ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN TESIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN TESIS

Oleh JAN ERICSON CHANDRA PURBA

077018010/EP

KOLA

C ASARJ A SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh JAN ERICSON CHANDRA PURBA

077018010/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Nama Mahasiswa : Jan Ericson Chandra Purba Nomor Pokok

: 077018010 Program Studi

: Ekonomi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Rahmanta, M.Si) (Drs. Tuana Simamora, MS) Ketua

Anggota

Ketua Program Studi,

Direktur,

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 23 Juli 2009

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua

: Dr. Rahmanta, M.Si Anggota

: 1. Drs. Tuana Simamora, MS

2. Dr. Murni Daulay, M.Si

3. Drs.Rujiman, M.A

4. Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.

Penelitian ini menggunakan data primer dengan media kuesioner dan data sekunder kurun waktu (time series) 6 tahun. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) pada α=1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan teh menurun rata-rata 61,55 Ton/ Ha/Tahun, penyerapan tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 725,67 HOK/Tahun dan produktivitas tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 1,09 Ton/Ha/Tahun. Harga teh dan jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Harga Teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.

Kata kunci: Alih Fungsi, Tanaman Teh, Kelapa Sawit

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the factors plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun North Sumatera Province.

The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and time series data with 6 years. The data obtained were analyzed through Ordinary Least Square (OLS) at α = 1%.

The result of this study showed productivity of Tea plantation had decreased by average of 61,55 ton/ha/year, work force it’s accommodate had decreased by average 725.67 day-person/year, and it’s worker productivity had decreased by average 1.09 ton/ha/year. The Tea price and number of worker had a significantly negative effect, where as price of Full Fruit Bunch (FFB) had a significantly positive effect, on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation. The Tea and Full Fruit Bunch (FFB) prices, and number of worker alltogether had significantly effect on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun.

Keywords : Plant conversion, Tea, Palm Oil

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sampai dengan penyusunan tesis ini dengan judul: ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun” .

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak mungkin tesis ini dapat terselesaikan. Untuk itu perkenankan penulis memberikan penghargaan yang setinggi- tingginya dan mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, MEc, selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si , selaku Ketua Komisi Pembimbing dengan penuh kearifan, kesabaran dan perhatian telah berkenan memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga selesainya tesis ini.

5. Bapak Drs. Tuana Simamora, MS, selaku anggota pembimbing yang telah memberikan tuntunan dan pengarahan dalam menyesaikan tesis ini

6. Bapak Drs.Rujiman, M.A, Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Administrasi Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Walikota Pematangsiantar yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan.

9. Bapak Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan.

10. Bapak Camat Siantar Marimbun beserta seluruh rekan-rekan Pegawai di Kecamatan Siantar Marimbun yang selalu tetap memberikan motivasi dukungan dan doa didalam menjalankan perkuliahan.

11. Bapak Direksi PTPN IV beserta seluruh staf yang telah banyak memberikan bantuan informasi dan data dalam penyusunan tesis ini.

12. Terima kasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda St. Darwin Purba, S.Pd beserta Ibunda Helna Rosmia Saragih yang senantiasa memberikan teladan, nasehat, doa, semangat dan bantuan moril dan materil kepada penulis. Dan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Ibu mertua Rehngenana Tarigan atas doa dan perhatian serta bantuan moril maupun materil mulai dari masa studi hingga penulisan tesis ini.

13. Teristimewa kepada Istriku tercinta Line Rista Saragih, SE serta buah hatiku tersayang Leader Immanuel Purba yang dengan setia dan penuh pengertian memberikan motivasi, dukungan doa mulai dari masa studi sampai penulisan tesis ini.

14. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kakanda Asni M.Purba, Am.Keb, serta Adinda Rita A.Purba, Resti F. Purba atas doa dan dorongan hingga selesainya tesis ini.

15. Teman-teman mahasiswa, khususnya angkatan XII Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik moril maupun materil.

Sebagai manusia yang tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Dalam rangka penyempurnaan tesis ini penulis mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dan dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut. Kiranya Tuhan memberikan AnugerahNya kedapa semua pihak dan memberkatinya.

Medan, Agustus 2009

JAN ERICSON CHANDRA PURBA

RIWAYAT HIDUP

1. Nama

: Jan Ericson Chandra Purba

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Pematangsiantar, 25 Januari 1984

3. Jenis Kelamin

: Laki-laki

4. Status : Kawin

5. Agama

: Kristen Protestan

6. Pekerjaan

: PNS (Pegawai Negeri Sipil)

7. Alamat : Jalan Handayani Gg. Bersama Kiri No. 05

Pematangsiantar No. HP. 085361184884

8. PENDIDIKAN

a. SD : SD Swasta RK No. 3 Pematangsiantar (1990-1996)

b. SLTP : SLTP Negeri 7 Pematangsiantar (1996-1999)

c. SMU : SLTA Negeri 4 Pematangsiantar (1999-2002)

d. Strata.1 : Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (2002-

2006)

e. Strata.2 : Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2007-2009)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

28

2.1. Tujuan Penetapan Harga ...........................................................................

47

2.2. Kerangka Pikir Penelitian .........................................................................

57

4.1. Struktur Organisasi PTPN IV ...................................................................

4.2 Luas Areal Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Kelapa Sawit di PTPN IV Tahun 2000-2005 (Ha/Tahun) ....................................

63

4.3. Jumlah Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi

66

Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (HOK/Tahun) .......................................

4.4. Produktivitas Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh

67

menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (Ton/Ha/Tahun).......................

4.5. Produktivitas Tanaman Perkebunan Teh Yang Dialih Fungsikan

69

Menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (Ton/Tahun) ............................

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner penelitian ........................................................................... 77

80

2. Uji regresi harga Teh,TBS dan tenaga kerja .......................................

81

3. Uji multikolinieritas ............................................................................

4. Uji heterokedasitas .............................................................................. 82

85

5. Uji normalitas ....................................................................................

88

6. Uji autokorelasi .................................................................................

91

7. Master data ..........................................................................................

93

8. Peta PTPN IV......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teh (Camellia sinensis) merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yang dikenal masyarakat sejak zaman Hindia Belanda (tahun 1860). Melalui sejarah yang panjang, perkebunan teh dibudidayakan dan dikelola oleh perusahaan negara, perusahaan swasta, maupun perkebunan rakyat.

Industri teh saat ini sedang menghadapi berbagai masalah, antara lain terjadinya over production nasional maupun dunia dan di sisi lain tingkat konsumsi teh masyarakat masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantages) menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantages), dengan mengembangkan subsistem agribisnis hulu secara sinergi dengan pengembangan subsistem agribisnis hilir dan membangun jaringan pemasaran domestik maupun internasional, yang digerakkan oleh kekuatan inovasi (innovation driven) (Tampubolon, 2002).

Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas). Komoditi ini juga menyumbang devisa sebesar 110 juta dollar AS setiap tahunnya (ATI, 2000).

Selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan pengembangan agroindustri, perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Rasio perbandingan tenaga kerja dengan luas lahannya 0,75. Karena itu perkebunan teh digolongkan sebagai industri padat karya (www.pkps.org). Tahun 1999 industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa (Suprihatini, 2000).

Potensi pengembangan komoditi teh Indonesia sangat besar. Produksi teh yang tinggi menempatkan Indonesia pada urutan kelima sebagai negara produsen teh curah, setelah India, Cina, Sri Lanka dan Kenya. Indonesia juga menduduki posisi kelima sebagai negara eksportir teh curah terbesar dari segi volume setelah Sri Lanka, Kenya, Cina dan India (Suprihatini, 2000).

Meskipun potensi yang dimiliki cukup besar, sama halnya dengan ekspor produk pertanian Indonesia lainnya ke pasar internasional, komoditi teh juga menghadapi persoalan klasik yang selalu berulang. Setumpuk permasalahan seperti penurunan volume, nilai, pangsa pasar ekspor dan rendahnya harga teh Indonesia memberikan dampak buruk pada perkembangan industri teh. Kondisi ini membuat usaha perkebunan teh rakyat semakin terpuruk. Para petani harus menjual teh dengan harga Rp 400 – Rp 500 per kilogram sementara biaya perawatan teh mencapai Rp 700 per kg. Petani merugi dari tahun ke tahun (Kompas, 20 Desember 2004).

Di satu sisi komoditi teh mampu menjadi sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain dengan permasalahan-permasalahan yang semakin berlarut-larut, komoditi teh dapat membunuh kehidupan petani/buruh dan Di satu sisi komoditi teh mampu menjadi sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain dengan permasalahan-permasalahan yang semakin berlarut-larut, komoditi teh dapat membunuh kehidupan petani/buruh dan

Berikut ini dijelaskan secara lebih mendetail bagaimana profil bisnis komoditi teh di Indonesia. Pangsa pasar teh Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan beberapa pasar utama teh yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan, Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Siria, Taiwan, Mesir, Maroko, dan Australia (Suprihatini, 2000).

Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar dari 5,4% di tahun 1997 menjadi 3,9 % pada tahun 2001. Dari data penguasaan pangsa nilai ekspor seluruh jenis teh, pada tahun 2001 Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar pada urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9%), Cina (17,1%), Sri Lanka (15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7,9%) dan Uni Emirat Arab (4%). (Business Outlook, Komoditi Teh Indonesia, 15 Januari 2008).

Penjualan komoditi teh Indonesia sangat bergantung pada ekspor. Enam puluh lima persen (65%) produksi teh Indonesia ditujukan pada pasar ekspor. Kondisi ini tidak lepas dari peran dan kebijakan pemerintah yang ingin menggalakkan penerimaan devisa dengan mendorong produsen untuk berorientasi pada ekspor (Bisnis Indonesia, 3 Desember 2004).

Ketergantungan ini menimbulkan implikasi yang buruk pada perkembangan teh di Indonesia. Harga teh di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia berlimpah Ketergantungan ini menimbulkan implikasi yang buruk pada perkembangan teh di Indonesia. Harga teh di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia berlimpah

Pembangunan agribisnis perkebunan yang telah berganti arah dari penekanan produksi kepada permintaan pasar atau konsumen yang merupakan konsekuensi logis dari terjadinya globalisasi perdagangan yang menimbulkan dampak hyper competition di antara negara-negara produsen teh.

Pembangunan perkebunan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pasar pada dasarnya bertitik tolak pada pasar sebagai penggerak utama pengembangannya yaitu mempertemukan kebutuhan pelanggan atau permintaan pasar dengan pasokan yang tersedia, baik pasar lokal (domestik) maupun ekspor. Untuk melihat perkembangan produksi disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun

Produksi (Ton)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.1. menunjukkan, perkembangan produksi mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan Tabel 1.1. menunjukkan, perkembangan produksi mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan

Selanjutnya Perkembangan Luas areal Teh di Indonesia, seperti disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun

Luas (ha)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.2. menunjukkan, perkembangan luas lahan mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 kecuali pada tahun 2005.

Hasil produksi yang dicapai, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga diekspor ke berbagai negara. Kondisi pasar ekspor yang selama ini menjadi target pasar utama sangat sulit ditingkatkan, karena posisi Indonesia hanya sebagai pengikut pasar (market follower) dengan pangsa pasar hanya 6 persen. Hasil ekspor terbesar diraih oleh Sri Lanka 21 persen, disusul oleh Kenya 19 persen, China 19 persen, India

12 persen, dan sisanya negara lainnya seperti Afrika 5 persen, Argentina 4 persen, Vietnam 4 persen, Malawi 3 persen, serta Uganda 2 persen (ITC, 2004).

Untuk melihat perkembangan hasil penjualan ekspor teh Indonesia disajikan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3. Perkembangan Hasil Penjualan Ekspor Teh Indonesia Tahun 2003-2007 (Ton)

Tahun

Volume Ekspor

% (Naik/Turun)

Sumber ITC (International Tea Committee), Tahun 2008

Tabel 1.3. menunjukkan, perkembangan volume ekspor mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 kecuali pada tahun 2004 dan 2006.

Sesuai dengan informasi dari Asosiasi Teh Indonesia (ATI) bahwa penurunan volume ekspor teh Indonesia setiap tahun sekitar lima persen penurunan tersebut disebabkan penurunan mutu teh dalam negeri, salah satu penyebabnya adalah harga teh yang rendah menyebabkan petani tidak bisa membeli pupuk sehingga mutu teh terus menurun. Dampak dari penurunan ekspor tersebut posisi Indonesia melorot dari posisi lima ke enam untuk eksportir the. Produsen teh terbesar dunia saat ini adalah India, Cina, Srilangka, Kenya dan Indonesia. Indonesia hanya menguasai enam persen pangsa pasar teh dunia. Posisi pertama ditempati Srilangka dan Kenya dengan pangsa masing-masing pasar 20 persen, Cina 18 persen, India 13 persen dan Vietnam enam persen. Pangsa teh terbesar Indonesia adalah Rusia sebesar 17 persen dan Eropa

30 persen. Sesuai dengan ATI, selama enam tahun terakhir industri teh dalam negeri 30 persen. Sesuai dengan ATI, selama enam tahun terakhir industri teh dalam negeri

Berkaitan dengan data diatas maka dalam penelitian ini perlu diketahui penyebab pembongkaran tanaman teh PT Perkebunan Nusantara IV dengan notabene PT Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu pengelola perkebunan teh di Sumatera Utara dengan lokasi perkebunan di Kabupaten Simalungun. Selanjutnya dalam hal ini informasi tentang perkembangan tanaman kelapa sawit perlu diuraikan.

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tumbuhan tropis berasal dari Afrika Barat, tergolong kedalam famili Palmae, sub famili Cocoideae, dibawa oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles sebagai koleksi sekaligus tanaman hias pada kebun raya Bogor, tahun 1848 Kelapa sawit untuk pertama sekali ditanam secara komersial didalam ukuran perkebunan di Propinsi Sumatera Utara, yaitu pada tahun 1911. Sebelumnya telah dilakukan beberapa percobaan penanaman di Muara Enim - 1869, Musi Hulu - 1870, dan Bitung - 1880. Pada tahun 1939 Indonesia telah menjadi produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar didunia (Lubis, 1992).

Adapun perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia dapat disajikan pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun

Produksi (Ton)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.4. menunjukkan, perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 megalami kenaikan produksi sebesar 12,89%.

Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal kelapa sawit Indonesia disajikan pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun

Luas (ha)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.5. menunjukkan, perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 mengalami kenaikan luas areal sebesar 11,39%.

Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua

dekade terakhir. Pada era tahun 1980 an sampai dengan pertengahan tahun 1990an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah satu primadona pada sub-sektor perkebunan. Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa pasar minyak kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis kelapa sawit.

Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak. Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak. Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari

Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi kebahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82% dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi kebahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82% dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara

Menurut data Statistik Indonesia tahun 2008, terdapat 143 perusahaan perkebunan di Indonesia pada tahun 2007 baik yang dikelola oleh swasta maupun BUMN, salah satu diantaranya adalah PTPN IV di Kabupaten Simalungun meliputi perkebunan teh Divisi Bah Birong Ulu dan Divisi Marjandi. Berdasarkan survey pendahuluan data luas lahan dan produksi teh dan Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada Tabel 1.6. berikut:

Tabel 1.6. Perkembangan Produksi Teh di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007

Tahun

Produksi (Ton)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.6. menunjukkan, perkembangan produksi teh di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2006 mengalami penurunan produksi terbesar 4,76%.

Perkembangan luas areal juga mengalami penurunan, adapun data luas areal Teh di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.7.

Tabel 1.7. Perkembangan Luas Areal Teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun 1999-2005

Tahun

Luas (ha)

% (Naik/Turun)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.7. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan teh di PTPN

IV Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu

6 tahun terakhir dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, dimana tahun 2005 mengalami penurunan luas areal yang terbesar -8,93%.

Tabel 1.8. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007

Tahun

Produksi (Ton)

% (Naik/Turun)

Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008

Tabel 1.8. menunjukkan, perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir Tabel 1.8. menunjukkan, perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir

Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.9.

Tabel 1.9. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun 2003-2007

Tahun

Luas (ha)

% (Naik/Turun)

Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008

Tabel 1.9. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2004 mengalami kenaikan luas areal yang terbesar 4,06%.

Dilatar belakangi oleh permasalahan yang tergambar pada penjelasan diatas dan perlunya mengetahui penyebab utama dalam alih fungsi (konbersi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit penulis merasa tertarik untuk menganalisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka sebagai perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh harga Teh terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

2. Bagaimana pengaruh harga TBS terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

3. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

4. Bagaimana dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit meliputi penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh.

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka sebagai tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh harga teh terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui pengaruh harga TBS terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

4. Untuk mengetahui dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi tanaman Kelapa Sawit terhadap penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh di Kabupaten Simalungun.

1.4.Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan bermanfaat :

1. Sebagai informasi dasar bagi para peneliti dan pengambil kebijakan untuk melakukan penelaahan lebih jauh atau sebagai dasar penetapan kebijakan lanjutan dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada.

2. Sebagai masukan bagi pihak PTPN IV Kabupaten Simalungun dalam mengambil keputusan mengenai alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan.

3. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat meneliti tentang Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit khususnya dari segi sosial dan ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Teh

Tanaman teh termasuk genus Camellia yang memiliki sekitar 82 species, terutama tersebar di kawasan Asia Tenggara pada garis lintang 30° sebelah utara maupun selatan khatulistiwa. Selain tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) yang dikonsumsi sebagai minuman penyegar, genus Cammelia ini juga mencakup banyak jenis tanaman hias. Kebiasaan minum teh diduga berasal dari China yang kemudian berkembang ke Jepang dan juga Eropa.

Tanaman teh berasal dari wilayah perbatasan negara-negara China selatan (Yunan), Laos Barat Laut, Muangthai Utara, Burma Timur dan India Timur Laut, yang merupakan vegetasi hutan daerah peralihan tropis dan subtropis. Tanaman teh pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh dari jepang yang dibawa oleh seorang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn melaporkan melihat perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral Champhuys di Jakarta. Pada tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam melengkapi Kebun Raya Bogor, dan pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat.

Berhasilnya penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh menaruh landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Teh Berhasilnya penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh menaruh landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Teh

Dengan masuknya teh Assam tersebut ke Indonesia, secara berangsur tanaman teh China diganti dengan teh Assam, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh di daerah Simalungun, Sumatera Utara ( http://www.pn8.co.id ).

2.2 Manfaat Teh bagi Kesehatan

Minum teh ternyata tak hanya menyegarkan. Para ahli terus melakukan penelitian tentang manfaat teh, khususnya terhadap kesehatan. Teh hijau, misalnya diketahui memiliki antioksidan alami yang disebut polyphenol, yang dapat membantu menghalangi pertumbuhan sel kanker kulit. Selain itu, pengaruh antioksidan tersebut membantu liver berfungsi lebih efektif, sehingga teh hijau juga dapat membantu mempercepat tingkat metabalisme.

Manfaat lain yang terus diteliti adalah kaitannya dengan mencegah penyakit jantung. Seperti diketahui, pengaruh ontioksidan juga dapat membantu mencegah oksidasi kolesterol LDL dalam arteri sehingga membantu menurunkan kadar kolesterol LDL.

Bagi penderita diabetes, kandungan polyphenol juga bermanfat untuk membantu menurunkan tingkat gula darah. Seperti diketahui, tingginya glukosa dan insulin dalam darah memungkinkan orang terkena diabetes.

Bahkan teh hijau juga diduga memiliki manfaat terhadap kanker. Sebuah percobaan sekitar 20 tahun yang lalu membuka wacana tentang hal ini dan meski masih banyak perdebatan namun konsumsi teh hijau kerap diasosiasikan dengan pengurangan risiko berbagai penyakit kanker ( http://www.depkes.go.id ).

2.3 Sejarah Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha.

Pada tahun 1919 mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawitpun di

Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948 / 1949, pada hal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manejemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan. ( http://id.wikipedia.org ).

2.3.1 Keunggulan Kelapa Sawit

Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedele, kacang tanah dan lain-lain), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan.

Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang (25 tahun) juga akan turut mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/tahun setiap orangnya, kebutuhan ini akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.

Supply sawit di dunia saat ini sangat terbatas, karena kelapa sawit hanya dapat dibudidayakan di daerah katuilistiwa dan diperkirakan hanya 2% dari belahan lahan di dunia. Daerah ideal bagi perkebunan kelapa sawit adalah Malaysia dan Indonesia, akibatnya, proses produksi kelapa sawit belum mencukupi konsumsi dunia. ( http://www.depperin.go.id) .

2.3.2 Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia

Dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit (dalam hal ini minyaknya) mempunyai peran yang cukup strategis, karena :

1. Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontiniu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng tersebut. Ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok kebutuhan masyarakat sehinga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

2. Sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun pajak.

3. Dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sampai pertengahan tahun 1970 an minyak kelapa merupakan pemasok utama dalam kebutuhan minyak nabati dalam negeri. Baik minyak goreng maupun industri pangan lainnya lebih banyak menggunakan minyak kelapa dari pada minyak sawit. Produksi kelapa yang cenderung menurun selam 20 tahun terakhir ini menyebabkan pasokannya tidak terjamin, sehingga timbul krisis minyak kelapa pada awal tahun 1970. Di sisi lain, produksi minyak kelapa sawit cenderung meningkat sehingga kedudukan minyak kelapa digantikan oleh kelapa sawit, terutama dalam industri minyak goreng. Dari segi perolehan devisa, selama beberapa tahun terkhir ini kondisinya kurang baik. Volume ekspor selama dekade terakhir ini memang selalu meningkat, akan tetapi peningkatannya tidak selalu diikuti oleh peningkatan dalam nilainya. Hal ini terjdi karena adanya fluktuasi harga di pasaran Internasional. ( http://www.depperin.go.id ).

2.3.3 Perkembangan Industri Kelapa Sawit

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak

2.3.4 Industri Minyak Kelapa Sawit

Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah). ( http://www.depperin.go.id) .

2.3.5 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti: pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya,

yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemprosesan dan pengangkutan. Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit tersebut, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :

a) Crude Palm Oil

b) Crude Palm Stearin

c) RBD Palm Oil

d) RBD Olein

e) RBD Stearin

f) Palm Kernel Oil

g) Palm Kernel Fatty Acid

h) Palm Kernel

i) Palm Kernel Expeller (PKE) j) Palm Cooking Oil i) Palm Kernel Expeller (PKE) j) Palm Cooking Oil

2.4 Harga

2.4.1 Pengertian harga

Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk Dalam menjalankan suatu perusahaan, pimpinan perusahaan harus jeli untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan jalannya kegiatan operasional perusahaan. Kesalahan dalam peengambilan keputusan dalam suatu perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap perusahaan itu sendiri.

Mengenai istilah harga banyak sekali pendapat para ahli yang saling berbeda, diantaranya pengertian harga menurut :

1. Swastha. B dan Irawan (2000) : “Harga adalah jumlah uang ditambah (beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya”.

2. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) : “Harga merupakan sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang maupun jasa”.

3. Kotler dan Amstrong (1997) : harga adalah jumlah uang yang ditagihkan untuk suatu produk atau jasa, jumlah nilai yang ditukarkan konsumen untuk mamfaat memiliki atau menggunakan produk atau jasa”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga adalah suatu jumlah uang yang oleh konsumen dijadikan alat untuk memperoleh produk yang dijual perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harga juga menyatakan ukuran uang dalam jumlah tertentu yang dibayar oleh konsumen atau pelanggan dalam rangka mendapatkan produk tertentu yang mereka inginkan. Harga ditetapkan oleh suatu perusahaan setelah produk dihasilkan dan memiliki nilai untuk dijual kepada konsumen. Dengan adanya harga maka konsumen dapat memberikan sejumlah nilai dari uang agar mereka dapat memperoleh produk yang dihasilkan perusahaan untuk kemudian dikonsumsi oleh mereka.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Harga

Kebijakasanan harga tidak dapat didasarkan hanya oleh adanya faktor didalam perusahaan atau kebijaksanaan pimpinan semata, tetapi banyak dipengaruhi berbagai factor untuk menetapkan tingkat harga jual kepada pasar. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga antara lain seperti Kotler dan Amstrong (2000), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga didasarkan pada faktor intern perusahaan dan faktor eksternal perusahaan. Adapun faktor-faktor diatas yaitu :

1. Faktor internal perusahaan : 1. Faktor internal perusahaan :

b) Strategi bauran pemasaran

c) Biaya

d) Pertimbangan organisasi

2. Faktor eksternal

a) Elastisitas permintaan

b) Kondisi perekonomian

c) Persaingan

d) Permintaan dan Penawaran

e) Pengawasan pemerintah Dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan harga jual maka dapat disimpulkan secara singkat mengenai situasi yang mempengaruhi harga jual. Situasi tersebut terdiri dari tiga (3) faktor yang merupakan ringkasan dari faktor- faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan harga (Mas ′ud , 1998), yaitu :

1. Laba dan tujuan-tujuan lain Faktor-faktor lain selain pasar dan biaya bisa dimasukkan dalam faktor ketiga ini.

2. Situasi pasar Disini meliputi konsumen. sifat produk, sifat pasar dan sebagainya.

3. Biaya produksi dan operasi Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membuat barang atau produk dan biaya produk bisa sampai ketangan konsumen.

2.4.3 Tujuan Penentuan Harga

Untuk memudahkan suatu perusahaan dalam memasarkan produk yang dihasilkan maka terlebih dahulu harus ditetapkan harga jual dari produk tersebut. Ada beberapa tujuan dilakukannya penetapan harga jual terhadap suatu produk.

Hal ini seperti dikemukan oleh lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) menyatakan tujuan-tujuan dari penetapan harga jual terhadap suatu produk :

1. Penetapan harga mark-up Menurut Basu Swasta dan Irawan (2000) mendefenisikan penetapan harga mark-

up sebagai berikut : “ Mark-Up merupakan jumlah rupiah yang ditambahkan pada biaya dari suatu produk untuk menghasilkan harga jual”. Keuntungan terbesar dari harga mark-up ini adalah kesederhanaannya.

Kelemahan utamanya adalah mengakibatkan permintaan dan mungkin menghasilkan harga barang dagangan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.

2. Profit Maximization Metode profit maximization ini dilakukan ketika pendapatan marjinal sama

dengan biaya marjinal. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) mendefenisikan pendapatan marjinal yaitu: “Pendapatan ekstra yang berhubungan dengan penjualan suatu unit ekstra dari out put”.

3. Penetapan harga titik impas Perusahaan akan berusaha menetapkan harga yang mencapai titik impas

menghasilkan laba sasaran yang dicarinya. Metode penetapan ini biasanya digunakan oleh penggelola sarana umum, yang tidak boleh melakukan pengembalian yang wajar atas investasi mereka.

Mc Carthy dan Perreault (1995) menjelaskan tujuan penetapan harga dalam gambar berikut :

Berorientasi laba

Target laba

Memaksimumkan laba

Pertumbuhan penjualan

Tujuan Penjualan

Berorientasi penjualan

Pertumbuhan pangsa pasar

Menghadapi persaingan

Status Quo

Persaingan bukan harga

Target laba

Gambar 2.1. Tujuan Penetapan Harga

Sumber : Mc Carthy dan Perreault (1995)

Berdasarkan kutipan diatas maka dapat dikemukan bahwa ada tiga tujuan penetapan haga jual yaitu :

1. Tujuan berorientasi laba

2. Tujuan berorientasi penjualan

3. Tujuan penetapan harga status quo

2.5 Produktivitas

Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit sumberdaya (input) yang digunakan. Tingkat produktivitas berarti sejumlah output dari sumberdaya yang digunakan, dengan pilihan sejumah tenaga kerja, material dan beberapa kombinasi sumberdaya yang mungkin. Produktivitas mengukur kemungkinan variasi yang menyangkut kedua aspek baik output maupun input yang digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja, produktivitas kapital dan lain-lain (Sudarsono, 1995).

Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas lahan. Produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu.

2.6 Landasan Teori dan Konsep Ekonomi

2.6.1 Teori Permintaan

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) “Permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu” sedangkan permintaan terhadap suatu produk merupakan faktor penting pertama didalam menentukan profitabilitas usaha. Seefisien apapun manajemen dalam sebuah perusahaan serta seterampil apapun pengelola perusahaan tersebut, tidak akan memperoleh keuntungan kecuali produk yang dihasilkannya memiliki permintaan yang baik (pangsa pasar).

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) terdapat dua model dasar untuk permintaan yaitu permintaan langsung dikenal sebagai teori perilaku konsumen terkait dengan permintaan langsung untuk produk barang dan jasa sebagai konsumsi pribadi. Kemudian permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam pembuatan barang dan jasa diminta atau distribusi dari produk lainnya. Sedangkan fungsi permintaan adalah hubungan diantara jumlah barang diminta (Q) dan variabel yang mempengaruhinya dimana kurva permintaan adalah hubungan yang menunjukkan diantara jumlah barang dan harga barang diminta hal ini dapat dijelaskan dalam model matematis dibawah ini :

Qx = f (Px) ………. (1)

atau.....

Qx = a – Px …. (2) Jikalau diberikan asumsi variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka

permintaan terhadap suatu barang hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut.

Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan suatu barang, adalah :

1. Harga barang yang diminta (the price of goods. X = Px). Permintaan merupakan fungsi dari harga suatu barang ditawarkan. Dimana jika harga dari barang tersebut naik, maka permintaan terhadap barang tersebut menjadi turun.

2. Harga barang lain ( the price of related goods or services = Pr ). Dengan kondisi di syaratkan :

a. Hubungan barang substitusi, yaitu pengaruh harga substitusi terhadap barang tersebut. Dimana jika terjadi kenaikan harga barang pokok maka permintaan terhadap barang substitusi akan naik, hal ini disebabkan harga barang substitusi lebih mahal dari barang pokok.

b Hubungan barang komplementer. Apabila harga barang komplementer turun maka jumlah permintaan terhadap barang komplementer akan naik sehingga berakibat permintaan terhadap barang pokok juga naik.

3. Faktor lain, yang terkait dengan permintaan terhadap suatu barang antara lain, kebijakan Pemerintah, iklim / cuaca, tingkat pendapatan, selera dan lainnya.