Wewenang dan Kode Etik Mediator

untuk bersikap dan bertindak dalam menjalankan tugasnya. Peraturan mengenai profesi umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai aturan-aturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya. Seorang pengemban profesi harus dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya dan dituntut untuk menjiwai profesinya dengan suatu sikap etis tertentu. Di sinilah peranan kode etik harus mampu menjaga rambu-rambu etis yang berlaku bagi semua anggotanya. Kode etik tidak saja bertujuan demi kepentingan pihak yang dibantu, melainkan juga demi kepentingan umum public interest yang menurut profesi tersebut patut mendapat perlindungan. Sebagai sebuah etik normatif, umumnya dapat dikatakan bahwa kode etik mengandung ketentuan-ketentuan yang mencakup: a. kewajban pada dirinya sendri b. kewajiban-kewajiban pada umum c. ketentuan-ketentuan mengenai kerekanan d. kewajiban terhadap orang ataupun profesi yang dilayani. 11 Dalam pasal 6 Draft Kode etik ini diatur bahwa dalam hal mediator mengetahui adanya konflik kepentingan atau potensi konflik kepentingan, ia wajib menyatakan mundur sebagai mediator dalam sengketa yang akan atau sedang dalam proses mediasi. Dalam hal seorang mediator yang juga berprofesi sebagai pengacara atau advokat dan juga mitra dalam firma hukumnya dilarang menjadi penasehat hukum salah satu pihak dalam sengketa yang sedang ditanganinya 11 Oemar Seno Adji, Etika Profesi dan Hukum Profesi Advokat, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1991, hlm. 21 dalam proses mediasi sekiranya proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. Dalam pasal 8, terdapat ketentuan mengenai honorarium yakni : a. Mediator yang memperoleh honorarium wajib terlebih dahulu membuat kesepakatan tertulis dengan para pihak tentang honorarium dimaksud sebelum ia menjalankan fungsinya b. Mediator dilarang mendasarkan honorarium pada prosentase hasil akhir c. Mediator dilarang menerima hadiah atau pemberian dalam bentuk apapun dari salah satu pihak selain honorarium sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1. Sanksi bagi pelanggaran Kode Etik Sanksi bagi setiap pelanggaran terhadap kode etik mediator dalam pasal 10 Draft Kode Etik Mediator yakni : a. Teguran lisan b. Teguran tertulis c. Penghapusan nama secara sementara dari daftar mediator Pengadilan Negeri d. Penghapusan nama dari daftar mediator Pengadilan Negeri 12 2.4.3. Segi Kelebihan Mediasi Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi : 1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak. 12 http:id.netlog.compatriciagirsangblogblogid=10910Tanggung Jawab Profesi Mediator.html di unduh pada 26 april 2015 pukul 11:56wib 2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain. 3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruhdan kekuasaannya terhadap para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketanya. 4. Negara sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai daripada orang-perorangan. Menurut penulis beberapa keuntungan mediasi adalah diantaranya biaya melakukan mediasi relatif murah, mediator bisa dipilih orang yang ahli di bidang yang sedang disengketakan, prosedurnya cepat dan kesepakatan yang dicapai pada mediasi adalah kesepakatan para pihak sendiri maka dimungkinkan terjadi win- win solution antara para pihak yang melakukan mediasi. Banyaknya masyarakat Indonesia yang memakai mediasi sebagai penyelesaian sengketa karena adanya kelebihan tertentu memakai mediasi ini. Beberapa kekuatan-kekuatan mediasi, yaitu : Pertama, penyelenggaraan proses mediasi tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak memiliki kebebasan dan tidak terperangkap dalam bentuk-bentuk formalis seperti halnya dalam proses litigasi. Dalam literature sering disebutkan bahwa fleksibilitas dari proses mediasi dibandingkan dengan proses litigasi, merupakan unsur yang menjadi daya tarik dari mediasi karena para pihak dapat dengan segera membahas masalah-masalah atau memperdebatkan hal-hal teknis hukum. Dalam litigasi, pihak tergugat selalu menyerang gugatan penggugat dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan aspek formal dari surat gugatan, misalnya gugatan samarkabur, posita tidak mendukung petitum atau pengadilan tidak berwenang, sementara pokok perkara belum menjadi perhatian. Selain itu dalam sengketa yang melibatkan banyak pihak, jika hanya beberapa pihak saja yang sepakat atas hasil perdamaian, sementara satu atau beberapa pihak lain tidak sepakat, maka perdamaian tetap dapat berlangsung antara dua pihak yang menyetujui hasil kesepakatan perdamaian. Kedua, pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri proses mediasi.Kerahasian dan ketertutupan ini juga sering menjadi daya tarik tertentu bagi kalangan tertentu, terutama para pengusaha yang tidak menginginkan masalah yang dihadapinya dipublikasikan di media massa. Ketiga, dalam proses mediasi, pihak materil atau prinsipal dapat secara langsung berperan serta dalam melakukan perundingan dan tawar-menawar untuk mencari penyelesaian masalah tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing-masing. Karena prosedur mediasi amat leluasa dan para pihak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum atau advokat dapat berperan serta dalam proses mediasi. Para pihak dalam proses mediasi dapat menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan, dan sebaliknya tidak perlu menggunakan bahasa- bahasa atau istilah-istilah hukum seperti yang lazim digunakan oleh para advokat dalam beracara di persidangan pengadilan. Keempat, para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspekatau sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya. Pembuktian merupakan aspek hukum terpenting dalam proses litigasi. Pernyataan tanpa dukungan bukti yang kuat, maka posisi seseorang akan lemah. Dalam proses mediasi bisa saja aspek pembuktian dikesampingkan demi kepentingan lain, misalnya demi terpeliharanya hubungan baik, maka satu pihak bersedia memenuhi permintaan pihak lain walau tanpa dukungan bukti kuat, ataupun situasi sebaliknya terdapat bukti kuat adanya keterlambatan pembayaran, namun pihak berpiutang tetap bersedia menjadwalkan ulang kewajiban pembayaran demi hubungan bisnis yang baik di masa depan. Proses pengadilan tidak dirancang atau dibangun untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dengan multiaspek, tetapi lebih fokus pada aspek hukum semata. Sebaliknya, mediasi karena keleluasaan dan sifatnya yang mufakat dapat digunakan untuk membahas berbagai sisi sebuah sengketa. Kelima, sesuai sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang bagi para pihak win-win solution . Sebaliknya litigasi dan arbitrase cendrung menghasilkan penyelesaian menang kalah win lose solution karena prosesnya bersifat permusuhan dan memutus. Keenam, mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang relative murah dan tidak makan waktu jika dibandingkan proses litigasi atau berperkara di pengadilan. Hasil mediasi berupa kesepakatan merupakan penyelesaian yang diupayakan oleh para pihak sendiri, sehingga para pihak tidak akan mengajukan keberatan atas hasil kerjanya sendiri. 2.4.4. Segi Kekurangan Mediasi Dalam mediasi terdapat beberapa kekurangan ,diantaranya adalah Tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak, mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya Mediasi bisa mengalami kegagalan dikarenakan mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung sehingga dimungkinkan para pihak tidak menemui penyelesaian yang sifatnya final dan memaksa secara langsung. 13 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatur Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai bentuk penyelesaian sengketa termasuk mengenai mediasi, kecuali arbitrase. Bahkan proses atau mekanisme masing-masing bentuk lembaganya juga tidak diatur Sebagian besar hanya mengatur secara lengkap tentang proses Arbitrase. Dalam Pasal 6 ayat 3 hanya menyebutkan bahwa dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pada intinya pasal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. 13 Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , 2008, Gama Media, Yogyakarta, hal. 59 Di sisi lain kekuatan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu disadari oleh peminat mediasi. Pertama, bahwa mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja memiliki keinginan menempuh mediasi, sedangkan pihak lawannya tidak memiliki keinginan yang sama, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jika terlaksana tidak akan berjalan efektif. Keadaan ini terutama jika penggunaan mediasi bersifat sukarela. Kedua, apabila para pihak yang tidak memiliki itikad baik maka memanfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi atau berunding sekedar untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan. Ketiga, beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi, terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi-kompromi. Keempat, mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalahsoal penentuan hak right karena sengketa soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim sedangkan mediasi lebih tepat untuk digunakan menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan interests . Kelima, secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana. Larangan ini didasarkan pada pembedaan kategoris antara hukum privat dan hukum pidana, khususnya terhadap delik biasa. 14 2.5. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak Sengketa Melakuan Mediasi Ada dua pandangan komperatif yang dapat menjelaskan apa yang menjadi faktor yang mendorong para pihak sengketa melakukan mediasi. Pandangan teoritis merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mewarisi tradisi kebuda yaan yang menekankan nilai penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam penyelesaian sengketa. Kebudayaan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain agama. Pandangan teoritis kedua lebih melihat kekuatan yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor dominan. Karena kekuatan yang dimiliki para pihak yang relatif dan seimbang maka para pihak bersedia menempuh jalan mediasi. ditempuhnya jalan perundingan bukan karena merasa belas kasihan pada pihak lawan atau juga bukan karena terikat nilai spiritual atau nilai budaya, melainkan karena para pihak memang membutuhkan kerja sama dari pihak lawan agar mencapai tujuan yaitu untuk mewujudkan kepentingannya. 14 http:repository.usu.ac.idbitstream123456789374323Chapter20II.pdf di unduh pada 26 april 2015 pukul 13:03wib Dalam proses mediasi, ada pihak penengah atau yang disebut dengan mediator yang dapat membantu salah satu pihak atau para pihak untuk menilai, menganalisa, dan mengevaluasi kekuatan mereka sehingga salah satu para pihak tidak mengambil kesimpulan dan keputusan-keputusan yang salah, yangmerugikan kepentingan mereka dan menggagalkan proses mediasi. Dalam ketidakmampuan para pihak untuk memprediksi menang kalah dalam proses litigasi, maka para pihak pun akan menghitung-hitung biaya, baik bersifat finansial maupun non-finansial dalam berperkara. Jika mediasi dapat mewujudkan kepentingan mereka dengan biaya yang lebih rendah, maka para pihak cendrung memilih mediasi daripada proses litigasi. Mediasi dijadikan sebagai pilihan jalan damai dalam menyelesaikan sengketa perdata antara lain disebabkan sebagai berikut: 1. Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan. 2. Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar. 3. Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan. 4. Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas engketa yang dihadapai. 5. Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus ajudikatif. Dari penjelasan diatas maka terlihat jelas bahwa mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang memiliki manfaat yang sangat besar dalam menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan. Mediasi ini akan sangat terasa manfaatnya apabila pelaksanaan mediasi tersebut berhasil, bahkan apabila mediasi gagal dan belum ada penyelesaian sengketanya mediasi yang sebelumnya berlangsung dapat mempersempit persoalan dan perselisihan. 15 15 Kotibul Umam, Penjelasan Sengketa Di Luar Pengadilan, Penerbit Pustaka yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm.10

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif yaitu pendekatan yang di lakukan dengan cara mempelajari ketentuan dan kaidah berupa aturan hukumnya atau ketentuan hukum yang ada hubungannya dengan judul penelitian dan permasalahan yang di bahas. Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan hubungan langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui hal-hal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang di bahas dalam penelitian ini.

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data primer yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data yang di peroleh dari hasil wawancara kepada pejabat kantor Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kota Bandar Lampung, beserta dosen hukum terutama ahli tenaga kerja, untuk dimintai pendapat maupun pandangan terhadap wewenang mediasi dalam menyelesaikan sengketa tenaga kerja. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari bahan-bahan : a. Bahan primer merupakan bahan hukum yang mengikat, bahkan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi 3. Pasal 103 Undang-undang Ketenagakerjaan Tentang Bentuk Sarana Industrial 4. Bab X UU No 13 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Sosial 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 6. pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. pasal 8 Tentang Honorarium 7. Pasal 2 PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Kode Etik Mediator 8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Mediator 9. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasa mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer yang akan di ambil dari berbagai literatur atau buku-buku tentang hukum tenaga kerja ataupun buku lain yang bersangkutan.

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengelolahan Data

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data Untuk membantu dalam proses penelitian ini, maka penelitian menggunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu :

a. Studi Kasus

Studi Kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dengan membaca, mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan, dokumen- dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

b. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer maka diadakan teknik wawancara. Dalam wawancara tersebut, digunakan teknik wawancara dengan bertanya secara terbuka kepada narasumber, dengan menggunakan beberapa catatan-catatan yang berisi beberapa pertanyaan yang nantinya akan dikembangkan saat wawancara berlangsung.

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Langkah selanjutnya setelah data terkumpul baik data primer maupun sekunder, dilakukan pengelolahan data dengan cara : 1. Seleksi Data, yaitu memilih mana data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang di bahas 2. Pemerikaan Data, yaitu meneliti kembali data yang diperoleh mengenai kelengkapannya serta kejelasannya dan kebenaran jawaban 3. Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menurut pokok bahasan agar memudahkan dalam mendeskripsikannya