PERSEMBAHYANGAN PURNAMA DAN TILEM (Studi tentang Persembahyangan Masyarakat Bali ke Pura Puseh dan Pura Dalem di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah)

(1)

ABSTRAK

Persembahyangan Purnama Dan Tilem (Studi tentang Persembahyangan Masyarakat Bali Ke Pura Puseh Dan Pura Dalem Di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram

Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah)

Oleh

KOMANG ARIYANTI

Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami makna persembahyangan di Pura pada saat Purnama dan Tilem yang ada pada masyarakat Bali, (2) mengkaji dan menganalisis keengganan masyarakat Dusun Tirtayoga dalam melaksanakan persembahyangan Purnama danTilem di Pura Puseh dan Pura Dalem. Pendekataan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekataan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari dua pemuka agama, dua tokoh masyarakat, dan empat masyarakat setempat yang sering melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura PusehdanPura Dalem. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi (pengamatan), dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah reduksi data, display (penyajian data), dan veryfikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Dusun Tirtayoga enggan melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem. Adapun beberapa hal yang menyebabkan masyarakat tidak melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem, yaitu (1) Kurangnya pemahaman akan pentingnya makna persembahyangan Purnama dan Tilem dai Pura Puseh dan Pura Dalem, (2) Tidak adanya kegiatan penyuluhan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama terkait makna persembahyangan Purnama dan Tilem, (3) Pekerjaan yang cukup menyita waktu, (4) jarak tempuh antara Pura Puseh dan Pura Dalem dengan tempat tinggal masyarakat yang cukup jauh, (5) kemajuan teknologi yang semakin canggih.


(2)

ABSTRACT

PURNAMA AND TILEM PRAYING

(Study of Praying of Bali Society to Puseh and Dalem Tample in Tirtayoga Village on Trimulyo Mataram Village at Seputih Mataram Subdistrict in Lampung Tengah

Regency)

By

Komang Ariyanti

The aims of this research were to, (1) understand meaning of praying in tample at PurnamaandTilemtime of Bali society,(2) learn and analyze the Tirtayoga society’s dislike in doingPurnamaandTilempraying inPusehandDalemtemple. Research approachment used a approachment. Research informant consisted of two religion’s leaders, two society’s leaders and four societies that often doing prayingPurnama andTileminPusehandDalemtemple. Data collecting technique did with style deep interview, observation, and documentation. Data analyzing technique used reduction, display and verification research.

Research result showed thatTirtayogasociety partly great dislike doingPurnama andTilempraying inPusehandDalemtemple because they were done praying in eachsanggah/merajan. some causes of that was, (1) less understanding of importing meaning ofPurnamaandTilempraying inPusehandDalemtample, (2) there is no extention activity from public and religion’s leader about PurnamaandTilem praying, (3) anlimitted time in working, (4) the distance betweenPusehandDalem temple with society’s place that so far, (5)inclination to use technology and social media with to do their lazy.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Komang Ariyanti, dilahirkan di SP 2 Mitra Oku Baturaja, pada tanggal 12 April 1992, anak ketiga dari tiga bersaudara

merupakan buah hati dari Bapak Komang Setel dan Meme Wayan Dastri. Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis: Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Trimulyo Mataram, Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6 Terbanggi besar Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2007, danSekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Seputih Mataram, Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Mahasiswi Universitas Lampung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi. Dalam perjalanan menempuh pendidikan ini penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon Karang Anyar Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus Tanggamus pada tahun 2013. Selama menempuh pendididkan di Universitas Lampung (Unila) penulis juga aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu (UKMH), dan organisasi external kampus.


(8)

PERSEMBAHAN

OM Awighnam Astu Namo Sidham

Dengan mengucap rasa syukur atas kehadiran Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) dan segenap kerendahan hati, ku persembahkan karya ilmiah ini kepada orang-orang tercinta

dan terkasih.

Bapak Komang Setel yang selalu memberikan dorongan dan mendukung setiap tindakan yang mangti lakukan selama ini. Terima kasih atas nasehat dan pengorbanan yang bapak berikan kepada mangti. Maaf ketika hanya menjadi beban dalam hidup bapak. Semoga mangti bisa menjadi kebanggan bapak. Svaha ..

IbuWayan Dastri yang selalu memberikan do a dan cinta kasih yang tiada hentinya untuk mangti selama ini. Terima kasih atas semangat yang engkau selalu berikan kepadaku. Maaf ketika aku pernah menyakiti hatimu dan tidak mengikuti kemuanmu. Selamanya dirimu yang nomor saru di hatiku.

Kakak-kakakku Putu Harjana dan Made Sujana yang selalu mendukung dan tidak pernah iri dengan mangti yang melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Kalian selalu membantu mangti disaat mangti mengalami kesulitan dan motivasi baik secara moril maupun materil. Buat kedua kakakku maaf jika selama ini telah menjadi beban buat kalian.

Kedua kakak iparku Komang Ira dan Wayan Desi yang selalu mengerti dan menduduk segala sesuatu yang aku lakukan. Maaf telah menjadi beban buat keluarga kalian. Serta buat ponakan-ponakan kecil yang lucu-lucu Wayan Celsi Ade Rahayu, Made Naura Anggel, dan Putu Daffin Pramana yang bibi sayangi.

Camiku yang selalu memberi semangat dan motivasi selama ini. Almamater tercinta Universitas Lampung.


(9)

MOTTO

Tetap Yakin Tuhan Akan Menunjukkan Jalan Yang

Terbaik Untuk Kita

(Penulis)

Hidup Tanpa Mimpi Akan Hampa

Mimpi Tanpa Usaha Akan Sia-Sia

(Komang Pujiana)

Sattam Eva Jayate

(UKMH)

Bersyukur Terlahir Dengan Ketiadaan, Karena Kita

Paham Makna Perjuanngan


(10)

SANWACANA

Om Swastiastu

Astungkara Atas Anugraha yang telah diberikan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Persembahyangan Purnama dan Tilem (Studi Berkurangnya Kunjungan Persembahyangan Masyarakat Bali ke Pura Puseh dan Pura Dalem di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram

Kabupaten Lampung Tengah)” merupakan karya ilmiah yang menghantarkan penulis untuk memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, antara lain:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Drs. Payrulsyah. M.H (Bung Pay), selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Terima kasih Bung ats


(11)

3. Bapak Drs. Susetyo, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

4. Ibu Dra. Anita Damayantie, M.H, selaku Sekertaris Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Lampung. Terima kasih bu, atas dukungan dan semangatnya.

5. Bapak Drs. I Gede Sidemen, M.Si, selaku pembimbing Utama yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk penulis. Terima kasih atas do’a, dukungan, bantuan dan kesabarannya dalam menyelesaikan skripsi penulis. Terima kasih pak, semoga kesuksesan dan kebahagian selalu menyertaimu.

6. Ibu Dr. Bartoven Vivit Nardin, S.Sos., M.Si, selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran serta membantu penulis dalam menyelesaikan kerya ilmiah ini.

7. Dosen-dosenku,Ibu Dewi selaku Pembimbing Akademik (PA) yang selalu siap mendengar curahan hati penulis dan membantu penulis dalam hal masalah akademik. Ibu Endry Fatimaningsih terima kasih telah menjadi motivator untuk menjadi sesorang yang lebih baik. Ibu Erna, terima kasih atas ilmu yang ibu kasih. Ibu Paras yang tak pernah lupa mengumbar senyum kepada seluruh mahasiwi-mahasiswanya. Pak Warno, terima kasih atas ilmu kedisiplinannya. Bu Siti (Staf Jurusan Sosiologi) , terima kasih atas

kemudahannya selama ini.

8. Bapak yang telah memberikan kasih sayangnya hingga saat ini, tanpa lelah engkau mendidik dan membesarkan penulis dan selalu member spirit kesuksesan. Semoga kebahagian dan kesuksesan bersama kita.


(12)

9. Ibu yang telah mendidik penulis hingga menjadi anak yang mandiri, sehingga penulis tidak menjadi anak yang manja.Terima kasih atas do’a, perjuangan dan pengorbananmu. Semoga Kebahagian selalu mikik kita.

10. Kakak Putu Harjana dan Made Sujana, kakak tersayangku. Terima kasih atas dukungan dan memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi, pengorbanan yang tiada hentinya baik moril maupun material yang kalian berikan. Semoga mimpi dan cita-cita keluarga kita selalu di berkahi dan tercapai.

11. Kakak Iparku Komang Ira dan Wayan Desi serta keponakan penulis Wayan Celsi, Made Naura dan Putu Dhaffin yang tersayang. Terima kasih telah mendengarkan curahan hatiku dan tetap mendukung setiap keptusan yang ku ambil.

12.Kedua Nenek dan Kakek. Terima kasih do’a yang diberikan selama ini. Wawak ER, Wawak Nopi, Mek Tut, Bibi Mini, Pak Kadek Dul, Pak Abel, Bibi Jawan, Pak Kadek Sele, Bibi Puji, Bibi Komang, Bibik Ketut, Bibi Yuyun dan saudara-saudara yang tidak dapat bisa aku sebut satu persatu. Terima kasih atas do’anya selama ini.

13. Camiku Komang Adi Saputra yang telah mengajarkan ketulusan, kesetian yang luar biasa dan perjuangan. Terima kasih atas do’a yang telah diberikan selama ini.

14. Teman, Sahabat, dan Saudara seperjuangankuGamis, Yeksi Wira Hartadi (sang penolong serta pendengar setiaku), Ria Ayuningsing (sang penjuang hidup), Neli Susanti (inspirasi hidup), Jani Sulistiana (sahabat yang selalu pantang menyerah), Andria Neferi (pemilik sifat kekanak-kanakan dan kritis).


(13)

Terima kasih telah menjadi teman, sahabat, dan saudara yang selalu ada buatku. Semoga kita semua sukses sampai tua.

15. Kost Ananda (Mbak Iin, Wo Lisa, Mbak Priska), Kost Jayanti (Rani Yunita, Rona Sinaga, Riris Kaban, Mak Lia, Ani Sujilawati, Lisa, Yesi Moria, Putu Nila), serta dedek Ika yang selalu hidup hemat dan menjadi adek dan teman yang tiada henti memberi kritik dan saran.

16. Teman-teman seperjuanganku Sosiologi 2010: Zaki, Arif, Bayu, Sabrina, Mutia, Ratu, Ketut Adi Subrata, Nona, Baskara, Arini, Nurul, Marcheli, Nurul, Sulis, Rana, Weny, Panca, semua yang bernama Ardi, serta rekan-rekan yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu.

17. Rekan-rekan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pekon Karang Anyar, Wonosobo, Tanggamus. Kiki (sang kordes yang autis), Tanjung (wakil kordes yang pinter maen gitar dan nyanyi), Iko (cwo yang ak punya rasa malu dan super hemat), Boby (juru makanan setiap minggunya), Ferhat (Anak bunda lurah), Tut (sang bendahara yang rajin dan bibik dirumah bunda), Cici (bibik yang selalu kalah maen kartu set sot), Eka (teman tidur), Corie (icom-icom yang suka cinlok), serta Yulinda ( teman curhat dan gossip).

18. Keluarga besar Unit Kegiatan Mahasiswa Hindu (UKMH) yang menjadi tempat belajar organisasi, diskusi, dan bercengkrama. Terima kasih atas bantuan dan motivasinya.

19. Keluarga besar Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) yang telah menjadi rumah belajar dan mengenal banyak orang-orang sukses. Terima kasih telah menjadi wadah pembelajaran ilmu yang sangat luar biasa.


(14)

20. Si Putih yang sering disebut Ricard oleh Putu dan Yesi (BE 7410 HY) yang sudah bertahun-tahun menemani setiap langkahku kemanapun.

21. Almamater tercinta

22. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan sripsi ini yang tidak dapat disebut satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi sedikit harapan dan do’a semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua.

Om Santi Santi Santi Om…

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis

Komang Ariyanti NPM 1016011054


(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK . ...i

HALAMAN JUDUL ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN . ...v

RIWAYAT HIDUP ...vi

PERSEMBAHAN ...vii

MOTTO ... viii

SANWACANA ...ix

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ...xvii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep ... 9

1. Sembahyang, Ritual, dan Serimonial ...9

a. Sembahyang ...9

b. Ritual ... 10

c. Serimonial ...11

2. Budaya, Adat, dan Agama ... 12

a. Budaya ...12

b. Adat ... 12

c. Agama ...12

3. Pura dan Simbol ...14

a. Pura ... 14

b. Simbol ...15

B. Teori ... 1. Penelitian-penelitian Terdahulu ...18

a. Penelitian Geertz Sabung Ayam ...18

b. Penelitian Fredrik Barth Tentang Balinese Worlds ...19

c. Penelitian James Danandjaja Tentang Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali ... 25


(16)

C. Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Hindu ... 27

1. Macam-macam Kegiatan Persembahyangan ... 28

2. Upacara Yadnya ...28

3. Persembahyangan Purnama dan Tilem ...51

4. Kunjungan Masyarakat Bali saat Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem ... 34

D. Alur Pemikiran ...36

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...38

B. Fokus Penelitian ...39

C. Lokasi Penelitian ...40

D. Teknik Penentuan Informan ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 44

F. Teknik Analisi Data ...45

IV. GAMBARAN LOKASI A. Letak Geografis ...49

B. Demografi ...50

C. Pendidikan, Agama dan Kesejahteraan Sosial ... 51

1. Pendidikan ...51

2. Agama ...53

3. Kesejahteraan Sosial ... 55

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...59

1. Pelaksanaan Persembahyangan Yang Seharusnya ...59

2. Pekerjaan Menyadap Karet, Sawah, dan PT Humas Jaya Lebih Penting dibanding Sembahyang Ke Pura Puseh dan Pura Dalem ... 61

3. Ramai Saat Purnama Saja ... 69

4. Kurangnya Penyuluhan dari Tokoh Agama ... 72

5. Teknologi Yang Semakin Canggih ...77

6. Jarak Tempat Tinggal dengan Pura Puseh dan Pura Dalem ...83

7. Masyarakat: Kurang Pemahaman ...87

8. Tokoh Masyarakat: Tidak Ada Tugas saat Purnama dan Tilem ... 91

9. Masyarakat: Selalu Melaksanakan Persembahyangan ...93

B. Ringkasan Hasil Penelitian ... 95


(17)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...101 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA ...104 LAMPIRAN


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Jumlah Penduduk di Desa Trimulyo Mataram Menurut Jenis

Kelamanin Tahun 2012 . ... 50

2. Jumlah Penduduk dan kepala Keluarga di Dusun Tirtayoga Menurut RT, Tahun 2012 . ... 50

3. Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Trimulyo Mataram Tahun 2012 ... 51

4. Jumlah Penduduk Desa Trimulyo Mataram Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012 ... 51

5. Jumlah Penduduk Desa Trimulyo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012 . ... 52

6. Jumlah Penduduk Desa Trimulyo Mataram Menurut Agama yang Dianut/Diyakini Tahun 2012 ... 53

7. Tempat Ibadah di Desa Trimulyo Mataram Tahun 2012... 54

8. Tempat Ibadah Dusun Tirtayoga Tahun 2012 . ... 55

9. Profil Informan ... 95

10. Pekerjaan, Tempat Sembahyang pada saat Purnama dan Tilem, dan Alasan Tidak bersembahyang di Pura Puseh dan Pura Dalem . ... 96


(19)

(20)

(21)

(22)

(23)

(24)

(25)

(26)

(27)

(28)

(29)

(30)

(31)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang memiliki beragam wujud kegiatan keagamaan, kebudayaan, serta tradisi. Suku Bali tersebar hampir di setiap pulau yang ada di Indonesia, dan pulau Bali merupakan tempat populasi suku Bali terbanyak di Indonesia, hal ini

disebabkan karena pulau Bali merupakan daerah asal suku Bali.

Suku Bali merupakan suku yang sangat identik dengan upacara adat dan kegiatan persembahyangan, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Van Den Breg (dalam Komang Pujiana 2012:1), bahwa hukum adat masyarakat, golongan, atau bangsa adalah “resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan, masyarakat, atau bangsa tersebut”. Dengan kata lain, hukum (adat) suatu golongan,

masyarakat, atau bangsa adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum (agama) yang dianut oleh golongan masyarakat yang bersangkutan, termasuk penganut agama Hindu bagi masyarakat Bali, dan hukum agama selalu akan menjadi pengikat bagi masyarakat yang melanggar ajaran agama pada setiap kegiatan persembahyangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.


(32)

2

Di dalam berbagai kegiatan keagamaan, diperlukan rasa kebersamaan di internal suku Bali itu sendiri. Hal ini disebabkan karena setiap kegiatan persembahyangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali tidak hanya cukup dengan beribadah saja, namun harus menyiapkanbebantenanatau sesajen. Selain itu, kegiatan

persembahyangan tersebut juga terkait dengan berbagai kegiatan, ataupun nilai sakral dan religius dari pelaksanaan kegiatannya, sehingga tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang berpendapat bahwa kegiatan persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Bali dilaksanakan secara begitu sakral dan hikmat, serta menyita banyak waktu dan mempengaruhi tingkat kehadiran mereka. Masyarakat Bali sendiri memiliki berbagai kegiatan keagamaan yang merupakan simbolisasi ketaatan masyarakat Bali kepada Tuhan yang diyakininya sebagai pemberi hidup dan kekuatan. Salah satu momentum yang rutin dilakukan ialah kegiatan persembahyangan“PurnamadanTilem”. Upacara persembahyangan ini oleh masyarakat Hindu dipandang sebagai simbolisasi kepada Tuhan yang memberikan peringatan kepada segenap manusia akan adanyaRwa Binneda atau dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan.

Dalam setahun terdapat 12 kali bulan purnama dan 12 kali bulan baru (tilem). Sebanyak itu pula, umat Hindu melaksanakan puja persembahyangan kepada Hyang Widhi(Tuhan Yang Maha Esa). Di saatPurnamadanTilem, masyarakat Bali mempersembahkan sajen utamaberupacanang sari,cemper,pesucian, dan daksinadipelinggih utama.

Canang sariadalah simbol dari ketiga lapis badan manusia yang disebutTri Sarira, yakni badan kasar, badan halus, danAtman(Jiwa Suci), yang berisiplawa,


(33)

3

porosan, bunga,borat wangi, dan beras kuning, sedangkancemperadalah alas canang sari yang berisipisang mas,rengginang,opak,tebu,nasi,saur,beras kuning,geti-geti, danlenga wangiyang menyimbulkan elemen-elemen badan kasar manusia yang berasal dariPanca Maha Buthadalam beragam wujud. Selanjutnyaduras bundaradalah simbul badan halus kita, kesadaran bawah sadar, mental dan pikiran, sedangkan bunga-bunga harum yang disusun di atasduras menyimbulkan keindahanJiwa Atman. Ketiga lapis badan manusia inilah yang disebutBhuwana Alit.Pesucianadalah sarana yang digunakan sebagai simbol pembersihan untuk menyucikan badan, pikiran, dan jiwa manusia, sedangkan daksinaadalah simbul alam semesta atauBhuwana Agungserta tempat melinggihnyadan juga simbul kebesaranHyang Widhi(Titib, 2003 :2).

HariPurnama, sesuai dengan namanya, jatuh pada setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan hariTilemdirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (krsna paksa). Pada hari Purnamadilakukan pemujaan terhadapSang Hyang Chandra, sedangkan pada hariTilemdilakukan pemujaan terhadapSang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dariHyang Widhiyang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua momen ini, umat Hindu wajib mengadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.

KombinasiPurnama danTilemini merupakan penyucian terhadapSang Hyang Rwa Bhinneda,yaituSang Hyang Surya dan Chandra. Pada waktu gerhana bulan, Beliau dipuja denganCandrastawa(Somastawa), dan pada waktu gerhana


(34)

4

PurnamadanTilemini biasanya umat Hindu menghaturkandaksinadancanang saripada setiapPelinggih Utama(Pura MerajanatauSanggah) danPelangkiran yang ada di setiap rumah. UntukPurnamaatauTilemyang mempunyai makna khusus, biasanya ditambahkan denganBanten Sesayut(Niken Tambang 2004:10).

Pada umumnya umat Hindu sangat yakin akan kesucian yang tinggi dari hari Purnamasehingga hari itu disebutdengan kata ”devasa ayu”. Oleh karena itu, setiap datangnya hari-hari suci yang bertepatan dengan hariPurnamamaka pelaksanaan upacaranya disebut ”nadi”.Tetapi sesungguhnya tidak setiap hari Purnamadisebutdevasa ayu, tergantung juga daripatemon dinadalam

perhitunganwariga. Contohnya seperti hariKajeng Kliwon(yang jatuh pada hari Sabtu),nemu(bertemu)Purnama, maka hari itu disebut, ”hari berek tawukan”.Di dalamlontar ”Purwana Tattwa Wariga” diungkapkan antara lain: ”Risada kala patemon Sang Hyang Gumawang kelawan Sang Hyang Maceling, mijil ikang prewateking devata muang asparasi, saking swarga loka, purna masa

ngaran”,yang artinya, Sang Hyang Siva Nirmala (Sang Hyang Gumawang)

yang beryoga pada hari purnama, menganugrahkan kesucian dan kerahayuan (Sang Hyang Maceling)terhadap seisi alam, sehinggaHyang Sivamengutus para devabeserta paraapsariturun ke dunia untuk menyaksikan persembahan umat manusia (umat Hindu) kehadapanSang Hyang Siva.

Oleh karena itulah ada hari-hari suci tertentu yang kemudian disebutpiodalan nadi,Galungan Nadi, dan lain-lain. Pada momen seperti ini, biasanya ada penambahan terhadap volumeupakaranya, disamping itu karenaHyang Siva merupakandevanya sorga, maka umat Hindu selalu tekun menghaturkan


(35)

5

persembahan serta memujaHyang Sivasetiap datangnya hariPurnama,dengan harapan agar nantinya setelah ia meninggal, rohnya bisa diberikan tempat di Sorga, atau kembali ke alammokshah. Sedangkan persembahan pada hariTilem dimaksudkan agar umat Hindu yang tekun melaksanakan persembahan dan pemujaan, maka ketika meninggal rohnya tidak diberikan jalan yang sesat

(neraka), namun sebaliknya akan diberikan jalan keswarga lokaolehSang Hyang Yamadipatijika selalu menjalankan kesucian diri dengan tulus ikhlas (Lontar Purwana Tattwa Wariga). Menurut sastra Hindu yang tertuang dalam”Lontar Purwa Gama”, umat Hindu diharapkan selalu ingat melaksanakansuci laksana, khususnya pada hariPurnamadan hariTilem, dengan maksud untuk

mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama paraWiku, untuk mensejahterakan alam beserta isinya karena semua mahluk akan kembali ke hadapan yang Maha Suci, tergantung dari tingkat kesucian dan juga keikhlasan diri masing-masing (Dewi 2008:15).

Ada hari-hari utama dalam penyelenggaraan upacara persembahyangan (sejak dulu hingga sekarang) yang sama nilai keutamaanya, yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan denganSang Hyang Candraberyoga, dan pada hari Tilem bertepatan denganSang Hyang Suryaberyoga, maka dimohonkan keselamatan kepadaHyang Widhi. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhiyang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Karena itu, pada haripurnamadantilemdiadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupaupakara yadnya. Pada hari suci demikian itu, rohaniawan dan semua umat Hindu menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara


(36)

6

PurnamadanTilemini umat Hindu akan melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping mengadakanpuja bhakti kehadapanHyang Widhiuntuk memohon anugrah-Nya, juga dilakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungannya dengan pemujaan kepadaHyang Widhi(Putu Sri Artati, 2011).

Mengenai sembahyangPurnamadanTilem,ada teks dalamUpanisadyang menyatakan sebagai berikut:“Bulan sesungguhnya adalah tuan dari penciptaan. Dari padanya bagian yang gelap sesungguhnya materi, dan bagian yang terang adalah kehidupan. Oleh karena itu para Rsi melaksanakan ritual mereka pada waktu terang (Purnama), dandalam waktu gelap (Tilem)”(Prasna Upanisad I.12).

Pada hakekatnya persembahyanganPurnamadanTilemadalah hari penyucian jiwa, raga, dan juga alam semesta. Penyuciannya disimbolkan denganbanten pesuciandan banten-banten yang menyertainya.Pesucianadalah sarana yang digunakan sebagai simbol pembersihan untuk menyucikan badan, pikiran, dan jiwa manusia.

Kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemini sangatlah penting dalam membentuk rasa syukur dan religius masyarakat Hindu, dan merupakan penyucian diri terhadapSang Hyang Widhi Wasa. Persembahyangan PurnamadanTilemini pun merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh umat Hindu di seluruh


(37)

7

dunia. Akan tetapi pada kenyataannya di Di Desa Trimulyo Mataram Dusun Tirtayoga tidaklah demikian, dimana tingkat kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun Tirtayoga di dalam kegiatan persembahyanganPurnama dan Tilemdi PuraPusehdan PuraDalemsangatlah minim/rendah.

Desa Trimulyo Mataram merupakan salah satu desa di Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. Desa Trimulyo Mataram telah terbentuk sejak tanggal 21 Juni 1962 dengan komposisi penduduk bersuku Jawa dan Bali, namun lebih didominasi oleh suku Bali. Seharusnya pada kegiatan

persembahyanganPurnamadanTilemdi PuraPusehdan PuraDalem, seluruh masyarakat Hindu mengikuti kegiatan tersebut, namun pada kenyataannya tingkat kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun Tirtayoga rendah dengan jumlah kehadiran masyarakatnya kurang lebih hanya 40 jiwa (hasil pra surevei), sedangkan jumlah masyarakat Hindu di Dusun Tirtayoga yaitu 453 jiwa. Selain itu, acara ini juga lebih didominasi oleh kaum laki-laki, serta kurangnya kesadaran mereka untuk membawabebanten (sesajen)yang merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan kegiatan persembahyangan.

Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun

Titayoga dalam melaksanakan kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdi PuraPusehdan PuraDalem.


(38)

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa makna sembahyang ke Pura pada saatPurnamadanTilembagi masyarakat Dusun Tirtayoga?

2. Mengapa masyarakat enggan berkunjung ke Pura pada saatPurnamadan Tilem?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami makna persembahyangan ke Pura pada saatPurnamadan Tilemyang ada pada masyarakat Bali.

2. Mengkaji dan menganalisis keengganan masyarakat Dusun Tirtayoga dalam melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan pengetahuan terkait konsep sembahyang dan teori-teori yang dijelaskan dalam beberapa dari para ahli yang memahami tentang Bali.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan karya ilmiah ini dapat mengkaji terkait makna persembahyangan dan dapat menjelaskan alasan-alasan masyarakat yang tidak melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.


(39)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep

1. Sembahyang, Ritual, dan Serimonial a. Sembahyang

Sembahyang merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang

mempertermukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perorangan, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik atau setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian. (Geetz, 1981). bagi Geertz dalam penelitian yang di lakukan Geertz dalam masyarakat Jawa Sembahyang diartikan sebagai sebuah wadah pengalaman individu maupun sosial kemasyarakatan dan konflik sebagai sebuah usaha memperkecil ketidakpastian dan ketegangan ketegangan di dalam masyarakat. Sembahyang diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati dan

sembahyang juga sebagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bali untuk memohon anugrah dan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada umat Hindu sembahyang dilakukan tiga kali dalam sehari sering disebut denganTrisandye. Pelaksanaan persembahyangan umat Hindu dilakukan pada saat matahari terbit, matahari tepat diatas kepala kita, dan pada saat matahari


(40)

10

tenggelam. Trisandye (persembahyangan tiga kali sehari) wajib dilakukan oleh seluruh umat Hindu yang ada di dunia.

b. Ritual

Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental (Djamari, 1993: 35). Demikian pula, Geertz melihat ritual di Bali, seperti pemotongan gigi, pembersihan tahan kerajaan, nyepi, mensucikan pura hingga kremasi adalah sebuah ritual yang di dramatis. Tak hanya penuh dengan hiasan, namun juga bagian dari refleksi diri.

Hampir semua masyarakat di Indonesia melakukan tata cara keagamaan yang dilatarbelakangi oleh kepercayann. Adanya kepercayaan pada yang sacral membuat seseorang membentuk tata cara dan aturan-aturan yang dilakukan di setiap upacara keagamaan. Dalam masyarakat Bali, ritual yang sangat sacral ialah ritual perayaan Nyepi, dimana pada saat hari raya Nyepi masyarakat Bali

melaksanakanCatur Brata Penyepianyaitu empat pantangan yang harus dijalankan saat melaksanakan hari raya Nyepi. Empat pantangan yang harus dijalankan oleh masyarakat Bali adalahAmati Geni, dimana padaAmati Geni masyarakat dilarang untuk menyalakan api selama hari raya Nyepi yang

disimbolkan dengan pemadaman lampu selama hari raya Nyepi,Amati Lelanguan yaitu pada hari raya Nyepi masyarakat tidak boleh melaksanakan kegiatan yang


(41)

11

berfoya-foya atau bersenang-senang,Amati Lelunganyaitupada hari raya Nyepi masyarakat tidak boleh berpergian, melainkan harus tetap dirumah, dan yang terakhir adalahAmati Karyayaitu pada hari raya Nyepi masyarakat tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan.

Dari contoh ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali, bahwa masyarakat Bali mempercayai larangan-larangan yang harus dilakukan oleh umat Hindu di seluruh Dunia, karena bagi umat Hindu hari raya Nyepi merupakan hari raya yang sangat sacral bagi umat Hindu.

c. Serimonial

Menurut Victor Turner (1974:17), serimonial (upacara adat) merupakan aspek agama, yaitu dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkaianmetaphordan simbol. Serimonial merupakan upacara-upacara yang diperingati sebagai bentuk perayaan suatu kegiatan. Serimonial juga bisa disebut sebagai ritual, tetapi tidak terlalu mendalam seperti ritual yang sebenarnya. Serimonial lebih menekankan pada sisi pengaruh budaya lokal dan serimonial juga sering dipergunakan untuk menyebut seperangkat kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa yang dianggap spektakuler, atau masa-masa yang dianggap agung.

Seperti halnya di Indonesia, banyak masyarakat yang merayakan hari besar mereka dengan cara mebuat acara-acara besar, seperti perayaan wisuda bisa jadi didalamnya banyak dimasukkan simbol-simbol ritual dari awal acara hingga akhir acara. Misalnya dengan pengucapan salam dan pembacaan doa saat selesai acara.


(42)

12

2. Budaya, Adat Bali dan Agama a. Budaya

Asal kata budaya berasal dari bahasa sansekertabuddhayah, yaitu bentuk jamak daribuddhi(budi) atau akal. Geertz mencoba mempertajam pengertian

kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis, dengan bantuan mana manusia mengkomunikasikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup” (Geertz, 1973: 89). Menurut Geertz kebudayaan merupakan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Koentjaraningrat melihat kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat dalam Sulis Setyawan: 2013:14).

Parsudi Suparlan melihat kebudayaan sebagai pengetahuan yang bersifat oprasional, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan

menciptakan tindakan-tindakan yang diperlakukannya (Parsudi Suparlan dalam Sulis Setyawan 2013:14).

b. Adat

Adat berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari (adah), yang berarti "cara", "kebiasaan". DiIndonesiakata "adat" baru digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakatMelayusetelah pertemuan


(43)

13

budayanya dengan agamaIslampada sekitar abad 16-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.

Adat adalah gagasankebudayaanyang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, danhukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis olehmasyarakatsetempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Pada masyarakat Bali juga memiliki beragam adat yang saat ini tetap dijalankan dengan baik, adat yang tidak pernah ditinggalkan sejak nenek moyang mereka hingga saat ini. Adat Bali selalu menarik untuk di teliti oleh para masyarakat yang ingin mengetahui Bali, sebab adat Bali memiliki kebudayaan yang sangat banyak dan beragam macam. Persembahyangan Purnama dan Tilem juga bisa saja dianggap sebagai adat yang harus dijalankan secara turun temurun oleh anak cucu mereka, karena persembahyangan bersifat wajib, sehingga masyarakat merasa pada saat Purnama dan Tilem harus menyajikan sesajen kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab bagi masyarakat Bali itu semua merupakan kebiasaan yang harus dijalankan.

c. Agama

Menurut Geertz (1973:90), agama merupakan suatu sistem simbol bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistenti, dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang


(44)

14

mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri adalah nyata ada.

Kekuatan besar yang dapat mengendalikan aspek kehidupan manusia, dimana keberadaan agama memiliki peran untuk menjelasakan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh bidang kajian ilmu-ilmu lain. Sedangkan secara jelas dimuat dan dijelaskan oleh ilmu agama diperkuat lagi dengan agama sebagi inti dari

kebudayaan manusia bukan hanya sekedar kebudayaanb itu sendiri. Jika demikian bias agama di dalam praktiknya ditengah kehidupan sosial dapat

diartikan sama dengan sistem kebudayaan yang biasa terwujud melalui sosialisasi, kulturisasi dan sifatnya turun-menururn dari generasi ke generasi.

3. Pure dan Simbol-simbol a. Pura

Tempat melakukan ibadah dalam masyarakat Hindu pada umumnya disebutpura, tempat ibadah ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya

berbeda-beda, dimana disetiap rumah masyarakat Bali mempunyai Pura untuk melaksanakan persembahyangan sehari-hari. Pura yang ada di rumah masyarakat disebut dengansanggah/merajan. Pura tidak hanya ada pada rumah masyarakat Bali saja, melainkan Pura juga ada disetiap desa guna untuk melaksanakan persembahyangan secara bersama-sama dengan masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat Hindu wajib memiliki Pura di rumah mereka masing-masing, sebab masyarakat Hindu selalu mempersembahkan sesajen pada saat perayaan hari-hari suci bagi umat Hindu.


(45)

15

b. Simbol

MenurutBudiono Herusatoto (2005:10), “kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolos yang berarti tanda atau cirri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang sebuah gejala sosial. Kehidupan sosial kebudayaan masyarakat di dalamnya terdapat gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil dari hubungan interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok sehingga muncul seuatu kebiasaan dalam tatanan kemasyarakatan yang disebut kebudayaan, komponen-komponen yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat memiliki kaitan yang erat dengan simbol-simbol. Pemahaman simbol di dalam kehidupan sosial masyarakat memiliki warna, bagaimana simbol dimaknai, dipahami, dan dikonsepsi berdasarkan keadaan sosial relevan terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat. Geertz melihat konsep simbol sebagai sistem makna melalui kajian mengenai agama, mitos dan upacara keagamaan sebagai jalan untuk memahami dan menerima hakekat dari kehidupan sosial di masyarakatnya. Berdasarkan uraian-uraian konsep di atas simbol memberikan informasi yang jelas, dan nyata. Simbol mengandung simtem makna bagi kehidupan masyarakat yang memilikinya dengan cara melihat dan memaknai keberadaan simbol tersebut. Adapun macam-macam Simbol Pada Persembahyangan di Pura:

1. Sesajen

Sesajen merupakan sajian atau hidangan berupa makanan dan bunga-bungaan yeng disajikan kepada makhluk halus atu roh. Sesajen memiliki nilai sacral disebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Didalam masyarakat Hindu


(46)

16

sesajen mempunyai peranan yang sangat penting, dimana setiap dimulainya sembahyang selalu diiringi dengan sesajen bunga. Sesajen bagi umat Hindu sebagai warisan budaya yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau menunggu tempat (pohon, batu, dan persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi masyarakat Hindu, tujuan dari pemberian sesajen untuk mencari berkah. Pada masyarakat Bali ada beberapa tempat yang diberi sesajen antara lain, sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari, sedangkan sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara-acara keagamaaan tertentu.

Kalau persembahan yang diberikan untuk roh yang lebih tinggi, sesajen ini harus diatur sedemikian rupa agar menarik, dan tentu ini butuh waktu dan tenaga yang cukup besar. Daun-daun dipotong dan dirangkai jadi bentuk-bentuk yang

menarik. Karna itu dapat dikatakan bahwa persiapan sesajen merupakan bagian dari tradisi yang penting yang masih berlaku di Bali.

Di Pura, sesajen ini diletakin ditempatnya. Sesajen untuk dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan dibagian dasar. Perbedaannya adalah sesajen yang diberikan untuk para roh jahat itu bisa berisi daging mentah, sedangkan sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur bisa tidak berisi daging mentah. Sesajen khusus yang jadi syarat suatu upacara diletakkan pada sebuah podium. Kalau persembahan yang diberikan untuk roh yang lebih tinggi, sesajen ini harus diatur sedemikian rupa agar menarik, dan tentu ini butuh waktu dan tenaga yang cukup besar. Daun-daun


(47)

17

dipotong dan dirangkai jadi bentuk-bentuk yang menarik. Karna itu dapat dikatakan bahwa persiapan sesajen merupakan bagian dari tradisi yang penting yang masih berlaku di Bali.

Di Pura, sesajen ini diletakin ditempatnya. Sesajen untuk dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan dibagian dasar. Perbedaannya adalah sesajen yang diberikan untuk para roh jahat itu bisa berisi daging mentah, sedangkan sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur bisa tidak berisi daging mentah. Sesajen khusus yang jadi syarat suatu upacara diletakkan pada sebuah podium.

2. Pakaian

Pakaian secara umum dipahami sebagai “alat” untuk melindungi tubuh atau “fasilitas“ untuk memperinda penampilan. Tetapi selalin untuk memenuhi dua fungsi tersebut, pakaian pun dapat berfungsisebagai “alat” komunikasi yang non-verbal, karena pakaian mengandug simbol-simbol yang memiliki beragam makna. Pada saat sembahyang pakaian umat Hindu merupakan simbol identitas, jati diri, kehormatan dan kesederhanaan bagi seseorang. Oleh karena demi kian dalam berpakaian seseorang harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam berpakaian seseorang pun tidak dapat menentukan kepribadiannya secara mutlak, akan tetapi sedikit dari pakaian yang digunakannya akan tercermin kepribadiannya dari sorotan lewat pakaiannya.

Pada umat Hindu, pakaian yang digunakan oleh masyarakat Bali yaitu pada perempuan menggunakan kebaya, kamben (kemben atau jarik), senteng (kain


(48)

18

yang diikat di pinggang), sedangkan pada laki-laki menggunaka sapari, kamben dan udeng (biasanya di pakai di kepala).

B. Teori

1. Penelitian-penelitian Terdahulu

a. Penelitian Geertz (1973) Tentang Sabung Ayam

Sabung ayam adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali dalammencari keuntungan yang besar dalam hal materi. Geertz ingin menjelaskan bahwa sabung ayam bukan hanya sekedar hanya pertandingan antar ayam jago saja tetapi di dalam sabung ayam tersirat makna bahwa yang bertarung adalah manusianya atau pemilk ayam jago tersebut. Usai pertandingan, yang memenangkan pertandingan maka sang ayam akan dibawa pulang kerumah sang pemenang dan dimakan bersama. Bagi mereka yang telah kalah dalam sabung ayam akan merasa sangat malu dan pada masyarakat karena harga dirinya telah jatuh terinjak-injak. Hal utama yang ditekankan dalam sabung ayam orang Bali bukan terletak pada uang atau taruhannya, melainkan isi dari pertandingan sabung ayam tersebut.

Isi atau makna yang tersirat dalam pertandingan sabung ayam itu adalah

perpindahan hierarkhi status orang Bali ke dalam susunan sabung ayam. Dalam hal ini sabung ayam dilihat sebagai sebuah indikator dari kepribadian laki-laki yang dijunjung tinggi kedudukannya dalam masyarakat. Ayam jantan yang dipakai dalam sabung ayam dicirikan sebagai penggantikepribadian si pemilik ayam jago dan sabung ayam dengan sengaja dibentuk menjadi sebuah simulasi matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok-kelompok yang besilangan, bertumpang tindih.


(49)

19

Pertandingan tersebut, menurut Geertz (1973), hanya ada di antara orang-orang yang sejajar dan dekat secara pribadi. Tetapi terkadang juga digelar diantara individu-individu dengan status tinggi. Jika ditelaah lebih mendalam maka semakin dekatlah pertandingan sabung ayam itu dengan manusia yang semakin memberikan yang terbaik darinya dan pada akhirnya mengarah kepada pencirian si ayam jago.

b. Penelitian Fredrik Barth (1993) Tentang Balinese Worlds 1. Bali-Hindu sebagai Tradisi pengetahuan

Bali Hindu adalah tubuh besar pengetahuan, gambar, konsep, ideal, dan praktek; itu menulis aliran budaya begitu beragam dan begitu menyusup di sebagian besar kehidupan sehari-hari sebagian besar Bali yang seluruh budaya mereka telah tampak bagi pengamat yang tidak terpisahkan dari itu dan hanya dalam trems nya. Keberadaan masyarakat Bali seperti Muslim Pagatepan, bagaimanapun, mengajak kita untuk konsep dengan cara yang berbeda. Tugas bab ini adalah untuk

menggambarkan Bali-Hindu sebagai aliran seperti itu, menunjukkan hubungan yang memperoleh antara modus reproduksi dan konten budaya.

Sebuah tantangan analitis yang ditimbulkan oleh kompleksitas institusi dan ide-ide dari bali-Hindu dan ekspresi produktif. Untuk Bali-Hindu, kerusuhan keragaman dan ekspresi adalah sedemikian rupa sehingga untuk sampai pada graps essentials ist akan di terbaik menjadi hasil akhir dari analisis budaya yang tangguh, charting bentuk asing dan ide-ide tidak dapat diakses untuk hampir setiap pembaca, dan jauh untuk diriku sendiri. Setelah menguji perairan ini dalam menggoda bagian dari bab ini, dan menunjukkan apa yang seperti isi dan struktur


(50)

20

dari Bali-Hindu harus merangkul, saya kemudian memilih metodologi yang berbeda: untuk mendasarkan deskripsi saya pada tradisi tersebut, daripada logika atau sistematika, dari pengetahuan. Jadi saya akan menyatakan bahwa kekayaan, dan inkoherensi mengungkapkan karakter Bali-Hindu sebagai tradisi pengetahuan dan dihasilkan dan dihasilkan dari struktur sosial dan konseptual sebagai jelas seperti yang terjadi bagi Islam, jika seseorang mendekatinya dari perspektif atau bagaimana direproduksi dari pada mencoba untuk struktur yang stabil ide secara logis saling terkait.

Akhirnya, di belakang siwa dalam aspek yang paling komprehensif nya menyanyikan Hyang Widi Wasa, prinsip abstrak Ketuhanan atau kosmos diciptakan, konsepsi yang diberikan penekanan selama dekade terakhir oleh gerakan tertarik menekankan monoteisme konseptual baliHindu pikir (Geertz {1964] 1973d : 170ff; Forge 1980:229 ff).

2. Menempatkan roh. Selain seperangkat ini dewa teritorial / desa terkait dengan kuil dan ciri-ciri fisik utama lanskap, seluruh pedesaan Bali juga digerakkan oleh satu set supranaturals - batu nya, pohon, angin, burung, sungai dan danau, memang bahkan banyak ditandai bit tanah yang dihuni oleh banyak sekali roh tempat lokal, bertempat tinggal secara terpisah dan sendiri di semua fitur ini. Roh-roh ini adalah "pemilik" objek dan akan membenci penggunaan dan kehancuran mereka kecuali tepat ditempatkan; mereka juga dapat dengan mudah terganggu dan harus menunjukkan rasa hormat dengan kuil dan

avoidances. Tidak ada rumah dapat dibangun tanpa hati-hati menyelidiki lokasi roh dari tanah; ada pohon harus ditebang tanpa mengemis pengampunan dari roh-roh yang mungkin hidup di dalamnya. Aspek dunia juga dimodelkan pada


(51)

21

moralitas: the reciprocites jika memberikan bantuan dan menunjukkan moderasi, saldo rasa hormat dan terima kasih kepada kehidupan lainnya membentuk rathe dari ketidakseimbangan dominasi dan eksploitasi.

3. Leluhur. Sama pentingnya dengan dewa-dewa dan roh ini tempat dan kosmos di Bali-Hindu adalah nenek moyang, yang merupakan penerima ibadah rumit dan akhirnya merege dengan Ketuhanan. Orang mungkin mengatakan bahwa nenek moyang seperti didewakan akhirnya bergabung dengan dewa. Dan dewa kosmik yang terwujud dalam dewa desa yang timbul dari pendiri desa,

sehingga juga melakukan teritorial dan dimensi berbasis keturunan keilahian menjadi akhirnya gabungan melalui konseptualisasi keturunan dalam hal kawitan, titik asal dan dadia lokal atau merajan. Tapi dalam konsepsi akal sehat mereka dan aplikasi, kedua penjelasan sangat jelas dibedakan: sedangkan konsepsi dewa desa terkait dengan alam dan prinsip-prinsip kosmis, orang-orang dari nenek moyang terkait dengan Kaki dan kumpi, kakek dan buyut. Konsepsi ini adalah sangat patrilineal tetapi cenderung mempertahankan kesadaran saling melengkapi pria-wanita: nenek, besar-nenek, dan

ancestreesses asli umumnya disebutkan dan ditempatkan di samping ascendants agnatic; dan pura yang Mengajukan-kuil sebagai ibu / nenek moyang-angka berulang.

Pemujaan leluhur berfokus pada kuil nenek moyang ditemukan di setiap rumah tangga dan pada satu atau hirarki pendek candi kelompok keturunan, umumnya dengan banyaknya kuil komponen, beberapa di antaranya mungkin berhubungan dengan segmen dalam kelompok. Kepercayaan umum adalah bahwa hidup terkait erat dengan nenek moyang almarhum, yang dapat membantu keturunan mereka


(52)

-22

atau gagal untuk membantu mereka, dan bahkan menghalangi mereka, jika mereka tidak menghormati nenek moyang mereka: indinidual tetap terkait erat dengan kerabat, terutama dengan almarhum. Roh ini memanifestasikan dirinya dalam hal kematian dalam bentuk pencemaran kematian, yang mempengaruhi seluruh komunitas orang mati, melainkan terutama nya / rumah tangga dan kerabat. Ritual mayat rumit bertujuan memurnikan selamat, dan kemudian di memurnikan mati, meningkatkan jiwa mereka bertahap terhadap pendewaan dan penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ihwal ritual ini sangat bervariasi menurut wilayah dan masyarakat, kekayaan keluarga, status orang yang meninggal, dan keanggotaan kasta (dan sampai batas tertentu leluhur keluarga tertentu) keluarga. Tahap penting dalam hampir semua bentuk ini adalah kremasi, di mana orang-orang kasta tinggi dan imam (pemangkus) dibakar sebagai mayat atau mumi, sedangkan sebagian besar rakyat jelata yang terkubur dan kemudian digali kembali untuk pembakaran.

Pedandas ditahbiskan sebagai imam dalam upacara rumit dibandingkan dengan konsekrasi candi (Korn 1928 1960). Dalam arti, praktek pedandas agama dan mewujudkan demikian cukup berbeda dari sisa-bali hindu, yang begitu definitif teritorial berlabuh (Forge 1980:223,224). Demikian pula, kontribusi mereka terhadap masyarakat dan siklus hidup ritual yang sangat khusus dan parsial. Dalam banyak, jika tidak sebagian besar, nort desa-desa Bali mereka ditiadakan dalam hal ini air suci dari siwa dihasilkan dari candi siwa khusus oleh imam biasa biasa, seperti yang kita lihat dalam kasus prabakalu.


(53)

23

a. Ibadah

Bali-Hindu mengarahkan sebuah ibadah yang rumit dan indah dengan dewa kategori I di atas, di mana nenek moyang dari gabungan 3 kategori. Mungkin karena profesi dan kompleksitas mereka, bentuk-bentuk ibadah tidak pernah dihadapkan sebagai domain budaya dalam literatur anthoropological di Bali-Hindu. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, ibadah dimasukkan di bawah berbagai kategori tugas yang berkaitan dengan anggota kolektivitas (kelompok candi). Dalam abstrak, bagaimanapun, dikenal sebagai yadnya, "menurut Guru terkemuka di Singaraja. Dalam konsepsi yang menanggung cap indo-biddhist dan pedanda kodifikasi dalam fokusnya individu yang terpisah, yadnya dapat

dikategorikan dalam empat "jalan": karma marga, tindakan korban, berdoa, melakukan perbuatan baik; bakti marga, hormat / exspression kebaktian kepada Tuhan, dan alam dan mankid mencintai; yoga marga, mencari persatuan dengan Tuhan melalui kosentrasi mental, dan jenyanga marga, belajar dan berlatih filosofi agama.

Persembahan (banten) memegang tempat sentral dalam pertama dan paling banyak ditemui jalan ibadah; dan "seni korban," (Ramseyer 1977:135 ff), menyediakan kosakata rumit simbol melalui orang Wich mengartikulasikan ibadah mereka dari para dewa. Simbol-simbol ini juga terjadi di sejumlah konteks lain. Terutama menarik adalah pembanguna guna untuk memercikkan air suci di congegration dan benda-benda suci selama acara-acara ritual.

Padahal semua wanita Bali-Hindu memiliki tingkat cukup keterampilan khusus dalam memproduksi berbagai elemen dari penawaran, mereka tidak memiliki


(54)

24

pengetahuan tentang bagaimana mereka harus dikombinasikan untuk accasions ritual yang beragam. Orkestrasi tersebut adalah tugas tukang spesialis banten umumnya perempuan dari kasta Brahmana yang mencari nafkah memproduksi pengiriman besar dari penawaran tersebut untuk ritual krisis besar dalam hidup. b. Sebuah perspektif tentang Bali-Hindu

Mari kita menghadapinya di sini: jumlah besar dan elaborasi dari budaya yang mewujudkan Bali-Hindu berpikir dan citra menunjukkan adanya aliran budaya yang luar biasa kaya. Lebih mengganggu, itu juga menunjukkan karakter mengejutkan snowballing dari setiap upaya untuk memberikan "deskripsi tebal" (Geertz 1973c: 6FF) dari setiap bagian dari tradisi tersebut. Jika sungguh-sungguh dikejar, dengan cepat memperdalam dan mengental membanjiri format ini, atau lainnya, monografi. Ada sedikit keraguan bahwa setiap contoh dari masing-masing fenomena saya telah bernama bergema di Bali dengan beberapa referen, banyak dari mereka tertanam dalam struktur rumit hanya sebagian dan berbagai cara yang dikenal untuk aktor dan penonton.

Filosofi Bali-hindu, sebagai soal fakta, tampaknya mengajarkan sebaliknya: bahwa segala sesuatu di dunia terlihat berada di bawah terus-menerus

"Heraklitian" transformasi, dan bahwa hal-hal tampaknya sangat berbeda sering dipahami sebagai manifestasi yang berbeda dari hal yang sama (Barth 1989 ; Hobarth 1985a). Jadi meskipun perbedaan pirata / pitara adalah premis

counstitutive pengetahuan agama Bali-Hindu, tidak formatif sikap dan ketaatan dalam pemujaan leluhur, dan itretrives hanya sangat parsial, dan dengan demikian pada dasarnya dengan cara mendistorsi, "makna" dari mati untuk hidup. Hal ini


(55)

25

juga secara substansial penting dalam menggambarkan kosmologi Hindu Bali, nenek moyang memainkan peranan yang sangat penting dalam kesadaran Bali-Hindu, seperti yang kita disebutkan di atas dan akan melihat lebih rinci segera. Di luar candi adalah bakat yang adil sekuler, dengan setidaknya dua puluh stand yang menjual makanan dan pernak-pernik. Para wanita memasuki bait suci dan

deposito penawaran mereka, baris demi baris, pada platform dan baik mengajukan lagi untuk menunggu anggota keluarga lain atau bergabung dengan jemaat yang tumbuh di dalam dinding candi.

c. Penelitian James Danandjaja (1990) Tentang Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali

Desa Trunyan merupakan salah satu desa yang berada di Pulau Dewata yang memiliki ciri khas dan keunikannya tersendiri. Desa Trunyan, Desa artinya

perkampungan, Trunyan sendiri berarti Taru dan Menyan, Taru artinya pohon dan Menyan artinya harum, jadi, Desa Trunyan merupakan Desa atau perkampungan yang memiliki pohon yang berbau sangat harum. Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno yang berada di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir Danau Batur, letak Desa Trunyan sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, dan hanya sampai di Desa Kedisan.

Desa Trunyan terletak di sebelah pantai timur Danau Batur, sebelah barat gunung Batur Purba yang memiliki ketinggian 1717 m diatas permukaan laut, bagian timur pulau Bali. Sekitar +70 km sebelah timur laut Denpasar atau + 45 km timur kota Singaraja. Cuaca desa Trunyan kering dingin, khas hawa pegunungan.


(56)

26

Sedangkan danau Batur adalah danau terbesar di Pulau Bali, danau ini mengandung 815.38 juta meter kubik air. Selain pertanian, danau ini juga memberikan penghidupan tambahan untuk penduduk desa Trunyan dan sekitarnya. Penduduk Trunyan terdiri dari 315 kepala keluarga, dan terbagi kedalam 5 blok (anak desa), atau yang di bali dikenal Tempek, yaitu Tempek Trunyan yang didiami 86 kk, Tempek Madia-Pangkungan 88 kk, Tempek Bunut 34 kk, Tempek Puseh 50 kk dan Tempek Mukus dengan 57 kk. Pada tahun 2003, hasil penghitungan terakhir penduduk, desa Trunyan berjumlah sekitar 12.416 jiwa.

Prinsip keturunan orang petani Desa Trunyan berdasarkan prinsip patrilineal, yamg menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja. Hal ini mengakibatkan bahwa setiap individu dalam masyarakat Trunyan semua kerabat ayahnya masuk di dakam batas kekerabatannya, sedangkan i kerabat ibunya berada diluar batas tersebut. tetapi ini hanya berlaku di dalam hal warisan, untuk lainnya, berjalan seperti biasa seperti kebaktian disanggah/dadia(kuil) milik kerabat ibu. Sedangkan untuk mata pencaharian hidup, desa Trunyan sebenarnya bermata pencaharian utama tani dan bercocok tanam di ladang, tetapi bagi orang luar yang baru masuk ke desa Trunyan, mereka pasti menganggap penduduk Trunyan hidup dari menangkap ikan di danau Batur. Apalagi bagi orang yang hanya mendengar Bali dari pencitraan pulau wisata, menganggap bahwa mata pencaharian penduduk ini dari berdagang, melayani turis dan berbisnis motor boat di danau. Padahal semua itu adalah mata pencaharian tambahan.


(57)

27

C. Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Hindu

Dalam masyarakat Hindu kegiatan keagamaan merupakan salah satu pilar yang menduduki peranan yang sangat penting, sebab peningkatan keimanan, ketaqwaan serta budi pekerti menjadi target utama yang harus dicapai. Kegiatan keagamaan tersebut sangat berpengaruh dan bisa memberi rasa religius dalam pembentukan kepribadian yang baik. Kegiatan keagamaan bisa diartikan sebagai rancangan atau susunan kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan di dalam sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghasilkan pengalaman terhadap suatu ajaran agama.

Orang yang beragama Hindu percaya akan adanya konsepTri Murtiterhadap Yang Esa. Tri Murtimerupakan tiga wujud atau manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu wujudBrahmayang menciptakan, wujudWisnuyang

memelihara, dan wujudSiywayang melebur segala yang ada. Disamping percaya kepada berbagai dewa yang lebih rendah dariTri Murtidan mereka hornati dalam berbagai upacarasesaji,juga menganggap penting konsepsi mengenai roh abadi (atman), adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa). Tempat melakukan ibadah dalam masyarakat Hindu pada umumnya disebutpura, tempat ibadah ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya

berbeda-beda. Ada yang bersifat umum, artinya untuk semua golongan (seperti puraBesakih), ada yang berhubungan dengan kelompok sosial setempat (seperti pura desaataukhayangan tiga),berhubungan dengan organisasi dan kumpulan-kumpulan khusus (sepertisubakdanseka), kompulan tari-tarian, dan ada yang merupakan tempat pemujaan leluhur dariklan-klanbesar. Adapun tempat-tempat


(58)

28

pemujaan leluhur danklankecil serta keluarga luas yang merupakan tempat ibadah yang ada pada setiap rumah disebutsanggahdan ataumerajan. 1. Macam-macam Kegiatan Persembahyangan

Adapun macam-macam kegiatan persembahyangan di dalam masyarakat Hindu adalah sebagai berikut:

a. Hari Raya berdasarkanwewaranatau setiap 6 bulan sekali (210 Hari) 1) Galungan, jatuh pada hari Buda, Kliwon, Dungulan

2) Kuningan, jatuh pada Saniscara, Kliwon, Kuningan 3) Saraswati, jatuh pada Saniscara, Umanis, Watugunung 4) Banyupinaruh, jatuh pada Radite, Pahing, Shinta 5) Pagerwesi, jatuh pada Buda, Kliwon, Shinta

b. Hari raya berdasarkan kalenderSakaatau 1 tahun sekali 1) Siwaratri

2) Nyepi

c. Hari raya berdasarkanwukuatau 15 hari sekali 1) Purnama

2) Tilem 2. Upacara Yadnya

UpacaraYadnyamerupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu di dalam kehidupannya sehari-hari.Yadnyasendiri bermakna suatu pengorbanan atau persembahan suci yang tulus dan ikhlas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atasYadnya, maka dengan itu manusia diharapkan dapat memelihara, mengembangkan, dan mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta, yakniHyang Widhi(Tuhan Yang Maha Esa).

Dalam Masyarakat Hindu di Bali, upacara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-harinya, para lelulur umat Hindu di Bali selalu mengajarkan agar selalu menjaga keharmonisan, baik itu hubungan dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang


(59)

29

Maha Esa) maupun dengan sesama manusia dan lingkungan alam sekitarnya (Tri Hita Karana) agar tercipta hubungan yang seimbang antara Sang Pencipta, sesama manusia, dan lingkungan alam sekitar. Pedoman dari semua ini disebut Panca Yadnya.

Panca Yadnya sendiri, kalau diuraikan terdiri dari 2 kata, yaitupancaartinya lima danyadnyaartinya upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan. Jadi kalau digabungkan mempunyai pengertian 5 upacara persembahan suci yang tulus dan ikhlas kehadapan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).

Adapun pelaksanaanPanca Yadnyaterdiri dari:

a. Dewa Yadnya, bermakna upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas kepadaSang Hyang Widhi Wasa(Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi- Nya yang berujudDewa Brahmaselaku Maha Pencipta,Dewa Wisnuselaku Maha Pemelihara, danDewa Siwaselaku MahaPralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyanganTri Sandhya(bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa(kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci) pada hari-hari suci, seperti hari Raya Galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, dan lain-lain.

b. Butha Yadnya, bermakna upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas kepadaBhuta Kala, yaitu makhluk-makhluk yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh-tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaanSang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacaraBhuta Yadnya, bertujuan untuk menjaga


(60)

30

keseimbangan, kelestarian, dan keselarasan antara jagat raya ini dengan diri kita.

c. Manusa Yadnya, bermakna upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas demi kesempurnaan hidup manusia, dari awal terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Dalam

pelaksanaannya, dapat berupa upacarayadnyaataupun selamatan, yaitu:

1. UpacaraNyambutin, guna menyambut bayi yang baru lahir. 2. UpacaraTutug Kambuhansetelah bayi berumur 42 hari.

3. UpacaraNelubulanin, untuk bayi yang baru berumur 105 hari (3 bulan).

4. UpacaraOtonansetelah bayi berumur 6 bulan.

5. UpacaraMepangur(potong gigi) adalah peralihan dari anak-anak ke dewasa.

6. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilahAbyakala/ Citra Wiwaha/Widhi-Widhana.

d. Pitra Yadnya, bermakna upacara pengorbanan/persembahan suci yang dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian (kremasi)bagi manusia yang telah meninggal atau roh leluhur, mengangkat serta menyempurnakan

kedudukan arwah leluhur di alam surga, juga sebagai wujud hormat dan bakti atas segala jasanya (Ngaben).

e. Rsi Yadnya, yakni upacara persembahan, pemujaan suci yang tulus ikhlas dan penghormatan kepada orang-orang suci, seperti Resi, Pendeta, dan lain-lain yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat.


(61)

31

Pelaksanaan upacarayadnyaberpedoman pada ajaranPanca Sradayang merupakan tuntunan agama dan harus dilaksanakan oleh umat yang beragama Hindu.

3. Persembahyangan Purnama dan Tilem

KataPurnamaberasal dari kata “purna” yang artinya sempurna.Purnamadalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15Kamariah), sedangkanTilemartinya bulan mati atau gelap. PurnamadanTilemadalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dariHyang Widhi. HariPurnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa), sedangkan hariTilemdirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). HariPurnamadanTilem datang setiap 15 hari. Dari hariPurnamamencariTilemada 15panglongatau 15 hari, sedangkan dari hariTilemmencariPurnamaada 15penanggalatau 15 hari. DariPurnamamencariPurnamakembali lamanya 30 hari, begitu juga dariTilem mencariTilemkembali lamanya 30 hari. Sehari setelahPurnamasampaiTilem disebutpanglong,sedangkan sehari setelahTilemsampaiPurnama disebut penanggal.Sehari sebelum hariPurnamadisebut denganpurwaning purnama (penanggal14), sedangkan sehari sebelum hariTilemdisebut denganpurwaning tilem(panglong14). Hal inilah yang perlu diperhatikan dan diingat dalam

menentukan hari-hari suci yang terletak pada PurnamadanTilemtersebut (Niken Tambang, 2004:6).


(62)

32

Pada hariPurnamadilakukan pemujaan terhadapSang Hyang Chandra, sedangkan pada hariTilemdilakukan pemujaan terhadapSang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dariHyang Widhiyang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala).Karena itu, pada kedua hari suci ini wajib diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupaupakara yadnya.

Pada hariPurnamadanTilemini umat Hindu melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping mengadakanpuja bhaktikehadapanHyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat Hindu juga melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungannya dengan pemujaan kepadaHyang Widhi.

Pada hari suciPurnamadanTilemini, biasanya umat Hindu menghaturkan

DaksinadanCanang Saripada setiapPelinggih UtamadanPelangkiranyang ada di setiap rumah. UntukPurnamaatauTilemyang mempunyai makna khusus, biasanya ditambahkan denganBanten Sesayut.

Beberapaslokayang berkaitan dengan hariPurnamadanTilemdapat ditemui dalamBhagavadgita, yang menyebutkan:

'Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"


(63)

33

Artinya:

Ada hari-hari utama dalam penyelenggaraan upacara persembahyangan yang sama nilai keutamaanya, yaitu hariPurnamadanTilem. Pada hariPurnama (bertepatan denganSanghyang Candraberyoga) dan pada hariTilem(bertepatan denganSanghyang Suryabeyoga untuk memohon keselamatan kepada Hyang Widhi), maka pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkanyadnyakehadapan Hyang Widhi.

Bila pada hariPurnamaatauTilemumat manusia menyucikan dirinya lahir dan batin, serta menghaturkanupakara yadnyadan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi, nilai satu aturan (bhakti)yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah sempurna dariHyang Widhi. Demikianlah hariPurnamaitu yang merupakan hari suci selalu harus dirayakan oleh umat Hindu untuk memohonwaranugraberupa keselamatan dan kesucian lahir bathin.

Sesungguhnya makna filosofis dari hariPurnama adalah, pada saat terjadi bulan Purnama maka air laut akan menjadi pasang (karena daya tarik bulan), maka cairan dalam tubuh pun akan ikut pasang. Karena itu, saat bulan bersinar penuh, maka ia dipandang sebagai hari suci oleh umat yang beragama Hindu, sedangkan hari Tilem adalah saat bulan tidak memberikan sinarnya (bulan mati). Pemujaan pada hari Tilem baik dipergunakan untuk memohon pembersihan diri dengan melukat seluruh kekotoran yang berada pada anggota badan. Demikianlah hari Purnama dan Tilem yang merupakan hari suci yang selalu dirayakan oleh umat Hindu untuk memohonwaranugra berupa keselamatan dan kesucian lahir bathin. Untuk itu, maka pada hari Purnama dan Tilem umat Hindu selalu mengadakan upacara-upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada pengamalan ajaran agama.


(64)

34

4. Kunjungan Masyarakat Bali saat Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem

PersembahyanganPurnamadanTilemyang dilaksanakan oleh umat Hindu merupakan simbolis penerimaanRwa Bhineda(dua sisi baik dan buruk, gelap dan terang). Begitu pula halnya dengan suka dan duka, digolongkan sebagaiRwa Bhineda(dua sisi yang berbeda).PurnamadanTilemmengingatkan manusia akan adanya dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini, yaitu adanya gelap dan terang, kehidupan dan kematian, baik dan buruk, cinta dan benci, jahat dan baik, bersih dan kotor, dan sebagainya. Ini berarti maknaPurnamadanTilem adalah simbolisasi jiwa tenang dan stabil ketika menghadapi suka dan duka kehidupan. Kestabilan jiwa itu penting dimiliki oleh manusia, sebab di dunia ini semua orang pernah mengalami suka dan duka, apapun status sosialnya di masyarakat. Apakah dia orang kaya, orang miskin, orang berpangkat, petani, pedagang, dan sebagainya.

Masyarakat di Dusun Tirtayoga sebagian besar menganut agama Hindu dan salah satu kegiatan persembahyangan yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Dusun itu adalah persembahyanganPurnamadan Tilem diPura Pusehdan Pura Dalem. Dalam persembahyangan ini dibutuhkan partisipasi masyarakat agar kegiatan persembahyanganPurnama danTilem dapat berjalan sakral dan disisi lain persembahyangan tersebut memang wajib dilaksanakan oleh umat yang beragama Hindu.

Namun, partisipasi masyarakat dalam persembayanganPurnamadanTilemdi Dusun Tirtayoga, khususnya diPura PusehdanPura Dalemsangatlah rendah, hal ini terjadi karena masyarakat lebih memilih melakukan persembahyangan


(65)

35

PurnamadanTilemdi rumah masing-masing. Selain itu, boleh jadi karena jarak tempat tinggal masyarakat Hindu denganPura PusehdanPura Dalemcukup jauh, sehingga mereka enggan untuk hadir pada acara persembahyanganPurnama danTilemyang diadakan diPura PusehdanPura Dalem.

Perkembangan zaman yang bersifat dinamis serta perubahan-perubahan yang ditimbulkan, diduga merupakan penyebab lain rendahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem. Masyarakat kini mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat penting untuk hal-hal lain, seperti menonton acara di TV, mengdengarkan musik, menelpon, bermain, mengakses internet, dan sebagainya. Kurangnya peran dari pemuka masyarakat (pengurus Parisada Hindu maupun tokoh agama) di Dusun Tirtayoga dalam memberikan penyuluhan tentang pentingnya melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemjuga sangat kurang. Seharusnya masyarakat dibimbing secara berkala dan terus-menerus untuk menciptakan partispasi. Dugaan lain yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem adalah faktor pekerjaan, dimana mayoritas masyarakat Bali di dusun ini memiliki pekerjaan yang ganda (tidak hanya satu pekerjaan). Dengan kondisi yang

demikian, dapat dipastikan waktu mereka lebih banyak dicurahkan untuk bekerja, karena telah kita ketahui bahwa masyarakat Bali umumnya memiliki etos kerja yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Partisipasi masyarakat dalam melaksanakan persembahyanganPurnamadan TilemdiPura PusehdanPura Dalemmemang rendah, akan tetapi masyarakat di Dusun Tirtayoga tidak melupakan kewajibannya untuk melaksanakan


(66)

36

persembahyangan disanggah/merajanmasing-masing. Umumnya mereka selalu mempersembahkan sesajen (bebanten) setiap datangnya hariPurnamadanTilem, dengan kata lain mereka tetap melakukan persembahyanganPurnamadanTilem, meskipun kegiatan persembahyangan hanya dilakukan di rumah masing-masing, bukan diPura PusehdanPura Dalem.

D. Alur Kerangka Pemikiran

Purnamaberasal dari kata “purna” yang artinya sempurna.Purnamadalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15Kamariah), sedangkanTilemartinya bulan mati atau gelap. PurnamadanTilemadalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dariHyang Widhi. Pada hariPurnamadanTilemini umat Hindu melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping mengadakan puja bhaktikehadapanHyang Widhiuntuk memohon anugrah-Nya, umat Hindu juga melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungannya dengan pemujaan kepadaHyang Widhi.

PersembahyanganPurnamadanTilemwajib dilakukan oleh seluruh umat Hindu di dunia. PersembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem di lakukan untuk memohon anugrah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dapat memberikan rasa kebersamaan antar masyarakat yang melakukan


(67)

37

persembahyangan diPura PusehdanPura Dalem,sehingga persembahyangan PurnamadanTilemdapat berjalan dengan hikmat dan nyaman.

Persembahyangan Purnama dan Tilem yang ada dalam masyarakat di Dusun Tirtayoga saat ini masih cukup minim dalam implementasinya. Dalam

pelaksanaan persembahyangan oleh masyarakat Dusun Tirtayoga masih banyak mendapatkan kendala untuk dapat menjalankan persembahyangan tersebut. Padahal persembahyanganPurnamadanTilemmerupakan persembahyangan yang wajib bagi seluruh umat Hindu yang seharusnya dijalankan dengan baik tanpa adanya kendala yang berarti, untuk terciptanya rasa kebersamaan dalam menjalankan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.


(68)

38

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif mengacu kepada strategi penelitian seperti observasi partisipan, wawancara mendalam, dan sebagainya yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi mengenai persoalan empiris yang hendak dipecahkan. Menurut Ridjal (dalam Bungin, 2001:82), penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali atau membangun proposisi serta menjelaskan makna di balik sebuah realita.

Pada penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata atau kalimat, gambar-gambar, dan penjelasan tentang data hasil penelitian. Pendekatan kualitatif juga dapat menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin sehingga akan didapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang apa yang diteliti.

Berdasarkan alasan di atas, metode ini dipandang relevan untuk diterapkan dalam penelitian ini, sehingga diharapkan akan memberikan gambaran tentang objek yang diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sebuah gambaran secara


(69)

39

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

B. Fokus Penelitian

Masalah dalam penelitian kualitatif dinamakan fokus. Fokus penelitian menjadi batasan terhadap studi yang akan diteliti. Tanpa ada fokus penelitian, maka peneliti akan terjebak dalam banyaknya data yang diperoleh di lapangan. Fokus dalam penelitian kualitatif bersifat tentatif, artinya dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan latar penelitian. Oleh karena itu, fokus penelitian mempunyai peranan yang sangat penting untuk memandu dan mengarahkan jalannya

penelitian.

Menurut Moleong (2005), tujuan membuat fokus penelitian adalah: a. Untuk membatasi studi sehingga tidak melebar.

b. Secara efektif berguna untuk menyaring informan yang diperlukan. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:

1. Pemahaman masyarakat tentang makna persembahyanganPurnamadanTilem. 2. Intensitas atau frekuensi masyarakat di Dusun Trirtayoga dalam melaksanakan

persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalemselama enam bulan terakhir.

3. Hambatan-hambatan yang dihadapi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

4. Jarak tempat tinggal masyarakat Dusun Tirtayoga denganPura PusehdanPura Dalem.


(70)

40

5. Intensitas kegiatan penyuluhan tentang persembahyanganPurnamadanTilem oleh tokoh agama dan pemuka masyarakat.

6. Proses pelaksanaan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura Pusehdan Pura Dalem.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena seluruh masyarakat di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo beragama Hindu. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Tirtayoga seharusnya memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam melaksanakan persembahyangan PurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem. Namun, realitasnya tingkat partisipasi masyarakat di Dusun Tirtayoga sangatlah rendah. Berdasarkan alasan tersebut peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait penyebab rendahnya partisipasi masyarakat Hindu di dalam kegiatan persembahyangan PurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

D. Teknik Penentuan Informan

Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni (dalam Manalu, 2010), dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting. Sebab Ia bukan hanya sebagai sumber data, melainkan juga sebagai aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang Ia berikan. Untuk itu antara peneliti dan informan harus berkedudukan sama, dan peneliti harus pandai menggali informasi data dengan cara membangun kepercayaan, keakraban, dan kerjasama dengan subyek yang diteliti, di samping tetap kritis.


(71)

41

Menurut Spradley (1990: 57), agar lebih valid perolehan datanya, perlu dipertimbangkan beberapa kriteria dalam menentukan informan, antara lain: 1. Subyek telah lama dan intensif menyatu dengan lokasi penelitian, ditandai oleh

kemampuan memberikan informasi di luar kepala tentang sesuatu yang ditanyakan.

2. Subyek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan yang menjadi sasaran penelitian.

3. Subyek mempunyai cukup informasi yang dibutuhkan oleh peneliti, serta memilki banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.

Berdasarkan kriteria di atas, penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secarapurposive,dimana pemilihan informan dipilih secara sengaja berdasakan kriteria tertentu.

Kriteria informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemuka agama (PemangkuatauPendeta) yang bertugas memimpin jalannya kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

2. Tokoh masyarakat yang sering berpartisipasi dalam kegiatan persembahyangan PurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

3. Masyarakat setempat yang sering melaksanakan persembahyanganPurnama danTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

Profil Informan

Di lapangan, penelitian ini mewawancarai 8 informan, yang terdiri dari 2 pemuka agama, 2 tokoh masyarakat, dan 4 masyarakat setempat yang sering melaksanakan persembahyangan diPura PusehdanPura Dalem. Berikut ini akan dipaparkan


(72)

42

hasil penelitian yang menunjukkan profil informan serta pembahasan tentang PersembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalemdi Dusun Tirtayoga.

Informan I

Informan pertama berinisial NR, laki-laki berusia 68 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai petani. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Dasar (SD); Informan merupakan tokoh agama (pemanggku adat) yang bertugas memimpin jalannya persembahyanganPurnamadiPura Puseh.

Informan II

Informan kedua berinisial WB, laki-laki berusia 62 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai petani. WB hanya menyelesaikan pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD); Informan merupakan tokoh agama (pemanggku adat) yang bertugas memimpin jalannya persembahyanganTilemdiPura Dalem.

Informan III

Informan ketiga berinisial WR, laki-laki berusia 36 tahun, bersuku Bali dan

berprofesi sebagai petani. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA); Informan merupakan tokoh masyarakat setempat yang sering hadir dalam kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.


(73)

43

Informan IV

Informan keempat berinisial WS, laki-laki berusia 32 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai petani. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP); Informan merupakan tokoh masyarakat setempat yang sering hadir dalam kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura Pusehdan Pura Dalem.

Informan V

Informan kelima berinisial KS, perempuan yang berusia 22 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai pekerja di PT Humas Jaya. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA); Informan merupakan masyarakat setempat yang sering melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdi Pura PusehdanPura Dalem.

Informan VI

Informan keenam berinisial WT, perempuan yang berusia 26 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai petani. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA); Informan merupakan masyarakat setempat yang sering melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

Informan VII

Informan ketujuh berinisial KW, laki-laki yang berusia 35 tahun, bersuku Bali dan berprofesi sebagai petani. Pendidikan terakhir informan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA); Informan merupakan masyarakat setempat yang sering


(1)

Sekolah (BOS) bagi anak-anak yang kurang mampu. Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) tersebut dirasakan sangat membantu anak-anak yang kurang mampu. Selain dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sekolah Dasar (SD) yang ada di Dusun Tirtayoga juga menyelenggarakan bantuan bagi anak-anak yang benar-benar tidak mampu. Bantuan yang diberikan berupa tas, sepatu, buku, dan alat tulis. Sehingga mereka


(2)

101

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik

kesimpulan terkait keikutsertaan masyarakat di Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah dalam kegiatan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem.

1. Makna persembahyangan Purnama dan Tilem adalah persembahyangan yang wajib bagi masyarakat Hindu. Persembahyangan Purnama dan Tilem

dilakukan guna memohon anugrah dan berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan persembahyangan ini juga sangat penting untuk pembersihan diri secara lahir dan batin. Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura dimaksudkan agar masyarakat melaksanakan persembahyangan secara bersama-sama. 2. Berdasarkan hasil penelitian, alasan masyarakat Dusun Tirtayoga Desa

Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah enggan berkunjung dalam melaksanakan kegiatan persembahyanganPurnama danTilemdiPura PusehdanPura Dalemadalah:

a. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya persembahyanganPurnama danTilem


(3)

d. Jarak tempat tinggal denganPura PusehdanPura Dalem e. Kemajuan Teknologi

3. Kunjungan masyarakat Dusun Tirtayoga dalam melaksanakan

persembahyanganPurnamadanTilemdi PuraPusehdan PuraDalem sangatlah minim. Namun, masyarakat Dusun Tirtayoga tetap melaksanakan persemabahyangan tersebut disanggah/merajanmereka masing-masing, disebabkan oleh berbagai kendala terutama pekerjaan. Perubahan jenis tanaman yang dilaksanakan masyarakat Dusun Tirtayoga dalam bidang pertaniaan sangat mempengaruhi kunjungan masyarakat dalam melaksanakan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem, karena pekerjaan yang baru menyita waktu dan menguras tenaga petani karet.


(4)

103

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai rendahnya kehadiran masyarakat Dusun Tirtayoga dalam melaksanakan PersembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalem, peneliti memberikan saran pada pihak-pihak yang terkait, antara lain:

1. Bagi masyarakat Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah, diharapkan dapat

melaksanakan PersembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalemagar pelaksanaan persembahyangan dapat dilaksanakan bersama-sama.

2. Bagi “pemangku” adat/agama diharapkan dapat memberikan masukan atau sosialisasi terkait pelaksanaan persembahyanganPurnamadanTilemdiPura PusehdanPura Dalam, sehingga kebersamaan dalam pelaksanaan

persembahyanganPurnamadanTilemdi Dusun Tirtayoga tetap terjalin. 3. Bagi pengurus Parisada Hindu diharapkan dapat memberikan penyuluhan

keagamaan secara rutin kepada masyarakat Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo terkait persembayagan bersama diPura PusehdanPura Dalem.

4. Bagi Tokoh masyarakat Dusun Tirtayoga Desa Trimulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah, diharapkan dapat mendukung dan membantu “pemangku” adat/agama dan PengurusParisada Hindu dalam kegiataan persembayangan bersama diPura PusehdanPura Dalem.


(5)

Ayu Ira Dewi, Putu. 2008.Pelaksanaan Persembahyangan Purnama dan Tilem.Paramita. Denpasar.

Barth, Fredrik. 1993.Balinese Worlds. London: University of Chicago Press. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Danandjadja, James. 1990. Kebudayaan Petani Bali Sebuah Deskripsi Antropologi Budaya. Penerbit Universitas Indonesi (UI-Press). Jakarta.

Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam budaya jawa. Hanindita Graha Widia. Yogyakarta.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Geertz, Clifford. 1973.The Interpretation of culture.Basic Book, inc. USA Milles, Mathew dan M. Huberman. 1992.Metode Penelitian Kualitatif. Remaja

Putra. Bandung.

Moelong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nazir, Moh. 1983.Metode Penelitian.Gralia Indonesia. Jakarta. Sugiono. 2011.Metode Penelitian Kombinasi. Alfabeta. Jakarta.

Suparlan, Parsudi. 1981. Kata Pengatar: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.


(6)

10

Spradley. 1990.Format-format Penelitian Sosial. Rajawali Press. Jakarta.

Titib, I Made. 2003. Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa. Penerbit Paramita. Denpasar.

Tambang, Raras Niken. 2004.Purnama Tilem. Paramita. Denpasar. Sumber Skripsi:

Pujiana, Komang. 2012. “Partisipasi Masyarakat dalam Melestrikan Budaya Megibung”.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ariantoro, Dian. 2010. “Pengaruh Komunikasi Kelompok terhadap Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP)”.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sumber Internet:

Sri Artati, Putu. 2011.Makna PurnamadanTilem. Http://www.cyberdharma.net. Diakses 29 November 2013.

Ibori, Anthonius.2013.Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan

Pembangunan di Desa Tembumi Distrik Tembumi Kabupaten Teluk Bintuni.Http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/governance/article/view/ 1473. Diakses 05 Februari 2014.

Manopo, Gledis Jeinlef. 2013. Peranan Opon Leader Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Untuk Menunjang Program Bersih Eceng Gondok Danau Tondano. Http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ actadiurna/article/view/963. Diakses 05 Februari 2014.


Dokumen yang terkait

PERUBAHAN TRADISI KEJAWEN PADA MASYARAKAT JAWA DI KAMPUNG BANJAR AGUNG MATARAM KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (1982-2012)

0 13 61

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

0 11 64

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

2 42 54

ARTI MATERIAL SESAJEN DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA DI DUSUN II DESA MATARAM BARU KECAMATAN MATARAM BARU KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

0 6 58

PENGARUH SISTEM PATRILINEAL TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM MASYARAKAT BALI DI DESA TRIMULYO MATARAM LAMPUNG TENGAH TAHUN 2014/2015

2 25 80

DAMPAK PERKEMBANGAN USAHA MIKRO MAKANAN SESAJEN TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA (STUDI DI DESA DHARMA AGUNG, KECAMATAN SEPUTIH MATARAM, KABUPATEM LAMPUNG TENGAH)

0 13 73

Persepsi Wisatawan Mancanegara Terhadap Potensi Fisik Pura Desa Pura Puseh Desa Pakraman Batuan Sebagai Daya Tarik Wisata Di Kabupaten Gianyar.

0 0 15

PURA PUSEH, PURA DESA BATUAN DALAM PERKEMBANGAN KEPARIWISATAAN BALI DI DESA BATUAN KECAMATAN SUKAWATI KABUPATEN GIANYAR (Kajian Pariwisata Budaya)

0 0 11

PELAKSANAAN PERKAWINAN NYENTANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT ADAT BALI DI DESA RAMA NIRWANA KECAMATAN SEPUTIH RAMAN LAMPUNG TENGAH)

0 18 13

PURA PUSEH BATUNUNGGUL DI DESA BATUNUNGGUL KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG ( KAJIAN FUNGSI DAN NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU) PUTU SOMIARTHA Staf Pengajar STAH Negeri Gde Pudja Mataram

0 0 9