Faktor yang Mempengaruhi Konversi Tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun

4.2 Faktor yang Mempengaruhi Konversi Tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan perangkat komputer. Untuk memperoleh tingkat keabsahan penafsiran yang tinggi dalam model regresi yang digunakan, sebelum melakukan uji statistik terhadap hasil olahan regresi terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik sebagai dasar analisis regresi. Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar estimator-estimator yang diperoleh dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memenuhi syarat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah multicollinearity (uji apakah ditemukan korelasi antar variabel independent), Heterokedasitas (apakah ditemukan ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain), Normalitas (apakah variabel dependen, Analisis data dalam penelitian ini menggunakan perangkat komputer. Untuk memperoleh tingkat keabsahan penafsiran yang tinggi dalam model regresi yang digunakan, sebelum melakukan uji statistik terhadap hasil olahan regresi terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik sebagai dasar analisis regresi. Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar estimator-estimator yang diperoleh dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memenuhi syarat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah multicollinearity (uji apakah ditemukan korelasi antar variabel independent), Heterokedasitas (apakah ditemukan ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain), Normalitas (apakah variabel dependen,

pada periode t dengan kesalahan pada periode t- 1 (sebelumnya), hal ini dilakukan karena data yang digunakan berupa data time-series (Gujarati, 1997). Berdasarkan hasil uji asumsi klasik ada ditemui multikolinieritas dimana diperoleh nilai VIF dari ke 3 (tiga) variabel independent bernilai diatas 1, artinya ada multikolinieritas atau korelasi antar variabel independent (Lampiran 1). Jika multikolinieritas tetap terjadi di masa yang akan datang maka masalah ini bukanlah masalah serius (Gujarati, 1997). Sedangkan uji asumsi klasik lainnya seperti uji heterokedasitas, normalitas dan autokorelasi dalam kasus ini tidak dijumpai pelanggaran asumsi klasik.

Untuk mengetahui faktor –faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel

4.1. berikut :

Tabel 4.1. Hasil Analisis Regresi Faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun, Tahun 2000 – 2005

Variabel Independent

Koefisien Regresi

t-hitung

Konstanta 1.748 2.447 Harga Teh

-3.222 Harga TBS

10.685 Jumlah Tenaga kerja

-2.971 Koefisien determinasi (R 2 ) 0.639

F.Hitung 40.158 Durbin Watson

LogL t = 1.748 – 0.613 LogHTeh t + 1.044LogHTBS t – 0.414LogJTk t t- hitung = (2.447)*** (-3.222) *** (10.685) *** (-2.971) ***

Keterangan : * = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 % ** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % *** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %

Berdasarkan Tabel 4.1. diatas koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,639 menunjukkan bahwa 63,9% alih fungsi lahan dapat dijelaskan oleh variasi variabel

harga teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja. Sedangkan sisanya 36,1 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model ini.

Untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen digunakan uji F. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai F-hitung sebesar 40,158 lebih besar dari nilai F-tabel pada tingkat kesalahan α 1 %. Hal ini berarti variabel independen yaitu harga teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen yaitu alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit.

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen dilakukan secara partial terhadap variabel dependen digunakan uji- t sebagai berikut:

1. Variabel harga teh berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini ditandai dengan nilai t-hitung > t-tabel pada α 1%, berarti penurunan harga teh menyebabkan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi kelapa sawit meningkat. Koefisien regresi harga teh adalah sebesar -0,613 berarti 1. Variabel harga teh berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini ditandai dengan nilai t-hitung > t-tabel pada α 1%, berarti penurunan harga teh menyebabkan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi kelapa sawit meningkat. Koefisien regresi harga teh adalah sebesar -0,613 berarti

2. Variabel harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini ditandai dengan nilai t-hitung > t-tabel pada α 1%, berarti kenaikan harga TBS menyebabkan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi kelapa sawit meningkat. Koefisien regresi harga TBS adalah sebesar 1,047 berarti bahwa setiap kenaikan harga TBS sebesar 1%, maka menyebabkan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit mengalami kenaikan sebesar 1,044%, ceteris paribus.

Perubahan harga teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja akan lebih cepat meningkatkan perubahan alih fungsi lahan. Hal ini berarti perubahan alih fungsi lahan secara langsung merespon perubahan ketiga variabel tersebut.

Sesuai wawancara dengan Human Resources PTPN IV bahwa perusahan melakukan konversi tanaman teh yang tidak produktif lagi ketanaman sawit untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Tanaman teh yang tidak produktif dan jumlah tenaga kerja yang berlebih menimbulkan beban bagi perusahaan karena pendapatan dari penjualan teh itu tidak sebanding dengan biaya produksi termasuk upah tenaga Sesuai wawancara dengan Human Resources PTPN IV bahwa perusahan melakukan konversi tanaman teh yang tidak produktif lagi ketanaman sawit untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Tanaman teh yang tidak produktif dan jumlah tenaga kerja yang berlebih menimbulkan beban bagi perusahaan karena pendapatan dari penjualan teh itu tidak sebanding dengan biaya produksi termasuk upah tenaga

3. Variabel jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini ditandai dengan nilai t-hitung > t-tabel pada α 1%, berarti penurunan jumlah tenaga kerja menyebabkan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi kelapa sawit meningkat. Koefisien regresi jumlah tenaga kerja adalah sebesar -0,414 berarti bahwa setiap kenaikan alih fungsi lahan (konversi) tanaman perkebunan teh menjadi perkebunan kelapa sawit sebesar 1%, maka menyebabkan jumlah tenaga kerja mengalami penurunan sebesar 0,414%, ceteris paribus.

Era perdagangan bebas dan tajamnya persaingan antar negara menuntut sub sektor industri teh untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan efisiensi meliputi produktivitas tenaga kerja dan biaya produksi. Besarnya biaya upah karyawan petik teh mencapai 60% dari total biaya produksi teh di tingkat kebun. Industri perkebunan teh merupakan industri yang sangat rentan terhadap perubahan dinamis lingkungan (Santoso, 1997).

Setiawati et al. (1991) pemetikan pucuk teh merupakan kegiatan yang memerlukan banyak tenaga pemetik dengan kebutuhan sebanyak rata-rata 1,5-2 orang per hektar. Dari seluruh tenaga yang dibutuhkan oleh perkebunan teh diperkirakan 75% dari jumlah tersebut adalah karyawan pemetik.

Sejalan dengan Santoso (1997) era perdagangan bebas dan tajamnya persaingan antar negara menuntut sub sektor industri teh untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja karena besarnya biaya upah karyawan petik mencapai 60% dari total biaya produksi teh di tingkat kebun. Industri perkebunan teh merupakan industri yang sangat rentan terhadap perubahan dinamis lingkungan.

4.3 Identifikasi Konversi lahan Tanaman Teh Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Produktivitas Teh Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi di PTPN IV Kabupaten Simalungun

4.3.1. Luas Areal Perkebunan Teh Alih Fungsi

Perkembangan luas areal perkebunan teh PTPN IV Kabupaten Simalungun Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi dapat dilihat pada Tabel 4.2. berikut :

Tabel 4.2. Luas Areal Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di PTPN IV

Penambahan Luas Lahan Tanaman

Kelapa Sawit yang dialih fungsikan Tahun

Teh

(Ha/Tahun)

dari Kebun Teh

(Ha/Tahun)

Sumber : PTPN IV, 2009

Luas areal tanaman perkebunan Teh PTPN IV Tahun 2000-2005 yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah 3.022,45 Ha dengan keadaan Luas areal tanaman perkebunan Teh PTPN IV Tahun 2000-2005 yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah 3.022,45 Ha dengan keadaan

Berdasarkan wawancara dengan Humas PTPN IV, perusahaan melakukan konversi tanaman teh yang tidak produktif lagi ke tanaman sawit untuk meningkatkan pendapatan. Konversi tananam itu dilakukan untuk menekan biaya yang memberikan kontribusi negatif bagi neraca perusahaan termasuk upah tenaga kerja. (Humas PTPN IV, 2009).

Rata-rata luas areal perkebunan teh yang dialih fungsikan dari Tahun 2000- 2005 yaitu selama 6 Tahun, sebesar (3.022,45/6 Tahun) atau 503,74 Ha/Tahun dengan trend pada gambar 4.2 berikut :

445.9 a 400 520.31 520.31 /T a H 300

Gambar 4.2. Luas Areal Alih Fungsi Tanaman Perkebunan

Teh menjadi Kelapa Sawit di PTPN IV Tahun 2000-2005 (Ha/Tahun)

Berdasarkan Gambar 4.2. diatas dapat dilihat bahwa luas alih fungsi lahan terbesar pada Tahun 2005 dan yang terkecil pada Tahun 2001 sesuai dengan data pada Tabel 4.2.

4.3.2 Tenaga Kerja dalam Rangka Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit

Jumlah Tenaga Kerja yang tidak digunakan pada perkebunan teh PTPN IV Kabupaten Simalungun Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi dapat dilihat pada Tabel

4.3. berikut :

Tabel 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Akibat Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit

Tahun Jumlah Tenaga Kerja (HOK/Tahun)

Jumlah 4.354 Rata-rata 725.67

Sumber : PTPN IV, 2009

Jumlah Tenaga kerja yang tidak digunakan dalam rangka alih fungsi tanaman perkebunan teh menjadi Kelapa Sawit pada PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun selama Tahun 2000-2005 berfluktuasi tetapi cenderung meningkat yaitu 4.354 HOK dengan rata-rata 725.67 HOK/Tahun, artinya jumlah tenaga kerja yang dirumahkan atau dimutasikan ke tempat lain semakin bertambah dengan kata lain jumlah tenaga kerja pada perkebunan teh yang digunakan menurun dari tahun ke tahun seiring dengan jumlah alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh dari tahun ke tahun, dimana Tahun 2005 mengalami pengurangan Jumlah Tenaga kerja yang tidak digunakan dalam rangka alih fungsi tanaman perkebunan teh menjadi Kelapa Sawit pada PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun selama Tahun 2000-2005 berfluktuasi tetapi cenderung meningkat yaitu 4.354 HOK dengan rata-rata 725.67 HOK/Tahun, artinya jumlah tenaga kerja yang dirumahkan atau dimutasikan ke tempat lain semakin bertambah dengan kata lain jumlah tenaga kerja pada perkebunan teh yang digunakan menurun dari tahun ke tahun seiring dengan jumlah alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh dari tahun ke tahun, dimana Tahun 2005 mengalami pengurangan

Berdasarkan wawancara dengan humas PTPN IV, pada perkebunan teh, satu hektar tanaman teh membutuhkan rata-rata 1,2 hingga 1,5 tenaga kerja. Hal ini dapat dbandingkan dengan kebun sawit yang hanya membutuhkan rata-rata 0,35 tenaga kerja per hektar dan Komponen biaya buruh perkebunan teh mencapai 60 persen dari harga pokok produksi serta penggunaan bahan bakar solar juga memberatkan produsen teh. Untuk mengolah satu kg teh, dibutuhkan 0,34 liter solar. Pada era 80-an komoditi teh memang andalan atau primadona PTPN IV (Persero) Medan bersama PTP VI dan PTP VII, tapi sekarang tidak demikian lagi. Disamping itu karena harga teh dipasaran internasional terus menerus menurun dan tidak dapat diandalkan lagi untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dana pengelolaan perkebunan teh tersebut diserap oleh biaya panen dan pengangkutan, biaya pabrik dan biaya tanaman. Sementara Menteri Negara BUMN tidak membolehkan menghentikan karyawan yang berlebih tersebut. Karena itu, sampai saat ini PTPN IV diperkirakan kelebihan tenaga kerja sekitar 5.000 orang dan ini menjadi beban bagi keuangan perusahaan karena gaji mereka tetap dibayar. Mengenai tenaga kerja yang selama ini bekerja di kebun teh secara bertahap tenaga kerja dari kebun teh sudah dimutasikan ke kebun-kebun kelapa sawit dilingkungan PTPN IV. Ini salah satu upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja. (Humas PTPN IV, 2009).

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.3. rata-rata pengurangan jumlah tenaga kerja adalah 725.67 HOK /Tahun dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (HOK/Tahun)

Berdasarkan Gambar 4.3. diatas dapat dilihat bahwa pengurangan jumlah tenaga kerja terbesar pada Tahun 2005 dan yang terkecil pada Tahun 2003 sesuai dengan data pada Tabel 4.3.

4.3.3 Produktivitas Tenaga Kerja Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit

Produktivitas tenaga kerja perkebunan teh PTPN IV Kabupaten Simalungun Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi dapat dilihat pada Tabel 4.4.berikut :

Tabel 4.4. Produktivitas Tenaga Kerja Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit

Tahun (Ton/Ha/Tahun)

Sumber : PTPN IV, 2009

Produktivitas tenaga kerja perkebunan Teh PTPN IV Tahun 2000-2005 yang dialih fungsikan berfluktuasi tetapi cenderung menurun selama periode Tahun 2000- 2005 dengan rata-rata 1,09 Ton/Ha/Tahun, dimana Tahun 2001 mengalami produktivitas tenaga kerja yang terbesar yaitu 2,18 Ton/Ha/Tahun dan yang terkecil pada Tahun 2003 sebesar 0,62 Ton/Ha/Tahun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4.

Berdasarkan wawancara dengan Humas PTPN IV menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja kebun relatif menurun. Produktifitas tenaga kerja seharusnya 1,2 -1,25 Ton/Ha (Humas PTPN IV, 2009).

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.4. rata-rata penurunan produktivitas tenaga kerja dapat dilihat sebagai berikut :

v 1.31 it 1.5 ti uk

Gambar 4.4. Produktivitas Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (Ton/Ha/Tahun)

Berdasarkan Gambar 4.4. diatas dapat dilihat bahwa produktivitas tenaga kerja terbesar pada Tahun 2001 dan yang terkecil pada Tahun 2003 sesuai dengan data pada Tabel 4.4.

4.3.4 Produktivitas Tanaman Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit

Produktivitas perkebunan teh PTPN IV Kabupaten Simalungun Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi dapat dilihat pada Tabel 4.5.berikut :