ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus No. 48/Pid.Sus/2014/PN.LW)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

(Studi Kasus No. 48/Pid.Sus/2014/PN.LW)

Oleh LIA NURJANAH

Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dampak tindak pidana perkosaan ini dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis sehingga berpengaruh pada perkembangan diri korban. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan? (2) Apakah yang menjadi penghambat dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan?.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yudiris empiris, dengan menetapkan responden penelitian yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Liwa, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Lampung Barat, LSM LadA (Lembaga Advokasi Anak) Lampung dan Akademisi (Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan.

Berdasarkan hasil dan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak korban tindak pidana perkosaan meliputi : a) Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainnya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa yang dialaminya b) Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar c) Upaya memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,


(2)

mental maupun sosianya dari ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan efisien d) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatakan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan perkaranya. (2) Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan yaitu fakor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor budaya dan faktor tersebut menjadi penghambat dalam penegakkan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan.

Saran dan penelitian ini adalah : (1) Kepada aparat penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat yang intens mengenai masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan sosialisasi dalam rangka menyebarluaskan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi rendah. (2) Perlu dibentuk Unit PPA Polwan (Polisi Wanita) yang secara khusus memeriksa dan menyelidiki korban perkosaan agar korban bisa lebih terbuka dan terus terang akan dirinya yang mengalami tindak pidana perkosaan, sehingga dapat diberikan secara maksimal kepada pelaku tindak pidana perkosaan.


(3)

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

( Studi Kasus No. 48/Pid.Sus/2014/PN.LW)

Oleh LIA NURJANAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 24 Oktober 1993, penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Jamian Prawiro dan Ibu Yeti Supriyati. Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Pratama, Tanjung Karang Timur pada tahun 1998-1999.

Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar di SDN III Jagabaya I, Tanjung Karang Timur pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di MTS Negeri 2, Sukarame pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Gajah Mada , Tanjung Senang Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.

Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan Program Beasiswa Bidik Misi. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangunrejo, Kabupaten Lampung Tengah.


(8)

PERSEMBAHAN

Teriring Doa dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahamat

dan Hidayah-Nya.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Bapak dan Ibu Tercinta

Sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik,

membesarkan dan membimbing, menyayangi dengan tulus ikhlas

tanpa mengharap balasan dan senantiasa memberikan doa yang tak

pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati untuk

kebahagian dan masa depan anak-anaknya

Kepada Kakak-kakakku

Teh Ani (Alm) dan Desi

Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

Dan untuk semua teman-temanku yang telah memberikan motivasi,

saran, dan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Angkatan 2011

Universitas Lampung


(9)

MOTO

“Karena Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan”

( QS. Al Insyirah: 4

5)

“Cukup kaki yang berjalan lebih jauh dari biasanya,

tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya,

mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,

leher yang lebih sering melihat keatas,

lapisan tekad yang seribu lebih keras dari baja,

dan hati yang bekerja keras lebih dari biasanya,

serta mulut yang akan selalu berdoa”.


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan (Studi Kasus No. 48/ Pid. Sus/ 2014/ PN.LW)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih atas kebaikan dan kesabaran kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Ibu Rini Fathonah, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(11)

ini.

5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H, M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Abang Rivaldo V Sianturi, S.H, Ibu Lucia Ridayanti S.H.,M.H, Bripka Mujiono, Brigpol Supandi S.H., Bapak Turaihan Aldi dan Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah memberikan izin penelitian, dan membantu dalam penelitian serta penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima kasih. 8. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan fasilitas

selama kuliah dan penyusunan skripsi.

9. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Jamian Prawiro dan Mamaku Yeti Supriyati untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupanku.

10. Kepada kakak kandungku Ani Handayani (Alm) dan Desi Murni Sari, S. Si yang selalu memberikan keceriaan buatku dan memberi dukungan moril, semangat, serta materil yang diberikan.

11. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan motivasinya.


(12)

Desy Dwi Katrinz, S.H ,Dwi Nur Aulia, Lia Apriliana (cong) yang telah memberikan kenangan luar biasa dan indah di masa kuliah

13. Untuk teman-teman angkatan 2011, Mery, Mona, Marlina, Natalia, Dian, Nico, Syekh, Komang, Torang dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan kenangan yang luar biasa di masa kuliah serta kepada adik dan kakak tingkatku dan semua pihak yang telah membantu penulis selama penulisan skripsi ini.

14. Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN), Lisa , Lala, Irine, Kabul, Jerry, Ismail, Kiki, Janu, Jimy, Yayan, dan Desa Tanjung Jaya terima kasih untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan selama 40 hari.

15. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Perlindungan Hukum terhadap Anak ... 16

B. Anak sebagai Korban Perkosaan ... 24

C.Tindak Pidana Perkosaan... 25

D.Perlindungan Korban ... 32

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 37

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C.Penentuan Narasumber ... 39

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

E. Analisis Data ... 40

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Narasumber ... 42

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan ... 43

C.Faktor-Faktor Penghambat dalam Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan ... 66


(14)

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesatnya arus pertumbuhan globalisasi, industrialisasi dan adanya perdagangan bebas membuat banyak perubahan terhadap kondisi manusia yang juga berdampak pada berbagai pelanggaran terhadap anak di Indonesia. Bahkan sampai bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal sehat. Dinamika perkembangan masyarakat yang semakin kompleks telah memberikan iklim buruk pada pengasuhan dan perawatan anak. Berbagai eksploitasi bermotif ekonomi, tindak kekerasan, penelantaran sampai pada yang terburuk yaitu perkosaan kepada anak, semakin berkembang. Secara ideal seorang anak seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa, tetapi kenyataannya anak-anak justru mendapatkan kekerasan seksual.

Salah satu pihak yang dirugikan akibat perkosaan adalah anak-anak. Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu komitmen dan perlakuan yang memperhatikan perkembangan dan peranan anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan suatu hal yang harus dipegang oleh pemimpin negeri ini, dengan demikian, anak yang belum matang secara mental dan fisik, kebutuhannya harus dipenuhi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan yang benar bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan kejiwaannya, agar kelak anak dapat bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang tumbuh dan


(16)

berkembang menjadi anak yang dapat diharapkan sebagai penerus bangsa.1 Tindak pidana perkosaan merupakan suatu pelanggaran hak-hak asasi manusia yang paling kekal dan tidak ada suatu alasan yang dapat membenarkan tindak pidana tersebut, baik dari segi moral, susila dan agama, terutama tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang pelaku tersebut dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesuciaan, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban. Terutama terhadap korban yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti.

Pengertian anak seperti telah ditentukan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak masih dalam kandungan. Sedangkan tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melalukan perkosaan dengan hukuman paling lama dua belas tahun”.

Maksudnya perkosaan terbatas pada perkosaan yang dilakukan oleh laki dan perempuan saja yang melakukan hubungan layaknya suami istri, dan terjadi di luar perkawinan. Pengertian perkosaan diperluas lagi pada beberapa hal yaitu, bentuk-bentuk perkosaan anatara lain:

1

Gadis Arivia, Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak, Jakarta: Ford Fundation, 2005. hlm. 4.


(17)

a. Perkosaan orang yang tidak dikenal (stranger rape) b. Perkosaan orang atau pacar (date rape)

c. Perkosaan orang yang dikenal (acquaintance rape) d. Perkosaan oleh pasangan perkawinan (marital rape) e. Pelecehan seksual (sexual harassment)

f. Perkosaan oleh atasan ditempat kerja (office rape)

g. Perkosaan dalam perkawinan atau hubungan seksual sedarah (incest)2

Perlindungan hukum kepada anak-anak yang menjadi korban perkosaan pada dasarnya telah diupayakan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Artinya, setiap anak yang menjadi korban perkosaan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Hal ini sesuai dengan hakikat hukum merupakan suatu sistem kaidah, pada dasarnya merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan antar hubungan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Hukum juga dapat dilukiskan sebagai jaringan nilai-nilai kebebasan sebagai kepentingan pribadi di satu pihak dan nilai-nilai ketertiban sebagai kepentingan antar pribadi di pihak lain. Arti penting perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat antara lain adalah untuk menciptakan stabilitas, mengatur hubungan-hubungan sosial dengan cara khusus, dan menghindarkan manusia dari kekacauan di dalam segala aspek kehidupannya.3

2

Jurnal Perempuan Edisi 50, Mei 2007

3

Mardjono Reksodiputra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakkan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994. hlm.


(18)

Pada perkembangan selanjutnya upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban perkosaan dikordinasikan dan tingkatan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional, regional dan internasional, dengan strategi antara stake

holder dalam penghapusan kekerasan seksual pada anak. Pencegahan tindak

pidana perkosaan dapat ditempuh dengan strategi antara lain mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari hak-haknya dalam menentang perkosaan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban perkosaan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme perlindungan hukum dan sosial bagi yang beresiko atau menjadi korban perkosaan. Selain itu sangat penting dilakukan upaya pemulihan dan reintregasi anak-anak korban perkosaan. Caranya antara lain dengan mengutamakan pendekatan yang baik kepada anak-anak yang menjadi korban perkosaan dalam keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis terhadap anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadi korban perkosaan biasanya mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu perkembangan kejiwaan mereka.

Kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat terlepas dari berbagai hubugan timbal balik dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat di tinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari kemajemukan


(19)

kepentingan seringkali menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirnya melahirkan apa yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi kepentingan-kepetingan yang ada tersebut, maka di buat suatu aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan di ambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedangkan bagi yang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi sanksi berupa hukuman maupun penjara, kurungan atau denda. Uraian diatas menunjukkan adanya pembangunan di bidang hukum yang merespon kompleknya permasalahan-permasalahn hukum termasuk maraknya kejahatan/kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pentingnya kajian mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai hak sebagai korban perkosaan dalam memperoleh perlindungan sebagai hak-hak mereka. Beberapa bentuk perlindungan tersebut di antaraya adalah mendapatkan upaya rehabilitasi, lalu mendapatkan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa, dan pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban, serta pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Dewasa ini banyak kasus-kasus yang terjadi khususnya dalam tindak pidana perkosaan yang korbannya menimpa anak seperti di wilayah hukum Lampung Barat contohnya: Laporan polisi (No Reg : LP/01/I/2014/POLDA LPG/RES LAMBAR/SKTP tanggal 17 Januari 2014. Bahwa ROHADUN BIN MAMAN pada hari Rabu tanggal 25 Desember 2013 sekitar jam 09.00 WIB atau setidaknya


(20)

pada waktu lain di Pekon Bumi Hantatai, Kec. Bandar Negeri Suoh, Kab. Lampung Barat, yang masih dalam wilayah hukum pengadilan Negeri Lampung Barat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yang dengan sengaja melakukan tindak pidana perkosaan yang dilakukan selama 10 bulan lebih dan terakhir 25 Desember 2013 sekitar jam 08.00 WIB telah terjadi tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur di Pekon Bumi Hantatai, Kec. Bandar Negeri Suoh, Kab. Lampung Barat, yang dilakukan tersangka ROHADUN yang berusia 27 tahun dan korbannya MAWAR yang berumur 16 tahun.

Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu tanggal 25 Desember 2013 pukul 08.00 WIB, pelaku ROHADUN mengirimi pesan singkat (SMS) ke nomor handphone saksi LINDA (teman korban MAWAR) yang isinya meminta LINDA menyampaikan ke MAWAR untuk ketemuan dengan ROHADUN di kebun kopi yang tidak jauh dari rumah korban kemudian sekira jam 09.00 WIB, LINDA mengantarkan MAWAR untuk bertemu dengan ROHADUN selanjutnya setelah MAWAR dan ROHADUN bertemu LINDA meninggalkan mereka berdua dan MAWAR dan ROHADUN duduk dan mengobrol di kebun kopi tersebut.

Kemudian ROHADUN mengajak MAWAR untuk melakukan bersetubuh layaknya suami istri dengan cara memaksa dan MAWAR menolaknya dan selanjutnya ROHADUN merayu MAWAR akan bertnggungjawab menikahi MAWAR setelah lulus sekolah.

Terdakwa ROHADUN dinyatakan telah bersalah melakukan tindak pidana yaitu “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk


(21)

melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Upaya perlindungan hukum untuk anak korban tindak pidana perkosaan didalam kasus ini bukan suatu hal yang dapat dianggap sebagai masalah kecil dan tidak penting. Masalah ini sangat penting karena korban perkosaan adalah anak dibawah umur, anak dibawah umur masih dalam pengasuhan orang tua, anak sebagai tunas bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari segala tindakan yang dapat merugikan. Perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat respresif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, dan kemamfaatan dan kedamaian.4

Perlindungan hukum untuk anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan, secara hukum masih dalam perlindungan pemerintah dan masyarakat. Perlindungan bagi anak korban perkosaan ini harus dilakukan secara perlahan karena anak yang mengalami tindak pidana perkosaan memiliki trauma apa yang terjadi atas dirinya. Disinilah aparat hukum dan pemerintah memberikan pelayanan perlindungan terhadap korban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4

Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2007) Hlm. 8.


(22)

Perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik oleh Lembaga Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif maupun oleh Lembaga-Lembaga Sosial yang ada. Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi, pada dasarnya merupakan bagian dari integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan (Studi Kasus No. 48/ Pid.Sus/ 2014/ PN.LW).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan ?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah dibatasi pada perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan. Ruang


(23)

lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2014 dengan wilayah penelitian yaitu wilayah hukum Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tujuan penulis ini adalah:

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat upaya perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan.

2. Kegunaan penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapakan berguna dalam memperkaya wawasan hukum pidana, dengan kajian tentang perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perkosaan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perkosaan sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(24)

D. Kerangka Teoritis dan Koseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.

Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan tindak pidana perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 64 Ayat (3) yang dasarnya memuat tentang segaala upaya yang diberikan pemerintah dalam hal melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam suatu lembaga maupaun di luar lembaga. b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan terhadap saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosialnya;


(25)

d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya.

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, yang berhadapan dengan hukum, anak kelompok dari minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran

Secara lebih terperinci menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dengan hukum dan anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.

b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus


(26)

demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkain kegiatan itu harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh ahlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan negara.

Permasalahan mengenai faktor penghambat upaya perlindungan hukum maka dapat menggunakan teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan hukum dalam penegakan hukum adalah sebagai berikut5:

a. Faktor Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung perlindungan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

e. Faktor Kebudayaan.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum dalam perlindungan hukum, serta juga merupakan alat tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut diatas sangat tepat digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi penegkan hukum alam perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.

5

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Bandung: Rajawali,1983. hlm. 6 .


(27)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian6. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Analisis adalah upaya penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan sebenarnya.7

b. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.8

c. Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak asasi manusia.9

d. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh sutau tindak pidana sedangkan anak adalah aset bangsa dan sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan kesehjahteraan harus dijamin.10

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

6

Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum. Jakarta: Renika Cipta, 1986. hlm. 103.

7

Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, 1991 hlm. 13.

8

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT Refika Aditama, 2010. hlm. 33.

9

Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom.Urgensi Perlindungan Hukum korban kejahatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 200. hlm 3.

10

Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: PT Refika Aditama, 2001. hlm. 38.


(28)

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku.11

f. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.12

g. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.13

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini disajikan dalam beberapa bab sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangaka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang pengetahuan ilmiah ysng berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas sebagai dasar argumentasi pembahasan, dengan menggunakan refrensi yang sahih dan terbaru, baik berupa buku-buku literatur, majalah, koran, tesis, jurnal, dan lain sebagainya.

11

Moeljatno, Perbuatan Hukum dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1993. hlm. 54

12

Ibid. hlm. 40.

13

Pasal 1 Ayat (2) Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak


(29)

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan Data serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan laporan rinci pelaksanaan kegiatan penelitian kegiatan dalam mencapai hasil berikut hasil-hasil kajiannya, juga menampilkan analisis keterkaitan antara kajian pustaka dengan fakta-fakta empirik atau bahan hukum yang telah diperoleh dalam upaya pengambilan kesimpulan.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan dari hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dari penulisan skripsi ini.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum terhadap Anak

1. Pengertian Perlindungan Hukum terhadap Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan tanpa diskriminasi (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 2).

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan perlantaran.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarkat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan


(31)

kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang cerdas, berani, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhak yang baik dan menjunjung nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu: a. Nondiskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Upaya dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

2. Hak dan Kewajiban Anak

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak sebagai berikut:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).


(32)

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdsan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2)].

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasaannya sesuai minat dan bakatnya, Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan yang luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus [Pasal 9 Ayat (1) dan (2)]. g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memamfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi, dan berkreasi sesuai


(33)

dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).

i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

j. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman [Pasal 13 Ayat (1) dan (2)]. k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan ituadalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

l. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelatihan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan ( Pasal 15).

m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukuman yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir [Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3)].


(34)

n. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk menapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan [Pasal 17 Ayat (1) dan (2)].

o. Setiap anak yang menjafi korban atau pelaku tindak pidan berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

p. Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga; masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air; bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).

3. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald, teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalulintas, kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukm memiliki ortoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.14

14


(35)

Menurut Satijipto, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak hak diberikan oleh hukum.15

Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif .16 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan dalam untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.17 Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas, dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto seacara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.

15

Ibid, hlm. 54.

16

Pjillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. hlm. 2.

17

Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat


(36)

Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal, karena realitas di Indonesia menunjukkan hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan. Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan. Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari perkosaan dapat dibedakan menjadi:

1. Dampak secara fisik 2. Dampak secara mental

3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial

Usaha dalam perlindungan terhadap anak dari tindak pidana perkosaan tersebut terkandung didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Melarang orang melakukan perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang terkandung didalam Pasal 81 Ayat (1).

b. Melarang orang melakukan perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara apapun, misalnya dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan menipu dan sebagainya dengan maksud agar anak dapat dilakukan pencabulan yang diatur dalam Pasal 82.

c. Melarang orang melakukan perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara apapun misalnya membujuk, merayu, menipu, serta mengiming-imingi anak untuk di ajak bersetubuh yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (2).


(37)

d. Melarang atau memperdagangkan anak atau mengeksploitasi anak agar dapat menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain di atur dalam Pasal 88.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 64 Ayat (3) yang dasarnya memuat tentang segaala upaya yang diberikan pemerintah dalam hal melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun luar lembaga;

b. Upaya perlindungan dari identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial;

d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya.

Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus di upayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dimasa yang akan datang. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memamfaatkan anak-anak sebagai tempat kejahatannya.


(38)

B. Anak Sebagai Korban Perkosaan

Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 287 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 Angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 5 Angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuka anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 Ayat (1) yang menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, Menurut Pasal tersebut diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan sebagai anak.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai


(39)

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Kovensi PBB tentang Hak-Hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

C. Tindak Pidana Perkosaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah hukum pidana yaitu Strafbaar feit yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana atau perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (Wirjono Prodjodikoro, 1989:55).

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia melakukan kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya.18

18

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001. hlm. 14.


(40)

Jenis-jenis tindak piadana menurut Andi Hamzah dibedakan atas dasar-dasar tertentu antara lain:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimut dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” bukan hanya merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(Formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 tentang pencurian. Tindak pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang , contohnya diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP. d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif


(41)

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak pidana positif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224, Pasal 304 dan Pasal 552 KUHP. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.19

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, tindak pidana formil dan materil, tindak pidana sengaja dan tidak sengaja, serta tindak pidana aktif dan pasif.

2. Pengertian Perkosaan

Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional, dan hal-hal yang sangat menakutkan pada korban, perkosaan adalah suatu proses hubungan intim layaknya seperti suami istri yang tidak dikehendaki diluar perkawinan, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan baik fisik maupun mental. Perbuatan perkosaan itu merupakan perbuatan yang tidak baik karena:

19


(42)

a. Bertentangan dengan moral dan nilai agama. b. Membuat perempuan sakit,

c. Melanggar hak asasi manusia.

Perkosaan salah satu dari tindak pidana seksual, jika ditinjau dari bentuk perkosaan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perkosaan orang yang tidak dikenal (stranger tape) b. Perkosaan oleh teman kencan atau pacar (date rape) c. Perkosaaan orang yang dikenal (acquaintance rape) d. Perkosaan oleh pasangan perkawinan (marital rape) e. Pelecehan seksual (sexual harassment)

f. Perkosaan oleh atasan ditempat kerja (office rape)

g. Perkosaaan perkawinan atau hubungan seksual sedarah (incest)20

Perkembangan yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini muncul banyak penyimpangan khususnya perkosaan seperti bentuk pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam perkosaan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari perkosaan sebagai berikut:

a. Perbuatan tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin dalam vagina), akan tetapi juga:

1. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.

2. Memasukkan sesuatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita

b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun diluar kehendak atau persetujuan korban.

20


(43)

c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya atau pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (diluar kehendaknaya), tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuan, karena dibawah ancaman, karena kekeliruan atau kesesatan atau penipuan atau karena dibawah umur.21

Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumya di atur dalam Pasal 285 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ternyata hanya mempunyai unsur-unsur objektif, masing-masing yakni:

1. “Barangsiapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan.

2. “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” artinya melakukan kekuatan badan, dalam Pasal 89 KUHP disamakan dengan menggunakan kekerasan membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

3. “Memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia” yang

artinya wanita bukan istrinya mendapatkan pemaksaan bersetubuh diluar ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki.

Perkosaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 Ayat (1) dan (2) yang menyebutkan:

21


(44)

a. Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak dengan melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Unsur-unsur perkosaan jika diperhatiakan pada Pasal 81 Ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut:

a. Setiap orang, yang berarti subyek atau pelaku.

b. Dengan sengaja, berarti mengandung unsur kesengajaan (dolus).

c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang berarti dalam prosesnya diperlukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.

d. Memaksa anak melakukan persetubuhannya dengan orang lain, yang berarti ada sutau pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh dengan anak (korban).

e. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak dengan melakukan persetubuhannya dengannya atau dengan orang lan, yang berarti bahwa perbutan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk dan lain sebagainya untuk menyetubuhi korbannya.

Jenis-jenis perkosaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sadistic rape

Perkosaan Sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati


(45)

kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban.

b. Angea rape

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan persaan geram dan marah yang tertahan.

c. Dononation rape

Yakni suatu perkosaan yang terjadi seketikaa pelaku mencoba untuk gigih, atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.

d. Seduktive rape

Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang meragsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenjanggan. Pelaku pada umumya mempunyai keyakianan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

e. Victim Precipitatied rape

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnnya.

f. Exploitation rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yng diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.22

22

Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika Aditama, 2001. hlm. 6.


(46)

D. Perlindungan Korban

Upaya memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan yang diberikan oleh negara, baik fisik maupun psikis. Jaminan perlindungan terhadap warga negara yang diberikan oleh negara khususnya dalam bidang hukum diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.

Kedudukan saksi dan korban dalam tindak pidana berkaitan dengan peranan serta hak dan kewajiban saksi dan korban dalam terjadinya kejahatan sebagai tindak pidana. Namun sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi dasar diperhatikannya kedudukan saksi danatau korban dalam tindak pidana sebagai berikut:

a. Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan setiap warganya melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan sendiri.

b. Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak saksi dan korban. c. Adanya perbedaan jiwa, tujuan, mamfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin


(47)

d. Adanya kekurangan dalam usaha saksi dan/atau korban baik karena kurangnya penyuluhan maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindak pidana dengan sengaja oleh masyarakat.

e. Adanya peningkatan kejahatan internasional yang juga menimbulkan saksi dan/atau korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya.

f. Adanya pencerminan dan pencurahan perhatian yang mencegah terjadinya saksi dan korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana.

g. Kurangnya perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam perkara pidana, hal itu antara lain dirasakan dalam proses peradilan penyelesaian masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat saksi dan korban yang sedikit banyak bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tindak pidana bersama-sama tidak berhadapan secara langsung atau bersama-sama lain. Melainkan saksi dan korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi kepentingan umum/penguasa. Saksi dan/atau korban tidak mempunyai arti lagi karena diabstrakan. Hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai saksi jika diperlukan dan sebagai alat bukti.

h. Masih berlakunya pandangan, bahwa saksi dan/atau korban ingin mendapatkan atau menuntut penggantian kerugian ialah harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama bagi saksi korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk


(48)

kelanjutan hidupnya dengan segera, ketentuan ini adalah sangat merugikan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.23

Pasal 37 Undang-Undang Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga saksi dan korban tidak memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan tungkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan dipidana denda paling sedikit empat puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus juta rupiah. (2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban dipidana penjara tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah.

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah.

23


(49)

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

b. Ikut serta dalam memilih dan menentukkan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

c. Memberi keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pernyataan yang menjerat.

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. i. Mendapat identitas baru.

j. Mendapat tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud Pada Ayat (1) diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada prinsipnya melindungi saksi dan korban,


(50)

perlindungan terhadap korban kejahatan dibutuhkan banyak keterlibatan para pihak, para pihak disini dapat juga institusi pemerintah yang memang ditugaskan sebagai suatu lembaga yang menangani korban kejahatan, dapat juga masyarakat luas, khususnya ketertiban masyarakat disini adalah peran serta untuk turut membantu pemulihan dan memberikan rasa aman bagi korban di mana korban bertempat tinggal.


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yudiris normatif dan yudiris empiris. Pendekatan Yudiris Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan Yudiris Empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada khususnya dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perkosaan anak.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data primer dan data sekunder antara lain:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa responden.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis,


(52)

konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Berikut ini bahan-bahan yang berkenaan dengan kasus yang akan dibahas dalam penelitian dan merupakan data sekunder antara lain:

1. Bahan Hukum Primer

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

c) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan Korban

e) Berbagai sumber hukum primer lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan kan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder hukum yang terdiri dari:


(53)

a) Literatur b) Kamus

c) Internet, surat kabar dan lain-lain.24

C. Penentuan Narasumber

Adapun responden dalam penelitian ini adalah: a) Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa b) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Liwa

c) Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Kriminal Kepolisian Lampung Barat

d) Direktur Eksekutif LSM LadA ( Lembaga Advokasi Anak) Lampung

e) Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jumlah

1 orang 1 orang

1 orang

1 orang 1 orang+

5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan adalah dlakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah, dan litertur hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan

24


(54)

mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengelolaan Data

Tahapan pengelolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Seleksi data, yaitu kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi data, yaitu kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Sistematisasi, yaitu kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interprestasi data.

E. Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskritif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan


(55)

menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang kemudian disimpulakan secara umum.


(56)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak korban tindak pidana perkosaan meliputi : a) Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainnya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa yang dialaminya b) Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut, diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar c) Upaya memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosianya dari ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan efisien d) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatakan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan perkaranya.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan sebagai berikut : Faktor hukumnya


(57)

sendiri, karena selama ini belum ada suatu aturan yang memberikan secara khusus kepada korban tindak pidana perkosaan sehingga banyak ketidakadilan yang dialami oleh korban tindak pidana perkosaan yang masih anak; Faktor penegak hukum, sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum saat ini masih kurang, kurangnya pemahaman mengenai aturan hukum yang mengatur perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, samapai saat ini fasilitas yang diberikan kepada anak sebagai korban tindak pidana perkosaan sangat terbatas didaerah Lampung Barat sehingga membuat aparat kepolisian untuk memberikan perlindungan sementara terhadap korban kejahatan tidak terealisasikan; Faktor masyarakat, masyarakat kurang berpartisipasi dalam memberikan laporan kepada penegak hukum apabila terjadi kejahatan tindak pidana perkosaan sehingga perlindungan yang diberikan tidak maksimal; Faktor kebudayaan, perkembangan budaya masa kini dikalangan remaja sering kali berpakaian minim yang mengundang niat pelaku yang dapat menimbulkan tindak pidana perkosaan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Kepada aparat penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat intens mengenai masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan sosialisasi dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan, dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah mengenai pentingnya perlindungan hukum kepada anak. Hal ini


(58)

penting dilakukan agar masyarakat luas mengetahui adanya perlindungan hukum kepada anak dan mereka mengetahui langkah-langkah apa yang semestinya dilakukan ketika anak-anak mereka sebagai korban tindak pidana. 2. Perlu dibentuk Unit Polwan (Polisi Wanita) yang secara khusus memeriksa

atau menyelidiki korban perkosaan agar korban bisa lebih terbuka dan berterus terang akan dirinya yang mengalami tindak pidana perkosaan, sehingga pidana dapat diberikan secara maksimal kepada pelaku tindak pidana.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta.

Alfons, Maria. 2010. Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas

Produk-produk Masyarakat dalam Presfektif Hak Kekayaan Intelektual, Universitas

Brawijaya, Malang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.

Elisatris, Gultom dan Dikdik M. Arief Mansur.2008. Urgensi Perlindungan

Hukum Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Gultom, Maidim. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak, PT Refika Aditama. Bandung.

Gosita, Arif. 2011. Masalah Korban Kejahatan, Pressindo. Jakarta

Hadjon, Pjillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya.

Hamzah, Andi.2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Irsan, Koesparmono. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum

Pidana. Bina Aksara. Jakarta.

Raharjo, Satijipto. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat

Kejahatan dan Penegakkan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat

Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.


(60)

Cipta. Jakarta.

Sudarto. 1984, Himpuan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Wahid, Abdul dan Irfan, Muhamad. 2001. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung.

Buku :

Berkas Perkara Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung Resort Lampung Barat No. Berkas Perkara : BP/051/2014/Reskrim.

A.PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan Korban

B. INTERNET

http://www.kpa.go.id.artikel.peran negara dalam perlindungan anak.html. Diakses 21 Oktober 2014

www.mediaaindo.com

http://www.google.co.id/search http://ejournal.unsrat.ac.id


(1)

menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang kemudian disimpulakan secara umum.


(2)

70

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak korban tindak pidana perkosaan meliputi : a) Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainnya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa yang dialaminya b) Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut, diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar c) Upaya memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosianya dari ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan efisien d) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatakan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan perkaranya.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana perkosaan sebagai berikut : Faktor hukumnya


(3)

sendiri, karena selama ini belum ada suatu aturan yang memberikan secara khusus kepada korban tindak pidana perkosaan sehingga banyak ketidakadilan yang dialami oleh korban tindak pidana perkosaan yang masih anak; Faktor penegak hukum, sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum saat ini masih kurang, kurangnya pemahaman mengenai aturan hukum yang mengatur perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, samapai saat ini fasilitas yang diberikan kepada anak sebagai korban tindak pidana perkosaan sangat terbatas didaerah Lampung Barat sehingga membuat aparat kepolisian untuk memberikan perlindungan sementara terhadap korban kejahatan tidak terealisasikan; Faktor masyarakat, masyarakat kurang berpartisipasi dalam memberikan laporan kepada penegak hukum apabila terjadi kejahatan tindak pidana perkosaan sehingga perlindungan yang diberikan tidak maksimal; Faktor kebudayaan, perkembangan budaya masa kini dikalangan remaja sering kali berpakaian minim yang mengundang niat pelaku yang dapat menimbulkan tindak pidana perkosaan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Kepada aparat penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat intens mengenai masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan sosialisasi dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan, dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah mengenai pentingnya perlindungan hukum kepada anak. Hal ini


(4)

72

penting dilakukan agar masyarakat luas mengetahui adanya perlindungan hukum kepada anak dan mereka mengetahui langkah-langkah apa yang semestinya dilakukan ketika anak-anak mereka sebagai korban tindak pidana. 2. Perlu dibentuk Unit Polwan (Polisi Wanita) yang secara khusus memeriksa

atau menyelidiki korban perkosaan agar korban bisa lebih terbuka dan berterus terang akan dirinya yang mengalami tindak pidana perkosaan, sehingga pidana dapat diberikan secara maksimal kepada pelaku tindak pidana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta.

Alfons, Maria. 2010. Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat dalam Presfektif Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.

Elisatris, Gultom dan Dikdik M. Arief Mansur.2008. Urgensi Perlindungan Hukum Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Gultom, Maidim. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak, PT Refika Aditama. Bandung.

Gosita, Arif. 2011. Masalah Korban Kejahatan, Pressindo. Jakarta

Hadjon, Pjillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya.

Hamzah, Andi.2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Irsan, Koesparmono. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.

Raharjo, Satijipto. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakkan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.


(6)

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Renika Cipta. Jakarta. ---. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Renika

Cipta. Jakarta.

Sudarto. 1984, Himpuan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Wahid, Abdul dan Irfan, Muhamad. 2001. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung.

Buku :

Berkas Perkara Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung Resort Lampung Barat No. Berkas Perkara : BP/051/2014/Reskrim.

A.PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan Korban

B. INTERNET

http://www.kpa.go.id.artikel.peran negara dalam perlindungan anak.html. Diakses 21 Oktober 2014

www.mediaaindo.com

http://www.google.co.id/search http://ejournal.unsrat.ac.id