dari barat untuk menginvestasikan modernisasi pembangunan. Modernisasi tidak menghendaki


(35)

hal-hal yang berbau tradisional. Proyek nasionalisasi dan modernisasi memperkuat posisi pemerintah pusat atas sumberdaya alam, dampaknya masyarakat lokal makin jauh ketinggalan dan kelembagaan pengelolaan lokal makin memudar yang memberi kontribusi besar pada degradasi sumber daya. Aturan dibuat di pusat kekuasaan yang jarak sosialnya jauh dari realitas sosial setempat. Akibatnya masyarakat yang telah tercabut dari kulturnya kehilangan rasa tanggung jawab atas peraturan pengelolaan sehungga peraturan tersebut berjalan tidak efektif. (Satria 2009b).

Lebih lanjut Satria (2009b) menjelaskan pengelolaan kawasan konservasi terutama didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan peraturan implementasinya yakni PP No. 68 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menegaskan corak sentralistik pengelolaan. Pengembangan taman nasional laut mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk pelaksanaannya di lapangan Departemen Kehutanan membentuk unit pelaksana teknis Balai Taman Nasional (BTN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Titik balik sentralisasi ke desentralisasi mulai mendapat ruang setelah keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang mengatur kewenangan laut daerah kabupaten 4 mil, propisnsi berwenang hingga 12 mil dan pemerintah pusat ditas 12 mil. mil. Namun demikian UU No. 22 tersebut tetap mengakomodir kewenangan pemerintah pusat untuk pengelolaan sumberdaya dan konservasi (Satria, 2009b). Dilain pihak UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberikan kewenangan pada Departemen Kelautan dan Perikanan mengelola kawasan konservasi laut. Disinilah tarik menarik kepentingan antara Dehut dan DKP.

Tahun 2003 Dephut dan DKP menyepakati kerjasama pengelolaan taman nasional laut yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah provinsi sebagai apresiasi atas UU No 22 Tahun 2002 dan revisinya UU No32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah provinsi mengelola 12 mil laut dari pantai. DKP kemudian mempromosikan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang berbasis pengelolaan pada pemerintah daerah.


(36)

Kesan dualisme pengelolaan kawasan konservasi antara Dephut yang sentralistik dan DKP yang desentralistik. Meskipun demikian desentalistik tersebut tetap juga berada pada tangan pemerintah daerah bukan pada tingkat masyarakat (Satria 2009b). Konflik pengelolaan bisa timbul disini dimana masyarakat dapat merasa terabaikan hak-hak kelolanya.

Penghormatan atas eksistensi masyarakat lokal sebenarnya dengan jelas diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang sudah diratifikasi Indonesia. Pasal 8 konvensi juga mensyaratkan setiap negara peserta konvensi dalam peraturan perundang-undangannya mengakui/menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat asli dan masyarakat setempat (DEPHUT 2005). Desentralisasi pengelolaan kawasan laut oleh masyarakat menjadi penting untuk menghindari konflik pemerintah dengan nelayan yang merasa termarjinalisasi dari wilayah perikanan tradisionalnya (Satria 2009b).

2.3 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah

Konservasi dan pembangunan bisa berjalan harmonis seperti dua sejoli. Jika dampak dari pembangunan menurunkan kwalitas lingkungan bukan berarti pembangunan adalah lawan dari upaya konservasi. Yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung peningkatan kwalitas lingkungan hidup (Soemarwoto 2008). Dalam kawasan perairan kepulauan Wakatobi secara konsepsional antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut sehingga kesepakatan revisi zoanasi dan revisi perencanaan jangka panjan TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi saling menunjang. Konservasi kawasan TNW salah satu tujuannya adalah menjamin daya dukung kawasan bagi perikanan masyarakat dan pembangunan daerah berkelanjutan (TNW 2008).

Hakikat dari pengelolaan sumberdaya adalah mengelola hubungan manusia dengan lingkungan dan sumber daya alam sebagai proses pengelolaan konflik (Mitchel et al 2007). Pengelolaan sumberdaya laut adalah mengelola hubungan


(37)

masyarakat (nelayan) dengan sumberdaya perikanan. Pengelolaan integral sumberdaya laut dengan perikanan tidak lepas dari kondisi wilayah pesisir yang rapuh terhadap berbagai tumpang tindih kepentingan berbagai pihak berpeluang menimbulkan konflik pengelolaan. Menyadari hal itu pengelolaan pesisir harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan aturan yang memilah penggunaan sumberdaya dan pengaturan akses dan berbagai hak masyarakat untuk menghindari konflik (Widodo dan Suadi 2006).

Sumberdaya laut seperti perikanan adalah input kegiatan ekonomi masyarakat dan daerah. Mekipun sumberdaya ini terkategori sumberdaya yang dapat terbaharukan yakni ketersediaannya dapat diregenerasi melalui proses reproduksi (proses biologi) tetapi jika maksimum kapasitasnya sudah melampauhi ambang kritis maka bisa berubah menjadi tidak terbaharukan (Fauzi 2006).

Sehubungan dengan batas kritis kemampuan sumberdaya tersebut dikembangkan pendekatan pembangunan berkelanjutan sebagaimana dijelaskan Mitchel et al (2007) sebagai pembangunan yang memasukkan pertimbangan lingkungan dalam hitungan nilai ekonomi. Secara pasti apa yang dimaksud pembagunan berkelanjutan memungkinkan berbeda pendekatan. Contoh dapat dilihat pada Provinsi Manitoba, Kanada, dimana secara spesifik mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Di Provinsi Bali, pembangunan berkelanjutan tidak hanya keberlanjutan sumberdaya alam, tetapi juga keberlanjutan budaya (dari nilai-nilai dan legenda ke upacara keagamaan dan struktur), serta tidak hanya keberlanjutan produksi tetapi juga keberlanjutan budaya itu sendiri (Michel et al 2007).

Dahuri et al (2004) menegaskan keunikan pengelolaa pesisir dan laut. Terdapat anekaragam, tingkat produktivitas dan jasa lingkungan serta kemudahan pada kawasan pesisir menyebabkan wilayah ini menjadi tempat berlangsungnya kegiatan pembangunan paling intensif. Selain memiliki potensi pembangunan, kawasan pesisir sangat rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan yang berlangsung dipesisir, laut lepas maupun darat, juga rentan bencana seperti tsunami


(38)

dan angin topan, terutama pada kawasan yang tidak memiliki sisitem perlindungan alamiah seperti mangrove, terumbu karang dan pasir pantai.

Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi paralel dengan tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir. Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta ancaman pencemaran semakin dan kemungkinan dampak pemanasan global berupa naiknnya permukaan laut menyebabkan pengelolaan secara sektoral tidak memadai menjawab tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (PWTL), karena sistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan (Dahuri et al 2004).

Ditingkat daerah, perencanaan terpadu dengan melibatkan stakeholdes pembangunan melalui mekanisme botton up dimulai dari tingkat desa melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Bappeda memiliki fungsi startagis dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mensinergikan perencanaan meskipun dalam tahap implementasi tetap merupakan kewenangan instansi secara sektoral (Dahuri et al 2004).

2.4 Kolaborasi Management

Dalam banyak kasus kita bisa melihat bahwa upaya pengelolaan dengan berbagai instrumen dan teknologi moderen memerlukan biaya yang mahal harganya dan sukar diterapkan karena keterbatasan kemampuan masyarakat dalam memahaminya. Adopsi kearifan tradisional untuk pengelolaan merupakan pilihan alternatif untuk mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru (Arafah dan Manan 2000).

Ruang akomodasi kearifan lokal hanya mungkin dilakukan dengan kolaborasi pengelolaan sumberdaya. Pendekatan kolaborasi membuka peluang partisipasi masyarakat mengingat peran masyarakat masih terbatas sentralisasi pengelolaan (DEPHUT 2005). Solihin et al (2005) menggaris bawahi partsisipasi masyarakat


(39)

sebagai unsur penting dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya laut karena paradigma sentralisik dimasa lalu terbukti gagal dan dengan era otonomi daerah saat ini dipandang sebagai peluang untuk mewujudkan pengelolaan yang partisipatif atau sebuah peluang untuk meredefinisi pembangunan perikanan dan kelautan. Rezim property rights harus mengalami banyak perubahan untuk mewujudkan communal property rights. Kewajiban pemerintah meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menggerakkan institusi lokal dalam sistem tradisional mereka. Desentralisasi membuka peluang partsipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan aktualisasi pengelolaan sumberdaya laut yang diyakini mengurangi resiko gagal pengelolaan karena proses dan tujuan telah dikuasai masyarakat sejak awal.

Hak-hak ulayat di laut (HUL) menurut Solihin et al (2005) menjadi kunci mengatasi pergeseran KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) antara pengusaha, penguasa dan politisi dari pusat ke daerah yang menjadi duri bagi pengelolaan sumberdaya selama ini, ketika mengusung desentralisasi. Penguatan HUL juga mencegah terjadinya konflik pengelolaan antara nelayan lokal dan nelayan luar, penggunaan alat tangkap tidak ramah seperti bom, bius. Sebagai contoh pemberlakuan sistem tradisional awig-awig yang direkonstruksi dari adat budaya lokal di Lombok Utara sebagai model pengelolaan sumber daya laut secara kolaboratif (Co-Management) terbukti mengurangi secara drastis ilegal fishing dan destruktif fishing serta meningkatkan partsisipasi masyarakat.

Menurut Widodo dan Suadi (2006) pengelolaan kolaboratif adalah pengelolaan yang menekankan pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam pendekatan pengelolaan kolaborasi yang tidak boleh berubah adalah kewenangan pengelolaan tetap ditangan pemerintah mengingat kawasan konservasi merupakan public domain (DEPHUT 2005).


(40)

BAB III

DESKRIPSI KAWASAN LOKASI PENELITIAN

3.1 Karakteristik Fisik 3.1.1 Letak dan Aksesibilitas

Kepulauan Wakatobi berada pada jazirah tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda. - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores.

- Sebelah Barat berbatasan dengan perairan Kabupaten Buton.

Gambar 2 : Lokasi Penelitian di Kompleks Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Sumber : TNC-WWF Joint Program Wakatobi


(41)

Wakatobi dapat dijangkau dengan kapal laut selama 9 jam, dengan pesawat terbang selama 30 menit dari Kendari ke Pulau Wangi-Wangi ibukota Kabupaten Wakatobi. Selain itu dari Kota Bau-Bau kapal pelayaran rakyat setiap hari berlayar menuju tiap pulau dengan waktu tempuh tercepat 9 jam dan terlama 16 jam atau dengan pesawat terbang selama 15 menit.

Dari timur, pintu masuk dari Kota Ambon dengan kapal PELNI selama 12 jam, dengan kapal pelayaran rakyat Wakatobi selama 24 jam. Dari utara melalui Ternate dengan kapal rakyat selama 30 jam, dari arah lewat Flores dengan kapal pelayaran rakyat selama 8 jam. Dari pulau Wangi-Wangi, pulau-pulau dalam kawasan dapat ditempuh setiap hari, waktu terdekat 30 menit yakni pulau Kapota, terjauh 10-12 jam untuk pulau Runduma (freqwensi tergantung cuaca dan muatan).

3.1.2 Topografi Pulau dan Laut

Pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit. Empat pulau utama, berpenghuni dan memiliki ukuran lebih besar memiliki variasi ketinggian :

- Pulau Wangi-Wangi, topografi lebih rendah di sebelah selatan dibanding bagian utara. Puncak tertinggi ± 225 m dpl.

- Pulau Kaledupa, topografi lebih rendah di bagian utara dibanding bagian selatan, memiliki puncak tertinggi ± 200 m dpl.

- Pulau Tomia, topografi rendah dibagian barat, dan lebih tinggi di pantai timur, memiliki puncak tertinggi ± 250 m dpl.

- Pulau Binongko, topografi lebih rendah dibagian timur, lebih tinggi pada bagian barat, memiliki puncak tertinggi ± 225 m dpl.

Topografi laut umumnya datar di lepas pantai, dan di luar karang tepi dan daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman 250 – 5000 meter, masuk perairan laut Banda (TNW 2008).


(42)

3.1.3 Kondisi Hidrogeologis

Sebagaimana karakter pulau-pulau atol, pulau-pulau di Wakatobi kekurangan sumber air tawar. Sumber air tawar berada didalam gua-gua atau celah batu dan sumur gali yang umumnya mengalami infiltrasi air laut pada saat pasang surut. Pulau-Wang-Wangi memiliki sumber air gua alam terbanyak. Sumber air lainnya adalah sungai Tindoi, sungai musiman di pulau Wangi-wangi. Pulau yang memiliki sumber air paling minim adalah Pulau Binongko, Runduma, Tomia dan Tolandona.

Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Empat pulau utama memiliki luas sebagai berikut :

-Pulau Wangi-wangi 156,5 km2 - Pulau Kaledupa 64,8 km2; - Pulau Tomia 52,4 km2, - Pulau Binongko 98,7 km2.

Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Dimulai dari kemunculan beberapa pulau, kemudian diikuti pertumbuhan karang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia (TNW 2008).

3.2 Gambaran Keanekaragaman Hayati 3.2.1 Jenis Spesies Dilindungi

Beberapa spesies terlindungi dapat ditemukan pada kawasan ini, antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), lumba-lumba (Delphi nusdelphis, Stenella longiotris, Tursiops truncatus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus) kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), ketan kenari (Birgus latro). Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dijumpai pada daerah karang yang kondisinya relatif baik. Kepiting kenari dijumpai pada lubang-lubang batu di Pulau Oroho (Kompona


(43)

One), Simpora, Kapota, Hoga, Lentea Tomia, Runduma, Wangi-Wangi, Tomia, Binongko. Kondisi tekstur tanah didominasi batu-batu cadas merupakan habitat dari hewan ini dan memiliki sumber makanan yakni kelapa. Kepiting kenari melimpah pada musim penghujan dan bulan gelap (TNW 2008).

3.2.2 Keanekaragaman dan Kesehatan Terumbu Karang

Laporan Rapid Ecological Assesment (REA) 2003, ditemukan 396 spesies karang scleractinia hermatipic, terbagi dalam 68 genus dan 15 famili, dimana rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies. Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipic dan 28 genera karang lunak juga berhasil dicatat. Tingkat keragaman ini termasuk relatif tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat yang disurvei yang cenderung rendah keragamannya dan ini merupakan sebuah indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang (TNW 2008).

3.2.3 Keanekaragaman Ikan

Berdasarkan penelitian The Nature Conservancy (TNC), sebanyak 590 spesies ikan dari 52 famili ditemukan di perairan TNW. Famili-famili paling beragam spesiesnya antara lain jenis-jenis wrase (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan yang tercatat REA 2003.

Hampir lebih dari 80% lokasi yang disurvei selama REA berada pada peringkat yang menunjukkan satu tingkat keragaman yang tinggi dari seluruh lokasi yang disurvei dan menempatkan wilayah ini pada posisi dua tertinggi dari 33 daerah yang telah lebih dulu disurvei untuk informasi yang sama (TNW 2008).


(44)

3.2.4 Keanekaragaman Karang-karang Fungi dan Genus Scleractinia

REA 2003 mencatat sebanyak 31 spesies karang fungi (mushroom) dari 29 sampai 31 lokasi sampel. Walaupun Wakatobi adalah pusat dari keanekaragaman hayati, wilayah ini tidak cukup kaya akan karang fungi. Satu faktor pembatas keragaman karang fungi di Wakatobi adalah keragaman habitat yang relatif rendah; dibandingkan dengan daerah lain seperti Kepulauan Spermonde di Sulawesi Barat Daya, setidaknya dua tipe habitat yang berbeda yang secara umum kumpulan karang fungi berkumpul (terumbu berpasir di kedalaman dan terumbu yang dipengaruhi aliran air tawar dari sungai) tidak terlalu banyak. Spesies fungi yang ditemui di Wakatobi mencakup sebagian besar yang biasanya ditemukan di lokasi lepas pantai di area dengan suatu landas kontinen seperti Spermonde. Sebagai perbandingan kumpulan fungi ini mirip dengan yang ada di Sulawesi Utara dan Kepulauan Togian dimana keduanya jarang terdapat habitat terumbu berpasir di kedalaman.

Terkait dengan jenis karang scleractinia, secara umum walaupun agak beragam, tidak menunjukkan adanya sesuatu yang unik – bisa jadi karena rendahnya tingkat keragaman habitat yang ada. Meskipun begitu REA 2003 mencatat beberapa temuan yang cukup menarik, yaitu adanya suatu kumpulan karang di area hamparan padang lamun (seperti Catalaphyllia Jardineri, Fungia (Cycloseris) sinensis dan F. (C.) cyclolites- dimana pada umumnya ada di kedalaman). Ada juga, suatu perubahan warna yang tidak biasa pada Hydrocoral Distichopora Violacea (dimana cabang yang diamati mempunyai suatu pita putih di bawah ujung berwarna) ditemukan dan mungkin merupakan suatu subspesies endemik Sulawesi Tenggara (TNW 2008).

3.2.5 Foraminifera

Selama REA, 31 spesies dari foraminifera berhasil dikoleksi dimana 9 diantaranya belum dapat diidentifikasi atau memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan jenis taksonomi yang tepat. Ini merupakan jumlah yang tinggi dibandingkan dengan keragaman di lain tempat di Indo-West Pacific yang pernah diamati (seperti Cebu, Kepulauan Spermonde di Sulawesi, dan Bali). Secara umum


(45)

tiga kelompok foraminifera dapat diidentifikasi : hamparan terumbu (reef flat), dan bagian dalam laguna dan terumbu miring. Hamparan terumbu yang meluas di daerah ini, sebagian besar ditutupi padang lamun, merupakan habitat penting bagi foraminifera, seperti halnya di bagian dalam laguna atol – keduanya merupakan rumah bagi sejumlah spesies foraminifera yang unik. Keragaman yang tinggi, pembagian habitat yang tinggi dan densitas yang tinggi (dikombinasi dengan densitas yang rendah dari foraminifera yang non simbiose) menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan terumbu di wilayah ini sangat baik (TNW 2008).

3.2.6 Stomatopoda

Terdapat 34 spesies dari 8 famili dan 16 genus yang telah diobservasi REA 2003. Dua spesies yang terkumpul belum dapat diidentifikasi, dari genus Gonodactylopsis dan genus Chrosquilla yang ditemukan pada kedalaman 20 meter pada dinding vertikal. Seperti yang diharapkan, spesies-spesies yang ditemukan di Wakatobi mencerminkan spesies-spesies yang dominan di perairan jernih tipikal dari terumbu yang menghadap ke laut dalam atau laut lepas.

Koleksi yang ada menambah jumlah spesies stomatopoda terumbu yang sudah diketahui, menempatkan Wakatobi sejajar dengan Kepulauan Raja Ampat yang memiliki jumlah tertinggi untuk spesies stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu. Jelas bahwa TNW merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu yang memperkuat arti penting kawasan konservasi ini bagi pelestarian keanekaragaman hayati (TNW 2008).

3.2.7 Ikan Target Komersial

Ditemukan sejumlah 647 ekor Serranidae dan 29 ekor Napoleon Wrasse Chelinus undulatus. Dari kerapu yang dicatat, hanya 100 ekor (kurang dari 1/6) merupakan spesies yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan ikan karang hidup (umumnya spesies Epinephelus dan Plectropomus). Bahkan bila kita secara konservatif menduga hanya 50% dari species target yang ada yang tercatat, total


(46)

sejumlah 260 target spesies dalam waktu observasi selama 20 jam menunjukkan bahwa densitas yang relatif rendah dan ini menunjukkan telah terjadi tekanan dari usaha perikanan yang tinggi pada spesies ini (TNW 2008).

3.2.8 Tumbuhan Lamun

Terdapat 9 jenis lamun ditemukan di perairan Wakatobi dari 12 jenis yang ada di Indonesia. Penelitian CRITC COREMAP-LIPI (2001) menyatakan bahwa secara umum padang lamun di perairan Wakatobi didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m2 (TNW 2008).

3.2.9 Cetaceans

Dari monitoring bersama BTNW dan joint program TNC-WWF sampai tahun 2006 tercatat 11 jenis cetacean ditemukan antara lain paus sperma (sperm whale), paus pemandu (pilot whale), paus bongkok (humpback whale), paus biru (blue whale), lumba-lumba hidung panjang (spinner dolphin) dan lumba-lumba hidung botol (bottle-nosed dolphin) (TNW 2008).

3.2.10 Penyu

Dua jenis penyu yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) ditemukan di perairan Wakatobi. Monitoring BTNW dan TNC-WWF menemukan 5 lokasi dominan tempat peneluran penyu, yaitu Pulau Runduma, Anano, Kentiole, Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo) dan Moromaho (TNW 2008).

3.2.11 Mangrove

Beberapa jenis mangrove yang ditemukan di TNW tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia


(47)

officinalis. Monitoring BTNW dan joint program TNC-WWF tahun 2006 menjelaskan kondisi mangrove sedang sampai baik. Pulau dengan mangrove terluas adalah Pulau Kaledupa, meliputi hampir seluruh garis keliling pulau. Tekanan manusia cukup tinggi atas mangrove di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia. Sedangkan untuk Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena status mangrove di Binongko kebanyakan adalah hutan adat (TNW 2008).

3.3 Gambaran Masyarakat 3.3.1 Demografi dan Populasi

Jumlah penduduk kabupaten Wakatobi 100 ribu jiwa (BAPPEDA Wakatobi 2008). Penduduk asli kepulauan ini adalah suku Buton (Hidayat 1997), meliputi sekitar 90 ribu populasi. Selain penduduk asli, tinggal dalam kawasan ini pendatang dari suku-suku lain di Nusantara seperti suku Bajo, Bugis, Selayar, Muna dan Jawa.

3.3.2 Ekonomi dan Pangan

Dewasa ini kegiatan perikanan dan budidaya rumput laut merupakan sumber utama ekonomi. Pada masa lalu mata pencaharian tersebut tidak menjadi sumber ekonomi, memungut hasil laut di perairan pesisir malah lebih banyak dikerjakan perempuan untuk pemenuhan konsumsi rumah tangga. Para perempuan ini mengelola kebun jagung dan singkong di daratan serta mencari kerang, kepiting, ikan pada daerah pesisir setelah suami mereka merantau dan berlayar mencari sumber ekonomi di daerah lain.

Kombinasi pekerjaan sebagai petani, nelayan, kerajinan anyaman pandan, merantau dan pedagang antara pulau merupakan kegiatan mayoritas masyarakat. Kegiatan pertanian umumnya budidaya tanaman pangan yakni ubikayu (singkong), kacang merah dan jagung. Masa panen tanaman ubi kayu 1 – 3 tahun, ditanam pada tanah yang berada di sela-sela batu cadas. Dalam kegiatan perikanan, alat tangkap yang digunakan umumnya jaring, bubu, sero, pancing, jala, tombak, pengait.


(48)

Suku Buton adalah pelaut, mereka mengangkut dagangan dengan perahu ke wilayah-wilayah Nusantara bagian timur. Kebiasaan merantau atau berpindah ke daerah lain seperti Maluku, Irian dan Kalimantan bermotif ekonomi karena peluang ekonomi di kampung kurang. Migrasi musiman ke Maluku dilakukan untuk panen cengkeh (Schoorl 2003).

Perdagangan antar pulau dilakukan dengan kapal-kapal rakyat yang dimiliki secara individu atau kelompok keluarga. Armada-armada dagang tersebut mengangkut hasil bumi baik flora dan fauna dari kawasan timur Indonesia untuk diperdagangkan ke Singapura, Malaysia, Makassar dan Jawa. Dan sebaliknya mengangkut barang-barang pabrik untuk didistribusikan di Wakatobi dan pulau-pulau kawasan timur Indonesia. Pada rantai perdagangan ini selama dekade 1980 – 2000 menjadi mata rantai suplai bahan baku bom ikan dari Singapore atau Malaysia ke Wakatobi. Dari Wakatobi bahan baku bom tersebut diperdagangkan ke pulau-pulau di bagian timur, selatan dan tenggara Sulawesi serta Maluku, Papua, Nusa Tenggara. Dengan kondisi lahan pulau-pulau kecil yang didominasi bebatuan, sumber pangan tidak sepenuhnya tercukupkan dari hasil bumi dalam kawasan tetapi dari kegiatan pertanian masyarakat Wakatobi yang dilakukan di pulau-pulau terdekat seperti pulau Buton, Buru, Seram, Taliabo, Halmahera dan pulau-pulau kecil lainnya di Maluku dan Maluku Utara. Suku Bajo dengan populasi bisa mencapai 8000 dan pendatang musiman dari Sulawesi Selatan, Kendari, Flores, Madura, Bali mendominiasi 60 % penggunaan sumberdaya laut (TNC/WWF Joint Program Wakatobi 2008). Sekitar 50 orang Bajo merupakan penambang batu karang yang aktif atau rutin sebagai mata pencaharian dan sekitar 170 jiwa tidak masif.

3.3.3 Sosial Budaya

Suku Buton atau orang Buton (disebut juga Butung) adalah suku bangsa perantau (Hidayat 1997) merupakan salah satu suku lokal Sulawesi Tenggara disamping suku Moronene, Tolaki, Mekongga, dan Muna. Orang Buton sendiri


(49)

menyebar pada beberapa tempat yakni, pulau Buton, pulau Muna, dan kepulauan Wakatobi, terdiri dari ratusan sub antropologis (Hidayat 1997). Suku Buton yang menghuni Wakatobi sering disebut Orang Pulo, artinya orang Buton dari kepulauan. Bahasa yang digunakan disebut bahasa Liwuto Pasi (Abubakar 2000). Liwuto artinya kampung sedangkan pasi artinya karang.

Kelompok bahasa yang digunakan penduduk Wakatobi terdiri dari beberapa dialek. Di Wangi-Wangi terdapat dialek Liya, Mandati, Wanci, dan Kapota. Di Pulau Kaledupa terdiri dari dialek Langge, Buranga dan Peropa. Di pulau Tomia terdiri dari dialek Timu, Tongano dan Waha. Sedangkan di pulau Binongko terdapat dialek Kaumbeda dan bahasa Cia-Cia. Kelompok bahasa Cia-cia sebenarnya merupakan bahasa yang dipergunakan penduduk di wilayah selatan dan timur pulau Buton. Antara dialek dalam kelompok bahasa Pulo terdapat perbedaan beberapa suku kata.

Sebagaimana wilayah kesultanan Buton lainnya, masyarakat Wakatobi mengenal sistem pelapisan sosial masyarakat yang terdiri dari bangsawan kaomu dan walaka serta golongan papara atau masyarakat biasa. Golongan bangsawan kaomu dicirikan dengan pemakaian awalan La Ode (untuk laki-laki) dan Wa Ode (untuk perempuan) didepan nama. Golongan bangsawan walaka dan paparara dicirikan dengan pemakaian nama depan La (untuk laki-laki) dan Wa (untuk perempuan). Dimasa itu golongan kaomu adalah golongan masyarakat yang dapat menduduki peran-peran pemerintahan seperti jabatan Sultan, Sapati dan pangkat pemimpin kadie yakni Lakina atau Bobato. Jabatan untuk bangsawan walaka diantaranya Bonto Ogena (dikenal sebagai Sultan masyarakat biasa), Siolimbona yang berperan mengangkat, memberhentikan sultan.

Dalam kadie golongan walaka juga menjadi Bonto (pemimpin kadie, ada juga bonto yang hanya mengepalai urusan tertentu) termasuk pangalasa yang bertugas memilih sara. Kaum papara adalah golongan profesional seperti ahli bangunan, pengrajin, nelayan dan petani yang diberi hak menguasai sumberdaya alam, hak yang tidak diberikan oleh sistem adat kepada kaomu dan walaka. Secara keseluruhan


(50)

penduduk asli Wakatobi menganut agama Islam (Undang-Undang Murtabat Tujuh Kesultanan Buton 1578-1615, Saidi 2000).

Kelompok masyarakat adat subjek penelitian ini adalah kelompok adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota terletak pada kompleks pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pulau-pulau dalam kompleks ini terdiri dari Pulau Wangi-Wangi dimana pada bagian utara pulau dihuni kelompok adat Wanci, sekarang meliputi 19 desa total populasi 23.500 jiwa. Bagian tengah yang membentang dari pantai timur sampai barat dihuni kelompok adat Mandati, saat ini terbagi dalam 7 desa dengan populasi 9.200 jiwa. Bagian selatan dihuni kelompok adat Liya, terdiri dari 4 desa dengan populasi 4.315 jiwa. Pulau Kapota pada bagian utara dihuni kelompok adat Kapota meliputi 4 desa dengan populasi 4.409 jiwa. Sedangkan bagian selatan Pulau kapota dihuni orang Liya meliputi 1 desa dengan populasi sekitar 400 jiwa.

Pulau Kapota berada sekitar 2,5 mil laut di sebelah barat pulau Wangi-Wangi dibatasi ou (laguna) Mandati, bungi (karang diantara laguna dan laut dalam) Mandati dan olo (laut dalam) Kapota. Secara administraktif kelompok adat Liya, Mandati dan Kapota berada dalam Kecamatan Wangi-Wangi Selatan sedangkan kelompok adat Wanci merupakan wilayah administrasi Kecamatan Wangi-Wangi.

3.4 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.4.1 Masa Kerajaan Buton.

Pengelolaan wilayah pada masa kesultanan dikenal dengan istilah barata dan kadie. Barata adalah kerajaan bagian atau district besar sedangkan kadie adalah kampung atau distrik kecil (Hidayat 1997) yang dibawahi langsung pemerintahan pusat kerajaan yaitu Wolio. Terdapat 72 kadie dan 4 barata. Dalam wilayah Barata terdapat juga kadie yang disebut limbo (kampung) bertanggung jawab pada Lakina (pemimpin) Barata. Di kepulauan Wakatobi terdapat Barata Kaedupa berkedudukan di Pulau Kaledupa, memiliki wilayah otonom Pulau Kaledupa, Hoga, Lente’a dan Darawa meliputi daratan pulau dan laut. Sara kadie dan sara barata diberikan


(51)

kewenangan oleh pemerintah kerajaan untuk mengatur pengelolaan wilayahnya masing-masing yang tidak bertentangan dengan sara kesultanan (Sara Wolio). Untuk menjaga keseimbangan pemerintah pusat kerajaan dan kadie, sara kesultanan menempatkan bobato dan bonto sebagai pemimpin dalam kadie sekaligus anggota Sara Wolio. Fungsinya adalah mengepalai pemerintahan kadie dan perwakilan sara kesultanan.

Beberapa kadie memiliki bonto kadie yang mengepalai urusan tertentu. Pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan kadie adalah kewenangan sara kadie (Saidi 2000). Setelah campur tangan Belanda atas Kesultanan Buton terjadi (1906) pembagian wilayah berubah menjadi pemerintah pusat (Sara Wolio), sara barata, district dan sara kadie. District membawahi beberapa kadie (Schoorl 2003).

3.4.2 Masa Kabupaten Buton.

Secara defacto kesultanan Buton bubar diawal tahun 1960, sebagian besar bekas kadie menjadi desa, gabungan beberapa kadie dan bekas barata menjadi kecamatan dari Kabupaten Buton. Di kepulauan Wakatobi terbagi menjadi dua kecamatan yakni kecamatan Wandupa (gabungan distrik Wangi-Wangi dan distrik Kaledupa), kecamatan Tombino (distrik Tomia dan distrik Binongko). Asal muasal penggunaan nama Wakatobi berawal dari penggabungan dua nama kesebelasan yakni kesebelasan Wandupa dan kesebelasan Tombino menjadi kesebelasan Wakatobi untuk mewakili kepulauan tersebut dalam kejuaraan sepak bola tingkat kabupaten sekitar tahun 1964 (La Ode Duhudi, anggota masyarakat, komunikasi pribadi Mei 2009). Jadi nama Wakatobi bukan entitas suatu kelompok masyarakat. Sebelumnya kepulauan yang berada di jazirah tenggara Propinsi Sulawesi Tenggara tersebut dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi.

Tidak ada yang menduga jika dibelakang hari nama yang sebenarnya hanya dibuat untuk menyingkat penyebutan saja justru lebih populer. Akronim pulau-pulau kecil tersebut mendunia sebagai merek dagang perusahaan pariwisata Wakatobi Divers Resort dan pemerintah memperkenalkannya sebagai kawasan konservasi


(52)

taman nasional laut di tahun 1996. Pada tahun 2003 kepulauan tersebut menjadi daerah pemekaran Kabupaten Buton dengan menggunakan nama yang sama yakni Kabupaten Wakatobi.

3.4.3 Kepulauan Wakatobi Menjadi Taman Nasional dan Kabupaten

Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1996 ditunjuk pemerintah sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan penetapannya melalui Keputusan Meneteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 seluas 1,39 juta hektar meliputi wilayah laut dan darat. Keseluruhan luas wilayah laut meliputi 97 % dan total luas dari 39 buah pulau kecil adalah 3 % wilayah Wakatobi. Peraturan menteri kehutanan No. P.29 tahun 2006 menetapkan perubahan nama TNKW menjadi TNW (Taman Nasional Wakatobi) dikelola dengan sistem zonasi (TNW 2008).

Selanjutnya melalui Undang-Undang No. 29 bulan Desember tahun 2003 wilayah kepulauan tersebut menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi 2008). Untuk mendukung pembangunan daerah kabupaten dan upaya pelestarian sekaligus, pada tahun 2007 dilakukan revisi zonasi taman nasional. Proses revisi dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 melalui kajian dan rangkaian konsultasi publik dari desa, kecamatan/pulau dan kabupaten yang diikuti perwakilan nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kecamatan, Pemda Wakatobi, BTNW TNI, dan Polri.

Zonasi lama sebelumnya dibuat tanpa berdasarkan informasi biofisik kawasan dan keadaan sosial masyarakat. Misalnya dalam zonasi lama wilayah larang tangkap (zona inti) berada pada wilayah kelola masyarakat dan perairan laut dalam dimana tempat tersebut sama sekali tidak terdapat sumberdaya penting seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun, untuk dilindungi. Hasil revisi memberikan zonasi yang berbeda, 62 % luas kawasan meliputi semua wilayah kelola tradisional pada perairan pesisir dan hampir sebagian besar daerah karang atol menjadi zona


(53)

pemanfaatan lokal (ZPL) yang hanya dapat diakses masyarakat lokal, sedangkan zona inti (ZI) berada pada perairan pulau Moromaho yang jauh dari aktivitas masyarakat. Selain itu terdapat zona perikanan umum atau zona pemanfaatan umum (ZPU), zona pariwisata (ZPr) dan untuk menunjang perikanan berkelanjutan terdapat zona perlindungan bahari (ZPB).


(54)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai kajian strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat adat ini dilakukan pada kelompok masyarakat adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Kegiatan penelitian berlangsung selama 10 bulan dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Agustus 2009, dan terbagi atas 3 tahap yakni :

- Tahap 1 : persiapan berlangsung selama 2 bulan. - Tahap 2 : pelaksanaan selama 5 bulan.

- Tahap 3 : konsultasi dan ferivikasi selama 3 bulan.

4.2 Alat dan Bahan

- Alat transportasi : motor, pompong, spedboad. - Alat dokumentasi : kamera, handycam, atk. - Alat komunikasi : handy talky, hand phone.

4.3 Tahapan Penelitian

Tahap persiapan terdiri dari aktivitas :

- Merencanakan penelitian yakni kegiatan yang dimaksudkan untuk menentukan arah, fokus, tujuan penelitian (Afifuddin dan Saebani B 2009). Tahapan ini meliputi aktivitas mulai dari memilih topik, merancang sistematika penelitian. Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan literatur berupa buku, jurnal, internet, dokumen penelitian, dan bahan-bahan bacaan yang memperkaya informasi seperti koran, majalah sebagai informasi sekunder. Tahapan ini berlangsung selama 2 bulan dengan output berupa dokument research plan. Pengumpulan literatur masih berlangsung selama penelitian berjalan sampai penulisan laporan hasil penelitian.


(1)

27

Karang Koko

Perlindungan

Bahari ZPB Karang Koko

7,741.63 1,962.58 4,206.39

6,168.97 - 100.00

28 Cowo-Cowo

Perlindungan

Bahari ZPB Cowo Cowo

632.20

258.42 - - 19.42 100.00

29 Kentiole

Perlindungan

Bahari ZPB Kentiole

890.29

375.75 - - 17.57 100.00

30 Karang Runduma

Perlindungan Bahari ZPB Karang Runduma 242.52

39.92 - - - 100.00

31 Runduma

Perlindungan

Bahari ZPB Ujung Runduma

85.47

830.21 - - 553.51 10.29

32 Anano

Perlindungan

Bahari ZPB Anano

679.30

830.21 - - 45.53 81.82

33 Moromaho

Perlindungan

Bahari ZPB Moromaho

15,257.60

599.44 - - 347.89 100.00

34 Moromaho Inti ZI Moromaho

1,490.92


(2)

103

Lampiran 2 : Struktur Organisasi TNW


(3)

Lampiran 3 : Struktur Organisasi Dinas Kelautan Perikanan Wakatobi


(4)

105

Lampiran 4 : Foto-foto Proses Penelitian

Menggambar peta wilayah adat

kadie

dalam zonasi TNW

Alat tangkap

ompo

(nampak dari atas) di pesisir Kampung One Longe


(5)

FGD di desa Kolo Liya


(6)

107

Foto yang menunjukkan batas wilayah adat di pesisir kampung