ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL DI INDONESIA (PERIODE MONEY BASE TARGETING FRAMEWORK (2002:01-2005:06) DAN INFLATION TARGETING FRAMEWORK (2005:07-2013:12))

(1)

Analysis of Monetary Policy Effect of Real Sector In Indonesia (Money Base Targeting Framework Period (2002:01-2005:06) and Inflation

Targeting Framework (2005:07-2013:12)) by

VIRGIE MORIE ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the effect of the monetary policy through money base targeting framework operational such as base money and loan to consumption and investment in Indonesia 2002:1-2005:6 period and monetary policy through inflation targeting framework operational such as BI Rate and loan to consumption and investment in Indonesia 2005:7-2013:12 period. The analytical tool that use in this study is Error Correction Model. This study used monthly time series data obtained from Bank Indonesia. Based on the results of ECM, showed that in partial, base money have significant positive effect on the consumption and negative effect on the investment, while loan have significant positive effect on the consumption. In inflation targeting framework period, in partial, BI Rate have significant positive effect on the investment. As well as jointly and significantly all variables used in this study affect the consumption and investment.

Keywords: Money Base Targeting Framework, Inflation Targeting Framework and Error Correction Model


(2)

Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Sektor Riil Di Indonesia (Periode Money Base Targeting Framework (2002:01-2005:06) Dan Inflation

Targeting Framework (2005:07-2013:12)) oleh

VIRGIE MORIE ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kebijakan moneter melalui kerangka operasional Money Base Targeting Framework yaitu uang primer, dan pinjaman terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia periode 2002:01–2005:6 dan kebijakan moneter melalui kerangka operasional Inflation Targeting Framework yaitu BI Rate dan pinjaman terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia periode 2005:7-2013:12. Alat analisis yang digunakan adalah model koreksi kesalahan (Error Correction Model). Penelitian ini menggunakan data time series bulanan yang

diperoleh dari Bank Indonesia. Berdasarkan hasil ECM, pada periode Money Base Targeting Framework , dapat diketahui bahwa secara parsial variabel uang primer memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap konsumsi dan pengaruh negatif yang signifikan terhadap investasi, sedangkan pinjaman memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap konsumsi. Pada periode Inflation Targeting Framework , dapat diketahui bahwa secara parsial variabel BI Rate memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap konsumsi. Serta secara bersama-sama dan signifikan seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi.

Kata Kunci : Money Base Targeting Framework, Inflation Targeting Framework dan Error Correction Model.


(3)

(4)

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL DI INDONESIA (PERIODE MONEY BASE TARGETING FRAMEWORK (2002:01-2005:06) DAN INFLATION TARGETING

FRAMEWORK (2005:07-2013:12))

(Skripsi)

Oleh VIRGIE MORIE

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar ... Halaman

1. Investasi di Indonesia Periode 2002-2013 ... 4

2. Konsumsi di Indonesia Periode 2002-2013 ... 6

3. Dampak Kebijakan Moneter melalui kerangka Money Base Targeting Framework dan Inflation Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi ... 9

4. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 24

5. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM ... 25

6. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Kuantitas Besaran Moneter ... 47

7. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Suku Bunga ... 48

8. Hasil Uji Normalitas CO periode MBTF Dengan Metode Jarque-Bera ... 80

9. Hasil Uji Normalitas I periode MBTF Dengan Metode Jarque-Bera ... 81

10.Hasil Uji Normalitas Variabel CO periode ITF Dengan Metode Jarque- Bera ... 82


(6)

DAFTAR ISI

Halam an

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. TujuanPeneliti ... 7

D. Hipotesis ... 8

E. Kerangka Pemikiran ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Konsep dan Fungsi Uang ... 11

B. Uang Beredar ... 13

C. Teori Permintaan Uang... 17

D. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi ... 21

E. Teori Permintaan Agregat ... 23


(7)

H. Konsumsi ... 30

I. Pinjaman ... 33

1. Pengertian Pinjaman ... 33

2. Sumber Dana Pinjaman ... 33

3. Keunggulan dan Kelemahan Pinjaman ... 34

4. Mekanisme Pinjaman ... 34

J. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter ... 35

1. Penargetan Nilai Tukar ... 36

2. Penargetan Besaran Moneter ... 37

3. Penargetan Inflasi ... 37

K. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 39

1. Jalur Suku Bunga ... 40

2. Jalur Harga Aset ... 41

3. Jalur Kredit ... 42

L. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ... 45

M. Tinjauan Empirik ... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 51

A. Jenis dan Sumber Data ... 51

B. Definisi Operasional Variabel ... 52

1. Uang Primer ... 52

2. BI Rate ... 53

3. Pinjaman ... 53

4. Konsumsi ... 53

5.Investasi ... 53


(8)

1. Interpolasi ... 55

E. Prosedur Analisis Data ... 56

1. Uji Stasioneritas (Unit Root Test) ... 56

2. Uji Kointegrasi ... 56

3. Penentuan Lag Optimum ... 57

4. Estimasi Error Correction Model (ECM) ... 57

5. Uji Asumsi Klasik ... 57

5.1. Uji Normalitas ... 57

5.2. Multikolinearitas... 57

5.3. Autokorelasi ... 58

5.4. Heteroskedastisitas ... 59

6. Uji Hipotesis ... 60

6.1. Uji t statistik ... 60

6.2. Uji F Statistik ... 65

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Hasil Penelitian ... 66

1. Uji Stasioneritas (Unit Root Test) pada Pendekatan Phillips-Perron ... 66

2. Uji Kointegrasi ... 69

3. Penentuan Lag Optimum ... 71

4. Estimasi Error Correction Model (ECM) ... 72

5. Uji Asumsi Klasik ... 76

5.1. Autokorelasi ... 77

5.2. Multikolinieritas ... 78

5.3. Heteroskedastisitas ... 79


(9)

6.1. Hasil Uji t ... 83

6.2. Hasil Uji F ... 85

B. Pembahasan ... 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran ... Halaman 1. Data Penelitian Periode Money Base Targeting Framework ... L-1 2. Data Penelitian Periode Inflation Targeting Framework ... L-2 3. Hasil Unit Root Test Periode Money Base Targeting Framework ... L-4 4. Hasil Unit Root Test Periode Inflation Targeting Framework ... L-12 5. Uji Kointegrasi pada Periode Money Base Targeting Framework ... L-20 6. Uji Kointegrasi pada Periode Inflation Targeting Framework ... L-26 7. Uji Lag Optimum Periode Money Base Targeting Framework ... L-26 8. Uji Lag Optimum Periode Inflation Targeting Framework ... L-26 9. Estimasi ECM Periode Money Base Targeting Framework ... L-27 10. Estimasi ECM Periode Inflation Targeting Framework ... L-28 11. Uji Autokorelasi Periode Money Base Targeting Framework ... L-28 12. Uji Multikolinieritas Periode Money Base Targeting Framework ... L-30 13. Uji Multikolinieritas Periode Inflation Targeting Framework ... L-31 14. Uji Heteroskedastisitas Periode Money Base Targeting Framework ... L-31 15. Uji Heteroskedastisitas Periode Inflation Targeting Framework ... L-32


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel ... Halaman

1. Penelitian Terdahulu ... 48

2. Nama variabel, simbol, periode waktu, satuan pengukuran, dan sumber data pada Periode Money Base Targeting Framework ... 51

3. Nama variabel, simbol, periode waktu, satuan pengukuran, dan sumber data pada Periode Inflation Targeting Framework ... 52

4. Hasil Uji Unit Root dengan Phillips-Perron Test pada Ordo Level ... 52

5. Hasil Uji Unit Root dengan Phillips-Perron Test pada Ordo First Different ... 67

6. Hasil Uji Unit Root dengan Phillips-Perron Test pada Ordo Level ... 68

7. Hasil Uji Unit Root dengan Phillips-Perron Test pada Ordo First Different ... 68

8. Regresi OLS variabel terikat CO ... 69

9. Regresi OLS variabel terikat I ... 69

10. Hasil Uji Kointegrasi Residual estimasi variabel terikat CO dan I dengan Pendekatan Phillip Perron (PP) Test pada Ordo Level ... 70

11. Regresi OLS variabel terikat CO ... 70

12.Regresi OLS variabel terikat I... 71

13.Hasil Uji Kointegrasi Residual estimasi variabel terikat CO dan I dengan Pendekatan Phillip Perron (PP) Test pada Ordo Level ... 72

14.Hasil Estimasi ECM CO ... 73


(12)

17.Hasil Estimasi ECM I ... 75

18.Uji Autokorelasi CO dan I ... 77

19.Uji Autokorelasi CO dan I ... 77

20.DATA VIF PADA MBTF ... 78

21.DATA VIF PADA ITF ... 78

22.Uji Heteroskedastisitas ... 79

23.Uji Heteroskedastisitas ... 79

24.Uji Normalitas CO dan I ... 79

25.Uji Normalitas CO dan I ... 83

26.Hasil Uji t-statistik CO ... 84

27.Hasil Uji t-statistik I ... 84

28.Hasil Uji t-statistik CO ... 84

29.Hasil Uji t-statistik I ... 85

30.Hasil Uji F periode MBTF ... 86


(13)

(14)

(15)

(16)

MOTO

“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”

(Imam Syafi’i)

When I stand before God at the end of my life, I would hope that I would not have a single bit of talent left, and could say, I used everything you gave me

(Erma Bombeck)

You will when you believe” (Virgie Morie)


(17)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillhirrabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah SWT. Ku persembahkan karya sederhana ini sebagai tanda cinta dan terima kasihku kepada

1. Buya dan Umi yang tidak pernah lelah untuk mendoakan, memberikan

semangat, motivasi dan materi. Berusaha dengan segenap daya upaya serta kesabaran untuk terciptanya keberhasilan masa depanku, semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan kepada Buya dan Umi.

2. Serta adik-adikku tercinta, Jerbie Rossant dan Qiara Servatie. Terima kasih atas perhatian, serta keceriaan yang selalu memotivasi. Kelak tumbuh dan dewasalah seperti impian orangtua kita.

3. Almamater tercinta jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Virgie Morie lahir pada tanggal 27 November 1991 di Bandarlampung. Penulis lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sofiyanto S.I.P. dan Ibu Rossy Anita.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Kartika II-6 Bandarlampung pada tahun 1998 dan tamat pada tahun 1999. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di Sekolah Dasar SD Kartika II-5 Bandarlampung, yang diselesaikan pada tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 25 Bandarlampung dan tamat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Bandarlampung dan tamat pada tahun 2009.

Pada tahun 2010 penulis diterima di perguruan tinggi Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Negeri Tinggi (SNMPTN) pada jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Penulis menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung pada tahun 2014.


(19)

antara lain anggota muda HIMEPA FE UNILA (2010/2011), dan Sekretaris Hubungan Masyarakat Economic English Club FEB UNILA (2012/2013).


(20)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Sektor Riil di Indonesia (Periode Money Base Targeting Framework (2002:01-2005:06) dan Inflation Targeting Framework (2005:07-2013:12))“ sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.E.P., selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan.

3. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Terima kasih untuk masukan dan saran-sarannya.


(21)

untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi.

5. Bapak Dr. Yoke Muelgini, M.Sc. selaku dosen yang memberikan inspirasi bagi penulis.

6. Ibu Nurbetty Herlina S, S.E, M.Si. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran terhadap skripsi ini.

7. Ibu Arivina Ratih Yulihar, S.E., M.M. selaku Pembimbing Akademik. 8. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang telah memberikan ilmu

dan pelajaran dengan baik.

9. Seluruh keluarga besarku atas doa dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Beberapa pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 22 Juli 2014 Penulis,


(22)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997).

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 Pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu .

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan


(23)

oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan pinjaman atau pembiayaan. Bank

Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah. Dalam penelitian ini saya menggunakan uang primer, BI Rate, indeks harga konsumen (IHK) dan pinjaman sebagai variabel bebas di dalam kebijakan moneter.

Kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF) diterapkan secara formal sejak Juni 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (Money Base Targeting Framework) sebagai sasaran kebijakan moneter. Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit

mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya

perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah bank-bank sentral di dunia menggunakan inflation targeting framework dalam kebijakan moneter sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan besaran-besaran moneter yang bersifat forward looking, dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir. Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir sejalan dengan kecenderungan perkembangan terakhir


(24)

bank-bank sentral di dunia, dimana banyak bank-bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya pengendalian inflasi (Cahya, 2010)

Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi (Bank Indonesia, 2013).

Menghitung nilai barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara dalam periode satu tahun sering menggunakan Pendapatan Domestik Bruto sebagai salah satu pengukuran tingkat pendapatan nasional suatu negara. Jika besaran PDB nominal selalu mengalami peningkatan, namun krisis yang terjadi dapat membawa dampak negatif terhadap nilai PDB riil. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi sebagai salah satu dampak menurunnya nilai tukar rupiah.

Oleh karena inflasi tersebut, meningkatnya PDB nominal tidak dapat dijadikan sebagai ukuran peningkatan ekonomi maupun penyebaran di setiap strata ekonomi. Tidak hanya inflasi, permasalahan pinjaman perbankan juga memainkan peran penting dalam perubahan sektor riil dan perkembangan dunia usaha. Peran

perbankan sangat diperlukan sebagai penyedia dana bagi perusahaan dalam berbagai bentuk pinjaman usaha yang nantinya akan digunakan untuk operasional perusahaan. Apabila hal tersebut dapat terjadi secara berkesinambungan, maka perusahaan akan turut membangun perekonomian. Perusahaan yang terus berkembang akan menjadi target bagi para investor dalam menanamkan dana dalam berbagai bentuk investasi. Tingkat investasi pada periode money base targeting framework dan inflation targeting framework tahun 2002 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.


(25)

Gambar 1. Investasi di Indonesia Periode 2002-20013 Sumber : Bank Indonesia, tahun 2002-2013 (data diolah)

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa investasi cenderung semakin meningkat sebesar 189% pada tahun 2002 menuju ke tahun 2003, lalu menurun kembali sampai tahun 2005 yaitu sebesar 2%, selanjutnya investasi menurun sebesar 34% pada tahun 2005 menuju ke tahun 2006, lalu meningkat sebesar 7% pada tahun 2007, kemudian cenderung menurun sebesar 74% pada tahun 2013 dan meningkat kembali sampai 63% pada tahun 2013.

Uang primer dan investasi mempunyai hubungan yang positif, yaitu semakin tinggi tingkat uang primer maka tingkat investasi akan semakin meningkat. Berbeda dengan BI Rate dan investasi yang mempunyai hubungan negatif, yaitu semakin tinggi tingkat BI Rate maka tingkat investasi akan semakin menurun. Pinjaman dan investasi yang mempunyai hubungan positif, yaitu semakin tinggi tingkat pinjaman maka tingkat investasi akan semakin meningkat.

Interaksi antara perbankan dengan perusahaan akan menghasilkan berbagai dampak. Banyaknya pinjaman perbankan yang dikucurkan pada sektor riil akan menentukan

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 20 02 20 03 20 04 20 05 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13

Grafik Investasi Periode 2002-2013

Investasi (Miliar)

Miliar


(26)

tingkat kemampuan produksi yang nantinya mempengaruhi output riil di berbagai sektor ekonomi, serta berbagai macam pengaruh lain yang akan memberikan dampak bagi perekonomian secara keseluruhan.

Permasalahan muncul ketika keadaan yang terjadi di pasar pinjaman tidak selalu dalam kondisi keseimbangan karena adanya asymetric information, dimana perbankan lebih selektif dalam mengucurkan pinjaman kepada perusahaan.

Sementara di sisi lain, perusahaan sering bermasalah dengan neraca perusahaan yang berpengaruh terhadap pemberian pinjaman.

Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, perkembangan di sektor riil akan menjadi terhambat, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap beberapa faktor, seperti tekanan inflasi, meningkatnya pengangguran serta variabel ekonomi lain yang akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan. Salah satu sektor riil yang terpengaruh oleh kebijakan moneter adalah konsumsi. Konsumsi seseorang berbeda-beda dipengaruhi oleh selera dan intensitasnya terhadap barang yang bersangkutan dan adanya barang konsumsi. Semakin banyak jumlah dan jenisnya barang subsitusi akan menyebabkan berkurangnya jumlah konsumsi barang yang disubsitusi. Besarnya konsumsi masyarakat mencerminkan tingkat kemakmuran masyarakat tersebut, artinya makin tinggi tingkat konsumsi masyarakat, berarti makin tinggi pula tingkat kemakmurannya. Tingkat konsumsi pada periode money base targeting framework dan inflation targeting framework tahun 2002 sampai 20013 dapat dilihat pada Gambar 2.


(27)

Gambar 2. Konsumsi di Indonesia Periode 2002-2013 Sumber : Bank Indonesia, tahun 2002-2013 (data diolah)

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa konsumsi cenderung semakin meningkat sebesar 13% pada tahun 2002 menuju ke tahun tahun 2004, lalu menurun kembali sampai tahun 2005 yaitu sebesar 7,8%, kemudian konsumsi terus menerus

meningkat sebesar 49% pada tahun 2005 menuju ke tahun 2013.

Uang primer dan konsumsi mempunyai hubungan yang positif, yaitu semakin tinggi tingkat uang primer maka tingkat konsumsi akan semakin meningkat. Berbeda dengan BI Rate dan konsumsi yang mempunyai hubungan negatif, yaitu semakin tinggi tingkat BI Rate maka tingkat konsumsi akan semakin menurun. Pinjaman dan konsumsi yang mempunyai hubungan positif, yaitu semakin tinggi tingkat pinjaman maka tingkat konsumsi akan semakin meningkat.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang diambil pemerintah, dalam hal ini bank sentral dalam mengatur dan mengendalikan moneter sehingga kebijakan tersebut pada akhirnya memberikan pengaruh yang positif pada berbagai variabel ekonomi dan perekonomian secara keseluruhan.

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 20 02 20 03 20 04 20 05 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13

Grafik Konsumsi Periode 2002-2013

Konsumsi (Miliar)

Tahun Miliar


(28)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Sektor Riil di Indonesia (Periode Money Base Targeting Framework (2002:1-2005:6) dan Inflation Targeting Framework (2005:7-2013:12))”

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, rumusan masalah dari penelitian ini,yaitu :

1. Bagaimanakah pengaruh kebijakan moneter melalui kerangka operasional Money Base Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaruh kebijakan moneter melalui kerangka operasional Inflation Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia?

3. Apakah kebijakan moneter dengan kerangka Inflation Targeting Framework atau Money Base Targeting Framework yang lebih mampu meningkatkan tingkat konsumsi dan investasi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan moneter terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia. Adapun secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dampak kebijakan moneter melalui kerangka operasional Money Base Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia.


(29)

2. Untuk mengetahui dampak kebijakan moneter melalui kerangka operasional Inflation Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui apakah kebijakan moneter dengan kerangka Inflation Targeting Framework atau Money Base Targeting Framework yang lebih mampu meningkatkan tingkat konsumsi dan investasi di Indonesia.

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir yang diuraikan sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diduga kebijakan moneter melalui kerangka operasional Money Base Targeting Framework berpengaruh positif terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia. 2. Diduga kebijakan moneter melalui kerangka operasional Inflation Targeting

Framework berpengaruh postif pada konsumsi dan investasi di Indonesia. 3. Diduga penerapan kebijakan moneter dengan kerangka Inflation Targeting

Framework lebih mampu meningkatkan tingkat konsumsi dan investasi di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Berikut ini adalah gambar skema kerangka berpikir yang akan digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini. Kemudian akan dijelaskan bagaimana keterkaitan dan hubungan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap konsumsi dan investasi sebagai variabel terikatnya.


(30)

Gambar 3. Dampak Kebijakan Moneter melalui kerangka Money Base Targeting dan Inflation Targeting Framework terhadap konsumsi dan investasi Dapat kita lihat dalam kerangka berpikir di atas bahwa variabel yang digunakan dalam menganalisis dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil di Indonesia (periode Money Base Targeting Framework dan Inflation Targeting Framework) menggunakan beberapa variabel yakni uang primer, BI rate, dan pinjaman.

Secara ringkas, dampak dari Money Base Targeting Framework dan Inflation Targeting Framework sebenarnya berdampak pada sektor riil yang terdiri dari pendapatan, konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto, namun pada penelitian ini hanya terbatas pada pengaruh kebijakan moneter tersebut pada konsumsi dan investasi.

Money Base Targeting  Uang Primer  Pinjaman

Inflation Targeting Framework  BI Rate  Pinjaman

Konsumsi

Investasi


(31)

F. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan. Bagian ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, kerangka pemikiran,dan sistematika penulisan

Bab II. Kerangka pemikiran. Berisikan teori-teori ekonomi yang memiliki kaitan dengan penelitian ini serta penelitian terdahulu yang menjadi rujukan serta acuan dalam penelitian ini

Bab III.Metode penelitian. Membahas tentang jenis dan sumber data, definisi operasional variabel, spesifikasi model, metode pengolahan data, dan prosedur analisis data.

Bab IV. Hasil Perhitungan dan pembahasan. Berisikan analisis hasil perhitungan secara kuantitatif dan kualitataif

Bab V. Simpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Fungsi Uang

Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang sering kali diidentikkan dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam. Padahal menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money) seperti cek dan giro. Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan (Mishkin, 2004).

Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a medium of exchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3) sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value). Uang sebagai media pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa. Uang sebagai media pertukaran

mengatasi permasalahan dalam pemenuhan dua barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja.

Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan barang dan


(33)

jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan biaya transaksi (transaction cost). Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung. Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu dan pada akhirnya,

perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk transaksi-transaksi di masa mendatang.

Keterbatasan sistem barter ini mendorong manusia untuk mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan lancar. Untuk

mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah dibawa, dan (5) tahan lama.

Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang dan jasa yang

diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang. Pengenalan uang dalam perekonomian sebagai hitungan nilai barang memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam


(34)

Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia.

B. Uang Beredar

Secara umum terdapat dua definisi uang beredar yang banyak dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas (liquidity approach).

Pendekatan transaksional memandang uang beredar dihitung dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi. Dalam prakteknya, pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung uang beredar dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo).

Pendekatan likuiditas mendefinisikan uang beredar sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung uang beredar dalam arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun


(35)

valuta asing. Jumlah M2 ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001).

Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits) dengan rumusan:

M = C + D ...(1)

dimana: M = Uang beredar

C = Uang kartal

D = Deposito

Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam pengawasan masyarakat dengan notasi

cr = C/D ...(2)

dimana: cr = Rasio uang kartal dan deposito

C = Uang kartal

D = Deposito

Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang beredar sebagai berikut:

M = (cr + 1) D ...(3)

Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan yang erat dengan uang primer. Uang primer merupakan penjumlahan uang kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan :


(36)

H = C + TR ...(4)

dimana: H = Uang primer (high power money)

C = Uang kartal

TR = Cadangan perbankan

Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang persamaan uang primer dapat ditulis menjadi:

H = (cr+rr) D ...(5)

Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang primer sebagai berikut:

M = cr + 1...(6) H cr + rr

Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat juga dirumuskan sebagai berikut:

M = m x H ...(7)

dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada tingkat tertentu. Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier) dirumuskan sebagai berikut:

m = 1 + (C/D) ...(8) rD+(ER/D)+(C/D)

artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur


(37)

reserve ratio yang diatur oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat pula dikatakan bahwa :

1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi pinjaman untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan pula uang beredar (M).

2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan mengkonversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan

penciptaan uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan uang beredar akan berkurang.

3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran pinjaman sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang beredar.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubunga negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang.


(38)

C. Teori Permintaan Uang

Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil. Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001).

Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari nilai

transaksi (PY). Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai berikut:

MV = PY ...(9)

dimana: M = Uang beredar

V = Tingkat perputaran uang

P = Tingkat harga

Y = Jumlah output

dimana uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PY). Dengan mentransformasikan persamaan diatas, maka:


(39)

Md = 1/V PY ...(10)

Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang ditentukan oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orang-orang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang (velocity of money).

Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan

memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut. Cambridge mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan kapital bila

memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya merupakan proporsi konstan dari volume transaksi.

Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini digambarkan pada persamaan sebagai berikut :


(40)

Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k. Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang.

John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memperlihatkan bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan suku bunga di waktu mendatang.

Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes adalah sebagai berikut :

Md/P = f (i, Y) ...(12)

Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan uang

berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya, Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga.


(41)

Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga.

P = I ...(13) Md f(i,y)

mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran uang (velocity of money) sebagai berikut:

V = P Y = Y ...(14) . Md f(i,y)

artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of money meningkat.

Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang. Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif dengan suku bunga (Mishkin, 2001).

Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga naik, masyarakat akan mencoba mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya oportunitas yang menjadi mahal.


(42)

Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan

penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi permintaan uang sebagai berikut:

Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...(15)

Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat perputaran uang dapat diprediksi.

D. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi

Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat bahwa uang hanya

berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil.


(43)

Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi. Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat output masyarakat. Artinya perubahan dalam sektor moneter dapat mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2002).

Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan kata lain, bank sentral mempunyai discretion untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga uang beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas,

kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi.

Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabel-variabel lain. Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi sejumlah

kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan (shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif melakukan pelonggaran atau pengetatan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi riil


(44)

dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh.

E. Teori Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan

ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya

perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.

Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM (P2) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS2 (Gambar 4).


(45)

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 4. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan

perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru.

Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan

menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap. Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap pergeseran kurva permintaan agregat (AD). Kemiringan kurva IS (elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM (elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Ekspansi

Tingkat bunga, r

Y Pendapatan (y)

Y LRAS LM (P1) LM (P2) IS Tingkat harga, p (P2) (P1) Y k c LRAS SRAS1 SRAS2 AD Pendapatan (y)


(46)

kebijakan moneter dengan menambah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1.

Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva LM datar dengan pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0– Y1. Sementara itu pada kurva LM yang tegak maka

pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar Y0–Y2. Kebijakan

moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan pada Gambar 5.

Sumber : Mankiw (2002)

Gambar 5. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM

F. Suku Bunga

Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001). Dalam

perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan suku bunga Tingkat

bunga, r

Y0 Y1 Y2 Y

IS tegak IS Datar LM0

LM1

Y0 Y1 Y2 Y

Tingkat bunga, r

IS

LMT0 LMT1 LMD0


(47)

nominal karena suku bunga riil sudah mempertimbangkan perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus:

Suku bunga riil = suku bunga nominal – inflasi

Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Uang beredar (MS)

ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga. Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar dan permintaan uang.

Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga permintaan uang meningkat.

Dalam Mishkin (2001) disebutkan bahwa uang beredar berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus:

MS = m x MB ...(16)

dimana: MS = Uang beredar

m = Angka pengganda uang


(48)

Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m) menjadi faktor yang turut mempengaruhi uang beredar karena m menunjukkan seberapa banyak

perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan rumus:

m = 1+C/D ...(17) . rD (ER/D) (C/D)

artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatur oleh bank sentral.

1. Perubahan Required Reserve

Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve.

2. Perubahan Currency Ratio

Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier akan turun karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio.


(49)

3. Perubahan Excess Reserve Ratio

Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun. Preferensi bank memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan manfaatnya. Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang menjadi acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS.

G. Investasi

Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi (Mankiw, 2002). Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan jumlah tabungan (I = S). Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (ekspor impor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat

diturunkan dari persamaan pendapatan nasional,

Y = C + I + G + N↓ ……….………...(18)

Y – C – G = I + NX;

dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga:


(50)

NX = S –I ...……….………..………...(20)

dimana NX adalah ekspor neto yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I menunjukkan Net Foreign Investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika NFI negatif artinya investasi domestik lebih besar dari tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Ekspor bersih (NX) merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun. Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga pasar opportunity kegiatan investasi

semakin mahal dan sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan:

S = I (r) + NX (∈) ………...…..……… (21)

dimana: S = Tabungan

I = Investasi


(51)

H. Konsumsi

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen.

Faktor-Faktor utama yang memengaruhi tingat konsumsi adalah pendapatan, dimana korelasi keduanya bersifat positif, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan (Y) maka konsumsinya (C) juga makin tinggi : C = f(Y).

 Teori Konsumsi Keynes

Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current disposable income) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dijelaskan melalui fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi menggambarkan tingkat konsumsi pada berbagai tingkat pendapatan.

C = a +bY => FUNGSI KONSUMSI

Keterangan : C = konsumsi seluruh rumah tangga (agregat)

a = konsumsi otonom, yaitu besarnya konsumsi ketika pendapatan nol (merupakan konstanta)


(52)

Y = pendapatan disposable

Dalam hal ini, pendapatan (Y) yang dimaksud oleh Keynes adalah :

1. Pendapatan riil/nyata (yang menggunakan tingkat harga konstan), bukan pendapatan nominal.

2. Pendapatan yang terjadi (current income), bukan pendapatan yang diperoleh sebelumnya, dan bukan pula pendapatan yang diperkirakan terjadi di masa datang (yang diharapkan).

3. Pendapatan absolut, bukan pendapatan relatif atau pendapatan permanen. b adalah marginal propensity to consume (MPC) atau kecenderungan mengonsumsi marginal, yaitu berapa konsumsi bertambah bila pendapatan bertambah. Dan secara matematis dapat dirumus :

MPC = perubahan C dibagi dengan perubahan Y atau MPC = C/Y

Dalam kurva konsumsi, MPC menunjukkan kemiringan/kecondongan (slope) kurva konsumsi. Marginal propensity to save (MPS) adalah berapa tabungan bertambah karena bertambahnya pendapatan.

MPS = perubahan S dibagi dengan perubahan Y atau MPS = S/Y

Dimana : S = tabungan dan Y = pendapatan.

Dalam kurva tabungan, MPS menunjukkan kemiringan/kecondongan (slope) kurva tabungan.

MPC + MPS = 1. berarti MPS = 1 – MPC

Tidak semua pendapatan digunakan untuk konsumsi, melainkan sebagian ditabung (S).


(53)

C = a + bY Y = a + bY + S S = -a + Y - bY S = -a + (1-b)Y Karena : 1-b = MPS, maka

S = -a + MPS(Y) atau

S = -a +sY => FUNGSI TABUNGAN dimana : s = MPS = 1-MPC = 1-b

 Faktor - Faktor Penentu Tingkat Konsumsi

1. Pendapatan rumah tangga (Household income), semakin besar pendapatan, semakin besar pula pengeluaran untuk konsumsi.

2. Kekayaan rumah tangga (Household wealth), semakin besar kekayaan, tingkat konsumsi juga akan menjadi semakin tinggi. Kekayaan misalnya berupa saham, deposito berjangka, dan kendaraan bermotor.

3. Prakiran masa depan (Household expectations), bila masyarakat memperkirakan harga barang-barang akan mengalami kenaikan, maka mereka akan lebih banyak membeli/belanja barang-barang.

4. Tingkat bunga (Interest rate), bila tingkat bunga tabungan tinggi/naik, maka masyarakat merasa lebih untung jika uangnya ditabung daripada

dibelanjakan. berarti antara tingkat bunga dengan tingkat konsumsi memepunyai korelasi negatif.

5. Pajak (Taxation), pengenaan pajak akan menurunkan pendapatan disposable yang diterima masyarakat, akibatnya akan menurunkan konsumsinya.


(54)

6. Jumlah dan konsumsi penduduk, jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi. Sedangkan komposisi penduduk yang didominasi penduduk usia produktif/usia kerja (15-64 tahun) akan

memperbesar tingkat konsumsi.

7. Faktor sosial budaya, misalnya, berubahnya pola kebiasaan makan,

perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih modern. Contohnya adalah berubahnya kebiasaan orang Indonesia berbelanja dari pasar tradisional ke pasar swalayan (super market).

I. Pinjaman

1. Pengertian Pinjaman

Secara sederhana, pinjaman dapat diartikan sebagai barang atau jasa yang menjadi kewajiban pihak yang satu untuk dibayarkan kepada pihak lain sesuai dengan perjanjian tertulis ataupun lisan, yang dinyatakan atau diimplikasikan serta wajib dibayarkan kembali dalam jangka waktu tertentu (Ardiyos, 2004).

Dalam ruang lingkup pendanaan bagi perusahaan pembiayaan maka pinjaman adalah merupakan sejumlah dana yang dipinjamkan oleh suatu lembaga keuangan dan debitur wajib mengembalikannya dalam suatu jangka waktu tertentu melalui angsuran pembayaran berupa pokok pinjaman ditambah dengan bunga pinjaman.

2. Sumber Dana Pinjaman

Sumber dana pinjaman dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu:

a. Pinjaman dalam negeri (on-shore loan) berupa:

• Pinjaman dalam bentuk mata uang Rupiah maupun asing. • Pinjaman melalui sindikasi ataupun bilateral.


(55)

• Pinjaman dengan fasilitas yang mengikat (committed) ataupun tidak (uncommitted).

b. Pinjaman luar negeri (off-shore loan) berupa: • Pinjaman dalam bentuk mata uang asing. • Pinjaman melalui sindikasi ataupun bilateral.

• Pinjaman dengan fasilitas yang mengikat (committed) ataupun tidak (uncommitted).

3. Keunggulan dan Kelemahan Pinjaman

Ada beberapa keunggulan yang diperoleh jika memilih pendanaan melalui pinjaman, diantaranya adalah:

• Proses cepat dan mudah.

• Biaya pengurusan untuk memperoleh pinjaman rendah. • Proses pengurusan pinjaman sangat sederhana.

Sedangkan kelemahan dari pendanaan melalui pinjaman bank antara lain adalah: • Jumlah dana yang dapat dicairkan umumnya sangat terbatas.

• Biaya bunga pinjaman pada umumnya relatif tinggi, mengikuti tren pergerakan tingkat suku bunga yang berlaku di pasar.

4. Mekanisme Pinjaman

Secara garis besar, tahapan dalam proses peminjaman dana dapat digambarkan sebagai berikut:

• Calon debitur mengajukan proposal untuk memperoleh fasilitas pinjaman.

• Pinjamanur akan melakukan penelaahan terhadap persyaratan dan kondisi fasilitas pinjaman.

• Penyelesaian masalah yang berhubungan dengan legal. • Penandatanganan perjanjian pinjaman.


(56)

• Penarikan dana.

Kemudian debitur akan membayar kembali pokok pinjaman yang diterima ditambah dengan bunga dan dilakukan secara berkala dalam jangka waktu yang telah

disepakati sebelumnya.

J. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter

Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter (Mishkin, 2002). Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu pencapaian tujuan kebijakan moneter karena mampu meminimalisasi permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka panjang.

Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun permasalahan selama ini adalah pencapaian

pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif. Oleh karena itu, dalam

perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas harga.

Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan kebijakan moneter tersebut antara lain


(57)

(1) penargetan nilai tukar (exchange rate targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4) strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas.

1. Penargetan Nilai Tukar

Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3) menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi antara dua negara.

Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor, (2) dapat

mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001)

Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian


(58)

2. Penargetan Besaran Moneter

Penargetan besaran moneter dilakukan dengan menetapkan pertumbuhan uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta pinjaman. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan domestik, (2) rentan terhadap

tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan pasar.

Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan. Stratgi kebijakan ini akan menjadi kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter dengan sasaran akhir diantaranya tingkat inflasi. Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi.

3. Penargetan Inflasi

Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran akhir inflasi dan bukan


(59)

pencapaian sasaran antara seperti uang beredar atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal, bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir.

Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4) meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik dan pasar, (2) strategi ini seringkali

membutuhkan aturan yang rumit, dan (3) fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar.

Walaupun penargetan dilakukan pada inflasi, strategi ini tidak mengabaikan pencapaian tujuan kebijakan moneter lainnya seperti perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah.


(60)

K. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu identitas the equation of exchange:

MV = PT

dimana uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT).

Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek pertumbuhan uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang, pertumbuhan uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional.

Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan secara spesifik jalur


(61)

pengaruh uang beredar terhadap output melainkan menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2) pemikiran Keynesian yang

mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk memahami jalur transmisi secara lebih baik.

Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi dari sisi kredit (Mishkin, 2001).

1. Jalur Suku Bunga

Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu perekonomian. Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil.

Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif akan mendorong


(62)

penurunan suku bunga riil jangka pendek dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini.

i = ir+ πe ...(22)

atau sama juga dengan:

ir = i - πe ...(23)

sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat disederhanakan seperti berikut ini

M Pe πe ir I Y ...(24)

2. Jalur Harga Aset

Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory Tobin, dan (3) efek kekayaan. Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran dan

permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya, dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku bunga riil yang mendorong terjadinya capital outflow dan selanjutnya meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah.


(63)

Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through). Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset domestik dan aset luar negeri.

Mekanisme transmisi menurut Teori Tobin dan efek kekayaan menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga asset dan kekayaan

masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1) mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat.

3. Jalur Kredit

Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima jalur, yaitu (1) jalur kredit bank (bank lending channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi aset, (2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk

mendapatkan kredit, (3) jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang


(64)

menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang

mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang tahan lama.

Menurut jalur kredit bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank untuk memberikan kredit akan menurun yang pada

gilirannya menyebabkan penurunan investasi dan mendorong penurunan output.

Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output.

Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris mengenai


(65)

beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini, individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang tidak baik.

Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca keuangannya. Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan keyakinan pemberi kredit terhadap kemampuan

membayar kredit sehingga mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan

meningkatkan investasi dan output.

Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter ekspansif maka kenaikan uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang tidak terduga yang selanjutnya

meningkatkan nilai bersih perusahaan. Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank yang mampu mendorong peningkatan investasi dan output.


(66)

Jalur likuiditas rumah tangga menjelaskan bahwa kebijakan moneter akan

mempengaruhi harga saham dimana kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga mampu meningkatkan nilai saham. Peningkatan nilai saham ini berlanjut pada pebaikan kekayaan finansial rumah tangga yang menurunkan kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga dan selanjutnya meningkatkan keyakinan rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran perumahan dan barang-barang tahan lama yang dimasukkan sebagai pengeluaran investasi sehingga meningkatkan output dari permintaan agregat.

L. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter

Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran antara, pemantauan variabel-variabel ekonomi keuangan yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter hingga pelaksanaan pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir. Kerangka

operasional kebijakan moneter mencakup instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara yang dipergunakan untuk mencapai sasaran akhir yang telah ditetapkan.

Sasaran antara diperlukan karena untuk mecapai sasaran akhir yang ditetapkan, terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter dan hasil pencapaian sasaran akhir dari kebijakan tersebut. Tenggang waktu pengaruh kebijakan moneter terjadi karena diperlukan waktu : (1) merumuskan kebijakan moneter di bank sentral (inside lag), baik dalam mengetahui masalah (recognition lag), memutuskan

kebijakan (decision lag), dan melaksanakan kebijakan moneter (action lag), dan (2) kebijakan moneter berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi (outside lag).

Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator-indikator yang lebih segera dapat dilihat untuk mengetahui indikasi arah pergerakan ekonomi dan inflasi ke depan dan


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil perhitungan dan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Pada periode money base targeting framework, pada persamaan model 1 dengan variabel terikat konsumsi, variabel bebas uang primer dan pinjaman berpengaruh signifikan terhadap konsumsi.

Pada periode money base targeting framework, pada persamaan model 2 dengan variabel terikat investasi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan yaitu uang primer, sedangkan pinjaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap investasi.

2. Pada periode inflation targeting framework, pada persamaan model 3 dengan variabel terikat konsumsi, semua variabel bebas yaitu BI Rate dan pinjaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi.

Pada periode inflation targeting framework, pada persamaan model 4 dengan variabel terikat investasi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan yaitu BI Rate, sedangkan pinjaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap investasi.


(2)

3. Penerapan kebijakan moneter dengan kerangka money base targeting

framework lebih mampu meningkatkan konsumsi dan investasi di Indonesia. Pada periode tersebut terlihat bahwa uang primer dalam penelitian ini

berpengaruh dan signifikan terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia. Berbeda dengan periode inflation targeting framework menggunakan BI Rate yang hanya berpengaruh signifikan terhadap investasi di Indonesia.

B. Saran

1. Penggunaan BI Rate terbukti tidak memiliki hubungan dengan konsumsi di Indonesia pada periode inflation targeting framework. Sebaiknya, kebijakan suku bunga dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi dengan memperhatikan aspek-aspek yang akan berpengaruh langsung terhadap konsumsi sehingga BI Rate dapat berpengaruh terhadap konsumsi. Bank Indonesia juga harus merencakan alternatif lain yang dapat meningkatkan investasi di Indonesia. 2. Pinjaman terbukti memiliki hubungan negatif dengan konsumsi pada periode

money base targeting framework, namun tidak berpengaruh terhadap investasi pada periode money base targeting framework dan konsumsi dan investasi pada periode inflation targeting framework. Hubungan ini menunjukkan bahwa pinjaman masih belum mempunyai pengaruh yang besar terhadap konsumsi dan investasi. Bank Indonesia perlu untuk mengkaji ulang faktor yang dapat

mempengaruhi konsumsi dan investasi secara signifikan. Pemerintah tetap perlu menciptakan stimulasi perbaikan kinerja dunia usaha melalui penyaluran paket-paket pinjaman sehingga dapat menjadi sumber permodalan untuk

meningkatkan kapasitas produksi.

3. Melihat pengaruh uang primer terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia periode money base targeting framework dibandingkan dengan pengaruh BI


(3)

Rate terhadap investasi di Indonesia periode inflation targeting framework maka sebaiknya BI melakukan pengkajian khusus untuk menentukan sasaran moneter yang baik digunakan dan transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga yang tepat dalam mempengaruhi konsumsi kedepannya.

4. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan lebih banyak variabel indikator yang berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Widarjono. 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya.Edisi Ketiga. EKONISIA. Yogyakarta.

Agung Yudiviantho. 2010. Strategi pendanaan Strategi Pendanaan Melalui Sekuritisasi Piutang Pembiayaan Konsumen Pada Pt. Abc Finance. [Tesis]. Program Studi Magister Manajemen FE UI,

Alkadri. 1999. Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Selama 1969- 1996. Jurnal Studi Indonesia, 9 (2): 1-13. www.psi.ut.ac.id/jsi/92alkadri Ardiyos. 2004. Kamus Besar Akuntansi. Jakarta: Citra Harta Prima.

Bank Indonesia. 2013. Kebijakan Moneter

Cahya, Taruna. 2010. Pengaruh Penerapan Kerangka Inflation Targeting terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Eko, Yuli. 2009. Ekonomi 1 : Untuk SMA dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.

Friedman, M. 1991. Monetarist Economics. Basil Blackwell Ltd, New York Hamdani. 2003. Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap

Perubahan Nilai Tukar dan Laju Inflasi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 6 (1): 12-33.

Hendarsah. 2003. Nilai Tukar, Stabilitas Makro dan Intermediasi Perbankan. Buletin Bisnis dan Investasi, Jakarta. www.kompas.com/kompascetak/ 0305/31/ekonomi.340442.

Permono, Iswardono Sardjono. 1997. Indonesian Monetary Policy. Journal of Economics. FE UII. vol. 3/2 May 19 1997

John B. Taylor, 1995. "The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework," Journal of Economic Perspectives, American Economic Association, vol. 9(4), pages 11-26, Fall.

Julaihah, Umi dan Insukrindo. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makreoekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 – 2003.2. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 323-341.

Lira Mai Lena. 2007. Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia. [Tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor


(5)

Mankiw, N.G. 2002. Macroeconomics. Third Edition. Worth Publisher, New York McCallum, B.T. 1989. Monetary Economics:Theory and Policy. Macmillan

Publishing Company, New York.

Mela Mardani (2013) Analisis Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Moneter Di Indonesia Periode 2005:07-2012:12. Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung.

Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Market. Pearson Education International, New York.

Mishkin, F.S. 2004. The Economics of Money, Banking and Financial Market. Sixth Edition. Addison Wesley Publishing Co. United States of America. Mulyati, sri Nur dan Mahfudz, Agus dan Permana, Leni. 2009. Ekonomi 1 : Untuk

Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas X. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.Tanah Airku

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Buku 2. Yogyakarta : BPFE.

Nuryati, Y. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Makroekonomi, edisi kedua, Rajawali Pers, Jakarta.

Sadono Sukirno. “Teori Pengantar Makro Ekonomi”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004.

Sri Murwani. 2007. Analisis Kebijakan Moneter Kaitannya dengan Penanaman Modal Asing: Pendekatan Taylor Rule. [Tesis]. Fakultas Ekonomi Universitas Dipenogoro Semarang.

Warjiyo, P. dan J. Agung. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia, Jakarta.

Warjiyo, Perry. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Buku Seri Kebanksentralan No. 11, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia.

Wiranta, S. 1995. Deregulasi Moneter di Indonesia dan Kaitannya dengan Tingkat Suku Bunga. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3(1): 85-101. Yudanto, N dan M. Setyawan, S. 1998. Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor

Riil. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(2):131-155. http://bi.go.id


(6)

http://hanafithanasevi.blogspot.com/2011/07/mekanisme-transmisi-kebijakan-moneter.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25487/4/Chapter%20II.pdf


Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN INFLATION TARGETING TERHADAP KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

3 42 82

ANALISIS PENGARUH VARIABEL SEKTOR MONETER DAN RIIL TERHADAP INFLASI DI INDONESIA (PERIODE 2006.01 – 2013.06)

0 14 83

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN KERANGKA KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KONSUMSI DAN INFLASI DI INDONESIA (Periode 2001:01-2005:06 dan 2005:07-2013:12)

1 14 76

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN MONETER MELALUI BASE MONEY TARGETING FRAMEWORK (2000:01-2005:06) DAN INFLATION TARGETING FRAMEWORK (2005:07-2013:12) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN LAJU INFLASI DI INDONESIA

0 36 104

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER (MONETARY BASE TARGETING FRAMEWORK 2002:01-2005:06 DAN INFLATION TARGETING FRAMEWORK 2005:07-2013:06) TERHADAP INVESTASI DI INDONESIA

0 4 113

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER (MONETARY BASE TARGETING FRAMEWORK 2002:01-2005:06 DAN INFLATION TARGETING FRAMEWORK 2005:07-2013:06) TERHADAP INVESTASI DI INDONESIA

1 11 112

B.Inggris : ANALYSIS OF THE EFFECT OF MONETARY POLICY (MONETARY BASE TARGETINGFRAMEWORK 2002:01-2005:06 AND INFLATION TARGETING FRAMEWORK 2005:07-2013:06) FOR INVESTMENT IN INDONESIA B.Indonesia : ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER (MONETARY BASE TARGETI

0 7 85

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL DI INDONESIA (PERIODE MONEY BASE TARGETING FRAMEWORK (2002:01-2005:06) DAN INFLATION TARGETING FRAMEWORK (2005:07-2013:12))

3 25 92

ANALISIS RESPON PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP GUNCANGAN INSTRUMEN MONETER DI INDONESIA (PERIODE 2002:Q1-2014:Q4)

1 8 78

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PERIODE 2006-2010

0 0 12