Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar

BAB II PENGELOLAAN KASUS

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar

Eliminasi 2.1 Sistem tubuh yang berperan dalam Eliminasi fekal Eliminasi produk sisa yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada system gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya. Telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar, karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal. Robinson dan Weigley dalam fundamental keperawatan,2006. Organ saluran pencernaan dibagi menjadi dua bagian , yaitu: organ saluran gastrointestinal bagian atas dan organ saluran gastrointestinal bagian bawah. 2.1.1 Saluran gastrointestinal bagian atas a. Mulut Mulut merupakan jalan masuk yang dilalui makanan pertama kali untuk sistem pencernaan. Rongga mulut dilengkapi dengan alat pencernaan gigi dan lidah serta kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan. Secara umum, mulut terdiri dari 2 bagian atas bagian luar vestibula yaitu ruang diantara gusi , gigi, bibir, dan pipi, dan rongga mulut bagian dalam yaitu rongga yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum, dan mandibularis di sebelah belakang dan bersambung dengan faring. Palatum terdiri atas palatum durum palatum keras yang tersusun atas tajuk – tajuk palatum dari sebelah depan tulang maksilaris, serta terdiri atas jaringan fibrosa dan selaput lender. Di rongga mulut, makanan yang masuk akan dicerna secara mekanik dengan cara dicabik dan dikunyah, serta secara kimiawi melalui peran dari enzim di saliva. b. Faring Faring merupakan organ yang menghubungkan ronggan mulut dengan esophagus. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil amandel. Di sini juga terletak persimpangan antara jalan napas dan makanan, letaknya Universitas Sumatera Utara dielakang rongga mulut, didepan ruas tulang belakang. Ke atas bagian depan berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tarwoto dan Wartonah, 2010 . c. Esophagus Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui sfingter esophagus bagian atas, yang merupakan otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks bergerak ke belakang kembali ke tenggorok. Bolus makanan menelusuri esofagus yang panjangnya kira-kira 25 cm. Makanan didorong oleh gerakan peristaltik lambat yang dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esofagus berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah atau di depan bolus berkontraksi. Kontraksi-relaksasi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya. Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esofagus dan mencapai sfingter esofagus bagian bawah. Sfingter esofagus bagian bawah terletak diantara esofagus dan lambung. Potter dan dan Perry. 2006 . d. Lambung Lambug merupakan organ pencernaan yang paling fleksibel karena dapat menampung makanan sebanyak 1-2 liter. Fungsi utama dari lambung adalah menyimpan makanan yang sudah bercampur dengan cairan yang dihasilkan lambung getah lambung . Makanan akan masuk kedalam lambung dari esofagus melalui otot berbentuk cincin yang disebut dengan sfingter. Sfingter ini dapat membuka dan menutup dan berfungsi mencegah masuknya kembali isi lambung kedalam esofagus. Sebelum makanan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semi cair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorbsi dari pada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak di pecah menjadi kimus. Tarwoto dan Wartonah, 2010 . Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Saluran gastrointestinal bagian bawah a. Usus halus Selama proses pencernaan normal, kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2,5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim – enzim pencernaan saat berjalan melalui usus halus. Segmentasi kontraksi dan relaksasi otot halus secara bergantian mengaduk kimus, memecah makanan lebih lanjut untuk dicern. Pada saat kimus bercmpur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorbs kimus berjalan perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorbs. Enzim di dalam usus halus memecah lemak, protein dan karbohidrat menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hamper seluruhnya diabsorbsi oleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorbsi vitamin-vitamin tertentu, zat besi dan garam empedu. Apabila fungsi ileum terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Potter dan dan Perry. 2006 . b. Usus besar Kolon merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Ia memiliki panjang 1,5 meter dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar dibagi menjadi 3 daerah, yaitu: kolon asenden, kolon tranversum dan kolon desenden. c. Rectum Rectum meupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses akan ditampung terlebih dahulu pada baggian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang, maka otot sfingter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Tarwoto dan Wartonah, 2010 . 2.2 Proses defekasi Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air besar atau proses pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus Universitas Sumatera Utara yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Dolam proses defekasi terjadi dua macam refleks yaitu : a. Refleks defekasi intrinsiks Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus, secara sistematis spinter interna relaksasi maka terjadilah defekasi. b. Refleks defekasi parasimpatis Feses yang masuk ke rectum akan merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltik, relaksasi spinter internal, maka terjadilah defekasi. Dorongan usus juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma, dan kontraksi oto elevator. Defekasi dipermudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Tarwoto dan Wartonah,2006. 2.3 Pola Defekasi Waktu defekasi dan jumlah feses sangatlah bersifat individual. Orang dalam keadaan normal, frekuensi buang air besar 1 kali sehari. Tetapi ada pula yang buang air besar 3-4 kali seminggu. Ada yang buang air besar setelah sarapan pagi, ada pula yang malam hari. Pola defekasi individu juga bergantung pada bowel training yang dilakukan pada masa kanak-kanak. Umumnya, jumah feses bergantung pada jumah intake makanan. Namun secara khusus, jumlah feses sangat bergantung pada kandungan serat dan cairan pada makanan yang dimakan. Pola defekasi akan berubah karena adanya konstipasi. Kondisi ini berpengaruh terhadap konsistensi dan frekuensi buang air besar. Asmadi, 2008 . 2.4 Faktor – faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal, diantara nya dibawah ini: Universitas Sumatera Utara Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Faktor yang Meningkatkan Eliminasi Faktor yang Merusak Eliminasi Lingkungan yang bebas stress Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi Diet tinggi serat Asupan cairan normal jus buah, cairan hangat Olahraga berjalan Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok Diberikan laksatif dan katartik secara tepat Stress emosional ansietas atau depresi Gagal mencetuskan refleks defekasi, kurang waktu atau kurang privasi. Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat Asupan cairan berkurang Imobilitas atau tidak aktif Tidak mampu jongkok akibat imobilitas, usia lanjut, deformitas musculoskeletal, nyeri, dan nyeri selama defekasi. Penggunaan analgetik narkotik, antibiotic, dan anastesi umum, serta penggunaan katartik yang berlebihan. 1. Usia Perubahan dalam tahapan perkembangan yang mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Lueckenotte, 1994 dalam Fundamental Keperawatan,2006. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memili gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Beberapa perubahan pada saluran GI yang berlangsung seiring dengan proses penuaan, tertera dalam table dibawah ini. Perubahan Normal pada Saluran GI akibat Proses Penuaan Bagian saluran GI Perubahan penyebab Esophagus Motlitas menurun, khususnya pada sepertiga bagia esophagus Degenerasi sel-sel saraf Universitas Sumatera Utara bawah Lambung Penurunan dalam sekresi asam Degenerasi mukosa lambung Media lambung yang bersifat basa menyebabkan malabsorbsi zat besi. Kehilangan sel-sel parietal menyebabkan hilangnya factor intrinsic, yang dibutuhkan untuk absorbs vitamin B 12 , walaupun enzim pencernaan menurun, sisa enzim yang tersedia cukup untuk proses pencernaan. Usus halus Sel – sel pegabsorbsi lebih sedikit Asorbsi tidak dipengaruhi secara signifikan Usus besar Peristltik menurun Peristaltic berkurang Sensasi saraf lebih tumpul Peningkatan kantung-kantung pada dinding usus yang melemah disebut divertikulosis. Konstipasi Sinyal defekasi hilang Hati Ukuran berkurang Kapasitas penyimpanan dan kemampuan untuk mensintesis protein berkurang. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak lagi mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan Universitas Sumatera Utara proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase. Pengososngan esophagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dibagian epigaster abdomen. Lansia juga kehilangan tonus tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingtera anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi. Potter dan Perry,2006. 2. Diet Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang di konsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltik dan menimbulkan refleks defekasi. Makanan – makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi : a. Buah-buahan mentah apel,jeruk, dll. b. Buah-buahan yang diolah prum c. Sayur-sayuran bayam, kangkung, kubis d. Sayur-sayuran mentah seledri, mentimun e. Gandum utuh sereal,roti Makanan yang menghasilkan gas, seperti : bawang,kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltik. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic,tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer. 3. Asupan Cairan Asupan cairan yang tidak adekuaat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan seperti muntah mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang Universitas Sumatera Utara dewasa harus minum 6 – 8 gelas 1400-2000 ml cairan setiap hari. Minuman yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltik. 4. Aktifitas Fisik Aktivitas dapat memengaruhi proses defekasi karena melalui aktifitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi, sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan memudahkan dalam membantu proses kelancaran proses defekasi. 5. Faktor psikologis Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respon stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efeknya yaitu dapat menyebabkan diare dan distensi gas. 6. Pengobatan Obat-obat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia. Laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Walaupun sama, kerja laksatif lebih ringan dari pada katartik. Apabila digunkan dengan benar, laksatif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun penggunaan katartik dalam waktu jangka yang lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh aksatif.penggunaan laksatif yang berlebihan juga menyebabkan diare berat yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. 7. Gaya hidup Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air besar, dan kebiasaan menahan buang air besar. 8. Penyakit Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi, biasanya penyakit- penyakit yang berhubungan langsung dengan sistem pencernaan, seperti gastroenteristis atau penyakit infeksi lainnya. Universitas Sumatera Utara 9. Nyeri Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tdak menimbulkan nyeri. Pengalaman nyeri waktu buang air besar seperti adanya hemoroid, fraktur ospubis, epesiotomi akan mengurangi keinginan untuk buang air besar. 10. Kerusakan sensori dan motoris Kerusakan pada system sensori dan motoris dapat memengaruhi proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensori dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atau kerusakan saraf lainnya. Potter dan Perry,2006. 2.5 Masalah defekasi Masalah yang umum pada defekasi antara lain : konstipasi, diare, hemoroid, impaksi, inkontinensia, flatulen. Yang akan dibahas disini adalah konstipasi. Konstipsi adalah gangguan eliminasi yang diakibatkan oleh pngeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Biasanya disebabkan oleh pola defekasi yang tidak teratur, penggunaan laksatif yang lama, stress psikologi, obat-obatan, kurang aktivitas, dan usia. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses di absorbsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rectum. Penyebab umum konstipasi yaitu: 1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat menyebabkan konstipasi. 2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk lemak hewani mis: daging, telur dan karbohidrat sering mengalami masalah konstipasi. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltic. 3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olah raga yang teratur menyebabkan konstipasi. Universitas Sumatera Utara 4. Pemakaian laksatif yang berat menyebabkan hilangnya refleks defekasi normal. 5. Obat penenang, zat besi, diuretik, antacid dalam kalsium atau aluminium dapat menyebabkan konstipasi. 6. Lansia mengalami perlambatan peristaltik, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat. 7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI, seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan diverticulitis. Potter dan Perry,2006. Proses keperawatan eliminasi fekal: konstipasi 1. Pengkajian Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen, menginspeksi karakteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang berhubungan. a. Riwayat Keperawatan Riwayat keperawatan memfasilitasi peninjauan ulang pola dan kebiasaan defekasi klien. Gambaran yang klien katakana sebagai “normal” atau atau “tidak normal” mungkin berbeda dari faktor dan kondisi yang cenderung meningkatkan eliminasi normal. 1. Pola defekasi : Frekuensi, pernah berubah 2. Perilaku defekasi : Penggunaan laksatif, cara memperthankan pola 3. Deskripsi feses :Warna, bau, dan tekstur 4. Diet : Makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan, makanan yang dihindari, dan pola makanan yang teratur atau tidak. 5. Cairan : Jumlah dan jenis minuman per hari 6. Aktivitas : kegiatan yang sehari – hari 7. Kegiatan yang spesifik 8. Penggunaan medikasi : obat – obatan yag memengaruhi defekasi Universitas Sumatera Utara 9. Stress: stress berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi atau bagaimana menerima. 10. Pembedahan penyakit menetap tarwoto dan wartonah,2006 b. Pemeriksaan fisik Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eliminasi. 1. Mulut Pengkajian meliputi inspeksi gigi, lidah, dan gusi klien. Gigi yang buruk atau struktur gigi yang buruk mempengaruhi kemampuan mengunyah. 2. Abdomen Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup memeriksa adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh drah vena, stoma dan lesi. Dalam kondisi normal, gelombang peristaltik yang terlihat dapat merupakan tanda adanya obstruksi usus. Distensi abdomen terlihat sebagai suatu tonjolan abdomen ke arah luar yang menyeluruh. Gas di dalam usus, tumor berukuran besar, atau cairan di dalam rongga peritoneum dapat menyebabkan distensi. Distensi abdomen terasa kencang dan kulit tampak tegang, seakan di regangkan. Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk mengkaji bising usus di setiap kuadran. Bising usus normal tejadi setiap 5 – 15 detik dan berlangsng selama setelah sampai beberapa detik. Sambil mengauskultasi, perawat memperhatikan karakter dan frekuensi bising usus. Peningkatan nada hentakan pada bising usus atau bunyi “tinkling” bunyi gemerincing dapat terdengar, jika terjadi distensi. Tidak adanya bising usus atau bising usus yang hipoaktif bising usus kurang dari lima kali per menit terjadi jika klien menderita ileus paralitik, seperti yang terjadi pada klien setelah menjalani pembedahan abdomen. Universitas Sumatera Utara Bsing usus yang bernada tinggi dan hiperaktif bising usus 35 kali atau lebih permenit terjadi pada obstruksi usus dan gangguan inflamasi. Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri tekan. Penting bagi klien untuk rileks. Ketegangan otot-otot abdomen mengganggu hasil palpasi organ atau masa yang berada di bawah abdomen tersebut. Perkusi mendeteksi lesi, cairan atau gas di dalam abdomen. Pemahaman tentang lima bunyi perkusi juga memungkinkan identifikasi struktur abdominal yang berada dibawah abdomen. Gas atau flatulen menghasilkan bunyi timpani. Masa, tumor, dan cairan menghasilkan bunyi tumpu dalam perkusi. 3. Rectum Perawat menginspeksi daerah di sekitar anus untuk melihat adannya lesi, perubahan warna, inflamasi, dan hemoroid. Kelainan harus dicatat dengan cermat. Untuk memeriksa rectum, perawat melakukan palpasi dengan hati-hati. Perawat harus mempalpasi semua sisi dinding rectum klien dengan metode tertentu untuk mengetahui adanya nodul atau tekstur yang tidak teratur. Mukosa rectum normalnya lunak dan halus. Mendorong jari telunjuk yang terlalu jauh dapat menyebabkan ketidak nyamanan. c. Keadaan feses Menginspeksi karakteristik feses, memberikan informasi tentang sifat perubahan eliminasi. Setiap karakteristik feses dapat dipengaruhi oleh beberapa factor. Kunci dalam melakukan pengkajian ialah mengetahui apakah ada perubahan tebaru yang terjadi. Klien adalah orang yang paling tepat untuk ditanyai tentang hal ini. Karakteristik Feses Karakteristik Normal Abnormal Penyebab Abnormal Warna Bayi: kuning,orang Putih atau warna tanah liat. Hitam atau warna ter melena Kurangnya kadar empedu, perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan Universitas Sumatera Utara Bau Konsistensi Bentuk Unsur-unsur dewasa : coklat Bau menyengat, dipengaruhi oleh makanan. Lunak dan berbentuk Menyerupai diameter rectum Makanan yang tidak dicerna, bakteri mati, lemak, pigmen empedu, mukosa usus, air. Merah Pucat mengandung lemak Amis dan perubahan bau. Cair Padat Kecil, berbentuk pensil Darah, bus, materi asing, lendir, cacing. saluran cerna bagia bawah Malabsorbsi lemak Darah didalam feses dan infeksi. Diare, penurunan absorbsi.Konstipasi. Obstruksi dan peristaltik yang cepat. Internal bleeding, infeksi, tertelan benda, iritasi, atau inflamasi. Aziz Alimul,2006 d. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk mempelajari masalah eliminasi. Analisa kandungan feses di laboratorium dapat mendeteksi kondisi patologis seperti tumor, perdarahan, dan infeksi. Spesiemen feses. Perawat bertanggung jawab secara langsung untuk memastikan bahwa spesimen diambil dengan akurat, diberi label dengan benar Universitas Sumatera Utara pada wadah yang tepat, dan dikirim ke laboratorium tepat waktu. Institusi menyediakan wadah khusus untuk tempat spesimen feses. Beberapa pemeriksaan memerlukan penempatan spesimen didalam pengawetan kimia. Pemeiksaan diagnostik meliputi kolonoskopi, endoskop fiberoptik, rontgen dengan kontras. 2. Diagnosa keperawatan Gangguan eliminasi bowel: konstipasi. 2.1 Kemungkinan berhubungan dengan : a. Kelemahan otot abdomen b. Eliminasi atau defekasi tidak adekuat misalnya, tepat waktu, posisi saat defekasi c. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur d. Imobilisasi e. Menurunnya aktifitas fisik. f. Stress g. Kurang privasi h. Menurunnya mobilitas intestinal i. Perubahan atau pembatasan diet 2.2 Kemungkinan data yang ditemukan a. Menurunnya bising usus b. Mual c. Nyeri abdomen d. Perasaan penuh atau tekanan pada rectum e. Nyeri saat defekasi f. Kelelahan umum g. Adanya masa pada abdomen bagian kiri bawah h. Perubahan konsistensi feses, frekuensi buang air besar 2.3 Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada : a. Anemia b. Hipotirodisme c. Dialysis ginjal d. Pembedahan abdomen Universitas Sumatera Utara e. Paralisis f. Ceder spinal cord g. Imobilisasi yang lama 2.4 Tujuan yang diharapkan a. Pasien kembali ke pola normal dari fungsi fekal b. Terjadi perubahan pola hidup untuk menurunkan factor penyebab konstipasi. Gangguan eliminasi bowel: konstipasi di tandai dengan 3. Perencanaan Rencana keperawatan harus menetapkan tujuan dan criteria hasil dengan menggabungkan kebiasaan atau rutinits eliminasi klien sebanyak mungkin. Apabila kebiasaan menyebbkn masalah eliminasi, perawat membantu klien untuk mempelajari pola eliminasi yang baru. Pola defekasi bervariasi pada setiap individu. Karena alasan ini, perawat dan klien harus banyak bekerja sama untuk merencanaka intervensi yang efektif. Apabila klien tidak mampu melakukan suatu fungsi atau aktivitas, atau mengalami kelemahan akibat penyakit, sangat penting melibatkan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan. Seringkali anggota keluarga memiliki kebiasaan eliminasi yang sama tidak efektifnya dengan klien. Dengan demikian, penyuluhan kepada klien dan keluarga merupakan bagian dari rencana asuhan yang sangat penting. Potter dan Perry,2006. Tujuan perawatan klien dengan masalah eliminasi meliputi hal – hal berikut : 1. Memahami arti dari eliminasi normal. 2. Mempertahankan asupan makanan dan minuman cukup 3. Membantu latihan secara teratur 4. Mempertahankan kebiasaan defekasi secara teratur 5. Mempertahankan defekasi secara normal 6. Mencegah gangguan integritas kulit. Universitas Sumatera Utara

B. Asuhan Keperawatan Dasar

Dokumen yang terkait

Asuhan Keperawatan dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi pada Klien TB Paru di Kelurahan Harjosari Kecamatan Medan Amplas

0 137 42

asuhan keperawatan Asuhan Keperawatan pada Ny. A dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Jln. Bajak II H Kel. Harjosari II Kec. Medan Amplas Kota Medan

0 29 56

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 3 36

Asuhan Keperawatan dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi pada Klien TB Paru di Kelurahan Harjosari Kecamatan Medan Amplas

0 0 6

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 0 6

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 0 2

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 0 2

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 0 1

Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di Lingkungan V Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas

0 0 10

BAB II PENGELOLAAN KASUS A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar Eliminasi - Asuhan Keperawatan Pada Ny.S dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di di Lingkungan III Harjosari Kec. Medan Amplas

0 0 28