Uji Efektivitas terhadap Pertumbuhan Jamur dari Sampo yang Mengandung Zink Pirition yang Beredar di Kota Medan

UJI EFEKTIVITAS TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
DARI SAMPO YANG MENGANDUNG ZINK PIRITION
YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas SumateraUtara
satu syarat untuk memperoleh

OLEH:
SISKA BR SEMBIRING
NIM 091501100

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

Universitas Sumatera Utara


UJI EFEKTIVITAS TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
DARI SAMPO YANG MENGANDUNG ZINK PIRITION
YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas SumateraUtara
satu syarat untuk memperoleh

OLEH:
SISKA BR SEMBIRING
NIM 091501100

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

Universitas Sumatera Utara


PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEKTIVITAS TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
DARI SAMPO YANG MENGANDUNG ZINK PIRITION
YANG BEREDAR DI KOTA MEDAN
OLEH:
SISKA BR SEMBIRING
NIM 091501100
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal:

Pembimbing I,

Panitia Penguji,

Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt.
NIP 195006121980032001


Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt
NIP 195709091985112001

Pembimbing II,

Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt.
NIP 195006121980032001

Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt.
NIP 1960051111989022001

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt.
NIP 195304031983032001

Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt.
NIP 195306251986012001
Medan,
Agustus 2015
Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

Wakil Dekan,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt.
NIP195807101986012001

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat
kasih dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui
daya hambat dari keenam jenis sampo yang beredar di Kota Medan terhadap
pertumbuhan jamur Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum
ovale (ATCC 12078) dan untuk membandingkan sampo mana yang lebih efektif
dalam membunuh

jamur uji tersebut yang merupakan salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio
Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah
memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak
Maralaut Batubara, Drs., M.Phil., selaku penasehat akademis yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas
Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Ibu Dra. Erly
Sitompul, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt., yang membimbing
penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab selama penelitian hingga
selesainya penyusunan skripsi ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama perkuliahan. Bapak dan
Ibu Kepala Laboratorium Obat Tradisional, Fitokimia dan Mikrobiologi yang
telah memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama penelitian. Ibu Dr.
Marline Nainggolan, M.S., Ibu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., Ibu Dra. Aswita

iv

Universitas Sumatera Utara

Hafni Lubis, M.Si., Apt., Drs. Anayanti Arianto, M.Si.,Apt selaku dosen penguji

yang memberikan masukan, kritik, arahan dan
saran dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis juga ingin mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada Ayahanda Perdamen Sembiring dan Ibunda Sriulina br Bukit tercinta atas
doa dan pengorbanannya dengan tulus dan ikhlas, untuk adinda Freindta
Sembiring, Bermita br Sembiring dan untuk suami saya Andy Gray Sinuhaji, SE.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Agustus 2015
Penulis,

Siska br Sembiring
091501100

v

Universitas Sumatera Utara


UJI EFEKTIVITAS TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
DARI SAMPO YANG MENGANDUNG ZINK PIRITION YANG
BEREDAR DI KOTA MEDAN

ABSTRAK
Produk sampo antiketombe yang beredar di Kota Medan beraneka ragam
jenisnya dari produsen yang berbeda. Umumnya produk sampo antiketombe
mengandung senyawa Zink pirition, namun di dalam kemasan sampo antiketombe
tidak mencantumkan konsentrasi zink pirition yang digunakan sehingga kekuatan
sampo dalam membunuh jamur perlu dievaluasi untuk melihat efektivitas produk.
Sampel yang diuji ada enam merek dengan kode SA, SB, SC, SD, SE dan SF.
Mikroba uji yang digunakan yakni Microsporum gypseum (ATCC 11395)
dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078) dengan metode difusi agar menggunakan
pencadang kertas. Pengujian dilakukan dengan pengenceran larutan sampo 2,5%,
5%, 10%, 15% dan 20% di dalam air suling steril. Pengamatan aktivitas
antijamur diinkubasi selama 48 jam pada suhu 25 oC. Keenam sampel yang
mengandung zink pirition diambil dari tiga supermarket di Kota Medan yaitu
Carefour, Indomart dan Alfamart.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampo SF mempunyai daya hambat

yang lebih besar daripada sampo SA, SB, SC, SD dan SE terhadap jamur
Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078)
karena pada larutan sampo 2,5% daya hambatnya 14,00 mm sedangkan SA, SB,
SC, SD dan SE daya hambatnya < 14,00 mm. Pada konsentrasi 5% keenam
sampel memiliki daya hambat > 14.,00 mm. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa SA, SB, SC, SD, SE dan SF yang beredar di kota Medan efektif
menghambat pertumbuhan jamur penyebab antiketombe. Keenam sampo yang
diuji menunjukkan bahwa sampel SF lebih efektif dibandingkan dengan sampo
SA, SB, SC, SD dan SE.
Kata kunci : Sampo, Microsprum gypseum,Pityrosporum ovale, antiketombe,
Zink Pirition

vi

Universitas Sumatera Utara

THE EFFECTIVENESS TEST AGAINST MOLD GROWTH FROM
SHAMPO CONTAIN ZINC PIRITION DISTRIBUTED IN MEDAN

ABSTRACT

Anti-dandruff shampo products distributed in Medan very in types from
different manufacturers. Generally, anti-dandruff shampo products contain
compounds Zink pirition, but in the anti-dandruff shampo packaging does not list
the concentration of zinc pirition used so that the power of shampo in killing the
mold needs to be evaluated to see the effectiveness of the product. Samples were
tested from six different brands with code SA, SB, SC, SD, SE and SF.
Microbial test used the Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan
Pityrosporum ovale (ATCC 12078) was measured by disc paper technique. Tests
performing by diluting the shampo solution 2.5%, 5%, 10%, 15%, and 20% in
sterile distilled water. Observation of antifungi activity were incubated for 48
hours at temperature of 25 oC. All the samples containing zinc pirition taken from
three supermarket in Medan, namely Carrefour, Indomart, and Alfamart.
The results showed that shampo SF has a greater inhibition than shampo
SA, SB, SC, SD and SE against Microsporum gypseum (ATCC 11395) and
Pityrosporum ovale (ATCC 12078), because the shampo solution 2.5% inhibition
14.00 mm whereas SA, SB, SC, SD and SE inhibition < 14.00 mm. At a
concentration of 5% six samples have inhibition >14.00 mm. Results of this study
indicate that SA, SB, SC, SD, SE and SF are circulating in the city of Medan
effectively inhibition the growth of mold that cause dandruff. Sixth shampo
samples tested showed that SF is more effective than the shampo SA, SB, SC, SD

and SE.
Keyword : Shampo, Microsporum gypseum,Pityrosporum ovale, antidandruff,
Zink Pirition

vii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ............................................................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................

ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................


iv

ABSTRAK .......................................................................................................

vi

ABSTRACT ....................................................................................................

vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xiii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

1

1.1 Latar Belakang .........................................................................................

1

1.2 Perumusan Masalah .....................................................................

4

1.3 Hipotesis .......................................................................................

4

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................

4

1.5 Manfaat Penelitian .....................................................................

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................

5

2.1 Ketombe ....................................................................................

5

2.1.1 Defenisi ketombe .........................................................

5

2.1.2 Penyebab ketombe .......................................................

6

2.1.3 Pengobatan ketombe ....................................................

6

2.2 Jamur .........................................................................................

6

2.2.1 Ciri-ciri kingdom jamur ..................................................

7

2.2.2 Struktur tubuh ................................................................

7

2.2.3 Habitat jamur .................................................................

7

viii

Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Klasifikasi jamur ..........................................................

7

2.2.5 Microsporum gypseum ..................................................

8

2.2.5 Pityrosporum ovale ........................................................

8

2.3 Sampo ........................................................................................

9

2.3.1 Definisi sampo .................................................... ........

10

2.3.2 Syarat-syarat sampo ........................................... ........

10

2.4 Surfaktan ...................................................................................

11

2.4.1 Uraian surfaktan ...........................................................

11

2.4.2 Bahan tambahan ...........................................................

12

2.4.3 Sampo antijamur ..........................................................

13

2.5 Zink Pirition .............................................................................

14

2.5.1 Uraian zink pirition ......................................................

12

2.6 Uji aktivitas antimikroba .........................................................

16

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................

18

3.1 Alat dan Bahan ........................................................................ 18
3.1.1 Alat- alat ...........................................................................

18

3.1.2 Bahan.. ..............................................................................

19

3. 2 Pengambilan Sampel .................................................................

19

3. 3 Prosedur sterilisasi alat ..............................................................

19

3. 4 Pembuatan Media .....................................................................

20

3.4.1 Potato Dextrosa Agar.......................................................

20

3.4.2 Pembuatan agar miring ....................................................

20

3.4.3 Larutan NACL 0,9% .......................................................

20

3.4.4 Pembuatan larutan Mc Farland No. 0,5 ..........................

20

3.4.5 Pembuatan larutan Sampo Uji ..........................................

21

ix

Universitas Sumatera Utara

3.5 Penyiapan Inokulum ..................................................................

21

3.5.1 Pembuatan stok kultur .....................................................

21

3.5.2 Peremajaan jamur .............................................................

21

2.5.3 Pembuatan inokulum .......................................................

21

3.6 Pengujian aktivitas antijamur .....................................................

22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................

26

5.1 Kesimpulan ................................................................................

26

5.2 Saran ...........................................................................................

26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

27

LAMPIRAN ....................................................................................................

30

x

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

4.1

Hasil
uji
diameter
hambat(mm)
pertumbuhan
jamurMicrosporum gypseum oleh keenam sampo ……….….……. 23

4.2

Hasil
uji
diameter
hambat(mm)
pertumbuhan
jamurPityrosporumovale oleh keenam sampo……………………. 23

xi

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

1.1

Skema kerangka pikir penelitian ………………….…………

4

2.1

Struktur kimia zink pirition ………………………………….

14

3.1

Produk sampo yang diuji ……………………………………

19

xii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran

Halaman

1.

Bagan pengujian aktivitas antijamur dari sampo .........................

30

2.

Hasil uji efektivitas sampel A, sampel B, sampel C, sampel D
sampel E dan sampel F terhadap Microsporum gypseum.............

31

Hasil uji efektivitas sampel A, sampel B, sampel C, sampel D
sampel E dan sampel F terhadap Pityrosporum ovale ..................

34

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel A terhadap
jamur Microsporum gypseum .........................................................

37

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel A terhadap
jamur Pityrosporum ovale .............................................................

38

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel B terhadap
jamur Microsporum gypseum .........................................................

39

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel B terhadap
jamur Pityrosporum ovale ..............................................................

40

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel C terhadap
jamur Microsporum gypseum ........................................................

41

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel C terhadap
jamur Pityrosporum ovale ..............................................................

42

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel D terhadap
jamur Microsporum gypseum .........................................................

43

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel D terhadap
jamur Pityrosporum ovale .............................................................

44

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel E terhadap
jamur Microsporum gypseum .........................................................

45

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel E terhadap
jamur Pityrosporum ovale ..............................................................

46

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel F terhadap
jamur Microsporum gypseum .........................................................

47

Gambar hasil uji aktivitas daya hambat sampel F terhadap
jamur Pityrosporum ovale ..............................................................

48

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

xiii

Universitas Sumatera Utara

UJI EFEKTIVITAS TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR
DARI SAMPO YANG MENGANDUNG ZINK PIRITION YANG
BEREDAR DI KOTA MEDAN

ABSTRAK
Produk sampo antiketombe yang beredar di Kota Medan beraneka ragam
jenisnya dari produsen yang berbeda. Umumnya produk sampo antiketombe
mengandung senyawa Zink pirition, namun di dalam kemasan sampo antiketombe
tidak mencantumkan konsentrasi zink pirition yang digunakan sehingga kekuatan
sampo dalam membunuh jamur perlu dievaluasi untuk melihat efektivitas produk.
Sampel yang diuji ada enam merek dengan kode SA, SB, SC, SD, SE dan SF.
Mikroba uji yang digunakan yakni Microsporum gypseum (ATCC 11395)
dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078) dengan metode difusi agar menggunakan
pencadang kertas. Pengujian dilakukan dengan pengenceran larutan sampo 2,5%,
5%, 10%, 15% dan 20% di dalam air suling steril. Pengamatan aktivitas
antijamur diinkubasi selama 48 jam pada suhu 25 oC. Keenam sampel yang
mengandung zink pirition diambil dari tiga supermarket di Kota Medan yaitu
Carefour, Indomart dan Alfamart.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampo SF mempunyai daya hambat
yang lebih besar daripada sampo SA, SB, SC, SD dan SE terhadap jamur
Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078)
karena pada larutan sampo 2,5% daya hambatnya 14,00 mm sedangkan SA, SB,
SC, SD dan SE daya hambatnya < 14,00 mm. Pada konsentrasi 5% keenam
sampel memiliki daya hambat > 14.,00 mm. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa SA, SB, SC, SD, SE dan SF yang beredar di kota Medan efektif
menghambat pertumbuhan jamur penyebab antiketombe. Keenam sampo yang
diuji menunjukkan bahwa sampel SF lebih efektif dibandingkan dengan sampo
SA, SB, SC, SD dan SE.
Kata kunci : Sampo, Microsprum gypseum,Pityrosporum ovale, antiketombe,
Zink Pirition

vi

Universitas Sumatera Utara

THE EFFECTIVENESS TEST AGAINST MOLD GROWTH FROM
SHAMPO CONTAIN ZINC PIRITION DISTRIBUTED IN MEDAN

ABSTRACT
Anti-dandruff shampo products distributed in Medan very in types from
different manufacturers. Generally, anti-dandruff shampo products contain
compounds Zink pirition, but in the anti-dandruff shampo packaging does not list
the concentration of zinc pirition used so that the power of shampo in killing the
mold needs to be evaluated to see the effectiveness of the product. Samples were
tested from six different brands with code SA, SB, SC, SD, SE and SF.
Microbial test used the Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan
Pityrosporum ovale (ATCC 12078) was measured by disc paper technique. Tests
performing by diluting the shampo solution 2.5%, 5%, 10%, 15%, and 20% in
sterile distilled water. Observation of antifungi activity were incubated for 48
hours at temperature of 25 oC. All the samples containing zinc pirition taken from
three supermarket in Medan, namely Carrefour, Indomart, and Alfamart.
The results showed that shampo SF has a greater inhibition than shampo
SA, SB, SC, SD and SE against Microsporum gypseum (ATCC 11395) and
Pityrosporum ovale (ATCC 12078), because the shampo solution 2.5% inhibition
14.00 mm whereas SA, SB, SC, SD and SE inhibition < 14.00 mm. At a
concentration of 5% six samples have inhibition >14.00 mm. Results of this study
indicate that SA, SB, SC, SD, SE and SF are circulating in the city of Medan
effectively inhibition the growth of mold that cause dandruff. Sixth shampo
samples tested showed that SF is more effective than the shampo SA, SB, SC, SD
and SE.
Keyword : Shampo, Microsporum gypseum,Pityrosporum ovale, antidandruff,
Zink Pirition

vii

Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sampo adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud keramas
rambut, sehingga setelah itu kulit kepala dan rambut menjadi bersih, lembut,
mudah diatur dan berkilau. Produk perawatan rambut yang digunakan untuk
menghilangkan minyak, debu, serpihan kulitdan kotoran lain dari rambut (Balsam
dan Saragih, 1974).
Kata sampo berasal dari bahasa Hindi champo, bentuk imperatif dari
champna. Di Indonesia dulu sampo dibuat dari merang yang dibakar menjadi abu
dan dicampur dengan air. Sampo merupakan salah satu bentuk kosmetik yang
tidak hanya dipakai oleh kaum wanita, tetapi juga oleh kaum pria dan anak-anak
(Ditjen POM, 1985).
Rambut selain berfungsi sebagai pelindung kepala, juga akan membuat
penampilan seseorang menjadi cantik dan menarik. Kulit kepala berketombe,
maka estetika penampilan seseorang akan tampak kurang cantik dan menarik,
bahkan rambut dapat menjadi rontok sampai kepala menjadi botak,oleh karena itu
masalah ketombe perlu ditanggulangi dan sedapat mungkin rambut dihindarkan
dari ketombe yang berlebihan (Bonang dan Koeswardono,1982).
Ketombe atau dandruff adalah pengelupasan bagian luar dari epidermis
kulit kepala yang terjadi berturut-turut dan sisik pengelupasan itu terlihat besarbesar. Ketombe berwarna putih, keadaannya halus tetapi kadang juga terasa kasar.
Ketombe yang berlebih atau dalam bahasa medisnya pitiriasis banyak diderita
oleh pendudukIndonesia karena Indonesia beriklim tropis, suhu tinggi dan udara

1

Universitas Sumatera Utara

lembap, sering dialami oleh orang dengan kulit berminyak. Ketombe, meskipun
tidak begitu berbahaya tetapi sering menjengkelkan dimana penderita menggarukgaruk karena merasa gatal sehingga tanpa disadari menyebabkan kulit kepala
menjadi terluka dan kadang disertai dengan peradangan juga menyebabkan
pertumbuhan jamur Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum
ovale (ATCC 12078)(Wasitaatmadja, 1997; Santosa dan Didik, 2001; Siregar,
2003).
Ketombe yang sering menjengkelkan dan membuat malu dalam
penampilan disebabkan oleh jamur, diantaranya jamur Pityrosporum ovale,
Microsporum gypseumdan Candida albicans. Tumbuhnya mikroorganisme
tersebut di rambut secara berlebihan yang dipicu oleh berbagai keadaan seperti
suhu, kelembapan, kadar minyak yang tinggi dan penurunan imunitas tubuh
(Wasitaatmadja, 1997; Harmanto, 2006).
Salah satu cara untuk menanggulangi dan menghindarkan kulit kepala dari
ketombe yang berlebihan adalah dengan memakai sampo antiketombe. Sampo
mengandung zat aktif yang bekerja sebagai fungisida. Seperti ketokonazol, zink
pirition dan selenium sulfide yang terdapat sampo antiketombe (Janssen, 1989).
Kadar zat aktif yang digunakan

dalam sampo antiketombe disesuaikan

dengan kadar untuk pengobatan dermatologi, beberapa kemungkinan juga
menyebabkan timbul reaksi kulit, seperti timbulnya ruam, pruritus dan dermatitis.
Zat aktif seperti senyawa belerang, selenium sulfida, yang tertimbun dan terserap
oleh folikel rambut dapat mengakibatkan kerontokan rambut (Mita, dkk., 2009).
Dewasa ini, berbagai jenis sampo yang dinyatakan sebagai sampo
antiketombe sangat banyak beredar di pasaran dengan berbagai merek dagang.
Kandungan zat aktifnya ada yang sama dan juga ada yang berbeda dan harganya

2

Universitas Sumatera Utara

pun sangat bervariasi. Mengingat banyaknya jenis sampo antiketombe, serta tidak
dicantumkan kadar zat berkhasiat dalam labelnya membuat permasalahan
terhadap penggunaan sampo, maka dari itu pengujian aktivitasnya dalam
menanggulangi ketombe perlu dilakukan agar konsumen terlindung dari iklan
yang menyesatkan (Hernani, 2001).
Berdasarkan hal di atas, telah dilakukan penelitian mengenai uji aktivitas
sampo yang mengandungzink pirition terhadap jamur penyebab ketombe yang
beredar di Kota Medan. Jamur uji yang digunakan yaitu Microsporum gypseum
(ATCC 11395) dan Pityrosporum ovale(ATCC 12078). Sampel yang digunakan
adalah enam jenis sampo yang mengandung zink pirition. Keenam jenis sampo ini
merupakan paling banyak beredar di Kota Medan.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi
USU Medan.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka perumusan
masalahnya adalah:
1. Apakah sampo antiketombe yang mengandung zink pirition yang beredar di
Kota Medan efektif dalam menghambat jamur Microsporum gypseum (ATCC
11395) dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078) ?
2. Apakah produk sampo yang beredar di Kota Medan memiliki efektivitas yang
sama?

1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesisnya yaitu:

3

Universitas Sumatera Utara

1. Produk sampo antiketombe yang beredar di Kota Medan dapat menghambat
pertumbuhan jamur Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum
ovale (ATCC 12078).
2. Produk sampo yang beredar di Kota Medan memiliki efektivitas yang tidak
samakarena kadar zink pirition dalam kemasan tidak dicantumkan.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui daya hambat dari keenam jenis sampo yang beredar di Kota
Medan terhadap pertumbuhan jamur Microsporum gypseum (ATCC 11395)
dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078)
2. Untuk membandingkan sampo mana yang lebih efektif dalam membunuh
jamur uji tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
efektivitas produk sampo yang beredar di Kota Medan.

4

Universitas Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketombe
2.1.1 Defenisi ketombe
Ketombe berasal dari bahasa latin yaitu Pitriasis simpleks capillitii.
Pengelupasan kulit kepala yang berlebihan dengan bentuk besar-besar seperti
sisik-sisik, disertai dengan adanya kotoran-kotoran yang berlemak, rasa gatal dan
kerontokan rambut dikenal sebagai ketombe (dandruff). Ketombe termasuk
penyakit kulit yang disebut dengan dermatitis seboroik (seborrohiec dermatitis)
dengan tanda-tanda inflamasi atau peradangan kulit kepala (Harahap, 1990).
Berdasarkan jenisnya secara umum dikenal dua macam ketombe, yaitu
1.Seborrhea siccaadalah ketombe jenis ini ditandai dengan kulit kepala yang
kering dan bersisik. Pada keadaan normal, lapisan kulit terluar selalu
menghasilkan sel keratin mati yang terus menerus dalam bentuk keping-keping
kecil (sisik). Biasanya pengelupasan ini seimbang dengan produksi jaringan sel
baru oleh lapisan dibawahnya, jika keseimbangan ini terganggu akan terjadi
pengelupasan sel keratin yang berlebihan. Sel-sel yang terlepas dengan adanya air
atau keringat akan melekat satu sama lain menjadi sisik-sisik yang besar.
2.Seborrhea oleosa adalah jenis ketombe yang disebabkan karena adanya
produksi lemak yang berlebihan sehingga kulit kepala menjadi sangat berlemak
dan sisik-sisik akan menggumpal dalam massa lemak. Kulit kepala yang berlemak
juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme penyebab
ketombe.

5

Universitas Sumatera Utara

Penyebab ketombe ditandai oleh gejala-gejala fisik, seperti timbulnya
sisik-sisik (kering atau basah) dikulit kepala, kulit kepala lecet, basah, gatal,
berminyak, bau dan terjadi kerontokan rambut (Siregar, 2003).
2.1.2 Penyebab ketombe
Menurut Ditjen POM (1985) ketombe dapat disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu:
Faktor internal, meliputi keseimbangan hormonal terganggu, proses metabolisme
sel tidak sempurna, stress dan emosi.
Faktor eksternal, meliputi perubahan biokimia pada lapisan epidermis kulit
kepala, peningkatan jumlah dan kerja jamur.
2.1.3 Pengobatan ketombe
Berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketombe, maka
dapat dikaitkan bahwa pengobatan ketombe yang ideal haruslah dengan bahan
yang mempunyai daya stimulansia, membersihkan kotoran dan lemak yang
berlebihan dan dapat menghilangkan atau megurangi gatal-gatal dengan pH yang
sesuai serta bentuk perawatan yang sesuai dengan tujuan kosmetika.

2.2 JAMUR
Jamur pada umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri jamur
berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh dan
pertumbuhan.
2.2.1Ciri-ciri kingdom jamur
Menurut Fardiaz (1992), jamur mempunyai ciri-ciri yang spesifik yaitu:
1. Eukariotik( memilikininti sel)
2. Umumnya multiseluler, ada juga yang uniseluler
3. Reproduksi dengan pembentukan spora dan habitat lembab
6

Universitas Sumatera Utara

4. Tubuh disusun oleh benang-benang yang disebut hifa. Hifa-hifa bersatu
membentuk miselium.
2.2.2

Struktur tubuh
Struktur tubuh jamur tergantung pada jenisnya. Ada jamur yang satu sel,

misalnya khamir, ada juga jamur yang multiseluler membentuk tubuh besar yang
ukurannya mencapai satu meter,contoh jamur kayu. Tubuh jamur tersusun dari
komponen dasar yang disebut hifa. Hifa membentuk jaringan yang disebut
misellium (Michael, 2005).
2.2.3Habitat jamur
Jamur memerlukan kondisi kelembapan yang tinggi, persediaan bahan
organik dan oksigen untuk pertumbuhannya. Lingkungan yang hangat dan lembab
mempercepat pertumbuhan jamur. Jamur tumbuh dengan baikpada kondisi
lingkungan yang mengandung banyak gula dengan tekanan osmotik tinggi dan
kondisi asam yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri. Jamur
tumbuh dalam kisaran temperature 22-300C (Pratiwi, 2008).
2.2.3

Klasifikasi jamur
Jamur diklasifikasikan menjadi empat kelas utama yaitu Phycomycetes,

Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Berdasarkan ciri-cirinya
spora seksual dan aseksual, habitat, struktur garis besar dan sifat nutrisinya, kelas
phycomecetes dibagi lagi menjadi enam kelas yaitu : Cytridiomycetes,
Hypocytridiomycetes, Oomycetes, Plasmodiophormycetes, Triomycetes dan
Zigomycetes. Keenam kelas ini umumnya tidak mempunyai septayang teratur
pada benang hifanya, sehingga mengakibatkan terdapat banyak nucleus di setiap
benang hifa(Pratiwi, 2008).

7

Universitas Sumatera Utara

Ascomycetes bergantung membentuk satu atau lebih spora seksual dalam
sel berbentuk

kantung yang disebut askus. Spora aseksual yang diperoduksi

ascomycetes sering kali berupa mikrokonidia bersel tunggal. Mikrokonidia
mungkin diproduksi dalam rantai yang panjang yang menjalar dari hifa udara
yang disebut konidiofor (Pratiwi, 2008).
Basidiomycetes membentuk spora seksual secara eksternal pada sel
berbentuk ganda. Reproduksi seksual mungkin terjadi melalui pertunasan,
mikrokonidia ataupun fragmentasi benang hifa (Pratiwi, 2008).
Deuteromycotaadalah jamur yang status seksualnya belum diketahui
secara pasti, karena konidiumnya jelas dan tidak asing lagi, banyak spesies
dianggap tergolong ke dalam kelas ini meskipun tingkat seksualnya saat ini telah
diketahui dengan baik. Sebagian besar jamur pathogen termasuk ke dalam kelas
Deuteromycetes, dan memiliki sifat dimorfisme yang khas. Penyakit yang
disebabkan oleh fungi Deuteromycetes meliputi infeksi permukaan, yaitu infeksi
kulit yang terbatas pada jaringan keratin yaitu kuku, rambut dan stratumkorneum
serta infeksi dibawah kulit (Pelezer,2005).
2.2.5

Microsporum gypseum
Sistematika jamur Microsporum gypseum (Chander, 2002)
Divisi : Eumycetes
Kelas : Deuteromycota
Bangsa : Hypomycetes
Suku : Moniliaceae
Marga : Microsporum
Jenis

: Microsporum gypseum

8

Universitas Sumatera Utara

Microsporum gypseum merupakan salah satu penyebab jamur kulit kepala
dan ketombe. Makrokonia merupakan bentuk konidia terbanyak yang menyusun
jamur ini. Konidia ini besar, berdinding kasar, multiseluler, berbentuk kumparan
dan terbentuk pada ujung-ujung hifa. Makrokonidia Microsporum gypseum terdiri
dari empat sampai enam sel, berdinding lebih tipis dalam koloni yang berwarna
kecoklat-coklatan (Jawetz, 1996).
2.2.6

Pityrosporum ovale
Sistematika jamur Pityrosporum ovale (Fardiaz, 1992).
Divisi

: Eumycetes

Kelas

: Deuteromycetes

Ordo

: Cryptococcales

Famili

: Cryptococcaceae

Genus

: Pityrosporum

Spesies

: Pityrosporum ovale

Pityrosporum ovale adalah yeast lipofilik yang merupakan flora normal
pada kulit kepala manusia. Pityrosporum ovale berkembangbiak dengan cara
bertunas. Pada penderita ketombe. Antibodi Pityrosprum ovale dan jumlah
Pityrosporum ovale pada kulit kepala meningkat (Cadin, 1998; Fardiaz, 1992).

2.3 Sampo
2.3.1 Definisi sampo
Sampo adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud keramas
rambut, sehingga setelah itu kulit kepala dan rambut menjadi bersih dan
sedapatmungkin rambut menjadi lembut, mudah diatur dan berkilau (Ditjen POM,
1985).
Semula bahan-bahan yang sering digunakan untuk sampo adalah berbagai
9

Universitas Sumatera Utara

bahan dari alam seperti sari biji rerak, sari daging kelapa, sari abu merang (sekam
padi). Dewasa ini yang digunakan adalah detergen (Ditjen POM, 1985).
Sampo dapat dikemas dalam berbagai bentuk sediaan, bubuk, larutan,
jernih, larutan pekat, larutan berkilat, krim, gel, atau aerosol, dengan jenis:
1. Dasar sampo (basic shampo), yaitu sampo yang dibuat sesuai dengan kondisi
rambut, kering, normal, berminyak.
2. Sampo bayi (baby shampo), yaitu sampo yang tidak menggunakan bahan yang
mengiritasi mata dan mempunyai daya bersih sedang karena kulit dan rambut bayi
masih minim sebumnya.
3. Sampo dengan pelembut (conditinioner).
4. Sampo professional (sampo yang diberikan untuk pengobatan tertentu, biasanya
diberikan oleh dokter) yang mempunyai konsentrasi bahan aktif lebih tinggi
sehingga harus diencerkan sebelum pemakaian.
5. Sampo medik (medicated shampo)yang mengandung antiketombe (sulfur, asam
salisilat, sulfide) (Depkes RI, 1985).
Sampo pada umumnya digunakan dengan mencampurkanya dengan air dengan
tujuan m elarutkan minyak alami yang dikeluarkan oleh tubuh untuk melindungi
rambut dan membersihkan kotoran yang melekat, meningkatkan tegangan
permukaan kulit, umumnya kulit kepala sehingga dapat meluruhkan kotoran
(Depkes RI, 1985).
2.3.2 Syarat-syarat sampo
Syarat-syarat sampo menurut Ditjen POM (1985) adalah
1. Dapat mencuci rambut serta kulit kepala secara keseluruhan.
2. Tidak toksik dan tidak menimbulkan iritasi.
3. Kandungan surfaktannya tidak membuat rambut dan kulit kepala menjadi
10

Universitas Sumatera Utara

kering.
4. Memiliki konsistensi yang stabil, dapat menghasilkan busa dengan cepat,
lembut dan mudah dibilas dengan air.
5. Setelah pencucian rambut harus mudah dikeringkan.
6. Dapat menghasilkan rambut yang halus, mengkilat, tidak kasar, tidak mudah
patah, serta mudah diatur.
7. Harga relatif murah

2.4 Surfaktan
2.4.1 Uraian surfaktan
Surfaktan adalah bahan aktif dalam sampo, berupa detergen pembersih
sintesis yang cocok untuk kondisi rambut yang bekerja dengan cara menurunkan
tegangan permukaan cairan sehingga dapat melarutkan kotoran yang melekat
pada permukaan rambut (Wasitaatmadja, 1997).
Berdasarkan sifat gugus yang dikandungnya, surfaktan dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu (Siswandono, 1998):
1. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan negatif dan dapat
berupa gugus karboksil, sulfat, sulfonat atau fosfat. Contoh: natrium stearat dan
natrium lauril sulfat.
2. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil bermuatan positif, dan dapat
berupagugus ammonium kuarterner, biguanidin, sulfonium, fosfonium dan
iodonium. Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil bermuatan positif, dan
dapat berupa gugus ammonium kuarterner, biguanidin, sulfonium, fosfonium

11

Universitas Sumatera Utara

daniodonium. Contoh: turunan ammonium kuarterner seperti setilpirimidium
klorida.
3.Surfaktan non ionik
Surfaktan ini tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus hidrofil dan lipofil
yang lemah sehingga larut atau dapat terdispersi dalam air, biasanya adalah gugus
polioksietilen eter dan polyester alkohol. Contoh: polisorbat 80 dan span 80.
4. Surfaktan amfoterik
Surfaktan amfoterik mengandung dua gugus hidrofil yang bermuatan positif
(kationik) dan negatif (anionik). Contoh: N-lauril-  -aminipropionat dan miranol.
2.4.2

Bahan tambahan

Bahan tambahan ini berguna untuk pemeliharaan kesehatan rambut dan
memberikan bentuk yang baik pada sampo, terdiri dari :
1. Bahan pelembut (conditioning agent) untuk melemaskan rambut, bahan uang
digunakan adalah gliserin, propilenglikol, sorbitol, dll.
2. Bahan pembusa (foam builder)
Pembentuk busa adalah bahan surfaktan yang masing-masing berbeda daya
pembuat busanya. Busa adalah emulsi udara dalam cairan. Kemampuan
membentuk busa tidak menggambarkan kemampuan membersihkan. Busa
yang terbentuk akan segera terikat dengan lemak sebum sehingga rambut yang
lebih bersih akan menimbulkan busa yang lebih banyak pada pengulangan
pemakaian shampo.
3. Bahan pengental dan pengeruh untuk menyenangkan konsumen dan keduanya
tidak menggambarkan daya bersih atau konsentrasi bahan aktif dalam sampo.
4. Pemisah logam (sequestering agent) untuk mengikat logam (K, Mg) yang
terdapatdalam air pencuci rambut, misalnya tween 80.

12

Universitas Sumatera Utara

5. pH balance untuk menetralkan reaksi basa yang terjadi dalam penyampoan
rambut, misalnya asam sitrat.
6. Warna dan bau untuk memberi kesan nyaman pada pemakaian
(Wasitaatmadja, 1997).
2.4.3

Sampo antijamur (sampo antiketombe)

Sampo antijamur adalah sampo yang digunakan selain untuk membersihkan
juga untuk mencegah dan menghilangkan jamur penyebab infeksi kulit kepala.
Kandungan dan persyaratan dari sampo antijamur tidak berbeda dengn sampo
biasa, hanya pada sampo antijamur, mengandung zat untuk menghilangkan jamur
pada kulit kepala.
Menurut Ditjen POM (1985),persyaratan umum yang harus dimiliki dari
sediaan sampo antijamur adalah sebagai berikut.
1. Membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa menjadikan rambut berlemak atau
kering serta menjadi mudah diatur.
2. Tidak boleh merangsang kelenjar lemak
3.Efektif sebagai germisidum atau fungisidum, sehingga dapat mencegah
peningkatan pertumbuhan bakteri dan jamur, bahkan dapat mencegah infeksi.

2.5 Zink pirition
2.5.1 Uraian zink pirition
Zink pirition merupakan senyawa dengan rumus bangun sebagai berikut
(C10H8N2S2O2Zn) :

13

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Struktur kimia Zink Pirition (Rusmalirin, 2003).
Mempunyai sifat antijamur, antibakteri dan anti seboreik sehingga efektif
mengontrol ketombe. Selain itu juga memiliki sifat sitostatika dengan cara
menekan aktivitas profilerasi sel epitel. Zink pirition adalah turunan,tioksi-1,2,
dan dihidro piridin dengan rumus molukelnya C 10H8N2O2 S2ZN sering dikenal
dengan nama dagang Zinc omadine atau Vancide ZP (Rooder NL,2011). Zink
pirition

digunakan

kemampuannya

sebagai

dalam

antijamur.

mengganggu

Efek

antijamurnya

transportasi

membran

berasal
sel

dari

dengan

memblokade pompa proton sehingga tidak ada lagi energi dikeluarkan untuk
digunakan pada mekanisme transportasi sel dari sel jamur itu sendiri. Sifatnya
sebagai antijamur, zink pirition dipakai untuk perawatan ketombe ditemukan di
dalam sampo . Pemberian zink pirition secara topikal merupakan terapi yang
aman dan efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur (Stecher,1980).
Menurut Brock dan Madigan (1991), zat antijamur

merupakan bahan

yang dapat membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen
bagi manusia.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, senyawa antifungi dibagi atas
fungisida dan fungistatik. Fungisida yaitu senyawa antijamur yang mempunyai
kemampuan untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur menjadi
hancurkarena lisis, akibatnya jamur tidak dapat diproduksi kembali, meskipun
kontak dengan obat dihentikan. Fungistatik yaitu senyawa antijamur yang

14

Universitas Sumatera Utara

mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur sehingga jumlah
sel jamur yang hidup relatif tetap. Pertumbuhan jamur akan berlangsung kembali
bila kontak dengan obat dihentikan.
Menurut

Pelczer

dan

Reid

(1979),

berdasarkan

mekanisme

penghambatannya, obat antijamur dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Zat antijamur yang bekerja dengan merusak dinding sel jamur, sehingga
menyebabkan dinding sel lisis. Zat antijamur berikatan kuat dengan sterol yang
terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini mengakibatkan kebocoran membran
sel, sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan
kerusakan yang tetap pada dinding jamur.
b. Zat antijamur yang bekerja dengan menggangu permebilitas sitoplasma, sehingga
terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel. Permebialitas dinding sel dirusak
dengan mengganggu proses sintesis asam nuklat atau dengan menimbun senyawa
peroksida dalam sel jamur sehingga terjadi kerusakan dinding dinding sel yang
mengakibatkan permebialitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat.
Dalam peraturan Kepala Badan POM No. HK. 00. 05. 42. 1018, kadar zinc
pirition sebagai antiketombe dibatasi 2% untuk dibilas dan 0,1% produk non bilas,
yang dinyatakan efektif dan aman oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Ditjen POM, 2009).

2.6 Uji aktivitas antimikroba
Uji kepekaaan terhadap antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan
melalui tiga cara, yaitu :
a. Metode dilusi
Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan

15

Universitas Sumatera Utara

KBM dari obat antimikroba. Prinsip dari metode dilusi menggunakan satu seri
tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji,
kemudian masing-masing tabung diuji dengan obat yang telah diencerkan secara
serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18-24 jam dan diamati
terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang
ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada
pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Konsentrasi terendah obat pada
biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba
adalah KBM dari obat terhadap bakteri (Pratiwi, 2008).
b. Metode difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakramkaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang.
Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih di sekitar cakram.
Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin
kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode
ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya: pH, suhu, zat
inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas
dari bahan obat (Jawetz, et al., 2001).
b. Metode turbidimetri
Pada cara ini digunakan media cair, pertama dilakukan penuangan media
kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan suspensi bakteri, kemudian dilakukan
pemipetan larutan uji, dilakukan inkubasi, selanjutnya dilakukan pengukuran
kekeruhan, kekeruhan diukur denganmenggunakan instrumen yang cocok,

16

Universitas Sumatera Utara

misalnya nephelometer setelah itu dilakukan penghitungan potensi antimikroba
(Depkes, 1995).

17

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran diameter hambatan jamur uji oleh enam jenis sampo
dapat dilihat dari Tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Hasil pengukuran diameter hambat (mm) pertumbuhan jamur
Microsporum gypseum oleh keenam sampo
Pengenceran
larutan
sampo (%)
Blanko
2,5
5
10
15
20

SA
11,90
16,04
17,03
19,80
21,03

Microsporum gypseum
SB
SC
SD
SE
11,91
15,96
17,60
18,01
19,02

10,05
14,01
16,03
17,98
18,40

9,06
14,30
15,00
15,96
17,23

13,53
16,61
18,64
18,97
21,01

SF
14,03
21,06
21,96
23,06
26,05

Tabel 4.2 Hasil pengukuran diameter hambat (mm) pertumbuhan jamur
Pityrosporum ovaleoleh keenam sampo
Pengenceran
larutan
sampo (%)
Blanko
2,5
5
10
15
20

SA

SB

11,92
16,0
17,03
18,01
20,03

12,05
16,08
18,09
19,01
21,03

Pityrosporum ovale
SC
SD
SE
8,053
14,04
14,94
15,27
16,11

8,190
14,01
15,10
15,80
17,00

13,53
14,98
18,03
19,01
20,0

SF
14,03
21,05
22,05
23,02
25,10

Berdasarkan tabel di atas hasil pengukuran diameter daerah hambat pada
jamur Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale hampir sama. Hal ini
disebabkan karena Zinc pythirione merupakan salah satu komponen yang
mempunyai efek antiketombe berdasarkan kemampuan molekul pirition yang
tidak terionisasi untuk menggangu transport membran dengan menghambat
mekanisme energi pompa proton sehingga dapat menghambat pertumbuhan

23

Universitas Sumatera Utara

jamur, jika tidak digunakan sesuai dengan kadar yang ditetapkan kemungkinan
besar zat ini dapat menimbulkan reaksi kulit yang tidak dikehendaki seperti ruam,
pruritus dan dermatitis (Ditjen POM, 1985).
Sampo yang diperoleh mengandung zink pirition efektif membunuh jamur
uji. Sampel SF sudah efektif pada pengenceran sampo 2,5%, memiliki daya
hambat 14,00 mm sedangkan sampel SA, SB, SC ,SD ,SD dan SE pada
pengenceran sampo 2,5% tidak dapat menghambat jamur uji, namun pada
pengenceran sampo 5% - 20% semua sampel dapat menghambat jamur uji.
Hasil yang diperoleh dari Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
sampo SC dan SD memiliki daya hambat terrendah dibandingkan dengan SA, SB
dan SE sedangkan SF memiliki zona hambat paling yang besar dibandingkan
dengan SA, SB, SC, SD dan SE pada jenis jamur yang sama.
Perbedaan aktivitas yang ditunjukkan oleh masing-masing keenam sampel
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi zat aktif yang terkandung di
dalam sampel karena dasar sampo yang digunakan tidak tertera dalam label dan
perbedaan zat tambahan yang digunakan.
Peraturan Kepala Badan POM No. HK. 00. 05. 42. 1018, kadar zinc
pirition sebagai antiketombe dibatasi 2% untuk sampo yang dibilas dan 0,1%
sampo yang tidak dibilas dan dinyatakan efektif dan aman (Badan POM, 2010).
Zink pirition terdiri dari logam Zn dan Pt yang merupakan logam berat
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Logam berat pada sel akan terikat
pada protein membentuk metalotionein (protein yang mengakumulasi logam)
serta agen yang dapat menekan pertumbuhan lapisan epidermis sehingga dapat
membantu mengurangi dan mencegah ketombe, dengan demikian sel yang
seharusnya aktif membelah atau memperbanyak diri terpaksa terhambat karena
24
Universitas Sumatera Utara

protein berikatan dengan logam. Zink pirition berikatan kuat dengan rambut dan
epidermis tetapi tidak terpenetrasi ke dermis sehingga tidak toksik (Ariyana, dkk.,
2009).
Keefektifan zink pirition sebagai antiketombe sangat tergantung dari
seberapaluas ikatannya dengan rambut dan epidermis, lama kerja, suhu,
konsentrasi serta seringnya pemakaian dan pemberian (Ariyana, dkk., 2009

25
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Produk sampo yang beredar di kota Medan dapat menghambat
pertumbuhan jamur Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum
ovale (ATCC 12078).
Keenam produk sampo yang diuji menunjukkan bahwa sampel SF
memiliki efektivitas yang paling kuat yakni pada pengenceran sampo 2,5%
memiliki daya hambat 14,0 mm, dibandingkan dengan sampel SA, SB, SC, SD
dan SE dimana pada pengenceran sampo 5% memiliki efektivitas yang efektif
terhadap jamur yang sama.

5.2 Saran
Kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti kadar zat aktif seperti zink
pirition yang terkandung di dalam sampo.

26

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Ariyana,Dewi, S.S., dan Haribi, R. (2009). Daya Hambat Shampo Shampo
Antiketombe Terhadap Pertumbuhan C. Albicans Penyebab Ketombe.
Semarang: Laboratorium Mikrobiologi UNIMUS.14(4):5-10.
Balsam, M.S., dan Saragih, E, (1974). Cosmetic Science and Tecnology. Edisi
kedua. New York: WhileyInterscience Inc. Hal. 81-10.
Bonang, G., dan Koeswardono, E.S. (1982). Microbiologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia. Hal. 71.
Brock, T.D., dan M.T. Madigan.1991. Iology of Microorganism. Sixth Edition.
New York: Prentice Hall International Editions. Hal 58.
Cadin C. (1998). Isolated dandruff. Editor: Baran dan Maichbach. Dalam
Textbook Of Cosmetic Dermatology. Edisi Kedua. London: Martin Dunit.
Hal. 193-200.
Chander, J. (2002). Textbook Of Medical Micology. London: Blackwell Science
Ltd. Hal. 78-83.
Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI.
Difco Laboratories. (1977). Difco Manual of Dehydrated Culture Media and
Reagents for Microbiology and Clinical Laboratory Procedures. Edisi
kesembilan. Detroit Michigan: Difco Laboratories. Hal. 32, 64.
Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal. 143-147, 297-326, 306, 333-340.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat.Jakarta: Departeman
Kesehatan RI. Hal. 891-899.
Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetik Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal. 285-286.
Ditjen POM. (2009). Farmakope Herbal Indonesia. Edisi pertama. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Hal. 52.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
dan PAU Pangan dan Gizi. Hal. 239-249.
Harahap, M, 1990. Penyakit kulit. Penerbit : PT Gramedia. Jakarta. Hal 55-60.
Hernani. (2001). Temulawak (Curcuma zanthorrhiza Roxb) Tumbuhan Obat
Indonesia, penggunaan obat dan Khasiatnya. Jakarta: Pustaka Populer
Obor. Hal. 130.

27

Universitas Sumatera Utara

Harmanto, N. (2006). SHK: Ibu Sehat dan Cantik dengan Herbal. Jakarta: Elex
Media Komputindo. Hal. 18-19.
Imron, H.S.S 1985. Sediaan Kosmetika. Direktorat Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Janssen Pharmaceutica. (1989). Ketoconazole in Seborrhoeic Dermatitis and
Dandruff a Review. United Kingdom: ADIS Pre Lay, B.W., dan Hastowo,
S. (1992). Mikrobiologi. Bogor: Penerbit Institut Pertanian Bogor. Hal. 79.
Jawetz, E. (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit EGC Buku
Kedokteran. Hal. 3, 611-616.
Lay, B.W., dan Hastowo, S. (1992). Mikrobiologi. Bogor: Penerbit Institut
Pertanian Bogor. Hal. 79.
Mita, S.R., Rusmiati, D., dan Kusuma, S.A. (2009). Pengembangan Ekstrak
Etanol Kubis (Bassica oleracea var. Capitata l.). Asal Kabupatn Bandung
Barat dalam Bentuk Sampo Antiketombe Terhadap Jamur Malassezia
furfur.Skripsi. Bandung: Universitas Padjajaran. Diakses Tanggal: 5
Oktober 2012.http://pustaka.unpad.ac.id.
Michael J, P, Ir., dan E.C.S. Chan. (2005). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit
Universitas Indonesia. Hal. 826.
Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. ,
101-117, 190-191.
Pelczer, M.J. dan Reid, R.D. 1979. Microbiology. Mc. Graw Hill Book Co. New
York.
Pelezer, J.M. (2005). Dasar-Dasar Mikrobiolog II. Jaka