Diferensiasi di dalam sebuah pemerintahan
b. Diferensiasi di dalam sebuah pemerintahan
212 | W.F. Wertheim
Kita sampailah kini pada faktor kedua: ‘negara’ itu bukan sebuah konsep uniter. Dalam setiap negara terdapat sejumlah variasi dan gradasi, ditentukan oleh faktor-faktor geografik maupun watak aparat pemerintahan. Tidak setiap cabang pemerintahan mempunyai sasaran yang sama seperti para legislator di pusat. Dalam sebuah kediktatoran militer, seperti Indonesia di bawah Suharto, baik pejabat kehakiman/ judisiari maupun regional dan lokal, terutama mengikuti garis kekuasaan militer di Jakarta.
Di India, sebagai perbandingan, negara-negara bagian mempunyai legilasi regionalnya sendiri-sendiri, yang menjadi suplemennya yang di pusat. Menurut kedudukan-kedudukan kekuasaan relatif dari partai- partai pilitik di tingkat regional, ideologi yang berkuasa pada tingkat ini mungkin saja berbeda dari yang ada di pusat. Di negara-negara (bagian) tertentu, suasana yang berdominasi lebih menguntungkan bagi pendukungan emansipasi daripada yang ada di ibukota, New Delhi. Kerala dan Bengal untuk suatu jangka waktu yang lama telah mengalami dampak kuat dari partai-partai yang berorientasi Marxis. Tesis doktoral Hans Schenk tahun 1986, Views on Alleppey melukiskan efek perundang- undangan perburuhan yang secara relatif maju di India sejak Kemerdekaan, ketika Kerala mendapatkan dukungan efektif organisasi- organisasi buruh dalam menjamin pelaksanaannya. Tetapi jalan-jalan yang ditempuh berbeda dari negara yang satu dari negara lainnya:
... serikat-serikat buruh telah aktif dalam pelaksanaan perundang-undangan, dengan derajat- derajat keberhasilan yang berbeda-beda. Di Travancpore-Cochin dan di Kerala pelaksanaan ini diberlakukan secara intensif, jika dibandingkan dengan kebanyakan negara bagian India lainnya. Hal ini berlaku pula bagi Allepsey, jika dibandingkan dengan kebanyakan kota-kota lainnya di Travancore (-Cochin) dan di Kerala (Schenk 1986:119).
Dalam jangka panjangnya, keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh gerakan emansipasi dapat membawa pada hilangnya hak-hak yang diperoleh, dan bahkan dapat membawa pada kemerosotan ekonomi. Tingkat upah yang meningkat di Alleppey, berpadu dengan turunnya permintaan dari luar negeri, mengakibatkan penutupan sejumlah pabrik goni.
Dunia Ketiga Dari - Dan Ke Mana? | 213
Yang tetap bertahan –dan kebanyakan pengusaha itu mesti bertahan– harus berakomodasi dengan kondisi-kondisi yang berubah dan ini mereka lakukan dengan persyaratan-persyaratan yang sebaik mungkin […] Serikat-serikat buruh hingga derajat tertentu dapat mengontrol ekonomi lokal, sejak tahun-tahun 1960-an, tetapi kian mereka mencapai tahapan ini, kian berkurang yang mesti dikontrol itu. Lowongan-lowongan pekerjaan menghilang ketika mereka makin dihargai, tambahan-tambahan pendapatan di samping upah dsb. kian menguap bagaikan fata-morgana. ‘Penghormatan’ diperoleh, atau dipaksakan berlakunya, tetapi peluang-peluang untuk hidup secara terhormat kian langka (Schenk 1986: 104).
Kesimpulan akhir Schenk berbunyi sebagai berikut: “Kemiskinan meliputi seluruh Alleppey.” Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kemiskinan di Alleppey dan di Kerala penuh dengan kontras dan anomali. Pendapatan yang luar- biasa rendahnya bergandengan dengan kesadaran politik yang tinggi; produktivitas rendah bergandengan dengan infra-struktur medikal dan pendidikan yang secara relatif sangat berkembang. Kemiskinan disembunyikan dibalik sebuah layar ‘kehormatan,’ di balik kejayaan karena dihormati setelah suatu perjuangan emansipasi yang panjang di antara kasta-kasta rendah yang merupakan mayoritas penduduk Alleppey (Schenk 1986: 131/2).
Dalam kasus yang lebih umum, pembesar-pembesar regional dan lokal kurang simpatik daripada pemerintah pusat terhadap emansipasi lapisan- lapisan penduduk paling miskin. Demikianlah halnya di Indonesia dalam periode –1957-1965– Demokasi Terpimpin (Lev 1966; Nasution 1992), ketika kian meningkatnya pengaruh Presiden Sukarno atas kebijakan pemerintahan membawakan dukungan dari pusat bagi emansipasi lapisan-lapisan penduduk yang lebih miskin, yaitu yang disebut kaum marhaen (Worsley 1967: 128-130), pada suatu tingkat lebih tinggi ketimbang kabinet-kabinet pada awal tahun-tahun 1950-an. Persis seperti di India, legislasi radikal, yang diperkenalkan di tahun 1957 untuk mengubah undang-undang tuan-tanah dan pesewa, gagal mencapai sasaran, hanya karena kedua lembaga pemerintahan dan peradilan memberikan pada tuan-tuan tanah kaya kesempatan untuk menghindarinya.
Maka, dalam kesimpulannya, di negeri-negeri Dunia Ketiga, kenyataan bahwa baik para pejabat maupun para hakim umumnya tergolong pada suatu klas atau kasta sosial yang khusus, terbukti menjadi halangan terkuat di jalan pemberlakuan legislasi yang dimaksudkan untuk
214 | W.F. Wertheim
memajukan emansipasi klas-klas yang lebih miskin. Karena alasan- alasan ideologi, ekonomi dan sosial, para pejabat dan hakim seperti itu nyatanya berada di pihak kaum tani kaya, dan tidak di pihak mereka yang dimaksudkan agar diuntungkan oleh legislasi itu. Menurut analisis perbandingan Joel Migdal atas sejumlah nasion Dunia Ketiga, ‘kelemahan’ mereka adalah disebabkan oleh penghormatan eksesif para birokrat pada ‘orang-orang kuat’ yang tergolong pada kelompok- kelompok sosial seperti kaum tani kaya atau sedang. Ini menjelaskan judul bukunya: Masyarakat-masyarakat Kuat dan Negara-negara Lemah (Migdal 1988).