Uji Daya Hambat Sampo yang Mengandung Minyak Kelapa Murni Terhidrolisis Terhadap Jamur Penyebab Ketombe

(1)

UJI DAYA HAMBAT SAMPO YANG MENGANDUNG

MINYAK KELAPA MURNI TERHIDROLISIS TERHADAP

JAMUR PENYEBAB KETOMBE

SKRIPSI

OLEH:

NULIKA FITRIA BR SILALAHI NIM 091501060

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI DAYA HAMBAT SAMPO YANG MENGANDUNG

MINYAK KELAPA MURNI TERHIDROLISIS TERHADAP

JAMUR PENYEBAB KETOMBE

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NULIKA FITRIA BR SILALAHI NIM 091501060

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI DAYA HAMBAT SAMPO YANG MENGANDUNG

MINYAK KELAPA MURNI TERHIDROLISIS TERHADAP

JAMUR PENYEBAB KETOMBE

OLEH:

NULIKA FITRIA BR SILALAHI NIM 091501060

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 8 Februari 2014

Pembimbing I,

Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt. NIP 195006121980032001

Pembimbing II,

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt. NIP 195006071979031001

Panitia Penguji,

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195111021977102001

Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt. NIP 195006121980032001

Dra. Anayanti Arianto,M.Si., Apt. NIP 195306251986012001

Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt. NIP 195109081985031002

Medan,April 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih, rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Uji Daya Hambat Sampo yang Mengandung Minyak Kelapa Murni Terhidrolisis Terhadap Jamur Penyebab Ketombe”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. Anayanti Arianto,M.Si., Apt.,selaku penasehat akademis yang telah memberikan bimbingan kepada penulis serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Ibu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., Ibu Dra. Anayanti Arianto,M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt., selaku dosen pengujiyang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

yangtiadahentinya berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis, juga kepada adik-adikku, Julika Rasmawati Silalahi, Triningtias Silalahi, Iwanko Andreas Silalahi dan Elly Sari Silalahi, yang selalu setia memberi doa, dorongan, dan motivasi selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya. Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan kefarmasian.

Medan, 8 Februari 2014 Penulis

Nulika Fitria BR Silalahi NIM 091501060


(6)

UJI DAYA HAMBAT SAMPO YANG MENGANDUNG MINYAK KELAPA MURNI TERHIDROLISIS TERHADAP JAMUR PENYEBAB

KETOMBE

ABSTRAK

Asam lemak rantai pendek dan sedang terutama asam laurat merupakan kandungan terbesar minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO). Hidrolisis parsial menggunakan natrium hidroksida (NaOH) akan menghasilkan asam laurat, monolaurin, dan dilaurin. Asam laurat dan monolaurin aktif sebagai antibakteri dan antijamur sedangkan dilaurin dan trilaurin tidak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan VCO dan VCO terhidrolisis ke dalam sampo terhadap daya hambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCO yang diproduksi oleh Noery Vico Lhokseumawe – Nanggroe Aceh Darussalam. Minyak tersebut dihidrolisis dengan penambahan 25%, 50%, 75%, dan 100% NaOH dihitung dari bilangan penyabunan total kemudian diformulasikan menjadi sampo. Selama penyimpanan dilakukan evaluasi mutu fisik sediaan yang meliputi stabilitas, pH, dan viskositas.Pengujian daya hambat jamur dilakukan terhadap jamur penyebab ketombe yakni Pityrosporum ovale dan

Microsporum gypseumdengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam.Pengujian dilakukan juga pada sampo Clear sebagai pembanding.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan secara fisik stabil selama penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar, pH dan viskositas juga stabil.Hasil uji aktivitas sampo terhadap jamur Microsporum gypseum diperoleh hambatan 18,98 mm untuk sampo yang tidak mengandung VCO, 18,73 mm untuk sampo yang mengandung VCO tanpa hidrolisis, 19,15, 19,18, 19,78 dan 19,80 mm untuk sampo yang mengandung VCO terhidrolisis dengan tingkat hidrolisis berturut-turut 25%, 50%, 75% dan 100% serta 26,66 mm untuk sampo Clear. Pada jamur Pityrosporum ovale diperoleh hambatan 23,40 mm untuk sampo yang tidak mengandung VCO, 23,23 mm untuk sampo yang mengandung VCO tanpa hidrolisis, 23,80, 23,88, 25,53 dan 26,56 mm untuk sampo yang mengandung VCO terhidrolisis dengan tingkat hidrolisis berturut-turut 25%, 50%, 75% dan 100% serta 27,41 mm untuk sampo Clear.

Kata kunci: Minyak kelapa murni, ketombe, sampo, Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale.


(7)

INHIBITION ACTIVITIES TEST OF SHAMPOO CONTAINING HYDROLIZED VIRGIN COCONUT OIL AGAINST FUNGI CAUSING

DANDRUFF

ABSTRACT

Short chain and medium chain fatty acids, mainly lauric acid are the major content of virgin coconut oil (VCO) bound as triglycerides. Partial hydrolysis of triglycerides will generate free fatty acids and glycerol. Hidrolysis using NaOH (saponification) generate lauric acid, monolaurin and dilaurin. Lauric acid and monolaurin are effective as antibacterial and antifungal agent whereas dilaurin and trilaurin are not. The purpose of this research was to study the influence of addition VCO and hydrolyzed VCO into shampoo against fungi causing dandruff.

The VCO that used in this research produced by Noery Vico Lhokseumawe – Nanggroe Aceh Darussalam. The VCO was hydrolyzed by the addition of 25%, 50%, 75%, and 100% NaOH calculated from the number of total saponification then formulated be shampoo. During the storage, the stability, pH and viscosity of shampoo were measured. Test conducted on the inhibition of fungi causing dandruff, Microsporum gypseum and Pityrosporum ovale,was measured by cup-plate technique. This test also do on Clear shampoo as a comparison.

Based on the results of research the shampoo preparations are physically stable during storage for 12 weeks at room temperature, pH and viscosity are stable. The activities test of antifungal shampoo for Mycrosporum gypseum showed inhibition 18,98 mm for shampoo without VCO, 18.73 mm for shampoo containing VCO without hydrolysis, 19.15, 19.18, 19.78 and 19.80 mm for shampoo containing VCO with hydrolysis level 25%, 50%, 75% and 100% and 26.66 mm for Clear. At Pityrosporum ovale showed inhibition 23.40 mm for shampoo without VCO, 23.23 mm for shampoo containing VCO without hydrolysis, 23.80, 23.88, 25.53 and 26.56 mm for shampoo containing VCO with hydrolysis level 25%, 50%, 75% and 100% and 27.41 mm for Clear.

Keywords: Virgin coconut oil, dandruff, shampoo, Microsporum gypseum and Pityrosporum ovale.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Habitat ... 5

2.1.2 Morfologi ... 5


(9)

2.1.4 Sinonim ... 6

2.1.5 Nama daerah ... 6

2.1.6 Nama asing ... 7

2.1.7 Kandungan kimia ... 7

2.1.8 Khasiat ... 7

2.2 Lemak dan Minyak ... 7

2.3 Asam Lemak ... 9

2.4 Hidrolisis Trigliserida ... 10

2.5 Minyak Kelapa ... 11

2.6 Minyak Kelapa Murni (VCO) ... 13

2.6.1 Bahan baku utama ... 13

2.6.2 Pembuatan VCO ... 13

2.6.3 Sifat fisika kimia VCO ... 13

2.6.4 Komposisi asam lemak VCO ... 14

2.7 Aktivitas Antijamur Minyak Kelapa Murni dan Hasil Hidrolisisnya ... 15

2.8 Ketombe ... 16

2.9 Uraian Jamur ... 17

2.9.1 Microsporum gypseum ... 18

2.9.2 Pityrosporum ovale ... 18

2.10 Sampo ... 19

2.10.1 Defenisi sampo ... 19

2.10.2 Syarat-syarat sampo ... 19


(10)

2.10.4 Pemerian bahan sampo yang digunakan ... 21

2.10.5 Sampo antijamur (sampo antiketombe) ... 23

2.11 Uraian Pembuatan dan UJi Antijamur Sampo ... 24

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 26

3.1 Alat dan Bahan ... 26

3.1.1 Alat ... 26

3.1.2 Bahan ... 26

3.2 Hidrolisis VCO ... 27

3.2.1 Hidrolisis total ... 27

3.2.2 Hidrolisis parsial ... 28

3.3 Penentuan Bilangan Asam VCO dan Hasil Hidrolisisnya ... 28

3.4 Pembuatan Larutan VCO dan VCO Terhidrolisis ... 29

3.5 Prosedur Pembuatan Sampo ... 29

3.5.1 Formula sampo ... 29

3.5.2 Formula modifikasi ... 29

3.6 Pemeriksaan Mutu Sediaan Fisik ... 31

3.6.1 Pemeriksaan stabilitas ... 31

3.6.2 Penentuan pH ... 31

3.6.3 Penentuan viskositas ... 32

3.7 Prosedur Sterilisasi Alat ... 32

3.8 Pembuatan Media ... 33

3.8.1 Potato dextrose agar ... 33


(11)

3.8.3 Larutan NaCl 0,9% ... 33

3.9 Penyiapan Inokulum ... 34

3.9.1 Pembuatan stok kultur ... 34

3.9.2 Pembuatan inokulum ... 34

3.10 Pengujian Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis ... 34

3.11 Pengujian Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis yang Diformulasi dalam Sampo .... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Mutu Fisik Sampo ... 36

4.2 Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis ... 38

4.3 Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis Yang Diformulasi dalam Sampo ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Struktur kimia trigliserida ... 8 2.2 Persamaan reaksi hidrolisis ... 10 4.1 Grafik daya hambat VCO danVCO terhidrolisis terhadap

jamurMicrosporum gypseum dan Pityrosporum ovale... 39 4.2 Grafik daya hambat sampo terhadap jamurMicrosporum


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa murni ... 14 3.1 Rancangan formula sampo ... 30 4.1 Mutu fisik sampo ... 36 4.2 Aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dengan

konsentrasi 2% dari tiap tingkat hidrolisis ... 38 4.3 Aktivitas antijamur sampo yang mengandung VCO dan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Bagan pembuatan sampo ... 49

2. Gambar sediaan sampo ... 50

3. Bagan pengujian aktivitas antijamur sampo ... 51

4. Gambar daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Microsporum gypseum ... 52

5. Gambar daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Pityrosporum ovale ... 53

6. Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Microsporum gypseum ... 54

7. Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Pityrosporum ovale ... 55

8. Data pemeriksaan stabilitas sampo ... 56

9. Data pemeriksaan pH sampo ... 57


(15)

UJI DAYA HAMBAT SAMPO YANG MENGANDUNG MINYAK KELAPA MURNI TERHIDROLISIS TERHADAP JAMUR PENYEBAB

KETOMBE

ABSTRAK

Asam lemak rantai pendek dan sedang terutama asam laurat merupakan kandungan terbesar minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO). Hidrolisis parsial menggunakan natrium hidroksida (NaOH) akan menghasilkan asam laurat, monolaurin, dan dilaurin. Asam laurat dan monolaurin aktif sebagai antibakteri dan antijamur sedangkan dilaurin dan trilaurin tidak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan VCO dan VCO terhidrolisis ke dalam sampo terhadap daya hambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCO yang diproduksi oleh Noery Vico Lhokseumawe – Nanggroe Aceh Darussalam. Minyak tersebut dihidrolisis dengan penambahan 25%, 50%, 75%, dan 100% NaOH dihitung dari bilangan penyabunan total kemudian diformulasikan menjadi sampo. Selama penyimpanan dilakukan evaluasi mutu fisik sediaan yang meliputi stabilitas, pH, dan viskositas.Pengujian daya hambat jamur dilakukan terhadap jamur penyebab ketombe yakni Pityrosporum ovale dan

Microsporum gypseumdengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam.Pengujian dilakukan juga pada sampo Clear sebagai pembanding.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan secara fisik stabil selama penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar, pH dan viskositas juga stabil.Hasil uji aktivitas sampo terhadap jamur Microsporum gypseum diperoleh hambatan 18,98 mm untuk sampo yang tidak mengandung VCO, 18,73 mm untuk sampo yang mengandung VCO tanpa hidrolisis, 19,15, 19,18, 19,78 dan 19,80 mm untuk sampo yang mengandung VCO terhidrolisis dengan tingkat hidrolisis berturut-turut 25%, 50%, 75% dan 100% serta 26,66 mm untuk sampo Clear. Pada jamur Pityrosporum ovale diperoleh hambatan 23,40 mm untuk sampo yang tidak mengandung VCO, 23,23 mm untuk sampo yang mengandung VCO tanpa hidrolisis, 23,80, 23,88, 25,53 dan 26,56 mm untuk sampo yang mengandung VCO terhidrolisis dengan tingkat hidrolisis berturut-turut 25%, 50%, 75% dan 100% serta 27,41 mm untuk sampo Clear.

Kata kunci: Minyak kelapa murni, ketombe, sampo, Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale.


(16)

INHIBITION ACTIVITIES TEST OF SHAMPOO CONTAINING HYDROLIZED VIRGIN COCONUT OIL AGAINST FUNGI CAUSING

DANDRUFF

ABSTRACT

Short chain and medium chain fatty acids, mainly lauric acid are the major content of virgin coconut oil (VCO) bound as triglycerides. Partial hydrolysis of triglycerides will generate free fatty acids and glycerol. Hidrolysis using NaOH (saponification) generate lauric acid, monolaurin and dilaurin. Lauric acid and monolaurin are effective as antibacterial and antifungal agent whereas dilaurin and trilaurin are not. The purpose of this research was to study the influence of addition VCO and hydrolyzed VCO into shampoo against fungi causing dandruff.

The VCO that used in this research produced by Noery Vico Lhokseumawe – Nanggroe Aceh Darussalam. The VCO was hydrolyzed by the addition of 25%, 50%, 75%, and 100% NaOH calculated from the number of total saponification then formulated be shampoo. During the storage, the stability, pH and viscosity of shampoo were measured. Test conducted on the inhibition of fungi causing dandruff, Microsporum gypseum and Pityrosporum ovale,was measured by cup-plate technique. This test also do on Clear shampoo as a comparison.

Based on the results of research the shampoo preparations are physically stable during storage for 12 weeks at room temperature, pH and viscosity are stable. The activities test of antifungal shampoo for Mycrosporum gypseum showed inhibition 18,98 mm for shampoo without VCO, 18.73 mm for shampoo containing VCO without hydrolysis, 19.15, 19.18, 19.78 and 19.80 mm for shampoo containing VCO with hydrolysis level 25%, 50%, 75% and 100% and 26.66 mm for Clear. At Pityrosporum ovale showed inhibition 23.40 mm for shampoo without VCO, 23.23 mm for shampoo containing VCO without hydrolysis, 23.80, 23.88, 25.53 and 26.56 mm for shampoo containing VCO with hydrolysis level 25%, 50%, 75% and 100% and 27.41 mm for Clear.

Keywords: Virgin coconut oil, dandruff, shampoo, Microsporum gypseum and Pityrosporum ovale.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ketombe atau dalam bahasa medisnya pitiriasis banyak diderita oleh penduduk Indonesia karena Indonesia beriklim tropis, suhu tinggi dan udara lembap.Penyakit ini sering dialami oleh orang dengan kulit berminyak.(Wasitaatmadja, 1997).Ketombe, meskipun tidak begitu berbahaya tetapi sering menjengkelkan dimana penderita menggaruk-garuk karena merasa gatal sehingga tanpa disadari menyebabkan kulit kepala menjadi terluka dan kadang disertai dengan peradangan (Santosa dan Didik, 2001).Ketombe atau dandruff adalah pengelupasan bagian luar dari epidermis kulit kepala yang terjadi berturut-turut dan sisik pengelupasan itu terlihat besar-besar.Ketombe berwarna putih, keadaannya halus tetapi kadang juga terasa kasar (Siregar, 2003).

Ketombe yang sering menjengkelkan dan membuat malu dalam penampilan sebabkan oleh jamur, diantaranya jamur Pityrosporum ovale dan

Microsporum gipseum (Wasitaatmadja, 1997). Ketombe diperburuk dengan tumbuhnya mikroorganisme tersebut di rambut secara berlebihan yang dipicu oleh berbagai keadaan seperti suhu, kelembapan, kadar minyak yang tinggi dan penurunan imunitas tubuh (Harmanto, 2006).

Pengobatan ketombe dapat dilakukan dengan pemberian sampo yang mengandung bahan kimia yang dapat membunuh jamur seperti ketokonazol,


(18)

zink pirition dan selenium sulfida (Anonim, 1989). Zat aktif yang digunakan dalam sampo antiketombe umumnya merupakan zat-zat yang sesuai dengan kadar untuk pengobatan dermatologi, meskipun begitu beberapa kemungkinan juga dapat menimbulkan reaksi kulit yang tidak dikehendaki, seperti timbulnya ruam, pruritus, dan dermatitis. Zat aktif seperti senyawa belerang, selenium sulfida, yang tertimbun dan terserap oleh folikel rambut, dapat mengakibatkan kerontokan rambut (Ditjen POM, 1985).Penelitian untuk mencari senyawa aktif yang efektif untuk menangulangi penyebab ketombe tersebut perlu dilakukan.

Di antara berbagai macam minyak nabati, minyak kelapa murni tergolong minyak yang istimewa karena mengandung asam laurat [C12, CH3(CH2)10COOH] dalam jumlah yang dominan, yakni 48 – 53 persen (Syah, 2005). Asam laurat merupakan asam lemak rantai medium yang dapat langsung menjadi sumber energi di sel – sel tubuh manusia.Asam laurat juga dapat diubah menjadi senyawa monolaurin untuk kekebalan tubuh melawan berbagai virus, bakteri, protozoa. Minyak kelapa murni diperoleh dari buah kelapa tua segar dan diproses pada suhu yang rendah (Darmoyuwono, 2006).

Minyak kelapa murni (virgin coconut oil) bersifat protektif terhadap kerusakan pada rambut pada saat pendandanan dan pada saat digunakan sebagai pre-wash kondisioner. Minyak kelapa mencegah kerusakan rambut akibat zat kimiawi, air panas, pengaruh UV, karena mampu memasuki (penetrasi) ke dalam kutikula dan korteks, melapisi rambut sehingga mencegah penyerapan air oleh rambut dan akan mencegah pembengkakan rambut juga


(19)

dapat memelihara kondisi kulit dan rambut, mengurangi ketombe dan dapat melembutkan kulit serta berkilau (Rele dan Mohile, 2003).

Minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Seperti lazimnya ester, minyak mudah dihidrolisis dengan bantuan asam atau basa menghasilkan 3 molekul asam lemak dan 1 molekul gliserol. Pada proses hidrolisa dengan asam, sistem reaksi bolak balik dapat terjadi namun tidak demikian dengan basa. Basa kuat yang sering digunakan dalam proses penyabunan karena mampu menghidrolisis ikatan ester pada trigliserida sederhana maupun campuran (Wilbraham, 1992).

Potensi medis dari produk-produk dari kelapa pertama kali diidentifikasi oleh Jon Kabara di tahun 70-an, yaitu aktivitas antibakteri, antivirus dan antijamur dari asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acid, MCFA), khususnya asam laurat (C12:0) dalam bentuk monogliserida (monolaurin atau ML) (Kabara, 1972; Conrado, 2000).

Beberapa jenis jamur, ragi dan protozoa dapat dihambat pertumbuhannya atau di bunuh oleh monolaurin. Candida albicans dan protozoa parasit Giardia lamblia adalah jenis mikroba yang dapat dibunuh oleh monolaurin (Lieberman, et al., 2006).

Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti terdorong untuk melakukan studi lebih lanjut mengenai efektivitas antijamur dari VCO terhidrolisis dalam sampo untuk menghambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe secara in vitro. Jamur uji yang digunakan yaitu Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale.


(20)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perumusan masalahnya adalah: 1. Apakah sampo yang mengandung VCO terhidrolisis meningkatkan

aktivitas antijamur sampo tersebut?

2. Apakah sampo yang mengandung VCO dengan tingkat hidrolisis yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas antijamur sampo tersebut?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesisnya yaitu:

1. Sampo yang mengandung VCO terhidrolisis akan meningkatkan aktivitas antijamur sampo tersebut.

2. Sampo yang mengandung VCO dengan tingkat hidrolisis yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas antijamur sampo tersebut.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan VCO terhidrolisis dan tingkat hidrolisis VCO dalam sampo terhadap aktivitas antijamur sampo tersebut.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat informasi kepada masyarakat mengenai aktivitas antijamur sampo yang mengandung VCO terhidrolisis.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat, morfologi, sistematika, sinonim,nama daerah, nama asing, kandungan kimia dan khasiat.

2.1.1 Habitat

Tanaman kelapa (Cocos nucifera) tumbuh baik pada 15o LS - 15o LU, yang merupakan daerah tropis yang beriklim panas dengan kelembapan udara tinggi.Suhu yang optimum untuk pertumbuhan kelapa 27oC - 28oC, kelembapan udara 80-90 persen dan curah hujan merata. Ketinggian optimal untuk pertumbuhan kelapa yakni 0 - 1000 dpl pada tanah yang memiliki pH berkisar 6,5 - 7,5 (Wahyuni, 2000).

2.1.2 Morfologi

Tanaman kelapa merupakan tanaman palma yang tinggi besar dengan batang yang tidak berabang, menebal dari pangkal dan dapat mencapai tinggi sampai 30 meter atau lebih. Daun waktu muda tunggal, kemudian robek-robek sehingga menjadi majemuk menyirip, tersusun sebagai rozat pada ujung batang. Bunga berkelamin tunggal, berumah satu tersusun dalam bunga majemuk campuran yang bagian-bagiannya berupa bulir dan waktu muda seluruh bunga majemuk itu diselubungi oleh suatu daun pelindung yang kaku tebal. Pada tiap bulir terdapat satu bunga betina pada bagian bawah, sedang selanjutnya seluruh tangkai bulir penuh dengan bunga-bunga jantan. Buahnya


(22)

buah batu dengan biji yang memiliki lembaga yang kecil dan endosperm yang besar (Tjitrosoepomo, 1996).

2.1.3 Sistematika

Sistematika tumbuhan kelapa adalah: Divisi : Spermathophyta

Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Arecales

Suku : Arecaceae Marga : Cocos

Jenis : Cocos nucifera (Tjitrosoepomo, 1991) 2.1.4 Sinonim

Cocos nana Griff (Anonim, 2012) 2.1.5 Nama daerah

Sumatera : Krambil, niweur (Aceh); krambir, tuwalah, harambir (Sumatera Utara); karambie, niue, nyieu (Sumatera Barat); nyiui, nyiwi (Lampung).

Jawa : Kalapa (Sunda); kalapa, klendah, krambil (Jawa); enyor, iyor, nyior, nyor (Madura).

Kalimantan: Enyu, enyoh, onya, unyah, nyoh, nior, piasau (Dayak). Sulawesi : Punyu, bango, po’opo, popo, tokhulu (Sulawesi Utara);

bongo, banga (Gorontalo); kabatu (Tolitoli); alu’u, pu’ung kayuku, barubi, pendaki, tabango, pu’u nii, pu’u benu,


(23)

kaluku (Toraja); kaluku, anjoro, nyuh (Makasar) (Anonim, 2012).

2.1.6 Nama asing

Inggris : Coconut Melayu : Kelapa, Nyiur Vietnam : Dua

Filipina : Niyog, Lobi, Inniug

Jepang : Yashi no mi, Kokonattsu (Anonim, 2012) 2.1.7 Kandungan kimia

Buah kelapa mengandung asam askorbat, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, potassium, mineral (Hanafi, 2013).

2.1.8 Khasiat

Produk dari kelapa yang paling banyak digunakan untuk kesehatan adalah minyak kelapa. Minyak kelapa digunakan secara tradisional untuk keracunan, antiseptik, astringent, bakterisidal, diuretik, sakit perut, asma, bronchitis, demam, konstipasi, flu, disentri, dismenorhea, gingivitis, mual, muntah, luka, sakit tenggorokan (Anonim, 2012).

2.2Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak adalah suatu trigliserida atau triasilgliserol. Perbedaan antara minyak dan lemak adalah pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Lemak tersusun oleh asam lemak jenuh, sedangkan minyak tersusun oleh asam lemak tak jenuh. Dalam proses


(24)

pembentukannya, lemak dan minyak yang biasa disebut dengan triasilgliserida, merupakan hasil dari proses kondensasi dan esterifikasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak berbeda-beda) yang membentuk satu molekul trigliserida dan tiga molekul air (Ginting dan Herlina, 2002). Struktur kimia trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Darmoyuwono, 2006; McKee dan McKee, 2003).

(α ) miristat atau posisi sn-1 (β ) palmitat atau posisi sn-2 (α’) miristat atau posisi sn-3

1,3 dimiristoil, 2 palmitoil gliserol

Gambar 2.1 Struktur kimia trigliserida

Setiap molekul triasilgliserol (TAG) atau trigliserida (TG) dapat mengandung campuran dari tiga asam lemak yang berbeda atau semuanya sama. Ketiga asam lemak ini teresterkan pada tiga posisi yang berbeda di dalam molekul lemaknya. Distribusi atau posisi asam lemak dalam molekul lemak dapat digolongkan berdasarkan stereospecific numbering (sn) atau atom karbon dalam molekul gliserol yakni sn-1, sn-2 dan sn-3 (McKee dan McKee, 2003). C C C O O O H H H H H C C C

(CH2)12

(CH2)14 (CH2)12

O O O CH3 CH3 CH3 α β α’


(25)

2.3Asam Lemak

Asam lemak adalah asam monokarboksilat rantai lurus tanpa cabang yang mengandung atom karbon genap mulai dari C-4, tetapi yang paling banyak adalah C-16 dan C-18.Asam lemak dapat dikelompokkan berdasarkan panjang rantai, ada tidaknya ikatan rangkap dan isomer trans-cis. Asam lemak berdasarkan panjang rantai meliputi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid, SCFA) yang mengandung jumlah atom karbon C-4 sampai C-8, asam lemak rantai sedang (medium chain fatty acid, MCFA) mengandung atom karbon C-10 dan C-12, dan asam lemak rantai panjang (long chain fatty acid, LCFA) mengandung jumlah atom karbon C-14 atau lebih. Semakin tinggi rantai C yang dimiliki asam lemak, maka titik lelehnya akan semakin tinggi (White, 2009).

Asam lemak berdasarkan tingkat kejenuhannya dibagi atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) karena tidak mempunyai ikatan rangkap, asam lemak tak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty acids, MUFA) hanya memiliki satu ikatan rangkap dan asam lemak tak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids, PUFA) memiliki lebih dari satu ikatan rangkap. Semakin banyak ikatan rangkap yang dimiliki asam lemak, maka semakin rendah titik lelehnya (Silalahi, 2000; Silalahi dan Tampubolon, 2002).

Jenis asam lemak berdasarkan bentuk isomer geometrisnya dibagi atas asam lemak tak jenuh bentuk cis dan trans. Pada isomer geometris, rantai karbon melengkung ke arah tertentu pada setiap ikatan rangkap, bagian rantai karbon akan saling mendekat atau saling menjauh. Jika saling mendekat


(26)

disebut isomer cis (berarti berdampingan) dan apabila saling menjauh disebut trans (berarti berseberangan) (Fessenden dan Fessenden, 1989).

2.4Hidrolisis Trigliserida

Hidrolisis minyak atau lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak, atau mereaksikannya dengan KOH atau NaOH (lebih dikenal dengan proses penyabunan). Proses penyabunan ini banyak digunakan dalam industri untuk menghasilkan gliserol (Ketaren, 2005). Adapun persamaan reaksi untuk hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.2.

OCR''' "RCO OCR' O O O

+ 3 NaOH

OH HO

OH

+

R'COO- Na+

R''COO- Na+

R'''COO- Na+

OCR''' "RCO OCR' O O O

+ 2 H2O

OH "RCO OH + O R'COOH R'''COOH lipase

Gambar2.2 Persamaan reaksi hidrolisis

Keterangan: A. Menggunakan NaOH (penyabunan), B. Menggunakan enzim lipase (enzimatik)

Hidrolisis trigliserida secara enzimatik dengan lipase yang spesifik pada posisi sn-1,3 adalah dengan menghidrolisis trigliserida pada posisi sn-1,3

B A


(27)

Hidrolisat kemudian dipisahkan dengan larutan non polar yang terikat pada asam lemak bebas, ataupun disentrifugasi pada kecepatan dan waktu tertentu. Setelah terpisah asam lemak bebas maka, 2-trigliserida dapat dianalisis dengan alat kromatografi gas (Satiawihardja, 2001).

Reaksi hidrolisis dengan menggunakan enzim lipase lebih efisien dan mudah dikontrol karena enzim lipase spesifik pada posisi sn tertentu sehingga dapat mengubah produk lemak dan distribusi asam lemak yang kita inginkan. Apabila dibandingkan dengan penggunaan zat kimia, akan menghasilkan produk lemak dengan distribusi asam lemak yang acak (Aehle, 2004).

2.5Minyak Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia terutama buah kelapa baik yang masih muda maupun yang sudah tua. Ada tiga jenis produk yang biasa dimanfaatkan:

1. Minyak kopra

Bahan baku yang dipakai untuk pembuatan minyak ini adalah buah kelapa kering. Minyak ini diproses dari perkebunan sampai ke pemurnian minyak membutuhkan waktu berbulan – bulan sejak pemanenan sampai ke proses pembuatan. Hal ini disebabkan minyak kopra membutuhkan penyulingan, pemutihan, dan penghilangan bau agar bisa diterima komersial.Penyulingan pada minyak kopra, menggunakan asam hydrochloric, pelarut, dau uap pada suhu tinggi untuk menghilangkan kontaminasi. Proses ini dapat meninggalkan residu dari pelarut dan bahan kimia yang bersifat


(28)

karsinogenik. Selain itu, proses ini pun menghilangkan zat – zat volatil alami yang mudah menguap dan antioksidan yang dimiliki buah kelapa. Pemanasan lebih dari 200oC akan terjadi perubahan struktur molekul asam lemak menjadi asam lemak trans (Gani dkk, 2005).

2. Minyak kelapa

Minyak kelapa yang dikenal dengan nama kelentik dan dulu banyak digunakan oleh masyarakat di pedesaan, sekarang jarang sekali ditemukan di pasaran. Minyak ini diperoleh dari buah kelapa tua yang segar. Kualitas minyak kelapa sangat dipengaruhi oleh asal dan kualitas bahan baku serta proses pembuatan. Minyak kelentik diproses dengan pemanasan 110oC – 120oC sehingga menghasilkan minyak yang berwarna kuning (Darmoyuwono, 2006).

3. Minyak kelapa murni

Minyak ini juga biasa disebut Virgin Coconut Oil (VCO) dibuat dari buah kelapa tua yang segar dengan suhu rendah (<60oC) dan tidak dimasak sampai tua. Keunggulan dari minyak yang diproses seperti ini adalah struktur kimia terutama medium chain fatty acids (asam laurat dan kaprat) tidak banyak berubah. Tingginya asam lemak jenuh yang dikandungnya menyebabkan VCO tahan terhadap proses ketengikan akibat oksidasi. VCO yang dibuat dari kelapa segar berwarna putih murni ketika minyaknya dipadatkan dan jernih kristal seperti air ketika dicairkan (Syah, 2005).


(29)

2.6Minyak Kelapa Murni (VCO) 2.6.1 Bahan baku utama

Bahan baku utama dalam pembuatan VCO yakni daging buah kelapa tua dan segar (bukan kopra) dari perkebunan tradisional, bukan kelapa hibrida. Tanaman kelapa tersebut merupakan tanaman yang dikelola secara organik (menggunakan pupuk organik) (Gani dkk, 2005).

2.6.2 Pembuatan VCO

VCO diproses dengan suhu dingin atau dipanaskan dengan suhu rendah (<60oC). Beberapa cara yang biasa digunakan untuk pembuatan VCO antara lain cara pancingan, fermentasi, sentrifugasi dan pemanasan pada suhu rendah. VCO tidak diproses secara RBD (refining, bleaching, deodorizing), tidak ditambahkan bahan kimia dan tidak mengalami hidrogenasi (Darmoyuwono, 2006).

2.6.3 Sifat fisika kimia VCO

Sifat-sifat kimia dan fisika dari VCO antara lain tidak berwarna, kristal seperti jarum, sedikit berbau asam ditambah aroma karamel. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol (1:1). Berat jenis 0,8883 pada suhu 20oC, titik cair 20-25oC dan tiitik didihnya 225oC. Bilangan penyabunan berkisar antara 250,07-260,67 mgKOH/g minyak, bilangan peroksida 0,21-0,57 mequiv oksigen/kg, sedangkan bilangan iod 4,47-8,55. Kandungan asam lemak bebas yaitu berkisar antara 0,15-0,25% (Darmoyuwono, 2006).

Bilangan penyabunan yang tinggi menunjukkan bahwa minyak tersebut memiliki berat molekul yang rendah. Bilangan peroksida yang rendah


(30)

menunjukkan VCO mempunyai stabilitas oksidasi yang tinggi. Bilangan iod yang rendah menunjukkan bahwa VCO mempunyai asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang rendah (Ketaren, 2005). Penurunan bilangan penyabunan pada hidrolisis parsial minyak kelapa murni disebabkan karena tidak semua minyak bisa dihidrolisis akibat jumlah NaOH yang direaksikan terbatas (Hasibuan, 2012).

2.6.4 Komposisi asam lemak VCO

Komposisi asam lemak VCO dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa murni

Sumber : Syah, 2005

Asam lemak Simbol asam lemak Rumus kimia Jumlah (%)

Asam lemak jenuh:

Asam kaproat C6 : 0 C5H11COOH 0,2

Asam kaprilat C8 : 0 C7H15COOH 6,1

Asam kaprat C10 : 0 C9H19COOH 8,6

Asam laurat C12 : 0 C11H23COOH 50,5

Asam miristat C14 : 0 C13H27COOH 16,18

Asam palmitat C16 : 0 C15H31COOH 7,5

Asam stearat C18 : 0 C17H35COOH 1,5

Asam arachidat C20 : 0 C19H39COOH 0,02

Asam lemak tak jenuh:

Asam palmitoleat C16 : 1 (19) C15H29COOH 0,2

Asam oleat C18 : 1 (9) C17H33COOH 6,5


(31)

2.7Aktivitas Antijamur Minyak Kelapa Murni dan Hasil Hidrolisisnya Lemak jenuh dalam minyak kelapa, seperti asam kaprat, dan asam laurat, terbukti dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh karena minyak kelapa berfungsi sebagai antivirus, antibakteri, antijamur, dan antiprotozoa. Asam laurat dan monogliserida yang disebut monolaurin telah terbukti berperan sebagai antivirus, khususnya virus yang berselubung lemak. Baik asam kaprat maupun asam laurat di dalam minyak kelapa dapat mengatasi

Candida albicans (Darmoyuwono, 2006).

Monolaurin merupakan monoester yang terbentuk dari asam laurat yang telah diteliti memiliki aktivitas antivirus, antibakteri dan antijamur. Asam laurat meruapakan komponen utama VCO. Asam laurat juga banyak terdapat dalam air susu ibu, untuk melawan penyakit pada bayi dan meningkatkan kekebalan tubuh bayi, itulah sebabnya bayi yang mendapat air susu ibu akan tumbuh dan berkembang dengan sempurna serta kebal berbagai macam penyakit (Enig, 2010).

VCO dapat dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan kimiawi kulit atau epidermis buah dan sayuran, sehingga tidak mudah ditembus oleh mikrobia perusak buah dan sayuran. Selain hal tersebut, minyak kelapa juga mematikan khamir dan jamur-jamur tertentu (Aminah dan Supraptini, 2010).

Selain dalam bidang kesehatan, VCO juga bermanfaat dalam bidang kecantikan. Aspek kecantikan terutama berkaitan dengan kulit dan rambut. VCO dapat membantu menjaga jaringan connective agar tetap kuat dan longgar sehingga kulit tidak mengendur dan keriput. Proses keratinisasi pada kulit


(32)

mencegah terjadinya infeksi kulit, pH rendah kulit (sekitar 5,5) dan kehadiran asam lemak menghambat pertumbuhan mikroorganisme selain flora normal. Kulit manusia biasanya dihuni oleh sejumlah spesies bakteri dan jamur, termasuk beberapa spesies penyebab penyakit, seperti Staphyloccus epidermidis dan Candida albicans. Meskipun kulit biasanya efektif sebagai penghalang infeksi, jenis jamur (dermatophytes) dapat menginfeksi strata corneum, rambut dan kuku, dan beberapa mikroorganisme dapat menembus kulit. Kebanyakan mikroorganisme menembus melalui tusukan (infeksi jamur), luka (staphylococci), luka bakar (Pseudomonas aeruginosa kronik), dan luka pada penderita diabetes (Kumar, et al., 2005). VCO dapat berfungsi untuk perawatan kulit sebagai hand and bodylotion, pelembab, tabir surya (sunscreen) dan penyembuh berbagai macam penyakit kulit. Selain bisa memperbaiki kulit yang rusak atau yang sakit, MCFA yang terkandung dalam VCO dengan cepat memberi sumber energi pada sel-sel, yang membantu meningkatkan metabolisme dan kemampuan penyembuhannya. Asam lemak antiseptik pada minyak kelapa membantu mencegah infeksi jamur dan bakteri pada kulit (Gani, dkk., 2005; Darmoyuwono, 2006).

2.8Ketombe

Ketombe adalah bentuk kering kapitis seborea yang lazim dikenal sebagai seborea sika (kering), yakni sisik kering berlapis-lapis yang rapuh mudah terlepas yang melekat menutupi epidermis kulit kepala (Ditjen POM, 1985). Penyakit ini biasanya terdapat pada bagian kulit berambut, hal ini


(33)

disebabkan pada bagian ini paling banyak terdapat kelenjar minyak dan kelenjar keringat. Ketombe sering disertai kotoran – kotoran berlemak dan rasa gatal serta rambut sering rontok. Rasa gatal ini disebabkan oleh bakteri atau jamur yang tumbuh pada kotoran – kotoran ini (Siregar, 2003)

Dalam kondisi kepala abnormal, kemungkinan besar akan jadi peningkatan pertunbuhan bakteri dan jamur, dan diantara spesies yang menonjol adalah Staphylococccus aureus dan Pityrosporum ovale. Selain itu juga banyak dijumpai varietas ragi yang terdapat dalam kondisi ini dibandingkan dalam kondisi normal. Peningkatan mikroba ini diduga menjadi penyebab perubahan faal normal kulit kepala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan, antara lain perubahan keratinisasi kulit kepala (Ditjen POM, 1985).

2.9Uraian Jamur

Jamur merupakan protista tidak fotosintetik yang tunbuh sebagai suatu massa filamen (“hifa”) yang bercabang-cabang dan saling menjalin dan dikenal dengan miselium. Meskipun hifa mempunyai dinding bersekat, dinding itu berlubang-lubang sehingga inti sel dan sitoplasma dapat melewatinya. Jadi seluruh mikroorganisme ini adalah suatu senosit (suatu massa sitoplasma yang bersambungan dengan banyak inti). Yang terkurung dalam tabung yang bercabang-cabang.Tabung-tabung ini, yang terbuat dari polisakarida misalnya kitin, homolog dengan dinding sel (Jawetz, 1996).


(34)

2.9.1 Microsporum gypseum

Sistematika jamur Microsporum gypseum (Chander, 2002) Divisi : Eumycetes

Kelas : Deuteromycota Bangsa : Hypomycetes Suku : Moniliaceae Marga : Microsporum

Jenis : Microsporum gypseum

Microsporum gypseum merupakan salah satu penyebab jamur kulit kepala dan ketombe.Makrokonia merupakan bentuk konidia terbanyak yang menyusun jamur ini.Konidia ini besar, berdinding kasar, multiseluler, dan berbentuk kumparan, dan terbentuk pada ujung-ujung hifa.Makrokonidia

Microsporum gypseum terdiri dari empat sampai enam sel, berdinding lebih tipis dalam koloni yang berwarna kecoklat-coklatan (Jawetz, 1996).

2.9.2 Pityrosporum ovale

Sistematika jamur Pityrosporum ovale (Fardiaz, 1992). Divisi : Eumycetes

Kelas : Deuteromycetes Bangsa : Cryptococcales Suku : Cryptococcaceae Marga : Pityrosporum


(35)

Pityrosporum ovale adalah yeast lipofilik yang merupakan flora normal pada kulit dan pada kulit kepala manusia.Pityrosporum ovale berkembangbiak dengan cara bertunas. Pada penderita ketombe, antibodi Pityrosprum ovale dan jumlah Pityrosporum ovale pada kulit kepala meningkat (Cadin, 1998; Fardiaz, 1992).

2.10 Sampo

2.10.1 Defenisi sampo

Sampo adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud keramas rambut , sehingga setelah itu kulit kepala dan rambut menjadi bersih, dan sedapat mungkin rambut menjadi lembut, mudah diatur dan berkilau (Ditjen POM, 1985).

2.10.2 Syarat-syarat sampo

Syarat-syarat sampo menurut Ditjen POM (1985) adalah:

1. Harus dapat membersihkan rambut dan kulit kepala seluruhnya. 2. Mudah dihilangkan dari rambut dan kulit kepala bila dibilas dengan

air.

3. Tidak toxis dan tidak menimbulkan iritasi.

4. Membuat rambut lembut, mengkilap dan mudah diatur.

5. Tidak menghilangkan seluruh minyak alami yang terdapat dirambut.

6. Stabil secara kimia dan fisika.

7. Secara psikologis memberikan busa yang banyak, bau yang harum serta warna yang indah.


(36)

2.10.3 Komposisi sampo 1. Surfaktan (bahan utama)

Surfaktan adalah bahan aktif dalam sampo, berupa detergen pembersih sintesis yang cocok untuk kondisi rambut yang bekerja dengan cara menurunkan tegangana permukaan cairan karena bersifat ambifilik sehingga dapat melarutkan kotoran yang melekat pada permukaan rambut (Wasitaatmadja, 1997).

Berdasarkan sifat gugus yang dikandungnya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu (Siswandono, 1998):

a. Surfaktan anionik

Surfaktan anionik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan negatif, dan dapat berupa gugus karboksil, sulfat, sulfonat atau fosfat. Contoh: natrium stearat dan natrium lauril sulfat.

b. Surfaktan kationik

Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil bermuatan positif, dan dapat berupa gugus ammonium kuarterner, biguanidin, sulfonium, fosfonium, dai iodonium. Contoh: turunan ammonium kuarterner seperti setilpirimidium klorida.

c. Surfaktan non ionik

Surfaktan ini tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus hidrofil dan lipofil yang lemah sehingga larut atau dapat terdispersi dalam air, biasanya adalah gugus polioksietilen eter dan polyester alkohol. Contoh: polisorbat 80 dan span 80.


(37)

d. Surfaktan amfoterik

Surfaktan amfoterik mengandung dua gugus hidrofil yang bermuatan positif (kationik) dan negatif (anionik). Contoh: betain.

2. Bahan tambahan

Bahan tambahan ini berguna untuk pemeliharaan kesehatan rambut dan memberikan bentuk yang baik pada sampo, terdiri dari (Wasitaatmadja, 1997): a. Bahan pelembut (conditioning agent) untuk melemaskan rambut, bahan

uang digunakan adalah gliserin, propilenglikol, sorbitol, dll b. Bahan pembusa (foam builder)

c. Bahan pengental (thickener) dan pengeruh (opacifier) untuk menyenangkan konsumen dan keduanya tidak menggambarkan daya bersih atau konsentrasi bahan aktif dalam sampo.

d. Pemisah logam (sequestering agent) untuk mengikat logam (K, Mg) yang terdapat dalam air pencuci rambut, misalnya tween 80.

e. pH balance untuk menetralkan reaksi basa yang terjadi dalam penyampoan rambut, misalnya asam sitrat.

f. Warna dan bau untuk memberi kesan nyaman pada pemakai. g. Bahan antiketombe (sulfur, seng pirition dll.)

2.10.4 Pemerian bahan sampo yang digunakan 1. Natrium lauril sulfat

Natrium lauril sulfat berupa hablur, kecil, berwarna putih atau kuning muda, agak berbau khas, mudah larut dalam air membentuk larutan opalesen (Ditjen POM, 1995).Natrium lauril sulfat adalah detergen dan agen pembasah


(38)

yang efektif pada kondisi basa maupun asam.Penggunaan natrium lauril sulfat dalam formulasi bervariasi.Dengan konsentrasi 1% sudah data digunakan sebagai pembersih pada sediaan topikal sedangkan untuk penggunaan pada sampo natrium lauril sulfat dapat digunakan hingga lebih dari 10% (Rowe dkk, 2009).

2. Gliserin

Gliserin jernih seperti sirup, tidak berwarna, rasa manis, higroskopis, netral terhadap lakmus. Fungsi gliserin dalam formulasi farmasetik bervariasi.Pada pemakaian topikal, gliserin digunakan sebagai pelembut dan pelembab.Gliserin juga digunakan sebagai pelarut maupun pelarut pembantu (cosolven) pada krim dan emulsi.Pada konsentrasi kurang dari 20% gliserin juga bersifat sebagai antimikroba (Rowe dkk, 2009).

3. Hidroksi propil metil selulosa

Dikenal juga sebagai methocel, hypromellose dan pharmacoat.Hidroksi propil metil selulosa (HPMC) berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk serbuk berserat atau granul.HPMC berfungsi sebagau coating agent, controlled-release agent, foaming agent, stabilizing agent, pengental dan meningkatan viskositas. Untuk meningkatkan viskositas, HPMC digunakan dengan kadar antara 10-80% sedangkan sebagai pengental konsentrasi HPMC yang digunakan 0,25-5% (Rowe dkk, 2009).

4. Tween 80

Dikenal juga sebagai polisorbat 80.Pada suhu 25oC berwarna kuning dan berupa cairan berminyak.Tween digunakan dalam formuasi farmasetik


(39)

sebagai zat pendispersi, pengemulsi, surfaktan nonionik, suspending agent, solubilizingagent dan zat pembasah. Sebagai zat pengemulsi dan solubilizing agent, tween 80 dgunakan pada konsentrasi 1-15% dan sebagai zat pembasah digunakan konsentrasi 0,1-3% (Rowe dkk, 2009).

5. Air murni (akuades)

Air murni adalah air yang dimurnikan dengan destilasi, perlakuan mengunakan penukar ion, osmosis balik atau proses lain yang sesuai. Di buat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandun zat tambahan lain, tidak berwarna dan tidak berbau (Ditjen POM, 1995).

2.10.5 Sampo antijamur (sampo antiketombe)

Sampo antijamur adalah sampo yang digunakan selain untuk membersihkan juga untuk mencegah dan menghilangkan jamur penyebab infeksi kulit kepala. Sampo antijamur sering diedarkan dengan berbagai nama, seperti sampo obat (medicare) dan sampo klinik (Ditjen POM, 1985).

Kandungan dan persyaratan dari sampo antijamur tidak berbeda dengn sampo biasa, hanya pada sampo antijamur, mengandung zat untuk menghilangkan jamur pada kulit kepala. Menurut Ditjen POM (1985), persyaratan umum yang harus dimiliki dari sediaan sampo antijamur adalah sebagai berikut.

1. Membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa menjadikan rambut berlemak atau kering serta menjadi mudah diatur.


(40)

3. Efektif sebagai germisidum atau fungisidum, sehingga dapat mencegah peningkatan pertumbuhan bakteri dan jamur, bahkan dapat mencegah infeksi

4. Kadar zat manfaat yang digunakan tidak boleh meningkatkan kepekaan kulit kepala; ini beratri zat manfaat dalam kadar penggunaan tidak boleh menyebabkan kegatalan, kulit mengelupas atau pun peradangan.

Meskipun sampo yang beredar sudah dinyatakan aman namun penggunaan terus – menerus dalam jangka waktu panjang ada kecenderungan terjadi hal – hal yng tidak diinginkan yang dapat merugikan kesehatan. Pada penggunaan anti ketombe efek samping yang mungkin terjadi adalah :

1. Dermatitis yang terjadi ada kulit kepala

2. Kerusakan rambut antara lain rabut rontok, berbah warna dan patah – patah.

3. Efek samping sistemik. Meskipun ini jarang terjadi namun dalam pemakaian jangka panjag, terus menerus dan bahkan kecenderungan penggunaan sampo anti ketombe setiap hari memungkinkan dapat terjadi efek samping yang lebih serius (BPOM RI, 2009).

2.11 Uraian Pembuatan dan Uji Antijamur Sampo

Nurfadilla (2004), telah mengadakan penelitian dengan membuat sampo antiketombe yang mengandung minyak atsiri jeruk purut sebagai zat aktifnya dengan konsentrasi 0,5% dan 1% dan diuji pada jamur Pityrosporum


(41)

sp. dengan metode sensitifitas yang. Formula sampo yang digunakan diambil dari peneliti Siregar (2003) yang menggunakan karboksi metil selulosa sebagai pengental. Namun dalam penyimpanannya pada sampo terdapat endapan yang diakibatkan tidak larutnya pengental yang digunakan sehingga disarankan untuk mengganti pengental dalam formulasi tersebut. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, sampo dengan konsentrasi minyak atsiri jeruk purut 1% sangat sensitif dalam menghambat pertumbuhan jamur. Pada menit ke-10 tidak dijumpai lagi adanya pertumbuhan jamur Pityrosporum sp. pada media uji.

Kartiningsih (2008), membuat penelitian tentang pembuatan sampo yang menggunakan hidroksi propil metil selulosa sebagai pengental dan diperoleh sampo yang stabil secara fisik.Selama penyimpanan 6 minggu, sediaan sampo ini tidak menunjukkan perubahan warna, bau, dan homogenitas. Viskositas, bobot jenis, tegangan permukaan, pH sediaan sampo memenuhi syarat.

Selain menggunakan minyak atsiri jeruk purut, minyak atsiri kulit buah jeruk sunkist juga di formulasi sebagai sampo antiketombe dengan konsentrasi 1 - 5%. Metode yang digunakan adalah metode difusi agar menggunakan pencadang logam dan diuji pada jamur Microsporum gypseum. Hasil yang diperoleh yakni pada konsentrasi 2% sampo sudah efektif menghambat pertumbuhan jamur (Ernoviya, 2006).


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu melihat pengaruh hidrolisis parsial menggunakan NaOH terhadap aktivitas antijamur dari VCO. Minyak kelapa murni yang telah dihidrolisis diformulasi dalam bentuk sampo kemudian diuji aktivitas antijamurnya dengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam terhadap jamur uji Microsporum gypseumdan

Pityrosporum ovale.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer Visibel (Dynamica Halo Vis-10),laminar airflow cabinet (Astec HLF 1200 L),oven (Gallenkamp), autoklaf (Fison), inkubator (Memmert), lemari pendingin (Toshiba), neraca analitik (Mettler AE 200), pH meter (Hanna Instruments), viskometer Brookfield, piknometer, jarum ose, bunsen, mikro pipet (Eppendorf), labu tentukur 10 ml dan 100 ml, pipet tetes, alumunium foil, kertas perkamen, tissu, pencadang logam, cawan petri, kapas steril, jangka sorong, spatula dan peralatan gelas di laboratorium.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini jika tidak dinyatakan lain, berkualitas pro analis produksi E. Merck (Jerman) yaitu natrium klorida,


(43)

Bilangan Penyabunan = (�� ���� ������)−(�� ��������)

�������� x BM NaOH

natrium lauril sulfat, tween 80, giserin, hidroksi propil metil selulosa (HPMC), akuades steril. Bahan uji yang digunakan sebagai sampel adalah minyak kelapa murni hasil hidrolisis dengan tingkat hidrolisis 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Bahan uji ini diperoleh dari peneliti sebelumnya (Hasibuan, 2012). Bahan uji sebagai kontrol positif digunakan sampo Clear yang mengandung bahan aktif zink pirition. Media pertumbuhan jamur yang digunakan yaitu serbuk potato dextrose agar serta jamur yang digunakan yaitu Microsporum gypseum (ATCC 11395) dan Pityrosporum ovale (ATCC 12078).

3.2 Hidrolisis VCO

VCO dihidrolisis dengan menggunakan NaoH yang dilarutkan dalam methanol kemudian ditentukan bilangan penyabunan totalnya. Hidrolisis parsial VCO dilakukan dengan memodifikasi prosedur bilangan penyabunan total, yaitu dengan mengurangi jumlah NaOH yang digunakan sesuai dengan tingkat hidrolisis (Hasibuan, 2013).

3.2.1 Hidrolisis total

Prosedur : sejumlah 10 gram minyak ditimbang dalam labu alas 250 ml. Ditambahkan 100 ml NaOH metanol 0,5N. Labu alas dihubungkan dengan pendingin tegak dan dipanaskan sampai semuanya tersabunkan. Selanjutnya larutan didinginkan dan ditambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna merah jambu menghilang kemudian dihitung bilangan penyabunan (Hasibuan, 2013).


(44)

Bilangan Asam = ���������

3.2.2 Hidrolisis parsial

Prosedur : Sejumlah 50 gram minyak ditimbang kemudian ditambahkan NaOH metanol sesuai tingkat hidrolisis 25%, 50%, 75% dan 100% kemudian labu alas dihubungkan dengan pendingin tegak dan dipanaskan selama 3 jam. Setelah penyabunan selesai maka campuran ditambahkan HCl encer untuk membebaskan asam lemak yang tersabunkan, selanjutnya diekstraksi dengan 50 ml n-heksan dan terbentuk dua lapisan. Lapisan atas (fraksi n-heksan) dipisahkan sebagai filtrat I. Lapisan bawah dikocok dengan 50 ml n-heksan, setelah didiamkan beberapa saat diambil lapisan atas (filtrate II) Filtrat I dan II digabung kemudian ditambahkan 50 mg Na2SO4 anhidrat dan dibiarkan selama 15 menit. Selanjutnya diuapkan di atas penangas air dalam cawan penguap untuk menghilangkan n-heksan (Hasibuan, 2013).

3.3 Penentuan Bilangan Asam VCO dan Hasil Hidrolisisnya

Penentuan asam lemak bebas dari VCO yang mengalami hidrolisis dilakukan dengan cara menimbang sebanyak 5 gram hasil hidrolisis di dalam erlenmeyer 200 ml. Ditambahkan 25 ml alkohol netral 95%, kemudian di panaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Larutan ini kemudian di titrasi dengan KOH 0,1N dengan indikator larutan fenolftalein sampai tepat terlihat warna merah jambu. Setelah itu di hitung bilangan asam dan kadar asam dari minyak (Hasibuan, 2013).


(45)

Keterangan:

A = jumlah ml KOH untuk titrasi N = normalitas larutan KOH G = bobot minyak (gram) BM KOH = 56,1

3.4 Pembuatan Larutan VCO dan VCO Terhidrolisis

Pembuatan larutan VCO dan VCO terhidrolisis dengan konsentrasi 1% - 3%. VCO dan VCO terhidrolisis masing-masing dipipet 0,1 ml; 0,2 ml dan 0,3 ml kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml ditambahkan etanol hingga garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 1%, 2% dan 3% v/v.

3.5 Prosedur Pembuatan Sampo 3.5.1 Formula sampo

Formula sampo (Siregar, 2003)

R / Natrium Lauril Sulfat 20 Karboksi metil selulosa natrium 5

Gliserin 5

Tween 80 9

Minyak atsiri qs

Akuades ad 100 ml

3.5.2 Formula modifikasi

R / Natrium Lauril Sulfat 20 Hidroksi propil metil selulosa 2.5

Gliserin 5


(46)

VCO 2 Akuades ad 100 ml

Rancangan formula sampo dengan berbagai tingkat hidrolisis dapat di lihat pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Rancangan formula sampo

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH

Penggantian pengental yakni karboksi metil selulosa natrium menjadi hIdroksi metil propil selulosa (HPMC) disebabkan kurang homogennya

Bahan (%)

Formula

F0 F1 F2 F3 F4 F5

Natrium lauril

sulfat 20 20 20 20 20 20

HPMC 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Gliserin 5 5 5 5 5 5

VCO tanpa

hidrolisis 0 2 0 0 0 0

VCO

terhidrolisis 0 0 2 2 2 2

Tween 80 9 9 9 9 9 9


(47)

campuran sampo yang diperoleh. Setelah dilakukan orientasi maka diperoleh HPMC dengan konsentrasi 2,5% pada formula sampo yang memiliki kekentalan yang baik.

Cara pembuatan:

Sebanyak 20 gram natrium lauril sulfat ditimbang kemudian dilarutkan dengan 40 ml akuades (campuran A). Ditimbang 2,5 gram HPMC lalu dikembangkan dalam 25 ml akuades. Kedalam HPMC yang telah mengembang ditambahkan gliserin sedikit demi sedikit sambil diaduk homogen. Setelah itu ditambahkan tween 80, diaduk sampai homogen (Campuran B). Campuran A dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam campuran B sambil diaduk sampai homogen bila perlu dipanaskan di atas penangas air, terakhir ditambahkan VCO sesuai dengan konsentrasi hidrolisisnya (Bagan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 49)

3.6 Pemeriksaan Mutu Fisik Sediaan

Mutu sediaan yang diperiksa meliputi stabilitas, pH dan viskositas. 3.6.1 Pemeriksaan stabilitas

Pemeriksaan stabilitas sediaan meliputi bentuk, warna dan bau yang diamati secara visual (Ditjen POM, 1995). Sediaan dinyatakan stabil apabila warna, bau, dan penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan, dan juga secara visual tidak ditumbuhi jamur.

3.6.2 Penentuan pH


(48)

Cara kerja: Alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan kertas tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 gram sediaan dan dilarutkan dalam 100 ml air suling. Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut, sampai alat menunjukkan harga pH yang konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan harga pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.6.3 Penentuan viskositas

Penentuan viskositas sediaan dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield. Cara kerja: Spindel 63 dipasang pada tempatnya dan dimasukkan ke dalam sediaan hingga dalam tanda batas. Motor dinyalakan dengan speed 3 dan spindel dibiarkan berputar. Setelah jarum menunjukkan angka yang tetap maka pengukuran dianggap selesai. Pengukuran dilakukan dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing masing–masing formula sampo. Viskositas diperoleh dengan mengalikan angka yang terbaca dengan nilai faktor yaitu 100.

3.7 Prosedur Sterilisasi Alat

Alat-alat untuk pemeriksaan mikrobiologi harus disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan di oven pada suhu 150-170oC selama 2 jam dan alat-alat jenis lainnya disterilkan di autoklaf pada suhu


(49)

121oC selama 15 menit, jarum ose dibakar dengan lampu spiritus (Lay dan Hastowo, 1992).

3.8 Pembuatan Media 3.8.1 Potato dextrose agar

Komposisi: Potatoes, Infusion from 200 g Bacto-dextrose 20 g

Bacto-agar 15 g

Cara pembuatan:

Ditimbang serbuk PDA 39 gram, kemudian dilarutkan dalam aquadest sebanyak 1 liter, dipanaskan sampai mendidih untuk melarutkan semua serbuk PDA, disterilkan dalam otoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977).

3.8.2 Pembuatan agar miring

Kedalam tabung reaksi steril dimasukkan 3 ml media PDA steril, didiamkan pada temperatur kamar sampai sediaan memadat pada posisi miring kira-kira 45o, kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 5oC. 3.8.3 Larutan NaCl 0,9 %

Komposisi: Natrium Klorida 9 g Air suling hingga 1000 ml Cara pembuatan:

Ditimbang 0,9 gram natrium klorida lalu dilarutkan dala air suling sedikit demi sedikit dalam labu ukur 100 ml sampai larut sempurna. Lalu


(50)

ditambahkan air suling sampai garis tanda. Disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977).

3.9 Penyiapan Inokulum 3.9.1 Pembuatan stok kultur

Satu koloni jamur diambil dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada media PDA miring dengan cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 25oC selama 48 jam (Ditjen POM, 1995).

3.9.2 Pembuatan inokulum

Koloni jamur diambil dari stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml larutan NaCl 0,9%. Kemudian diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Ditjen POM, 1995).

3.10 Pengujian Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis

Pengujian aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam. Sebanyak 0,1 ml inokulum jamur dicampur homogen dengan 15 ml PDA dicawan petri, kemudian dibiarkan sampai media memadat. Pada media yang telah padat ditanam cincin pencadang logam, kemudian pada masing-masing pencadang dimasukkan 0,1 ml bahan uji. Kemudian diikubasi pada suhu 25oC selama 48 jam. Selanjutnya masing-masing petri diukur diameter daerah bening disekitar


(51)

cincin pencadang menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali terhadap VCO dan VCO terhidrolisis (Ditjen POM, 1995).

3.11 Pengujian Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis yang Diformulasi dalam Sampo

Aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dalam bentuk sediaan sampo diujikan kembali terhadap jamur Microsporum gypseum dan

Pityrosporum ovale menggunakan prosedur yang sama seperti pada uji aktivitas VCO dan VCO terhidrolisis. Pada pengujian ini digunakan kontrol positif yaitu sampo Clear yang mengandung zink pirition.


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mutu Fisik Sampo

Pemeriksaan mutu fisik sampo yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan stabilitas, pH dan viskositas sampo. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini dan pada Lampiran 8 – 10 halaman 56 – 58.

Tabel 4.1Mutu Fisik Sampo

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH - = Tidak terjadi perubahan

Dari Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa seluruh sediaan sampo yang dibuat tetap stabil dalam penyimpanan selama 12 minggu pengamatan. Sampo

Formula

Stabilitas pH Viskositas

(centipoise) Bentuk Warna Bau Awal Akhir Awal Akhir

F0 - - - 7,5 7,3 1990 2400

F1 - - - 7,1 7,2 2250 2800

F2 - - - 6,5 6,7 2700 3250

F3 - - - 6,3 6,5 3150 3650

F4 - - - 6,2 6,2 3400 4000

F5 - - - 6,4 6,2 3600 3750


(53)

yang diformulasi memiliki bau khas minyak kelapa yang lemah, kecuali untuk formula F0 karena tidak ditambahkan VCO. Sampo berbentuk cairan tidak berwarna kecuali untuk formula F1 karena VCO yang ditambahkan tidak dihidrolisis sehingga masih dalam bentuk minyak yang tidak larut dalam air tapi oleh adanya surfaktan membentuk emulsi berwarna putih. Menurut Ditjen POM (1985), detergen dengan rantai karbon 12-14 adalah noniritan, memberikan cukup busa pada suhu kamar, dan tidak mudah rusak dalam penyimpanan.

Pemeriksaan pH dengan pH meter menunjukkan nilai yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan asam lemak dalam sampo tidak sama. Namun nilai pH masih dapat diterima sesuai dengan syarat sediaan sampo. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), persyaratan pH sampo yang baik yaitu 5,0-9,0. Hidrolisis VCO menghasilkan VCO dengan kandungan asam lemak bebas yang tinggi. Bilangan asam merupakan salah satu ukuran dari jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu minyak atau lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak (Ketaren, 2005). Peningkatan jumlah NaOH yang ditambahkan dalam penyabunan sebanding dengan bilangan asam hasil hidrolisis.

Hasil pengukuran viskositas menunjukkan bahwa ada sedikit peningkatan viskositas selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena pengental yang dipakai yakni hidroksi propil metil selulosa memiliki sifat alir pseudoplastis. Struktur hidroksi propil metil selulosa mengentalkan dan


(54)

memperkuat dinding sehingga memperlambat kecepatan mengalir (Kartiningsih, 2008). Sampo yang di jual dipasaran memiliki viskositas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sampo lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan formula yang digunakan dan juga bahan pengental yang berbeda. Namun meskipun demikian, sampo yang diperoleh dapat dituang dengan mudah. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa sampo yang diperoleh baik dan memenuhi persyaratan.

4.2 Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis

Hasil yang diperoleh dari aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.1 berikut ini.

Tabel 4.2 Aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dengan konsentrasi 2% dari tiap tingkat hidrolisis

Tingkat hidrolisis VCO

Diameter daerah hambatan (mm)*

Microsporum gypseum Pityrosporum ovale

0% 6,00** 6,00**

25% 10,25 14,65

50% 11,85 17,45

75% 14,85 23,00

100% 16,60 25,00

Keterangan:

*) : hasil rata-rata tiga kali pengukuran **) : diameter pencadang (6 mm)


(55)

Gambar 4.1 Grafik daya hambat VCO dan VCO terhidrolisis terhadap pertumbuhan jamur Microsporum gypseum dan

Pityrosporum ovale

Hasil uji aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis didasarkan pada pengukuran diameter daerah hambat pertumbuhan (daerah jernih) disekitar pencadang logam dengan menggunakan jangka sorong.

Tabel dan grafik diatas menunjukkan adanya peningkatan daya hambat VCO dan VCO terhidrolisis terhadap pertumbuhan jamur Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale seiring dengan meningkatnya tingkat hidrolisis.

Penyabunan minyak merupakan suatu proses hidrolisis, dimana asam lemak akan terlepas dari molekul trigliserida dengan adanya bantuan logam alkali sebagai sabun dan melepaskan gliserol. Pemutusan asam lemak dari trigliserida oleh adanya alkali tidak dapat diprediksi apakah itu terjadi pada posisi sn-1, sn-2 maupun sn-3, apakah satu, dua atau bahkan ketiga asam lemak terhidrolisis (Fessenden dan Fessenden, 1989). Kandungan terbesar dari VCO

0 5 10 15 20 25 30

0% 25% 50% 75% 100%

D

iam

e

te

r H

am

b

at

Tingkat Hidrolisis

M. gypseum P. ovale


(56)

adalah trilaurat, sehingga dari hasil hidrolisisnya akan dihasilkan asam laurat dan monolaurin yang bersifat sebagai antijamur (Aminah dan Supraptini, 2010).

4.3 Aktivitas Antijamur VCO dan VCO Terhidrolisis yang Diformulasi Dalam Sampo

Hasil uji aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis dalam sampo didasarkan pada pengukuran diameter daerah hambat pertumbuhan (daerah jernih) disekitar pencadang logam dengan menggunakan jangka sorong. Hasil pengujian aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis yang diformulasi dalam sampo dapat dilihat pada Tabel 4.3, Gambar 4.2 berikut ini dan Lampiran 4 – 7, halaman 52 – 55.

Tabel 4.3Aktivitas antijamur sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis

Formula Sampo Diameter daerah hambatan (mm)*

Microsporum gypseum Pityrosporum ovale

F0 18,98 23,40

F1 18,73 23,23

F2 19,15 23,80

F3 19,18 23,88

F4 19,76 25,53

F5 19,80 26,56

Clear 26,66 27,41

Keterangan:

*) hasil rata-rata tiga kali pengukuran F : Formula

0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH


(57)

Gambar 4.2 Grafik daya hambat sampo terhadap jamur Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale

Tabel 4.3 dan Gambar 4.2 di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat hidrolisis VCO yang terkandung di dalam sampo maka diameter zona hambatnya semakin besar. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat hidrolisisnya maka semakin besar aktivitas antijamur sampo tersebut. Namun demikian, aktivitas antijamur VCO dan VCO terhidrolisis yang diformulasi ke dalam sampo tidak memiliki perbedaan zona hambat yang besar pada jenis jamur yang sama. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan asam lemak dan monolaurin dalam sampo tidak jauh berbeda mengingat jumlah VCO dan VCO terhidrolisis yang ditambahkan ke dalam sampo hanya 2% dari seluruh sediaan. pH sediaan tidak mempengaruhi daya hambat pertumbuhan jamur karena pH yang diperoleh dari ke-enam formula berada pada pH dimana jamur dapat tumbuh dengan baik yakni antara 6,2 - 7,3. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), hampir semua mikroorganisme tumbuh baik pada pH

0 5 10 15 20 25 30

F0 F1 F2 F3 F4 F5 Clear

D

iam

e

te

r H

am

b

at

Formula

M.gypseum P. ovale


(58)

antara 6,6 - 7,5 (pH netral) dan pada pH minimal 1,5 - 2,0 jamur sudah dapat tumbuh.

Hasil yang diperoleh dari Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas antijamur setelah VCO diformulasi menjadi sampo. VCO dengan tingkat hidrolisis 25% dapat menghambat pertumbuhan jamur Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovale berturut-turut 10,25 dan 14,65 mm dan aktivitasnya meningkat setelah diformulasi ke dalam sediaan sampo yakni menjadi 14,65 dan 23,80 mm. Demikian juga dengan VCO tanpa hidrolisis dan VCO dengan hidrolisis 50, 75 dan 100%, terjadi peningkatan aktivitas antijamur setelah diformulasi kedalam sediaan sampo.

Penelitian yang dilakukan Ernoviya (2006) bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, diperoleh hasil yang sama yakni adanya peningkatan aktivitas antijamur zat aktif setelah diformulasikan menjadi sampo. Hal ini terjadi karena formula sampo terdiri dari bahan-bahan yang bersifat menurunkan tegangan permukaan, sediaan yang bersifat menurunkan tegangan permukaan akan menghambat pertumbuhan mikroba.

Daya hambat antara sampo VCO dan VCO hasil hidrolisis dengan pembanding sampo Clear menunjukkan bahwa VCO dan hasil hidrolisisnya bersifat antijamur tetapi tidak lebih efektif dibandingkan Clear. Sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis lebih efektif menghambat pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale dibandingkan dengan Microsporum gypseum. Sedangkan untuk sampo Clear daya hambatnya terhadap kedua jamur ini tidak berbeda jauh yakni 26,66 mm untuk jamur Microsporum gypseum dan


(59)

27,41 mm untuk jamur Pityrosporum ovale. Hal ini disebabkan karena Zinc pythirione merupakan salah satu komponen yang mempunyai efek antiketombe berdasarkan kemampuan molekul pirition yang tidak terionisasi untuk menggangu transport membran dengan menghambat mekanisme energi pompa proton sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur. Namun demikian, bila tidak digunakan sesuai dengan kadar yang ditetapkan kemungkinan besar zat ini dapat menimbulkan reaksi kulit yang tidak dikehendaki seperti ruam, pruritus, dan dermatitis (Ditjen POM, 1985).


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Sediaan yang diperoleh secara fisik stabil selama penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar, pH dan viskositas relatif stabil.

2. Penambahan VCO terhidrolisis ke dalam sampo meningkatkan aktivitas antijamur sampo terhadap jamur Microsporum gypseum dan

Pityrosporum ovale.

3. Aktivitas antijamur sampo yang mengandung minyak kelapa murni terhadap jamur Microsporum gypseum dan Pityrosporum ovalemeningkat dengan meningkatnya derajat hidrolisis minyak kelapa murni yang ditambahkan ke dalam sampo tersebut.

5.2 Saran

Disarankan untuk dilakukan penelitian selanjutnya menguji mutu sediaan sampo yang meliputi daya pembersih, daya pembasah, tegangan permukaan, bobot jenis, daya pembusa dan uji iritasi.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Aehle, W. (2004). Enzyme in Industry. Weinheim: Wiley-VCH. Halaman 149-155

Anonim. (1989). Ketoconazole in Seborrhoeic Dermatitis and Dandruff a Review. United Kingdom: ADIS Press International Limited. Halaman 6.

Anonim.(2012). Kelapa. Diakes Tanggal: 20 April 2014. http://www.plantamor.com/index.php?plant=365

Anonim.(2014). Oleum Cocos. Diakses Tanggal: 20 April 2014. https://xa.yimg.com

Aminah, S.A., dan Supraptini.(2010). Virgin Coconut Oil Berpotensi Minyak Kelapa Sebagai Pengawet Buah dan Sayuran.Bul. Penelitian Kesehatan. 38(2): 67–79.

BPOM RI.(2009). Antiketombe.Naturakos. 11(4):2-4.

Cadin C. (1998). Isolated dandruff. Editor: Baran dan Maichbach. Dalam Textbook Of Cosmetic Dermatology. Edisi Kedua. London: Martin Dunit. Halaman 193-200.

Conrado, S.D. (2000). Coconut Oil In Health And Disease: Its And Monolaurin’s Potential As Cure For Hiv/Aids. Diakses Tanggal: 5 Oktober 2012. http://www.apccsec.org/document/Dayrit.PDF.

Chander, J. (2002). Textbook Of Medical Micology. London: Blackwell Science Ltd. Halaman 78-83.

Darmoyuwono, W. (2006). Gaya Hidup Sehat dengan Virgin Coconut Oil. Jakarta: Penerbit PT Indeks Kelompok Gramedia. Halaman 1-10, 15-20.

Difco Laboratories. (1977). Difco Manual of Dehydrated Culture Media and Reagents for Microbiology and Clinical Laboratory Procedures. Edisi kesembilan. Detroit Michigan: Difco Laboratories. Halaman 32, 64. Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:

Departeman Kesehatan RI. Halaman 112, 413, 595, 891-899.

Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetik Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 285-286.


(62)

Ernoviya. (2006). Uji Aktivitas Antijamur dari Sampo yang Mengandung Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Sunkist Terhadap Jamur Microsporum gypseum. Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara. Halaman 20, 27.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan PAU Pangan dan Gizi. Halaman 239-249.

Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S. (1989). Kimia Organik. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman 408-412.

Gaman, P.M., dan Sherrington, K.B. (1992). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 249-250.

Gani, Z., Yuni, H., dan Dede. (2005). Bebas Segala Penyakit dengan VCO. Jakarta: Penerbit Puspa Swara. Halaman 42.

Ginting, M., dan Herlina (2002). Lemak dan Minyak. Skripsi. Medan: Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Halaman 76, 78.

Hanafi. (2013). Mengenal Manfaat Buah Kelapa dan Kandungan Buah Kelapa. Diakses Tanggal: 20 April 2014

http://manfaat-buah-sayur.blogspot.com

Harmanto, N. (2006). SHK: Ibu Sehat dan Cantik dengan Herbal. Jakarta: Elex Media Komputindo. Halaman 18-19.

Hasibuan, D.O. (2012). Sifat Antibakteri Hidrolisis Minyak Kelapa Murni Terhadap Bakteri Probiotik Dan Patogen. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Jawetz, E. (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit EGC Buku Kedokteran. Halalaman 3, 611-616.

Kabara, J.J. (1972). Fatty Acids and Derivatives as Antimicrobial Agents.

Antimicrobial Agents Chemotheraphy. 2(1):23-28.

Kartiningsih. (2008). Formulasi Sediaan Sampo Ekstrak Bunga Chamomile dengan Hidroksi Propil Metil Selulosa sebagai Pengental. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 6(1):15-22.

Ketaren, S. (2005). Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Halaman 26, 49-65.

Kumar, V., Abbas, A.K. dan Fausto, N. (2005). Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi VII. Philadelphia: Elsevier Saunders. Halaman 401-408.


(63)

Lay, B.W., dan Hastowo, S. (1992). Mikrobiologi. Bogor: Penerbit Institut Pertanian Bogor. Halaman 79.

Lieberman, S., Enig, M.G., and Preuss, H.G. (2006). A Review of Monolaurin and Lauric Acid. Natural Virucidal dan Bactericidal Agents. Alternative & Complementary Therapies. 12(6): 310-314.

McKee, T., and McKee, J.R. (2003). Biochemistry: The Molecular Basis Of Life. Edisi III. Boston: The McGraw-Hill. Halaman 68-71.

Nurfadilla. (2004). Uji Sensitifitas Sampo Antiketombe yang Mengandung Minyak Atsiri Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C) terhadap jamur dari Ketombe. Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Rawlins, E.A. (2003). Bentley’s Textbook of Pharmaceutics. Edisi Kedelapanbelas. London: Bailierre Tindall. Halaman 355.

Rele, A., and Mohile, R.B. (2003). Effect Mineral Oil, Sunflower Oil, and Coconut Oil on Preventuion of Hair Damage. J. Cosmet. Sci. 54: 175-192.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipient. Edisi Keenam. Italy: Pharmaceutical Press. Halaman 283, 326, 550, dan 651.

Siregar, S.M. (2003). Pembuatan Sampo dengan Bahan Pewangi Minyak Atsiri dari Kulit Buah Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C). Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara. Halaman 2-3.

Satiawihardja, B. (2001). Studi Pembuatan Mentega Coklat Tiruan dari Minyak Sawit dengan Proses Interesterifikasi Enzimatik. Jurnal Teknologi Indonesia Pertanian. 10(3): 129-138.

Santosa, D., dan Didik, G. (2001). Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Cetakan Kedua. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 35.

Silalahi, J. (2000). Hypocholesterolemic Factors in Foods. A Review.

Indonesian Food Nutrition Progress. 7(1): 26-36.

Silalahi, J., dan Tampubolon, S.D.R. (2002). Asam Lemak Trans dalam Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Jurnal Teknloogi dan Industri Pangan. 8(2): 184-188.

Siswandono. (1998). Prinsip-prinsip Rancangan Obat. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 38-41.


(64)

Tjitrosoepomo, G. (1991). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 231.

Tjitrosoepomo, G. (1996). Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 60.

Wahyuni, Mita. (2000). Bertanam Kelapa Kopyor. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 8.

Wasitaatmadja, S.M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI-Press. Halaman 209.

White, B. (2009). Dietary Fatty Acid American Family Physician. Journal of Academy American Family Physician. 80(4): 345-350.

Wilbraham, A.C., dan Matta, M.S. (1992). Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Terjemahan Suminar Achmadi. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 192.


(65)

Lampiran 1.Bagan pembuatan sampo

Ditimbang Ditambahkan air Diaduk homogen

Ditambah gliserin Ditambahkan air suling Ditambah tween 80 Diaduk homogen

Diaduk homogen

Diaduk homogen Dipanaskan bila perlu

Ditambahkan VCO/hasilhidrolisisnya Hidroksi propil metil selulosa

Massa

Campuran Larutan Na. lauril

Na. lauril sulfat

Sampo


(66)

Lampiran 2. Gambar sediaan sampo

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH


(67)

Lampiran 3.Bagan pengujian aktivitas antijamur sampo

Diambil dengan jarum ose steril ditanam pada media agar miring potato dextrose agar diinkubasi pada suhu 25oC selama 48 jam.

Diambil dengan jarum ose steril

Disuspensikan ke dalam 10 ml NaCl 0,9% Diukur transmitannya dengan menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 580 nm

Dimasukkan 0,1 ml inokulum ke dalam cawan petri Ditambahkan 15 ml media PDA

Dihomogenkan, dibiarkan memadat

Diletakkan pencadang logam diatas media Dimasukkan 0,1 ml sampo

Diinkubasi pada suhu 25oC selama 48 jam

Diukur diameter zona hambat Jamur uji

Stok kultur

Inokulum

Media + Jamur

Hasil inkubasi


(68)

Lampiran 4. Gambar daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Microsporum gypseum

Keterangan: F : Formula

0 : Tanpa VCO 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaO 1 : VCO tanpa hidrolisis 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100% NaOH

M. gypseum M. gypseum

M. gypseum

F5 F0

F3 F4

F2

F1


(69)

Lampiran 5.Gambar daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur terhadap jamur Pityrosporum ovale

Keterangan: F : Formula

0 : Tanpa VCO 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaO 1 : VCO tanpa hidrolisis 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100% NaOH

P. ovale

F5 F0

F4 F3

F2

F1 Clear

P. ovale


(70)

Lampiran 6.Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Microsporum gipseum

Formula sampo zona hambat (mm)

Rata-rata zona hambat (mm) Tanpa VCO (F0) 17,40 18,98 20,50 19,05 VCO tanpa hidrolisis

(F1) 18,10 18,73 19,90 18,20 25% NaOH (F2) 20,00 19,15 18,05 19,40 50% NaOH (F3) 19,35 19,18 19,40 18,80 75% NaOH (F4) 18,60 19,76 20,00 20,70 100% NaOH (F5) 22,00 19,80 19,60 17,80 Clear 27,70 26,60 27,20 25,10


(71)

Lampiran 7.Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Pityrosporum ovale

Formula sampo Zona hambat (mm)

Rata-rata zona hambat (mm) Tanpa VCO (F0) 23,30 23,40 24,20 22,70 VCO tanpa hidrolisis

(F1) 22,90 23,23 21,60 25,20 25% NaOH (F2) 22,20 23,80 25,00 24,20 50% NaOH (F3) 24,95 23,88 22,00 24,70 75% NaOH (F4) 26,00 25,53 24,00 26,60 100% NaOH (F5) 26,60 26,56 27,00 26,10 Clear 28,00 27,41 26,25 28,00


(72)

Lampiran 8. Data pemeriksaan stabilitas sampo

Pengamatan Sediaan Lama pengamatan (bulan ke-)

1 2 3

Bentuk

F0 b b b

F1 b b b

F2 b b b

F3 b b b

F4 b b b

F5 b b b

Clear b b b

Warna

F0 bn bn bn

F1 k k k

F2 bn bn bn

F3 bn bn bn

F4 bn bn bn

F5 bn bn bn

Clear biru biru biru

Bau

F0 bk bk bk

F1 bk bk bk

F2 bk bk bk

F3 bk bk bk

F4 bk bk bk

F5 bk bk bk

Clear bk bk bk

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH b = baik

bn = bening k = keruh bk = bau khas


(73)

Lampiran 9.Data pemeriksaan pH sampo

Sediaan pH (Bulan ke-)

I II III

F0 7,5 7,4 7,3

F1 7,1 7,1 7,2

F2 6,5 6,6 6,7

F3 6,3 6,4 6,5

F4 6,2 6,1 6,2

F5 6,4 6,3 6,2

Clear 6,6 6.6 6.5

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH


(1)

Lampiran 5.Gambar daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur terhadap jamur Pityrosporum ovale

Keterangan: F : Formula

0 : Tanpa VCO 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaO

1 : VCO tanpa hidrolisis 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100% NaOH

P. ovale

F5 F0

F4 F3

F2

F1 Clear

P. ovale


(2)

Lampiran 6.Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Microsporum gipseum

Formula sampo zona hambat (mm)

Rata-rata zona hambat (mm) Tanpa VCO (F0) 17,40 18,98 20,50 19,05 VCO tanpa hidrolisis

(F1) 18,10 18,73 19,90 18,20 25% NaOH (F2) 20,00 19,15 18,05 19,40 50% NaOH (F3) 19,35 19,18 19,40 18,80 75% NaOH (F4) 18,60 19,76 20,00 20,70 100% NaOH (F5) 22,00 19,80 19,60 17,80 Clear 27,70 26,60 27,20 25,10


(3)

Lampiran 7.Data pengukuran daya hambat sampo yang mengandung VCO dan VCO terhidrolisis terhadap jamur Pityrosporum ovale

Formula sampo Zona hambat (mm)

Rata-rata zona hambat (mm) Tanpa VCO (F0) 23,30 23,40 24,20 22,70 VCO tanpa hidrolisis

(F1) 22,90 23,23 21,60 25,20 25% NaOH (F2) 22,20 23,80 25,00 24,20 50% NaOH (F3) 24,95 23,88 22,00 24,70 75% NaOH (F4) 26,00 25,53 24,00 26,60 100% NaOH (F5) 26,60 26,56 27,00 26,10 Clear 28,00 27,41 26,25 28,00


(4)

Lampiran 8. Data pemeriksaan stabilitas sampo

Pengamatan Sediaan Lama pengamatan (bulan ke-)

1 2 3

Bentuk

F0 b b b

F1 b b b

F2 b b b

F3 b b b

F4 b b b

F5 b b b

Clear b b b

Warna

F0 bn bn bn

F1 k k k

F2 bn bn bn

F3 bn bn bn

F4 bn bn bn

F5 bn bn bn

Clear biru biru biru

Bau

F0 bk bk bk

F1 bk bk bk

F2 bk bk bk

F3 bk bk bk

F4 bk bk bk

F5 bk bk bk

Clear bk bk bk

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH b = baik

bn = bening k = keruh bk = bau khas


(5)

Lampiran 9.Data pemeriksaan pH sampo

Sediaan pH (Bulan ke-)

I II III

F0 7,5 7,4 7,3

F1 7,1 7,1 7,2

F2 6,5 6,6 6,7

F3 6,3 6,4 6,5

F4 6,2 6,1 6,2

F5 6,4 6,3 6,2

Clear 6,6 6.6 6.5

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH


(6)

Lampiran 10. Data pemeriksaan viskositas sampo Waktu

Penyimpanan (bulan)

Viskositas (centipoise)

F0 F1 F2 F3 F4 F5 Clear

I 1990 2250 2700 3150 3400 3600 15000

II 2175 2600 3050 3475 3725 3625 18000

III 2400 2800 3250 3650 4000 3750 19000

Keterangan: F : Formula 0 : Tanpa VCO

1 : VCO tanpa hidrolisis

2 : VCO hasil hidrolisis 25% NaOH 3 : VCO hasil hidrolisis 50% NaOH 4 : VCO hasil hidrolisis 75% NaOH 5 : VCO hasil hidrolisis 100 % NaOH