Analisis Motif Dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam ”Untaian Hikmah Ibnu ’Athaillah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Psikologi Sastra
Wellek (1949:75) dalam Siswantoro (2005: 85) mengemukakan bahwa:
By “psychology of literature”, we mean the psychological study of the writer, as
type and as individual, or the study of the creative process, or the study of the
psychological types and laws present within works of literature, or finally, the
effects of literature upon its readers.
Yang dimaksud “psikologi sastra” adalah studi atau telaah analisis terhadap
penulis sebagai sosok yang bisa dipelajari lewat teori psikologi-teori psikologi
tertentu, atau sebagai sosok individu yang berkepribadian khusus atau analisis
terhadap proses penciptaan pada saat menulis, atau analisis terhadap tipe-tipe
psikologis dan hukum-hukum psikologis yang hadir di dalam karya sastra atau
pada akhirnya analisis terhadap pengaruh sastra atas para pembaca.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan.
Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca,
dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra
juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa
kemudian diolah kedalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri
dan pengalaman hidup disekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner kedalam teks sastra.
Jatman (1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki

pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional. Pertautan tidak langsung, karena baik
sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan
sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain, bedanya dalam psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil,
sedangkan dalam sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang (Endraswara,
2003:96).
Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan Hadjana (1985: 60-61), psikologi sastra
mempunyai empat kemungkinan penelitian, antara lain :
1. Penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini
cenderung ke arah psikologi seni.

Universitas Sumatera Utara

2. Penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berkaitan pula
dengan psikologis proses keatif.
3. Penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
4. Penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca (Endraswara, 2003:98).

Budi Utama (2004:138) mengemukakah tiga alasan psikologi sastra masuk dalam kajian
sastra adalah sebagai berikut (1) untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya

sastra. Langsung atau tidak langsung, perilaku dan motivasi para tokoh tampak juga dalam
kehidupan sehari-hari. (2) untuk mengetahui perilaku dan motivasi pengarang, dan (3) untuk
mengetahui reaksi psikologi pembaca.
Karya sastra merupakan hasil ungkapan jiwa seorang pengarang yang di dalamnya
melukiskan suasana kejiwaan pengarang, baik suasana sakit maupun emosi. Roekhan (dalam
Aminudin 1990:91), Psikologi sastra memandang bahwa karya sastra sebagai hasil kreativitas
pengarang yang menggunakan media bahasa dan diabadikan untuk kepentingan estetik.
Hubungan antara karya sastra dan psikologi juga dikemukakan oleh Suwardi (2004:96)
yang mengemukan bahwa karya sastra dipandang sebagai gejala psikologis, akan menampilkan
aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama
sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik dan pilihan kata khas.
Psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra, terdapat titik temu antara penelitian
sastra dan psikoanalisis. Seorang psikoanalisis akan menafsirkan penyakit jiwa seorang pasien
lewat imajinasinya dan ucapannya. Demikian juga seorang kritikus sastra akan menafsirkan
ungkapan bahasa dalam teks tertentu, dan akan terdapat pula titik temu secara historis.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan
proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang
lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan
seterusnya. Hal itu berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu penulis melihat
keretakan, ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya

sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokohtokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar
dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa
pengarang lewat karya sastranya.

Universitas Sumatera Utara

Endraswara (2003:101), menyatakan bahwa Psikoanalisis pertama kali dimunculkan oleh
Sigmun Freud, ia mengungkapkan tiga unsur kejiwaan manusia, yaitu :
1. Id atau Das Es adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Dalam pandangan
Atmadja (1988:231), Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa
seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya.
2. Ego atau Das Ich merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah
individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip kenyataan.
3. Super Ego atau Das Ueber Ich adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau
aturan yang bersifat evaluative (menyangkut baik buruk).

Pada hakikatnya, dalam setiap tingkah laku manusia terdapat motif atau alasan dari dalam
diri manusia yang menyebabkan manusia itu berbuat sesuatu (Sobour, 2003:266). Selain motif,

manusia juga dapat memiliki sikap terhadap bermacam-macam hal. Sikap senantiasa terarahkan
kepada suatu objek, sebab tidak akan ada sikap tanpa ada objek (Gerungan, 2004:161).

2.2. Pengertian Motif
Dalam bahasa Arab motif disebut dengan ‫ ﺩﺍﻉ‬/dā’in/ (Bisri, 1999:215). Secara etimologis,
motif atau dalam bahasa Inggrisnya motive, berasal dari kata motion, yang berarti “gerakan” atau
“sesuatu yang bergerak”. Jadi, istilah “motif” erat berkaitan dengan “gerak”, yakni gerakan yang
dilakukan oleh manusia, atau disebut juga perbuatan atau tingkah laku. Motif diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang bersangkutan yang menjadi pendorong untuk
berbuat atau bertindak sesuatu. Motif sebagai pendorong pada umunya tidak berdiri sendiri,
tetapi saling kait mengait dengan faktor-faktor lain, dan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi motif disebut motivasi.
Harol Koontz dan kawan-kawan dalam buku Management (1980:632) mengatakan bahwa :
“Motive is an inner state that energizes, activates, or moves
(hence’motivation’), and that directs or channels behavior toward goals” (motif
adalah suatu keadaan dari dalam yang memberi kekuatan, yang menggiatkan,
atau yang menggerakkan sehingga disebut ‘penggerakan’ atau ‘motivasi’ dan
yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan-tujuan)”

Universitas Sumatera Utara


Motif dapat diketahui dari perilaku, yaitu apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat oleh
seseorang. Motif juga dapat membantu seseorang untuk mengadakan prediksi tentang perilaku.
Apabila orang dapat menyimpulkan motif dari perilaku seseorang dan kesimpulan tersebut benar,
maka orang dapat memprediksi tentang apa yang akan diperbuat oleh orang yang bersangkutan
dalam waktu yang akan datang. Jadi, sekalipun motif tidak menjelaskan secara pasti apa yang
akan terjadi, tetapi dapat memberikan ide tentang apa yang sekiranya akan diperbuat oleh
seseorang individu.
Fungsi-fungsi motif :
1. Motif berfungsi sebagai penyeleksi perbuatan manusia.
2. Motif menuju kearah tujuan.
3. Motif sebagai pendorong manusia agar terpenuhi kebutuhannya.
4. Segala tingkah laku yang bertujuan berpangkal pada motif.

Sifat-sifat motif :
1. Motif bersifat tetap
2. Motif selamanya bersifat subjektif. Pengaruh dari luar mungkin ada, tetapi alasan dari
suatu perbuatan selalu berhubungan erat dengan pribadi seseorang yang mempunyai
alasan itu.


Menurut Kuypers (1957) motif dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian, yaitu:
a. Motif Biologis, merupakan motif dasar yaitu motif untuk kelangsungan hidup manusia
sebagai organisme. Motif ini timbul apabila adanya kebutuhan yang diperlukan. Apabila ada
kebutuhan, maka hal ini memicu organisme untuk bertindak atau berprerilaku untuk
memperoleh kebutuhan yang diperlukan. Motif biogenetis ini bercorak universal dan kurang
terikat pada lingkungan kebudayaan tempat manusia itu kebetulan berada dan berkembang.
Motif ini adalah asli dari dalam diri orang dan berkembang dengan sendirinya.
b. Motif Sosiologis, merupakan motif untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Motif ini
tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang-orang
atau hasil kebudayaan orang. Motif sosial berbeda-beda sesuai dengan perbedaan yang
terdapat diantara bermacam-macam corak kebudayaan di dunia.

Universitas Sumatera Utara

c. Motif Teologis, merupakan motif yang mendorong manusia untuk mengadakan hubungan
dengan Tuhan. Motif ini berasal dari interaksi antara manusia dan Tuhan, seperti yang nyata
dalam ibadahnya dan dalam kehidupannya sehari-hari saat ia berusaha merealisasi normanorma agama tertentu. Manusia memerlukan interaksi dengan Tuhannya untuk bisa
menyadari tugasnya sebagai manusia yang berketuhanan dalam masyarakat yang beragam ini.

Berikut adalah kutipan dari kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah” pada

bagian 1 halaman 17 yang menunjukkan motif :
‫ﺳﻮﺍﺑﻖ ﺍﻟﻬﻤﻢ ﻻ ﺗﺨﺮﻕ ﺍﺳﻮﺍﺭ ﺍﻷ ﻗﺪﺍﺭ‬
/sawābiqu al-himami lā takhriqu aswāra al-aqdāri/
“Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir”.

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa motif yang terdapat didalamnya ialah sekuat
apapun hasrat yang dimiliki seseorang untuk mengubah hukum alam, hal itu tidak akan terjadi
jika Sang Kuasa tidak berkehendak. Pertemuan antara kehendak manusia dengan kehendak-Nya
bagaikan angin yang membatasi busur panah dengan sasaran. Meskipun perhitungan sangat
akurat, namun bisa saja angin membelokkan busur kearah yang lain. Tugas seorang hamba
hanyalah memfokuskan perhatian pada sasaran. Selanjutnya biarkan ketentuan-Nya yang
bermain.

2.3. Pengertian Sikap
Dalam bahasa Arab sikap disebut dengan

‫ ﻣﻮﻗﻒ‬/mawqifun/ (Bisri, 1999:335). Jung

mendefinisikan sikap sebagai suatu kecenderungan atau kesiapan untuk beraksi atau bereaksi
dalam sebuah arah karakter. Sikap adalah syarat untuk terjadinya suatu tindakan dan merupakan

suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap objek tertentu, orang tertentu atau peristiwa
tertentu. Artinya sikap merupakan pencerminan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Perasaan
ini yang menjadi konsep yang mempresentasekan suka atau tidak sukanya (positif, negatif atau
netral) seseorang pada sesuatu (Siagian, 1995:121).
Calhoun & Acocella mengatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

“An attitude is a cluster of ingrained beliefs and feelings about a certain object and
a predisposition to act toward that object in a certain way” (suatu sikap adalah
sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu).

Berdasarkan defenisi di atas, sikap terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Komponen kognitif (keyakinan), yaitu komponen yang terdiri dari pengetahuan. Pengetahuan
inilah yang akan membentuk keyakinan dan pendapat tertentu tentang objek sikap.
2. Komponen afektif (emosi/perasaan), yaitu komponen perasaan yang menunjuk pada
emosionalitas terhadap objek. Komponen ini berhubungan dengan perasaan senang atau tidak
senang, suka atau tidak suka.
3. Komponen perilaku (tindakan), yaitu komponen kecenderungan tindakan seseorang, baik

positif maupun negatif terhadap objek sikap.
Dengan demikian, jelas bahwa sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka,
penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi,
dan mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijaksanaan sosial.
Sikap setiap orang sama dalam perkembangannya, tetapi berbeda dalam pembentukannya
(Krech, Crutchfield, dan Ballachey, 1965:180). Hal ini menyebabkan adanya perbedaan sikap
seseorang atau individu dengan sikap individu lain. Sikap seseorang terbentuk dari pengalaman
dan melalui proses belajar, serta dilandasi oleh norma-norma yang sebelumnya telah dihayatinya
sehingga dengan kaca mata norma-norma ini serta pengalamannya di masa lalu, ia akan
menentukan sikap bahkan bertindak.
Pada hakikatnya, sikap memiliki fungsi-fungsi psikologis yang berbeda. Fungsi sikap bagi
seseorang juga memengaruhi tingkat konsistensi orang itu dalam memegang sikapnya dan
tingkat kemudahan mengubah sikap. Seperti yang dikemukakan oleh Katz (1960) dalam Calhoun
& Acocella (1990) mengenai tiga fungsi penting dari sikap, yaitu:
1. Sikap mempunyai fungsi organisasi. Keyakinan yang terkandung dalam sikap manusia
mengorganisasikan pengalaman sosial dan membebankan pada perintah tertentu dan
memberinya makna.

Universitas Sumatera Utara


2. Sikap memberikan fungsi kegunaan. Seseorang menggunakan sikap untuk menegaskan sikap
orang lain dan selanjutnya memperoleh persetujuan sosial.
3. Sikap memberikan fungsi perlindungan. Sikap menjaga seseorang dari ancaman terhadap
harga dirinya (Sobur, 2003: 355-369).
Sumber-sumber sikap yaitu :
1. Sikap bersumber dari pengalaman pribadi
2. Sikap negatif bersumber dari pemindahan perasaan yang menyakitkan.
3. Sikap bersumber dari pengaruh sosial.
Sikap dapat dibedakan kedalam sikap sosial dan sikap individual,
• Sikap Sosial
Sikap sosial dinyatakan dengan cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap
objek sosial, dan biasanya sikap sosial dinyatakan tidak hanya oleh seseorang tetapi juga oleh
orang lain yang sekelompok atau semasyarakat. Sikap sosial menyebabkan terjadinya tingkah
laku yang khas dan berulang-ulang terhadap objek sosial, dan karenanya maka sikap sosial turut
merupakan suatu faktor penggerak dalam individu untuk bertingkah laku secara tertentu
(Gerungan, 1987:150).
Dengan istilah “sikap sosial”, banyak konsep tercakup, mulai dari pendapat, keyakinan
sampai ke konsep abstrak tentang kepribadian. Sesuatu ditanggapi dengan enak, menyenangkan,
memuakkan, memberi kedamaian, tentang benda, tingkah laku orang lain, situasi di masyarakat
maupun budaya dan agama, dapat dicakup dengan “sikap sosial”. Ekspresi sikap sosial tersebut

akan muncul dengan kata atau perbuatan: setuju, tidak yakin, melawan, mematuhi perintah, terus
terang, berani, membenci, tawakal, belajar giat, agresif pada siapapun dan apapun, dan
sebagainya.
Masalah sikap sosial erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang terdapat dalam
kelompok, tempat individu tertentu menjadi anggota atau berhasrat mengadakan hubungan
struktural organisatoris dan atau berhasrat mengadakan hubungan psikologis (Wuryo &
Sjaifullah, 1983).

Universitas Sumatera Utara

• Sikap Individual
Sikap individual dimiliki oleh seseorang demi seseorang saja dan terdiri atas kesukaan dan
ketidaksukaan pribadi, atau keyakinan dan ketidakyakinan atas objek tertentu. Sikap-sikap
individual itu turut pula dibentuk karena sifat-sifat pribadi individu sendiri (Gerungan, 2004:
161-163).
Sikap individual terdiri atas kesukaan dan ketidaksukaan pribadi atas objek orang, hewan,
dan hal-hal tertentu. Kita lambat laun memperoleh sikap suka atau tidak suka kepada seorang
kawan atau seorang saingan, dan juga terhadap kejadian-kejadian yang berarti dalam kehidupan
kita. Sikap-sikap individual itu turut pula dibentuk karena sifat-sifat pribadi sendiri (Sobur, 2003:
371).
Berikut adalah kutipan dari kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu ‘Athaillah” pada
bagian 2 halaman 26 yang menunjukkan sikap :
‫ﺍﺩ ﻓﻦ ﻭﺟﻮﺩﻙ ﻓﻰ ﺍﺭﺽ ﺍﻟﺨﻤﻮﻝ ﻓﻤﺎ ﻧﺒﺖ ﻣﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺪﻓﻦ ﻻ ﻳﺘﻢ ﻧﺘﺎ ﺟﻪ‬
/idfin wujūdaka fī arḍi al-khumūli famā nabata mimmā lam yudfan lā yatimmu natājuhu/
“Tanamlah wujudmu pada tanah kerendahan, sebab sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam
hasilnya tidak akan sempurna”.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan sikap yang dapat diambil yaitu menghindari riya`
dan sombong, belajar merendahkan diri untuk kebenaran. Sebab seseorang yang dengan bangga
memamerkan kedudukannya hanya akan mendatangkan keburukan-keburukan dalam hidupnya
di dunia dan akhirat kelak.

Universitas Sumatera Utara