Hak Wanita Korban Perkosaan

tentang hak asasi manusia. Oleh sebab itu pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, atau administratif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lain yang sesuai dengan konteks tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan, misalnya dengan mengacu pada KUHP KUHP atau peraturan yang lebih khusus. 119

C. Hak Wanita Korban Perkosaan

Korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif yang menderita kerugian akibat perbuatan yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian kerugian meliputi kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka. 120 Akibat dari terjadinya pelanggaran tentu mengakibatkan munculnya ketidakseimbangan dalam diri korban termasuk keluarganya, seperti ketidakseimbangan dari aspek finansial, apabila korban adalah tumpuan hidup keluarga, aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti beraktivitas, aspek psikis yang berwujud munculnya kegoncangan atau ketidakstabilan psikis baik temporer maupun permanen dari korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban keluarga sehingga dapat pulih kembali pada keadaan 119 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt51b887f23d74aapakah-undang-undang- harus-memuat-sanksi diakses pada tanggal 12 Februari 2015. 120 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti : 2005, hlm 82. semula, maka harus ditempuh berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan secara finansial, medis maupun psikis. 121 Secara teoritis bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan atau kerugian yang diderita oleh korban. Untuk kerugian yang bersifat mentalpsikis bentuk ganti rugi dalam bentuk materiuang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya apabila korban hanya menderita kerugian secara materil misalnya harta bendanya hilang, pelayanan yang bersifat psikis terkesan terlalu berlebihan. 122 1. Ganti rugi Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai merupakan bagian dari perlindungan kepada masyarakat, hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain : Delik pada umumnya tidak mengenal ganti rugi yang bersifat pidana. Hal ini terlihat dalam aturan umum KUHP yang tidak mengenal jenis pidana ganti rugi. Adanya kemungkinan ganti rugi dalam Pasal 14c KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana melainkan hanya sekedar syaratpengganti untuk menghindari menjalani pidana. 123 121 Dikdik M. Arief Mansur, dkk, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta, Grafindo Persada : 2007, hlm 160-161. 122 Ibid, hlm 165-166. 123 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm 89. Kemungkinan lain pemberian ganti rugi kepada korban dalam perkara pidana dalam Pasal 98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana. Dalam putusannya hakim berwenang menetapkan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan korban. Patut diperhatikan bahwa hukuman penggantian biaya yang dimaksud bersifat keperdataan, bukan sebagai sanksi pidana. 124 Konsep ganti kerugian jika dilihat dari sudut kepentingan korban mengandung dua manfaat yaitu pertama, untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan, dan kedua merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Tujuan inti dari pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat, dan tolok ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajibannya sebagai manusia. 125 2. Restitusi Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyebutkan, “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk 124 Ibid, hlm 86. 125 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta, Grahadika Press : 2004, hlm 65. kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.” Restitusi lebih diarahkan kepada tanggungjawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolok ukur yang digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan tidak mudah dalam merumuskannya karena tergantung pada status sosial pelaku dan korban. 126 3. Kompensasi Pasal 1 Angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyebutkan, “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.” Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Negara bertanggungjawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya, khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban kejahatan. Kompensasi merupakan bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum. 127 126 Rena Yulia, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Graha Ilmu : 2010, hlm 60. 127 Ibid. Kompensasi hanya diberikan bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Tata cara untuk memperoleh kompensasi di atur dalam PP Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. 4. Bantuan dan Konseling Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial, dan psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan atau masyarakat. Aparat terkait harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga bantuan yang diberikan dapat optimal, profesional dan tepat sasaran. 128 Perlindungan berupa konseling pada umumnya diberikan pada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana terutama bagi korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan pada korban. 129 Praktiknya bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan berupa penggabungan antara gugatan pidana dengan ganti kerugian untuk kasus- kasus pidana umum termasuk kasus kekerasan seksual dalam sistem hukum kita masih sangat jarang pelaksanaannya. Ini dikarenakan aturan itu tidak tegas mengatur. 130 Penderitaan yang dialami wanita korban perkosaan tidak hanya derita secara fisik, tetapi juga mental, dan sosial. Selain itu korban juga mengalami 128 Ibid, hlm 119-120. 129 Dikdik M. Arief Mansur, dkk, Op.Cit., hlm 169. 130 Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015. tekanan batin karena merasa dirinya kotor, berdosa dan tidak punya masa depan lagi, pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya, 131 Pasal 75 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 31 ayat 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi memberi ruang bagi wanita korban perkosaan untuk melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan. Wanita korban perkosaan berhak untuk memilih melakukan aborsi atau tidak melakukan aborsi terhadap kehamilannya akibat perkosaan, terlebih apabila wanita tersebut ternyata hamil akibat kejahatan perkosaan yang menimpanya itu. Tidak adil baginya apabila dipaksa untuk memelihara bayi tersebut hingga dewasa. Pemberian ganti rugi secara materiuang tidak dapat menghapus penderitaan yang telah dialaminya. Oleh sebab itu negara memberi pengecualian larangan aborsi bagi setiap kehamilan akibat perkosaan sebagai bentuk upaya perlindungan bagi wanita dan kesehatan reproduksinya serta hak-haknya yang terabaikan. Prinsip hormat kepada kehidupan menyangkut didalamnya kehidupan ibu dan kehidupan janin. Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tidak dimaksudkan untuk membunuh janin tersebut. Tujuan perbuatan itu adalah menyelamatkan ibu, dan kematian janin hanyalah efek dari perbuatan tersebut, yang terpaksa terjadi. 131 Op.Cit. termasuk hak untuk memutuskan atau memberi persetujuan apakah aborsi dapat dilakukan atau tidak terhadap dirinya. Pasal 29 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menyebutkan : “Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual”. Hal ini berarti korban perkosaan berhak atas upaya perlindungan hukum dan medis sebagaimana diuraikan dalam Pasal 29 ayat 2 dan ayat 3 berupa upaya perlindungan dan penyelamatan korban, upaya forensik untuk pembuktian dan identifikasi pelaku, pemeriksaan fisik, mental dan penunjang, pengobatan luka atau cidera, pencegahan atau penanganan penyakit menular seksual, pencegahan atau penanganan kehamilan, terapi psikiatri dan psikoterapi, serta rehabilitasi psikososial. Rehabilitasi psikososial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. 132 132 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, Sinar Grafika : 2014, hlm 42. Hak lain yang juga dimiliki oleh wanita korban perkosaan yang dicantumkan dalam Pasal 24 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi diluar dari hal-hal yang berkaitan dengan aborsi adalah hak untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan. Pasal 35 mengatakan, apabila wanita korban perkosaan memutuskan melakukan aborsi maka ia berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggungjawab. Pasal 37 mengatakan, wanita juga berhak untuk mendapatkan informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksinya serta penasehatan pra tindakan aborsi dan konseling pasca tindakan aborsi yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang dengan benar dan bertanggungjawab. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperoleh kesimpulan dari hak-hak wanita korban perkosaan yang akan melakukan aborsi antara lain adalah hak untuk mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan tahapan tindakan aborsi dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, serta hak untuk dievaluasi kondisinya setelah melakukan aborsi. 133 133 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt53e83426ce020legalitas-aborsi-dan- hak-korban-pemerkosaan diakses tanggal 1 Maret 2015 Pasal 38 mengatakan, apabila korban perkosaan memutuskan untuk membatalkan keinginannya melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukannya aborsi, maka korban perkosaan berhak untuk mendapatkan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilannya. Apabila wanita korban perkosaan ingin melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dialaminya, maka prosedur dan syarat pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 134 1. Perempuan korban perkosaan yang hendak melakukan aborsi terlebih dahulu harus mengajukan permintaan atau memberikan persetujuan dilakukannya aborsi. Dalam hal perempuan tersebut tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. 2. Perempuan korban perkosaan menyampaikan pengaduanlaporan kepada penyidik mengenai adanya kejahatan perkosaan. 3. Penyidik memberikan surat pengantar untuk dilakukan visum et repertum yang ditujukan pada rumah sakit tertentu. 4. Dokter mengeluarkan visum et repertum berupa surat keterangan mengenai tanda-tanda terjadinya perkosaan serta keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. Usia kehamilan tersebut harus sesuai dengan kejadian perkosaan. Usia kehamilan akibat perkosaan yang dibenarkan melakukan aborsi paling lama berusia 40 empat puluh hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. 5. Hasil keterangan dokterahli berupa visum tersebut hanya boleh diambil oleh penyidik dan kemudian disesuaikan dengan keterangan penyidik, psikolog danatau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. 134 Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015. 6. Setelah semua syarat untuk dilakukannya aborsi dipenuhi, perempuan korban perkosaan dapat meminta keterangan kepada penyidik untuk dirujuk kepada konselor tertentu untuk melakukan konseling pra tindakan aborsi. Konseling pra tindakan aborsi bertujuan untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi, dan menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi. 7. Setelah konseling selesai dilakukan, maka dapat diambil keputusan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan. Apabila korban perkosaan tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukannya aborsi, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. 8. Dalam hal perempuan korban perkosaan memenuhi ketentuan untuk dilakukannya aborsi, perempuan korban perkosaan berhak untuk memutuskan apakah aborsi tetap dilakukan atau dibatalkan. 9. Dalam hal perempuan korban perkosaan memutuskan membatalkan aborsi setelah konseling pra tindakan korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. 10. Apabila perempuan korban perkosaan memutuskan untuk tetap melanjutkan aborsi, perempuan korban perkosaan dapat meminta petunjuk dari penyidik atau konselor mengenai penyelenggaraan aborsi. Penyelenggaraan aborsi dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. 11. Penyelenggaraan aborsi dilakukan oleh dokter sesuai dengan standart, dan dokter tersebut terlebih dahulu harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Dokter yang dimaksud bukan merupakan dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. 12. Sebelum menangani tindakan aborsi, dokter yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan Rapat Komite Medik. 135 13. Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan diakhiri dengan konseling pasca tindakan. Konseling dilakukan oleh konselor. Konseling pasca tindakan bertujuan untuk mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi, menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan 135 Hasil Wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri, Kamis 19 Februari 2015. bila diperlukan, dan menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan. 14. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepada dinas kesehatan kabupatenkota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi. Laporan tersebut dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. BAB IV PANDANGAN PRAKTISI TERHADAP TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Efektifitas Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Kata “efektifitas” menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif apabila usaha itu mencapai tujuannya. Arti kata efektif berasal dari bahasa Inggris yakni effective yaitu baik hasilnya, mempan, tepat, benar, sedangkan arti kata efektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ada efeknya, ada akibat atau pengaruhnya, manjur atau mujarab, dapat membawa hasil atau berguna, mulai berlaku. Kata efektifitas pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dapat diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan. Suatu pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan itu dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan itu tercapai. Tujuan dari dibuatnya suatu aturan yang mengatur mengenai pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sebagaimana sudah diuraikan pada bab sebelumnya adalah untuk menyediakan payung hukum bagi para korban perkosaan yang menginginkan aborsi. Korban perkosaan umumnya didominasi oleh wanita. Tidak sedikit dari kasus kejahatan perkosaan tersebut yang menyebabkan kehamilan bagi wanita itu, dan jika kehamilan tersebut benar terjadi, maka korban perkosaan tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara mental dan sosial. Kehamilan akibat perkosaan hanya akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Perkosaan adalah kejahatan seksual, jika wanita diharuskan untuk hamil dan memelihara anak tersebut hingga dewasa, hak perempuan itu dilanggar. Oleh karena itu wanita tidak boleh dikorbankan dua kali, yaitu diperkosa dan diharuskan untuk memelihara bayi hasil perkosaan itu hingga dewasa. Opini, dan penilaian dari masyarakat menjadikan korban perkosaan sebagai bahan gunjingan dan cemoohan serta mengucilkannya dari lingkungan sosialnya serta biaya yang harus dipersiapkan bagi masa depan bayi tersebut juga menjadi beban bagi wanita tersebut. Tujuan lain dari dibuatnya aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah untuk menyediakan layanan kesehatan yang aman bagi setiap korban perkosaan. Kesehatan bukan hanya terbatas pada keadaan sehat secara fisik, melainkan juga sehat secara mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi, tetapi, justru kesehatan reproduksi lah yang acap kali luput dari perhatian pemerintah. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, tetapi juga berkaitan dengan hak setiap orang untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan. Layanan kesehatan yang aman bagi setiap korban perkosaan yang dimaksud adalah tidak hanya terbatas pada layanan persalinan yang aman dan bermutu, melainkan meliputi konseling yang dilakukan baik sebelum maupun sesudah melakukan aborsi. Konseling yang dimaksud bertujuan antara lain untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, menilai kesiapan pasien untuk aborsi, untuk mengetahui dapat tidaknya aborsi dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, memberikan penjelasan kepada para korban perkosaan mengenai tahapan-tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan sehingga mereka memahami akan efek samping serta komplikasinya, serta membantu korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau justru membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi tersebut. Konseling pasca aborsi dilakukan antara lain guna mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi karena proses menjalani aborsi tersebut tidaklah mudah, melainkan dapat menyebabkan kesakitan, sehingga jangan sampai dengan dilaksanakannya aborsi maka semakin menimbulkan trauma tambahan bagi korban perkosaan itu sendiri. Tujuan dari pembuatan peraturan pelaksanaan tindakan aborsi oleh pemerintah berupa jaminan perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang aman, efektif, terjangkau dan bermutu khususnya bagi setiap korban perkosaan yang hendak melakukan aborsi diyakini dapat mengurangi bahkan dapat menutup adanya kemungkinan masyarakat untuk mencari praktik-praktik aborsi ilegal sehingga praktik-praktik aborsi ilegal yang tidak aman yang dilakukan oleh tenaga yang tidak berkompeten untuk itu dapat diminimalisir keberadaannya juga dapat mengurangi masalah-masalah kesehatan perempuan yang hamil dan merupakan upaya khusus dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu AKI yang jumlahnya masih sangat tinggi. Efektifitas segi pelaksanaan eksekusi tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, tidak dapat dikaitkan dengan suatu pemikiran bahwa kriteria efektif atau tidaknya tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tersebut diukur dari berhasil atau tidaknya janin didalam kandungan digugurkan, dibunuh atau disingkirkan. Apabila pola pikir demikian yang dijadikan ukuran, maka efektifitas tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan juga akan diukur dari sisi usaha penguguran janinnya saja dan bukan dari tercapainya tujuan dari pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan itu sendiri. Oleh sebab itu diutarakan bahwa dengan dikeluarkannya aturan tersebut tidak semata-mata dimaksudkan untuk membunuh janin dalam kandungan, meskipun demikian kenyataannya janin tersebut harus mati oleh karena perbuatan itu. Pelaksanaaan aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini terdiri dari beberapa langkah-langkah dasar yang harus diperhatikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, besar harapan pemerintah untuk tidak terjadinya pengguguran janin yang ada akibat perkosaan. Tindakan tersebut bukan merupakan pilihan wajib melainkan pilihan alternatif. Buktinya, pemerintah mengatur pula kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila korban perkosaan yang hendak aborsi membatalkan keinginannya itu setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi pasca melakukan konseling pra tindakan aborsi berupa pemberian pendamping bagi korban perkosaan oleh konselor selama masa kehamilannya. Negara menjamin bagi korban perkosaan yang memutuskan membatalkan keinginannya untuk melakukan aborsi, yaitu bahwa anak yang dikandungnya kelak menjadi anak asuh negara apabila keluarga korban menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan tersebut. Pemahaman yang perlu ditekankan adalah bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini bertujuan untuk menghormati dan melindungi hak-hak perempuan yang kerap menerima beban ganda, yakni sebagai korban kekerasan seksual dan harus menghidupi anak yang dilahirkan.

B. Pandangan Praktisi Terkait Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan