PERAN DINAS TENAGA KERJA KOTA BANDAR LAMPUNG SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TENAGA KERJA

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata baik material maupun spiritual.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhinya hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerjaan/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterikatan. Keterikatan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama dan sesudah masa kerja tetapi juga keterikatan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.

Hubungan antara pekerja dan pengusaha secara tertulis yang dituangkan kedalam perjanjian kerja tidak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya salah satu atau kedua blah pihak tidak melakukan kewajibannya dan tidak memenuhi haknya. Dengan tidak dipenuhi hak atau kewajibannya tersebut, dapat menimbulkan


(2)

perselisihan atau sengketa antara pekerja dengan pengusaha. Perselisihan sewajarnya dapat diselesaikan sendiri antara masing-masing pihak secara musyawarah mufakat. Tetapi sering kali dengan jalan tersebut tidak ditemui kata sepakat, sehingga masalah perselisihan diselesaikan melalui mediator untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Perselisihan dan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh sulit untuk dihindari, walaupun kedua belah pihak telah membuat suatu peraturan tertulis baik yang dibuat oleh pengusaha maupun yang disusun secara bersama oleh serikat pekerja atau buruh.

Dalam kenyataannya hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak selamanya harmonis, suatu ketika hubungan tersebut akan berakhir. Berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha bisa saja berakhir sampai usia pensiun, diputus oleh pihak pekerja maupun pihak pengusaha, putus demi hukum, serta putus karena adanya suatu perselisihan antara pekerja dengan pengusaha.

Timbulnya perselisihan antara pekerja dan pengusaha secara umum berpangkal pada perasaan-perasaan yang timbul dari masing pihak dimana masing-masing pihak tersebut merasa benar pada pendiriannya masing-masing-masing-masing. Perselisihan yang timbul tersebut dalam nuansa ketenagakerjaan disebut dengan Sengketa Tenaga Kerja.

Salah satu yang bisa menjadi sengketa atau perselisihan antara pihak Pengusaha dan pihak pekerja/buruh biasanya karena kecilnya upah yang diberikan pihak Perusahaan dan tidak sesuai dengan Penetapan Upah Minimum yang sudah


(3)

ditetapkan pemerintah tenaga kerja berhak mendapatkan upah yang layak, upah bagi tenaga kerja merupakan suatu hal yang penting untuk mempertahankan kesejahteraan hidupnya. Kebijakan menetapkan upah minimum yang diberikan oleh pemerintah selama ini di arahkan untuk melindungi, mendorong serta sebagai jaring pengaman untuk meningkatkan tarap hidup pekerja/buruh dan kesejahteraan hidup keluarganya, terutama bagi para pekerja/buruh yang menerima upah rendah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja. Untuk dapat meningkatkan upah minimum, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 tahun 1999 Tentang Upah Minimum dan perbaikan Pasal 1,3,4,8,11,20,21, yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Nomor 226 Tahun 2000 Tentang Upah Minimum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27.

Secara umum sengketa atau perselisihan dibedakan menjadi perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja (Imam Soepomo, 1987:175), sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang berhubungan dengan syarat-syarat kerja dimana organisasi buruh menuntut kepada majikan agar pihak majikan memenuhi syarat-syarat kerja pada perusahaan (Imam Soepomo, 1987:175)

Dalam rangka menyelesaikan sengketa tenaga kerja pemerintah mengeluarkan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja. Dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja tersebut


(4)

salah satu pihak yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan yaitu mediator yang bertugas di Kantor Dinas Tenaga Kerja. Sebagaimana ditetapkan dalam KEP.92/MEN/VI/2004

Peran mediator Dinas Tenaga Kerja adalah baik, karena lebih banyak hasilnya hanya sampai pada perjanjian bersama saja, pelaksanaan mediasi sama baiknya dengan peran mediator, karena telah sesuai dengan prosedur yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial.

Keberadaan Pegawai Perantara (mediator) di Instansi Pemerintah di Bidang Ketenagakerjaan sebaiknya harus tetap di pertahankan Penyelesaian secara damai harus tetap diupayakan secara maksimal oleh Pegawai Perantara (mediator) dengan menawarkan berbagai alternatif pemecahan. Namun manakala upaya perdamaian itu menemui kegagalan dan para pihak masih juga keberatan dengan tawaran-tawaran atau solusi dari pegawai perantara (mediator), maka pegawai perantara (mediator) tidak lalu membuat anjuran, melainkan melaporkan kepada lembaga diatasnya, yaitu Komisi Daerah Perselisihan Ketenagakerjaan, tentang proses yang terjadi selama mediasi dilakukan termasuk solusi yang coba ditawarkan serta sikap para pihak terhadap tawaran solusi tersebut dan diberi limit agar laporan tidak berlarut-larut. Atas keteledoran pegawai perantara dalam membuat laporan, maka para pihak dapat melaporkan pegawai perantara tersebut, dan komisi yang memeriksa lebih lanjut melalui sidang-sidang hearing dan memutuskan perkaranya. Dengan cara ini, maka kesan bahwa anjuran cenderung bersifat vonis, bisa di eliminir begitu juga persekutuan antara pegawai perantara (mediator) dengan pihak-pihak yang berselisih.


(5)

Peran mediator dalam penyelesaian sengketa tenaga kerja sangat dibutuhkan karena mediator bersifat netral tidak memihak kepada salah satu pihak, penyelesaian secara mediasi sangat baik karena penyelesaian perselisihan yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis Sengketa Tenaga Kerja baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, yang diselesaikan melalui musyawarah dengan ditengahi oleh mediator yang netral. Selama ini peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung dinilai belum cukup maksimal dalam menjalankan perannya sebagai mediator penyelesaian sengketa tenaga kerja.

Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dan sekaligus dituangkan kedalam skripsi dengan judul “Peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja”.

1.2Permasalahan dan Ruang Lingkup 1.2.1 Permasalahan

Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung

sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja di Kota Bandar Lampung.

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja di Kota Bandar Lampung?


(6)

1.2.2 Ruang Lingkup

Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan yaitu pada masalah Peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja.

1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung

sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat peran Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja.

1.3.2 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Penyelesaian sengketa Tenaga Kerja secara teoritis peneliti ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya dibidang hukum mengenai peran Dinas Tenaga Kerja sebagai Mediator dalam menyelesaikan sengketa tenaga kerja di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang peran Dinas Tenaga Kerja sebagai


(7)

Mediator dalam menyelesaikan sengketa tenaga kerja di Kota Bandar Lampung.


(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Tenaga Kerja

Di dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain. Istilah buruh sejak dulu sudah populer dan kini masih sering dipakai sehingga sebutan untuk kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program organisasinya. Istilah pekerja dalam praktek sering dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja.

Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan pokok Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian sebagai berikut :

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.


(9)

Dari pengertian tersebut tampak yakni dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak lagi memuat kata-kata baik didalam maupun diluar hubungan kerja dan adanya penambahan kata sendiri pada kalimat memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat. Pengurangan kata di dalam maupun diluar hubungan kerja pada pengertian tenaga kerja tersebut sangat beralasan karena dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di dalam dan ada pula yang di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep tenaga kerja dalam pengertian yang umum.

Demikian halnya dengan penambahan sendiri pada kalimat memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat karena barang atau jasa yang dihasilkan oleh tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri sendiri, dengan demikian sekaligus menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya bekerja untuk orang lain dan melupakan dirinya sendiri.

Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep Ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis Payaman J. Simanjuntak sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti seolah dan mengurus rumah tangga. Jadi semata-mata melihat dari batas umur, untuk kepentingan sensus di Indonesia menggunakan batas umur minimum 15 tahun dan batas umur maksimum 55 tahun.

Kelompok bukan angkatan kerja ialah : a. Mereka yang dalam studi,


(10)

c. Golongan penerima pendapatan yakni mereka yang tidak melakukan aktivitas ekonomi tetapi memperoleh pendapatan misalnya pensiunan, penerima bunga deposito, dan sejenisnya.

Angkatan kerja terdiri dari yang bekerja atau masih mencari pekerjaan (penganggur). Yang bekerja sendiri dari yang bekerja penuh dan yang setengah menganggur. Setengah menganggur memiliki beberapa ciri yakni :

a. Berdasarkan pendapatan, pendapatannya berdasarkan ketentuan upah minimum.

b. Produktivitas kemampuan produktivitasnya dibawah standar yang ditetapkan. c. Menurut pendidikan dan pekerjaan, jenis pendidikannya tidak sesuai dengan

pekerjaan yang ditekuni.

d. Lain-lain, jam kerja kurang dari standar yang ada, misalnya dalam ketentuan Ketenagakerjaan yang ada sekarang adalah, kurang dari 7 jam sehari dan atau 40 jam seminggu untuk waktu kerja 6 hari dalam seminggu.

2.2Pengertian Sengketa Tenaga Kerja

Sengketa tenaga kerja adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.


(11)

Menurut ketentuan diatas yang menyebabkan timbulnya perselisihan hubungan industrial sebagai akibat dari tidak adanya kesamaan pendapat antara pekerja dan pengusaha yang berada dalam suatu hubungan kerja.

Sebelum istilah Sengketa Tenaga Kerja disebut dengan perselisihan Perburuhan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 pasal 1 ayat (1) huruf c berbunyi sebagai berikut :

Perselisihan perburuhan ialah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja dan atau keadaan perburuhan.

2.3Sebab Terjadinya Sengketa Tenaga Kerja

Terjadinya sengketa diantara manusia merupakan permasalahan yang lumrah karena adanya perselisihan, karenanya yang penting bagi kita adalah bagaimana mencegah atau memperkecil perselisihan tersebut atau mendamaikan kembali mereka yang berselisih. Dalam bidang perburuhan timbulnya perselisihan antara pengusaha dengan para buruh / pekerja biasanya berpokok pangkal karena adanya perasaan-perasaan kurang puas. Pengusaha memberikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan bakal diterima oleh para pekerja namun karena pekerja yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda-beda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan oleh pengusaha itu menjadi tidak sama, pekerja/buruh yang merasa puas akan


(12)

tetap bekerja dengan semakin bergairah sedangkan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan atau yang tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan. (Zaeni Asyhadie, 2007:201).

2.4Macam-Macam Sengketa Tenaga Kerja

Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Nomor 2 Tahun 2004 dikenal ada 4 jenis Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu perselisihan Hak, perselisihan Kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan.

a. Perselisihan Hak

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Lulu Husni, 2006 : 122)

Hak-hak normatif pekerja/buruh yang sering dipermasalahkan yaitu :

1) Upah yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja/buruh lebih rendah dari upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau Kabupaten/Kota atau berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

2) Pembayaran upah tidak tepat waktu bahkan sering tertunda.

3) Upah kerja lembur tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.


(13)

4) Hak istirahat atau cuti pekerja/buruh tidak diberikan oleh pengusaha dan kalaupun diberikan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku.

5) Tunjangan hari raya keagamaan yang dibayar oleh pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6) Jaminan sosial tenaga kerja mencakup program jaminan kecelakaan kerja.

Selai hak-hak normatif pekerja/buruh yang sering jadi permasalahan ada kalanya hak yang bukan normatif juga dijadikan sebagai masalah, antara lain :

1) Peraturan perusahaan yang tidak sependapat antara pengusaha/pimpinan perusahaan dan pekerja/buruh.

2) Pembuatan dan pemberlakuan perjanjian kerja bersama yang kurang dipahami. 3) Penetapan komponen upaha/gaji seperti tunjangan pokok, tunjangan

tetap/tidak tetap, tunjangan natura lainnya yang belum tepat.

4) Kenaikan upaha yang sudah diatas upah minimum, yang disebut upah sundulan.

5) Tambahan uang makan, uang transport. Biaya pengobatan/perawatan.

6) Fasilitas kesejahteraan seperti perumahan (mes, asrama0, rekreasi, olahraga, pendidikan dan lain-lain.

Bagi perusahaan besar dan aktivitasnya cukup banyak, hak bukan normatif diatas mungkin bisa dipenuhi, namun bagi perusahaan menengah/sedang terutama perusahaan kecil hak tersebut tidak bisa dipenuhi, sehingga menimbulkan masalah antara pekerja/buruh dengan pengusaha.


(14)

1) Pengertian dan pengetahuan pekerja tentang hukum atau peraturan perundangan dibidang ketenagakerjaan semakin meningkat.

2) Kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia semakin meningkat.

3) Lamanya proses atau mekanisme penyelesaian yang memerlukan biaya, tenaga, pikiran, waktu kesabaran yang cukup besar.

4) Adanya motif mengeksploitasi masalah perselisihan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.

b. Perselisihan Kepentingan

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Lalu Husni, 2007 : 124)

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 150 Undang-Undang No 13 Tahun 2003.

Timbulnya perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah disebabkan karena pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dengan berbagai alasan, namun oleh pekerja/buruh tidak mau menerima alasan-alasan yang oleh pengusaha. Atau mungkin terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja karena pekerjaan/buruh


(15)

yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri menuntut uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, yang sebenarnya hanya memperoleh uang pengganti hak.

d. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan

Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, perlaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerjaan. Pembentukan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan menurut pasal 5 undang-undang nomor 21 Tahun 2000, ditentukan sebagai berikut :

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadikan anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.

2.5Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja Melalui Mediasi oleh Mediator 2.5.1 Pengertian Mediator

Mediator hubungan tenaga kerja yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri, untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan


(16)

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Mediator (pegawai perantara) dimaksud menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Warga negara Indonesia

c. Berbadan sehat menurut keterangan dokter

d. Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela f. Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1), dan g. Syarat lain yang ditetapkan, oleh mentri.

Peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemtuusan hubungan kerja adalah adanya perselisihan antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja menyebabkan kasus tersebut dianjurkan ke Dinas Tenaga Kerja, sehingga diangkat mediator sebagai penengah perselisihan tersebut.

Peranan mediator dalam kasus perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah sebagai pendamai yaitu apabila ia telah dengan resmi menerima pemberitahuan dari salah satu pihak-pihak yang berselisih, dan dengan resmi mempertemukan pihak-pihak yang bersangkutan dan membawa mereka kepada permusyawaratan untuk mencapai mufakat yang kemudian akan dituangkan ke dalam suatu persetujuan bersama yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang berselisih.


(17)

Tugas dan fungsi mediator adalah memfasilitasi pemutusan hubungan kerja adalah:

a. Menerima surat pengaduan

b. Membuat surat undangan/panggilan c. Membuat daftar hadir

d. Memberikan mediasi

2.5.2 Penyelesaian Hubungan Melalui Mediasi

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja, perselisihan dapat diselesaikan dengan cara :

1. Penyelesaian melalui Bipartit 2. Penyelesaian melalui Mediasi 3. Penyelesaian melalui Konsiliasi 4. Penyelesaian melalui Arbitrase

5. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial

Peneliti di dalam skripsi ini mengangkat Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja melalui mediasi. Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis perselisihan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Zaeni Asyhadie, 2007 : 151)

Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 16 UU PPHI. Mediasi dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.


(18)

Mengenai ruang lingkup perselisihan, mediasi tergolong sebagai lembaga alternatif yang lebih istimewa ketimbang konsiliasi dan arbitrase. Betapa tidak dari empat jenis sengketa tenaga kerja, tidak ada satu pun yang lepas dari jangkauan ruang lingkup mediasi.

Keistimewaan lain mediasi terlihat dari bunyi Pasal 4 ayat (4) UU PPHI. Pasal itu merumuskan, dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsitiasi atau arbitrase dalam waktu tujuh hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Artinya, tanpa susah payah, mediator pasti akan kebagian mengurusi kasus sengketa tenaga kerja. Dalam menjalankan tugasnya, mediator harus mengupayakan agar tercapai kesepakatan di antara pihak yang bertikai.

Atas kesepakatan bersama, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih seorang mediator dari daftar nama mediator yang tersedia di Kantor Pemerintah setempat, kemudian secara tertulis mengajukan permintaan untuk membantu menyelesaikan perselisihan mereka.

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, maka mediator harus mengadakan penelitian tentang perkara atau perselisihan yang terjadi dan segera mengadakan sidang mediasi.


(19)

Mediator dapat memanggil saksi atau ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi-saksi yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan :

Dalam hal pemanggilan saksi atau saksi ahli Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, pasal 12 menentukan sebagai berikut :

a. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna menyelesaikan sengketa tenaga kerja berdasarkan undang-undang ini wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan (Zaeni Asyhadie, 2007 : 152).

b. Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator yang terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaannya, maka harus diatur prosedur sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. c. Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagimana

dimaksud dalam ayat (1).

Jika penyelesaian perselisihan sengketa tenaga kerja melalui mediasi mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator dan didaftarkan di Pengadilan Tenaga Kerja pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa tenaga kerja melalui mediasi, maka :


(20)

1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis dan disampaikan kepada para pihak dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama.

2. Para pihak harus memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis.

3. Pihak yang tidak memberikan jawaban/pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis.

4. Dalam hak para pihak yang menyetujui anjuran tertulis selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja selama anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak pembuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan kepengadilan tenaga kerja pada pengadilan negeri sama seperti pendaftaran perjanjian bersama perselisihan yang diselesaikan secara departit. Oleh karena itu, pendaftaran perjanjian bersama tersebut ditentukan sebagai berikut :

a) Perjanjian bersama yang telah didaftarkan diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. b) Apabila perjanjian bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu

pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi. c) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar wilayah hukum

pengadilan tenaga kerja pada pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan


(21)

eksekusi melalui pengadilan tenaga kerja pada pengadilan negeri diwilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepengadilan ketenagakerjaan pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Dalam hal anjuran tertulis dimaksud ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan perselisihan ke Pengadilan Ketenagakerjaan pada Pengadilan Negeri setempat dengan cara mengajukan gugatan oleh salah satu pihak.


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan dua metode pendekatan yaitu pendekatan secara normatif dan pendekatan empiris.

3.1.1 Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaedah-kaedah dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan skripsi ini, atau dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

3.1.2 Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian ini dilapangan, guna mendapatkan data yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas. Sifat penelitian ini adalah deskriptif karena hanya menggambarkan, menguraikan memaparkan tentang objek yang diteliti sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas sebagai jawaban dalam skripsi ini.


(23)

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

3.2.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengn informan dari pegawai Dinas Tenaga Kerja di Kota Bandar Lampung, yaitu : Bapak Dermawan Setiabudi yang bertugas sebagai kepala seksi hubungan industrial/mediator.

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka. Data sekunder yang dipergunakan mencakup dua bahan hukum yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber data yang diperoleh dengan mempelajari buku-buku yang ada kaitannya dengan penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja.

3.3 Prosedur Pengumpulaan dan Pengolahan Data 3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode wawancara dengan informan yang berwenang yang dapat memberikan jawaban yang lebih jelas berkaitan


(24)

dengan masalah yang dibahas. Informasi tersebut dari pihak yang berperan sebagai mediator dari staf dinas tenaga kerja kota Bandar Lampung dalam penyelesaian sengketa tenaga kerja dengan cara memberikan daftar pertanyaan yang berupa pokok-pokok mengenai peran dinas tenaga kerja sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa tenaga kerja, sebagai panduan pada saat wawancara langsung. Sedangkan pengumpulan data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, dan dokumen yaitu dengan mempelajari, membaca, mengutip, membuat, intisari baik dari literatur, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peran dinas tenaga kerja Kota Bandr Lampung sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa tenaga kerja.

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari wawancara, studi pustaka dan studi dokumen tersebut, diolah dengan tahapan sebagai berikut :

a. Seleksi data adalah memilih data yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, melengkapi data jika dirasa kurang lengkap, dan membuang data jika dirasa tidak diperlukan.

b. Klasifikasi Data adalah mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungan dengan data yang diperlukan guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi adalah menempatkan data pada posisi pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan sistematis.


(25)

3.4 Analisis Data

Analisis data bermaksud untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang jelas sehingga mudah dipahami. Data tersebut setelah diolah, lalu diteliti, dan disederhanakan. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu dengan cara merinci, menguraikan, memberi arti, dan seterusnya diuraikan dalam bentuk uraian kalimat yang jelas lalu dihubungkan antara teori dan kenyataan pelaksanaannya.


(26)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Peran Dinas Tenaga Kerja sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja adalah sebagai berikut :

1) Sebagai penengah ialah apabila belum ada aduan resmi misalnya tidak ada bipartit atau pada saat kunjungan ada masalah.

2) Sebagai pendamai apabila sudah ada pengaduan resmi, misalnya sudah ada biparti atau sudah ada risalah.

3) Dinas Tenaga Kerja menerima kasus atau perkara sebanyak 47 kasus terdiri dari 46 perselisihan PHK, 1 perselisihan Kepentingan.

2. Faktor pendukung dan faktor penghambat yang ditemui oleh Dinas Tenaga Kerja dalam menjalankan tugasnya yaitu :

1) Faktor pendukung dalam penyelesaian perkara Sengketa Tenagakerja ialah selama dalam proses mediasi pihak-pibak yang berselisih baik dari pihak, pengusaha maupun dari pihak pekerja/buruh tersebut mengikuti prosedur dari proses mediasi oleh mediator Dinas Tenaga Kerja, sehingga mediasi dapat berjalan dergan baik dan kedua belah pihak juga masih menghormati saran atau anjuran yang diberikan mediator kepada kedua belah pihak.


(27)

2) Faktor penghambat

a. Hambatan mediator dalam menyelesaiakan perselisihan biasanya karena tidak hadirnya para pihak pengusaha atau pekerja secara langsung

b. Keterbatasan jumlah tenaga kerja yang mamiliki kapasitas dalam menangani perselisihan dibandingkan dengan banyaknya kasus yang harus diselesaikan.

c. Tuntutan yang desertai unjuk rasa dan kekerasan umunya mengakibatkan perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang dinggap sebagai pemimpin, penggerak atau propokator unjuk rasa, dalam kasus semacam ini perusahaan kadang juga melibatkan pihak kepolisian, selanjutnya masalah akan diajukan ke Peradilan Pidana, dengan demikian Penyelesaian perselisihan tidak sekedar penyelesaian Hubungan Industrial.

5.2 Saran

1. Sebaiknya para penengah harus melakukan pendekatan atau pengertian bahwa kehadiran para pihak didalam sidang mediasi sangat berpengaruh dalam mempercepat atau memperlancar Penyelesaian sengketa tenaga kerja, sehingga apabila salah satu pihak yang berselisih tidak dapat hadir dalam sidang mediasi dengan alas an domisili jauh maka sebaiknya pihak penengah atau mediator melakukan penjemputan kepada pihak yang berdomisili jauh.

2. Sebaiknya jumlah tenaga kerja yang memiliki kemampuan dalam menangani perselisihan ditambah, karena hasil penelitian saya pada Dinas


(28)

Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung hanya memiliki 2 orang Pegawai Perantara atau mediator.

3. Dalam penyelesaian ini seorang mediator harus secepatnya menyelesaikan perselisihan agar tidak terjadi unjuk rasa yang berbuntut kerusuhan sehingga tidak sampai melibatkan pihak kepolisian yang dilanjutkan keperadilan pidana.


(29)

Oleh

NEDI IRWANDI DARMAN

NPM. 0642011284

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG


(30)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...

1

1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup...

5

1.2.1

Permasalahan ...

5

1.2.2

Ruang Lingkup ...

6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...

6

1.3.1

Tujuan Penelitian ...

6

1.3.2

Kegunaan Penelitian ...

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tenaga Kerja ...

8

2.2 Pengertian Sengketa Tenaga Kerja ...

10

2.3 Sebab Terjadinya Sengketa Tenaga Kerja ...

11

2.4 Macam-Macam Sengketa Tenaga Kerja ...

12

2.5 Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja Melalui Mediasi oleh

Mediator ...

16

2.5.1

Pengertian Mediator ...

16

2.5.2

Penyelesaian Hubungan Melalui Mediasi ...

17

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah ...

22

3.1.1

Pendekatan Normatif...

22

3.1.2

Pendekatan Empiris...

22

3.2 Sumber Data...

23


(31)

3.3.1

Prosedur Pengumpulan Data ...

23

3.3.2

Prosedur Pengolahan Data ...

24

3.4 Analisis Data ...

25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ...

26

4.1.1

Sejarah Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ...

26

4.1.2

Tata Kerja dan Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja

Kota Bandar Lampung ...

28

4.2 Peran Dinas Tenaga Kerja dalam Penyelesaian sengketa tenaga

kerja ...

37

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelesaian sengketa tenaga

kerja di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ...

46

4.3.1

Faktor Pendukung ...

46

4.3.2

Faktor Penghambat...

46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...

48

5.2 Saran ...

49

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(32)

Abdul, Khakira. 2003.

Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.

PT. Citra Adytia

Bakti. Bandung.

Asikin, Zainal. 2004.

Dasar-Dasar Hukum Perburuan.

Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Asyhadie, Zaeni. 2008.

Hukum Kerja PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Asyhadie, Zaeni. 2007.

Hukum Kerja.

Raja Grafindo Pesada. Jakarta.

F.X Djumialdi. 2008.

Perjanjian Kerja Edisi Revisi.

PT. Sinar Frafika. Jakarta.

Husni, Lalu. 2009.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi.

PT. Rajawali

Grafindo. Jakarta.

Husni, Lalu. 2007.

Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Siregar, H.M. 2006.

Hukum Tenaga Kerja Masalah dan Penyelesaiannya.

Mitra

Jaya. Bandar Lampung.

Soekanto, Soerjono. 1986.

Pengantar Penelitian Hukum.

Universitas Indonesia

Press. Jakarta.

Undang-Undang Dasar. 1945.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1959.

Tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.

Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Tentang Ketenagakerjaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

Kep. 92/MEN/VI/2004.

Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian

Mediator serta Tata Kerja Mediasi.

Keputusan Mentri No. 226 Tahun 2000.

Tentang Upah Minimum.

Widodo, Hartono. 1992.

Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.


(1)

49

2) Faktor penghambat

a. Hambatan mediator dalam menyelesaiakan perselisihan biasanya karena tidak hadirnya para pihak pengusaha atau pekerja secara langsung

b. Keterbatasan jumlah tenaga kerja yang mamiliki kapasitas dalam menangani perselisihan dibandingkan dengan banyaknya kasus yang harus diselesaikan.

c. Tuntutan yang desertai unjuk rasa dan kekerasan umunya mengakibatkan perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang dinggap sebagai pemimpin, penggerak atau propokator unjuk rasa, dalam kasus semacam ini perusahaan kadang juga melibatkan pihak kepolisian, selanjutnya masalah akan diajukan ke Peradilan Pidana, dengan demikian Penyelesaian perselisihan tidak sekedar penyelesaian Hubungan Industrial.

5.2 Saran

1. Sebaiknya para penengah harus melakukan pendekatan atau pengertian bahwa kehadiran para pihak didalam sidang mediasi sangat berpengaruh dalam mempercepat atau memperlancar Penyelesaian sengketa tenaga kerja, sehingga apabila salah satu pihak yang berselisih tidak dapat hadir dalam sidang mediasi dengan alas an domisili jauh maka sebaiknya pihak penengah atau mediator melakukan penjemputan kepada pihak yang berdomisili jauh.

2. Sebaiknya jumlah tenaga kerja yang memiliki kemampuan dalam menangani perselisihan ditambah, karena hasil penelitian saya pada Dinas


(2)

50

Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung hanya memiliki 2 orang Pegawai Perantara atau mediator.

3. Dalam penyelesaian ini seorang mediator harus secepatnya menyelesaikan perselisihan agar tidak terjadi unjuk rasa yang berbuntut kerusuhan sehingga tidak sampai melibatkan pihak kepolisian yang dilanjutkan keperadilan pidana.


(3)

PERAN DINAS TENAGA KERJA KOTA BANDAR LAMPUNG

SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA TENAGA KERJA

Oleh

NEDI IRWANDI DARMAN

NPM. 0642011284

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5

1.2.1 Permasalahan ... 5

1.2.2 Ruang Lingkup ... 6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja ... 8

2.2 Pengertian Sengketa Tenaga Kerja ... 10

2.3 Sebab Terjadinya Sengketa Tenaga Kerja ... 11

2.4 Macam-Macam Sengketa Tenaga Kerja ... 12

2.5 Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja Melalui Mediasi oleh Mediator ... 16

2.5.1 Pengertian Mediator ... 16

2.5.2 Penyelesaian Hubungan Melalui Mediasi ... 17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Masalah ... 22

3.1.1 Pendekatan Normatif... 22

3.1.2 Pendekatan Empiris... 22

3.2 Sumber Data... 23


(5)

3.2.2 Data Sekunder ... 23

3.3 Prosedur Pengumpulaan dan Pengolahan Data... 23

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data ... 23

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data ... 24

3.4 Analisis Data ... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ... 26

4.1.1 Sejarah Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ... 26

4.1.2 Tata Kerja dan Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ... 28

4.2 Peran Dinas Tenaga Kerja dalam Penyelesaian sengketa tenaga kerja ... 37

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelesaian sengketa tenaga kerja di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung ... 46

4.3.1 Faktor Pendukung ... 46

4.3.2 Faktor Penghambat... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Khakira. 2003. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. PT. Citra Adytia Bakti. Bandung.

Asikin, Zainal. 2004. Dasar-Dasar Hukum Perburuan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Asyhadie, Zaeni. 2008.Hukum Kerja PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta. Asyhadie, Zaeni. 2007.Hukum Kerja.Raja Grafindo Pesada. Jakarta.

F.X Djumialdi. 2008.Perjanjian Kerja Edisi Revisi.PT. Sinar Frafika. Jakarta.

Husni, Lalu. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi.PT. Rajawali

Grafindo. Jakarta.

Husni, Lalu. 2007. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Siregar, H.M. 2006. Hukum Tenaga Kerja Masalah dan Penyelesaiannya. Mitra Jaya. Bandar Lampung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Dasar. 1945.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1959. Tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.Tentang Ketenagakerjaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

Kep. 92/MEN/VI/2004. Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian

Mediator serta Tata Kerja Mediasi.

Keputusan Mentri No. 226 Tahun 2000.Tentang Upah Minimum.

Widodo, Hartono. 1992. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.