4.4.3. Analisis kelembagaan Karakteristik produktifitas plasma
Target produksi yang ditetapkan pada setiap pola tebar dalam pengelolaan teknis budidaya udang windu pada proyek perintis TIR Transmigrasi jawai adalah
sebagai berikut 1 Padat penebaran 4 ekorm
2
, target produksi = 400 kg, 2 Padat penebaran 20 ekorm
2
, target produksi = 1.600 kg, 3 Padat penebaran 15 ekorm
2
, target  produksi  =  1.200  kg.  Dari  hasil  pengolahan  data  yang  dilakukan  dalam
penelitian ini, Tabel 9 merupakan gambaran hasil panen plasma dalam pencapaian target produksi pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai.
Tabel 9. Realisasi hasil panen terhadap pencapaian target produksi
KEPADATAN 4 ekorm2
20 ekorm2
15 ekorm2
TOTAL Target Panen per petak kg
400 1600
1200 Jumlah Petak Panen
146 65
989 1200
Panen rata-rata per petak kg 311.63
1,152.07 1,280.21
Pencapaian Target 77.91
72.00 106.68
Jumlah Petak mencapai Target 48
30 232
310 Pencapaian Target
32.88 46.15
23.46 25.83
PERIODE MUSIM TANAM 15 ekorm
2
I II
III IV
V Target Panen per petak kg
1200 1200
1200 1200
1200 Jumlah Petak Panen
274 268
245 158
44 Panen rata-rata per petak kg
1,212.89 1,463.30
1,340.85 1,099.73
894.67 Pencapaian Target
101.07 121.94
111.74 91.64
74.56 Jumlah Petak mencapai Target
34 105
69 18
6 Pencapaian Target
12.41 39.18
28.16 11.39
13.64
Dari Tabel 9 dapat dijabarkan sebagai berikut : -  Dari  keseluruhan  petak  tambak  panen  yang  dianalisis  1.200  petak  tambak
pada  pola  penebaran  benur  4,  20  dan  15  ekorm
2
didapatkan  bahwa  jumlah
petak  tambak  yang  mencapai  target  produksi  sebanyak  310  petak  tambak 25,83,  yang  berarti  sebanyak  990  petak  tambak  74,17  gagal  dalam
mencapai target produksi. -  Berdasarkan    pola  tebar  maupun  periode  musim  tanam  didapatkan  bahwa
prosentase  pencapaian  target  pada  rata-rata  hasil  panen  per  petak  tambak adalah selalu lebih besar bila dibandingkan  dengan jumlah petak tambak yang
mencapai  target  produksi,  bahkan  pada  pola  tebar  15  ekorm
2
didapatkan bahwa jumlah petak tambak yang mencapai target sebesar 23,46 tetapi hasil
panen rata-rata per petak telah melampaui target yaitu 106,68. -  Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil panen plasma
adalah bervariasi antar petak tambak. Plasma yang ada pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai terdiri dari
4 kelompok yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Penduduk Lokal atau APPDT. Oleh karena itu plasma pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai
dapat  dibagi  dalam  4  empat  kelompok  berdasarkan  daerah  asal  dasal.  Pada Tabel  10  dapat  dilihat  jumlah  total  hasil  panen  rata-rata  per  petak  tambak
berdasarkan daerah asal. Tabel 10. Hasil panen plasma berdasarkan daerah asal transmigran
Dari Tabel 10 tersebut diatas dapat dilihat bahwa plasma yang berasal dari Jawa Tengah Jateng mempunyai produktifitas yang paling tinggi dengan total rata-rata
hasil  panen  per  petak  tambak  sebanyak  1.273,55  kg,  kemudian  disusul  berturut- turut  Jawa  Timur  Jatim  sebanyak  1.218,85  kg,  Jawa  Barat  Jabar  sebanyak
Daerah Asal Dasal Rata-rata Berat Per Petak
kg -
816.90 APPDT
1,057.75 Jawa Barat
1,118.64 Jawa Tengah
1,273.55 Jawa Timur
1,218.85
1.118,64  kg  dan  yang  paling  rendah  produktifitasnya  adalah  plasma  lokal  atau yang biasa disebut APPDT yaitu sebanyak  1.057,75 kg.
Plasma  APPDT  menempati  posisi  paling  rendah  produktifitasnya  hal  ini disebabkan  karena  karateristik  plasma  transmigran  lokal  atau  APPDT  dapat
dikatakan  baru mengenal usaha pertambakan karena sebelum ada proyek perintis TIR  transmigrasi  Jawai  ini  mereka  mempunyai  latar  belakang  mata  pencaharian
yang  tidak  berhubungan  dengan  usaha  budidaya  udang  di  tambak.  Sedangkan plasma transmigran yang didatangkan dari pulau Jawa pada umumnya berasal dari
daerah-daerah  yang  lingkungannya  merupakan  daerah  usaha  pertambakan  udang di  pulau  Jawa.  Jadi  dapat  dikatakan  bahwa  karakteristik  transmigran  dari  pulau
Jawa sudah lebih familier dengan dunia tambak udang dibandingkan plasma lokal. Oleh karena itu tujuan mendatangkan transmigran  dari pulau jawa tersebut adalah
diharapkan  mereka  dapat  menjadi  mediator  dalam  transfer  teknologi  budidaya udang di daerah yang baru.
Spatial autocorrelation
Hasil  analisis  spatial  autocorrelation  dengan  menggunakan  perhitungan indeks  Moran  I  pada  pola  tebar  15  ekorm
2
berdasarkan  periode  musim  tanam dan tahun dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation
PERIODE Indeks
Moran I
TAHUN Indeks
Moran I
Musim Tanam I
Random I
Random Periode I
0.191875 -0.003663
1993 0.153122
-0.004219 Periode II
0.329885 -0.003745
1994 0.573217
-0.003891 Periode III
0.152293 -0.004098
1995 0.038725
-0.004167 Periode IV
0.084252 -0.006369
Total 0.347446
-0.003663 Periode V
0.003755 -0.023256
1993-1995
Dari hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation pada Tabel 11 dapat dilihat  bahwa    pada  umumnya  pola  tebar  benur  15  ekorm
2
baik  berdasarkan periode  musim  tanam  maupun  tahun  didapatkan  hasil  nilai  Indeks  Moran  I
secara umum berada diatas nilai I Random. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil
perhitungan  indeks  Moran  I  mengarah  kepada  autocorrelation  positif,  yang berarti  adanya  kecenderungan  hubungan  antar  petak  tambak  yang  berdampingan
mencerminkan pola interaksi searah yaitu dengan pengaruh saling meningkatkan hasil produksi.
Pada Tabel 11 berdasarkan tahun didapatkan pada tahun 1995 nilai indeks Moran menurun tajam yaitu 0,038725, hal ini disebabkan karena pada tahun 1995
hasil  panen  plasma  banyak  mengalami  kegagalan  karena  adanya  serangan penyakit  white  spot.  Puncak  serangan  penyakit  tersebut  terjadi  pada  akhir  tahun
1995 dimana pelaksanaan panen terpaksa dilakukan terhadap sejumlah besar petak tambak  yang  belum  waktunya  untuk  menghindari  kerugian  dan  kematian  massal
yang  lebih  banyak.  Berdasarkan  periode  musim  tanam  didapatkan  nilai  indeks Moran tertinggi puncaknya pada periode II,  hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 9
dimana hasil panen rata-rata per petak tambak tertinggi jatuh pada periode II yaitu 1.463,30  kg.  Berdasarkan  tahun  didapatkan  nilai  indeks  Moran  tertinggi  pada
tahun  1994,  sedangkan  pada  Lampiran  21  dapat  dilihat  bahwa  grafik  tertinggi rata-rata  hasil  panen  plasma  juga  terjadi  pada  tahun  1994.  Fenomena  ini
memberikan  gambaran  bahwa  semakin  tinggi  nilai  indeks  Moran  maka  semakin tinggi  pula  hasil  panen  plasma.  Dari  hal  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa
semakin tinggi nilai indeks Moran berarti kerjasama kelompok plasma dalam satu hamparan akan semakin baik yang pada kenyataannya juga akan berdampak pada
hasil panen plasma. Hasil  analisis  spatial  autocorrelation  berdasarkan  perhitungan  indeks
Moran  I  tersebut  pada  aplikasi  pelaksanaan  dilapangan  dipengaruhi  oleh    1 sistem  pembinaan  yang  dilakukan  petugas  penyuluh  lapangan  PPL  dari
perusahaan  inti  dan  juga  2  interaksi  antar  plasma  di  lapangan  pada  saat pelaksanaan  operasional  budidaya  berlangsung.  Hasil  perhitungan  tersebut  juga
menggambarkan bahwa hubungan plasma antar petak tambak yang berdampingan akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan antar plasma dengan petak tambak
yang  berjauhan.  Seperti  yang  telah  dikemukakan  diatas  bahwa  karakteristik produktifitas plasma berbeda menurut kelompok daerah asal. Oleh karena itu hasil
perhitungan  analisis  spatial  autocorrelation  tersebut  dapat  digunakan  sebagai acuan  dalam  penempatan  transmigran,  yaitu  dengan  cara  tidak  menempatkan
plasma  secara  berdampingan  menurut  kelompok  daerah  asal  yang  sama  dalam rangka  untuk  transfer  teknologi  yang  lebih  merata  sehingga  diharapkan  hasil
produksi menjadi meningkat.
Kelembagaan proyek
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih  dalam  jangka  waktu  tertentu  untuk  meraih  keuntungan  bersama  dengan
prinsip  saling  membutuhkan  dan  saling  membesarkan.  Di  Indonesia  kemudian kemitraan  diartikan  sebagai  hubungan  bapak-anak  angkat  foster  father
partnerships ,  di  mana  bapak  angkat  sebagai  inti  sedangkan  petani  sebagai
plasma. Pola kemitraan yang dilaksanakan pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah pola Inti - Rakyat yaitu pola kemitraan usaha tambak dengan bentuk
kontrak  produksi  antara  perusahaan  inti  dan  plasma,  dimana  perusahaan  inti berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
menampung,  mengolah  dan  memasarkan  hasil  produksi  serta  mengusahakan permodalan.  Secara  teoritis  suatu  kemitraan  akan  terjadi  dan  berjalan  langgeng
bila memenuhi dua syarat yaitu syarat keharusan necessary condition dan syarat kecukupan sufficient condition yaitu kebersamaan cohesiveness.
Aturan main rules of the game Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah merupakan sebuah proyek
percontohan    transmigrasi  umum  dengan  pola  Tambak  Inti  Rakyat  TIR. Pengembangan  pola  TIR  diatur  oleh  Surat  Keputusan  Menteri  Pertanian  No.
334KptsIK.21061986.  Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa: 1.  Di  Pulau Jawa,  setiap  perusahaan  tambak  yang  memiliki  areal  tambak  diatas
30  ha  harus  menggunakan  pola  tambak  inti  rakyat  dengan  perbandingan  40 inti dan 60 plasma;
2.  Diluar Pulau Jawa: a.  di  lahan  yang  sudah  berbentuk  tambak,  setiap  perusahaan  yang  akan
melakukan  penambahan  areal  diatas  50  ha  harus  menggunakan  pola tambak inti rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma;
b.  di  lahan  yang  belum  berbentuk  tambak,  setiap  perusahaan  yang  akan mengusahakan tambak diatas 100 ha harus menggunakan pola tambak inti
rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma; Dalam SK Menteri Pertanian juga disebutkan bahwa perusahaan inti serta
plasma mempunyai masing-masing kewajiban agar terbina kerjasama yang saling menguntungkan  dan  berkesinambungan.  Kewajiban  perusahaan  inti  adalah  1
menyediakan  dan  atau  membangun  tambak  plasma;  2  menyediakan  saluran pengairan  yang  diperlukan  baik  untuk  tambak  inti  maupun  plasma;  3
memberikan  bimbingan  teknis  pertambakan  kepada  petambak  plasma  sesuai dengan  perkembangan  teknologi;  4  menyediakan  sarana  produksi  untuk
memenuhi  kebutuhan  petambak  plasma;  5  menampung  seluruh  hasil  produksi tambak plasma dengan syarat dan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan  oleh  pemerintah  dalam  hal  ini  Menteri  Pertanian;  6  membantu penyelesaian  sertifikat  lahan  tambak  plasma;  7  mempekerjakan  calon  petambak
plasma  ditambak  yang  diusahakan  selama  tambak  plasma  dalam  periode konstruksi  dan  belum  diserahkan  kepada  petambak  plasma;  dan  8  membantu
petambak  plasma  dalam  pengurusan  pencairan  dan  pengembalian  kredit. Sedang kewajiban  petambak  plasma  adalah  1  mengusahakan  tambak  sesuai  petunjuk
perusahaan  inti;  2  menjual  hasil  produksi  tambaknya  kepada  perusahaan  inti dengan  syarat  dan  harga  yang  layak  sesuai  dengan  pedoman  yang  ditetapkan
pemerintah  dalam  hal  ini  Menteri  Pertanian;  3  mengembalikan  kredit  sesuai dengan jadwal waktu pada akad kredit; 4 tidak memindahkan haknya atas tambak
kepada  pihak  ketiga  dalam  waktu  yang  ditetapkan  kecuali  dalam  rangka pewarisan tanpa pemecahan lahan.
Sebagai  implementasi  dari  pola  kemitraan  dalam  pelaksanaannya  proyek perintis  TIR  transmigrasi  Jawai  telah  melakukan  beberapa  kesepakatan  yang
tertuang dalam perjanjian antara perusahaan inti dan plasma. Beberapa perjanjian tersebut  diantaranya  adalah  1  surat  kontrak  kerjasama  antara  PT  Ciptawindu
Khatulistiwa  dengan  petani  tambak  transmigrasi  Jawai  dapat  dilihat  pada Lampiran  23,  2  surat  perjanjian  tentang  kerjasama  pengelolaan  proyek  TIR
transmigrasi  Jawai  antara  PT.  Ciptawindu  Khatulistiwa  dengan  Koperasi  Unit Desa  Cipta  Bina  Sejahtera  dapat  dilihat  pada  Lampiran  24,  3  surat  perjanjian
tentang  kesepakatan  pembelian  sarana  produksi  tambak  udang  dan  hasil  tambak udang  antara  PT.  Ciptawindu  Khatulistiwa  dengan  petani  plasma  tambak  udang
proyek  TIR  Jawai  dapat  dilihat  pada  Lampiran  25dan  4  tata  tertib  persidangan forum  musyawarah  petani  tambak  udang  proyek  TIR  Transmigrasi  di  Jawai
Kalimantan Barat dapat dilihat pada Lampiran 26. Rangkuman dari isi perjanjian dan kesepakatan antara perusahaan inti dan
plasma serta KUD pada pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a  peran perusahaan inti adalah 1 membangun tambak dengan segala sarana dan prasarananya  yang  nantinya  akan  dibayarkan  melalui  bank  dari  kredit
investasi, 2 mengelola dana untuk modal kerja atas nama kredit plasma dari bank Kalbar, 3 membeli hasil panen plasma sesuai dengan harga yang telah
disepakati, 4 sebagai penjamin afalist dari kredit investasi dan modal kerja, 5  memegang  sertifikat  tambak  selama  kredit  belum  lunas  dan  6  membina
plasma dalam hal teknis budidaya. b  peran plasma adalah 1 mengajukan kredit investasi dan modal kerja ke bank
Kalbar,  2  mencicil  kredit  investasi  dengan  cara  pembayaran  dipotong  saat panen,  3  menjual  hasil  panen  ke  perusahaan  inti  dan  4  patuh  terhadap
instruksi pembina budidaya. c  peran  KUD  adalah  1  merupakan  wadah  dari  perwakilan  plasma,  2  sebagai
perantara  antara  perusahaaan  inti  dan  plasma  serta  bersama-sama  dengan perusahaan  inti  dalam  mengusahakan  kredit  investasi  dan  modal  kerja,  3
mendapatkan  komisi  fee  dari  keuntungan  penjualan  udang  dan  pengadaan sarana  produksi  tambak  dan  4  bersama-sama  dengan  perusahaan  inti
mengambil tindakan terhadap plasma yang tidak layak. d  sebagai konsekuensi akibat kredit modal kerja dikelola perusahaan inti adalah
1  menyediakan  tenaga  pengelola,  2  menyediakan  sarana  penunjang  seperti laboratorium,  hatchery  dan  cold  storage,  3  menanggulangi  keterlambatan
pengembalian  kredit  berikut  bunga  kepada  bank  dan  4  menanggulangi kekurangan modal kerja plasma yang mengalami kerugian panen.
Berdasarkan  uraian  tersebut  diatas  dapat  disimpulkan    bahwa  sudah  terjadi indikasi  adanya  keinginan  bersama  antara  perusahaan  inti  dan  plasma  dalam
upaya untuk mencapai bentuk hubungan pola kemitraan yang lebih langgeng. Dari  aturan main  rules of the  game  yang  tertuang  dalam  perjanjian  dan
kesepakatan  antara  perusahaan  inti,  plasma  dan  KUD  tersebut  ada  beberapa  hal yang masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut dalam pelaksanaannya, yaitu;
1  besaran  cadangan  resiko  15  dari  selisih  antara  harga  penyesuaian  dengan harga  jaminan,  hal  ini  perlu  dikaji  lebih  lanjut  mengingat  usaha  tambak  udang
adalah  termasuk  kategori  usaha    resiko  tinggi  high  risk  dan  pada  pelaksanaan proyek TIR transmigrasi Jawai ternyata cadangan resiko tersebut tidak mencukupi
untuk menutupi kerugian hasil panen plasma, dan 2 belum masuknya komponen maintenance
dalam  pemotongan  hasil  panen  plasma,  hal  ini  diperlukan  untuk biaya perawatan baik untuk peralatan operasional tambak maupun saluran irigasi
yang  tidak  sedikit  memakan  biaya.  Disarankan  komponen  maintenance  tersebut dibebankan dalam hitungan tonase berat per kg udang hasil panen dan dikenakan
kepada  seluruh  plasma  baik  yang  hasil  panennya  untung  maupun  yang  merugi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan kesadaran  plasma bahwa untuk
menuju  keberhasilan  proyek  diperlukan  semangat  kebersamaan  termasuk  dalam menanggung biaya perawatan infrastruktur yang telah dibangun.
Pengalaman  pada  pelaksanaan  proyek  TIR  transmigrasi  Jawai menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan aturan main rules of the
game pada  pola  TIR  yang  dampaknya  akan  sangat  berpengaruh  terhadap
keberhasilan  proyek.  Berikut  ini  penjabaran  kelemahan  aturan  main  dan  solusi pada pola TIR, yaitu;
1.  Kriteria proses penentuan sebagai plasma. a  Plasma yang didatangkan dari pulau Jawa adalah merupakan kewenangan
dari  Departemen  Transmigrasi,  sedangkan  keanggotaan  menjadi  plasma lokal  APPDT  adalah  berdasarkan  atas  kompensasi  kepada  masyarakat
setempat  akibat  tanahnya  terkena  pembangunan  lokasi  proyek.  Oleh karena itu kelemahan pola TIR adalah seleksi plasma tidak didasarkan atas
kelayakan  kemampuan  seseorang  dalam  hal  teknis  pengelolaan  budidaya di lapangan.
b   Solusi  dari  permasalahan  tersebut  adalah  calon  plasma  tersebut  harus melalui  tahap  seleksi  dilapangan  yaitu  dengan  cara  magang  dan  proses
magang  inilah  yang  akan  menentukan  layak  dan  tidaknya  seseorang  ikut menjadi anggota plasma TIR. Sedangkan untuk menghindari pemilik tanah
otomatis  menjadi  plasma  TIR  adalah  dengan  jalan  memberikan kompensasi  ganti  untung  kepada  masyarakat  setempat  yang  tanahnya
terkena pembangunan proyek. 2.   Kesulitan menerapkan sanksi.
a  Pada  prakteknya  sulit  untuk  menerapkan  sanksi  kepada  pihak  yang melakukan kesalahan atau kelalaian di lapangan. Salah satu contoh adalah
keterlambatan  perusahaan  inti  dalam  pembayaran  panen  atau  penebaran benur  dan  juga  adanya  plasma  yang  tidak  mematuhi  aturan  teknis
budidaya yang akan mengganggu jalannya proyek. b  Solusi  dari  permasalahan  tersebut  adalah  menerapkan  aturan  main  yang
baku dan disepakati semua pihak yang didalamnya sudah mencakup siapa yang  mempunyai  wewenang  sebagai  eksekutor,  sehingga  apabila  terjadi
salah satu pihak melakukan kesalahan atau kelalaian wan prestasi maka sistem atau aturan main tersebut dapat langsung diimplementasikan.
Dampak positif keberadaan proyek TIR Transmigrasi Jawai
Jika  mengkaji  uraian  diatas  maka  keberadaan  proyek  tersebut seharusnya akan memberikan dampak  positif karena bukan hanya pihak-pihak yang berperan
seperti perusahaan inti, plasma dan KUD saja yang akan mendapatkan keuntungan tetapi  masyarakat  setempat  dan  pemerintah  daerah  Pemda  juga  akan  mendapat
keuntungan.  Menurut  Walhi  2004,  dampak  positif  tersebut  dapat  dijabarkan sebagai berikut :
Keuntungan swasta sebagai perusahaan inti 1.  Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi dan Modal Kerja, hal ini
dapat dijabarkan sebagai berikut : •
Biaya pembangunan pencetakan tambak berasal dari  kredit koperasi yang nota bene adalah merupakan beban kredit Plasma.
• Pembangunan  saluran  irigasi  tambak  irigasi  untuk  pertambakan
pembiayaannya  dibantu  dari  dana  Pemerintah,  yaitu  untuk  pembangunan saluran  irigasi  tambak  pemasukan  primer  dan  sekunder  dan  saluran
irigasi  tambak  pembuangan  sekunder  dan  tersier  dibiayai  dari Departemen  Transmigrasi  serta  untuk  saluran  irigasi  tambak  tersier
pemasukan dibiayai dari Direktorat Jenderal Perikanan. •
Biaya untuk operasional budidaya udang modal kerja berasal dari kredit koperasi yang merupakan beban kredit plasma.
2.  Dari Proses Produksi Perusahaan mendapat keuntungan dari penjualan sarana produksi  tambak  saprotam
seperti  benur,  pakan,  obat-obatan  dan  lain sebagainya.
3.  Perusahaan mendapat jaminan untuk mendapatkan udang hasil panen Plasma sesuai dengan Perjanjian Inti – Plasma.
4.  Perusahaan tidak mengeluarkan biaya upah kerja karena pinjaman biaya hidup untuk  setiap  musim  tanam  menjadi  beban  kredit  plasma  yang  nantinya  akan
dipotong pada saat panen. Keuntungan plasma sebagai peserta TIR
1.  Plasma secara  perorangan  tanpa agunan  bisa  mendapatkan fasilitas  pinjaman dana dari bank yang dipergunakan untuk mengelola usaha budidaya udang di
tambak. 2.  Plasma dengan cara mencicil kredit mempunyai prospek untuk dapat memiliki
tambak sendiri. Keuntungan Pemda dengan adanya proyek TIR
1.  Peluang untuk mendapatkan pendapatan asli daerah PAD, misalnya retribusi udang.
2.  Merupakan  pengembangan  wilayah,  karena  daerah  yang  sebelumnya merupakan  daerah  terisolir  dapat  menjadi  sentra  ekonomi  baru.  Hal  ini
ditunjang  karena  adanya  pembangunan  jalan,  permukiman  transmigrasi, fasilitas umum dan lain sebagainya.
3.  Adanya multiplier effects sehingga membuka kesempatan lapangan kerja baru seperti misalnya :
-  Terjadinya  peningkatan  aktifitas  masyarakat  setempat  yang  bekerja menjadi  buruh  bongkar  muat  barang  dengan  kapasitas  yang  cukup  besar
secara kontinyu dalam menunjang kegiatan operasional proyek. -  Terjadinya  peningkatan  jumlah  alat  transportasi  baik  darat  maupun  air
dalam  menunjang  aktifitas  masyarakat  seiring  dengan  pertambahan jumlah penduduk.
-  Tumbuhnya  jenis  usaha  baru  di  lingkungan  proyek  seperti  pedagang makanan  dan  minuman,  usaha  pengumpul  udang  liar  hasil  tambak,
pertukangan, perbengkelan dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian mengenai dampak positif dengan keberadaan  proyek tersebut,
maka  dalam  rangka  upaya  untuk  mengoperasikan  kembali  proyek  perintis  TIR transmigrasi  Jawai  perlu  dilakukan  suatu  pengkajian  tinjauan  ulang  review
tentang pelaksanaan pengelolaan proyek. Mekanisme proses pencairan kredit
Salah  satu  tahap  dalam  pelaksanaan  pola  TIR  dalam  rangka  memenuhi pendanaan  untuk  operasional  budidaya  udang  adalah  pengajuan  kredit  kepada
perbankan. Pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai pelaksanaan akad kredit dilakukan  oleh  dan  atas  nama  plasma,  sedangkan  perusahaan  inti  berkewajiban
membantu proses pencairan kredit untuk plasma dan bertindak sebagai penjamin afalist.
Dari  proses  pencairan  dan  status  akad  kredit  tersebut  ternyata  menjadi awal dari permasalahan konflik yang sering terjadi dilapangan. Hal ini disebabkan
karena  faktor  perbedaan  persepsi  dari  perusahaan  inti  maupun  plasma.  Pihak perusahaan inti berpendapat bahwa sebagai afalist apabila terjadi kegagalan maka
pihak  inti  yang  akan  bertanggung  jawab  menanggung  kerugian.  Sedangkan  di pihak plasma berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian maka plasma yang akan
menanggung  hutang.  Dengan  adanya  konflik  karena  perbedaan  persepsi  tersebut pada  prakteknya  di  lapangan  berdampak  terhadap  pembinaan  teknis  budidaya
udang  yang  dilakukan  oleh  petugas  penyuluh  lapangan  PPL  yang  nota  bene berstatus sebagai karyawan perusahaan inti. Hal ini tentunya akan menjadi serius
mengingat  keberhasilan  proyek  ini  sangat  bergantung  dari  tingkat  keberhasilan budidaya  udang  dalam  mencapai  target  produksi.  Skema  alur  pelaksanaan
pencairan  kredit  Proyek  Perintis  TIR  Transmigrasi  jawai  dapat  dilihat  pada Gambar 7.
Gambar 7. Skema alur pelaksanaan proses pencairan kredit Berdasarkan  permasalahan  tersebut  diatas,  maka  perlu  kajian  ulang
review mengenai proses pencairan dan status akad kredit agar tidak terjadi friksi
di lapangan yang akan dapat menjadi faktor penyebab kegagalan proyek.  Solusi yang  dapat  dilakukan  adalah  perusahaan  inti  yang  melakukan  akad  kredit  dan
sekaligus  sebagai  penjamin  afalist.  Hal  ini  berarti  mengandung  konsekuensi bahwa  perusahaan  inti  bertanggung  jawab  penuh  terhadap  proses  pengembalian
kredit. Kompensasi yang diberikan kepada perusahaan inti  akibat dari pengalihan status kredit tersebut adalah: perusahaan inti diberi wewenang menjadi komandan
di lapangan selama kredit belum lunas. Pemberian wewenang disini harus diatur dan  dibatasi  agar  tidak  menjadi  otoriter  tetapi  dalam  konteks  sebagai  upaya
pelunasan  kredit  sesuai  dengan  jadwal  waktu  yang  telah  ditetapkan.  Skema  alur pencairan kredit yang direkomendasikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Bank Indonesia Kredit KKPA
BPD Kalbar Bank Pelaksana
KUD Cipta Bina Sejahtera Plasma Akad Kredit
Calon Pemilik Tambak LUNAS Pemilik Tambak
Perusahaan Inti Penjamin Afalist
Pembinaan  PPL
Gambar 8. Skema alur pencairan kredit yang direkomendasikan
Mekanisme pengelolaan Kemitraan  adalah  suatu  set  kelembagaan  dan  rencana-rencana  organisasi
yang  menentukan  bagaimana  pihak-pihak    yang  terlibat  stakeholder bekerjasama. Sebuah rencana kemitraan bukanlah struktur hukum tentang hak dan
peraturan  yang  statis,  tetapi  merupakan  proses  yang  dinamis  untuk  menciptakan struktur
kelembagaan baru.
Sebagai  sebuah proyek
perintis, dalam
pelaksanaannya  proyek  TIR  Transmigrasi  Jawai  belum  mempunyai  konsep  pola pengelolaan  yang  pasti  sehingga  dalam  perkembangannya  proyek  ini  sudah
banyak  mengalami  perubahan  dalam  mekanisme  pengelolaannya.  Perubahan tersebut  dimaksudkan  agar  proyek  ini  diharapkan  dapat  menemukan  pola
pengelolaan yang terbaik. Pada  pelaksanaannya  mekanisme  pengelolaan  proyek  TIR  transmigrasi
Jawai lebih banyak tergantung pada hasil negosiasi kesepakatan antara perusahaan inti dan plasma KUD, hal ini tentunya suatu saat dapat menjadi kendala apabila
terjadi  kemacetan  dead  lock  dalam  mencapai  kesepakatan  tersebut.  Dalam kasus-kasus  tertentu  apabila  terjadi  permasalahan  di  lapangan  Pemerintah  Pusat
atau Pemerintah Daerah selaku pembina proyek TIR transmigrasi  berperan  serta melakukan  pertemuan  sebagai  mediator  dalam  menyelesaikan  permasalahan
tersebut.    Mekanisme  pengelolaan  pada  pelaksanaan  proyek  perintis  TIR transmigrasi Jawai dapat dilihat pada Gambar 9.
Bank Indonesia Kredit KKPA
Bank Kalbar Bank Pelaksana
Perusahaan Inti Akad Kredit  Penjamin
Pembinaan PPL Calon Pemilik Tambak
LUNAS Pemilik Tambak KUD Cipta Bina Sejahtera
Gambar 9. Mekanisme pelaksanaan pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai Pada  Gambar  9  terlihat  bahwa  badan  pengelola  merupakan  kepanjangan
tangan dari perusahaaan inti di lokasi proyek. Tugas pokok badan pengelola disini lebih  dititik  beratkan  terhadap  kegiatan  operasional  budidaya  udang,  sedangkan
permasalahan  yang  menyangkut  pengambilan  kebijakan  policy  adalah  menjadi kewenangan  kantor  pusat  perusahaan  inti.  Namun  di  lapangan  badan  pengelola
ternyata  tidak  hanya  dihadapkan  pada  permasalahan  teknis  saja  tetapi  juga menangani  permasalahan  sosial  yang  akhirnya  pada  prakteknya  permasalahan
sosial  ternyata  lebih  banyak  menyita  waktu  dan  perhatian  dari  badan  pengelola. Kondisi  seperti  ini  tentunya  menjadi  tidak  kondusif  dalam  pengelolaan  proyek
mengingat keberhasilan operasional teknis budidaya udang merupakan tolok ukur dalam  mencapai  keberhasilan  proyek.  Berdasarkan    pengalaman  yang  terjadi  di
lapangan pada pelaksanaan proyek, beberapa permasalahan mendasar yang masih harus ditindak lanjuti  yaitu 1 siapa yang berhak menjadi wasit apabila salah satu
pihak  melakukan  wan  prestasi  atau  kelalaian,  2  seberapa  jauh  kewenangan  dari keterlibatan  institusi  pemerintah  yang  terkait  dan  3  seberapa  jauh  sanksi  dapat
diterapkan,  hal  ini  menjadi  pertanyaan  mengingat  pada  prakteknya  dilapangan terjadi  kesulitan  untuk  menjatuhkan    sanksi  kepada  salah  satu  pihak  yang
melakukan wan prestasi kelalaian.
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
BPD Kalbar
Perusahaan INTI
Suplier KUD
Badan Pengelola Perusahaan Inti
Operasional Budidaya Petani Tambak
Plasma
Secara prinsip permasalahan tersebut adalah diakibatkan karena 1 adanya kerancuan  atau  tidak  jelasnya  aturan  rules  yang  berlaku  pada  proyek  perintis
TIR transmigrasi Jawai, 2 adanya faktor kepentingan yang berbeda dari masing- masing  pihak.  Sebagai  solusi  untuk  mengatasi  hal  tersebut  adalah  dengan  jalan
perlu di bentuk suatu lembaga yang dinamakan forum komunikasi yang berfungsi sebagai  wadah  untuk  mengakomodir    pihak-pihak  yang  berperan  stakeholder
dalam  menyampaikan  aspirasinya.  Lembaga  forum  komunikasi  ini  adalah merupakan  tempat  untuk  melakukan  proses  pengambilan  keputusan  tertinggi
dalam  lingkup  proyek  yang  berfungsi  untuk  membuat  suatu  aturan,  kesepakatan dan  juga  penerapan  sanksi.  Oleh  karena  itu  yang  menjadi  anggota  dari  forum
komunikasi  adalah  pemerintah  pusatdaerah,  perusahaan  inti,  KUD,  badan pengelola,  perbankan,  konsultan  pendamping,  perwakilan  kelompok  plasma.
Dengan demikian  output dari forum komunikasi ini  digunakan sebagai pedoman baku  guidelines  bagi  semua  pihak  stakeholder  dalam  melaksanakan  dan
memonitor kegiatan pengelolaan proyek. Karena  pentingnya  lembaga  forum  komunikasi  ini  dalam  menunjang
keberhasilan  proyek,  maka  yang  perlu  digaris  bawahi  adalah  perlu  adanya konsultan  yang  profesional  dibidangnya  sebagai  leader  dan  sekaligus  sebagai
pendamping  dalam  lembaga  ini  mengingat  keterbatasan  sumberdaya  manusia yang  ada  di  daerah.  Pengalaman  pada  proyek  TIR  transmigrasi  Jawai
menunjukkan  bahwa  dengan  adanya  pendampingan  yang  dilakukan  oleh konsultan  pada  pelaksanaannya  telah  berhasil  melakukan  beberapa  kesepakatan
yang menjadi acuan pelaksanaan proyek namun sayangnya keberadaan konsultan tersebut  tidak  berlangsung  lama.  Gambaran  yang  direkomendasikan  mengenai
konsep  tentang  mekanisme  pengelolaan  proyek  TIR  transmigrasi  Jawai  sebelum lunas kredit dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mekanisme pengelolaan proyek sebelum lunas kredit Pada  Gambar  10  dapat  dilihat  bahwa  badan  pengelola  masih  merupakan
kepanjangan  tangan  dari  perusahaaan  inti  di  lokasi  proyek,  namun  peran  badan pengelola  disini  selain  harus  berkoordinasi  dengan  perusahaan  inti  juga  sudah
harus  melaksanakan  keputusan  yang  telah  diambil  oleh  lembaga  forum komunikasi.  Dalam  mengantisipasi  dan  melaksanakan  peran  tersebut  lembaga
badan  pengelola  harus  menciptakan  sistem  kerja  yang  lebih  profesional    baik dalam  lingkup  internal  organisasi  badan  pengelola  maupun  ke  perusahaan  inti.
Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi didalam organisasi badan pengelola dapat dilihat pada Gambar 11.
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Bank Konsultan
FORUM KOMUNIKAS
I
KUD Perusahaan
Inti Suplier
OUTPUT :
- Aturan  Kesepakatan - Sanksi dan lain-lain
Badan Pengelola Perusahaan Inti
Petani Tambak Plasma
Operasional Budidaya
WEEKLY MEETING WEEKLY MEETING
WEEKLY MEETING PIMPINAN
PERTEMUAN BULANAN
PERTEMUAN MINGGUAN
LAPORAN KE MANAJEMEN
-KERJASAMA DARI SEMUA SEKSI
- USULAN JADWAL PERENCANAAN
- MASUKAN INFORMASI DAN GAGASAN
- DISKUSI PERMASALAHAN DAN
KENDALA
KEPUTUSAN  KEBIJAKAN KEPUTUSAN DIAMBIL BERDASARKAN
KAJIAN PERMASALAHAN PROYEK SECARA MENYELURUH OLEH SEMUA
KEPALA SEKSI PELAKSANAAN APLIKASI PEKERJAAN
SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG TELAH DIAMBIL
PERTEMUAN MINGGUAN BERIKUTNYA MENGKAJI PERMASALAHAN SEBELUMNYA
DAN MENGAGENDAKAN KEMBALI PERMASALAHAN PROYEK
LAPORAN
Gambar 11. Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi Lingkup kegiatan operasional budidaya di lokasi proyek yang merupakan
tugas dari badan pengelola bukan hanya terfokus dalam hal teknis budidaya udang saja  tetapi  lebih  luas  lagi  yaitu  meliputi  pengajuan  program,  pelaporan,
perhitungan  hasil  panen plasma  dan  lain-lain.  Oleh  karena  itu  dalam  menunjang kelancaran  operasional  dilapangan  diperlukan  sistem  koordinasi  kerja  yang  baik
dalam  hal  usulan  anggaran  antara  badan  pengelola  dengan  kantor  pusat perusahaan  inti.  Pada  Gambar  12  dapat  dilihat  mekanisme  prosedur  pengesahan
anggaran dari badan pengelola kepada perusahaan inti.
Rencana Anggaran Biaya Dari Masing-
Masing Bagian
Pengolahan Data
Analisis Keuangan
ACC ACC
Site Manager
Tidak
Ya Tidak
Usulan Anggaran Operasional Lapangan
Ya
Kantor Pusat Perusahaan
Inti Distribusi ke
Masing- masing Bagian
Analisis Keuangan
ACC
Tidak
Direksi
Ya
Disahkan
Tidak
Pedoman Kerja
Ya
Gambar 12. Prosedur pengesahan anggaran
Selama  pelaksanaan  proyek  perhatian  lebih  banyak  terfokus  kepada bagaimana kredit tersebut dapat lunas sesuai dengan target waktu yang ditetapkan,
namun  kajian    mengenai  konsep  mekanisme  pengelolaan  proyek  perintis  TIR transmigrasi  Jawai  pasca  lunas  kredit  belum  dipersiapkan.    Kajian  mengenai
konsep  pengelolaan  proyek  pasca  pelunasan  kredit  tersebut  sudah  harus dipersiapkan  jauh  hari  sebelumnya    karena  1  dimaksudkan  agar    KUD  dan
plasma  pada  saatnya  sudah  siap  menggantikan  posisi  perusahaan  inti  sehingga kontinuitas  operasional  budidaya  tetap  dapat  berlangsung,  2  pengelolaan
budidaya  udang  dalam  satu  kawasan  memerlukan  kerjasama  yang  terpadu  antar plasma dan 3 adanya infrastruktur seperti petak tambak, saluran irigasi dan lain-
lain yang sudah dibangun memerlukan biaya perawatan secara berkala. Gambaran
konsep  mengenai  mekanisme  pengelolaan    model  TIR  pasca  lunas  kredit  dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Mekanisme pengelolaan pasca lunas kredit Secara  ringkas  dapat  dijelaskan  bahwa  pada  fase  pasca  pelunasan  kredit,
posisi perusahaan inti sudah digantikan oleh KUD. Pada fase ini kemitraan antara KUD dengan mantan perusahaan inti tidak selalu harus terputus. Beberapa bentuk
pola  kemitraan  masih  mungkin  dapat    dilakukan  diantaranya  1  pola  kemitraan dengan  kesepakatan  jaminan  penyediaan  sarana  produksi  dan  pemasaran  output
dan  kontrak  harga,  2  pola  kemitraan  yang  hanya memiliki  kesepakatan jaminan penyediaan produksi dan pemasaran output atau 3 hanya sebagai penyedia sarana
produksi. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa kedudukan lembaga badan pengelola
lebih  independent  dibandingkan  dengan  pada  saat  fase  sebelum  lunas  kredit karena tidak berada dibawah garis koordinasi KUD. Dengan kedudukan seperti itu
maka badan pengelola sudah mempunyai otoritas sebagai komandan di lapangan, hal ini disebabkan karena badan pengelola merupakan lembaga yang mempunyai
tugas  melaksanakan  hasil  keputusan  dari  lembaga  forum  komunikasi  yang
Konsultan Bank
KUD Suplier
Mantan Perush. Inti
atau Swasta lain
Pemerintah Daerah
FORUM KOMUNIKASI
Petani Tambak Plasma
OUTPUT : - Aturan  Kesepakatan
- Sanksi dan lain-lain Badan Pengelola
Operasional Budidaya Pemerintah
Pusat
merupakan otoritas tertinggi dalam ruang lingkup proyek. Oleh karena itu badan pengelola  mempunyai  kewenangan  sebagai  eksekutor  untuk  menjatuhkan  sanksi
di lapangan sesuai dengan aturan yang berlaku dan harus dipertanggung jawabkan pada  lembaga  forum  komunikasi.  Struktur  organisasi  badan  pengelola  sebagai
komandan lapangan tersebut dapat dilihat pada gambar 14.
BUDIDAYA DAN KEUANGAN
ASISTEN TEKNIK
BAGIAN UMUM
PRODUKSI KEAMANAN
KEUANGAN ADMINISTRASI
SITE MANAGER BADAN PENGELOLA
FORUM KOMUNIKASI
AUDIT KONSULTAN
MEKANIK LABORATORIUM
KEPALA UNIT KEPALA BLOK
PLASMA LOGISTIK
Gambar 14. Struktur organisasi badan pengelola Secara umum dapat dikatakan bahwa peran lembaga badan pengelola baik
pada  fase  sebelum  dan  sesudah  lunas  kredit  menjadi  salah  satu  faktor  yang penting dalam menentukan keberhasilan proyek. Hal ini disebabkan karena peran
yang strategis dari badan pengelola, yaitu; 1  badan  pengelola  adalah  lembaga pengambil keputusan di lapangan yang menentukan waktu pelaksanaan penebaran
benur,  panen  dan  lain  sebagainya  yang  akhirnya  akan  mempengaruhi  performa cash  flow
keuangan  proyek,  2    badan  pengelola  bertanggung  jawab  terhadap pembinaan  teknis  budidaya  udang  yang  dampaknya  akan  langsung  berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan proyek, 3 badan pengelola merupakan lembaga di lapangan yang membuat program kerja yang termuat dalam usulan anggaran yang
akan  menentukan  performa  kinerja  operasional  proyek,  dan  4  profesionalisme kerja  badan  pengelola  dalam  hal  stock  input  dan  output  barang  akan  berdampak
positif untuk mengetahui performa analisis labarugi per petak tambak pada setiap saat dalam pengambilan keputusan waktu panen. Untuk mengantisipasi peran dari
badan  pengelola  yang  strategis  tersebut  diperlukan  pola  sistim  kerja  baku  yang meliputi tugas dan tanggung jawab job description dari masing-masing  bagian.
Pada  Gambar  15  memperlihatkan  implementasi  pelaksanaan  tugas  dan  tanggung jawab job description dari masing-masing bagian pada badan pengelola.
Rencana Pengelolaan
Produksi Rencana
Pelaksana Rencana
Daftar Kebutuhan
Bahan Rencana
Alokasi Input Harian
Aktivitas Monitoring
Pertumbuhan Stock
Rekap Data Mingguan
Internal Estimasi
Pertumbuhan Kebutuhan
Input Rekap Data
Komulatif InputSiklus
Rencana Operasional
Laporan Output Aktivitas
Pemberian Pakan Harian
Aktivitas Manajemen
Kualitas Air Status
Kemajuan Efisiensi
Pemakaian Input
Estimasi Produksi
Distribusi Kumulatif
InputOutput Integrasi Input
Fisik dan Input Finance
Kalkulasi Biaya Produksi
Terima  Pakai Barang
Rekap Kartu Stock
Site Manager
Kepala Unit
Kepala Blok PPL
Penggarap Plasma
Pengawas Budidaya
Akunting Logistik
Gambar 15. Implementasi job description badan pengelola
Upaya mengoperasikan kembali TIR Transmigrasi Jawai Sebelum  mengkaji  kelembagaan  dalam  upaya  untuk  mengoperasikan
kembali  proyek  TIR  Transmigrasi  Jawai,  ada  beberapa  hal  yang  perlu diperhatikan  terlebih  dahulu  yaitu  1  status  kepemilikan  lahan  tambak  harus
diperjelas  mengingat  sertifikat  lahan  tambak    pada  saat  akad  kredit  adalah  atas nama plasma. Status kepemilikan lahan tambak adalah milik Bank Kalbar, hal ini
dikarenakan  proyek  ini  sampai  dengan  saat  ini  dalam  kondisi  stagnan  sehingga dapat dikategorikan sebagai kredit macet, 2 status hutang plasma harus diperjelas
mengingat  sampai  dengan  saat  ini  belum  ada  plasma  yang  berhasil  melunasi kredit. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pembahasan mengenai status hutang
plasma, namun status hutang plasma tentunya akan menjadi pertimbangan Pemda Bank Kalbar dalam mengambil keputusan dalam rangka untuk mengoperasikan
kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai. Menurut  Yulianto  1997,  kegagalan  produksi  menyebabkan  pelaku
agribisnis  melakukan  penyesuaian  kelembagaan.  Kelembagaan  tersebut menekankan  pada  hubungan  principal  agent,  yang  pada  taraf  operasional
ditetapkan  melalui  sistem  kontrak  baik  formal  maupun  informal.  Kondisi  ini menyebabkan  principal  mau  mendistribusikan  resiko  dan  manfaat  kepada  agent.
Selanjutnya  dijelaskan  bahwa  model  kontrak  usaha  tambak  contract  farming dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu 1 kontrak menurut model TIR, yaitu
kerjasama  antara  perusahaan  sebagai  inti  dan  petambak  sebagai  plasma,  2 kontrak  menurut  hubungan  sistem  bagi  hasil  formal  yang  selanjutnya  disebut
sebagai  kerjasama  operasional  KSO  yaitu  kerjasama  antara  petambak  dengan perusahaan  menurut  perjanjian  tertentu,  dan  3  kontrak  menurut  hubungan
tradisional  yaitu  kerjasama  antara  petambak  dengan  pedagang    tengkulak  yang berlangsung  secara  informal.  Selain  kontrak  yang  telah  disebutkan  diatas,  masih
ada  kontrak usaha tambak  yang  umum  dilakukan  yaitu  sewa  lahan,  yaitu bentuk kerjasama  yang  dilakukan    oleh  petambak  dengan  jalan  menyewakan  lahan
tambak  miliknya    kepada  perusahaan  atau  perorangan.  Berikut  ini  apabila diasumsikan  bahwa  plasma  sebagai  pemilik  lahan  tambak,  maka  berdasarkan
kajian  struktur  kelembagaan  terhadap  model  kontrak  usaha  tambak  contract farming
dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut:
Kelembagaan contract farming model TIR 1.  Batas  yuridiksi,  menunjukkan  bahwa  inti  memegang  kewenangan  penuh
dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran. 2.  Hak  kepemilikan,  menunjukkan  sebelum  kredit  lunas  maka  lahan  masih
dikuasai oleh perusahaan inti sebagai penjamin kredit. Harga udang ditentukan oleh  inti,  sehingga  harga  jual  udang  yang  tinggi  merupakan  insentif    bagi
plasma untuk memiliki tambak. 3.  Aturan  representasi,  menunjukkan  bahwa  plasma  tidak  dapat  memutuskan
sendiri  berkaitan  dengan  usaha  budidaya  udang  karena  terikat  dengan  aturan main rules yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa perusahaan inti lebih banyak mempunyai  kewenangan  dalam  pengambilan  keputusan,  hal  ini  mengingat
perusahaan inti sebagai penjamin kredit mempunyai resiko lebih besar dibanding plasma  karena    plasma  pada  dasarnya  belum  mempunyai  agunan  baru  calon
pemilik tambak. Kelembagaan contract farming KSO
1.  Batas  yuridiksi,  sama  dengan  model  TIR  yaitu  bahwa  inti  memegang kewenangan penuh dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran.
2.  Hak  kepemilikan,  menunjukkan  bahwa  sumberdaya  tidak  dimiliki  oleh perusahaan,  tetapi  harga  udang  ditentukan  oleh  perusahaan  dan  plasma  tidak
berhak menjual kepada pihak lain. 3.  Aturan  representasi,  menunjukkan  bahwa  plasma  tidak  dapat  memutuskan
sendiri  berkaitan  dengan  usaha  budidaya  udang  karena  terikat  dengan  aturan main rules yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa inti masih memiliki kewenangan dalam  mengambil  keputusan  dalam  hal  harga  udang  dan  teknologi.  Sistim  bagi
hasil  yang  diterapkan  sudah  menunjukkan  upaya  pendistribusian  resiko,  namun resiko  lebih  besar  masih  condong  kepada  perusahaan  inti  mengingat  kerugian
yang harus ditanggung  bila terjadi gagal panen.
Kelembagaan contract farming hubungan tradisional 1.  Batas  yuridiksi,  menunjukkan  bahwa  tengkulak  mempunyai  kewenangan
penuh  dalam  keputusan  meminjamkan  kuantitas  sarana  produksi.  Plasma mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan aktifitas budidaya.
2.  Hak kepemilikan, menunjukkan sumberdaya lahan dimiliki oleh plasma tetapi tengkulak  mempunyai  klaim agar  plasma  tidak  menjual  udang  ke  pihak  lain.
Apabila ketentuan ini dilanggar, maka tengkulak akan memutuskan kerjasama pada musim tanam berikutnya.
3.  Aturan  representasi,  menunjukkan  bahwa  plasma  mempunyai  kewenangan dalam hal aktifitas budidaya, namun jumlah input sarana produksi merupakan
kewenangan tengkulak. Berdasarkan  hal  tersebut  diatas,  menunjukkan  bahwa  plasma  dan  tengkulak
memiliki  kewenangan  sesuai  dengan  kepemilikannya  dan  sudah  terbentuk kepercayaan antara satu sama lain.
Kelembagaan contract farming sewa 1.  Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan penuh
dalam  melaksanakan  aktifitas  budidaya  sedangkan  plasma  sudah  tidak mempunyai kewenangan lagi.
2.  Hak  kepemilikan,  menunjukkan  bahwa  sumberdaya  masih  dimiliki  oleh plasma tetapi penyewa mempunyai kewenangan untuk memutuskan penjualan
udang. 3.  Aturan  representasi,  menunjukkan  bahwa  penyewa  mempunyai  kewenangan
penuh  atas  aturan  dalam  aktifitas  budidaya  sebagai  kompensasi  atas pembayaran sewa lahan.
Berdasarkan  hal  tersebut  diatas,  menunjukkan  bahwa  penyewa  mempunyai kewenangan  penuh  atas  aktifitas  kegiatan  budidaya  sedangkan  plasma
memperoleh imbalan berdasarkan kesepakatan nilai harga sewa. Berdasarkan  uraian  diatas,  maka  dari  segi  pengendalian  resiko  dalam
kerangka  contract  farming  pada    kontrak  usaha  model  TIR,  KSO,  hubungan tradisional dan sewa menunjukkan bahwa pihak plasma memperoleh kemudahan
dalam  hal  penjualan  hasil  produksi  dan  memperoleh  input  produksi.  Pihak perusahaan  dalam  model  TIR  melakukan  pengendalian  resiko  melalui  aktififitas
budidaya  yang  dilakukan  oleh  plasma  dengan  melakukan  pembinaan  teknis budidaya  yang dibagi dalam sistim kelompok, blok dan unit.
Secara  ringkas  kerangka  kelembagaan  menurut  model  kontrak  usaha tambak  dapat  dijelaskan  sebagai  berikut  1  Model  TIR  membagi  resiko  dengan
jalan  struktur  kontrak  yang  berisi  hak  dan  kewajiban,  insentif  dan  sanksi,  2 Model KSO melakukan pendistribusian resiko dengan jalan memberikan insentif
terhadap  pekerja,  3  Model  hubungan  tradisional  melakukan  penjaminan  resiko melalui  peminjaman  kapital  yang  mengakibatkan  ikatan  kepada  plasma  dan  4
Model sewa melakukan pengalihan resiko melalui kesepakatan harga nilai sewa. Diantara empat model kontrak tersebut, model kontrak usaha TIR  secara
implisit  dalam  aturan  main  rules  of  the  games  menyatakan  bahwa  salah  satu orientasi  usaha  ini  adalah  dalam  rangka  untuk  kepemilikan  tambak  oleh  plasma.
Model kontrak usaha KSO dan sewa dapat diatur sedemikian rupa dimodifikasi sehingga  kesepakatan  dalam  aturan  main  sudah  memasukan  komponen  cicilan
tambak oleh plasma. Oleh karena itu pada kontrak KSO dan sewa biasanya waktu yang  dibutuhkan  plasma  untuk  memiliki    tambak  sendiri  bersifat  statis  tetap
karena  sudah  ditentukan  sebelumnya.  Sedangkan  model  kontrak  usaha  TIR, plasma  dapat  memiliki  tambak  sendiri  lebih  cepat  dari  target  waktu  yang  telah
ditetapkan,  yaitu  apabila  plasma  memperoleh  keuntungan  yang  besar  dari  hasil panen  maka  plasma  tersebut  dapat  menyisihkan  sebagian  keuntungannya  untuk
mencicil tambak lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan.  Berdasarkan uraian tersebut, maka model kontrak usaha TIR adalah yang paling tepat diterapkan pada
proyek  perintis  TIR  transmigrasi  Jawai  karena  tujuan  utama  program  pola  TIR adalah dalam rangka plasma dapat memiliki tambak sendiri.
Dalam  rangka  upaya  untuk  mengoperasikan  kembali  proyek  TIR Transmigrasi  Jawai,  maka  beberapa  alternatif  kemungkinan  yang  dapat  diambil
oleh Pemda  Bank Kalbar adalah sebagai berikut : a. Dikelola oleh Pemerintah Daerah  Bank Kalbar.
-  Secara  keseluruhan  total  dikelola  oleh  Pemda    Bank  Kalbar,  alternatif  ini dirasakan sulit dilaksanakan mengingat keterbatasan dana yang dimiliki.
-  Sebagian  dikelola  oleh  Pemda    Bank  Kalbar  yang  sumber  pembiayaannya diharapkan dari hasil penerimaan KSO dan atau sewa.
-  Dalam  rangka  keberlanjutan  usaha,  maka  sebagian  10  petak  tambak  dapat dijadikan  sebagai  petak  percobaan  untuk  tujuan  research  and  development
RD. b. Menerapkan model TIR dengan mendatangkan investor sebagai inti.
- Penerapan model TIR dapat dilakukan secara total atau sebagian. - Kemungkinan dapat terjadi ada beberapa perusahaan inti dalam satu kawasan
proyek. b. Melakukan kerjasama operasional KSO dengan pihak ketiga.
- KSO dengan pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian. -  Pemda    Bank  Kalbar  dalam  hal  ini  menerima  bagi  hasil  berdasarkan
penyertaan  modal  sharing  berupa  aset  tambak,  oleh  karena  itu  diperlukan lembagabadan  yang  bertugas  untuk  memonitor  pelaksanaan  kerjasama
tersebut. c. Disewakan dengan Pihak Ketiga.
- Disewakan kepada pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian. -  Pemda  dalam  hal  ini  menerima  hasil  berdasarkan  kesepakatan  harga  nilai
sewa. Untuk menunjang langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemda  Bank Kalbar ,
maka  yang perlu  diperhatikan  adalah  setiap  keputusan  model kontrak  yang  akan diambil    adalah  harus  berdasarkan  per  blok,  hal  ini  disebabkan  karena  sistem
pengelolaan tata air tambak di lokasi proyek adalah dengan menggunakan pompa yang  kemudian  dialirkan  ke  masing-masing  petak  dalam  satu  blok  bukan  satu
pompa untuk satu petak. Berdasarkan  uraian  tersebut  diatas,  maka  langkah  strategis  yang  harus
diambil  oleh  Pemda  adalah  membentuk  badan  pengelola  yang  bertugas    sebagai lembaga  yang  bertanggung  jawab  selain  untuk  mempersiapkan  upaya
mengoperasikan  kembali  TIR  transmigrasi  Jawai  juga  nantinya  akan  bertugas untuk memonitor pelaksanaan operasional dilapangan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Akibat  karena  adanya  tambak  yang  terkena    abrasi,  maka  sisa  petak tambak  yang  layak  operasional  sebanyak  247  petak,  tetapi  yang  akan
dikembangkan untuk operasional budidaya adalah 237 petak sedangkan 10 petak diperuntukan  sebagai  fasilitas  petak  penelitian  research  and  development.
Secara bioteknis proyek TIR Transmigrasi Jawai adalah layak untuk dioperasikan. Berdasarkan  hasil  perhitungan  analisis  daya  dukung  kawasan  diperoleh  luas
tambak    lestari  adalah  93,23  ha  atau  setara  dengan  207  petak  tambak  atau  55 dari luas tambak yang pernah dibangun pada proyek TIR transmigrasi Jawai yaitu
376  petak  tambak.  Pelaksanaan  operasional  budidaya  udang  yang  direncanakan dilakukan  pada  247  petak  tambak  tersebut  harus  dilakukan  berdasarkan
pengaturan  pola  tanam  sehingga  akan  didapatkan  beban  puncak  jumlah  petak tambak    yang  operasional  berkisar  antara  164  sampai  165  petak  yang  berarti
masih dibawah dari batas luas tambak lestari. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan re design tata
letak  tambak    sebesar  Rp.  20.776.442.122,  sedangkan  total  biaya  operasional proyek  sebesar  Rp.  31.735.908.000  Permodalan  untuk  biaya  investasi  tersebut
diasumsikan  diperoleh dari  pinjaman  bank.  Hasil  analisis  finansial  menunjukkan bahwa nilai net present value NPV pada tingkat suku bunga 16 adalah sebesar
Rp.  34.416.184.000.  Nilai  net  benefit  cost  ratio  Net  BC  sebesar  1,10.  Nilai internal rate of return IRR sebesar 30.68. Biaya titik impas BEP sebesar Rp.
26.466kg yaitu tercapai pada produksi 3,629 tonpetak. Karakteristik   produktifitas  plasma  berdasarkan  analisis  hasil perhitungan
indeks Moran I didapatkan mengarah kepada autocorrelation positif yang berarti pada  pelaksanaan  proyek  terjadi  interaksi  searah  antar  petak  tambak  yang
berdampingan.  Nilai  indeks  Moran  tertinggi  berdasarkan  periode  musim  tanam didapatkan  pada  periode  II  sedangkan  berdasarkan  tahun  didapatkan  pada  tahun
1994. Dari segi   mekanisme pengelolaan proyek, perlu dibentuk lembaga yang
dinamakan  forum  komunikasi  yang  berfungsi  sebagai  wadah  untuk  membuat