cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm, E: Bentuk asli

Bagi tanaman fosfat merupakan salah satu bahan kimia yang sangat penting. Fosfor dialam terbagi dalam dua bentuk yaitu senyawa fosfat organik dan senyawa fosfat anorganik Jeffris dan Mills, 1996. Berdasarkan Gambar 14 kandungan fosfat lindi masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan Kepmentan No.70 Tahun 2011 tentang baku mutu pupuk organik cair dari limbah yaitu sebesar minimal 0,04 mgl Tabel 10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lindi yang ada dapat dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk cair. Kadar Logam Berat Dalam Lindi Untuk mengetahui karakteristik polutan dalam lindi dilakukan pengamatan terhadap kadar logam berat pada lindi. Analisis kadar logam berat merkuri Hg, Kadmium Cd, Kromium Heksavalen Cr, Seng Zn, Tembaga Cu dan Timbal Pb dalam lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota dalam lisimeter disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kandungan logam berat lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota Perlakuan Satuan Logam Berat Cr Cd Pb Hg Zn Cu A mgl 0.351 0.007 0.007 0.005 0.621 0.095 B mgl 0.125 0.003 0.011 0.003 0.411 0.125 C mgl 0.019 0.005 0.009 0.006 0.401 0.195 D mgl 0.911 0.019 0.004 0.014 0.611 0.135 E mgl 0.025 0.006 0.011 0.009 0.571 0.092 Standar mgl 210 0.5 12.5 0.25 5000 5000 Keterangan: Cr: Kromium Heksavalen, Cd: Kadmium, Pb: Timbal, Hg: Mercuri, Zn: Seng, Cu: Tembaga,:Pementan No.702011, A: 0.1 cm, B: 0.1-0.9 cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm, E: Bentuk asli. Logam berat Hg, Cd, Cr, Zn, Cu dan Pb dalam lindi yang dianalisis pada semua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 Tahun 2011 yaitu tentang persyaratan dan pengawasan kandungan pupuk cair organik berasal dari limbah. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk semua lindi hasil perlakuan memenuhi standar baku yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan sebagai pupuk cair. Di dalam Permentan No.70 Tahun 2011 maksimum kadar enam macam logam berat yang diperkenankan ada dalam pupuk cair organik adalah 0.25 mgl Hg, 0.5 mgl Cd, 210 mgl Cr, 5000 mgl Zn, 5000 mgl Cu dan 12.5 mgl Pb. Dari seluruh sampel lindi yang dianalisis kadar Hg dan Cd terdeteksi paling tinggi pada perlakuan D. Kadar Pb terdeteksi paling tinggi pada perlakuan E dan B. Kandungan Cr dan Zn paling tinggi pada perlakuan A serta Cu tertinggi pada perlakuan C. Pada air lindi juga terdeteksi adanya beberapa logam berat seperti timbal Pb, krom Cr dan nikel Ni, meskipun dalam konsentrasi kecil Romli et al. 2004. Kadar Merkuri Hg Lindi Hasil analisis di laboratorium merkuri terdeteksi pada semua perlakuan lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota dalam lisimeter Tabel 10. Lindi dengan kandungan merkuri ditemukan paling tinggi pada perlakuan D dengan kadar 0.014 mgl. Kadar ini belum melampaui standar Permentan No. 70 Tahun 30 2011 tentang persyaratan pupuk cair untuk merkuri. Hasil penelitian sebelumnya tentang kandungan mercuri Hg pada lindi dari outlet IPAL TPA Galuga yang dilakukan oleh Nurhasanah 2012 yang menyatakan bahwa dalam lindi outlet TPA Galuga mengandung mercuri 0.201mgl. Dewi et al. 2013 melaporkan bahwa kandungan mercuri sebesar 0.248 mgl terkandung dalam lindi pada lindi di TPA Jatibarang Semarang. Apabila dibandingkan hasil penelitian ini dengan kedua hasil penelitian terdahulu di atas, kandungan Hg dalam lindi yang didapatkan penelitian ini jauh lebih rendah. Penyebab dari perbedaan ini kemungkinan bisa diakibatkan karena lingkungan yang lebih tercemar di kedua TPA tersebut. Kadar Kadmium Cd Lindi Kadar kadmium Cd dalam lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota yang terdeteksi paling tinggi adalah pada perlakuan D 0.019 mgl. Menurut Permentan No. 70 Tahun 2011 kadar Cd maksimum yang diperbolehkan dalam pupuk cair adalah 2 mgl Tabel 10. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kandungan Cd dalam lindi bila dibandingkan dengan standar Permentan tersebut semua perlakuan sudah memenuhi persyaratan pupuk cair. Kondisi lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota relatif cukup aman untuk dimafaatkan sebagai pupuk cair walaupun mengandung logam berat Cd tetapi masih berada pada kisaran yang dipersyaratkan. Keberadaan logam berat Cd lindi dalam penelitian ini diperkirakan disebabkan oleh sampah kota yang tercampur dengan sampah obat obatan dari rumah sakit disekitar TPS dan industri aki. Kadar Timbal Pb Lindi Kandungan Pb pada lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota yang terdeteksi berada pada kisaran sebesar 0.004 -0.011 mgl. Timbal Pb terdeteksi pada semua perlakuan Tabel 10. Akan tetapi kadar Pb ini masih berada dibawah standar Permentan No.70 Tahun 2011 yaitu 50 mgl sehingga bisa disimpulkan bahwa kandungan Pb pada lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota pada kisaran yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk cair. Kandungan Pb dalam lindi dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adanya rembesan sampah yang mengandung Pb baik sampah industri, sampah pasar ataupun sampah rumah tangga ke dalam TPS tempat pembuangan sampah sementara. Kadar Seng Zn Lindi Kandungan Zn terdeteksi berada pada kisaran sebesar 0.401-0.625 mgl dalam lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota. Kandungan Seng Zn terdeteksi pada semua perlakuan akan tetapi kadar Zn ini masih berada dibawah standar Permentan No. 70 Tahun 2011 sebesar 5000 mgl Tabel 10. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kandungan Zn pada lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota pada kisaran yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk cair. Diduga bahwa sumber pencemaran seng Zn dilingkungan berasal dari buangan limbah rumah tangga yang mengandung logam Zn seperti korosi pipa-pipa air dan produk-produk konsumer misalnya, formula detergen yang tidak diperhatikan sarana pembuangannya. Seng Zn dialam tidak berada dalam keadaan bebas, tetapi dalam bentuk terikat dengan unsur lain berupa mineral. Mineral yang mengandung Zn di alam bebas antara lain kalamin, franklinite, smitkosonit, willenit, dan zinkit Samorn et al. 2002. Kadar Tembaga CuLindi Dari Tabel 10 hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan Cu pada lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota berada pada kisaran yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan. Kandungan Cu pada lindi terdeteksi pada kisaran sebesar 0.092-0,195 mgl. Kandungan Tembaga Cu terdeteksi pada semua perlakuan akan tetapi kadar Cu ini masih berada dibawah standar Permentan No.70 Tahun 2011 sebesar 5000 mgl dan bisa dikembalikan ke lingkungan pada kondisi yang aman dalam bentuk pupuk cair. Masuknya kandungan Cu dalam sampah kota diduga karena aktivitas manusia seperti buangan industri dan pertambangan Cu. Secara alami kandungan tembaga yang terdapat dalam bebatuan terkikis oleh air hujan. Air hujan ini memecah kandungan tembaga dalam bebatuan dan melarutkan ion tembaga tersebut dalam air. Air yang mengandung tembaga terus mengalir ke TPS. Kadar Kromium Heksavalen Cr Kromium heksavalen Cr dalam lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota yang terdeteksi paling tinggi adalah pada perlakuan D 0.911 mgl. Pencemaran Cr 6 ini diduga disebabkan banyak faktor antara lain konsentrasi limbah rumah tangga, industri cat, industri tekstil, industri penyamakan kulit dan industri pelapisan logam sebagian besar berada di daerah Tanggerang Selatan atau sekitar TPS yang sangat berdekatan dengan pusat kota sehingga secara ekonomi lebih banyak industri maupun pemukiman yang sangat padat. Oleh karena ini perlu dilakukan pengawasan terutama untuk limbah hasil buangan industri tersebut sehingga pencemaran logam kromium dapat dihindarkan. Menurut Permentan No. 70 Tahun 2011 kadar Cr maksimum yang di perbolehkan dalam pupuk cair adalah 210 mgl Tabel 10. Bila dibandingkan dengan standar Permentan tersebut semua perlakuan memenuhi persyaratan untuk dikembalikan ke lingkungan sebagai pupuk cair. Kesimpulan Proses konversi semua ukuran sampah kota pada lindi memperlihatkan penurunan yang ditampilkan oleh nilai BOD, COD, NH 4 -N, TKN, dan Fosfat P kecuali kalium K + yang terjadi peningkatan nilai selama proses bio-konversi. Parameter BOD, COD, dan NH 4 -N belum memenuhi standar untuk dikembalikan ke lingkungan, parameter TKN, fosfat, dan kalium K + memenuhi standar yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan sebagai pupuk cair. Karakteristik polutan dalam lindi hasil bio-konversi anaerobik sampah kota berupa logam berat Hg, Cr, Cd, Pb, Zn dan Cu pada lindi yang dianalisis dari semua perlakuan memenuhi standar baku yang aman untuk dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk cair bagi kegiatan pertanian. 32 4 KARAKTERISTIK KOMPOS ANAEROBIK DAN POTENSI PEMANFAATAN MENJADI PUPUK ORGANIK DALAM LISIMETER Pendahuluan Persoalan sampah merupakan persoalan serius yang mengancam keberlanjutan lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh timbunan sampah pada tanah, air maupun udara yang merupakan komponen abiotik dalam ekosistem akan berdampak negatif pada kehidupan organisme dalam ekosistem, termasuk manusia sebagai bagian dari ekosistem. Jika organisme dalam ekosistem tidak dapat beradaptasi terhadap kondisi ekosistem yang terpolusi, organisme dapat punah dan kepunahannya tersebut dapat menganggu kestabilan ekosistem. Rusaknya kondisi ekosistem itu pada akhirnya akan mengancam keselamatan organisme lain dalam ekosistem, termasuk keselamatan manusia Dasgupta 2012. Pemerintah menyadari pentingnya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sehingga menetapkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sejak Januari 2012 dikampanyekan gerakan Indonesia “Bersih, Asri, Indah Berseri” yang mensosialisasikan pengurangan sampah mandiri menggunakan pendekatan 3R Reduce, Reuse, Recycle. Namun sayangnya gerakan tersebut tidak berjalan baik karena kurangnya sosialisasi pada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembakaran sampah di tempat terbuka akan menghasilkan gas beracun serta dioxin yang berasal dari proses pembakaran plastik dan bahan beracun lain yang ada di dalam sampah. Keberadaan gas beracun tersebut akan menambah polusi udara Dahuri 2004. Terkait hal ini UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah membuat larangan bagi setiap orang untuk membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Namun nampaknya masyarakat belum mendapat sosialisasi yang baik tentang pelarangan tersebut sehingga perilaku membakar sampah di tempat terbuka masih terus dilakukan masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta di atas disimpulkan bahwa permasalahan sampah di Indonesia merupakan permasalahan nasional yang berdampak serius pada kehidupan masyarakat dan kondisi lingkungan sehingga perlu dilakukan upaya- upaya untuk mengoptimalkan implementasi UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Untuk itu pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama sesuai peran dan fungsi masing-masing agar dapat mengatasi persoalan sampah, sehingga kita dapat hidup lebih nyaman di lingkungan yang bersih dan sehat. Saat ini kebutuhan akan pupuk untuk kebutuhan pertanian sangatlah besar dan untuk mengatasi keterbatasan bahan baku pupuk yang selama ini digunakan perlu adanya perolehan pupuk dari bahan lain terutama dari bahan sampah kota. Konversi bahan organik sampah kota dapat terjadi dalam keadaan anaerobik. Dalam penelitian ini digunakan lisimeter yang berfungsi sebagai reaktor anaerobik. Selain biogas hasil dari proses bio-konversi anaerobik adalah lindi dan padatan. Konversi anaerobik menghasilkan produksi kompos dalam bentuk kompos anaerobik yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk untuk kegiatan pertanian. Kandungan kompos anaerobik yang terdiri dari Nitrit, kalsium, dan bahan organik lainnya sangat bermanfaat dalam perkembangan tanaman. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sampah kota mempunyai potensi untuk dijadikan pupuk untuk tanaman dalam bentuk kompos anaerobik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mutu kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter dan potensi pemanfaatan sebagai pupuk organik. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Penelitian tahap pertama bio-konversi anaerobik sampah kota dalam lisimeter dilaksanakan di BPPT Serpong dan analisis kualitas kompos anaerobik dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bahan utama dalam penelitian ini adalah kompos anaerobik yang diambil dari hasil bio-konversi anaerobik berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter dari berbagai ukuran selama proses bio-konversi 150 hari. Tabel 11 Kualitas kompos anaerobik yang dianalisis No Parameter Satuan Metode 1 pH - APHA ed. 21th 4500-H + B, 2005 2 CN Ratio - By Different 3 Total Solid TS APHA ed. 21th 2540 B, 2005 4 Volatile Solid VS APHA ed. 21th 2540 B, 2005 5 Kadar Air SNI 19-7030-2004 6 Kadar Abu SNI 19-7030-2004 7 Nitrit NO 2 -N mgl APHA ed. 21th 4500-NO 2 B, 2005 8 Suhu o C - Alat yang dipakai adalah Atomic Absorption Spectroscopy AAS, UV-Vis Spektrofotometer, TOC-Analyzer, High Performance Liquid Chromatography HPLC, pH- meter, Mikroskop dengan image processing, peralatan pendukung untuk analisis menggunakan laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan TML Institut Pertanian Bogor yang terakreditasi oleh KAN sesuai dengan prosedur APHA 2005. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel padatan hasil bio-konversi anaerobik dari 5 buah lisimeter yang berisi sampah kota berbagai ukuran yaitu A=A 0.1 cm B=0,1 – 0,9 cm, C= 1,0 – 1,9 cm, D=2,0 – 2,9 cm, dan E=Asli. Sampel diambil dengan cara membuka lubang kontrol bagian tengah lisimeter. Selanjutnya sampel di kemas menggunakan plastik kemudian dianalisis di laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan TML, Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini seperti yang tertera pada Tabel 11. Potensi kompos anaerobik sebagai pupuk organik dibandingkan dengan Permentan No. 70 Tahun 2011 tentang persyaratan pupuk organik. Pengamatan meliputi kualitas kompos anaerobik selama waktu proses bio- konversi 150 hari di laboratorium. Parameter yang dianalisis meliputi pH , CN Ratio, Total Solid TS, Volatil Solid VS, Kadar air, Nitrit NO 2 -N, Suhu dan Kadar Abu. 34 Hasil dan Pembahasan Nilai pH Pengamatan terhadap kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota pada masing masing perlakuan menunjukkan pH yang optimal dimulai sejak awal proses sampai akhir proses bio-konversi. Menurut FFTC 2005 kondisi proses pengomposan yang optimal berada pada kisaran pH mendekati netral yaitu 6,8 – 7,5. Kondisi pH yang terlalu tinggi akan berpotensi kehilangan nitrogen akibat penguapan amoniak NH 3 dan sebaliknya pH yang terlalu rendah berdampak pada kematian mikroorganisme Djuarnani et al. 2005. Tabel 12 Profil perubahan nilai pH kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota Perlakuan ukuran bahan Waktu hari 30 60 90 120 150 Nilai pH A 4.98 4.46 4.53 5.90 6.20 6.40 B 5.61 5.44 5.66 5.59 5.40 5.80 C 5.23 5.50 6.91 6.43 6.00 6.40 D 5.70 5.84 5.30 5.89 5.80 5.89 E 5.26 5.19 6.32 6.20 5.70 6.21 Keterangan: A: 0.1 cm, B: 0.1-0.9 cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm,

E: Bentuk asli.

Perubahan nilai pH semua perlakuan selama proses menunjukkan pola yang hampir sama pada awal kompos anaerobik sampai akhir proses Tabel 12. Hal ini disebabkan oleh perubahan senyawa karbon menjadi asam organik yang mempengaruhi perubahan nilai pH di dalam proses anaerobik berlangsung sempurna, walaupun tidak tersedianya oksigen yang cukup untuk proses konversi. Penguraian bahan sampah yang banyak mengandung senyawa karbon menjadi senyawa asam organik tidak menghambat nilai pH. Akan tetapi penguraian karbon organik yang lebih kecil juga menghambat proses penguraian pada kompos anaerobik. Li et al. 2013 melaporkan bahwa asam organik yang terbentuk oleh penguraian karbon organik digunakan kembali oleh mikroorganisme untuk menkonversikan protein menjadi ammonium. Wang et al. 1979 bahwa perubahan pH selama proses fermentasi disebabkan oleh terbentuknya asam laktat dan asetat. Tosun et al. 2008 Penguraian yang cepat dan sempurna dapat terjadi dalam kondisi yang anaerobik. Secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan. Kondisi ini mengakibatkan nilai pH kompos anaerobik sudah memenuhi standar pupuk organik dan tidak memerlukan pengolahan lanjutan. Hal ini terlihat selama proses kompos anaerobik pH semua perlakuan berada pada kisaran nilai 4,98 – 6,91. Sedangkan persyaratan pupuk organik menurut Permentan No.70 Tahun 2011 nilai pH yaitu 4 – 9. Penurunan Kadar Air Proses bio-konversi anaerobik berbagai ukuran sampah kota menunjukkan perbedaan penurunan kadar air. Komponen sampah yang berukuran lebih besar ternyata memilki kandungan kadar air yang tinggi dibandingkan komponen sampah yang lebih kecil. Adanya pengecilan ukuran pada bahan memberikan pengaruh tehadap penurunan kadar air. Hal ini dibuktikan pada lisimeter A 0.1 cm memperlihatkan pola penurunan paling rendah. Penurunan kadar air yang sangat tinggi ini setelah mengalami proses konversi akan berubah menjadi polutan yang akan mencemari lingkungan berupa lindi. Lindi dapat berfungsi sebagai pembawa penyakit karena di dalamnya sering didapatkan bakteri patogen yang berasal dari sampah Nurhasanah 2012. Kadar air pada semua perlakuan sampai akhir proses konversi sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kadar air kompos anaerobik belum memenuhi standar untuk dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk pupuk organik. Standar kadar air yang ditetapkan Permentan No. 70 Tahun 2011 adalah pada kisaran 13 – 20 Lampiran 3. Oleh karena itu perlu perlakuan lebih lanjut untuk menurunkan kadar air agar kompos anaerobik bisa termanfaatkan sebagai pupuk organik. Penurunan kadar air berbagai ukuran sampah kota ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Penurunan kadar air berbagai ukuran sampah kota selama proses konversi Perlakuan Lisimeter Waktu hari 30 60 90 120 150 Kadar air A 72.47 72.10 68.90 65.67 64.96 64.25 B 79.67 78.47 75.44 69.81 67.80 67.23 C 80.25 79.88 79.02 72.39 67.90 67.46 D 82.91 80.65 77.12 75.40 70.20 68.98 E 86.60 86.54 77.40 75.94 72.20 70.32 Keterangan: A: 0.1 cm, B: 0.1-0.9 cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm,

E: Bentuk asli. Suhu

Suhu kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota dalam lisimeter menunjukkan pola yang hampir sama yaitu terjadi penurunan fluktuasi pada minggu pertama selanjutnya stabil sampai akhir proses bio-konversi. Ukuran bahan ternyata memiliki pengaruh terhadap pencapaian suhu yang stabil pada proses awal bio-konversi. Ukuran bahan yang lebih kecil awal proses menujukkan suhu yang tinggi kemudian terus menurun dan stabil setelah minggu pertama. Hal ini dikarenakan proses pematangan pada bahan baku yang lebih kecil akan lebih cepat dibandingkan bahan baku yang lebih besar. Proses penguraian bahan organik dengan adanya peran mikroorganisme yang terdapat pada bahan mempengaruhi kecepatan penguraian. Dengan ukuran bahan yang lebih besar pada prroses kompos anaerobik membuat waktu yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik akan lebih lama. Aktivitas mikroorganisme berada pada permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih lambat. 36 Hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan porositas. Isroi 2008 menyatakan bahwa pada saat sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Keadaan ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 –40 dari volumebobot awal bahan. Li et al. 2013. Pemanfaatan mikroba khususnya bakteri agar optimal biasanya dalam kondisi murni atau spesifik seperti dalam proses fermentasi. Proses penguraian oleh bakteri pada proses fermentasi sangat tergantung dari jumlah dan jenis. Jumlah dan jenis bakteri sangat tergantung dari ketersediaan bahan organik terutama ukuran bahan yang akan dikonversi. Propil perubahan suhu kompos anaerobik diperlihatkan pada Gambar 15. Perubahan fluktuasi pada semua perlakuan tidak mengalami banyak perbedaan. Fluktuasi ini disebabkan karena pada proses degradasi bahan organik secara anaerobik menghasilkan air yang dapat menurunkan temperatur. Meningkatnya temperatur menandakan bahwa telah terjadi proses konversi bahan organik. Penguraian bahan organik akan menghasilkan gas metan CH 4 , CO 2 , H 2 S, N 2 O, dan gas lain serta panas. Temperatur merupakan faktor lingkungan yang penting dalam akitivitas mikroorganisme pada proses biologis secara anaerobik. Oleh karena itu hasil pengukuran terhadap temperatur, cenderung mengikuti temperatur lingkungan berkisar antara 29 C pagi hari dan 31 C siang hari serta 30 C sore hari. Kondisi lingkungan termasuk dalam kondisi mesofilik. Menurut Shearer 2001 temperatur di daerah tropis berkisar 25 C -35 C sudah cukup bagus. Chae et al. 2007 menyatakan bahwa pada temperatur 25 C gas metan CH 4 yang dihasilkan hanya 82,6 dari produksi pada temperatur 35 C. Temperatur isian digester berpengaruh terhadap perkembangan bakteri dalam proses bio-konversi anaerobik. Bakteri selulolitik umumnya hidup pada kisaran temperatur optimum 30-35 o C untuk memproduksi enzim selulosa Stafford et al. 1980. Gambar 15 Profil perubahan suhu pada kompos anaerobik berbagai ukuran sampah kota selama proses konversi. A: 0.1 cm, B: 0.1-0.9 cm, C: 1.0-1.9 cm, D: 2.0-2.9 cm, E: Bentuk asli.