PENDAHULUAN Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.

(1)

1

Begitu membudayanya tindak pidana korupsi di Indonesia membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan sebenarnya adalah rakyat, yakni kita semua. Runtuhnya nilai-nilai atau norma, etika, moral, budaya dan religi disuatu wilayah memang sangat

berpengaruh pada perkembangan tipikor.1

Hasil riset Lembaga Transparency International (TI) yang

berkedudukan di Berlin, selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia. Selama pemerintahan reformasi yang menjadikan korupsi sebagai salah satu agenda yang harus diberantas, tetapi dalam

realitasnya korupsi terus terjadi dan sudah melanda sampai ke daerah.2

Harus ada upaya-upaya progresif dan militan, misalnya menempatkan “Indonesia dalam keadaan darurat korupsi” karena korupsi

sudah tergolong kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) seperti

ditegaskan dalam Konvensi Internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Venna tanggal 7 Oktober 2013. Apalagi berbagai gagasan telah dibuat, seperti menerbitkan deretan undang-undang korupsi, bahkan telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi

1

Ibnu Santoso, 2011, Memburu Tikus-tikus Ortonom Gerakan Moral Pemberantasan Korupsi, Yogyakarta: Gaya Media, hal. 1

2

Marwan Mas, 2014, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, hal. 59


(2)

kewenangan luas dalam melakukan pencegahan dan penindakan berupa

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.3

Walaupun sudah ada KPK hal itu tidak berarti penyidik Polri tidak lagi berhak mengusut kasus korupsi; pengusutan kasus tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 14 ayat (1) huruf g disebutkan bahwa polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya.4

Amandemen UUD 1945 membuat kedudukan lembaga negara

menjadi sejajar sehingga muncul mekanisme check and balances dimana

masing-masing lembaga dapat mengawasi serta memperhatikan kinerja dari lembaga lain. Implikasi dari mekanisme itu adalah munculnya sengketa antar lembaga negara. KPK dan POLRI merupakan beberapa dari lembaga negara yang ada di Indonesia yang bersengketa. Sengketa antara KPK dan POLRI ini berkaitan dengan kewenangan proses Penyelidikan

dan Penyidikan tindak pidana korupsi.5

Hal ini lah yang sering menimbulkan sengketa kewenangan yang tumpang tindih antara KPK dan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi karena kedua lembaga tersebut

3 Ibid. 4

Moh. Hatta, 2014, KPK Dan Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Liberty, hal. 38.

5

Yohanes Adhi Nugroho, 2013, Analisis Yuridis Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara KPK dan Polri, dalam http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/3915 diunduh pada 27 September 2016, pukul 22:38


(3)

merasa mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Seperti kasus simulator SIM yang melibatkan Irjenpol Djoko Susilo dan beberapa perwira Polri pada tahun 2012, KPK dan Polri saling

berebut untuk dapat menangani kasus tersebut.6 Hal serupa juga terjadi di

tahun 2015 adalah pada kasus pengusutan kasus korupsi pengadaan UPS yang merupakan alat pencadangan listrik KPK dan Polri kembali

memperebutkan untuk menjadi lembaga yang menyelidiki kasus tersebut.7

Selain kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK juga diberikan wewenang untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan melakukan supervisi terhadap instansi tersebut.

Bekaitan dengan wewenang tersebut seharusnya masalah tumpang tindihnya kewenangan penyeledikan dan penyidikan dapat diminimalisir. Namun masih terjadinya tumpang tindih kewenangan antara lembaga KPK dan Polri perlu mendapat perhatian khusus. Perlunya mengetahui lebih dalam mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan menurut undang-undang yang berlaku sangatlah diperlukan agar proses

6

Tempo.co, Kamis 02 Agustus 2012, Kasus Simulator SIM Didik Jadi Rebutan KPK-Polisi, dalam

https://nasional.tempo.co/read/news/2012/08/02/063420941/kasus-simulator-sim-didik-jadi-rebutan-kpk-polisi diunduh tangggal 27 September 2016, pukul 23:12 WIB

7

Poskota news, Rabu 11 Maret 2015, Polri dan KPK Rebutan UPS, dalam

http://poskotanews.com/2015/03/11/polri-dan-kpk-rebutan-ups/ diunduh tanggal 27 September 2016, pukul 23:18 WIB


(4)

penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi dapat sesuai yang dicita-citakan dan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti akan mengkaji dan meneliti permasalahan tersebut dan dituangkan dalam

penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN NORMATIF TERHADAP

KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN

KORUPSI DAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kewenangan KPK dan Polri dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi menurut undang-undang yang berlaku?

2. Bagaimanakah pengaturan koordinasi dan supervisi KPK terhadap

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan Polri? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan KPK dan Polri dalam

melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi menurut undang-undang yang berlaku.


(5)

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan koordinasi dan supervisi KPK terhadap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan Polri.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah disamaikan di atas, manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia dan khususnya dalam bidang hukum pidana terutama mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi oleh KPK dan Polri.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi bagi instansi-instansi terkait, untuk dijadikan bahan masukan atau evaluasi untuk terus berkembang dalam penegakan hukum di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Sistem peradilan pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan bersifat penal menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama, baik hukum pidana materiel maupun formal termasuk pelaksanaaan pidananya.

Sistem peradilan pidana atau criminal justice system menjadi suatu istilah

yang menunjukan mekanisme pelaksanaan peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan sistem. Pengertian sistem dalam hubungan


(6)

dengan peradilan pidana merupakan suatu proses yang diwujudkan secara rasional, terencana, terpadu, dan efisien dalam usaha memberantas atau

menekan seminimal mungkin terjadinya tindak pidana.8

M. Yahya Harahap menyatakan, sistem peradilan pidana yang

digaris KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice

system) yang diletakkan di atas landasan prinsip differensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan

yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.9

Berdasarkan kerangka yang dimaksud, maka aktifitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari: legislator; polisi; jaksa; pengadilan; dan penjara; serta badan-badan yag berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan

atau di luar.10

Sebagaimana telah dijelaskan sub bab sebelumnyya bahwa tindak

pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki

kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan dengan tindak pidana konvensional atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Khususnya dalam tahap penyidikan, tindak pidana korupsi ini, terdapat beberapa institusi penyidik yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap

pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini.11

8 Ruslan Renggong, 2014, Hukum Acara Pidana „Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia’, Jakarta: Prenadameda Group, hal. 162-163

9

Muchamad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Prees. Hal. 45

10Ibid.

11IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “prespektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Hal. 168


(7)

Ruslan Renggong dalam bukunya mengatakan bahwa penyidikan termasuk penyelidikan merupakan tahapan awal penanganan perkara

pidana dan akan menentukan proses pemeriksaan perkara selanjutnya.12

Oleh karena korupsi seperti dalam pembahasan sebelumnya terdapat dua lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan penyidikan maka haruslah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Menurut Ruslan Renggong dalam bukunya koordinasi merupakan mekanisme penting yang harus terbina dengan baik dalam sistem peradilan pidana terpadu yaitu koordinasi antar segenap aparat penegak hukum. Walaupun aparat penegak hukum memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda secara tegas dengan aparat penegak hukum yang lain, akan tetapi dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, aparat penegak hukum

harus dapat mewujudkan hubungan fungsional.13

Hubungan kerja sama dan saling mengawasi dalam seluruh proses peradilan pidana baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim di lemabaga pemasyarakatan. Kerja sama dan saling mengawasi melibatkan penyidik, penuntut umum hakim, tersangka atau terdakwa atau

penasihat hukumnya dan aparat rutan atau aparat lembaga

pemasyarakatan.14

12

Ruslan Renggong, Op.Cit., hal. 166

13Ibid., hal. 169 14


(8)

F. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum teretntu dengan

jalan menganalisanya.15 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai usaha pendekatan masalah yang diteliti dengan hukum

normative.16 Sehingga dalam penelitian ini dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam undang-undang dan pendapat para ahli tentang penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi oleh lembaga KPK dan Polri.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian deskriptif yang berusaha memberikan dengan sistematif dan cermat fakta-fakta aktual dengan

sifat populasi tertentu,17 maka penulis akan memberikan gambaran

secara teliti dan sistematis mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga KPK dan Polri dalam tindak pidana korupsi.

15

Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas Hukum UMS, hal. 6

16

Hadi Kusuma Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, hal. 60

17


(9)

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan hukum primer

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK)

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia (Polri)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder meliputi sumber data dari beberapa literatur-literatur, dokumen-dokumen dan arsip yang berlaku serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dan masih relevan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya berupa bahan dari media internet, kamus-kamus dan sebagainya.


(10)

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dimaksud di atas, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yaitu

dengan cara mencari, menginventarisasi, mempelajarai dan

menganalisa data-data yang terdapat dalam buku-buku, literatur dan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian, yakni ini mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK dan Polri dalam tindak pidana korupsi.

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, dengan memperhatikan penafsiran gramatikal yakni mendasarkan pada bunyi ketentuan perundang-undangan dan kemudian akan dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa dokumen, literatur dan wawancara sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dikaji dan dianalisasa dengan metode berfikir deduktif yaitu pola berfikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami isi penelitian, maka penulis menyusun sistematika penelitian dalam format empat bab sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(11)

BAB II berisi tinjauan pustaka yang menguraikan mengenai tinjauan umum penyelidikan dan penyidikan, koordinasi dan supervisi, korupsi, profil komisi pemberantasan korupsi dan profil kepolisian republik Indonesia.

BAB III berisi hasil penelitian dan pembahasan yang menguraikan tentang kewenangan KPK dan Polri dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan pengaturan koordinasi dan supervisi oleh KPK terhadap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan Polri. BAB IV adalah penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.


(1)

dengan peradilan pidana merupakan suatu proses yang diwujudkan secara rasional, terencana, terpadu, dan efisien dalam usaha memberantas atau menekan seminimal mungkin terjadinya tindak pidana.8

M. Yahya Harahap menyatakan, sistem peradilan pidana yang digaris KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice

system) yang diletakkan di atas landasan prinsip differensiasi fungsional

diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.9

Berdasarkan kerangka yang dimaksud, maka aktifitas pelaksanaan

criminal justice system merupakan fungsi gabungan (collection of

function) dari: legislator; polisi; jaksa; pengadilan; dan penjara; serta

badan-badan yag berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luar.10

Sebagaimana telah dijelaskan sub bab sebelumnyya bahwa tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan dengan tindak pidana konvensional atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Khususnya dalam tahap penyidikan, tindak pidana korupsi ini, terdapat beberapa institusi penyidik yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini.11

8

Ruslan Renggong, 2014, Hukum Acara Pidana „Memahami Perlindungan HAM dalam Proses

Penahanan di Indonesia’, Jakarta: Prenadameda Group, hal. 162-163 9

Muchamad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Prees. Hal. 45

10Ibid. 11

IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “prespektif Tegaknya


(2)

Ruslan Renggong dalam bukunya mengatakan bahwa penyidikan termasuk penyelidikan merupakan tahapan awal penanganan perkara pidana dan akan menentukan proses pemeriksaan perkara selanjutnya.12 Oleh karena korupsi seperti dalam pembahasan sebelumnya terdapat dua lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan penyidikan maka haruslah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Menurut Ruslan Renggong dalam bukunya koordinasi merupakan mekanisme penting yang harus terbina dengan baik dalam sistem peradilan pidana terpadu yaitu koordinasi antar segenap aparat penegak hukum. Walaupun aparat penegak hukum memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda secara tegas dengan aparat penegak hukum yang lain, akan tetapi dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, aparat penegak hukum harus dapat mewujudkan hubungan fungsional.13

Hubungan kerja sama dan saling mengawasi dalam seluruh proses peradilan pidana baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim di lemabaga pemasyarakatan. Kerja sama dan saling mengawasi melibatkan penyidik, penuntut umum hakim, tersangka atau terdakwa atau penasihat hukumnya dan aparat rutan atau aparat lembaga pemasyarakatan.14

12

Ruslan Renggong, Op.Cit., hal. 166 13Ibid., hal. 169

14


(3)

F. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum teretntu dengan jalan menganalisanya.15 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai usaha pendekatan masalah yang diteliti dengan hukum normative.16 Sehingga dalam penelitian ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam undang-undang dan pendapat para ahli tentang penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi oleh lembaga KPK dan Polri.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian deskriptif yang berusaha memberikan dengan sistematif dan cermat fakta-fakta aktual dengan sifat populasi tertentu,17 maka penulis akan memberikan gambaran secara teliti dan sistematis mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga KPK dan Polri dalam tindak pidana korupsi.

15

Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas Hukum UMS, hal. 6

16

Hadi Kusuma Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, hal. 60

17


(4)

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan hukum primer

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder meliputi sumber data dari beberapa literatur-literatur, dokumen-dokumen dan arsip yang berlaku serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dan masih relevan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya berupa bahan dari media internet, kamus-kamus dan sebagainya.


(5)

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dimaksud di atas, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari, menginventarisasi, mempelajarai dan menganalisa data-data yang terdapat dalam buku-buku, literatur dan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian, yakni ini mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK dan Polri dalam tindak pidana korupsi.

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, dengan memperhatikan penafsiran gramatikal yakni mendasarkan pada bunyi ketentuan perundang-undangan dan kemudian akan dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa dokumen, literatur dan wawancara sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dikaji dan dianalisasa dengan metode berfikir deduktif yaitu pola berfikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami isi penelitian, maka penulis menyusun sistematika penelitian dalam format empat bab sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(6)

BAB II berisi tinjauan pustaka yang menguraikan mengenai tinjauan umum penyelidikan dan penyidikan, koordinasi dan supervisi, korupsi, profil komisi pemberantasan korupsi dan profil kepolisian republik Indonesia.

BAB III berisi hasil penelitian dan pembahasan yang menguraikan tentang kewenangan KPK dan Polri dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan pengaturan koordinasi dan supervisi oleh KPK terhadap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan Polri. BAB IV adalah penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.


Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 12

KOORDINASI KEJAKSAAN DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI KOORDINASI KEJAKSAAN DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 6 11

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 17

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 12

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Normatif Terhadap Dualisme Kewenangan Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Kpk.

0 4 19

PENDAHULUAN Kajian Normatif Terhadap Dualisme Kewenangan Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Kpk.

0 6 21

STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 6 10

PENDAHULUAN STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 0 15

SENGKETA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS KORUPSI.

0 3 51

OPTIMALISASI TUGAS DAN WEWENANG ANTARA KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL

0 0 17