SENGKETA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS KORUPSI.

(1)

SKRIPSI

SENGKETA KEWENANGAN KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DALAM KASUS KORUPSI

ANAK AGUNG NGURAH WISNU WISESA NIM: 1116051232

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SENGKETA KEWENANGAN KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANAK AGUNG NGURAH WISNU WISESA NIM: 1116051232

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 12 NOVEMBER 2015

Pembimbing I

Dr.Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH NIP: 19560902 198503 2 001

Pembimbing II

Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH NIP: 19760319 199903 2 002


(4)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL: 2 MARET 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 0182/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal 18 Februari 2016

Ketua : DR. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH. (...) NIP: 19560902 198503 2 001

Sekretaris :Ni Luh Gede Astariyani SH., MH. (...) NIP: 19760319 199903 2 002

Anggota : 1 Prof. Dr. I Made Subawa, SH., MS. (...) NIP: 19560425 198503 1 003

2. Made Nurmawati SH., MH (...) NIP: 1962033 119870 2 201

3. Ni Made Ari Yuliartini Griadhi SH.,MH (...) NIP: 19790719 200112 2 002


(5)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggugjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 2 Maret 2016 Yang menyatakan,

(Anak Agung Ngr. Wisnu Wisesa) NIM. 1116051232


(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berserta seluruh manifestasinya karena atas berkat, rahmat serta karunianyalah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “SENGKETA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS KORUPSI”. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini baik berupa bimbingan, arahan, saran dan dukungan teknis maupun moril. Pada kesempatan ini penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, SH,.Msi, selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Anak Agung Ketut Sukranatha, SH.,MH, selaku Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari SH.,MH, selaku Pembimbing I yang memberikan bimbingan serta wawasan lebih luas kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH, selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan telah menyediakan waktunya untuk membimbing.

9. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Setyawati SH., M.Kn., LLM selaku Pembimbing Akademik yang sabar dan penuh tanggung jawab membimbing selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10. Bapak/Ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada saya selama mengikuti perkuliahan.

11.Ayah saya Anak Agung Ngurah Manik Wisesa, Ibu Diah Kartikasari, Kakak saya Anak Agung Sagung Bintang Permatasari, Adik saya Anak Agung Ngurah Bisma Wisesa, dan keluarga besar saya yang sudah memberi perhatian dan telah memberikan dukungan moril dan doa restu dalam menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(8)

12.Sahabat – Sahabat terbaik saya Gusten, Atut, Anyo dan Agung yang selalu ada di saat senang maupun susah.

13.Rockness Family, Omtur, Omde, Kak Olin, Bayu, Dewa 19, Dewa gitar, Bagus , Lucky, Tophanter Dkk.

14.Seluruh kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi (HMPE) Fakultas Hukum Universitas Udayana, Darya, Anton Dinata, Cok Wis, Wahyu Widiartana, Adyt Dimas, Gund De Surya, Gandi Bond, Yogi Indra, Wisnu Wisesa, Bram Rendrajaya, Eddy Gapo, Gung Wah Ello, Cytos, Aryantha Wira, Bayu Toplo, Gung Adi, Herda, Dede Pasek, Adi Sueb, Dimas, Windu, Hendra, Ican, Gus Gandi, Indra, Wah Anyo, Hendra Pranata, Fajar, Gung Po, Gung Gus dan lain-lain

15. Kawan-kawan mahasiswa kelas “ Z “ Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana 2011 , Adi K., Maruti, Dewa Buleleng, Eka, Gede, Agung, Anom, Cintya R., Ade S., Lalu, Luthfi, Rizal, Nuel, WT, Permadi, Kodir, Sayu, Tugus, Yogi, Yudik dan lain – lain

16.Sahabat diskusi santai Maruti, Dewa, Bolem, Bli Bram, Hendra P, Yogik, Bli Oka

17.Kawan – Kawan tim futsal HMPE FH UNUD 18.Kawan – Kawan Tim Basket FH UNUD

19.Grup Huru – Hara, Nabila, Mala, Yani, Cempaka, Bolem Dkk.

20.Dan terakhir untuk yang spesial di hati penulis Dentria Cahya Sudarsa Semoga segala kebaikan, bantuan serta petunjuk dari Bapak/Ibu, kawan-kawan dan saudara sekalian mendapatkan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa, Ida


(9)

Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata, Apabila Ada kekurangan didalam skripsi ini mohon dimaafkan dan besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.

Denpasar, 12 November 2015

Anak Agung Ngurah Wisnu Wisesa NIM. 1116051232


(10)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul sengketa kewenangan komisi pemberantasan korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kasus korupsi. Telah beberapa kali terjadi perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia salah satunya dalam menangani kasus korupsi, karena Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sama – sama memiliki wewenang sebagai penyidik pada kasus korupsi terjadilah ketidak pastian hukum khusus nya pada kasus korupsi simulator SIM tahun 2012. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui masing – masing wewenang dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menangani kasus korupsi, serta menganalisa apakah ada konflik norma pada Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengijinkan Kepolisian untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dengan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyidik kasus tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode normatif dengan menganalisa Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 2002 dan UU No. 30 Tahun 2002. Dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generalis maka peraturan yang khusus mengesampikan peraturan yang lebih umum, dimana UU No. 30 Tahun 2002 mengesampingkan UU No.2 Tahun 2002. Serta dalam kasus simulator SIM akan lebih objektif apabila Komisi Pemberantasan Korupsi yang menanganinya mengingat yang terjerat kasus korupsi tersebut berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kata Kunci : Sengketa kewenangan, KPK, POLRI, Korupsi


(11)

ABSTRACT

This article entitled dispute the authority of KPK with the POLRI in a corruption case. Has several times of enmity between the KPK with the POLRI one of them in handling corruption cases, because the KPK and the POLRI the same - the same authority as investigators in the corruption case there was legal uncertainty of her special on corruption cases simulator SIM 2012. The purpose of this paper to know each - each authority of the Corruption Eradication Commission and the Indonesian National Police in dealing with corruption cases, and to analyze whether there is a conflict of norms on the Act. No. 2 of 2002 on thePOLRI to allow the Police to become investigators on general crime by Law - Act No. 30 of 2002 on the KPK which authorized KPK to investigate cases of corruption. The method used in this study, using normative by analyzing the Constitution - Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, Law No. 2 of 2002 and Law No. 30, 2002. With the principle of derogate legi Lex Specialist Generalists the special regulations ruled out more general rules, where Law No. 30 of 2002 override Act 2 of 2002. And in the case of SIM simulator will be more objective if the KPK handle remember that entangled the corruption comes from the Indonesian

National Police.


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM………... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA………... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...……… ... v

KATA PENGANTAR………... ... viii

ABSTRAK………... ... ix

ABSTRACT………... x

DAFTAR ISI...………... xi

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinilitas Penelitian ... 10

1.5 Tujuan Penulisan ... 12

1.5.1 Tujuan Umum ... 12

1.5.2 Tujuan Khusus ... 12

1.6 Manfaat Penelitian ... 12

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 12


(13)

1.7 Landasan Teoritis ... 13

1.7.1 Prinsip Negara Hukum ... 13

1.7.2 Asas-Asas Pemerintahan yang Baik ... 15

1.7.3 Teori Kewenangan ... 17

1.8 Metode Penelitian ... 18

1.8.1 Jenis Penelitian ... 18

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 20

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .... ... 21

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .... ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA... ... 22

2.1 Pengertian Negara Hukum... 22

2.2 Tinjauan Umum Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ... 28

2.2.1 Pengertian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ... 28

2.2.2 Syarat Legal Standing Permohonan Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi ... 32


(14)

2.2.3 Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Lembaga

Negara……… .. 33

BAB III KEWENANGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DALAM MENANGANI KASUS TINDAK PIDANA

KORUPSI ... 36 3.1 Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam

Kasus Tindak Pidana Korupsi ... 36 3.2 Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Kasus

Tindak Pidana Korupsi ... 38 3.3 Hubungan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi………… .. 40

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTARA

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI ... 42 4.1 Sengketa Kewenangan Terkait Kasus Korupsi Simulator SIM

Tahun 2012 ... 42 4.2 Penyelesaian Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Menangani Kasus Tindak Pidana Korupsi ... 45


(15)

BAB V PENUTUP ... 51

5.1 Simpulan ... 51

5.2 Saran ... 52


(16)

   


(17)

1   

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah :

Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat)

dalam arti negara pengurus (Verzogingsstaat)1. Hal ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945) Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut :

‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ”

Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara

       

1 Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan - Jenis, Fungsi, dan Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1.


(18)

2   

yang bertugas untuk menegakkan hukum. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan “ Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 Ayat (4) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum.

Demi mewujudkan penegakan hukum yang adil, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, maka diundangkanlah Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2002 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran Pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu

a. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Bahwa Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggu hak asasi manusia.

Setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia yg selanjutnya disebut POLRI diberikan wewenang-wewenang untuk mengakkan hukum , hal ini


(19)

3   

mengacu pada ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam melaksakan tugas pokoknya selaku penegak hukum, POLRI diberikan wewenang untuk menyelidiki dan menyidik setiap tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 14 Huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI contohnya Tindak Pidana Korupsi.

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi social yang dianggap menyimpang2. Oleh karena itu perilaku tersebut dengan segala bentuk dicela dalam masyarakat. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukumsebagai suatu bentuk tindak pidana3. Dewasa ini di Indonesia tindak pidana korupsi dirasa sangat merugikan negara khususnya di dalam perekonomian negara yg berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional hal ini tercantum dalam konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yg selanjutnya disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 huruf a, dan b yaitu

a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau pereoknomian Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi

       

2Elwi Danil, Korupsi, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,PT. Rajagrafindo Persada, hal. 1

3 Ibid.


(20)

4   

Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah sebuah bentuk usaha negara yang benar – benar ingin memerangi tindak pidana korupsi.

Namun seiring bekembangnya sistem ketatanegaraan dan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kemudian disebut Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada KPK untuk menangani kasus – kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disingkat KPK dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran pembentukan UU No. 30 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu:

a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan Negara, perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional;

b. Bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;


(21)

5   

Dalam konsideran menimbang huruf a dan b sangat jelas diuraikan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian atau oleh lembaga kejaksaan belum secara efektif sehingga pemerintah mengambil jalan untuk membentuk suatu lembaga yang bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya, yakni dengan membentuk KPK

Hubungan antara KPK dengan POLRI adalah merupakan hubungan fungsional, yakni dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga Negara yang menegakkan hukum, keadilan, dan mengayomi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya Lembaga KPK yang menjadi mitra bagi POLRI merupakan suatu sistem yang ideal bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kehadiran KPK memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia khususnya terhadap tindak pidana korupsi. Hadirnya KPK juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam hal keseriusannya memberantas tindak pidana korupsi dimana selama ini sebelum adanya KPK pemberantasan tindak pidana korupsi belumlah efektif.

Mengenai hubungan kewenangan dan hubungan fungsional antara KPK dengan POLRI tercantum jelas pada Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan bagi kepolisian, ketentuan mengenai hubungan fungsional dan kerja sama dengan KPK tertuang dengan jelas dalam ketentuan


(22)

6   

Pasal 42 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI bahwa hubungan dan kerja sama POLRI dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki, sedangkan pada Pasal 42 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI disebutkan bahwa hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas.

Memang dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI tidak ada secara jelas menyebutkan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hanya menyebutkan mengenai badan, lembaga instansi lain, serta masyarakat. Akan tetapi kembali kita melihat kedudukan dan fungsi dari KPK yang merupakan lembaga/instansi yang berkedudukan di dalam negeri dan sebagai lembaga yang mengemban tugas menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi atas dasar itu Komisi Pemberantasan Korupsi sudah memenuhi unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI sebagai lembaga yang berkedudukan di dalam negeri serta sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan.

Hubungan fungsional antara KPK dan POLRI bersifat timbal balik, hal ini dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga Negara tersebut dapat melakukan kerja sama dengan lembaga Negara lain yang berfungsi menegakkan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6


(23)

7   

Huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan Ketentuan mengenai lembaga POLRI dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 tentang POLRI yang seara rinci di tegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerja sama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan adanya pengaturan mengenai hubungan dalam melakukan kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara KPK dengan POLRI secara teori memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia, khususnya dalam memberantas tindak pidana korupsi. Idealnya jika ada 2 institusi yang berperan sebagai instrument Negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewenangan yang dilandasi hubungan fungsional pasti pegakkan hukum dan keadilannya semakin efektif dan efisien.

Namun keadaan dewasa ini KPK dan POLRI menjadi sorotan, hal ini dikarenakan telah terjadinya gesekan-gesekan diantara kedua institusi penegak hukum ini, perseteruan antara KPK dengan POLRI bahkan sudah terjadi beberapa kali, dimulai dari tindak pidana korupsi hingga sengketa kewenangan dari kedua institusi, pada perseteruan jilid 1 kasus “cicak vs buaya” berawal dari tindakan


(24)

8   

penyidikan (penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim POLRI saat tahun 2008, Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup.4Dalam wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009, Susno merendahkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri). Padahal, menurutnya dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu.

“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”

Perseteruan cicak versus buaya belum berhenti sampai disitu, dilanjutkan dengan cicak versus buaya jilid dua yang kembali melibatkan kedua institusi penegak hukum. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.5. Padahal sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang

       

4 Reza Gunanda, 2014, Pertikaian KPK versus Polri Berlanjut, Pos Kupang

http://kupang.tribunnews.com/2015/01/24/pertikaian-kpk-versus-polri-berlanjut?page=2 diakses tanggal 9 Februari 2015

5 Icha Rastika, 2012, KPK Resmi Tetapkan Djoko Susilo Tersangka, KOMPAS.com,

http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/08321417/KPK.Resmi.Tetapkan.Djoko.Susilo.Tersa ngka diakses tanggal 9 Februari 2015


(25)

9   

melibatkan Djoko Susilo. Sampai yang terhangat sekarang kasus Calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Komisaris Jendral Polisi Budi Gunawan yg dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di awal tahun 2015 karena terindikasi kasus tindak pidana korupsi6

Dari perseteruan yang terus menerus terjadi antara lembaga KPK dan POLRI maka menarik untuk diteliti. Apakah memang ada konflik ketentuan hukum yang melahirkan sengketa kewenangan antara lembaga KPK dan POLRI ? Hal ini lah yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Korupsi”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi ?

2 Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia ?

       

6

Amberanie Nadia Kemala Movanita, 2015, KPK Tetapkan Calon Kapolri Budi

Gunawan sebagai Tersangka, KOMPAS.com,

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/13/14354311/KPK.Tetapkan.Calon.Kapolri.Budi.Gunaw an.sebagai.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015


(26)

10   

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup rumusan masalah yang pertama adalah menelusuri peraturan perundang-undangan yang membahas wewenang KPK dan POLRI dalam menangani kasus korupsi menurut UU. No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI.

Mengingat banyaknya pertentangan kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka analisis akan dilakukan terhadap kasus Korupsi Simulator SIM Tahun 2012.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa jenis judul peneletian atau desertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti menampilkan 2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan sengketa kewenangan antar Lembaga-LembagaNegara .

Tabel 1 Daftar penelitian sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1 Hubungan

Kewenangan Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pemberantasan

M. Nasrul Hamzah ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana, Universitas

Hasanudin)Tahun 2012

1.Bagaimana pola hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pemberantasan Kasus Korupsi?

2.Sejauh mana dasar pegaturan penyelesaian sengketa kewenangan dalam hal hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia?


(27)

11   

Korupsi 2 Penyelesaian

Sengketa Atas Kewenangan Penyidikan KPK Dan Polisi dalam

menangani kasus korupsi

Gidion S. H Tatuil ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjama

Universitas Sam Ratulangi) Tahun 2012

1.Bagaimana Penyidikan dari pihak KPK dan Polri dalam menangani kasus korupsi?

2. Bagaimana terjadinya sengketa serta upaya penyelesaian

kewenangan penyidikan antara KPK dan Polri?

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sejenis diatas ialah pada penelitian ini lebih khusus menganalisa tentang sengketa kewenangan antara KPK dan POLRI pada kasus simulator SIM tahun 2012.

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum

Sebagai sumbangan buah pikiran sebagai mahasiswa di bidang ilmu hukum tata negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara dan pengamalan dari asas tri dharma perguruan tinggi, selain itu untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi

2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia


(28)

12   

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara khususnya dalam bentuk sumbangan pikiran tentang penyelesaian sengketa kewenangan antar dua institusi hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini memberikan gambaran penyelesaian sengketa kewenangan lembaga Negara mengacu pada peraturan perundang-undangan.

1.7 Landasan Teoritis 1.7.1. Prinsip Negara Hukum

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat7. Istilah rechsstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama8. Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey tahun 1889 dengan judul Introduction to the Study of Law of The Constitution9. Dari latar belakang dan system hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep rechsstaat dan konsep the rule of law, meskipun berbeda, pada dasarnya kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Meskipun dengan

       

7

Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hal 30.

8 Ni’Matul Huda, 2013, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal 81 9


(29)

13   

sasaran yang sama, keduanya berjalan dengan system sendiri yaitu sistem hukumnya masing – masing10.

Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner11. Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum eropa continental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik civil law adalah judicial12. Adapun ciri – ciri rechsstaat adalah13

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya pembagian kekuasaan negara

3. Diakui dan dilindungi hak – hak kebebasan rakyat.

A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut14: 1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk

menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang – wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang

       

10 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal 72

11 ibid. 12 ibid. hal. 80

13 Huda Ni’Matul, Op.cit, hal. 81 14


(30)

14   

dilaksanakan oleh ordinary court: ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum kosntitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak – hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya adalah :

1. Semua alat – alat perlengkapan dari negara, khususnya alat – alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing – masing, tidak boleh sewenang – wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan – peraturan hukum yang berlaku.

2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan – peraturan hukum yang berlaku.

Indonesia merupakan negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan15.

       

15Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, hal, 46


(31)

15   

Dengan landasan prinsip negara hukum, dalam kasus sengketa kewenangan ini yang akan diteliti adalah kepastian hukumnya, karena Indonesia merupakan negara hukum jadi segala tindak – tanduk seluruh pemangku kekuasaan dan warga negaranya harus didasari oleh peraturan perundang – undangan.

1.7.2 Asas-asas Pemerintahan yang baik

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.

3. Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperolah informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.


(32)

16   

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.7.3 Teori Kewenangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum16 Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)17

Dari pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari

       

16Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 65

17 Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung, hal.4


(33)

17   

kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Sengketa kewenangan Lembaga Negara yang memperoleh Kewenangannya dari UUDNRI 1945 adalah sengketa yang timbul dalam bidang hukum tata Negara sebagai akibat suatu lembaga Negara menjalankan kewenangan yang diberikan UUDNRI 1945 padanya, telah merugikan, menghilangkan atau mengganggu kewenangan lembaga Negara lainnya sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari UUDNRI 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.


(34)

18   

1.8 Metode Penelitian

Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian atau metode penelitian, hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode penelitian yang benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah dalam melakukan penelitian terhadap suatu masalah. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder18.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni19 :

(1) Pendekatan Kasus (The Case Approach)

(2) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) (3) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

(4) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)

       

18 Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hal 13

19 ibid.


(35)

19   

(5) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

(6) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

(7) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Perundang-undangan, Analisa Konsep Hukum (Analitical & conceptual approach).Pendekatan Perundang-undangan yakni mengkaji semua Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan yang terkait dengan masalah yang diteliti. Pendekatan konsep hukum menguraikan masalah dengan berpijak pada pola pikir dari konsep-konsep hukum formal dan Norma-Norma hukum yang berlaku, sedangkan pendekatan. Pendekatan kasus ( The Case Approach) dilakukan dalam penelitian ini dmana saya selaku penulis ingin meneliti satu dari banyak kasus sengketa kewenangan lembaga KPK dan POLRI yaitu dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM tahun 2012.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Oleh karena penulisan ini merupakan penelitian yuridis Normatif, maka untuk menunjang pembahasan masalah tersebut di atas maka sumber bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

1. Bahan Hukum Primer, yakni Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan


(36)

20   

Nepotisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.20

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan permasalahan.21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh, mengumpulkan serta mengolah bahan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan dengan studi dokumen atau telaah bahan pustaka serta menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah yang akan dikaji. Tujuan dan kegunaan studi dokumen dan kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.22

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan dan analisis bahan Hukum yakni :

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum

       

20 Ibid., hal 12 21

Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 65

22 Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet- ke 5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 12


(37)

21   

2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.


(38)

22   

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 2.1 Pengertian Negara Hukum

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah Negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat.23Istilah rechsstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama24. Istilah the rule of law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of Law of The Constitution. Dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan konsep rechsstaat dengan the rule of law, meskipun dalam perkembangan dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada suatu sasaran yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia. Menurut Burkens syarat-syarat suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) ialah25 :

1.Asas Legalitas, dimana artinya setiap tindak tanduk pemerintah haruw didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke grcnslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak tanduk        

23 Padmo Wahjono,1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik Dan Penjelasan 14 Teori Ilmu

Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hal. 30

24 Ni’ Matul Huda, Op.cit hal.81

25 Yohanes Usfunan, 2013, Pemikiran – Pemikiran Filosofis Tentang Hak Asasi Manusia,


(39)

23   

pemerintahan, dalam hubungan ini, pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting Negara hukum26,

2.Pembagian kekuasaan, Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan yang bertujuan

untuk membatasi kekuasaan penguasa dalam menjalankan fungsinya.27

3.Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasu kekuasaan pembentukan Undang-Undang,

Unsur pertama mensyaratkan setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku membatasi kekuasaan penguasa dalam menjalankan fungsinya. Unsur pembagian kekuasaan Negara bertujuan membatasi kekuasaan penguasa agar dapat menghindari tindakan yang sewenang-wenang. Melalui pembagian kekuasaan kepada badan eksekutif, legislatif dan yudisial hal tersebut akan menghindari penumpukan kekuasaan yang daoat menimbulkan absolutism.

Pergeseran konsepsi nachwachtersstaat (Negara peronda) ke konsepsi welfare state membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas pemerintah. Pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding, yaitu pembatasan Negara dan pemerintah dari kehidupan social dan ekonomi masyarakat28. Sementara pada konsepsi walfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bestuurzorg (kesejahteraan umum)29, yang untuk itu kepada        

26

ibid.

27 Ibid, hal.123

28 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, cet.9, Rajawali Pers, Jakarta, hal.229 29


(40)

24   

pemerintah diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Artinya pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat. Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perndang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi syarat utama Negara hukum. Konsepsi Negara hukum mengindikasikan ekuilibrium antara hak dan kewajiban. Salah satu sarana untuk menjaga ekuilibrium adalah melalui peradilan administrasi, sebagai peradilan khusus yang berwenang dan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga Negara. Salah satu tolok ukur untuk menilai apakah tindakan pemerintah itu sejalan dengan Negara hukum atau tidak adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemeritahan yang baik yang berikutnya ditulis AAUPB

Di kalangan penulis Hukum Administrasi Negara di Indonesia terdapat perbedaan penerjemahan algeme beginselen van behoorlijk bestuur terutama

menyangkut kata beginselen dan behoorljik, kata beginselen ada yang

menerjemahkan dengan prinsip-prinsip, dasar-dasar, dan asas-asas. Sedangkan kata behoorlijk diteremahkan dengan yang sebaiknya, yang baik, yang layak dan yang patut. Dengan penerjemahan ini algemen begenselen van behoorlijk bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya30

Seiring dengan perjalanan waktudan perubahan politik Indonesia, asas-asas kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang, yaitu

Undang-       

30


(41)

25   

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Peyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang selanjutnya ditulis UU No. 28 Tahun 1999 tentang Peyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dalam ketentuan pasal 3 UU no. 28 Tahun 1999 tentang Peyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan beberapa asas AAUPB yaitu sebagai berikut :

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.

3. Asas Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperolah informasi yang benar , jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu AAUPB juga tercantum dalam Undang-undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang terdapat pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu

a. kepastian hukum

b. kemanfaatan

c. ketidakberpihakan

d. kecermatan

e. tidak menyalahgunakan kewenangan


(42)

26   

g. kepentingan umum; dan

h. pelayanan yang baik

Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Untuk mendukung kepastian hukum tersebut diperlukan suatu lembaga kehakiman yang memegang kewenangan kekuasaan kehakiman.Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam system kekuasaan Negara modern31. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali di sebut        

31 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, ( Selanjutnya disebut Jimly Hassiddiqie I ), hal. 44


(43)

27   

cabang kekuasaan “yudikatif”, dari istilah Belanda Judicatief. Dalam bahasa Inggris, disamping istilah legislative, executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, ataupun judicature32. Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur di dalam ketentuan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan Kekuasaan kehakiman merupakaan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi, hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dimana Mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yg diberikan oleh undang-undang hal ini tertulis dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan Pasal 24 B UUD NRI Tahun 1945, dalam ketentuan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 juga diatur bahwa kekuasaan kehakiman juga dijalankan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

       

32


(44)

28   

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,

2.2 Tinjauan Umum Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara 2.2.1 Pengertian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Pada era Reformasi, tuntutan terhadap penataan dan pembaruan sisem ketatanegaraan semakin menguat.Tatanan politik dan struktur ketatanegaraan di masa lalu terbukti kurang baik dalam bernegara secara demokratis dan gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih. Adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan lemahnya control, baik dari institusi-institusi formal kenegaraan maupun dari masyarakat, telah mendorong penyelenggaraan kekuasaan Negara secara totaliter dan sering kali menabrak norma-norma moral kesusilaan dan hukum yang berlaku. Penyalahgunaan wewenang menjadi ikon bagi penyelenggara birokrasi serta pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Negara.

Amandemen I-IV UUDNRI tahun 1945 telah menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku, meliputi jenis dan jumlah lembaga Negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan, dan sistem perwakilannya33. Banyaknya lembaga-;embaga Negara baru yang dibentuk secara otomatis mengubah hubungan antarkelembagaan. Jika mengacu kepada penjelasan sebelumnya, ada beberapa hubungan yang terbentuk dalam kelembagaan Negara pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945, diantaranya sebagai berikut34

       

33

Jimly Asshiddiqie,2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara,Cet.-1, Jakarta Konsorium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), ( Selanjutnya disebut Jimly Hassiddiqie II ),hal.114

34


(45)

29   

1. Hubungan Fungsional

a. Hubungan antara DPR/DPD dan Presiden dalam membuat

undang-undang dan anggaran belanja Negara juga untuk menyampaikan usul, pendapat dan imunitas.

a. Hubungan antara DPR dan DPD dalam membuat peraturan dan kebijakan yang berhubungan dengan otonomi daerah

b. Hubungan antara Komisi yudisial, DPR, dan Presiden dalam pengangkatan hakim ( dalam konteks memberikan rekomendasi) Implikasi dari penerapan prinsip checks and balances tersebut akan berpotensi menimbulkan berbagai macam sengketa, salah satunya adalah sengketa kewenangan.

2 Hubungan Pengawasan

a. Hubungan antara DPR dan Presiden dalam melaksanakan

pemerintahan

b. Hubungan antara DPD dan Pemerintah pusat dan daerah khususnya

dalam pelaksanaan otonomi daerah

c. MA dengan Presiden untuk menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang

3 Hubungan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa

a. MK dengan lembaga-lembaga Negara lain, untuk menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga Negara

b. MK dengan penyelenggara Negara pemilu untuk menyelesaikan hasil pemilu

4. Hubungan pelaporan atau pertanggung jawaban a. DPR/DPD dalam MPR dengan Presiden

b. DPR dengan komisi-komisi Negara seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

c. Presiden dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Di sisi lain, ide perubahan UUDNRI Tahun 1945 diletakkan dalam kerangka checks and balances sehingga memungkinkan saling control antara satu cabang kekuasaan dengan satu cabang kekuasaan lainnya35.

Tugas dan kewenangan merupakan gambaran hubungan antar lembaga dan segala aktivitasnya.Penggunakan kata tugas tidak dapat dipisahkan dengan wewenang.Oleh karena itu, sering digunakan secara bersamaan yaitu tugas dan

       

35


(46)

30   

wewenang. Jika dibandingkan dengan fungsi atau tugas, kata wewenang lebih mempunyai makna yang berkaitan dengan hukum secara langsung36. Dengan dinyatakan lembaga mempunyai wewenang timbulah akibat yang sifatnya kategorial dan eksklusif37. Kategorial merupakan unsur yang membedakan antara lembaga yag mempunyai wewenang dan yang tidak mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif artinya lembaga-lembaga yang tidak disebut merupakan lembaga-lembaga yang tidak diberi wewenang38. Sebagai konsekuensinya atas seluruh akibat keluar yang ditimbulkan oleh aktivitas serupa yang dilakukan lembaga yang tidak diberi wewenang tidak mempunyai akibat hukum. Sifat ini berlaku secara horizontal, artinya menyangkut hubungan dengan lembaga lainnya yang kedudukannya sederajat39. Secara definitif, maksud dari sengketa kewenangan antar lembaga Negara yaitu perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antar lembagaNegara satu dengan lembaga Negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga Negara tersebut40

Sebagai akibat dari pilihan untuk menganut pemisahan kekuasaan dengan

mengadopsi prinsip checks and balances, perlu dirumuskan mekanisme

penyelesaian sengketa antar lembaga yang sederajat di dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya41. Ketika struktur ketatanegaraan berubah dengan posisi lembaga Negara sederajat dan saling control, tidak ada lagi satu lembaga        

36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid. 39

Ibid.

40 Jimly Asshiddiqqie,2015, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, cet-1, Jakarta,

Konstitusi Press,( Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqqie III ) hal.4

41


(47)

31   

yang memiliki otoritas kebenaran untuk menafsirkan kewenangan-kewenangan konstitusional. Berangkat dari konsepsi itu, ada kebutuhan untuk membentuk lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa kewenangan.

2.2.2 Syarat Legal Standing Permohonan Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Pada masa lalu, tidak ada mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lembaga Negara. Akibatnya, setiap sengketa selalu diselesaikan melalui pendekatan politik sehingga kebenaran dari sengketa sangat bergantung pada kekuatan politik, karena itu mekanisme hukum diperlukan untuk menyelesaikan sengketa lembaga Negara, sehingga keputusan yang dihasilkan memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Pilihan mekanisme yang paling tepat untuk menafsirkan kewenangan konstitusional ialah melalui mekanisme yudisial.Maka itu, dibentuklah Mahkamah Konstitusi.

Peran Mahkamah Konstitusi sangatlah di perlukan, sebagai lembaga Negara yang mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam

kerangka mekanisme check and balances dalam menjalankan kekuasaan Negara.

Dalam ketentuan Pasal 24 C Ayat (1) UUD NRI 1945 telah dinyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang undang………,

memutus sengketa kewenangan antara lembaga Negara, yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar….”

Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.


(48)

32   

“Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga Negara adalah lembaga Negara yamg kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang di persengketakan”

Namun, terdapat pengecualian pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa:

“Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas jika dielaborasi, terdapat tiga syarat suatu sengketa kewenangan lembaga Negara dapat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu

1) merupakan sengketa kewenangan antar lembaga Negara, 2) Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

3) Lembaga Negara tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap

kewenangan yang dipersengketakan42

2.2.3 Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Lembaga Negara

Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena        

42 Fatkhurohman, Dian Aminudin,dan Sirajuddin, 2004, Memahami Keberadaan


(49)

33   

semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara.

Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Jimly Asshidiqie, disebut sebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otoritas, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran Pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an43. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUDNRI Tahun 1945.

       

43


(50)

34   

Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden.

Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah KPK yang terbentuk dari UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Adapun wewenang KPK ialah mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait, melakukan dengar pendapat dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, namun apabila mengacu pada ketentuan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Maka KPK termasuk dalam naungan kekuasaan yudikatif, karena memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi hal ini kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan kepastian hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.


(51)

35   

Lain halnya dengan POLRI yang secara jelas adalah lembaga negara yang lahir dari UUD NRI Tahun 1945 dantercantum dalam ketentuan BAB XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 Ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum yang selanjutnya kewenangannya diatribusikan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI.


(1)

wewenang. Jika dibandingkan dengan fungsi atau tugas, kata wewenang lebih mempunyai makna yang berkaitan dengan hukum secara langsung36. Dengan dinyatakan lembaga mempunyai wewenang timbulah akibat yang sifatnya kategorial dan eksklusif37. Kategorial merupakan unsur yang membedakan antara lembaga yag mempunyai wewenang dan yang tidak mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif artinya lembaga-lembaga yang tidak disebut merupakan lembaga-lembaga yang tidak diberi wewenang38. Sebagai konsekuensinya atas seluruh akibat keluar yang ditimbulkan oleh aktivitas serupa yang dilakukan lembaga yang tidak diberi wewenang tidak mempunyai akibat hukum. Sifat ini berlaku secara horizontal, artinya menyangkut hubungan dengan lembaga lainnya yang kedudukannya sederajat39. Secara definitif, maksud dari sengketa kewenangan antar lembaga Negara yaitu perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antar lembagaNegara satu dengan lembaga Negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga Negara tersebut40

Sebagai akibat dari pilihan untuk menganut pemisahan kekuasaan dengan mengadopsi prinsip checks and balances, perlu dirumuskan mekanisme penyelesaian sengketa antar lembaga yang sederajat di dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya41. Ketika struktur ketatanegaraan berubah dengan posisi lembaga Negara sederajat dan saling control, tidak ada lagi satu lembaga

       

36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid. 39

Ibid.

40 Jimly Asshiddiqqie,2015, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, cet-1, Jakarta,

Konstitusi Press,( Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqqie III ) hal.4

41


(2)

yang memiliki otoritas kebenaran untuk menafsirkan kewenangan-kewenangan konstitusional. Berangkat dari konsepsi itu, ada kebutuhan untuk membentuk lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa kewenangan.

2.2.2 Syarat Legal Standing Permohonan Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Pada masa lalu, tidak ada mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lembaga Negara. Akibatnya, setiap sengketa selalu diselesaikan melalui pendekatan politik sehingga kebenaran dari sengketa sangat bergantung pada kekuatan politik, karena itu mekanisme hukum diperlukan untuk menyelesaikan sengketa lembaga Negara, sehingga keputusan yang dihasilkan memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Pilihan mekanisme yang paling tepat untuk menafsirkan kewenangan konstitusional ialah melalui mekanisme yudisial.Maka itu, dibentuklah Mahkamah Konstitusi.

Peran Mahkamah Konstitusi sangatlah di perlukan, sebagai lembaga Negara yang mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam kerangka mekanisme check and balances dalam menjalankan kekuasaan Negara. Dalam ketentuan Pasal 24 C Ayat (1) UUD NRI 1945 telah dinyatakan bahwa

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang undang………, memutus sengketa kewenangan antara lembaga Negara, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar….”

Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.


(3)

“Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga Negara adalah lembaga Negara yamg kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang di persengketakan”

Namun, terdapat pengecualian pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa:

“Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas jika dielaborasi, terdapat tiga syarat suatu sengketa kewenangan lembaga Negara dapat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu

1) merupakan sengketa kewenangan antar lembaga Negara, 2) Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

3) Lembaga Negara tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan42

2.2.3 Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Lembaga Negara

Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena

       

42 Fatkhurohman, Dian Aminudin,dan Sirajuddin, 2004, Memahami Keberadaan


(4)

semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara.

Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Jimly Asshidiqie, disebut sebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otoritas, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran Pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an43. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUDNRI Tahun 1945.

       

43


(5)

Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden.

Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah KPK yang terbentuk dari UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Adapun wewenang KPK ialah mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait, melakukan dengar pendapat dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, namun apabila mengacu pada ketentuan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Maka KPK termasuk dalam naungan kekuasaan yudikatif, karena memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi hal ini kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan kepastian hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.


(6)

Lain halnya dengan POLRI yang secara jelas adalah lembaga negara yang lahir dari UUD NRI Tahun 1945 dantercantum dalam ketentuan BAB XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 Ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum yang selanjutnya kewenangannya diatribusikan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI.


Dokumen yang terkait

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Penerapan Tersangka Miranda S.Goeltom Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 7 78

SKRIPSI KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 2 11

PENDAHULUAN KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 3 22

PENUTUP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 3 5

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 17

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 12

PENDAHULUAN Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.

0 2 11

Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia

0 0 18