65
aktif. Hal itu pula di dukung oleh teori menurut Coughlin 2002;6 yang mengatakan bahwa pendekatan yang berpusat pada anak merupakan sebuah program tahap demi tahap yang
didasarkan pada keyakinan bahwa anak akan bertumbuh dengan baik jika mereka dilibatkan secara alamiah.
2
Dengan demikian, kebaktian SM seharusnya dapat melibatkan anak secara aktif didalamnya.
4.1.2 Perbedaan Model Pembelajaran
Selain adanya persamaan dalam menerapkan model pembelajaran, terdapat pula perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi : 1 perbedaan tahap-tahapstrategi dalam proses
pembelajaran, 2 perbedaan metode yang digunakan. 1.
Strategi Pembelajaran Untuk mendukung pendekatan yang berpusat pada anak, maka Sekolah Minggu
harusnya memiliki pola pendidikan yang terencana. Menurut Wina Senjaya 2008 yang menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan.
3
Itu berarti suatu tindakan terencana yang dipersiapkan sebelumnya. Jika kita kaitkan
pendapat Wina Senjaya dengan hasil wawancara yang penulis lakukan, maka dapat kita katakan bahwa para pengajar baik di GPIB maupun di GSJA sudah melakukan
perencanaan sebelum masuk dalam proses pembelajaran di kelas. Perencanaan itu disusun dalam persiapan baik persiapan bersama-sama maupun persiapan individu.
Perencanaan yang dilakukan bersama-sama tentunya lebih mempermudah pengajar dalam mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam acara Sekolah Minggu
dibanding dengan persiapan individu. Karena dalam persiapan bersama, pengajar dapat saling share atau membagi pengalaman dan pengetahuan untuk menciptakan suatu suasana
2
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,203-204.
3
http:pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran.htm Senin 23 Agustus Pukul 14:47 WIB
66
pembelajaran yang lebih efektif. Dari hasil wawancara dan observasi partisipan, penulis melihat bahwa para pengajar di SM GPIB Tamansari diwajibkan mengikuti persiapan
bersama meskipun tidak didampingi oleh majelis ataupun Pendeta. Menurut I. H. Enklaar dan E.G. Homrighausen, Tiap-tiap rencana memerlukan persiapan yang baik. Pekerjaan
menyusun dan mengarang rencana itu tidak gampang, sehingga dibutuhkan kerja sama dari beberapa orang yang ahli dibidangnya, misalnya dalam hal ini pendeta atau majelis
jemaat. Pendeta ataupun Majelis dalam hal ini akan sangat membantu para pengajar dalam mendampingi para pengajar agar dapat mempersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan
pemahaman dan ajaran Gereja. Jika kita mengkaitkan pendapat I. H. Enklaar dan E.G. Homrighausen dengan kenyataan yang ditemukan dalam penelitian, maka kita dapat
mengatakan bahwa para pengajar di GPIB Tamansari secara umum telah melakukan persiapan mengajar yang melibatkan kerja sama. Namun hal ini tentunya belum cukup,
kerja sama yang dimaksud I. H. Enklaar dan E.G. Homrighausen, kerja sama yang melibatkan salah satunya ahli teologi atau pendetamajelis yang benar-benar memahami
ajaran Gereja. Sehingga persiapan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Apalagi jika kita cermati para pengajar di GPIB Tamansari lebih banyak mahasiswa yang mengajar
hanya karena tuntutan praktek PPL. Hal inilah yang seharusnya lebih diperhatikan oleh Gereja, agar kualitas pendidikan untuk anak dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Usaha untuk pengadaan pembinaan bagi para calon maupun pengajar serta pendampingan dalam persiapan tentunya sangat dibutuhkan agar para pengajar memiliki
bekal serta arahan yang mampu menumbuhkan sikap kepedulian serta ketulusan dalam melayani anak-anak yang dipercayakan kepadanya, tanpa ada unsur kewajiban yang
berasal dari luar pribadi pengajar.
67
Berbeda dengan strategi yang dirancang oleh para pengajar di GSJA. Dimana kesibukan lain seperti pekerjaan dan tugas sebagai mahasiswa yang dijalani oleh pengajar
membuat para pengajar tidak mengadakan perencanaan secara bersama-sama. Padahal hal itu akan sangat membantu para pengajar untuk dapat saling share atau berbagi pengalaman
untuk menciptakan suatu ide-ide baru dalam merancang suatu rencana pembelajaran yang menarik. Seperti yang dikemukakan oleh I. H. Enklaar bahwa pekerjaan menyusun dan
mengarang rencana itu tidak gampang, sehingga dibutuhkan kerja sama dari beberapa orang yang ahli dibidangnya, misalnya dalam hal ini pendeta atau majelis.
4
Hal itu dilakukan karena majelis maupun pendeta memiliki pemahaman yang mendalam mengenai doktrin atau ajaran
Gereja. Untuk itu, kerja sama yang dimaksudkan oleh Enklaar semata-mata bertujuan agar para pengajar mendapat arahan dan pendampingan untuk mempersiapkan segala sesuatunya
sesuai dengan ajaran Gereja, sehingga melalui SM anak dapat mengenal Gereja yang ia tempati serta kualitas pembelajaran akan Firman dapat disampaikan lebih diperdalam lagi.
Namun persiapan individu tetap harus dilakukan agar pengajar dapat mempersiapkan Firman akan disampaikan serta aktivitas apa yang sesuai dengan usia anak pada kelas-kelas
tertentu. Menurut Dien Sumiyatiningsih, ada lima tahap dalam rencana strategi
pembelajaran yaitu memulai pelajaran, presentasi materi, pendalaman materi, tanggapan kreatif respon kreatif dan penutup.
5
Kelima tahap ini tentunya harus ada dalam proses pembelajaran, meskipun kelima tahap ini secara logis dilakukan berurutan, namun pada
kenyataannya ada juga yang sering kali mengkombinasikan tahap ini dengan berbagai versi. Seperti yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran di GSJA Bukit Horeb.
Jika pada umumnya, memulai Sekolah Minggu diawali dengan pujian atau doa bersama seperti yang dilakukan oleh pengajar di SM GPIB Tamansari. Hal yang berbeda
4
I. H. Enklaar,Pendidikan Agama Kristen,92-93.
5
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif Menarik,Yogyakarta:ANDI,2006,60-62.
68
dilakukan di Sekolah Minggu GSJA Bukit Horeb, dimana memulai Sekolah Minggu tidak dengan nyanyian ataupun doa namun dimulai memberikan lembar kegiatanaktivitas. Hal
ini dilakukan agar anak setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang hendak disampaikan dalam proses pembelajaran. Berbeda dengan di GPIB yang memberikan
aktivitas setelah penyampaian Firman, hal ini dilakukan lewat aktivitas tersebut anak akan semakin mengerti akan isi Firman Tuhan yang telah disampaikan.
2. Metode Pembelajaran
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan maka ditemukan bahwa metode pembelajaran di Sekolah Minggu di GPIB Tamansari antara lain
metode bercerita dengan gambar menggunakan media audiovisual seperti menonton, dan alat peraga lainnya, bermain, ceramah, tanya jawab dan drama. Sedangkan metode
pembelajaran yang dipakai di Sekolah Minggu di GSJA Bukit Horeb adalah metode bercerita dengan gambar yang ditempel dipapan flanel, drama, ceramah, menghafal dan
tanya jawab. Dalam menentukan metode yang diterapkan para pengajar memperhatikan
kecerdasan serta usia anak. Berbicara mengenai kecerdasan anak, maka kita akan menemukan beraneka ragam kecerdasaan. Howard Gardner menemukan bahwa
kecerdasan tidak hanya terbatas pada satu kecerdasan yang bisa dinilai dari instrumen psikologi standar. Dari hasil penelitiannya, Gardner menemukan ada delapan macam
kecerdasan antara lain, kecerdasan liguistik, kecerdasan logismatematis, kecerdasan kinestetika, kecerdasan visualspansial, kecerdasan musikal, kecerdasan naturalis,
kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.
6
Kedelapan kecerdasan tersebut bisa saja dimiliki oleh masing-masing anak dengan taraf yang berbeda. Sehingga hal ini
tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih dari para pengajar.
6
Femi Olivia, Kembangkan Kecerdikan Anak dengan Taktik Biosmart,Jakarta:PT Elex Media Komputindo,2009,37.
69
Menurut Bandler dan Grinder dalam De Potter 1999:39 kecerdasan merupakan ungkapan dari cara berfikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas belajar.
7
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, maka kita dapat mengkaitkan antara pendapat Bandler dan Grinder dengan kenyataan yang ditemui dalam penelitian,
dimana dalam kelas tertentu setiap anak memiliki kecerdasan yang beragam. Kecerdasan tersebut menjadi modal tersendiri bagi sang anak untuk menonjolkan dirinya atau terlibat
dalam acarakegiatan Sekolah Minggu. Pengajar Sekolah Minggu, baik di GPIB Tamansari maupun di GSJA Bukit Horeb dalam melihat kenyataan ini berusaha untuk
membantu anak-anak dalam mengembangkan potensi atau kecerdasan yang dimiliki oleh anak khususnya dalam penggunaan metode pembelajaran.
Anak yang senang berbicara dan aktif berbicara dikelas, biasanya diminta untuk menjawab pertanyaan atau menceritakan kembali isi dari cerita yang telah disampaikan
dengan bahasanya sendiri. Menurut Yuliani Nurani Sujiono, anak ini termasuk dalam kategori anak yang memiliki kecerdasan linguistik, selain memberikan kesempatan kepada
anak tersebut untuk dapat memberikan pendapatnya didalam kelas, hal lain yang dapat dilakukan oleh pengajar adalah mengajak anak tersebut berbicara serta memperdengarkan
lagu-lagu anak secara berulang-ulang.
8
Hal ini akan menambah kosakata bagi anak tersebut. dalam hal ini pengajar dapat menggunakan metode tanya jawab atau diskusi.
Selain itu, untuk anak yang memiliki ciri-ciri lebih menyukai musik dan menyanyi pada umumnya akan lebih antusias dalam menyanyikan lagu-lagu. Menurut
Lucy, gaya belajar anak yang memiliki kecerdasan musikal akan menyukai pelajaran musik dan bernyanyi.
9
Untuk itu, dalam mengembangkan kecerdasaan musikal yang dimiliki oleh anak tersebut pengajar dapat memberi kesempatan kepada anak untuk dapat
7
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,Jakarta:PT Indeks,2009,176-177.
8
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,185-188.
9
Lucy,Mendidik sesuai dengan Minat Bakat Anak,Jakarta:PT Tangga Pustaka,2009,84-87.
70
menunjukkan kebolehannya dalam bernyanyi, atau setidak-tidaknya pengajar dapat menanyakan kepada anak lagu-lagu Sekolah Minggu yang mana yang mereka senangi.
Dari sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya pengajar memiliki peranan yang sangat besar dalam membantu anak dalam mengembangkan kecerdasaan yang dimiliki
oleh setiap anak. Bahkan tidak menutup kemungkinan lewat pertolongan para pengajar dalam kegiatan Sekolah Minggu akan membuat anak dengan sendirinya menyadari talenta
yang dimilikinya sehingga mereka dapat menggunakan segala talenta yang dimilki untuk melakukan pelayanan, misalnya dalam lingkup Gereja mereka yang memiliki talenta untuk
bernyanyi dapat mempersembahkan pujian dalam ibadah-ibadah minggu. Selain kecerdasaan anak, usia anak juga menjadi salah satu penentu para pengajar
menerapkan metode pembelajaran. Untuk metode mendongeng atau bercerita dengan gambar dipakai dikelas inribalita dan batita, sedangkan metode tanya jawab, diskusi dan
ceramah dikelas kecilpratama dan tanggungmadya. Metode drama, bermain dan menggunakan media audiovisual menonton film dipakai untuk semua kategori usia
namun sangat jarang digunakan. Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa para pengajar di GPIB
Tamansari khususnya untuk kelas inri lebih sering menggunakan metode bercerita dengan gambar atau alat peraga seperti tumbuh-tumbuhan, hewan yang sesuai dengan tema.
Sedangkan pengajar di SM GSJA khususnya yang mengajar batitabalita menggunakan metode bercerita dengan gambar yang ditempel dipapan flanel dan metode drama.
Menurut Andar Ismail, metode dengan menggunakan gambar atau alat peraga lainnya akan menjangkau tidak hanya dimensi kognitif saja tetapi dimensi afektif penghayatan-
perasaan juga. Dengan demikian, metode yang diterapkan oleh kedua Gereja ini sangat cocok untuk anak usia inri balita dan batita dimana mereka belum bisa memahami apa
yang disampaikan namun mereka setidaknya dapat melibatkan perasaan mereka ketika
71
mendengarkan cerita yang disampaikan. Sedangkan untuk metode drama yang digunakan akan sangat membantu dalam menarik perhatian anak-anak untuk bisa mendengarkan apa
yang disampaikan. Untuk pengajar di kelas kecil dan tanggung di GPIB, pengajar memakai metode
ceramah yang diakhiri dengan serangkaian pertanyaan guna mengetahui apakah anak menyimak apa yang telah disampaikan. Menurut ahli pendidikan Joyce dan Weil dalam
menyusun model pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari metode pembelajaran, salah satu pertimbangan dalam memilih model pembelajaran adalah model dapat
memberikan tekanan yang seimbang dari sisi pendidik dan nara didik.
10
Jika kita kaitkan pendapat yang dikemukakan oleh Joyce dan Weil dengan hasil penemuan dalam penelitian
maka kita dapat melihat bahwa metode ceramah yang digunakan dapat memberikan tekanan yang seimbang, dimana dalam metode ini tidak hanya pengajar yang aktif namun
anak juga dilibatkan dengan memberikan pertanyaan seputar Firman yang disampaikan. Selain melibatkan anak dengan pertanyaan dalam metode ceramah, pengajar juga perlu
memiliki keterampilan dalam menggunakan suara yang nyaring dan bahasa yang menarik hal ini didukung oleh pendapat yang disampaikan oleh menurut I. H. Enklaar, metode
ceramah akan efektif jika pengajar mempunyai bakat membawakan Firman dengan suara nyaring dan dengan bahasa yang menarik.
11
Pengajar di GPIB Tamansari jarang menggunakan metode drama. Metode drama sering digunakan dalam acara-acara besar
seperti Natal, Paskah, atau ulang tahun Pelkat PA. Sedangkan di SM GSJA pengajar pratama dan madya memakai metode tanya
jawab, ceramah, drama dan menghafal. Metode tanya jawab dan ceramah biasanya digabung menjadi satu sehingga para pengajar dalam hal ini dapat melibatkan anak juga
secara aktif, salah satunya dengan memberikan pertanyaan. Selain itu, pengajar juga
10
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif Menarik,70-71.
11
I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen,96.
72
memakai metode drama. Para pengajar menggunakan metode ini agar anak tidak merasa bosan dalam mendengarkan Firman yang hendak disampaikan. Metode ini dapat menarik
perhatian anak-anak. Menurut Kadarmanto Ruth S, metode drama merupakan metode yang baik penonton maupun anak-anak yang memerankan peranannya dapat menghayati
cerita yang dibawakan.
12
Sehingga pengajar tidak perlu susah-susah untuk bercerita panjang lebar di depan anak-anak. Karena anak akan menghayati dengan sendirinya apa
yang ia perankan atau orang lain perankan yang tersirat dari isi drama tersebut. Sedangkan untuk metode menghafal, metode ini akan membuat naradidik mengulang apa
saja yang disuruh pengajar. Cara ini tidak masuk ke dalam kepala dan akal mereka melainkan melekat saja pada otaknya disebelah luar. Oleh karena itu pengajar
menggunakan metode ini hanya untuk menghafal ayat-ayatnats-nats dalam pembacaan yang disampaikan. Tetapi dari sisi lain, metode ini sebenarnya cukup berguna untuk hidup
anak dalam memecahkan masalah kini dan yang akan datang. Artinya bahwa anak mampu mengaplikasikan Firman Tuhan yang ia hafalingat kedalam kehidupannya. Sama seperti
ketika menghadapi serangan iblis yang ingin menjebak Yesus setelah ia selesai berpuasa di padang gurun, Yesus menggunakan Firman Tuhan yang selalu diingatNya.
Jika kita para pengajar menyadari, pada umumnya dunia anak-anak adalah dunia bermain. Anak-anak paling senang dengan segala macam permainan. Mereka belajar lewat
bermain. Oleh karena itu, pengajar yang kreatif seharusnya melihat metode ini sebagai cara yang dapat digunakan untuk menarik perhatian anak-anak. Selain itu, kita dapat
melihat bahwa metode ini akan melibatkan anak dan pengajar, namun dalam hal ini pengajar hanya sebagai pembimbing dan pengarah saja sedangkan anak yang aktif dalam
melakukan permainan tersebut.
12
Ruth S. Kadarmanto,Tuntunlah ke Jalan yang Benar,Jakarta: BPK GM,2003 ,92.
73
Sehubungan dengan metode pembelajaran, ada sekitar enam belas model mengajar yang diselidiki, dipelajari dan diusulkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil
dalam sebuah karya tulis mereka yang terkenal yaitu ”Models of Teaching”. Akan tetapi
ke enam belas model tersebut dikelompokkan dalam empat rumpun saja yaitu rumpun information models, interaktive model, personal models, dan behavioral models.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan dalam penelitian, maka bisa dikatakan bahwa model yang diterapkan oleh SM di GPIB Tamansari adalah information
models,sedangkan SM di GSJA Bukit Horeb menerapkan model information models, interaktive model dan personal models.
Rumpun information model model pemprosesan informasi, fokus utama model ini adalah aktivitas pengembangan keterampilan dan isi pembelajaran yang akan
disampaikan kepada naradidik. Metode yang termasuk dalam model ini adalah metode ceramah, metode dengan menggunakan gambaraudiovisual, dan metode mendongeng.
Model ini lebih menekankan dimensi kognitif anak dalam menemukan makna dari apa yang disampaikan. Hal inilah yang sadar ataupun tidak sadar lebih ditekankan oleh para
pengajar di GIPB Tamansari. Mereka lebih menekankan rasio atau intelektual anak akan Firman Tuhan. Sedangkan interaktive models dan personal models model pribadi lebih
kepada dimensi afektif dan psikomotorik anak. Karena kedua model ini mengutamakan pengembangan kepribadian dan hubungan antar pribadi yang dihasilkan melalui aktivitas
mengajar serta penggunaan energi kelompok dan proses interaksi yang terjadi dalam kelompok. Individu dihadapkan kepada situasi yang cukup demokratis dan dapat bekerja
lebih produktif. Dengan demikian, model-model tersebut sangat membantu pengajar dalam mengaktifkan atau melibatkan anak-anak di dalam kelas. Anak tidak hanya cukup
dengan pengetahuan akan Allah dan cerita-cerita dalam Alkitab, tidak cukup anak terampil psikomotorik dalam melipat tangan dan tutup mata saat berdoa. Lebih daripada itu, anak
74
harus sampai pada penghayatan afektif dan kesadaran untuk benar-benar mengasihi Allah dan memiliki hidup yang sesuai dengan ajaran Yesus Kristus.
4.2 Tinjauan Kritis dari Perspektif Paradigma Pembelajaran