Analisis Motif Dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam ”Untaian Hikmah Ibnu ‟athaillah

(1)

Analisis Motif Dan Sikap

Pada Kitab Al-

Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”

(Pendekatan Psikologi Sastra)

SKRIPSI SARJANA

OLEH :

Nurul Pradini Muqti

070704018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA ARAB

MEDAN

2012


(2)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbi al-„ālamīn penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, seorang panutan dan suri tauladan, yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju zaman yang berilmu pengetahuan.

Salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah membuat suatu karya ilmiah yang berupa skripsi. Oleh karena itu untuk memenuhi syarat tersebut penulis menyusun sebuah skripsi yang berjudul : Analisis Motif Dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam ”Untaian

Hikmah Ibnu ‟athaillah”.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak terdapat kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan yang disebabkan kurangnya pengalaman penulis akan memahami dan menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu penulis dengan sepenuh hati memohon saran dan kritik yang membangun dari semua pihak atas tulisan ini. .

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca maupun masyarakat pada umumnya yang ingin mendalami ilmu bahasa Arab.

Medan, 10 Maret 2012 Penulis

Nurul Pradini Muqti 070704018


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada peneliti, sehingga penelitian skripsi ini dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Shalawat beriring salam peneliti hadiahkan keharibaan junjungan nabi besar kita Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang dirhidoi Allah SWT. Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayah tersayang

Muhammad Mustaqim dan kepada ibu tersayang Evi Suharti, ananda ucapkan terima kasih yang tak terhingga yang ananda hanturkan dari lubuk hati yang paling dalam, yang dengan begitu gigihnya mendidik, membimbing, dan menuntun peneliti sejak dari kecil hingga saat sekarang ini dengan penuh kesabaran dan kelembutan kasih sayangnya serta do‟a yang tulus mengalir kepada peneliti dalam menjalankan studi di Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, ridho dan maghfirahNya kepada mereka.

Dalam kesempatan ini pula peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara beserta Bapak Dr.M.Husnan Lubis, M.A selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs.Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi. M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Dra.Pujiati,M.Sos.Sc,Ph.D selaku Ketua Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara beserta Ibu Dra. Fauziah M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, khususnya staf pengajar di Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah menambah wawasan penulis selama masa perkuliahan serta Kakanda Andika sebagai staf tata usaha di Program Studi Sastra Arab, yang telah banyak membantu peneliti dalam bidang administrasi dan penelitian skripsi.

4. Bapak Drs.Aminullah, M.A., Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Suwarto, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan


(4)

kesempatannya untuk membimbing peneliti serta memberikan inspirasi serta masukan yang sangat bermanfaat bagi peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sepenuhnya.

5. Ibu Dra.Rahima, M.Ag selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada skripsi saya ini.

6. Adik-adik saya yang tersayang Faris dan Ulfa, serta kakak sepupu saya tercinta kak Fika, kak Tia dan kak Putri terima kasih atas semua kasih sayang yang kalian berikan, karena

do‟a kalianlah penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

7. Terima kasih buat kakek dan nenek yang paling saya sayang, yang telah memberikan

semangat serta do‟a yang tulus kepada penulis.

8. Teman- teman angkatan ‟07 Izul, Fateh, Darso, Kawsar, Azfar, Jalal, ban Anwar, Nadya, Kia, Devi, Ayu, Fitri, Fika, Ita, Zia, Imey.

9. Terkhusus untuk Indah, Puput, Unna, Ayi kalian adalah teman- teman terbaik yang pernah penulis miliki, yang selalu ada disaat duka maupun suka kepada penulis, semoga kalian sukses selalu dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

10.Teristimewa untuk teman saya Desi yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan dapat engkau raih kawan.

11. Kak Eki selaku kakak pembimbing saya, yang telah sabar mengajari saya dengan tulus dan lemah lembut. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kakak.

12.Saudara-saudari di Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab (IMBA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan para pengurus IMBA FIB USU periode 2011-2012, kakak-kakak angkatan 2006: kak ika, kak ellita, kak vira, adik-adik angkatan 2009: Oza, Agi, Nurul, Indah, Halimah, Walimah, Dina, An-Nur, Riyan, dll. Juga untuk Riri, Nisa dan Yati di angkatan 2008. Serta seluruh Alumni IMBA terima kasih atas motivasinya selama ini.

13.Teman- teman baik saya Nova, Karin, Rayi, Ningsi, Yunita, Lili, Lia, Nina, Melia, Wina, Era, Said, Anda, Deri, Bang Nanda, Bang Ari. Terimakasih buat kalian yang telah memacu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(5)

14.Dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang kalian berikan kepada penulis

dibalas oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‟alamiiin.

Medan, 10 Maret 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

ABSTRAKSI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Metode Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………..8

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN………..16

3.1. Biografi Ibnu ‟Athaillah ... 16

3.2. Analisis Motif dan Sikap ... 18

BAB IV PENUTUP………..40

4.1. Kesimpulan ... 42

4.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA


(7)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB

LATIN

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

Alif - Tidak dilambangkan

Ba B Be

Ta T Te

Sa es (dengan titik di atas)

Jim J Je

Ha Ha (dengan titik di bawah)

خ

Kha Kh Ka dan ha

Dal D De

Zal Zet (dengan titik di atas)

Ra R Er

Zai Z Zet

Sin S Es

Syin Sy Es dan ye


(8)

Dad de (dengan titik dibawah)

Ta te (dengan titik di bawah)

Za zet (dengan titik di bawah)

„ain Koma terbalik (di atas)

Gain G Ge

Fa F Ef

Qaf Q Ki

Kaf K Ka

Lam L El

Mim M Em

Nun N En

Waw W We

Ha H Ha

ء

Hamzah ` Apostrof

ي

Ya Y Ye

B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. Contoh

:

ةملسم

ditulis Musallamah.


(9)

C. Tā`marbutah di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

Contoh :

ا

ditulis Islamiyyah.

2. Bila dihidupkan ditulis t

Contoh :

ا

ditulis Makkatul Mukarrmah.

D. Vokal Pendek

fathah ditulis a, contoh : ditulis kataba kasrah ditulis i, contoh :

ح

ditulis hasiba dammah ditulis u, contoh :

ح

ditulis hasuna

E. Vokal Panjang

a panjang ditulis ā, contoh :

ء ج

ditulis ja ā i pajang ditulis ī, contoh : ditulis „al īmun

u panjang ditulis ū, contoh : ditulis „uy ūbun

F. Vokal Rangkap

Vokal rangkap (Fathah dan ya) ditulis ai Contoh :

ditulis lailatun

Vokal rangkap (Fathah dan waw) ditulis au Contoh :

ditulis launun


(10)

G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata

Dipisah dengan apostrof (`)

أأ

ditulis a`antum

H. Kata Sandang Alif + Lām

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-

ا

ditulis Al-kit ābu

2. Bila diikuti huruf syamsiah, huruf pertama diganti dengan huruf syamsiah yang mengikutinya.

ا

ditulis as-syahādah

I. Huruf Besar

Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD.

J. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat

1. Ditulis kata per kata, atau

2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut. Contoh :

ا إا خ ش

ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam


(11)

DAFTAR SINGKATAN

BA : Bahasa Arab

IMBA : Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab Alm : Almarhum

Almh : Almarhumah

SAW : Sallallahu „alaihi wasallam SWT : Subhanahu wa ta‟ala FIB : Fakultas Ilmu Budaya USU : Universitas Sumatera Utara


(12)

ABSTRAKSI

Nurul Pradini Muqti, 2012. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah

Ibnu „Athaillah”. Departemen Sastra Arab fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

Motif diartikan sebagai alasan-alasan yang ada pada manusia yang menyebabkan ia melakukan sesuatu. Sedangkan sikap ialah keyakinan dan perasaan tentang sesuatu hal dan kecenderungan untuk bertindak terhadap hal tersebut.

Analisis motif dan sikap pada kitab al-hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” ini merupakan bagian dari kajian analisis psikologi sastra. Psikologi sastra mengandung dua ilmu yaitu ilmu sastra dan ilmu psikologi yang menjadi kesatuan.

Permasalahan yang diteliti dalam pembahasan ini adalah motif dan sikap yang terdapat pada kitab al-hikam karya Ibnu „Athaillah.

Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah teori psikologi sastra menurut Endraswara tahun 2008.

Dia mengemukakan bahwa psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan.

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (Library research) dengan metode deskriftif. Adapun hasil penelitian ini diketahui bahwa motif yang terdapat pada kitab al-hikam

”Untaian hikmah Ibnu „Athaillah” terdiri dari dua macam, yaitu motif sosiologis dan motif teologis. Dan adapun sikap yang termasuk didalamnya adalah sikap individual, dan dikelompokkan kedalam tiga komponen yaitu komponen keyakinan, komponen perasaan/emosi, dan komponen tindakan.


(13)

ةيديرجت ةروص

ا

،

2

،

ا

ﺤ ا

ا

"

ه ء

ا ﺤ ا

."

.

ا

,

ا

ج

ا

ا

ا

ا

ا

ا ىف ةجح ن

ئيشب ي ﻟا ىﻟا بسي مم ن سن

.

ر عشاا د تعمﻟا ه فق م

اذه ل ح لمع ى ع ل يمﻟا ءىشﻟا حن

ءىش

.

نع لي حت

ا

كحﻟا تك ىف فق م

"

هء طع نبا ةمكحﻟا د ع

"

ع ىف ثحبﻟا ه

ىسفنﻟا اداا

.

ا ع مه نيم ع ى ع نمضتي ىسفنﻟا اداا ع

ى ع ىسفنﻟا ع اد

ةدح

.

ادﻟا يه ثحبﻟا ذه ىف ثحبت ىتﻟا ة كشمﻟا

كحﻟا تك ىف فق مﻟا

نبا نم فيﻟ

هء طع

.

ا ا

ا ا

ا ﺤ ا

ا

ا

(Endraswara)

8

..

2

.

ا ا

ا ﺤ ا

ا ا

ا

ا ا

ا

.

ا ا ا ﺤ ا

(library research)

ص

.

ﺤ ا

ا

ا ا

ﺤ ا اص ﺤ ا ا

"

ا ﺤ ا

هء

"

ا

ا

ج

.

ا ا

ف

ش

ا ء ج

ا ء ج

ا ء ج ءا ج ا ا

.


(14)

ABSTRAKSI

Nurul Pradini Muqti, 2012. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah

Ibnu „Athaillah”. Departemen Sastra Arab fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

Motif diartikan sebagai alasan-alasan yang ada pada manusia yang menyebabkan ia melakukan sesuatu. Sedangkan sikap ialah keyakinan dan perasaan tentang sesuatu hal dan kecenderungan untuk bertindak terhadap hal tersebut.

Analisis motif dan sikap pada kitab al-hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” ini merupakan bagian dari kajian analisis psikologi sastra. Psikologi sastra mengandung dua ilmu yaitu ilmu sastra dan ilmu psikologi yang menjadi kesatuan.

Permasalahan yang diteliti dalam pembahasan ini adalah motif dan sikap yang terdapat pada kitab al-hikam karya Ibnu „Athaillah.

Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah teori psikologi sastra menurut Endraswara tahun 2008.

Dia mengemukakan bahwa psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan.

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (Library research) dengan metode deskriftif. Adapun hasil penelitian ini diketahui bahwa motif yang terdapat pada kitab al-hikam

”Untaian hikmah Ibnu „Athaillah” terdiri dari dua macam, yaitu motif sosiologis dan motif teologis. Dan adapun sikap yang termasuk didalamnya adalah sikap individual, dan dikelompokkan kedalam tiga komponen yaitu komponen keyakinan, komponen perasaan/emosi, dan komponen tindakan.


(15)

ةيديرجت ةروص

ا

،

2

،

ا

ﺤ ا

ا

"

ه ء

ا ﺤ ا

."

.

ا

,

ا

ج

ا

ا

ا

ا

ا

ا ىف ةجح ن

ئيشب ي ﻟا ىﻟا بسي مم ن سن

.

ر عشاا د تعمﻟا ه فق م

اذه ل ح لمع ى ع ل يمﻟا ءىشﻟا حن

ءىش

.

نع لي حت

ا

كحﻟا تك ىف فق م

"

هء طع نبا ةمكحﻟا د ع

"

ع ىف ثحبﻟا ه

ىسفنﻟا اداا

.

ا ع مه نيم ع ى ع نمضتي ىسفنﻟا اداا ع

ى ع ىسفنﻟا ع اد

ةدح

.

ادﻟا يه ثحبﻟا ذه ىف ثحبت ىتﻟا ة كشمﻟا

كحﻟا تك ىف فق مﻟا

نبا نم فيﻟ

هء طع

.

ا ا

ا ا

ا ﺤ ا

ا

ا

(Endraswara)

8

..

2

.

ا ا

ا ﺤ ا

ا ا

ا

ا ا

ا

.

ا ا ا ﺤ ا

(library research)

ص

.

ﺤ ا

ا

ا ا

ﺤ ا اص ﺤ ا ا

"

ا ﺤ ا

هء

"

ا

ا

ج

.

ا ا

ف

ش

ا ء ج

ا ء ج

ا ء ج ءا ج ا ا

.


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sastra merupakan cabang dari seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi manusia yang estetis (indah). Seni sastra sama kedudukannya dengan seni-seni lainnya, seperti seni musik, seni lukis, seni tari dan seni patung, yang diciptakan untuk menyampaikan keindahan kepada penikmatnya. Namun demikian, sekalipun tujuannya sama, dari aspek media penyampai estetikanya antara satu cabang seni dengan cabang seni yang lain itu berbeda (Sofyan, 2004:8).

Werren dan Wellek (1956) mendefenisikan sastra sebagai karya imaginatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Defenisi sastra juga banyak yang mengarah pada pengertian sastra ditinjau secara etimologi, asal muasal kata. Menurut Teeuw (1988:22-24), kata “sastra” itu sepengertian dengan kata literature (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa latin litteratura. Sementara itu sebagai bahan bandingan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta: akar katanya adalah “sas-“, dalam kata kerja turunan yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Akhiran “-tra”, biasanya menunjukkan pada alat atau sarana. Oleh karena itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan “su-“ dalam bahasa Sansekerta berarti baik dan indah sehingga susastra berarti alat untuk mengajarkan yang indah (Kurniawan, 2009:19-20).

Dalam bahasa Arab sastra memiliki makna adab ( اا/al-adabu/). Yang jika diartikan

kedalam bahasa Indonesia kata adab berarti “kesopanan, kehalusan dan budi pekerti; akhlak

(Ali, 1994:5). Adab memiliki arti yang bermacam-macam, sesuai dengan zamannya. Seperti yang dikemukakan oleh Wahba (1984: 34-36) bahwa pada zaman Permulaan Islam, adab berarti

at-tahdziibu (pendidikan, pengajaran) dan al-khulqu (budi pekerti). Pada zaman Bani Umayyah, kata adab mempunyai arti at-ta‟limu (pengajaran). Sementara pada zaman Abbasiyyah, adab berarti at-tahdziibu wa at-ta‟liimu ma„an (pendidikan sekaligus pengajaran). Pada abad ke-4 H, adab di artikan sebagai ilmu, yang bukan ilmu agama, tapi dapat meningkatkan akal pikiran manusia, baik dari segi perorangan maupun budayanya (Sutiasumarga,2000: 1-4).


(17)

Menurut Mahmud (1999:10) :

ا ا ا ا ء إا ا ا اا ﺄ

ءا ا ا

ا ,

ا ا ا ش ءا

/al-adabu huwa al-kalāmu al-insyāu al-balīgu al-la ī yuqsudu bihi ila at-ta`īri fī „awāifi al-qurrā`i wa as-sāmi„īna, sawā`an kāna syi„ran am naran/

Sastra merupakan ungkapan yang penyampaiannyan bertujuan untuk mempengaruhi perasaan dan emosi para pembaca atau pendengarnya, baik itu yang berupa syair ataupun prosa.

Ilmu sastra memiliki tiga macam cabang, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ketiganya mempunyai objek penyelidikan yang berbeda-beda. Teori sastra menyelidiki dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan sastra, Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak pertumbuhan sampai perkembangannya saat ini. Dan kritik sastra adalah suatu cabang ilmu sastra yang mengadakan penyelidikan langsung terhadap suatu cipta sastra tertentu (Nursito, 2000:161).

Namun yang tidak kalah pentingnya ialah apresiasi karya sastra. Dalam bahasa Indonesia apresiasi berasal dari kata appreciation yang berarti penghargaan. S Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi terhadap karya sastra adalah upaya atau proses menikmati, memahami, dan menghargai suatu karya sastra secara kritis, sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, dan kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap sastra (Suroto, 1989:157-158).

Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang didalamnya tersirat akan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud secara kongkret. Perilaku dalam kegiatan itu dapat dibedakan antara perilaku kegiatan secara langsung dan tidak langsung.

Karya sastra Indonesia dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni karya sastra bentuk

prosa, karya sastra bentuk puisi dan karya sastra bentuk drama. Prosa adalah karangan yang bersifat menjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Secara umum H.B Jassin mengatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran yang berbeda dengan puisi yang merupakan pengucapan dengan perasaan. Puisi adalah karya sastra yang singkat yang berisi ungkapan isi hati, pikiran, dan perasaan pengarang yang dituangkan dengan memanfaatkan segala daya bahasa, kreatif dan imaginatif. Drama ialah rentetan kejadian


(18)

yang berupa konflik dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu cerita yang dipertunjukkan di atas pentas (Suroto, 1989: 3-4).

Sedangkan karya sastra Arab pada dasarnya terbagi dua yaitu, syi’ir dan natsr (Sofyan, 2004:24). Menurut Muhammad Ibnu Su‟udi (1994:16):

ا ا ا ا ا ا , ا , ا , ص ا , ﺤ ا , ا , ا .

/al-naru wa huwa al-kalāmu al-jamīlu al-la ī laysa lahu waznun wa lā

qāfiyatun, wa minhu al-khubatu, wa ar-risālatu, wa al-waiyyatu, wa al-ikmatu, wa al-maalu, wa al-qiṡṡatu/

Prosa adalah kata-kata indah yang tidak terdapat wazn (aturan dalam membuat syair) dan al-qaafiyah (kata terakhir dari bait syair). Dan yang termasuk didalamnya adalah khutbah, surat, wasiyat, hikmah, perumpamaan dan kisah.

ا ا ا

ا ا .

/al-syi„ru wa huwa al-kalāmu al-jamīlu al-la ī lahu waznun wa

qāfiyatun/

Puisi adalah kata-kata indah yang memiliki wazn (aturan dalam membuat syair) dan al-qaafiyah (kata terakhir dari bait syair).

Prof.DR.Nabila Lubis dalam bukunya Al-Mu‟in fi Al-Adab Al-Arabiyah wa Tarikhihi menjabarkan macam-macam prosa arab, seperti :

1. Al-Khitabah 2. Ar-Rasail 3. Al-Amtsal 4. Al-Hikam 5. Al-Washaya 6. Al-Maqamat 7. Al-Qishas 8. Al-Masrahiyyah (http://Maulinahaq.blogspot.com/2010/01/30/keterbatasan-prosa.html)

Al-Hikam merupakan bagian dari prosa yaitu kata-kata hikmah yang berisi ungkapan pendek yang menggambarkan adat istiadat suatu bangsa, kata-katanya ringkas, maknanya jelas dan berisi pemikiran yang baik dan mendalam (Sofyan, 2004:79-82).


(19)

Menurut Muhammad Ibnu Su‟udi (1994: ):

ﺤ ا

, أ .

/Al-hikamu wa huwa qawlun balīgi qaīrun yaduru „an tajribatin

„amīqatin fīhā fikran sadīdun wa ra‟yun nāfi„un/

Al-hikam ialah kata-kata pendek yang menunjukkan sesuatu makna yang dalam dan kuat serta pendapat yang bermanfaat.

Ada dua unsur pokok yang membentuk sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik atau unsur dalam, dan unsur ekstrinsik atau unsur luar. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak menjadi bagian didalamnya. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956: 75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra (Nurgiantoro, 1994: 23-24).

Penulis tertarik untuk meneliti Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” karena kitab al-hikam secara keseluruhan merupakan sekumpulan tulisan yang membahas berbagai hal yang terdapat dalam kitab-kitab sufi, baik yang terinci maupun yang ringkas, disertai penjelasan dan peringkasan kata-katanya. Kitab ini memadukan kematangan pengalaman religius dan keindahan sastrawi sekaligus, dan tampil sebagai panduan efektif bagi para penempuh jalan spiritual. Kendati demikian, buku ini juga akan membawakan banyak manfaat bagi mereka yang tidak menekuni dunia tarekat. Selama pembaca serius dalam upaya menjadikan hidup sebagai perjalanan menuju Sang Tujuan, maka dibuku ini tersimpan banyak petunjuk, kaidah dan keterangan mengenai situasi dan pengalaman dalam perjalanan semacam itu. Sejatinya, al-hikam dipandang sebagai kitab kelas berat bukanlah karena struktur kalimatnya yang tidak mudah dimengerti, melainkan karena kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat. Ia menjadi kitab yang penuh rima tetapi juga kaya makna.


(20)

Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” merupakan salah satu hasil karya tulis

Syaikh Ibnu „Athaillah As-Sakandari, beliau merupakan seorang pemerhati masalah jiwa manusia yang begitu fenomenal. Selain itu, beliau juga memberi pengajaran tentang tarekat para ahli tasawuf sehingga banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.

Ibnu „Athaillah merekomendasikan kepasrahan penuh kepada Allah. Kepasrahan penuh

dalam pandangan Ibnu „Athaillah menjadi resep kunci agar perjalanan manusia mencapai Sang

Khalik menuai kesuksesan. Keberserahan diri sepenuhnya kepada-Nya menjadi jalan utama bagi dirasakannya karunia-Nya yang sangat berlimpah dan keadilan-Nya yang tidak terbantah.

Sehubungan dengan adanya pendekatan psikologi sastra dalam memahami karya sastra, baik melalui pendekatan pengarang sastra, proses kreatif, maupun para pembaca karya sastra itu sendiri, maka penulis tertarik untuk mengetahui motif dan sikap yang terkandung pada Al-Hikam

“Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”. Penulis menjadikan untaian-untaian hikmah Ibnu „Athaillah sebagai pusat kajian karya tulisnya.

Penelitian tentang Motif dan Sikap pada kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu

„Athaillah” melalui pendekatan psikologi sastra yang saat ini penulis sedang lakukan, merupakan penelitian pertama yang dilakukan oleh mahasiswa untuk meraih gelar kesarjanaan di Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Adapun teori yang dijadikan landasan dalam penulisan ini merujuk pada teori yang dipaparkan oleh Endraswara yang didukung oleh teori Sigmund Freud.

1.2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tetap pada pokok masalah yang menjadi objeknya maka peneliti sangat memerlukan adanya batasan masalah yang menjadikan penelitian ini jelas arahnya dan masalah tersebut meliputi :

1. Bagaimanakah motif yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu

„Athaillah”?

2. Bagaimanakah sikap yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu


(21)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak disampaikan peneliti dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan motif yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah

Ibnu „Athaillah”.

2. Untuk menjelaskan sikap yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu

„Athaillah”.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan tentang penelitian karya ilmiah khususnya motif dan sikap yang terdapat pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”.

2. Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya dan menjadi referensi perpustakaan bagi Fakultas Ilmu Budaya khususnya jurusan Bahasa Arab.

1.5. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Menurut Muchtar (2007:7), library research merupakan penelitian yang mengandalkan data-data yang bersifat teoritis dan dokumentasi yang ada di perpustakaan. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif dengan tahapan sebagai berikut :

A.Persiapan

1. Memilih deskripsi bahan-bahan pustaka yang diperlukan dari sumber-sumber yang tersedia

2. Mencari secara lebih khusus artikel-artikel dan buku-buku yang sangat membantu untuk mendapatkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan masalah yang diteliti

3. Setelah informasi yang relevan ditemukan, peneliti mereview bahan pustaka tersebut dan menyusunnya dengan urutan kepentingan dan relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti


(22)

B.Proses Penelitian

1. Secara metodologis peneliti bergerak meneliti karya sastra untuk menemukan unsur ekstrinsik yaitu Motif dan Sikap yang tergambar pada karya sastra yang akan diteliti 2. Membaca dan memahami karya sastra yang akan diteliti yaitu Al-Hikam “Untaian

Hikmah Ibnu „Athaillah” karya Syaikh Ibn Atha‟illah As-Sakandari agar mampu mencermati aspek-aspek psikologis yaitu Motif dan Sikap yang terdapat di dalamnya. 3. Mengklasifikasi aspek-aspek psikologi yang termasuk ke dalam Motif dan Sikap

sebagaimana teori yang dipaparkan oleh Endraswara yang didukung oleh teori Sigmund Freud.


(23)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.Biografi Ibnu „Athaillah

Ibnu „Athaillah dikenal dengan nama Syaikh Imam Taj ad-Din. Lengkapnya, Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Abdurrahman bin Abdillah bin Ahmad bin Isa bin al-Husain bin „Athaillah. Ia berasal dari bangsa Arab, dilahirkan di kota Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk dan meninggal di Kairo pada 1309M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kepada kota kelahirannya.

Ibnu „Athaillah memiliki guru-guru terbaik pada semua disiplin ilmu keislaman, dan terkenal sebagai fakih besar dalam mazhab Maliki. Pada saat ia hidup, tumbuh pesat beberapa tarekat. Ayahnya sendiri adalah seorang murid tarekat Syadziliyyah, walaupun ia tidak pernah

bertemu dengannya. Mulanya Ibnu „Athaillah tidak berkecimpung dalam dunia tasawuf dan lebih

suka menggeluti fikih. Kendati amat tidak tertarik dengan dunia sufi, ia menjadi murid dari Abu al-Abbas al-Mursi. Ia pun telah menjadi syekh sufi ketika al-Mursi wafat, dan menempati urutan ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, yang mulanya tumbuh dari Maroko dan menyebar di sepanjang Afrika Utara.

Ibnu „Athaillah merupakan bintang pada zamannya dan orang yang terpandang pada

zamannya. Beliau telah menguasai berbagai ilmu, diantaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, nahwu, ushul, aqidah dan lain-lain. Beliau banyak bercerita dan memberi pengajaran tentang tarekat para ahli tasawuf. Banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.

Beliau memiliki beberapa hasil karya tulis yaitu : 1. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir

2. Latha‟if al-Minan 3. Taj Al-Arusy

4. Miftah Al-Falah fi Adz-Dzikr wa Kaifiyyati As-Suluk 5. Al-Qaul Al-Mujarrad fi Al-Ism Al-Mufrad

6. Al-Munajat

7. Al-Wasiyyah


(24)

Ibnu „Athaillah dikenal sebagai sosok yang bersih dan dikagumi. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang yang meneliti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu „Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci disebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualitasnya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu „Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari beberapa kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam. Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu „Athaillah yang sangat popular di dunia Islam selama berabad-abad sampai saat ini. Kitab ini juga menjadi bacaaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Ibnu „Athaillah menghadirkan kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala arah yang ada di setiap kelokan jalan agar kita semua selamat menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu „Athaillah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran kedudukan Ibnu

„Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syari‟at tarikat dan hakikat di

tempuh dengan cara metodis. Corak pemikiran Ibnu „Athaillah dalam bidang tasawuf sangat

berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan tasawuf pada makrifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut ialah pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menimbulkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasulnya.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari‟at Islam. Ia adalah salah satu sufi yang


(25)

berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa, serta pembinaan moral atau akhlak, hal ini merupakan suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari pada selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan dan senda gurau yang akan melupakan Allah, dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik (orang yang memasuki perjalanan sufi) untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan dunia, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi

Ibnu „Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah

SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma‟rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma‟rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Jalan tersebut ialah

mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut. Dan makasib, yaitu ma‟rifat akan dapat diperoleh melalui

usaha keras seseorang, melalui ar-riyadh, dzikir, wudhu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh lainnya.

3.2. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”

Bagian 1 “Berserah Pada Takdir Dan Anugerah”


(26)

ا ا .

ا

.

/arih nafsaka min at-tadbīri. Żamā qāma bihi gayruka „anka lā taqum bihi linafsika/

“Istirahatkanlah dirimu dari ikut mengatur (urusanmu). Sebab apa yang telah di urus untukmu oleh selain dirimu, tidak perlu engkau turut mengurusnya”.

Maksud dari untaian kata-kata Al-Hikam diatas ialah jangan pernah meragukan kekuasaan Allah atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu seorang manusia selalu memerlukan bantuan dari orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan dan urusannya agar dapat tercapai segala hal yang diinginkan.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang hamba yang meyakini dan menaati kehendak Sang Pencipta, tanpa sedikitpun meragukan kekuasaanNya atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dan ia menyerahkan semua haknya kepada Allah dan tetap melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya tanpa mencemaskan segala urusan di masa

datang. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentraman dan ketenangan dalam ridha dan yakin”. Sikap individual tersebut merujuk kepada

komponen perilaku (tindakan), yaitu menyerahkan hak sepenuhnya kepada Allah SWT setelah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya.

Bagian 2 “Agar Hati Tak Teralingi”

Pada halaman 25 :

اخاا ج حا ا ئ ص ا

/al-a„mālu uwarun qāimatun waarwāuhā wujūdu sirri al-ikhlāi fīhā/

“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di dalamnya”.

Maksud dari untaian hikmah diatas ialah ikhlas itu ibarat sinyal, tandanya bisa dilihat tetapi wujudnya tidak bisa diraba apalagi dipegang. Amal bisa saja tetap hidup karena adanya niat, tetapi tidak menjamin terhubungnya seseorang dengan tujuan (Allah). Ikhlaslah yang menghadirkan kejernihan, keleluasaan, dan kebebasan diri dari rasa sempit dan tertekan. Sebab, manusia hanya bergantung pada penilaian-Nya, bukan pada penilaian makhluk-Nya.


(27)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu ikhlas akan

menghilangkan riya‟ dari amal. Ikhlas juga akan menghilangkan ujub (berbangga diri) dan akan mendisiplinkan nafsu. Riya‟ akan merusak kesah-an amal dan ujub akan merusak kesempurnaan amal.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk selalu ikhlas dalam setiap amal perbuatan. Karena ikhlas merupakan keyakinan tentang tidak adanya daya dan upaya diri sendiri (selain karena pertolongan Allah) dalam beramal, dan tidak akan sempurna suatu amal tanpa ikhlas. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),

yaitu ikhlas adalah mengkhususkan hati untuk beribadah kepada Allah SWT.

Bagian 3 “Berjuang Dari Aib Menuju Yang Gaib”

Pada halaman 35 :

ا حا ﻷ ا ا ا ج

/iā latuka al-a„māla „alā wujūdi al-farāgi min ru„ūnāti an-nafsi/

“Menunda beramal guna menantikan kesempatan yang lebih luang, termasuk tanda kebodohan diri”.

Salah satu nikmat yang paling berharga adalah waktu luang. Karena itu, sangatlah tidak cerdas orang yang selalu menjadikan waktu luang sebagai alasan menunda amal saleh yang mestinya segera dikerjakan. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu kebanyakan manusia lebih senang dengan dunia atau terbujuk hawa nafsu. Manusia lebih mementingkan berhubungan dengan orang lain sehingga melupakan amalannya.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual yaitu seorang hamba yang bisa menundukkan nafsunya dan pandai memanfaatkan kesempatan dalam beramal, karena ia meyakini sesuatu yang telah luput darinya tidak akan ada gantinya dan yang telah diperoleh tidak ternilai harganya. Dia tidak menunda dan menyia-nyiakan sedikitpun rezeki kesehatan dan waktu luang yang diberikan Allah swt, serta mendahulukan semua urusan amal dibandingkan urusan duniawi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),


(28)

Bagian 4 “Berhijrah Kepada Allah”

Pada halaman 57 :

ج ح ا ا .

ا .

ج ح ا ا

ا ا .

/lā tarfa„anna ilā gayrihi ājatan huwa mūriduhā „alayka. Fakayfa yarfa„u gayruhu mā

kāna huwa lahu wāi„an. Man lā yastaṭī„u an yarfa„a ājatan „an nafsihi fakayfa yastaṭī„u an yakūna lahā „an gayrihi rāfi„an/

“Jangan memohon kepada selain Allah karena dialah yang memenuhi hajatmu. Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengubah sesuatu yang sudah ditetapkannya?. Dan bagaimana orang yang tak mampu membebaskan dirinya dari kebutuhan dapat membebaskan

kebutuhan orang lain?”.

Sesungguhnya manusia telah mengetahui bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah khayalan dan dudagaan yang tidak nyata. Namun demikian, masih juga ada manusia yang percaya bahwa dukun (setan) bisa mengabulkan apa yang ingin ia peroleh dan butuhkan. Bukankah bila dukun (setan) dapat memenuhi kebutuhannya, merekalah yang mestinya lebih baik dari pada orang tersebut. Sesungguhnya orang itu telah membodohi dirinya sendiri. Berhentilah meminta kepada selain Allah, tumbuhkan kepercayaan diri lalu sapalah Allah Sang Pemenuh Kebutuhan dengan doa-doa.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu jadikanlah Allah SWT satu-satunya tempat kita memohon dan menyandarkan harapan. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu hanya kepada Allah seorang hamba layak untuk memohon. Allah adalah dzat yang kekal yang tidak akan hilang, senantiasa ada, pemberian dan anugerahnya selalu ia berikan kepada semua makhluk. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaituhanya Allah tempat satu-satunya memohon.

Bagian 5 “Terus Melangkah Dalam Berserah”

Pada halaman 62 :


(29)

/Lā taṣḥab man lā yunhiuka āluhu wa lā yadulluka „alā allāhi maqāluhu/

“Jangan bersahabat dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu dan

perkataannya tidak mengantarmu pada Allah”.

Sahabat sering dianngap sebagai cerminan diri seseorang. Bahkan dapat disimpulkan sosok seseorang dari melihat dengan siapa saja orang itu bersahabat. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu

„Athaillah berpesan, berhati-hatilah dalam memilih sahabat. Sebab sosok sahabat mampu mengawal seseorang menuju keridhaan Allah. Namun dia juga sanggup menggiring kita menuju jurang kehancuran dan kesia-siaan, serta murkanya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu tidak seharusnya memaksakan diri untuk bergaul dengan teman yang pembicaraannya tidak dimengerti. Tetapi pilihlah teman yang perilakunya baik dan pembicaraannya sesuai dengan keadaan diri. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu bersahabat dengan teman yang keadaannya membenarkan ia dengan perkataannya dan perkataan yang sesuai dengan ilmunya akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang tinggi iman dan akhlaknya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu selalu berhati-hati dalam memilih sahabat.

Bagian 6 “Dari Dosa Hingga Karunia Sang Penguasa”

Pada halaman 68 :

ا ا ا ﺤ ا ا ا

ا ا ج

/Min „alāmāti mawti al-qalbi „adamu al-uzni „alā mā fātaka mina almuwāfiqāti watarku an-nadami „alā mā fa„altahu min wujūdi az-zallāti/

“Diantara tanda matinya hati kalbu adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan

tidak menyesal atas dosa yang diperbuat”.

Allah Ta‟ala pernah bersumpah „demi masa‟ (al-„Ashr 1-3), dimana sebagian besar manusia berada dalam keadaan merugi. Diantara orang yang merugi itu ialah orang yang hatinya telah mati dan tidak memiliki perasaan sedih atau menyesala atas kelalaiannya di masa lalu yang


(30)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu salah satu penyebab seseorang memiliki hati yang mati yaitu karena lalainya ia dari zikir kepada Allah dan membiarkan anggota badan bermaksiat kepada Allah SWT.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika seseorang memiliki tanda-tanda hati yang mati maka wajiblah baginya untuk bersegera bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif (emosi/perasaan), yaitu seseorang harus mulai mencemaskan diri bila ibadah yang ditinggalkan tidak membuatnya bersedih.

Bagian 7 “Bersyukur Atas Nikmat Yang Terulur”

Pada halaman 84 :

ا ا

, ش .

/man lam basykuri an-ni„ama faqad ta„arraa liza wālihā, wa man syakara hā faqad

qayyadahā bi„iqālihā/

“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat berarti sengaja membiarkan hilangnya nikmat tersebut, sementara siapa yang mensyukurinya berarti mengikatnya dengan erat”.

Bersyukur atas pemberian Allah pada hakikatnya merupakan wujud apresiasi seorang hamba atas apa yang telah diterimanya. Dan Allah Ta‟ala memastikan bahwa hal itu akan kembali kepada sang hamba berupa penambahan atas nikmat yang Dia berikan.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dengan banyak bersyukur atas karunia Allah maka akan tampak pada gambaran perilaku seseorang yaitu bertambahnya amal dan mengakui semua nikmat yang diberikan padanya berasal dari Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang mukmin wajib bersyukur kepada Allah SWT, karena sesungguhnya syukur mengikat yang ada dan member yang hilang. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin memberikan limpahan kebaikan berupa kesehatan, ketenangan dan kelapangan rezki.

Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu mengolah nikmat sebagai wujud ketaatan kepada Allah, sebab jika kewajiban tidak dilaksanakan, maka kemungkinan nikmat itu akan diambil kembali.


(31)

Bagian 8 “Sadar Diri Dalam Genggaman Kehendak Ilahi”

Pada halaman 92:

ا ءا اﺤ خاا ا ا ج ا ا ا ا ا

,

ء ا ا ا ا ا جا

/innamā ja„ala ad-dāra al-ākhirata maallān lijazāin „ibādihi al-mu`minīna lianna hā ihi ad-dāra lā tasa„u mā yurīdu an yu„tiyahum, wa liannahu ajalla aqdārahum „an an

yujāzīhim fī dārin lā baqā alahā/

“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Juga, karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau

memberikan balasan di negeri yang tidak kekal”.

Sesungguhnya Allah Ta‟ala sangat apresiatif kepada hamba-hamba-Nya. Dia telah menyediakan balasan atas usaha para hamba untuk berbakti kepada-Nya dengan sesuatu yang belum pernah dilihat dengan mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbayang dalam benak setiap hamba.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan akhirat sebagai negeri kekal, tempat rahmat dan kegembiraan yang abadi serta sebagai tempat untuk membalas hamba-hambanya yang beriman juga sebagai tempat yang disenangi para nabi. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu janganlah berharap pada sesuatu yang bersifat sementara, karena di dalamnya selalu ada duka lara. Meskipun Allah menyediakan segala bentuk perolehan dan anugerah bagi umat-Nya di dunia ini, tetapi semua itu terikat oleh sifat dunia yang sementara. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah memiliki kehendak untuk memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya yang tekun berbuat baik.

Bagian 9 “Berusaha Untuk Menghamba”

Pada halaman 99 :

ء ج ا

ا


(32)

“Harapan itu disertai amal. Jika tidak, itu hanyalah angan-angan”.

Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang serupa tetapi datang melalui saluran yang berlainan, lalu meninggalkan kesan yang berbeda. Harapan memberi daya hidup bagi seorang hamba dengan keinginan positif untuk beramal ibadah. Sedang angan-angan adalah sifat negatif, dimana pelakunya memiliki keinginan besar tetapi tidak mau melakukan apapun. Maka itu hanyalah tidak lebih dari mimpi atau lamunan saja.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bila seseorang ingin meraih nikmat di akhirat, maka tingkatkanlah amal dan ketaatan serta memperbanyak ibadah wajib maupun sunnat dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jadilah hamba yang menggunakan akalnya untuk mengintrospeksi diri dan bersiap untuk menghadapi hari esok. Dan jangan memperturutkan hawa nafsu dan menggantungkan diri pada angan-angan yang kosong. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu harapan harus disertai dengan pelaksanaan sebab-sebab untuk mencapai keinginan.

Bagian 10 “Tak Terimpit Tatkala Sempit”

Pada halaman 101 :

ا ا ا ا

ج خ

ئ ا

/basaaka kā lā yubqīka ma„a al-qabi wa qabaaka kā lā yatrukaka ma„a al-basi wa akhrajaka „anhumā kā lā takūna lisyay`in dūnahu/

“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak bergantung kepada selain-Nya”.

Allah Ta‟ala mengubah-ubah keadaan manusia, dari lapang menjadi sempit, dari sehat menjadi sakit, dari berpeluang menjadi terkekang dan dari berkecukupan menjadi berkekurangan. Kesemuanya itu dilakukan dengan tujuan agar manusia memahami bahwa ia tidak akan terbebas dari hukum ketentuan-Nya dan tidak aka nada daya dan kekuatan kecuali


(33)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dikala seseorang sedang dicoba oleh kelapangan dan kesempitan, maka wajib baginya untuk tetap taat dan patuh pada Allah Sang Dzat yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu pada saat kesempatan datang menguji maka sikap tenang, tegar, dan tentramlah yang harus ditunjukkan. Dan pada saat kelapangan datang menguji maka kewajiban seseorang itu adalah menjaga anggota badan terutama lisan dari kedurhakaan terutama lisan. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah mengubah-ubah setiap keadaan hambanya, hal ini memiliki maksud agar setiap hamba tetap memahami bahwa hukum-hukumNya akan ada pada setiap orang.

Bagian 11 “Memahami Dunia”

Pada halaman 107 :

ا ا ا

/in aradta an yakūnalaka „izzun la yafnā falā yasta„izzanna bi„izzi yafnā/

“Jika engkau menginginkan kemuliaan abadi maka jangan membanggakan kemuliaan yang fana”.

Kemuliaan yang tidak akan sirna (abadi) hanyalah kemuliaan bersama Allah Ta‟ala, dan

bersandar diri hanya kepada-Nya. Sebab, Dia Maha kekal dan tidak akan pernah sirna. Sedang apabila seseorang membanggakan diri, harta, suku, jabatan dan semua yang bersifat duniawi, maka semuanya itu bersifat menipu dan akan hancur (tidak kekal). Oleh karenanya, siapa yang bergantung kepada segala sesuatu yang tidak kekal atau fana, maka ia akan turut binasa bersama yang fana itu.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu kemuliaan yang tidak akan musnah ialah kemuliaan bersama Allah dan kekayaan yang abadi ialah karena ketaatan kepada Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha memulai untuk mengarahkan pandangan pada kemuliaan yang hakiki. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu kemuliaan yang abadi hanyalah


(34)

Bagian 12 “Balasan Ketaatan”

Pada halaman 115 :

ه ا ا

/innamā yu`limuka al-man„u li„adami fahmika „ani allāhi fīhi/

“Yang membuatmu sakit ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah didalamnya”.

Belum sempurna keimanan seseorang kepada Allah, sebelum ia percaya secara utuh kepada-Nya dan bersyukur atas segala karunia yang telah Dia berikan kepadanya. Dan jika sang hamba belum mengerti, percayalah bahwa pemberian Allah itu pasti bermanfaat dan penolakan-Nya itu pasti karena apa yang diminta oleh sang hamba tidak mengandung manfaat bagi hamba tersebut.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu pasrah dan ridha atas karunia Allah ialah salah satu ciri orang yang beriman dan mencintai Allah SWT. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengerti dan memahami sifat Allah, sebab tidak ada yang tidak memiliki maksud dari semua keadaan yang Allah berikan kepada semua makhluk-Nya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif (emosi/perasaan),

yaitu bersyukur ketika mendapat rizki dan bersabar ketika diuji dengan bencana.

Bagian 13 “Karena Butuh, Kita Mesti Bersimpuh”

Pada halaman 121 :

ج ا ج ا خ

/khayru awqātika waqtun tasyhadu fīhi wujūdu fāqatika wa taruddu fīhi ilā wujūdi illatika/

“Sebaik-baiknya waktumu adalah ketika menyadari kepapaanmu dan engkaupun kembali

mengakui kerendahanmu”.

Sebaik-baik waktu dalam kehidupan ini adalah saat dimana seorang hamba mengingat akan Rabbnya, dan melupakan segala sesuatu selain-Nya. Juga pada saat-saat dimana seseorang


(35)

tengah membutuhkan pertolongan, sementara tidak ada satupun makhluk yang mampu untuk menolong.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu waktu yang paling baik didalam hidup ialah pada saat-saat seorang hamba mengingat Tuhannya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu tidak perlu mengeluh ketika penderitaan menghampiri, tetapi memohon dan mendekatkan dirilah kepada Sang Pencipta. Sikap individual tersebut merujuk komponen perilaku (tindakan), yaitu dengan bermunajat kepada Allah, maka seorang hamba akan menemukan berlimpahnya hajat.

Bagian 14 “Arti Permintaan Dalam Jagat Pemberian”

Pada halaman 131 :

ا

ﺘﺒ ب طم رخ ,

سفن ﻟ ط نكﻟ ﺘﺒ

رخ بد

/lā tuālib rabbaka bitaakhkhuri malabika, walakin alib nafsaka bitaakhkhuri adabika/

“Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah

dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban”.

Allah Ta‟ala mengingat semua jenis kebutuhan hamba-Nya, karena Dia adalah Maha Pemberi. Bahkan Dia telah memenuhi dan melengkapi seluruh kebutuhan hamba-Nya sebelum hamba-Nya sendiri mengerti apa yang menjadi kebutuhannya itu. Karenanya, jika permintaan kepada-Nya belum terpenuhi, maka janganlah berburuk sangka kepada-Nya dan bersegeralah mengintrospeksi diri.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah selalu mengingat dan memenuhi apa yang telah dimohon oleh umat-Nya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengintrospeksi diri dan berusaha menjadi seseorang yang layak untuk mendapatkan apa yang telah diminta. Sikap individual tersebut merujuk komponen perilaku (tindakan), yaitu berjuang menjadi orang yang lebih baik agar segala permohonan itu menjadi layak untuk dikabulkan oleh Sang Pemberi.


(36)

Bagian 15 “Shalat Dan Penyaksian”

Pada halaman 142 :

ا ا

ا ا ا

/al-alātu uhratun lilqulūbi min adnāsi al- unūbi wastiftāun libābi al-guyūbi/

“Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban”.

Apabila hati telah tersucikan oleh cahaya shalat, maka akan terbuka tabir yang menghalangi antara Sang Maha Pencipta dengan hamba-Nya. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu shalat merupakan penghubung dan tempat dialog antara Allah dengan hamba-Nya.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu wajib melaksanakan shalat 5 waktu tepat pada waktunya, dikarenakan shalat merupakan pembersih hati dari kotoran dan dosa-dosa. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif (keyakinan), yaitu didalam shalat yang khusuk akan terjalin keakraban antara hamba dengan Sang Khalik.

Bagian 16 “Imbalan Dan Penghambaan”

Pada halaman 145 :

ا ج ,

ا ا ا ج ا

/matā alabta „iwaan „alā „amalin ūlibta biwujūdi a- idqi fīhi, wa yakfī al-murību wujdānu assalāmati/

“Ketika engkau meminta balasan atas sebuah amal, engkau dituntut untuk tulus didalamnya. Bagi orang yang merasa tidak sempurna sudah cukup jika telah selamat”.

Lakukanlah amal kebaikan semampu mungkin, begitulah perintah dasarnya kepada pembaca. Mengerjakan amal itu butuh kemauan, dan kemauan juga butuh pemaksaan diri agar kemudian engkau mampu. Perubahan dari kemauan kepada kemampuan saja sudah merupakan perjuangan tersendiri. Jadi, bebaskanlah hati dari keinginan lebih agar engkau tidak semakin dibuat letih. Ikhlas adalah keadaan batin yang tidak mudah diraih. Sedangkan balasan-Nya berhubungan dengan ketulusan dalam beramal.


(37)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu beramal dengan sesempurna mungkin jika ingin mendapat karunia dan rahmat dari Allah SWT. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu ikhlas didalam beramal, mengerjakannya dengan sempurna dan menyempurnakan pelaksanaannya merupakan inti dari sebuah amal yang akan mendapat pembalasan dari-Nya. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah akan memberi balasan pada setiap amal manusia.

Bagian 17 “Allah-lah Sahabat Sejatimu”

Pada halaman 160 :

ﺤص اا ﺤص

ٰ ٰ

ا ا اا

.

ﺤ خ

ا ئ ا

/mā ahibaka illa man ahibaka wa huwa bi„aybika „alimun wa laysa ālika illa mawlāka al-karīmu. Khayru man taṣḥabu man yalubuka lā lisyay„in ya„ūdu minka ilayhi/

“Sahabat sejatimu adalah sahabat yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Dan hal itu tidak lain adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik

sahabatmu adalah yang mengharapmu bukan karena keuntungan yang dia harap darimu”.

Allah-lah sebaik sahabat, sebab dalam keadaan apapun Dia tetap berjabat. Tidaklah mudah menjadi sahabat, tidak pula gampang menemukan sahabat. Bersahabat untuk melintasi musim dan masa yang berganti, pada kenyataannya sulit untuk diperoleh. Selalu ada alasan yang membuat orang berdiri tegak disisi kita sebagai sahabat, atau berlari menjauh dan berkhianat. Allah bersahabat tanpa alasan. Kebaikan dan keburukan yang hadir bergilir dalam diri kita, tidak membuatnya berpaling dari kita. Sang hambalah yang sering berpaling dari-Nya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu setiap makhluk yang mengaku menjadi sahabat, pasti memiliki suatu harapan ketika menjalin hubungan. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika mengetahui bahwa tidak ada satupun sahabat sejati kecuali Tuhan, maka ketahuilah esensi persahabatan denganNya dan mematuhi etika secara lahir dan batin. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu dengan menjadikan Tuhan sebagai sahabat sejati, niscahaya akan mendapat keselamatan di dunia dan akhirat.


(38)

Bagian 18 “Allah Dan Alam”

Pada halaman 167 :

ا ا

ﺈﺒ

ا ح

/al-akwānu ābitatun biibātihi wa mamuwwatun bi`aadiyyati ātihi/

“Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan zat-Nya”.

Penuhilah kesadaran akan wujud-Nya, agar selalu senantiasa menemukan-Nya. Sebab tanpaNya alam semesta ini tidak akan pernah ada. Dan alam semesta ini bukanlah apa-apa karena sesungguhnya tidak ada sesuatu di sisi ataupun di samping Allah yang Maha Esa. Ini berarti keadaan alam yang tampak stabil dan konstan ini adalah cerminan kekekalan Allah.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu alam ada karena Tuhan, berdiri karena-Nya dan kokoh karena pengokohan-Nya. Barang siapa menyatakan alam tercipta karena Allah, berarti dia mengetahui dan menyaksikan Tuhan di dalam dirinya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu merenungkan tentang pencitaannya agar manusia semakin mengenal Sang Pencipta. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitutanpa Tuhan alam semesta tidak akan pernah tercipta.

Bagian 19 “Pujian Adalah Ujian”

Pada halaman 170 :

ا ا ج

/ajhalu an-nāsi man taraka yaqīna mā „indahu lianni mā „inda an-nāsi/.

“Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena

mengikuti sangkaan orang”.

Jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu, engkaulah sesungguhnya yang paling tahu siapa dirimu. Engkaulah yang tahu persis kebaikan dan keburukan yang melekat dalam dirimu. Tentang seberapa banyak kebaikan yang telah engkau lakukan. Tentang seberapa rapat dirimu menyembunyikan berbagai keburukan.orang lain tidak mengenalmu, mereka tidak mengerti tentangmu. Mereka hanya menduga-duga dengan pujian yang mereka arahkan kepadamu.


(39)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu jika yang memuji seseorang adalah ahli agama atau ahli kebaikan maka wajar baginya untuk gembira. Tetapi jika yang memujinya adalah orang yang tidak berilmu, maka tidak ada kebodohan yang lebih besar dari pada ridha dan gembira dengan pujian mereka.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jangan sampai orang yang tidak mengetahui apapun yang mengatur diri, sebab mereka tidak mengetahui masih banyaknya keburukan yang tersimpan di dalam diri. Dan jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu hanya diri sendirilah yang mengetahui pasti kebaikan dan keburukan yang melekat dalam diri.

Bagian 20 “Cahaya”

Pada halaman 185 :

ا ح ا ا ا ا ا ا ا

ا

/maniala„a „alā asrāri al-„ibādi walam yatakhallaq bi ar-rahmati al-ilāhiyyati

kānailā„uhu fitnatan „alayhi wa sababan lijarri al-wabāli ilayhi/.

“Siapa yang mengetahui rahasia para hamba namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan,

maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana”.

Setiap rahasia hamba yang tertangkap tidak harus selalu engkau ungkap. Karena butuh kesabaran dan kesadaran sekaligus. Kesabaran menyikapi kenyataan bahwa tidak setiap hamba menyadarinya. Juga kesadaran bahwa Dia-lah yang menjadikanmu melihat rahasia orang lain dan itu merupakan anugerah-Nya. Selalu ada godaan yang bisa membuat seseorang salah menyikapi. Hanya dengan tetap bersandar kepada pengetahuan-Nya seseorang terhindar dari keliru.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bagi seeorang yang dapat mengungkapkan tabir antara sesama, maka hanya tetap bersandar pada Sang Khalik-lah ia dapat bebas dari keterjebakan sifat egonya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,


(40)

bisa menyebabkan kehancuran. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitubersandar pada pengetahuan Tuhan agar tidak terjadi kekeliruan.

Bagian 21 “Ketulusan Dalam Menghamba”

Pada halaman 188 :

ص ص ا ا ا ا

/istisyrāfuka an ya„lama al-khalqu bikhuūiyyatika dalīlun „ala „adami idqika fī

„ubūdiyyatika/

“Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu

dalam penghambaanmu”.

Kesalehan, tahapan spiritual dan rasa cinta kepada-Nya bukanlah konsumsi publik yang harus diceritakan. Menghadaplah kepada-Nya dengan sepenuhnya dan seutuhnya, jangan menghadap kepada-Nya dengan setengah hati. Sementara setengahnya lagi disandarkan pada harapan akan penghargaan dari makhluk. Dan biarkanlah dia menilai dan memberi penghargaan dengan kemurahan-Nya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu janganlah menunjukkan keistimewaan kepada orang lain hanya demi untuk mendapat penghargaan dan pujian. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk menyembunyikan dan menutupi dari orang lain segala keistimewaan yang telah Allah berikan

agar terhindar dari sifat riya‟. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu orang yang beriman adalah orang yang jika Allah memberinya keistimewaan, ia akan menyembunyikan, mengingkari dan menutupinya.

Bagian 22 “Permohonan Dan Pemberian”

Pada halaman 195 :

ا ح ج

ف ضني نا لز

ا ا

/jalla hukmu al-azali an yanāfa ila al-„ilali/


(41)

Yakinilah bahwa semua peristiwa dan kejadian adalah takdir-Nya yang terhubung dengan sebab akibat. Apa yang engkau peroleh dan apa yang engkau tidak peroleh juga ketentuan-Nya. Rahmat, cinta, dan kedermawanan-Nya telah ada sebelum adanya alam semesta ini.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu apa yang dikehendaki Allah itu pasti ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin ada. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu meyakini dan menikmati apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain dari apa yang telah Allah ciptakan.

Bagian 23 “Sukar Membawa Nikmat”

Pada halaman 203 :

ا ا ا

/al-fāqātu busuu al-mawāhibi/

“Ragam ujian merupakan hamparan anugerah”

Nikmatilah beraneka ragam ujian untuk warna-warni anugerah pujian. Jangan sekali-sekali engkau merasa Allah tidak sayang kepadamu. Ini kehendak-Nya, cara-Nya membuatmu semakin dekat dengan-Nya. Dia hendak membuatmu mengenal-Nya agar engkau merasakan betapa agung sifat-sifat-Nya. Wajar bila engkau seperti dihujani kesukaran bertubi-tubi. Pecayalah, bila engkau bisa melewatinya, engkau akan temukan hamparan luas permadani kemurahan-Nya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah memberikan ujian kepada sang hamba karena rasa kasih dan sayang-Nya kepada dia. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu bersiap, berusaha dan menghadapi segala ujian dengan hati sabar dan tegar, karena semuanya akan dibalas Allah dengan keindahan. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), mempercayai jika dapat melewati segala cobaan, maka akan datang suatu karunia yang istimewa dari Sang Maha Agung.


(42)

Bagian 24 “Adab Menerangkan Karunia Spiritual”

Pada halaman 211 :

ا ا ا

/kullu kalāmin yabruzu wa „alayhi kiswatu al-qalbi al-la ī minhu baraza/

“Setiap ungkapan yang terucap dibungkus oleh corak kalbu yang menjadi tempat keluarnya”.

Berhati-hatilah dengan ucapan, sebab setiap perkataan menghadirkan pengaruh yang tak terelakkan. Semakin banyak seseorang mengucakan kata-kata yang mengandung pujian kepada-Nya semakin lembutlah hati seseorang tersebut. Ucapan adalah cermin dan kedudukan dan posisi hati hamba dengan-Nya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu perkataan orang beriman yang sering mengagungkan nama Allah, maka perbuatannya juga akan mudah dikenali sebagai perbuatan yang penuh sopan santun. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,

yaitu bertutur kata dengan indah dan sopanlah jika ingin memiliki tingkah laku yang baik. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), perkataan mencerminkan sifat seseorang yang bertutur.

Bagian 25 “Nafsu Menguntit Selalu”

Pada halaman 227 :

ا ج ا ج ا

/Man lam ya„rifi an-ni„ama biwujdānihā „arafahā biwujūdi fuqdānihā/

“Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memperolehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas dari dirinya”.

Hanya ada penyesalan yang ada ketika nikmat telah tiada karena selama ini telah disia-siakan. Engkau menganggapnya tak akan sirna hingga engkau memperlakukannya semena-mena. Dan kini engkau akhirnya harus mencari nikmat itu kemana-mana. Sehat menjadi begitu berharga setelah kini sakit menimpa. Dan engkau baru menyadari setelah kesedihan, penderitaan dan kehilangan meliputimu.


(43)

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu sesungguhnya Allah selalu mengingatkan tentang semua nikmat dan kesehatan yang bernilai yang datang terus menerus kepada hamba-Nya tetapi ia tidak menyadarinya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengetahui, merenungkan, menyadari dan mensykuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pemberi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu menghargai nikmat sekecil apapun, karena nikmat tersebut akan dibutuhkan kapanpun dan dimanapun.

Bagian 26 “Ilham”

Pada halaman 238 :

ا ح ا

/mā fāta min „umrika lā „iwaalahu wa mā a alalaka minhu lā qīmatalahu/

“Usiamu yang telah berlalu tidak dapat digantikan dan apa yang engkau raih darinya tidak

ternilai harganya”.

Jangan terlalu memikirkan masa lalu, engkau bisa sedih dan malu. Percayalah bahwa masa lalu akan membuatmu menghargai waktu bila engkau menjadikannya pelajaran terbaik bagi dirimu. Jangan sesali apapun yang sudah berlalu. Yang harus engkau sadari adalah bagaimana sekarang engkau memperlakukan diri dan lakukanlah kebenaran di kehidupan sekarang.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu memanfaatkan sesaat dari umur untuk berzikir kepada Allah SWT, agar dapat memperoleh kerajaan yang besar dan nikmat yang abadi di akhirat kelak. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengisi waktu dengan ibadah, menyadari kekurangan dan memperbaiki kesalahan dengan bertaubat. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaituumur seorang mukmin adalah harta pusakanya. Bagi siapa yang erat memegang umurnya maka dia termasuk orang yang berbahagia. Dan bagi siapa yang yang menyia-nyiakannya maka dia adalah orang yang merugi.


(44)

Bagian 27 “Godaan Dunia”

Pada halaman 259 :

اﺤ ج ا

ﻟ ندعم ر يغ ﻟ

يف ﻟ اديهزت رادك

/innamā ja„alahā mahalā liagyāri wa ma„dinan liakdāri tazhīdanlaka fīha/

“Allah sengaja menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar

engkau tidak terpaut dengannya”.

Dunia memang diciptakan untuk membuatmu tidak pernah puas. Ini bertujuan agar engkau merindukan akhirat yang kenikmatannya tak terbatas. Sungguh menyesal orang yang terus mengabdi kepada keberadaan yang tidak abadi. Tetapi berbahagialah orang yang bijaksana, meraih yang di dunia untuk merengkuh yang di akhirat. Kelelahan yang mengejar sementara adalah karena Allah ingin menarikmu kepada kenikmatan tiada tara, karena dunia terus berubah dan akhirnya musnah.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan dunia sebagai tempat godaan, kesedihan, dan sumber kekeruhan agar umat secara total menerima-Nya dan agar umat berpaling dari dunia dan menghadap akhirat.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu melengkapi diri dengan hati yang amanah agar bisa menyikapi seluruh perkara di dunia dengan sakinah. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), Allah menciptakan dunia dengan kerusuhan, karena itu adalah salah satu bukti bahwa Allah menyayangi umatnya.

Bagian 28 “Takutlah Kepada Allah”

Pada halaman 262 :

ا ا خ

/khayru al-„ilmi mā kānati al-khasyyatu ma„ahu/

“Sebaik-baiknya ilmu adalah yang disertai rasa takut pada-Nya”.

Hadirkanlah rasa takut agar ilmumu membuatmu selalu mengingat-Nya. Semakin engkau mengenal-Nya, semakin engkau takut kepada-Nya. Maka, engkau akan semakin dekat dengan-Nya. Hanya rasa takut kepada-Nya sajalah yang dapat membuat diri mendekati-Nya bukan belari


(1)

Sikap Individual

Sikap individual dimiliki oleh seseorang demi seseorang saja dan terdiri atas kesukaan dan ketidaksukaan pribadi, atau keyakinan dan ketidakyakinan atas objek tertentu. Sikap-sikap individual itu turut pula dibentuk karena sifat-sifat pribadi individu sendiri (Gerungan, 2004: 161-163).

Sikap individual terdiri atas kesukaan dan ketidaksukaan pribadi atas objek orang, hewan, dan hal-hal tertentu. Kita lambat laun memperoleh sikap suka atau tidak suka kepada seorang kawan atau seorang saingan, dan juga terhadap kejadian-kejadian yang berarti dalam kehidupan kita. Sikap-sikap individual itu turut pula dibentuk karena sifat-sifat pribadi sendiri (Sobur, 2003: 371).

Berikut adalah kutipan dari kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” pada bagian 2 halaman 26 yang menunjukkan sikap :

ج ا ا ا ج ا

/idfin wujūdaka fī arḍi al-khumūli famā nabata mimmālam yudfan lā yatimmu natājuhu/

“Tanamlah wujudmu pada tanah kerendahan, sebab sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam

hasilnya tidak akan sempurna”.

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan sikap yang dapat diambil yaitu menghindari riya` dan sombong, belajar merendahkan diri untuk kebenaran. Sebab seseorang yang dengan bangga memamerkan kedudukannya hanya akan mendatangkan keburukan-keburukan dalam hidupnya di dunia dan akhirat kelak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Aminuddin. (2000). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo. As-Sakandari, Syaikh Ibn „Atha‟illah (2010). Kitab Al-Hikam Petuah-Petuah Agung Sang Guru.

Jakarta : Khatulistiwa Press.

Atkinson dan Hilgard. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Bin Muhammad, Ahmad. (2007). Lebih Dekat Kepada Allah: Jangan Asal Beriman. Bandung: Pustaka Hidayah.

Bisri dan Fatah. (1999). Kamus Al-Bisri Indonesia- Arab. Surabaya: Pustaka Progressif. Davidoff, Linda. (1991). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

El-Hasani, Imam Sibawaih. (2010). Al-Hikam Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah. Jakarta: Zaman. Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress.

Gerungan, W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Ibnu Su‟udi, Muhammad. (1994). Al-Adabu. Riyad: Al-Jami‟atu. Kurniawan, Heru. (2009). Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Maulinahaq. (2010). Keterbatasan Prosa. (http://Maulinahaq.blogspot.com/2010/01/30/ keterbatasan-prosa.html), tanggal akses : 1 Juli 2011.

Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nursito. (2000). Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa. Said, Fuad. (1984). Pengantar Sastra Arab. Medan: Pustaka Babussalam.

Sofyan, Nur chalis. (2004). Sastra Arab Sebuah Pengantar. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. Suroto. (1989). Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Sobour, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia. Sutiasumarga, Males. (2000). Kesusastraan Arab. Jakarta: Zikrul Hakim.

Siagian, Sondang. (1989). Teori Motivasi Dan Aplikasinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Wellek dan Werren. (1977). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Walgito, Bimo. (1981). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Zubeirsyah dan Nurhayati. (2007). Bahasa Indonesia Dan Teknik Penyusunan Karangan Ilmiah. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.


(3)

Royan, Babu. (2012). Tokoh Sufi: Syekh Ibnu „Athaillah, Penulis Kitab Al-Hikam. (http://babu-royan.blogspot.com/2012/01/05/Tokoh-Sufi:SyekhIbnu„Athaillah), tanggal akses: 30 Februari 2012.

Tashawwuf, Serambi. (2009). Sang Penulis Kitab Al-Hikam, Syaikh Ibnu „Athoillah ra. (http://serambitashawwuf.blogsome.com/2009/12/07/ibnu-athoilah-al-iskandary- sang-penulis-kitab-al-hikam), tanggal akses: 5 Oktober 2011.


(4)

LAMPIRAN

Motif ada dua macam, yaitu motif sosiologis dan motif teologis. Sedangkan sikap individual terdiri dari komponen kognitif (keyakinan), komponen afektif (emosi/perasaan), dan komponen perilaku (tindakan). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :

No. Jenis Motif & Komponen Sikap

Individual

Terdapat Pada Bagian &

Halaman

1. Motif Sosiologis Bagian 1 : 17, 18, 19, 21. Bagian 2 : 26. Bagian 3 : 35, 36, 40, 42, 43, 44. Bagian 5 : 62, 63. Bagian 6 : 72. Bagian 7 : 80, 81. Bagian 8 : 91. Bagian 10 : 103. Bagian 11 : 106. Bagian 13 : 122. Bagian 14 : 133, 137. Bagian 16 : 150, 151. Bagian 17 : 160. Bagian 19 : 168, 169, 170, 171, 172, 173. Bagian 21 : 187, 188. Bagian 22 : 200. Bagian 23 : 201, 202, 203, 204. Bagian 24 : 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217. Bagian 25 : 218, 219, 220, 221, 226, 227. Bagian 26 : 238. Bagian 27 : 256, 257, 258, 259, 260. Bagian 28 : 264, 265, 268, 269. Bagian 29 : 273, 279. Bagian 30 : 284, 286, 292.

2. Motif Teologis Bagian 1 : 15, 16, 20, 22. Bagian 2 : 24, 25, 28, 29, 30, 31, 32. Bagian 3 : 34, 37, 38, 39, 41, 42, 45, 46, 48, 50, 51. Bagian 4 : 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60. Bagian 5 : 64, 65, 66. Bagian 6 : 68, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 78. Bagian 7 :82, 83, 84, 85, 88. Bagian 8 : 90, 92, 93, 94, 95. Bagian 10 : 101, 102, 103, 104, 105. Bagian 11 : 107, 108, 109. Bagian 12 : 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117. Bagian 13 : 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125. Bagian 14 : 127, 128, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143. Bagian 16 : 145, 146, 147, 148,


(5)

149, 15, 153, 154. Bagian 17 : 156, 157, 158, 159. Bagian 18 : 162, 163, 164, 165, 166, 167. Bagian 19 : 174, 175. Bagian 20 : 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185. Bagian 21 : 186, 189, 190, 192. Bagian 22 : 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199. Bagian 23 : 205. Bagian 24 : 207, 208. Bagian 25 : 222, 223, 224, 225, 228, 229, 230, 231. Bagian 26 : 233, 234, 235, 236, 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250. Bagian 27 : 252, 253, 254, 255. Bagian 28: 261, 262, 263, 266, 267, 270, 271, 272. Bagian 29 : 274, 275, 276, 77, 278, 281, 283. Bagian 30 : 285, 288, 289, 290, 91, 293, 294, 295, 296, 297.

3. Sikap Individual. Komponen

Kognitif (Keyakinan)

Bagian 1 : 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22. Bagian 2 : 24, 27, 29, 30, 31, 32. Bagian 3 : 34, 36, 38, 39, 41, 42, 43, 45, 48, 49, 50, 51. Bagian 4 : 54, 55, 56, 57. Bagian 6 : 69, 70, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 78. Bagian 7 : 83, 84, 85, 88. Bagian 8 : 90, 92, 93, 95. Bagian 9 : 98. Bagian 10 : 101, 104, 105. Bagian 11 : 106, 108. Bagian 12 : 110, 111, 112, 114, 115, 117. Bagian 13 : 118, 120, 125. Bagian 14 : 127, 130, 131, 132, 133, 134, 135. Bagian 15 : 138, 140, 142, 147, 148. Bagian 16 : 153, 154. Bagian 17 : 156, 160. Bagian 18 : 162, 163, 165, 166, 167. Bagian 20 : 177, 178, 179, 180, 181, 183, 184. Bagian 21 : 191, 192. Bagian 22 : 195, 196, 197, 198. Bagian 23 : 207, 208. Bagian 25 : 226. Bagian 26 : 236, 239, 242, 243, 244, 246, 247, 248, 250. Bagian 27 : 253, 255, 259. Bagian 28: 270, 271, 272. Bagian 29 : 276, 278, 279, 281, 283. Bagian 30 : 284, 286, 289, 290, 291, 293, 295, 296, 297.


(6)

Komponen Afektif (Emosi/ Perasaan)

Bagian 5 : 64, 65. Bagian 6 : 68. Bagian 8 : 94. Bagian 10 : 103. Bagian 13 : 122, 124. Bagian 14 : 128, 129. Bagian 16 : 150. Bagian 17 : 157, 158.. Bagian 19 : 169, 172, 173, 174, 175. Bagian 21 : 187, 188. Bagian 23 : 201, 203. Bagian 25 : 220, 221, 225, 227, 228, 229, 230. Bagian 26 : 233, 234, 235, 245, 249. Bagian 27 : 252, 254, 256, 258, 260. Bagian 28: 261, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 268, 269. Bagian 29 : 275.

5. Sikap Individual. Komponen

Perilaku (Tindakan)

Bagian 1 : 15, 19. Bagian 2 : 26, 28. Bagian 3 : 35, 40, 44, 46. Bagian 4 : 60. Bagian 5 : 62, 63, 66. Bagian 6 : 71, 72. Bagian 7 : 80, 81, 82. Bagian 8 : 91. Bagian 9 : 96, 97, 99. Bagian 10 : 102. Bagian 11 : 107, 109. Bagian 12 : 113, 116. Bagian 13 : 119, 121, 123. Bagian 15 : 137, 138, 139, 140, 141, 143. Bagian 16 : 145, 146, 149, 151, 152. Bagian 17 : 159. Bagian 18 : 164. Bagian 19 : 168, 170, 171. Bagian 20 : 182, 185. Bagian 21 : 186, 189. Bagian 22 : 193, 194, 199, 200. Bagian 23 : 202, 204, 205. Bagian 24 : 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217. Bagian 25 : 218, 219, 222, 223, 224, 231. Bagian 26 : 237, 238, 240, 241. Bagian 27 : 257. Bagian 28: 272. Bagian 29 : 273, 274. Bagian 30 : 285, 288, 289, 292, 294.