Ronngeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA “suatu tinjauan objektif”

(1)

DI SMA

“SUATU TINJAUAN OBJEKTIF”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh:

Tri Mutia Rahmah NIM 1111013000046

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembalajaran Sastra di SMA “Suatu Tinjauan Objektif”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan objektif sastra. Pendekatan objektif analisis ini menitikberatkan pada kebudayaan dan kepercayaan masyarakat terhadap ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai kajian penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk meliputi: 1) fungsi ronggeng sebagai kesenian, meliputi: fungsi upacara ritual, hiburan, dan pertunjukan. 2) syarat-syarat menjadi ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang meliputi: masuknya indang arwah Ki Secamenggala, upacara pemandian di depan makam Ki Secamenggala, dan upacara bukak-klambu. 3) fungsi penari ronggeng di kebudayaan Banyumas, meliputi: penari, penghibur, dan pembawa keberkahan. 4) pandangan masyarakat terhadap ronggeng, dalam masyarakat Dukuh Paruk, ronggeng dianggap sebagai milik umum, pembawa keberkahan, dan simbol Dukuh Paruk. Namun, di luar masyarakat Dukuh Paruk ronggeng dianggap sebagai penghibur, pelacur, dan sundal. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat digunakan sebagai materi agar peserta didik dapat membangun karakter, kritis, menghargai dan menghormati sesama manusia, bertanggung jawab dan dapat memahami serta menyikapi nilai budaya dan nilai moral yang disampaikan dengan jelas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.


(6)

ii

ABSTRACT

TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng in Banyumas Culture, in

Ronggeng Dukuh Paruk of a Novel by Ahmad Tohari and The Implication of Literature Learning in Senior High School “Objective Observation”, Faculty of Science a Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

The purpose of this study is to describe ronggeng in Banyumas culture in the novel Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari which is expected to be used as a learning material in school. Qualitative descriptive method is used in this research with literature objective approach. An analytical objective approach in this research concern on the culture and believe of the people toward ronggeng in the novel Ronggeng Dukuh Paruk. Based on the research, it is concluded that ronggeng in Banyumas culture, covered in the novel includes: 1) ronggeng function as art, i.e. ritual tradition, entertainment, and shows. 2) requirement to become Ronggeng, i.e. indang arwah (possession of) Ki Secamenggala, bathing ceremony in front of Ki Secamenggala grave, and bukak-klambu ceremony. 3) cultural function, i.e. as dancer, entertainer, and blessing bringer. 4) The people in Dukuh Paruk see the ronggeng as their own, a blessing bringer, and a symbol of their culture. But, people outside Dukuh Paruk seen the ronggeng as an entertainer, whore and prostitute. In Indonesian language and literature learning, this novel can be used as a learning material, so that student could built their character, critical thinking, respect among people, and able to understand the cultural and moral values described in the novel.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel

Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Sastra di SMA ’Suatu Tinjauan Objektif’”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

2. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dona Aji Karunia P., M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., Dosen Pembimbing Skripsi atas motivasi, nasihat, dan arahannya dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. Nuryani, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.

7. Mama (Kundari) dan Ayah (Ustama) atas limpahan kasih sayang yang tiada henti, kesabaran yang tak berbatas, kepercayaan, dan motivasi serta doa yang selalu menjadi sumber kekuatan penulis untuk fokus menyelesaikan skripsi ini. Saudara-saudara tercinta, Nurlita Adhitama,


(8)

iv

Reza Nur Rahman dan Widya Septyani atas motivasi yang telah diberikan.

8. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2011, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini.

9. Yayah Fauziah, Sari Satriyati, Ai Suaibah, Indah Wardah, Devi Aristiyani, dan Selviana Dewi, sahabat dan teman perjuangan yang selalu memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.

10.Accounting Genks: Ilyus Alfaqih, Davit Tarmizi, Fiki Fadilah, Ribut Setiawan, M. Fahrul Rozi, Mulyaningsih, Kristiana, dan Kinanti, sahabat yang selalu menyemangati hingga terselesaikan penelitian ini. 11.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang ikut

terlibat selama saya menyelesaikan proses penelitian skripsi ini.

Semoga kalian yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan partisipasi kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt, Aamiin.

Jakarta, 15 September 2015


(9)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 5

C.Batasan Masalah ... 5

D.Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G.Metode Penelitian ... 7

1. Objek Penelitian ... 7

2. Sumber Data ... 7

3. Metode dan Pendekatan Penulisan ... 8

4. Teknik Pengumpulan Data ... 10

5. Teknik Analisis Data ... 10

6. Teknik Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Hakikat Novel ... 12


(10)

vi

2. Jenis-Jenis Novel ... 13

3. Unsur-Unsur Pembangun Novel ... 14

B. Hakikat Penari Ronggeng ... 23

1. Hakikat Penari ... 23

2. Hakikat Ronggeng ... 26

a. Definisi Ronggeng ... 26

b. Proses Menjadi Ronggeng... 28

c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng ... 30

C. Kebudayaan Jawa-Banyumas ... 30

D. Hakikat Pembelajaran Sastra... 33

E. Penelitian Relevan ... 36

BAB III TINJAUAN NOVEL ... 39

A. Biografi Ahmad Tohari ... 39

B. Pandangan Pengarang ... 40

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 43

A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk ... 43

1. Tema ... 43

2. Tokoh dan Penokohan ... 44

3. Alur/Plot ... 63

4. Latar ... 73

5. Sudut Pandang ... 80

6. Bahasa dan Gaya Bahasa ... 82

7. Amanat ... 84

B. Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas ... 85

1. Fungsi Ronggeng Sebagai Kesenian ... 86

2. Syarat-Syarat Menjadi Ronggeng ... 89

3. Fungsi Ronggeng di Masyarakat ... 92

4. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng ... 96


(11)

vii

BAB V PENUTUP ... 104

A. Simpulan ... 104

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

1

Kehidupan yang dituangkan dalam karya sastra mencakup hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungan, hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan dirinya, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun demikian, sastra tetap dianggap sebagai sebuah khayalan atau imajinasi dari kenyataan. Sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekadar tiruan kenyataan, melainkan kenyataan yang ditafsirkan oleh pengarang dari kehidupan yang ada di sekitarnya. Jadi, karya sastra adalah pengejewantahan kehidupan hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan di sekitarnya. Sastra bisa dikatakan kenyataan yang ditambah dengan proses imajinasi atau hasil daya imajinasi yang disesuaikan dengan kenyataan.

Karya sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang bersifat imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif, sastra berfungsi sebagai bahan bacaan yang menyenangkan, di dalamnya sarat dengan nilai sosial, nilai budaya, religi, dan filsafat. Nilai-nilai tersebut bermanfaat untuk menambah kekayaan batin bagi permasalahan manusia. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang yang dituangkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi sebuah cerita yang mengandung makna. Makna yang terkandung dapat memberikan pelajaran kepada pembaca akan nilai sosial, budaya, religi, dan filsafat. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan.

Karya sastra pun tidak lahir dalam situasi yang kekosongan kebudayaan. Hal ini karena, pengarang merupakan bagian dari masyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai masalah dan konflik. Oleh sebab itu, suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tidak terlepas dari realita dalam suatu masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang bukan


(13)

hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada ide atau gagasan, pengalaman, dan amanat serta nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pengarang berharap segala ide atau gagasan yang dituangkan dalam karya sastranya dapat menjadi sebuah masukan sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai kehidupan dan mampu menginterpretasikannya dalam kehidupan nyata. Setiap karya sastra yang diciptakan pengarang memiliki misinya masing-masing. Salah satunya adalah mengemas kebudayaan menjadi sebuah karya yang berbeda agar diketahui oleh semua pembacanya dan memberikan pengalaman pengarang mengenai kebudayaan yang didapatkan oleh pengarang dari lingkungannya.

Kebudayaan merupakan sebuah refleksi kebiasaan dari tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Informasi-informasi yang diperoleh disertai dengan pengalaman, kemudian dibentuk dalam sebuah kehidupan fiksi berbentuk novel, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur serta membawa unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra tersebut. Melalui tokoh-tokoh dan beragam rangkaian cerita, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan atau diamanatkan. Pengarang berusaha agar pembaca mampu memperoleh nilai-nilai tersebut dan bisa merefleksikannya dalam kehidupan.

Nilai-nilai yang terdapat dalam sastra di antaranya nilai budaya. Dari sebuah novel dapat diketahui nilai budaya yang ada dalam masyarakat tertentu, baik budaya yang bersifat positif maupun budaya yang bersifat negatif. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural.1 Selain itu, nilai budaya juga dapat dilihat dari seni budaya daerah tersebut, misalnya tarian dan penarinya. Tarian dalam suatu daerah memiliki nilai tersendiri, baik itu nilai moral, agama, maupun nilai pendidikan. Dalam

1

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 13.


(14)

hal ini, sebuah tarian yang dibawakan oleh penari mewakili kebudayaan tersebut, baik itu tari untuk upacara maupun tari untuk hiburan. Setiap tarian yang dibawakan oleh tiap daerah memiliki daya tarik dan ciri khas masing-masing. Ciri khas tari dalam tiap daerah memberikan nilai lebih bagi seni budaya daerah tersebut.

Sebagai salah satu contoh adalah kebudayaan Jawa yang digambarkan dalam karya sastra yaitu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini menggambarkan tentang kebudayaan Jawa yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia. Salah satu cara suatu masyarakat mencapai taraf hidupnya banyak sekali, dengan upacara-upacara keagamaan, bahasa yang dilestarikan ataupun kebiasaan-kebiasaan dari sebuah karya berupa pertunjukan. Banyak pengarang yang berasal dari budaya tertentu memasukan unsur kebudayaan ke dalam karyanya, di antaranya Ahmad Tohari yang berasal dari Banyumas yang terkenal dengan ronggeng-nya. Di dalam karya ini, pengarang mengangkat ronggeng sebagai bentuk gambaran dari kebudayaan yang menyangkut tentang upacara-upacara keagamaan, kepercayaan, bahasa yang dilestarikan, ataupun kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi ciri dari tarian daerah tersebut.

Bentuk kepekaan Ahmad Tohari terhadap lingkungan dan kebudayaannya, dituangkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam menulis karyanya, Ahmad Tohari mengajak para pembaca untuk melihat dan mengetahui lebih rinci tentang keadaan sosial, politik, budaya, bahkan agama dalam kebudayaan Jawa yaitu Banyumas. Gambaran yang ditunjukkan dalam novel ini dijelaskan melalui seorang ronggeng, seperti pandangan masyarakat terhadap dirinya, tugas dan syarat yang harus ditempuh oleh seorang ronggeng. Semuanya itu dijelaskan dengan rinci dan tidak lupa mengaitkan tentang keadaan sosial, politik, budaya bahkan religuitas masyarakat dalam novel tersebut.


(15)

Penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sebagai objek kajian. Nilai budaya dalam kebudayaan masyarakat Banyumas menjadi hal yang menarik untuk dibahas dari novel ini. Ahmad Tohari menuliskan pandangannya tentang seorang penari ronggeng dalam budaya Jawa-Banyumas yang dilukiskan melalui tokoh yang ada di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang sebuah desa bernama Dukuh Paruk. Cerita ini bermula saat Srintil berusia lima bulan, kedua orang tua beserta banyak penduduk desa lainnya meninggal dunia setelah memakan tempe bongkrek buatan orang tua Srintil. Lalu, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya, Sakarya dan Nyai Sakarya. Ketika Srintil berusia sebelas tahun, kakeknya mendapati bahwa Srintil telah dianugerahi bakat supranatural (indang) menjadi ronggeng. Srintil diresmikan sebagai ronggeng dukuh tersebut dengan tata cara tradisional. Ini berarti dia menjadi barang milik umum dan milik seluruh desa.2

Berdasarkan permasalahan tersebut, tentunya sebagai penulis, Ahmad Tohari menggambarkan seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumasan baik mengenai syarat-syarat yang harus ditempuh untuk menjadi ronggeng, tugas seorang ronggeng, fungsi tarian ronggeng serta pandangan masyarakat dalam novel tersebut terkait dengan ronggeng. Sebagai peneliti, penulis akan menjelaskan terkait dengan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan menggunakan suatu tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari. Sebagai karya yang berbicara mengenai keyakinan, budaya, dan moral, maka novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan sebuah novel yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah bertugas memberikan pelajaran moral, agama, budaya kepada peserta didikannya.

2

Tineke Hellwig, In The Shadow Of Change, Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia, (Jakarta: Desantara, 2003), h. 176-177.


(16)

Pembelajaran nilai budaya, agama dan moral bisa dilakukan dengan memberikan pembinaan melalui karya sastra. Pada hakikatnya, novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan buku yang berisi cerita yang menarik yang turut memberikan pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak, perilaku, dan kepribadian anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi yang berjudul

“Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA „Sutau Tinjauan Objektif’”.

B. Identifikasi Masalah

Di dalam penelitian ini, terdapat banyak hal yang harus diteliti yang memerlukan pengidentifikasi masalah. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

1. Belum adanya penelitian mengenai ronggeng dalam budaya Banyumas yang berdasarkan tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari.

2. Kurangnya penggambaran mengenai budaya dan masyarakat Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

3. Sulitnya menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa.

4. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra dalam pembelajaran Sastra di SMA.

5. Rendahnya pemahaman dan pengetahuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra, terutama novel.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya fokus pada ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk


(17)

objektif karya sastra, penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dalam pembelajaran sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, pembatasan, identifikasi, dan batasan masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?

2. Bagaimana implikasi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan sebagai tujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada. Sejalan dengan rumusan yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Berikut ini manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang sastra, dan juga bermanfaat dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki minat terhadap bahasa dan sastra Indonesia.


(18)

2. Manfaat Praktis

a. Mengetahui sastra dengan melihat bagaimana ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan menggunakan objektif sastra dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

b. Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran sastra Indonesia di SMA.

c. Sebagai motivasi dan referensi bagi para peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut.

G. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam skripsi ini, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan mengkaji objek pembangun karya tersebut dan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan objektif karya sastra.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa melalui perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terbitan Gramedia, Jakarta, 2012.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku serta artikel-artikel yang membahas tentang karya sastra, hakikat penari, hakikat ronggeng, kebudayaan Banyumas dan pembelajaran sastra yang diperoleh dari sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian yang disebut sebagai sumber sekunder.


(19)

3. Metode dan Pendekatan Penulisan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3 Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.4

Penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya. Metode penelitian ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Metode ini dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode lain.5 Metode deskriptif kualitatif berfokus pada penelitian secara langsung yang diamati penulis dengan data-data sebagai sumber yang diteliti. Dalam kaitan data, ini berarti sesuatu yang diberikan alam sebagai sumber pengetahuan. Bukan petunjuk keabsahan pengetahuan. Data berfungsi untuk menguji kebenaran teori.6 Metode kualitatif deskriptif melaporkan apa yang diamati penulis, laporannya berisi pengamatan berbagai kejadian dari interaksi yang diamati langsung oleh penulis dari tempat kejadian. Hal

3

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 6.

4

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 76.

5

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.5.

6

Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 22-23.


(20)

ini disebut pengamatan langsung. Karena itu, sifat kejadiannya bersifat spesifik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti. Tujuan akhir tulisan kualitatif adalah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri.7 Oleh sebab itu, metode kualitatif deskriptif merupakan metode yang digunakan dalam penenlitian ini karena dapat mengungkapkan hal-hal yang ingin peneliti kaji dalam sebuah penelitiannya. Metode ini akan memberikan gambaran mengenai kejadian atau interaksi yang sedang diamati oleh peneliti dalam sebuah penelitiannya.

Junus dalam Siswanto menyatakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti.8 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.9 Dengan demikian, pendekatan objektif merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Selain itu, pendekatan objektif juga digunakan dalam melakukan analisis terkait dengan representasi ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Peneliti akan mengulas tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dari segi objektif, acuan yang digunakan dalam analisis tersebut bertumpu pada karya sastra itu sendiri.

Dari ulasan yang dijelaskan, maka metode dan pendekatan yang digunakan sangat cocok untuk mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

7

Ibid., h. 29

8

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 183.

9

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2005), h. 73.


(21)

Tohari, yakni fungsi ronggeng, syarat menjadi ronggeng dalam kebudayaan Banyumas, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat mengenai ronggeng. Analisis ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan objektif. Hal inilah yang menjadi dasar penulis menggunakan metode kualitatif dan pendekatan objektif dalam menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini dengan cara:

a. Membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang telah dipilih.

b. Menetapkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sebagai objek penelitian dengan fokus penelitian tentang ronggeng

dalam kebudayaan Banyumas “suatu tinjauan objektif” dalam novel tersebut.

c. Membaca ulang dengan cermat untuk mencari masalah yang terkait dengan fokus penelitian.

d. Mencari dan memahami pendekatan dan teori yang cocok dengan masalah yang akan diambil.

e. Mencari bahan atau sumber yang akan dijadikan referensi untuk mendukung penelitian.

f. Melakukan analisis tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

g. Menyimpulkan hasil penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Metode Analisis Isi

Metode analisis isi menitikberatkan pada penafsiran isi pesan. Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi


(22)

adalah penfsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitaif memberikan perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi. 10

b. Metode Deskriptif Analisis

Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi.11 Metode deskriptif analitik dilakukan degan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.12 Jadi, tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta melalui data-data tersebut.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

10

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.49.

11

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44.

12


(23)

12

BAB II

LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel

1. Definisi Novel

Novel merupakan bentuk sastra yang sudah lama berkembang di Indonesia. Perkembangan novel ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis novel yang ada.1 Sedangkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

menjelaskan novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

The novel is fictitious – fiction, as we often refer to it, it depicts imaginary characters and situasions. A novel may include reference to real place, people and events.2 Novel adalah fiktif—fiksi, seperti yang sering terlihat, novel menggambarkan karakter dan situasi imajiner. Novel dapat mengacu tempat yang nyata, orang-orang dan peristiwa. Novel dihadirkan di tengah masyarakat, membentangkan segala permasalahan hidup sekaligus menawarkan pemecahan masalah dan tak lupa sebagai hiburan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam novel diharapkan dapat mengembalikan manusia pada kebenaran. Seperti yang diungkapkan oleh Chatman dalam Sofia, proses kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kode sosial budaya yang melingkupi pengarang.3

Di dalam novel, permasalahan yang dihadapi oleh pelaku sangat kompleks serta menggambarkan kehidupan pelaku sacara mendalam dan detail. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Stanton yang mengatakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial

1

Erlis Nur Mujiningsih, dkk, Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 1.

2

Jeremy Hawthorn, Studying the Novel An Introduction, (London: Great Britain, 1985), h. 1.

3


(24)

yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.4

Novel sebagai karya fiksi, merupakan sebuah cerita yang di dalamnya mengandung tujuan yang memberikan hiburan kepada para pembacanya di samping adanya tujuan estetik. Meskipun berupa khayalan, karya fiksi bukan berasal dari hasil lamunan semata, melainkan merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai sebuah karya seni.

2. Jenis-Jenis Novel

Ada beberapa jenis novel dalam karya sastra. Jenis novel mencerminkan keberagaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Burhan Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel populer dan novel serius. 5

a. Novel Populer

Kayam dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sebutan novel populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel

Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 1970-an. Sesudah itu, novel-novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai novel

“novel pop”.6

Novel populer adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel populer lebih mudah dinikmati karena bertujuan untuk memberikan hiburan dari cerita yang disampaikan dalam novel tersebut. Novel populer bersifat sementara dan cepat ketinggalan zaman. Oleh karena itu, ia lebih cepat dilupakan dengan munculnya berbagai novel populer lainnya.

4

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 90.

5

Burhan Nugiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 20.

6


(25)

b. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, untuk memahami novel serius dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan disetai dengan kemauan untuk itu. Permasalahan yang diungkapkan dalam novel serius disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Nurgiyantoro mengungkapkan “Hakikat kehidupan dapat bertahan sepanjang masa, tidak pernah zaman. Oleh karena itu, novel yang pada umumnya sastra serius tetap menarik sepanjang masa, dan

tetap menarik untuk dibicarakan.”7

Contoh novel serius adalah

Belenggu karya Armijn Pane dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

3. Unsur-Unsur Pembangun Novel

Salah satu unsur pembangun novel adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik juga dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri. 8 Soedjiono dalam Endah Tri Priyatni menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom.9 Unsur intrinsik dalam sebuah novel terdiri dari tema, alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), sudut pandang, dan amanat. Berikut ini penjelasannya.

a. Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.10 Aminudin yang dikutip oleh Siswanto mengatakan bahwa seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan,

7

Ibid., h. 21.

8

Ibid., h. 22.

9

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 109.

10


(26)

sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. 11

b. Alur (Plot)

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa pada sebuah cerita.12 Terdapat lima bagian tahapan alur menurut Tasrif.13 Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tahapan situation atau tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.

2) Tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.

3) Tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

4) Tahap climax atau tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intesitas puncak.

5) Tahap denouement atau tahap peyelesaian, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. c. Penokohan (Perwatakan)

A novelist may use a character for purposes quite other than characterization. A character may do ‘uncharacteristic’ things in order to further the plot for the author; a character may be than we learn something about him which pages of description could not give

11

Ibid., h. 161.

12

Stanton, Op. Cit, h. 26.

13


(27)

us.14 Seorang penulis dapat menggunakan karakter untuk tujuan lain,

selain untuk karakterisasi. Karakter dapat dilakukan „seperti biasanya’

berbagai hal untuk melanjutkan plot penulis; dari karakter tersebut pembaca dapat belajar sesuatu tentang penulis yang tidak dijelaskan dan diberikan kepada pembaca.

Aminuddin yang dikutip oleh Siswanto menjelaskan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya sastra disebut perwatakan. 15 Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis. Berikut penjelasannya.

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sehingga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sementara itu, permunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. 16

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai pandangan dan harapan pembaca, sedangkan tokoh antagonis tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik dengan tokoh protagonis, baik

14

Hawthorn,Op. Cit , h. 48-51.

15

Siswanto, Op. Cit, h. 142-143.

16


(28)

secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun psikis. 17

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat atau watak tertentu saja. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. 18

4) Tokoh Kompleks dan Tokoh Simpel

Berdasarkan kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh dibedakan atas tokoh simpel dan tokoh kompleks. Tokoh simpel adalah tokoh yang tidak banyak dibebani masalah, sedangkan tokoh kompleks adalah tokoh yang banyak dibebani masalah. 5) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis

Berdasarkan perkembangan watak tokoh, tokoh dibedakan atas tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang wataknya tidak mengalami perubahan mulai dari awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak.19

d. Latar (Setting)

Abrams yang dikutip oleh Siswanto mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum (generale locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.

17

Ibid., h. 261-262.

18

Ibid., h. 265-267.

19


(29)

Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi sastrawan yang telah, sedang, atau akan terjadi. Bagi pembaca, latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. 20

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik novel yang lain: tokoh, latar, suasana, tema, dan amanat. 21 Abrams dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan.22

20

Siswanto, Op. Cit, h. 151.

21

Ibid., h. 151 & 154.

22


(30)

Pembedaan sudut pandang berdasarkan pembendaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah persona kedua.

1) Sudut Pandang Persona Ketiga; “Dia” 23

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang

persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di

luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua

golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat,

mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang

diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona ketiga

“dia” adalah Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Merantau ke Deli

karya Hamka, dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”24

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut padang persona pertama, first-person point of view, “aku”, jadi:

gaya “aku” narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran

dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan,

23

Ibid., h. 347-348.

24


(31)

seerta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Kita,

pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita

hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Contoh karya fiksi

yang menggunakan sudut pandang persona pertama “aku” adalah

novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, dan cerpen

Senyum karya Nugroho Notosusanto.

3) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”25

Dalam berbagai buku teori fiksi (kesastraan) jarang ditemukan (untuk tidak dikatakan tidak pernah) pembeicaraan

tentang sudut pandang persona kedua atau gaya “kau” (second person point of view). Yang lazim disebut hanya sudut pandang persona ketiga dan pertama. Namun, secara factual, sudut pandang persona kedua tidak jarang ditemukan dalam berbagai cerita fiksi

walau hanya sekadar sebagai selingan dari gaya “dia” atau “aku”.

Artinya, dalam sebuah cerita fiksi tidak atau belum pernah ditemukan yang dari awal hingga akhir cerita yang seluruhnya menggunakan sudut pandang “kau”. Sudut pandang gaya “kau”

merupakan pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya

sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia.

Penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai

“mengoranglain-kan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita fiksi yang

disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan

atau penyebutan. Hal itu dipilih tentu juga tidak lepas dari tujuan menuturkan sesuatu dengan berbeda, yang asli, yang lain daripada yang lain sehingga terjadi kebaruan cerapan indera atau penerimaan pembaca. Intinya, untuk lebih menyegarkan cerita. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona kedua adalah Suami karya Eddy Suhendro.

25


(32)

4) Sudut Pandang Campuran26

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Kesemuanya tergantung dari kemauan dan kreativitas pengarang, bagaimana mereka memanfaatkan berbagai teknik yang ada demi tercapainya efektivitas penceritaan yang lebih, atau paling tidak untuk mencari variasi penceritaan agar memberikan kesan lain. Pemanfaatan teknik-teknik tersebut dalam sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan masing-masing teknik. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang campuran adalah Pulang karya Leila S. Chudori, dan Supernova karya Dewi Lestari.

Dalam naratologi istilah fokalisasi menunjukkan hubungan antara unsur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut. Fokus memberi jawaban terhadap pertanyaan “siapa melihat”, sedangkan pengertian point of view menjawab pertanyaan “siapa

menceritakan”. Si juru cerita tidak selalu memaparkan pandangannya sendiri. Dapat dibedakan fokalisasi zero yang menampilkan peristiwa-peristiwa tanpa menonjolkan sudut bidik tertentu, fokalisasi intern yang berpangkal pada seorang atau beberapa orang tokoh di dalam cerita sendiri, dan fokalisasi ekstern yang menampilkan peristiwa-peristiwa seperti dilihat oleh lensa kamera.27 Dengan demikian, dalam sebuah narasi pembaca dapat melihat siapa yang bercerita melalui sudut pandang, dan siapa yang melihat atau memandang dalam sebuah narasi dengan menggunakan fokalisasi.

26

Ibid., h. 359.

27

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 332.


(33)

f. Gaya Bahasa

Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih sekadar bahasa, deretan kata, namun unsur

“kelebihannya”-nya itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu komunikatif. 28

Abrams yang dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro, stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain. 29

Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang dipengaruhi juga oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang sastrawan akan menuangkan ekspresinya. Betapa pun rasa jengkel dan senangnya, jika dihubungkan dengan gaya bahasa akan semakin indah. Berarti gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. 30

Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra merupakan sarana pengarang dalam mengekspresikan dan mengungkapkan sesuatu kepada pembaca, tentu dengan gaya bahasa yang menarik untuk melukiskan ide dan ungkapan tersebut secara apik. g. Amanat

Nilai-nilai yang ada di dalam cerita bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini biasa

28

Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 364.

29

Ibid., h. 369.

30

Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), cet. 1, h. 73.


(34)

disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 31

B. Hakikat Penari Ronggeng 1. Hakikat Penari

Penari adalah alat ekspresi komunikasi koreografer dengan penonton melalui gerak tubuh. Penari mempunyai peran dan kontribusi besar dalam menciptakan keindahan bentuk tari. Sebuah koreografi didukung oleh penari berkualitas mendukung pencapaian kualitas artistik dan keindahan bentuk tari. Jacqueline Smith menegaskan bahwa penampilan penari merupakan hal penting yang mendukung penyajian karya tari. Penampilan penari yang memperkuat komposisi tari, penampilan penari dalam membawakan tari dengan penuh semangat dan sepenuh hati, menguasai teknis, mampu mewujudkan imajinasi dan isi gerak seperti kehendak koreografer, mampu berkomunikasi dengan penonton, mampu menaati gaya tari dari awal sampai akhir menari. 32

Fungsi seni pertunjukan (seni tari) dalam kehidupan manusia secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

a. Tari sebagai Sarana Upacara Ritual33

Tari upacara memiliki peranan penting dalam kegiatan adat, khususnya kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup seperti kelahiran, kedewasaan dan kematian. Tari juga digunakan untuk mempengaruhi alam lingkungan, hal ini menyangkut sistem kepercayaan masyarakat. Upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan ini erat kaitannya dengan keidupan manusia. Dalam upacara tradisioanl umumnya memiliki makna dan tujuan untuk

31

Siswanto, Op. Cit, h 162.

32

Novi Anoegrajekti, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya¸ (Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 2008), h. 186-187.

33

Frahma Sekarningsih dan Heny Rohayani, Pendidikan Seni Tari dan Drama,


(35)

menghormati, mensyukuri, memuja dan memohon keselamatan pada Tuhan.

Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan dalam upacara tradisional tumbuh dan berkembang secara turun-temurun dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan masyarakat. Umumnya peraturan ini mempunyai sanksi dalam bentuk magic-sacral. Dengan demikian upacara ini merupakan pranata sosial yang berfungsi sebagai sosial kontrol terhadap tingkah laku atau pergaulan yang berlaku di masyarakat.

Seni tari untuk keperluan ritual harus mematuhi kaidah-kaidah yang telah turun-temurun menjadi tradisi. Kaidah-kaidah tari yang berfungsi sebagai sarana upacara ritual memilki ciri-ciri khas yakni harus diselenggarakan pada hari dan saat tertentu yang kadang-kadang dianggap sakral, penarinya pun dipilih orang-orang tertentu biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual, dan adakalanya disertai berbagai sesaji di tempat-tempat tertentu. Beberapa contoh tari yang berfungsi atau digunakan sebagai upacara ritual yang dilaksanakan dalam masyarakat, yaitu:

1) Tari Bedhaya Ketawang di Jawa Tengah digunakan sebagai upacara penobatan raja dan hari ulang tahun raja.

2) Tari Seblang di Banyuwangi (Jawa Timur) digunakan sebagai upacara ritual kesuburan.

3) Tari Mapeliang dari Sulawesi sebagai tari upacara kematian. 4) Tari Seju Kajo No gawi di daerah Timor Timur dilaksanakan pada

acara pembuatan rumah.

5) Tari Makaria digunakan untuk mengiringi upacara permohonan berkat untuk semua usaha atau pun dalam acara keramaian pesta suku Tonsea Minahasa Sulawesi Utara.


(36)

6) Tari Rejang adalah tari wanita Bali yang berfungsi sebagai tari penyambutan kedatangan para dewa yang diundang untuk turun ke pura, yang kemudian disusul dengan Tari Baris.

b. Fungsi Tari sebagai Hiburan34

Seni tari sebagai saran hiburan disajikan untuk kepentingan menghibur masyarakat. Dalam hal ini seni tari digunakan dalam rangka memeriahkan suasana pesta hari perkawinan, khitanan, syukuran, peringatan hari-hari besar, nasional, dan peresmian-peresmian gedung. Seni tari dalam acara-acara tersebut sebagai ungkapan rasa senang dan bersyukur yang diharapkan akan memberikan hiburan bagi orang lain. Masyarakat yang diundang atau hadir dalam acara ini pada dasarnya mempunyai keinginan untuk menghibur diri atau rekreasi.

Tari hiburan juga disebut tari bergembira yang berfungsi sebagai media pengungkapan rasa kegembiraan. Ungkapan kegembiraan ini dapat dilakukan dengan cara menari bersama. Semua orang yang terlibat di dalamnya sebagai penari. Tari hiburan dapat dikatakan pula sebagai tari pergaulan yang lebih sering dibawakan secara berpasangan, walaupun ada kalanya yang ditarikan tidak secara berpasangan. Di bawah ini beberapa contoh tari hiburan, yaitu:

1) Tari Manjau dari Tanjungkarang-Telukbetung, sebagai tari pergaulan yang menggambarkan percintaan.

2) Tari Martomdur dari Simalungun Sumatera Utara, tari berpasangan sebagai tari hiburan muda-mudi.

3) Tari Ketuk Tilu, Bangreng, Tayub dari Jawa Barat sebagai tari pergaulan.

4) Tari Calonarang dari Bali.

5) Tari Gandrung Banyuwangi dari Jawa TImur. c. Fungsi Tari sebagai Pertunjukan35

34

Ibid., h. 11.

35


(37)

Tari pertunjukan atau disebut juga tari tontonan pelaksanaannya disajikan khusus untuk dinikmati. Tari yang berfungsi sebagai pertunjukan ini dapat diamati pada pertunjukan tari untuk kemasan pariwisata, untuk penyambutan tamu-tamu penting atau tamu pejabat, dan untuk festival seni. Pertunjukan tari yang digunakan pada acara-acara tersebut penggarapannya sudah dikemas dan dipersiapkan menjadi sebuah tari bentuk yang telah melewati suatu proses penataan, baik gerak tarinya maupun musik iringannya sesuai dengan kaidah-kaidah artistiknya. Berikut contoh tarian pertunjukan:

1) Tari Panji, tari Rumyang, tari Samba, tari Tumenggung dan tari Klana, tari Kupu Tarung, dan tari Topeng Kencana Wungu. Tari-tarian ini termasuk ke dalam rumpun tari Topeng Cirebon dan Topeng Priyangan.

2) Tari Subandra, tari Srikandi, tari Arjuna, tari Gatotkaca, tari Jayengrana, tari Gandamanah, tari Badaya, tari Srimpi dan banyak lagi yang lainnya. Kelompok tarian ini dari rumpun tari wayang. 3) Tari Merak, tari Sulintang, tari Sekarputri, tari Ratu Graeni, tari

Anjasmara, tari Kandagan, tari Kupu-Kupu, tari Topeng Koncaran, dan lain-lain. Tari-tarian ini adalah karya-karya R. Tjetje Somantri. 4) Tari Lanyepan, tari Kawitan, tari Gawil, tari Ngalana, tari

Gunungsari, Kastawa ialah rumpun tari Keurseus.

5) Tari Wayang Wong, Dramatari Arja, tari Janger, tari Pendet dan lain sebagainya adalah tari-tarian yang ada di Bali.

2. Hakikat Ronggeng a. Definisi Ronggeng

Tari-tarian Jawa dapat digolongkan di antara bentuk kesenian yang tinggi dan halus dan yang sesuai dengan watak serta suasana Jawa. Kata-kata lain yang digunakan untuk membedakan konteks, bagaimana tari-tarian Jawa dipertunjukkan: apabila beksa untuk menunjukkan koreografi klasik yang sangat distilisasi, maka kata kerja


(38)

sedikit banyak spontan. Kata benda thandak sering digunakan sebagai ekuivalen untuk kata talèdhèk atau ronggèng, yaitu perempuan penari bayaran yang berkelana bersama rombongan kecil pemain musik, bermain di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan, atau sebagai pertunjukan hiburan bagi tamu laki-laki dalam pesta tayuban.

Corak tari-tarian demikian dihubungkan dengan suasana gairah asmara, biasanya ditarikan berdua-dua oleh perempuan penari dengan laki-laki pasangannya. Tari-tarian yang dihubungkan dengan kata

thandak dan tayuban itu didasarkan kepada gerak-gerik yang termasuk tarian Jawa, tetapi diperagakan dengan sifat spontan, dan semaunya, yang tidak mungkin atau tidak diterima oleh koreografi klasik.36

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1)

ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak yaitu penari perempuan yang diiringi gamelanmeronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau

ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.37

Sebuah tarian hiburan yang ditarikan berpasangan oleh pria dan wanita dewasa. Dalam tarian ini penari wanita mengajak penonton/tamu pria untuk menari bersama dengan jalan menyerahkan selendangnya kepada salah seorang tamu. Pria yang kemudian menari bersama ronggeng tersebut disebut ngibing. Bila akan berhenti menari tamu pria tersebut harus memberikan sumbangan uang kepada penari wanita yang mengajaknya menari dan menyerahkan kembali selendangnya. Demikian terjadi berganti-ganti pasangan.38 Taledhek

36

Clara Brekel dan Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, (Jakarta: ILDEP-RUL, 1991), h. 12-15.

37

Ibid., h. 31.

38

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta, 1986), h. 41.


(39)

penari atau tari wanita pada pertunjukan tayuban , juga masih banyak di desa-desa, meskipun sudah jarang yang menjajakan tarian di pasar atau di pinggir jalan. Di beberapa daerah penari ini disebut pula

ronggeng atau tandak. Di daerah Banyumas tari jenis tayuban disebut

lengger. 39

Dalam daerah kebudayaan Bagelen, yaitu di Kedu maupun di Bagelen, para penari taledhek disebut ronggeng. Seorang penari

ronggeng sudah mulai menari sejak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak seperti itu biasanya anak gadis ketua rombongan tersebut. Menarikan tarian taledhek serta menyanyikan nyanyian anak-anak (dolanan lare). Rakyat di daerah itu menyebut penari ronggeng yang masih anak-anak itu lengger. Seorang

lengger belum tentu menjadi seorang ronggeng bila sudah menjadi dewasa, akan tetapi sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal dari

lengger.40

Sebagaimana diketahui secara luas bahwa pada umumnya kehidupan sebagai taledhek atau ronggeng diidentikan dengan kehidupan wanita sebagai pelacur, yang setiap saat menjual diri untuk kaum lelaki yang menginginkannya. Meskipun tidak semuanya demikian, namun telah menjadi pengertian umum di masyarakat, sehingga penilaian terhadap taledhek atau ronggeng menjadi turun, dan lebih jauh lagi terhadap tari yang dibawakannya.41

b. Proses Menjadi Ronggeng

Seorang penari ronggeng atau lengger ketika menari harus mempunyai indhang. Indhang adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut. Ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan

39

Soedarsono, Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa, (Yogyakarta: Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986),h. 87.

40

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 221.

41

Ben Suharto, Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia arti.line, 1999), h. 74-75.


(40)

manusiawinya. Adanya indhang dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi tradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang. Masyarakat Banyumas mayoritas memeluk agama Islam, namun tidak meninggalkan tradisi leluhur seperti ziarah ke makam yang dianggap leluhur. Mereka berdoa dan memohon kepada Tuhan agar yang meninggal dapat diampuni segala dosa-dosanya, diberikan tempat hidup yaitu surga, serta memohon sesuatu untuk dirinya. Untuk itu, mereka membawa bunga tabur (kembang) sebagai tanda bahwa bunga dapat menjadi media agar doanya dapat sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keyakinan atau kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap fenomena indhang masih tinggi terutama bagi mereka yang menggeluti seni pertunjukan atau kesenian rakyat. Tanpa kehadiran indhang

pertunjukan tersebut tidak seru, artinya kurang greget, bahkan tidak menarik untuk ditonton. Sehingga banyak kelompok seni yang berusaha untuk dapat menghadirkan indhang sebagai salah satu syarat mutlak apabila mereka mengadakan pementasan.42

Pada saat pementasan agar indhang secara cepat dapat merasuki penari, maka ritus yang harus dilaksanakan yakni menyediakan sesaji sebelum pentas, melantunkan syair tembang

khusus disebut “mantra”. Dalam beberapa waktu kemudian penari akan merasakan kekuatan yang begitu hebat merasukinya. Indhang

yang datang adalah indhang yang baik. Wajah penari seketika menjadi lebih cantik dan memiliki kekuatan yang sangat kuat. Hal ini ditunjukkan dengan cara penari menyanyi dan menari selama berjam-jam. Penari yang sudah dirasuki indhang juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit dengan cara mencium

42

Wien Pudji Priyanto, Jurnal “Representasi Indhang dalam Kesenian Lengger di Banyumas”, (Jurusan Pend. Seni Tari FBS-UNY).


(41)

keningnya. Banyak masyarakat sekitar yang anaknya sedang sakit diajak menonton agar nanti dapat disembuhkan oleh penari.43

c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng

Masyarakat Jawa pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan yaitu wong cilik (rakyat kecil) dan wong gedhe (priyayi). Hubungan kedua kelompok ini selalu dibingkai oleh budi pekerti yang khas baik melalui bahasa maupun tindakan. Hakikat hubungan masyarakat Jawa adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri sendiri. Kepentingan kolektif jauh lebih penting dibanding hanya mementingkan kebutuhan pribadi. Itulah sebabnya, kebersamaan yang diterapkan dalam tuntunan budi pekerti gotong royong atau tolong-menolong menjadi hal yang istimewa. 44

Seorang ronggeng dalam masyarakat Jawa merupakan milik kolektif, sehingga mementingkan kepentingan orang lain daripada diri sendiri menjadi tanggungan dan akibat yang harus ditanggung seorang ronggeng. Selain itu berdasarkan penggolongan yang telah dijelaskan di atas, seorang ronggeng biasanya memiliki kedudukan tinggi dalam status sosial masyarakat di daerahnya. Keberterimaan itu yang menyebabkan ronggeng dapat dengan mudah mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Tetapi, tidak jarang ronggeng dikait-kaitkan dengan pandangan negatif seperti dianggap sebagai sundal. Hal ini tentu memberikan citra negatif terhadap ronggeng.

C. Kebudayaan Jawa-Banyumas

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yang berarti

„budi’ atau „akal’. Kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan

dengan budi dan akal.” Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.

43

Ibid.

44

Suwardi Endaswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. HaninditaGraha Widya, 2003), cet.1, h. 5-6.


(42)

Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.45 Kebudayaan mempunyai tiga aspek, yaitu: kebudayaan sebagai tata kelakuan manusia, kebudayaan sebagai kelakuan manusia itu sendiri, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia.

Pada hakikatnya warna lokal itu ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik dalam struktur karya sastra, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsure pembangkitnya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup itu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti luas, yang antara lain berkomponen aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau sistem kekerabatan.46

Perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: 1) wujud ideal, 2) wujud kelakuan, dan 3) wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah 1) tingkat nilai-budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum, dan 4) tingkat aturan khusus.47

Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya menganggap kemunggalan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai cermin model bagi hubungan antara manusia dengan manusia lain di masyarakat. Bagi orang Jawa, kemunggalan berarti keteraturan, ketentraman, dan keseimbangan. Hal yang dapat diramalkan kesopanan dan keharmonisan di antara bagian-bagian, baik secara perseorangan maupun

45

Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,

(Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 9.

46

Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 69.

47


(43)

secara sosial. Untuk mencapai keharmonisan di dalam hidup, segenap keinginan, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap membahayakan keserasian sosial dan orang harus mengorbankan diri demi masyarakat dan bukannya memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Kondisi yang paling tidak disukai adalah kekacauan dan ketakharmonisan.48

Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah provinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek, dan kesenian yang unik dan menarik. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda yaitu masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan masyarakat Jawa Tengah (Surakarta dan Yogyakarta). Oleh sebab itu, pengaruh kebudayaan dan kesenian etnis yang berbeda menjadi cukup kuat terhadap masyarakat Banyumas. 49

Salah satu kesenian rakyat yang berkembang sampai saat ini di daerah Banyumas adalah tayub. Tayub pada awalnya merupakan jenis kesenian yang berfungsi sebagai upacara adat, memohon kesuburan dan sebagai bentuk rasa terimakasih atas hasil panen, namun perkembangannya sekarang berfungis sebagai seni hiburan atau tontonan. Penari wanita yang menjadi pusat dari tayuban yang dikenal dengan istilah ronggeng, taledhek (tledhek, ledhek), tandhak.

Dialek Banyumas merupakan salah satu identitas budaya Banyumas, selain kesenian tayub yang telah dijelaskan di atas. Banyak kosakata dialek Banyumasan yang berasal dari Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, Sunda Kuna, dan Sunda. Dialek Banyumasan adalah hasil kontak antarbudaya lokal yang terjadi sejak masa Majapahit akhir hingga sekarang.

Bahasa Jawa baku menampakkan fenomena feodalisasi dalam masyarakat Jawa, tidak terkecuali Banyumas. Para elite keturunan Banyumas yang mengacu kepada budaya keratin menjadi korban feodalisme bahasa Jawa baku. Di pihak lain, gejala tersebut tidak menyentuk secara intensif

48

Slamet Riyadi, dkk, Idiom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 12-13.

49

Wien Pudji Priyanto DP, “Estetika Tari Gambyong Calung dalam Kesenian Lengger Banyumas”,( Jurnal Imaji,Vol. 2, No. 2, Agustus 2004), h. 206.


(44)

masyarakat Banyumas yang hidup di daerah pedesaan. Masyarakat pedesaan Banyumas merupakan basis kehidupan dialek Banyumasan yang bersifat demokratis karena tidak megenal tingkatan atau strata bahasa. Masyarakat Banyumas amat menghargai kesepadanan di antara para penuturnya, terbuka terhadap pengaruh budaya lain, dan memiliki kebebasan dalam mengapresiasikan budaya Banyumas yang selaras dengan wataknya. Keegaliteran masyarakat Banyumas merupakan hasil didikan bahasa dialeknya selama berates-ratus tahun yang lalu. Roh keegaliteran (kesepadanan) inilah yang membedakan dialek Banyumasan dengan dialek lainnya.50

Kehidupan sosial masyarakat Banyumas masih akrab dengan foklor

yang sangat dipengaruhi oleh ajaran dinamisme-animesme dan perkembangan

islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan pencampuran sistem kepercayaan dan ajaran agama. Hal ini yang merupakan gambaran kehidupan religi masyarakat Banyumas.

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Pendididikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas hal ihwal tentang sastra. Pendidikan semacam ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya. Mereka memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung dapat memahami sendiri

50Sugeng Priyadi, “Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dalam Dialek Banyumasan”,


(45)

melalui berhadapan dan membaca langsung karya sastranya. Saat mereka membahas unsur ekstrinsik karya sastra, mereka bisa langsung berhadapan dan berbicara langsung dengan sastrawan. Mereka juga bisa langsung diajak untuk mengamati kenyataan sosial budaya yang diceritakan di dalam karya sastra. 51

Ajip Rosidi mengatakan bahwa tugas yang utama pengajar sastra adalah menanamkan, menumbuhkan dan memelihara apresiasi sastra anak didiknya. Jika ia telah berhasil membuat anak didiknya mempunyai apresiasi terhadap dan mencintai karya-karya sastra, maka untuk sebagian besar kewajibannya telah terlaksana. Kegemaran membaca tanpa pengarahan yang jelas, tanpa penumbuhan apresiasi, mungkin hanya akan menyebabkan anak didik memilih bacaan yang akan menyenangkan hatinya saja, yang memberikan hiburan belaka. Di sinilah beratnya tugas pengajar sastra. Dia harus dapat menumbuhkan apresiasi anak didiknya terhadap sastra. 52

Pembelajaran novel dalam kompetensi dasar diharuskan peserta didik memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Novel juga diharapkan dapat membantu membentuk karakter peserta didik sesuai dengan kurikulum 2013, yakni guru diharuskan menanamkan nilai-nilai karakter dalam setiap

pembelajaran di kelas. “Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang

tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.53 Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah

dijabarkan, diharapkan “pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara

utuh yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan

menunjang pembentukan watak. “ Seperti pada penjelasan berikut ini:

51

Siswanto, Op. Cit, h. 167-169.

52

L.T. Muliana, Pembinaan minat Baca, Bahasa dan Sastera: Kumpulan Karangan Ajip Rosidi. (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset Surabaya, 1983), cet. 1, h. 226-227.

53


(46)

1. Membantu Keterampilan Berbahasa

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu peserta didik berlatih keterampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis.

2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Sastra berkaitan dengan semua aspek manusia dan alam secara

keseluruhan. Setiap karya sastra menghadirkan „sesuatu’ dan kerap

menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. Pengajaran sastra, jika dilaksanakan dengan baik, dapat mengantarkan peserta didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

3. Mengembangkan Cipta dan Rasa

Dalam pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial, serta yang bersifat religius. 54 4. Menunjang Pembentukan Watak

Dalam pembelajaran sastra, ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dan mampu mengantarkan siswa untuk mengenal rangkaian kehidupan. Kedua, pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter.

Penelitian yang difokuskan pada hakikat ronggeng dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan contoh yang baik, sehingga mampu membimbing peserta didik membentuk karakter dan tingkah laku yang saling menghormati orang lain,bertanggung jawab, dan bertingkah laku baik

54


(47)

terhadap orang lain. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengaruh positif untuk membentuk peserta didik, sehingga menjadi manusia yang berkarakter.

E. Penelitian Relevan

Dalam penelitian ini, objek penelitian yang penulis pilih adalah novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini ditulis oleh seorang sastrawan yang berlatar belakang Jawa-Banyumas. Novel ini sarat akan makna dan pengetahuan tentang kehidupan seorang penari yang berlatar belakang dari daerah Jawa Banyumas. Kehidupan yang diangkat mulai dari proses untuk menjadi seorang penari, fungsi ronggeng, syarat menjadi seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat terhadap ronggeng. Untuk mendukung penelitian ini maka perlu penelitian yang relevan seperti penelitian-penelitian yang di bawah ini:

Penelitian relevan yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Inung Setyami, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta, tahun 2012. Tesis Inung Setyami berjudul “Repertoire dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perwujudan repertoire dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dijadikan background penciptaan sehingga foreground

yang dituju pengarang dapat diungkapkan. Penelitian ini menggunakan teori Repertoire Wolfgang Iser, penenlitian menggunakan keseluruhan teks yang dapat dikenali dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai objek kajian. Selanjutnya, objek kajian tersebut dikaitkan dengan segala sesuatu yang melandasi penciptaan, meliputi norma sosial, norma historis, dan keseluruhan budaya yang dimunculkandalam teks.

Penelitian yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ali Imron Al-Ma’ruf. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, tahun 2010. Penelitian ini berjudul “Kearifan


(48)

Lokal pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai Khasanah Budaya

Bangsa”. Penelitian ini mendeskripsikan tentang kearifan local (local genius)

budaya Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari melalui kajian stilistika dengan pendekatan semiotik dan interteks.

Penelitian yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitria Anggaeni, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2015. Penelitian yang dilakukan oleh Fitria

berjudul “Kajian Sosiologi dan Nilai Moral pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai moral pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Penelitian relevan yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurfaisah Martono, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UNTAN, Pontianak. Penelitian ini berujudul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Penelitian ini

mendeskripsikan tentang nilai budaya yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk melalui penelitian deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Inung Setyami, yang mengkaji tentang repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk, memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, meskipun objek yang dikaji sama, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Perbedaannya, dalam penelitian Inung memfokuskan pada repertoire dalam

Ronggeng Dukuh Paruk melalui kajian estetik Wolfgang Iser, sedangkan penelitian penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra.

Yang kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ali Imron Al Ma’ruf


(49)

karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian penulis. Perbedaan yang terjadi adalah dalam penelitian Ali lebih memfokuskan pada kearifan lokal budaya Jawa melalui kajian stilistika dengan pendekatan semiotik dan interteks, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra.

Yang ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitria Anggraeni yang meneliti tentang kajian sosiologi dan nilai moral pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian penulis. Perbedaan ini terkait tentang tema yang berbeda yakni Nur memfokuskan penelitian mengenai nilai moral dengan kajian sosiologi sastra, sedangkan penulis memfokuskan penelitian mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas melalui pendekatan objektif sastra.

Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Nurfaisah Martono, yang mengkaji tentang nilai budaya Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, meskipun objek yang dikaji sama, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Perbedaannya, dalam penelitian Nurfaisah memfokuskan pada nilai budaya Jawa dengan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan penelitian penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra.


(50)

39

BAB III TINJAUAN NOVEL A. Biografi Ahmad Tohari

Ahmad Tohari adalah seorang pengarang kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948. Pengarang ini lebih dekat dengan pengalaman hidup di desanya. Ia lebih banyak mengangkat persoalan budaya, politik, sosial, seni, dan perempuan dalam karya sastranya. Perempuan sebagai kajian tematik dalam novelnya, tidak terlepas dari kasus-kasus perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, atau pelecehan seksual.1 Pendidikan terakhir tamat SMA di Purwokerto (1962). Pernah bekerja di majalah Keluarga dan menjadi redaktur majalah Amanah di Jakarta (1986).

Cerpennya Jasa-Jasa Buat Sanwirya mendapat Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas 1975 yang diselenggarakan Radio Nederland Wereldomroep. Novelnya, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) mendapat salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman DKJ 1979, dan novelnya yang lain

Kubah (1980) dan Jantera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utaman Departemen P & K tahun 1980 dan 1986.2

Karya-karyanya banyak mendapatkan hadiah, seperti cerpennya yang berjudul “Jasa-Jasa buat Sanwirya” memenangi Hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Werelomroep (1977). Novel Di Kaki Bukit Cibalak memperoleh salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979. Novel Kubah

yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik dalam bidang fiksi tahun 1980.Novel Jantera Bianglala dinyatakan sebagai fiksi terbaik (1986), dan melalui novel Berkisar Merah, Ahmad Tohari meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995.

1

I Nyoman Yasa,Teori Sastra dan Penerapannya, (Bandung: Karya Putra, 2012), h. 137.

2

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 24-25.


(51)

Karya-karyanya mulai dipublikasikan tahun1970-an. Beberapa cerpennya dimuat di Kompas. Yang membuat semangat menulisnya menggebu-gebu adalah saat cerpennya “Jasa-Jasa buat Sanwirya”, menang dalam lomba cerpen yang diadakan oleh Radio Nederland.Setelah itu, karya-karya yang ditulisnya banyak mendapat hadiah.

Sampai sekarang Ahmad Tohari masih aktif menulis. Berkaitan dengan aktivitasnya di dunia tulis-menulis, tahun 1990 Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di Lowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan. Karya-karya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, misalnya, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah diterbitkan dalam bahasa Jepang atas biaya Toyota Ford Foundation oleh Imura Cultural Co. Ltd. Tokyo, Jepang. Selain itu, trilogi novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Novel Ronggeng Dukuh Paruk sudah diterjemahkan untuk pasar bersama Eropa.3

B. Pandangan Hidup Ahmad Tohari

Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang berlatar budaya, dengan perempuan diposisikan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya lokal di daerah tersebut. Pemposisian perempuan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya melalui peran ronggeng (penari perempuan yang dapat dikencani lelaki dalam kesenian tradisional yang ketika menari diiringi gamelan.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk dikontruksi dari tiga buah cerita yang saling terkait (trilogy).Tiga cerita yang tergabung dalam trilogi adalah 1)

Catatan Buat Emak, 2) Lintang Kemukus Dini Hari, dan 3) Jantera Bianglala.Srintil, tokoh utama, hanya menuruti perintah dukun ronggeng, Nyai Kartareja, walaupun indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan anak. Srintil digambarkan sebagai tokoh perempuan yang

3

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15-17.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIODATA PENULIS

Tri Mutia Rahmah, lahir di Jakarta pada 22 Desember 1993. Anak ketiga dari empat bersaudara ini lahir dari pasangan Ustama dan Kundari. Sejak kecil memiliki hobi membaca dan menulis. Kesehariannya diisi dengan menulis dan membaca berbagai novel. Cita-citanya ingin menjadi guru dan penulis menuntunnya untuk dapat masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi langkah awal untuk mewujudkan cita-citanya. Selain disibukan dengan kuliah di PBSI, penulis juga mulai menyalurkan cita-citanya menjadi seorang guru di Bimbingan Belajar Smartgama pada tahun 2012-2013, lalu dilanjutkan di Bimbingan Belajar Universal Pondok Aren pada tahun 2015. Selain itu, hobi menulisnya juga mulai disalurkan dalam artikel yang telah dimuat dalam Koran Sindo bagian Poros Mahasiswa. Keluarga, sahabat, dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang guru, penulis, dan anak yang dapat membanggakan bagi keluarganya.


Dokumen yang terkait

Konflik batin tokoh utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta implikasinya terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di MTS Al-Mansuriyah, Kec Pinang, Kota Tangerang

4 44 99

Ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

9 242 140

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

0 32 311

TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)

0 6 16

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

3 14 178

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastr

0 2 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 14

KONFLIK BATIN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 2 21

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

2 7 121

View of DIKSI SEKSUALITAS DALAM NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

0 0 10