RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

(1)

ABSTRAK

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPENMATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh Roni Mustofa

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan resepsi siswa terhadap cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS IV SMA Negeri 7 Bandarlampung. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa kata-kata atau kalimat-kalimat yang isinya tanggapan siswa terhadap fakta-fakta cerita yaitu, tokoh, alur, latar, dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa meresepsi fakta-fakta cerita dalam cerpen. Siswa meresepsi tokoh berdasarkan tiga aspek yang melekat, yaitu aspek fisik, psikologis, dan sosiologis. Tokoh Mirta secara fisik dideskripsikan oleh siswa sebagai tokoh yang buta. Secara psikologis Mirta dideskripsikan sebagai seorang yang sangat kesal dan emosional terhadap Tarsa karena sering dimanfaatkan. Secara sosiologis keberadaan tokoh Mirta tidak diinginkan keberadaanya di tengah masyarakat. Tokoh Tarsa secara fisik dideskripsikan oleh siswa sebagai manusia yang memiliki tubuh sempurna tanpa ada kecacatan. Psikologis dari Tarsa digambarkan oleh siswa sebagai orang yang licik yang hanya memanfaatkan orang lain saja. Secara sosiologis kehadiran tokoh Tarsa dianggap tidak memiliki dampak yang positif dalam kehidupan masyrakat. Pada resepsi terhadap alur, secara keseluruhan siswa menyatakan bahwa alurnya sangat bagus dan sangat cocok sehingga mampu membuat pembaca tertarik dan penasaran untuk membacanya. Selanjutnya pada resepsi terhadap latar, siswa meresepsi latar tempat, waktu, dan sosial. Secara keseluruhan ketiga unsur latar


(2)

tersebut ditanggapi baik oleh siswa. Siswa tidak mengalami kesulitan dalam menganalisis latar tempat dan waktu dalam cerpen, pada latar sosial hanya sebagian kecil siswa yang dapat memahami.

Hasil penelitian ini selanjutnya diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas dengan Kurikulum 2013. Resepsi siswa terhadap cerpen tersebut juga dapat dijadikan bahan ajar dan referensi yang membantu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam Apresiasi Prosa.


(3)

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh Roni Mustofa

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2016


(4)

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

(Skripsi)

Oleh Roni Mustofa

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2016


(5)

HALAMAN JUDUL ... ABSTRAK ... COVER DALAM ... LEMBAR PERSETUJUAN ... LEMBAR PENGESAHAN ... PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP ... MOTO ... PERSEMBAHAN... SANWACANA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR SINGKATAN...

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 9

BAB II LANDASAN TEORI... 10

2.1 Cerpen ... 10

2.2.1 Unsur-unsur Cerita Pendek ... 13

a. Tokoh ... 14

b. Alur ... 16

c. Latar... 17

2.2 Resepsi Sastra ... 21

2.2.1Reader Response... 23

2.2.2 Teori Resepsi Sastra ... 27

2.2.3 Penulis, Karya, dan Pembaca ... 32


(6)

BAB III METODE PENELITIAN... 39

3.1 Desain Penelitian... 39

3.2 Data dan Sumber Data ... 40

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 40

3.4 Analisis Data ... 41

BAB IV PEMBAHASAN... 43

4.1 Resepsi Terhadap Tokoh Cerita ... 43

4.1.1 Resepsi Terhadap Tokoh Mirta... 46

4.1.1.1 Resepsi Mirta dari Aspek Fisik ... 46

4.1.1.2 Resepsi Mirta dari Aspek Psikologis ... 55

4.1.1.3 Resepsi Mirta dari Apek Sosiologis ... 64

4.1.2 Resepsi Terhadap Tokoh Tarsa ... 78

4.1.2.1 Resepsi Tarsa dari Aspek Fisik ... 78

4.1.2.2 Resepsi Tarsa dari Aspek Psikologis ... 86

4.1.2.3 Resepsi Tarsa dari Aspek Sosiologis ... 95

4.2 Resepsi Terhadap Alur Cerita ... 108

4.3 Resepsi Terhadap Latar Cerita ... 119

4.3.1 Resepsi Latar Tempat... 120

4.3.2 Resepsi Latar Waktu ... 126

4.3.3 Resepsi Latar Sosial ... 131

4.4 Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ... 134

4.4.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ... 135

4.4.2 Bahan Ajar ... 149

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 166

5.1 Simpulan ... 166

5.2 Saran... 167 DAFTAR PUSTAKA


(7)

Sis : siswa Mir : Mirta Tar : Tarsa

Pfis : pertanyaan fisik Konk : konkret

Kons : konseptual

Ppsi : pertanyaan psikologis Psos : pertanyaan sosiologis Mrh : marah

Sdh : sedih Gel : gelisah

Mnglkn: meninggalkan Cri : mencari

Lpr : melaporkan Tgr : tegur

Bnh : bunuh Sbr : sabar

Pm : pantang menyerah Post : positif

Negt : negatif Peng : pengaruh Tpeng : tidak pengaruh Sk : suka

Tsk : tidak suka Mam : mampu Tmam : tidak mampu Jw : jawa

Snd : sunda Lpg : lampung sd : sekolah dasar smp : sekolah menengah

pertama Tsklh : tidak sekolah Bk : baik

Tbk : tidak baik Bwh : bawah Men : menengah Emo : emosi Kha : khawatir Meny : menyesal Ped : peduli Mnlg : menolong Ta : tidak ada Ego : egois

Mksa : memaksa

Pa : pertanyaan alur Mj : maju

Mdr : mundur Phm : phm

Tphm : tidak paham Pns : penasaran Tpns : tidak penasaran Cck : cocok

Tcck : tidak cocok Mend : mendukung Tmend: tidak mendukung Jt : jumlah tempat Jw : jumlah waktu Ses : sesuai

Tpt : tepat Net : netral Fung : fungsional


(8)

(9)

“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.”

(QS Al-Ankabut [29]: 6)

"Kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak berpikir membuat rencana sehingga tidak segera melangkah."


(10)

(11)

(12)

Penulis dilahirkan di Buko Poso, Kec. Way Serdang, Mesuji, pada 21 April 1991. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putra pasangan Bapak Ropi’idan Ibu Suryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dharma Wanita tahun 1997, selanjutnya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 Buko Poso tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Way Serdang diselesaikan tahun 2006, selanjutnya Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Way Serdang diselesaikan pada tahun 2009.

Tahun 2009 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada tahun 2011 semester 5 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Bandung, Yogyakarta, dan Bali pada tanggal 23-31 Januari 2011. Tahun 2012 semester 7 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bandar Agung, Lampung Timur, dan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di SD 02 Bandar Agung, Lampung Timur.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan juga pengalaman yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Keindahan serta karakteristik bahasa dalam karya sastra membuat karya sastra itu menjadi hal yang sangat indah untuk dinikmati. Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Seirama dengan itu, Rusyana (1982) menyatakan bahwa “sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa”. Dari kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dengan demikian sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari manusia sebagai pembuat dan penikmat sastra (pembaca).

Pembaca sebagai penikmat karya sastra, memunyai peranan penting dalam mengapresiasi sebuah karya sastra. Bentuk apresiasi salah satunya adalah menilai, namun tentunnya pembaca juga harus memunyai kriteria yang memadai ketika akan melakukan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Dengan kata lain,


(14)

pembaca harus memunyai kapasitas yang memadai, tidak asal bunyi saja. Minimal memahami teori-teori yang berhubungan erat dengan karya sastra.

Kritik sastra sebagai dasar ilmu yang memberikan wadah berkembangnya teori-teori yang berkaitan dengan sastra. Beberapa pendekatan yang muncul dalam kritik sastra antara lain, pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif dan pendekatan objektif. Pendekatan pragmatik muncul sebagai pendekatan yang erat kaitannya dengan pembaca dan teks sastra. Lebih jauh lagi, kajian ini diuraikan dalam resepsi sastra.

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana seorang pembaca mampu memberi makna dari karya sastra yang telah dibacanya. Makna yang diberikan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup dari pembaca itu sendiri. Seorang pembaca juga diharapkan mampu memberikan interpretasi dari karya sastra tersebut. Selama ini yang menjadi tekanan dan menjadi fokus penelitian adalah teks dan makna dari teks itu sendiri. Untuk itu, hadirlah sebuah kajian resepsi sastra yang mencoba memberi perhatian kepada pembaca. Penelitian-penelitian yang cenderung memberikan perhatian kepada teks dan makna dari teks, secara tidak langsung menyiratkan bahwa seorang pembaca tidak memunyai andil dalam penelitian-penelitian sastra. Fokus penelitian-penelitian yang hanya menekankan pada teks dan makna dari teks itu sendiri, membuat objek penelitian menjadi monoton. Selain itu, banyak penelitian hanya terfokus pada hubungan teks satu dengan teks lainnya (intertekstual), hubungan teks sastra dengan penulisnya/pengarangnya (struktur genetik). Sekarang pertanyaannya adalah, apakah hanya terfokus pada hal itu


(15)

saja? Atau teks sastra dan makna dari teks sastra itu, yang menarik untuk menjadi bahan penelitian?

Resepsi sastra hadir sebagai pembaruan dalam kajian sastra. Mengapa harus pembaca? Meskipun pembaca tidak terlibat langsung dalam proses kreatif, namun pembaca memunyai andil yang sangat penting dalam sebuah karya. Siapa yang menikmati sebuah karya sastra kalau bukan pembaca. Ketika pembaca membaca karya sastra, baik itu novel, cerpen, puisi, atau karya sastra yang lain, sudah pasti ada reaksi setelah membaca. Reaksi ini, bisa berupa reaksi aktif, misalnya pembaca memberikan makna atau interpretasi dari karya tersebut. Reaksi inilah yang menarik untuk menjadi bahan penelitian. Bagaimana seorang pembaca memberi makna dan interpretasi, kemudian dijadikan bahan penelitian. Hal baru yang menarik, keterkaitan antara teks dan pembaca, sehingga tidak lagi yang menjadi tekanan dan fokus penelitian adalah teks dan makna teks.

Penelitian mengenai resepsi juga pernah diteliti oleh mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung, atas nama Wahyu Hidayat dengan judul Tanggapan Mahasiswa Terhadap Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy dan Kelayakannya Dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Perguruan Tinggi, serta atas nama Buyung dengan judul skripsi Resepsi Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Bandarlampung Terhadap Puisi Cintaku Jauh di Pulau Karya Chairil Anwar. Perbedaan sasaran pada penelitian Skripsi Wahyu Hidayat adalah resepsi mahasiswa terhadap novel, sasaran penelitian skripsi Buyung adalah resepsi siswa terhadap puisi, sedangkan pada penelitian ini resepsi siswa pada cerpen.


(16)

Kajian resepsi muncul dari reaksi pembaca terhadap sebuah teks sastra. Selanjutnya, dari sini lah timbul sebuah kajian ilmu sastra yaitu kajian resepsi, yang notabene teks dan pembaca yang menjadi acuan penelitian. Teks yang dimaksud di sini adalah teks sebuah sastra. Sastra pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua. Pertama sastra imajinatif, dan yang kedua sastra non-imajinatif. Sastra imajinatif adalah karya-karya yang amat tipis hubungannya dengan fakta atau realita kehidupan. Bentuk karya sastra imajinatif itu adalah puisi dan prosa. Selain sastra imajinatif ada pula sastra non-imajinatif. Sastra non-imajinatif kadar faktanya agak lebih menonjol. Para sastrawan di dalam mengarang sastra yang non-imajinatif benar-benar bekerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang betul-betul terjadi. Termasuk ke dalam karya sastra non-imajinatif adalah esai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat (Suhendar dan Pien Supinah, 1993:152).

Cerpen merupakan salah satu karya imajinatif yang berbentuk fiksi. Dalam buku teori fiksi (Stanton, 1965), bahwa unsur-unsur fiksi meliputi alur, tokoh/karakter, latar, tema, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi. Unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fakta-fakta cerita (tokoh, alut, latar), tema dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi). Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis hanya menitik beratkan pada fakta-fakta cerita saja (tokoh, alur, latar). Kemudian informan akan meresepsi cerpen Mata yang Enak Dipandang dengan berpedoman hanya pada fakta-fakta cerita saja.Betapa menariknya cerpen untuk dinikmati semua kalangan dan usia. Misalnya di kalangan pendidik, dari strata Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Berkenaan dengan usia, dari anak-anak sampai orang tua.


(17)

Ketertarikan peneliti didasarkan karena cerpen merupakan salah satu jenis prosa fiksi yang pendek namun padat makna. Cerpen juga banyak kita temui di berbagai majalah, surat kabar, dan internet sehingga mudah kita dapatkan. Di samping itu, cerpen tidak terlalu panjang sehingga tidak membebani siswa untuk membiasakan diri menikmati suatu karya sastra (yang bermutu tentu saja). Oleh karena itu, dapat diajarkan atau dilatihkan dalam waktu yang cukup pendek, misalnya dalam satu jam pelajaran. Selain itu, pembaca sebuah cerpen yang baik dan menarik akan menghibur siswa yang telah jenuh dengan berbagai kegiatan belaka. Bisa juga digunakan sebagai selingan pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga dengan cara itu, pelajaran bahasa indonesia akan terasa menyenangkan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cerpen dalam kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari sebagai subjek penelitian. Ahmad Tohari merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang telah lama malang-melintang di dunia kepenulisan. Sudah banyak karya-karya Kang Tohari, begitu ia akrab disapa, yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan dalam lingkup nasional maupun internasional. Selepas menempuh pendidikan formalnya di SMAN 2 Purwokerto, pria kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini pernah kuliah di beberapa fakultas. Kang Tohari juga pernah berkecimpung dalam bidang jurnalistik di beberapa media cetak seperti harian Merdeka, majalah Keluarga dan Majalah Amanah yang kesemuanya berlokasi di Jakarta. Dalam dunia kepengarangan, kemampuan Kang Tohari dalam meramu kata telah diakui secara luas baik di dalam maupun luar negeri. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang meliputi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan


(18)

Inggris. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari.

Selain novel, Ahmad Tohari juga memiliki karya cerpen yang tidak kalah bagus. Salah satu cerpen beliau adalah Mata yang Enak Dipandang. Sekarang karya beliau tersebut telah dibukukan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013. Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu menggangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya. Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca. Cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari merupakan cerpen yang pernah dipublikasikan oleh Kompaspada tanggal 29 Desember 1991. Cerita dengan nuansa kehidupan manusia yang dikemas dengan cantik dan menarik oleh Ahmad Tohari sangat layak menjadi bahan bacaan. Jika sebuah cerpen sudah memenuhi kelayakan sebagai bahan bacaan, maka menjadi indikasi bahwa cerpen itu juga layak untuk menjadi bahan penelitian.

Ada beberapa alasan mengapa peneliti lebih memilih siswa sebagai objek dari penelitian ini. Siswa sebagai salah satu dari penikmat sebuah karya sastra sudah tentu memunyai tanggapan atau interpretasi tersendiri terhadap karya sastra. Bagaimana siswa memaknai, memberi arti karya sastra, kemudian mengungkapkan perasaannya setelah membaca karya sastra tersebut. Selanjutnya,


(19)

siswa sebagai salah satu komponen pembelajaran, hendaknya memberikan sumbangan kontribusi terhadap sebuah karya sastra, hal ini tentu masih dalam ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia . Selain itu, penelitian ini juga keleluasaan kepada siswa tentang pemberian makna dan interpretasi terhadap sebuah karya sastra. Dengan kata lain, penelitian ini mengangungkan pembaca, yang dalam hal ini adalah siswa.

Mata pelajaran bahasa Indonesia yang ada dalam kurikulum sekolah, dan telah dijalani oleh siswa sedikit banyak telah memberikan pengetahuan kepada siswa terhadap bahasa dan sastra, hal ini membuat peneliti ingin mengetahui seberapa besar apresiasi siswa terhadap sebuah karya sastra. Pengajaran bahasa dan sastra, bagai dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Beberapa alasan tersebut, yang membuat peneliti harus melakukan penelitian terhadap siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 7 Bandarlampung, pada kelas XI IPS IV. Peneliti memilih melakukan penelitian di SMA Negeri 7 Bandarlampung karena sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah favorit di Bandar Lampung. Sekolah dengan akreditasi B, serta beberapa fasilitas yang menunjang kelengkapan sekolah.

Terkait dengan judul penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan Kurikulum 2013 untuk mengaitkan hasil penelitian dengan pembelajaran sastra. Kompetensi Dasar yang menjadi acuan dan berkaitan erat dengan peneliti dalam Kurikulum 2013 yaitu,Menginterpretasi makna teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan. Kompetensi Dasar tersebut akan menuntut siswa lebih mengenal karya sastra khususnya cerpen dengan lebih dekat. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran yang dapat


(20)

dilakukan siswa yaitu pembelajaran dalam mengapresiasi karya sastra, dalam hal ini yaitu menanggapi cerita pendek (cerpen).

Implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran sastra di SMA sebatas perancangan pembelajaran dan bahan ajar. Perancangan pembelajaran dan bahan ajar yang berbasis resepsi dengan menggunakan hasil dari penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA?”. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap tokoh dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari?

2. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap alur dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari?

3. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap latar dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari?

4. Bagaimanakah implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Adapun tujuan penelitian terhadap fakta-fakta cerita adalah sebagai berikut.


(21)

1. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap tokoh cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap alur cerpen tersebut. 3. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap latar cerpen tersebut. 4. Mendeskripsikan implikasi pada pembelajaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara praktis dan teoretis. 1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan dan menambah pengetahuan tentang dan kritik sastra khususnya cerpen dengan menggunakan teori resepsi sastra.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Oleh karena itu, dapat membantu peneliti-peneliti lain dalam menambah wawasan tentang resepsi sastra. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru sebagai alternatif bahan ajar di sekolah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas objek penelitian. Objek penelitian ini adalah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, sedangkan aspek yang diteliti adalah sebagai berikut.

1. Resepsi siswa terhadap fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar) yang terdapat dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Cerpen

Pengertian cerita pendek (cerpen) telah banyak dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra, dan sastrawan. Jelas tidak mudah membuat definisi mengenai cerpen. Meski demikian, berikut akan dipaparkan pengertian cerita pendek yang diungkapkan oleh para ahli sastra dan sastrawan terkemuka.

Dalam Purba (2010: 48), H.B Jassin dalam bukunyaTifa Penyair dan Daerahnya, mengemukakan bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek (1977: 69). Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerita pendek ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu tidak disebut cerita pendek dan memang tidak ada cerita pendek yang demikian panjang. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih bisa disebut cerita pendek tetapi ada juga cerita pendek yang panjangnya hanya satu halaman. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini di dalam buku mereka Apresiasi Kesusastraan. Mereka berpengertian bahwa cerita pendek (atau disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen (1986: 36).

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek


(23)

bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi (Sumardjo, 1983: 69).

Selanjutnya menurut Priyatni (2010: 126) cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi. Cerita pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan. Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa yang lain, misalnya novel.

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek (Suyanto, 2012:46). Ukuran pendek di sisni bersifat relatif. Menurut Edgar Allan Poe dalam (Suyanto, 2012:46), sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1995: 30) dalam Suyanto (2012: 46) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh, H.B. Jassin, kemudian Sumardjo dan Saini, Priyatni, dan Suyanto merupakan bagian kecil dari pengertian cerita pendek. Beberapa pengertian cerita pendek yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, penulis berhasil meyimpulkan pengertian cerita pendek secara tersendiri. Cerita pendek (cerpen) adalah sebuah karangan berbentuk prosa fiksi yang habis dbaca sekali duduk, maksud dari habis dibaca sekali duduk adalah tidak membutuhkan waktu yang berlama-lama untuk menyelesaikan satu cerita. Cerita pendek juga memiliki pemendekan unsur-unsur pembentuknya, jadi kaya akan pemadatan makna.


(24)

Sukar untuk memberikan perumusan yang tepat dan tegas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, apakah cerita pendek itu. Tetapi kita coba menerangkan cerita pendek itu dengan menyebutkan unsur-unsur apa yang harus dikandungnya. Di dalam cerita pendek harus ada:

1. Cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik secara langsung atau tidak langsung.

2. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca.

3. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca, bahwa pembaca merasa terbawa oleh jalan cerita, dan cerita pendek pertama-tama menarik perasaan, baru menarik pikiran.

4. Cerita pendek mengandung perincian dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

Selanjutnya sebuah cerita pendek harus pula mengandung: 1. Sebuah insiden utama yang menguasai jalan cerita 2. Seorang pelaku utama.

3. Jalan cerita yang padat

4. Mencerminkan yang ketiga di atas hingga tercipta satu “efek” atau SATU KESAN (impressie).

Panjang atau pendek sebuah cerita pendek juga tidak bisa ditetapkan. Pada umumnya panjangnya sebuah cerita pendek itu habis sekali, dua kali atau tiga kali. Tetapi ini juga bukan pegangan. Dapatlah kita katakan antara 500-1.000 – 1.500-2.000 hingga 10.000, 20.000, atau 30.000 kata.


(25)

Antara cerita pendek yang panjang dan sebuah novelet sudah sukar membedakannya. Bedanya ialah dalam isi cerita. Novelet mencakup cerita pengalaman-pengalaman manusia yang lebih luas, sedangkan cerita pendek memusatkan perhatian pada sesuatu yang lebih terbatas.

Cerita pendek itu terbatas kemungkinan-kemungkinannya. Umpamannya, tidak mungkin untuk meceritakan dalam sebuah cerita pendek dikemukakan tanggapan-tanggapan saat-saat hidup yang karena sesuatu sebab dapat dibawa ke depan dan ditonjolkan. Pengertian tentang batas-batas cerita pendek ini perlu diketahui agar orang jangan mengarang roman dalam sebuah cerita pendek atau sebaliknya. Karena berapa banyak roman-roman yang sebenarnya lebih padat dan lancar ceritanya jika dijalin dalam sebuah cerita pendek. Bahan dalam roman demikian diperpanjang, bertele-tele, sehingga hambar dan tidak berketentuan rasanya (Lubis 1996: 92).

2.2.2 Unsur-unsur cerita pendek

Unsur-unsur pembangun cerpen yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas disamping unsur forma bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 1994:23). Unsur pembangun sebuah cerpen tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Hal ini didukung oleh pendapat Nurgiyantoro (1994: 23) Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.


(26)

Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, Unsur- unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Stanton (2007:22) mengemukakan bahwa karakter (penokohan), alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Berikut ini penjelasan mengenai fakta-fakta cerita suatu karya fiksi yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar.

a. Tokoh

Tokoh merupakan pelaku-pelaku yang dihadirkan dalam suatu cerita, Munaris (2010:20). Kehadirannya dapat diindikasikan dengan nama tokoh atau kata ganti tertentu yang merujuk pada pelaku tertentu. Kehadiran tokoh cerita, baik tokoh utama maupun tokoh pendukung selalu ada di semua novel. Dalam semua novel dibedakan antara tokoh statis dan tokoh dinamis, Adi (2011:46). Tokoh statis, jika sebagai tokoh utama di sepanjang cerita wataknya tidak berubah. Sebaliknya, tokoh dinamis wataknya sebagai seseoarang tokoh mengalami perubahan selama cerita berlangsung. Kemudian, penokohan adalah salah satu unsur cerita yang memegang peranan penting di dalam sebuah novel, karena tanpa pelaku yang mengadakan tindakan, cerita itu tidak mungkin ada, Adi (2011:47). Istilah


(27)

penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan, dan bagaimana pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. (Nurgiyantoro, 1994:166).

Menurut Mido (1994:21), tokoh utama harus digambarkan sebagai tokoh yang hidup, tokoh yang utuh, bukan tokoh mati yang sekadar menjadi boneka mainan ditangan pengarangnya. Tokoh cerita harus digambarkan sebagai tokoh yang memiliki kepribadian, berwatak dan memiliki sifat-sifat tertentu. Gambaran lengkap profil tokoh utama yang utuh dimaksud meliputi 3 dimensi, yakni: fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

1. Dimensi fisiologis, meliputi penggambaran ciri-ciri fisik tokoh cerita, seperti: jenis kelamin, bentuk tubuh, usia, ciri-ciri tubuh, kadaan tubuh, dan raut wajah, pakaian dan perhiasan.

2. Dimensi psikologis meliputi penggambaran ciri-ciri psikologis tokoh cerita, seperti: mentalitas, norma-norma moral, temperamen, perasaan, keinginan, sikap, watak/karakter, kecerdasan (IQ), keahlian dan kecakapan khusus.

3. Dimensi sosiologis meliputi penggambaran ciri-ciri sosial tokoh cerita, seperti: status sosial, jabatan, pekerjaan, peranan sosial, pendidikan, kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, pandangan hidup, ideologi, agama, aktifitas sosial, orpol/ormas yang dimasuki, kegemaran, keturunan dan suku bangsa.


(28)

Dalam rangka menggambarkan dimensi fisiologis, psikologis, dan sosioloogis, para tokoh ceritanya, para pengarang ada yang melakukannya secara langsung dengan metode diskursif (eksplisit) dan ada pula yang melakukannya secara tidak langsung dengan metode dramatik (implisit).

Metode langsung (eksplisit) mengarah pada cara pengarangnya yang menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisioloogis), ciri-ciri fisik (dimensi fisikologis), ciri-ciri sosial (dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis (dimensi psikologis) yang dilekatkannya pada tokoh cerita. Sementara metode tidak langsung (implisit) mengarah pada cara mengarangnya yang tidak menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisiologis), ciri-ciri sosial (dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis (dimensi psikologis) yang dilekatkannya pada tokoh cerita (Mido, 1994:22-23).

b. Alur

Plot atau secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal dengan adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet (Nurgiyantoro, 2013:165). Aminudin dalam Munaris (2010: 20) mengemukakan alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita (Stanton, 2007:26). Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang


(29)

menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, Stanton (2007:35). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994:216). Menurut Stanton dalam Munaris (2010:20) latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Kemudian Stanton dalam Nurgiyantoro (1994:216) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca secara fiksi atau ketiga inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita.

Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, dan penunjukan latar. Namun, hal itu tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukkan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. ia dapat saja berada pada tahap yang lain, pada berbagai suasana dan adegan dan bersifat koherensif dengan unsur-unsur struktural fiksi yang lain.

1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa


(30)

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, dan lain-lain. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T, dan desa B. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempatan tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, dan sebagainya.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat lain. Jika terjadi ketidaksesuaian deskripsi antara keadaan tempat secara realistis dengan yang terdapat di dalam novel, terutama jika pembaca mengenalinya, hal itu akan menyebabkan karya yang bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan sungguh-sungguh ada dan terjadi.

Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu menguasi medan, Nurgiyantoro (1994:228). Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya. Tempat-tempat yang berupa desa, kota, jalan, sungai, dan lain-lain tentu memiliki ciri-ciri khas yang menandainya. Hal itu belum lagi diperhitungkan adanya ciri khas tertentu untuk tempat tertentu. Sebab, tentunya tak ada satu pun


(31)

desa, kota, atau sungai yang sama persis dengan desa, kota, atau sungai yang lain. Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci biasanya menjadi bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah.

Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsurlocal color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya. Dengan kata lain, latar sosial, latar spiritual, justru lebih menentukan ketipikalan latar tempat yang ditunjuk.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, Nurgiyantoro (1994:230). Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu, yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.

Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dalam Nurgiyantoro (1994:231) dapat bermakna ganda, yaitu menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat


(32)

dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita. dalam hal ini kejelasan masalah waktu menjadi lebih penting dari pada kejelasan unsur tempat, Genette dalam Nurgiyantoro (1994:231). Hal ini disebabkan orang masih dapat menulis dengan baik walau unsur tempat tak ditunjukkan secara pasti, namun tidak demikian halnya dengan pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai sarana pengungkapannya.

Masalah waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Dalam hal ini terdapat variasi pada berbagai novel yang ditulis orang. Ada novel yang membutuhkan waktu sangat panjang hampir sepanjang hayat tokoh, adapula yang relatif pendek.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehiduan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, Nurgiyantoro (1994:233). Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Di


(33)

samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu.

Status sosial tokoh merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar. Ada sejumlah novel yang membangun konflik berdasarkan kesenjangan status sosial tokoh-tokohnya. Perbedaan status sosial dengan demikian, menjadi fungsional dalam fiksi. Secara umum perlu adanya deskripsi perbedaan antara kehidupan tokoh yang berbeda status sosialnya. Keduanya tentu memiliki perbedaan tingkah laku, pandangan, cara berpikir dan bersikap, gaya hidup, dan mungkin permasalahan yang dihadapi.

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi, ia berada dalam kepaduan dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu, Nurgiyantoro (1994:237) ketiga unsur tersebut dalam satu kepaduan jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan daripada secara sendiri-sendiri. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi pun tak dilihat secara terpisah dan berbagai unsur yang lain, melainkan justru dari kepaduan dan koherensinya dengan keseluruhan.

2.2 Resepsi Sastra

Estetika resepsi adalah sebuah metode kritik sastra yang menitikberatkan pada peranan pembaca yang memperhatikan karya sastra sebagai sebuah struktur. Di satu pihak, pembaca memiliki nilai-nilai yang berubah. Sementara itu, dilain pihak karya sastra sebagai sebuah struktur menentang struktur karya sebelumnya (Suroso, dkk, 2009: 113)


(34)

Menurut Segers (Suroso, dkk 2009: 113), estetika resepsi melihat nilai sastra sebagai sebuah konsep dari perubahan yang tetap, bergantung pada sistem norma pembacanya.

Metode estetika resepsi merupakan sebuah kejutan untuk evaluasi kesusastraan guna melengkapi perbedaan pandangan dari konsep nilai kesusastraan. Hal tersebut disebabkan, selama ini struktural menganggap bahwa nilai sastra terlepas dari pembacanya.

Dalam Junus (1985: 1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya, karena itu, pengertian resepsi sastra memunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan.

Resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat merespons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu, Ratna (2004: 165).

Dari beberapa penjelasan para ahli tersebut penulis mengambil simpulan mengenai pengertian resepsi, yaitu, resepsi sastra merupakan teori yang


(35)

menitikberatkan pada pembaca. Melalui resepsi sastra ini, akan diketahui bagaimanakah karya sastra yang tercipta di mata pembaca. Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra. Selama ini, tekanan diberikan kepada teks dan untuk kepentingan teks, ini biasanya untuk pemahaman, seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks).

Selain dapat dilihat dari resepsi sastra pendekatan pragmatik sastra juga dapat dilihat dari segi yang lainnya. Reader response merupakan teori yang melihat pembaca sebagai perhatian penelitian. Lebih lanjut akan dibahas dalam subbab berikut.

2.2.1Reader Response

Reader response atau reader response criticsm merupakan sebuah teori yang di kembangkan oleh berbagai macam ahli dan kritikus sastra. Teori ini mempunyai berbagai macam makna tergantung pada orang yang mengembangkannya. Meskipun demikian secara umum teori ini menawarkan sebuah teori tentang bagaimana mendapatkan makna dari sebuah text oleh pembaca, serta bagaimana pembaca menginterpretasikan text tersebut. Dalam teori ini hubungan antara pembaca dengan text sangat penting – karena text tanpa pembaca akan tidak berarti atau dalam kata lain text tidak ada tanpa pembaca. Sebuah text tidak akan hidup tanpa pembaca. Banyak yang missinterpretasi mengenai teori reader response. Banyak yang mengatakan bahwa teori ini memberikan jalan bagi berbagai macam (semua) interpretasi akan text. Meskipun interpretasi dalam teori ini sangat dibuka lebar dibandingkan pada teori formalis dan strukturalis, bukan berarti setiap interpretasi itu valid.


(36)

Pendekatan reader-oriented berkembang pada 1960-an sebagai reaksi atas dominasi pendekatan text-oriented, seperti new critism. Pendekatan reader-oriented ini dinamakan dengan teori resepsi, reader response, atau aesthetic response. Dalam penggunaan, ketiga istilah tersebut hampir bersinonim (Klarer, 2004: 92).

Akan tetapi, Adi (2011: 174-184) membedakan istilah pendekatan reader response dengan pendekatan resepsi. Pendekatan reader response menitikberatkan pada pembentukan estetika dalam sebuah teks, sedangkan pendekatan resepsi lebih berfokus pada dampak yang timbul, senang tidaknya pembaca, dan latar belakang penilaian pembaca. Dengan kata lain, resepsi merupakan reader judgment.

Namun demikian, hakikatnya pendekatan reader response dan resepsi sama-sama mengacu pada keterlibatan pembaca dalam membangun sebuah makna pada suatu teks. Pendekatan reader response memiliki cakupan yang lebih luas dari resepsi karena tidak hanya membicarakan penerimaan pembaca, melainkan juga melibatkan interpretasi pembaca.

Pendekatan ini dapat “disandingkan” dengan beberapa pendekatan lainnya, seperti psikoanalisis, kritik feminis, kritik struturalis, dan lain sebagainya. Misalnya, apabila dalam kajian psikoanalisis, dilakukan penelitian mengenai motif psikologis pada beberapa jenis interpretasi teks sastra, maka itu merupakan salah satu bentuk kritik reader response (Tyson, 2006: 169).


(37)

Tokoh dan Teori Pokok Pendekatan Reader Response 1. Hans Robert Jauss

Tanggapan seorang pembaca tentu akan berbeda satu sama lain. Perbedaan tanggapan itulah yang disebut oleh Hans-Robert Jauss sebagai horizon of expectation (horizon harapan) dari pembaca tersebut. Pradopo (2007: 208) menyatakan bahwa horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca sebelum membaca sebuah karya sastra. Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi sebuah karya sastra.

Horizon harapan (horizon of expectation) ditentukan oleh: a. Norma-norma umum yang keluar dalam teks;

b. Pengetahuan dan pengalaman pada teks yang sudah dibaca sebelumnya; dan

c. Kontradiksi antara fiksi dengan kenyataan.

2. Wolfgang Iser

Wolfgang Iser memperkenalkan konsep efek (wirkung), yakni cara sebuah karya mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Dalam suatu karya sastra, terdapat kesenjangan antara teks dan pembaca. Di sanalah, terjadi kekosongan atau tempat terbuka (open plak) yang kemudian diisi oleh pembaca. Respon pembaca yang mengisi tempat terbuka tersebut bersifat berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Iser, sebagaimana dikutip Adi (2011: 178), karya sastra memiliki dua kutub, yaitu kutub artistik dan estetik. Kutub artistik merupakan teks penulis, sedangkan kutub estetik adalah realisasi yang dicapai oleh pembaca.


(38)

3. Norman Holland

Pemikiran Norman Holland berawal dari kajiannya terhadap karya sastra dengan pendekatan psikoanalisis. Di dalamnya, Holland juga berbicara mengenai proses pembacaan. Sebagaimana dikutip Adi (2011: 177), Holland berargumentasi bahwa setiap pembaca memasukkan fantasinya dalam teks dan memodifikasinya dengan mekanisme pertahanan (defense mechanism).

Holland meyakini bahwa motif pembaca sangat memengaruhi cara mereka membaca. Metode Holland disebut juga metode analisis transaktif karena ia percaya bahwa proses membaca mencakup transaksi antara pembaca dan teks asli (Tyson, 2006: 182).

Holland juga berpendapat bahwa di dalam pikiran setiap individu terdapat identity theme, yaitu pembaca memiliki gaya tertentu dalam kehidupan dan pembacaannya. Tanda-tanda, komunitas pembaca, dan gaya membaca yang bervariasi itulah yang membangun sebuah reader response (Tyson, 2006: 183).

Pembaca dalam Pendekatan Reader Response

Dalam pendekatan reader response, dikenal beberapa istilah pembaca. Pembaca yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pembaca biasa, yaitu pembaca dalam arti sesungguhnya. Pembaca biasa adalah orang yang membaca suatu karya sastra sebagai karya biasa, bukan dengan tujuan penelitian.

2. Pembaca ideal, yaitu pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian.


(39)

3. Pembaca implisit, yaitu peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. 4. Pembaca eksplisit, yaitu dapat pembaca yang dapat disebut juga pembaca

fiktif, imajiner, atau imanen.

5. Pembaca terinformasi (informed readers), yaitu pembaca yang memiliki kemampuan literasi yang cukup.

2.2.2 Teori Resepsi Sastra

Semiotika, resepsi, dan interteks berkembang pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks skaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaannya, semiotika, melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sastra memberikan perhatian kepada pembaca, sedangkan interteks pada hubungan antara karya yang satu dengan karya yang lain. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, dekontruksi seolah-olah dianggap sebagai rangkuman sekaligus penyempurnaan dari keseluruhan teori sebelumnya.

Secara historis, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 78; cf. Teeuw, 1988: 183) dalam Ratna (2004: 183) ada dua tradisi klasik dalam kaitannya dengan relevansi fungsi dan peranan pembaca. Peranan sastra dan pembaca, khususnya dalam kehidupan praktis, seperti pidato dan khotbah, tampil dalam bentuk retorika. Perbedaannya, retorika memberikan perhatian pada sarana-sarana bahasa, sedangkan resepsi pada tanggapan-tanggapan pembaca. Sebagai akar perkembangan teori resepsi abad ke-20, Selden (1986: 106) mengintroduksi keterbatasan paradigma objektif, dengan menonjolkan fungsi-fungsi subjektivitas. Menurutnya, baik dalam ilmu pengetahuan maupun ilmu sosial, khususnya dalam ilmu humaniora, pemahaman


(40)

terhadap fakta-fakta sosial pada dasarnya bergantung dari rangka referensi yang ada dalam diri subjek. Aktivitas pembaca dalam hubungan ini memegang peranan penting.

Berbeda dengan penjelasan mengenai peranan penulis, penjelasan dalam kaitannya dengan peranan pembaca tidak mudah untuk dijelaskan, khususnya bagi masyarakat biasa. Peranan penulis seolah-olah bersifat transparan dan jelas sebab penulislah yang menciptakan karya, dengan demikian penulislah yang paling tahu isi karya sastra tersebut. Sebaliknya, sangat sulit untuk menjelaskan mengapa dalam teori resepsi peranan pembaca sangat ditonjolkan padahal pembaca sama sekali tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dalam proses kreatif. Problematika seperti inilah yang mendominasi teori resepsi sekaligus mengantarkan teori tersebut sebagai salah satu teori yang dominan dalam ilmu sastra.

Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolah teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam piriode tertentu. Dalam khazanah sastra Indonesia, dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985). Umar Junus sendiri mengakui


(41)

bahwa ia pertama kali memperoleh informasi mengenai perkembangan teori resepsi melalui Teeuw, tahun 1980.

Resepsi tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Analogi-analogi yang berkaitan dengan peranan pembaca, dalam hubungan ini pembaca sebagai subjek transindividual, subjek yang berada dalam perkembangan sejarah, membawa teori resepsi sangat relevan dengan paradigma pascastrukturalisme. Berkat adanya keterlibatan pembacalah hakikat multikultural bisa digali secara maksimal, bukan penulis.

Luxemburg, dkk. (1984: 62) dalam Ratna (2004: 167) membedakan antara resepsi dengan penafsiran. Ciri-ciri penerimaan adalah reaksi, baik langsung maupun tidak langsung. Penafsiran bersifat lebih teoretis dan sistematis, oleh karena itu, termasuk bidang kritik sastra. Resensi novel di surat kabar termasuk penerimaan, sedangkan pembicaraan novel tersebut di majalah ilmiah termasuk penafsiran. Meskipun demikian, resepsi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam teori kotemporer tidak terbatas sebagai reaksi, tetapi sudah disertai dengan penafsiran, dan bahkan penafsiran yang sangat rinci. Beberapa bentuk resepsi, selain resensi


(42)

di atas, misalnya: laporan-laporan, catatan harian, salinan, terjemahan, dan saduran. Berbagi informasi, misalnya, sebuah cerpen menjadi novel, drama, film, lukisan, dan sebagainya, demikian juga sebaliknya.

Penerimaan pembaca pada gilirannya merupakan gudang kultural sekaligus energi kreativitas. Bentuk-bentuk baru sebagai resepsi sering lebih populer, lebih diminati, bahkan sering lebih bermutu dibandingkan dengan bentuk aslinya.

Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, a) resepsi secara sinkronis, dan b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca misalnya memberikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Karya sastra dengan problematikanya tersendiri, seperti novel Belenggu, cerpen Langit Makin Mendung, puisi-puisi Chairil Anwar dan Rendra, dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, memiliki ciri-ciri reseptif yang sangat kaya untuk dianalisis. Penelitian resepsi secara diakronis dengan demikian memerlukan data dokumenter yang memadai. Perkembangan sejarah sastra Barat yang sudah berlangsung ribuan tahun jelas menawarkan model penelitian resepsi secara diakronis yang sangat kaya.

Resepsi sastra memiliki kaitan denga sosiologi sastra dan interteks. Kaitan dengan sosiologi sastra terjadi karena keduannya memanfaatkan masyarakat pembaca. Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa, dengan pembaca konkret, bukan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra (intrinsik). Perbedaannya, sesuai dengan definisi masing-masing, resepsi sastra memberikan perhatian pada aspek estetika, bagaimana karya sastra ditanggapi


(43)

kemudian diolah, sedangkan sosiologi sastra memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling mempengaruhi antara sastra dan masyarakat. Baik resepsi sastra maupun sosiologi sastra dengan sendirinya memerlukan ilmu-ilmu bantu yang dianggap relevan.

Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih. Penyaduran, penyalinan, dan transformasi, demikian juga pengolahn teks berupa inovasi dan parodi, jelas menilai teks-teks yang berbeda. Meskipun demikian, permasalahan interteks tidak terkandung dalam mekanisme transformasi tersebut, melainkan bagaimana memberikan makna tersendiri terhadap teks-teks yang berbeda. Selain itu, hakikat interteks sebagaimana akan dijelaskan kemudian, tidak terbatas sebagai hubungan beberapa teks yang dapat dilihat secara konkret, melainkan jauh yang lebih rumit adalah kenyataan secara definitif intertekstualitas mensyaratkan bahwa di dalam setiap teks terkandung teks-teks yang lain. Peranan pembaca, seperti seperti disebutkan di muka benar-benar merupakan pembalikan paradigma secara total, pembaca yang sama sekali tidak tahu menahu tentang proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab pembacalah yang menikmati, menilai, dan memenfaatkannya, sebaliknya penulis sebagai usul-usul karya harus terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai anonimitas. Oleh karena itulah, dalam kaitannya dengan pembaca, berbeda dengan penulis, timbul berbagi istilah, seperti pembaca eksplisit, pembaca implisit, pembaca mahatuahu, pembaca yang diintensikan, dan sebagainya. Di samping itu, timbul pula istilah-istilah lain, yang didefinisikan sesuai dengan tokoh masing-masing, di antaranya: concretization


(44)

(Vodicka), horison harapan (Jausz), pembaca implisit dan ruang kosong (Iser), kompetensi pembaca (Culler) (Ratna, 2004: 163-169).

Estetika resepsi sebagai sebuah metode melihat karya sastra sebagai objek estetik yang memiliki keragaman nilai dalam perkembangan nilai-nilai estetikanya. Sementara itu, karya sastra juga merupakan sebuah objek estetik yang menciptakan dialog dengan pembacanya sesuai dengan sifatnya yang memiliki banyak penafsiran. Di dalam hal ini estetika resepsi menempatkan karya sastra sebagai bagian perkembangan struktur. Estetika resepsi merupakan salah satu titik tolak dari perkembangan sejarah sastra dengan tidak mengabaikan struktur di dalamnya.

Di dalam suatu karya sastra, peranan pembaca sangatlah penting dalam menemukan nilai-nilai yang terdapat pada karya sastra yang selalu berada dalam perubahan yang teratur. Melalui hal ini, sistematika reaksi pembaca terhadap suatu karya sastra dapat memasukkan dan menempatkan karya sastra di dalam tatanan kesusastraannya.

2.2.3 Penulis, Karya dan Pembaca

Sungguh menarik perkembangan teori dari Jausz dan Iser yang menyempurnakan suatu lingkaran dari perkembangan penelitian sastra. Penelitian itu bermula dengan pementingan penulis. Keterangan tentang arti suatu karya ditanyakan kepada penulisnya dan apabila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat mencari riwayat hidup penulis. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang memunyai maknanya sendiri. Hal ini dapat ditemui melalui analisa karya itu sendiri. Dari sini lah berkembang


(45)

resepsi sastra yang memang melihat adanya skema yang diberikan oleh suatu karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca harus menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti. Arti yang ditemui dalam teks itu bukanlah arti teks itu semata-mata, tetapi arti yang dikonkretkan pembaca melalui suatu rekontruksi. Arti suatu teks ada dalam interaksi anatara teks dan pembaca.

Fenomena ini dapat diperlihatkan sebagai berikut : A. (Perkembangan awal)

Penulis karya pembaca B 1. Perkembangan berikutnya

Karya Pembaca B 2. Perkembangan Kini

Karya Pembaca

Fenomena A memperlihatkan adanya hubungan antara pembaca dengan penulis, di dalam sastra rakyat (yang lisan) antara pendengar dan pencerita. Dalam istilah yang bersifat ekonomi, ada hubungan yang erat antara konsumer dan produser, sesuatu yang biasa ada pada ekonomi pramodern, bila industrialisasi belum lagi berkembang. Seorang pembuat barang, seorang pembuat sepatu misalnya, tahu untuk siapa ia membuatkan sepasang sepatu. Ia membuatkan sepatu untuk seorang langganannya dan tahu apa kesukaannya. Pemakai sepatu juga tahu siapa yang membuat sepatunya. Ia tahu kepandaian orang itu membuat sepatu. Ia tahu akan mutu sepatu itu, tahan lama, dan sebagainya.

Tidak demikian halnya dengan fenomena B. Pembaca tidak lagi memunyai hubungan dengan penulisnya. Yang penting baginya hanyalah adanya karya, dengan mana ia dapat berinteraksi. Ia tidak lagi mengetahui siapa pembuat


(46)

sepatunya, mungkin hanya mengetahui capnya saja, yang dikeluarkan oleh perusahaan tertentu. Malah ia tidak pernah ingin mengetahui siapa yang membuat sepatunya. Ia hanya tahu memakainya. Inilah hakikat ekonomi modern dengan industrialisasi yang telah begitu berkembang, sesuai dengan konsumerisme. Jika peneliti dapat menganalisis dari fenomena tersebut, pada fenomena A pembaca tahu siapa penulis dari karya itu, dan memunyai hubungan dengan penulisnya. Sedangkan pada fenomena B, pembaca tidak tahu siapa penulis dari karya itu dan pembaca sudah tidak lagi memunyai hubungan dengan penulisnya (Junus, 1985:143).

2.2.4 Teks dan Pembaca

Peranan pembaca sangatlah penting untuk menemukan nilai-nilai di dalam karya sastra yang selalu mengalami perubahan yang teratur. Di dalam estetika resepsi, pembaca itu dibagi menjadi dua bagian, yakni pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembaca ideal juga dibagi menjadi dua yakni pembaca yang implisit dan pembaca yang eksplisit (Junus, 1985: 52).

Dalam Junus (1985: 52) mengungkapkan definisi pembaca biasa sebagai pembaca dalam arti yang sebenarnya, yang membaca suatu karya sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian. Di dalam resepsi sastra diperhatikan bagaimana reaksi pembaca biasa ini terhadap suatu karya sastra. Penyelidikan ini bisa dikatakan penyelidikan sinkronis, yakni dengan melihat reaksi mereka atau pembaca terhadap suatu karya yang mereka baca. Bisa juga bersifat sejarah atau diakronis, yang melihat penerimaan dalam berbagai masa.

Junus (1985: 52) juga mengemukakan pengertian pembaca ideal sebagai pembaca yang dibentuk atau diciptakan oleh penulis atau peneliti dari pembaca biasa berdasarkan kesalahan dan keganjilan tanggapan mereka, berdasarkan kompetensi


(47)

sastra mereka yang putus-putus atau berdasarkan variabel lain yang mengganggu. Pembaca yang diciptakan ini mungkin ada dalam teks atau di luar teks, dan dapat digunakan peneliti untuk meneliti peranan pembaca dalam suatu lukisan yang rasional.

Di dalam teks, terdapat dua macam pembaca yakni pembaca yang implisit dan yang eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang sebenarnya disapa oleh pengarang adalah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang diperoleh di dalam teks. Sedangkan pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.

2.3 Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi karya sastra. Efendi dkk. (1998), “Apresiasi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang


(48)

dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.”

Hal yang dikemukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut.

(5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa

(6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Pengajaran sastra memiliki tiga aspek yang menjadi tujuan pengajaran, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut memiliki perbedaan, namun ketiganya saling berkaitan. Tujuan penyajian sastra dalam dunia pendidikan adalah untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra. Karya sastra yang dijadikan sebagai bahan materi diharapkan mengandung nilai-nilai yang dapat mengembangkan kepribadian siswa dan meningkatkan kemampuan siswa.

Pembelajaran sastra adalah suatu pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia dan merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Salah satu tujuan tersebut yakni membentuk manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas.


(49)

Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan pendekatan berbasis teks. Teks yang dimaksud yaitu teks sastra dan teks nonsastra. Teks sastra terdiri atas teks naratif dan teks nonnaratif. Contoh teks naratif yakni cerita pendek dan prosa, sedangkan contoh teks nonnaratif seperti puisi.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 mengisyaratkan suatu pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan hipotesa, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan. Daryanto (2014:51).

Adapun salah satu tujuan pembelajaran sastra adalah menuntut peserta didik untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam suatu karya sastra yang diajarkan. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang diajarkan dalam suatu pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, suatu pembelajaran dapat ditunjang dengan penggunaan media dan bahan ajar yang layak. Cerpen merupakan salah satu media dan bahan ajar yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran sastra, cerpen dapat dijadikan sebagai salah satu bahan ajar. Hal tersebut dilatarbelakangi karena cerpen sangat mudah didapatkan melalui


(50)

media cetak atau media elektronik. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat tanggapan siswa terhadap penokohan, alur dan latar cerita dalam cerpen Mata yang Enak DipandangKarya Ahmad Tohari. Selanjutnya hasil penelitian tersebut diimplikasikan pada pembelajaran sastra SMA.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam hal peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan tentang tanggapan informan (siswa) terhadap cerpenMata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Analisis data di dalam penelitian ini bersifat kualitatif karena penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2010: 4). Metode penelitian deskripsi kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010: 6).

Deskripsi ini ditulis dalam bentuk narasi untuk melengkapi gambaran menyeluruh tentang apa yang terjadi dalam aktivitas atau peristiwa yang dilaporkan. Dalam melakukan deskripsi diseimbangkan dengan analisis dan interpretasi. Deskripsi yang tidak berkesudahan akan menjadi campur aduk sendiri. Tujuan analisis adalah untuk mengorganisasi deskripsi dengan cara membuatnya dapat dikendalikan. Suatu perhitungan akhir yang menarik dan mudah dibaca akan melengkapi deskripsi yang cukup untuk pembaca memahami analisis, dan analisis yang cukup, membantu pembaca memahami interpretasi dan penjelasan yang dipresentasikan (Genzuk dalam Emzir, 2010: 175).


(52)

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa kata-kata atau kalimat-kalimat yang isinya tanggapan siswa terhadap fakta-fakta cerita yaitu, tokoh, alur, latar, dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari. Buku kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang ini terbit pada Juni 2013. Buku ini merupakan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Cerita pendek karya Ahmad Tohari memiliki ciri yang khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalanganwong cilikdengan segala lika-likunya.

Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS IV SMA Negeri 7 Bandarlampung.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komunikasi yaitu cara mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data (Margono, 2010: 165). Dalam pelaksanaannya dapat dibedakan ke dalam teknik komunikasi langsung yang berupa interview dan teknik komunikasi tidak langsung yang berupa kuesioner (sistem angket). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik komunikasi yang tidak langsung (angket).

Ada 3 jenis kuesioner, yaitu (1) kuesioner tertutup, (2) kuesioner terbuka, (3) campuran. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang terbuka, yakni responden atau siswa diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban


(53)

sesuai dengan jalan pikirannya atau selera jawabannya sendiri (Subagyo, 1997: 56).

3.4 Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peneliti membuat instrumen pengumpulan dan analisis data. Sebagai alat untuk mengumpulkan data-data berupa tanggapan informan (siswa) berdasarkan fakta-fakta cerita (tokoh, alut, latar). Selain itu sebagai alat untuk menganalisis dan mendeskripsikan tanggapan informan (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang berdasarkan fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar).

2. Pengumpulan data; data yang berupa tanggapan siswa dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden (siswa). Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah mengumpulkan data mengenai tanggapan responden (siswa) terhadap cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.

3. Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah pengodean terhadap data resepsi informan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisis data.

4. Menentukan kategori-kategori data yang telah diperoleh dari resepsi siswa. 5. Penyajian data; sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Langkah ketiga yang dilakukan peneliti adalah (a) mendeskripsikan tanggapan responden (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (b) menganalisa pernyataan yang terkait dengan tokoh, alur, latar dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (c)


(54)

mendeskripsikan implikasi resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra.

6. Penarikan Kesimpulan; suatu tinjauan pada catatan-catatan di dalam sebuah kumpulan cerpen atau upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data lain. Langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah (a) menyimpulkan hasil analisis terhadap tanggapan responden (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (b) menentukan implikasi resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran.


(55)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dari resepsi siswa SMA Negeri 7 Bandarlampung terhadap unsur-unsur fakta cerita cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, peneliti menyimpulkan sebagai berikut.

1. Tokoh dalam cerpen ditanggapi oleh informan berdasarkan dimensi yang melekat pada tokoh, yaitu dimensi fisik, psikologis, dan sosiologis. Dimensi fisik kedua tokoh ditanggapi informan secara konseptual dan konkret. Dimensi psikologis tokoh ditanggapi dengan menyatakan bahwa ada prilaku yang bersifat positif dan negatif. Bentuk perilaku positif dari tokoh Mirta adalah kesabaran, namun tidak ada perilaku positif yang diresepsi siswa terhadap tokoh Tarsa. Perilaku negatif Mirta yang diresepsi siswa adalah penggunaan bahasa yang kurang baik serta pasrah, sedangkan pada tokoh Tarsa prilaku negatif yang diresepsi siswa adalah egois dan pamrih. Dimensi sosiologis ditanggapi informan dengan menyatakan bahwa kedua tokoh kurang mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

2. Alur pada cerpen ditanggapi secara positif dan negatif oleh informan. Informan cendrung menyatakan bahwa alurnya sangat bagus dan dramatis sehingga mampu membuat pembaca tertarik, namun ada pula resepsi informan yang menyatakan alur kurang menarik.


(56)

3. Latar tempat ditanggapi dengan mudah oleh informan, tidak ada kesulitan yang mendasar dalam menganalisis. Latar waktu informan mampu mengidentifikasi dan menganalisis dengan baik dan beragam. Terakhir pada latar sosial, informan belum paham dan mampu menyebutkan latar sosial dalam cerpen secara jelas.

4. Cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dapat dijadikan alternatif bahan ajar dalam pembelajaran apresiasi sastra prosa khususnya menginterpretasi teks cerpen, selain itu resepsi siswa terhadap cerpen tersebut juga dapat digunakan sebagai pintu masuk tentang kajian resepsi di sekolah.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan resepsi siswa terhadap cerpen tersebut peneliti memberikan saran :

1. Untuk guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan untuk menggunakan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta hasil penelitian ini sebagai bahan ajar sekaligus referensi yang mendukung dalam pembelajaran.

2. Bagi peneliti yang berminat di bidang kajian yang sama selain mengkaji fakta-fakta cerita hendaknya mencoba mengkaji tema dan sarana-sarana cerita dengan menggunakan subjek penelitian yang berbeda, sehingga lebih memberikan warna yang berbeda terhadap penelitian resepsi sastra.


(57)

Adi, Ida Rochani. 2011.Fiksi Populer (Teori dan Metode Kajian). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Efendi dkk. 1998.Materi Pokok Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka

Emzir. 2010.Metodologi Penelitian Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers Esten, Mursal. 1980.Apresiasi Sastra. Padang: Angkasa

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998.Teori Sastra Abad Kedua Puluh.Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Junus, Umar. 1985.Resepsi Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Lubis, Mochtar. 1997.Sastra dan Tekniknya.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Luxemburg, Jan Van. dkk. 1986.Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta: PT Gramedia Margono. 2010.Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri

Abadi

Moleong, Lexy J. 2010.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Rosdakarya

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Rusyana, Yus. 1982.Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius Semi, Atar.Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Stanton, Robert. 2007.Teori Fiksi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Subagyo, Joko. 1997.Metode Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta


(58)

Indonesia.Bandung: Pionir Jaya

Suroso. dkk. 2009. Kritik Sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Yogyakarta: Elmatera-Publishing

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh Dalam Cerpen Indonesia (Kajian Sosio-Psikosastra terhadap Cerpen Agus Noor dan Joni A.). Bandar Lampung: Universitas Lampung

Tarigan, Henry Guntur. 2011.Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.Bandung: Angkasa T. Segers, Rien. 1978.Evaluasi Teks Sastra.terjemahkan oleh Suminto A. Sayuti.

2000.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Tyson, Lois. Critical Theory Today: A User-friendly Guide. Edisi Kedua. New York: Routledge, 2006.

Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung


(1)

41 sesuai dengan jalan pikirannya atau selera jawabannya sendiri (Subagyo, 1997: 56).

3.4 Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peneliti membuat instrumen pengumpulan dan analisis data. Sebagai alat untuk mengumpulkan data-data berupa tanggapan informan (siswa) berdasarkan fakta-fakta cerita (tokoh, alut, latar). Selain itu sebagai alat untuk menganalisis dan mendeskripsikan tanggapan informan (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang berdasarkan fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar).

2. Pengumpulan data; data yang berupa tanggapan siswa dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden (siswa). Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah mengumpulkan data mengenai tanggapan responden (siswa) terhadap cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.

3. Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah pengodean terhadap data resepsi informan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisis data.

4. Menentukan kategori-kategori data yang telah diperoleh dari resepsi siswa. 5. Penyajian data; sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Langkah ketiga yang dilakukan peneliti adalah (a) mendeskripsikan tanggapan responden (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (b) menganalisa pernyataan yang terkait dengan tokoh, alur, latar dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (c)


(2)

42 mendeskripsikan implikasi resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra.

6. Penarikan Kesimpulan; suatu tinjauan pada catatan-catatan di dalam sebuah kumpulan cerpen atau upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data lain. Langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah (a) menyimpulkan hasil analisis terhadap tanggapan responden (siswa) terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, (b) menentukan implikasi resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran.


(3)

✂66

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dari resepsi siswa SMA Negeri 7 Bandarlampung terhadap unsur-unsur fakta cerita cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, peneliti menyimpulkan sebagai berikut.

1. Tokoh dalam cerpen ditanggapi oleh informan berdasarkan dimensi yang melekat pada tokoh, yaitu dimensi fisik, psikologis, dan sosiologis. Dimensi fisik kedua tokoh ditanggapi informan secara konseptual dan konkret. Dimensi psikologis tokoh ditanggapi dengan menyatakan bahwa ada prilaku yang bersifat positif dan negatif. Bentuk perilaku positif dari tokoh Mirta adalah kesabaran, namun tidak ada perilaku positif yang diresepsi siswa terhadap tokoh Tarsa. Perilaku negatif Mirta yang diresepsi siswa adalah penggunaan bahasa yang kurang baik serta pasrah, sedangkan pada tokoh Tarsa prilaku negatif yang diresepsi siswa adalah egois dan pamrih. Dimensi sosiologis ditanggapi informan dengan menyatakan bahwa kedua tokoh kurang mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

2. Alur pada cerpen ditanggapi secara positif dan negatif oleh informan. Informan cendrung menyatakan bahwa alurnya sangat bagus dan dramatis sehingga mampu membuat pembaca tertarik, namun ada pula resepsi informan yang menyatakan alur kurang menarik.


(4)

✄67

3. Latar tempat ditanggapi dengan mudah oleh informan, tidak ada kesulitan yang mendasar dalam menganalisis. Latar waktu informan mampu mengidentifikasi dan menganalisis dengan baik dan beragam. Terakhir pada latar sosial, informan belum paham dan mampu menyebutkan latar sosial dalam cerpen secara jelas.

4. Cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dapat dijadikan alternatif bahan ajar dalam pembelajaran apresiasi sastra prosa khususnya menginterpretasi teks cerpen, selain itu resepsi siswa terhadap cerpen tersebut juga dapat digunakan sebagai pintu masuk tentang kajian resepsi di sekolah.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan resepsi siswa terhadap cerpen tersebut peneliti memberikan saran :

1. Untuk guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan untuk menggunakan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari serta hasil penelitian ini sebagai bahan ajar sekaligus referensi yang mendukung dalam pembelajaran.

2. Bagi peneliti yang berminat di bidang kajian yang sama selain mengkaji fakta-fakta cerita hendaknya mencoba mengkaji tema dan sarana-sarana cerita dengan menggunakan subjek penelitian yang berbeda, sehingga lebih memberikan warna yang berbeda terhadap penelitian resepsi sastra.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Ida Rochani. 2011.Fiksi Populer (Teori dan Metode Kajian). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Efendi dkk. 1998.Materi Pokok Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka

Emzir. 2010.Metodologi Penelitian Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers Esten, Mursal. 1980.Apresiasi Sastra. Padang: Angkasa

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998.Teori Sastra Abad Kedua Puluh.Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Junus, Umar. 1985.Resepsi Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Lubis, Mochtar. 1997.Sastra dan Tekniknya.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Luxemburg, Jan Van. dkk. 1986.Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta: PT Gramedia Margono. 2010.Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri

Abadi

Moleong, Lexy J. 2010.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Rosdakarya

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Rusyana, Yus. 1982.Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius Semi, Atar.Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Stanton, Robert. 2007.Teori Fiksi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Subagyo, Joko. 1997.Metode Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta


(6)

Suhendar, Pien Supinah. 1993. Pendekatan Teori-Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia.Bandung: Pionir Jaya

Suroso. dkk. 2009. Kritik Sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Yogyakarta: Elmatera-Publishing

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh Dalam Cerpen Indonesia (Kajian Sosio-Psikosastra terhadap Cerpen Agus Noor dan Joni A.). Bandar Lampung: Universitas Lampung

Tarigan, Henry Guntur. 2011.Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.Bandung: Angkasa T. Segers, Rien. 1978.Evaluasi Teks Sastra.terjemahkan oleh Suminto A. Sayuti.

2000.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Tyson, Lois. Critical Theory Today: A User-friendly Guide. Edisi Kedua. New York: Routledge, 2006.

Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung