Sisi Negatif dan Positif Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

pada tahap ini, tugas lembaga bantuan hukum hanya memonitor saja karena tidak dapat mengintervensi tugas dan wewenang penyidik. 152 Menurut Elisabeth Juniarti Perangin-angin, efektif atau tidaknya Peraturan Pemerintah itu tergantung pada tujuan pelaksanaannya yang dilakukan secara cermat dan tegas. Jika aturan tersebut dirasa kurang memadai maka aturan lain dapat dituangkan dalam bentuk perundang- undangan baru yang lebih detail. Apabila pemerintah mengatur melegalkan aborsi tidak perlu ada batasan usia kehamilan, sepanjang di atur aturan yang sangat ketat bagi pelaksanaannya. 153

C. Sisi Negatif dan Positif Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

Perkosaan Adanya aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menghadirkan pro dan kontra ditengah masyarakat. Peraturan Pemerintah PP tersebut secara umum dikenal dengan ‘PP Aborsi’, padahal tidaklah semua materi dari PP tersebut mengatur mengenai legalisasi aborsi, melainkan juga meliputi pelayanan kesehatan ibu serta reproduksi dengan bantuan atau kehamilan diluar cara alamiah. Aborsi, khususnya terhadap kehamilan akibat perkosaan terus menuai kritikan. Di Indonesia, undang-undang mengenai aborsi sudah ada sejak tahun 1918 yang dikeluarkan pemerintahan penjajahan Belanda. Pemerintahan Kolonial Belanda 152 Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015. 153 Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015. melihat bahwa praktik-praktik aborsi yang dilakukan tersebut dapat membahayakan nyawa perempuan hamil karena dilakukan dengan cara pijat tradisional. Pada dasarnya, undang-undang produk Belanda ini diteruskan maka oleh Pemerintah Indonesia melarang praktik aborsi meskipun acap kali praktik aborsi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan secara tertutup oleh sejumlah oknum. Perdebatan mengenai aborsi masih berlangsung sementara teknik praktik aborsi berkembang sangat pesat. Ada yang menilai praktik aborsi tidak boleh dilakukan karena dianggap sebagai pembunuhan manusia, ada pula yang menilai boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang ketat karena menyangkut kesehatan ibu hamil dan masa depan bayi yang dikandungnya. Dan kini, perdebatan tentang aborsi kembali mencuat dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Seperti yang telah dipaparkan penulis dalam bab-bab sebelumnya, maka banyak sekali sisi negatif dan positif untuk dilakukannya tindakan aborsi bagi korban yang hamil akibat perkosaan. Adapun sisi negatif tersebut adalah : 1. Meskipun tujuan utama diperbolehkannya tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah untuk menghormati hak-hak wanita, namun masalah aborsi pada hakikatnya adalah identik dengan pembunuhan dan penghilangan hak hidup anak. Janin berhak untuk hidup. Karena sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan, maka telah terjadi proses kehidupan pada bayi tersebut. Didalam Undang-Undang Perlindungan Anak dikatakan pula bahwa yang termasuk didalam kategori anak adalah yang belum berusia 18 delapan belas tahun serta anak yang masih didalam kandungan. Hal ini berarti anak didalam kandungan tersebut sudah dilindungi oleh negara dari segala macam bentuk tindakan kekerasan, termasuk didalamnya pengguguran kandungan yang menyebabkan anak tersebut mati. Selain bertentangan dengan hak asasi manusia dan undang-undang perlindungan anak, hal ini juga bertentangan dengan moral dan ajaran agama tertentu, sehingga dapat dikatakan merupakan masalah sensitif keagamaan dan kemanusiaan. 2. Bertentangan dengan Sumpah Dokter butir 6 yang berbunyi, “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”, dan Kode etik Kedokteran Pasal 11 yang berbunyi, “Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dan atau janjinya”. Hal ini menjadi sangat dilematis mengingat dalam setiap tindakan aborsi wajib melibatkan dokter, ahli, atau tenaga medis sebagai eksekutor. Disatu sisi dokter disumpah untuk menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan dan berjanji menjaga keluhuran profesinya, disisi lain dokter diharuskan melanggar sumpahnya itu sendiri karena harus melaksanakan perintah undang-undang. Dengan demikian, pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini kelak berpotensi menimbulkan pertentangan hati dan nurani kemanusiaan. 3. Istilah dan pengertian ‘kehamilan akibat perkosaan’ dapat dimanipulasi atau disiasati oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti pelaku seks bebas dan hasil hubungan gelap yang ingin memanfaatkan celah tersebut untuk mudah melakukan aborsi. 4. Dengan melegalkan aborsi maka seolah-olah melegalkan kekerasan dan mendiskriminasi perempuan. 5. Melegalkan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sangat riskan dan rawan menumbuhsuburkan tindak kejahatan karena bukan merupakan jalan keluar untuk mengurangi tindak pidana perkosaan. 6. Meskipun penanganan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dilakukan oleh tenaga ahli, namun tidak menutup kemungkinan hal tersebut aman dan nyaman bagi perempuan yang melakukannya, melainkan terdapat pula kemungkinan untuk terjadinya rasa sakit yang hebat bagi perempuan itu baik fisik maupun psikologis pasca aborsi. 7. Dengan diterapkannya aborsi terhadap korban yang hamil akibat perkosaan tidak menjamin pulihnya psikologis dari korban, melainkan dapat menimbulkan trauma yang lebih mendalam manakala kelak korban tersebut akhirnya menyadari perbuatan aborsi yang tidak lain hal nya dengan membunuh anaknya sendiri. Penerapan aborsi terhadap korban yang hamil akibat perkosaan juga tidak menjamin korban untuk tidak dicemooh dan diasingkan dari lingkungan sosialnya. 8. Penerapan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini seolah-olah hanya sebagai jalan pintas yang ditawarkan oleh pemerintah bagi korban perkosaan. Aborsi tidak merupakan solusi yang baik bagi kehamilan akibat perkosaan karena mengenyampingkan hak hidup janin dan tidak menjadi solusi untuk mengurangi kejahatan perkosaan. Disamping sisi negatif di atas, disisi lain tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan mempunyai sisi positif, antara lain : 1. Jika dibaca secara teliti dan menyeluruh, sebenarnya ketentuan dan prosedur mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini sangatlah ketat. Dimulai dari pembuktian usia kehamilan berdasarkan surat keterangan dokter dan dengan pembatasan usia kehamilan yakni maksimal 40 empat puluh hari, selanjutnya keterangan dari penyidik, keterangan dari psikolog mengenai adanya dugaan perkosaan, konseling pra dan pasca aborsi. Jadi sebenarnya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 sudah cukup rinci mengatur prosedur tindakan aborsi yang harus dilakukan. Ketentuan mengenai eksekutornya pun sudah di atur secara terperinci didalam Peraturan Pemerintah tersebut. Jadi sebenarnya masyarakat tidak perlu takut dengan celah-celah yang dikhawatirkan dapat dimanipulasi pada Peraturan Pemerintah ini. 2. Perlindungan terhadap hak perempuan terkait kesehatan reproduksi. Bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas. 3. Adanya wadah untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan nyaman karena dilakukan oleh tim ahli dan dilakukan berdasarkan standart penanganan aborsi secara legal. Dengan demikian dapat mengurangi angka kematian ibu akibat aborsi ilegal yang tidak aman. 4. Sebagai jalan keluar terhadap permasalahan psikologis perempuan yang hamil akibat perkosaan. Dengan adanya ketentuan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan maka menghindarkan perempuan korban perkosaan dari rasa malu dan rasa trauma yang dapat berdampak bagi perempuan itu sendiri maupun bagi janin yang sedang dikandungnya. Seorang ibu yang terguncang akibat trauma psikologis yang hebat cenderung tidak memperdulikan kesehatannya serta asupan nutrisi bagi janinnya. 5. Sebagai antisipasi apabila anak hasil perkosaan tersebut lahir kelak ternyata masyarakat tidak siap menerima kehadirannya. Terlebih apabila anak tersebut sudah di cap sebagai anak haram yang tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain dilingkungan sekitarnya, serta perlakuan negatif lainnya. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan