12 sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; b Curahan kerja wanita
nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur, pendidikan, dan status pekerjaan; c Wanita nelayan pengolah ikan kering
memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha lainnya; d Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri.
8 “Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari
International Water Management Institute IWMI Gujarat dimuat dalam Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk
menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam SDA dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan
observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan
mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari
SDA tersebut. Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari
komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian, perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan
produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga.
1.7 Novelty
Kebaruan novelty dari penelitian ini terletak pada 1 Penggunaan kombinasi analisis gender GAP dan Moser, analisis Strengths,
Weaknesses, Opportunities and Threats SWOT dan pendekatan Analytical Hierarchy Process AHP.
a Gender Analysis Pathway GAP merupakan alat analisis pengarusutamaan gender PUG di tingkat kebijakan dan program
pembangunan kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan Dislutkan Kabupaten Subang;
13 b Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program
pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat rumahtangga komunitas perikanan;
c Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
d Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang
mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun
alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. 2 Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas
prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan.
3 Obyek penelitian yang bersifat holistik mencakup masyarakat pesisir, kelembagaan pemerintah daerah Dislutkan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desakoordinator Forum Komunikasi, Konsultasi dan Koordinasi Gender Kabupaten Subang dan kelembagaan ekonomi KUD Mina, Bakul
Ikan di Kabupaten Subang.
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT
SRI MURNI SOENARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KESETARAAN GENDER DALAM
PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2007
Sri Murni Soenarno P.
062024051
RINGKASAN
SRI MURNI SOENARNO. Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh DANIEL R.
MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG dan AIDA VITAYALA S. HUBEIS.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, di mana 65 persen penduduknya, termasuk nelayan, hidup di wilayah pesisir. Perbandingan persentase
penduduk perempuan dan lelaki hampir sama, maka potensi perempuan dapat dijadikan modal pembangunan. Perempuan banyak berperan dalam kegiatan
perikanan, seperti pedagang ikan, pengolah ikan dan pengelola keuangan, tetapi peran perempuan belum terdokumentasikan sehingga mereka tidak dilibatkan
dalam pembangunan perikanan.
Produksi perikanan Kabupaten Subang yang berasal dari laut adalah lima puluh persen dari jumlah total produksi perikanan. Pendaratan ikan laut tangkapan
banyak dilakukan di dua pelabuhan perikanan pantai PPP yang terletak di Kecamatan Blanakan yaitu PPP Blanakan dan PPP Ciasem.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1 menganalisis kesetaraan gender dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat
ini, 2 menganalisis sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai, dan 3 menyusun alternatif program pembangunan perikanan
pantai yang responsif gender. Analisis data yang digunakan adalah kombinasi analisis gender Gender Analysis Pathway dan analisis Moser, analisis Strengths,
Weaknesses, Opportunities and Threats SWOT dan pendekatan Analytical Hierarchy Process AHP.
Kesimpulan yang diperoleh adalah 1 Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini belum responsif gender. Dalam
lingkup keluarga, istri bertanggungjawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keluarga serta keuangan. Suami
bertanggungjawab dan pengambil keputusan yang dominan dalam kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan bersifat politik. 2 Sikap masyarakat pesisir
terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dipengaruhi oleh faktor ekonomi berupa adanya peluang kerja dan faktor budaya berupa sosialisasi gender
melalui pendidikan keluarga. 3 Program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dan yang paling berpeluang serta dianggap penting oleh pelaku
Pemda, KUD Mina dan nelayan untuk dilaksanakan adalah program pengembangan sumberdaya manusia SDM masyarakat lelaki dan perempuan.
Kata kunci: Perikanan pantai, gender, Kabupaten Subang
ABSTRACT
SRI MURNI SOENARNO. Gender Equality in Coastal Fisheries Development: The case of Subang District, West Jawa. Under the direction of DANIEL R.
MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG and AIDA VITAYALA S. HUBEIS. Indonesia is the biggest archipelagic state in the world where about 65 percent
of their population, including fishermen, lives in the coastal area. The percentage ratio between male and female population is almost equal, so women can be a
potential capital for development. Women play multiple roles in fishery activities, such as fish-trader, fish-processor, and financial administrator. However, their roles
are not well documented. Fifty percent of Subang fisheries come from the sea. The most of fishes have been landed at Blanakan and Ciasem coastal port.
This research is aimed at: 1 Analyzing gender responsive of the Subang District marine and fishery programs; 2 Analyzing the attitude of coastal
community toward gender equality in coastal fisheries; and 3 Developing alternative programs for coastal fishery to be gender responsive. The data analyses
used the combination of gender analysis Gender Analysis Pathway and Moser Analysis, Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats SWOT analysis and
Analytical Hierarchy Process AHP approach.
The results of the research conclude that: 1 Marine and fishery programs of Subang District have not yet been gender responsive. In a family, wife responsible
and becomes a dominant decision maker in domestic and social activities and as a financial administrator. On the other hand, husband responsible and becomes a
dominant decision maker in production activities and political decision. 2 The community attitude may be influenced by work opportunity and culture through
family education. 3 The coastal fishery development program which is gender responsive has the most chance and is considered important by stakeholders local
government, Mina Village Unit Cooperative, and fishermen to be implemented is human resource development program for male and female.
Key words: Coastal fisheries, gender, Subang District
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007. Hak cipta dilindungi undang-undang.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT
OLEH:
SRI MURNI SOENARNO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Titik Sumarti Penguji pada Ujian Terbuka : Prof.Dr. Meutia Hatta-Swasono
Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira
Judul Disertasi : Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Sri Murni Soenarno Nomor Pokok : P. 062024051
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja Ketua
Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis
Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan
Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian: 4 Oktober 2007
Tanggal lulus: ……………………
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat tersusun sesuai jadwal yang
direncanakan. Disertasi dengan judul “Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan akademis pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Dr.Ir.
Aida Vitayala S. Hubeis selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bekal yang memadai sampai tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta kepada Prof.Dr Meutia Hatta Swasono dan Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri
Mangkuprawira yang telah bertindak sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian lapangan yaitu pejabat di Dinas Kelautan Dan Perikanan dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, aparat di Kantor Desa Blanakan dan Desa Muara, pengurus KUD Fajar Sidik dan KUD Mina Bahari, serta pihak-pihak
lainnya yang tidak tersebutkan namanya di Kabupaten Subang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran Pengurus, Pembina dan Pengawas serta kolega di The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation
IWF, yaitu Ir. Soedjadi Hartono, Prof.Dr. Abdul Bari, Drs. Ismu S. Suwelo, Ir. Koes Saparjadi, MF, Sukandi, SH., Prof.Dr. Dedi Sudharma, Drs. Djoko Setiono,
Ir. Ervizal A.M. Zuhud, serta staf lainnya, atas bantuan beasiswa dan dukungannya. Terima kasih yang tak terucapkan kepada almarhum Prof.Dr. Rubini Atmawidjaja,
dan almarhum Burhanuddin, BcKN atas dukungan yang pernah diberikan, serta kepada almarhum Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto, MSc atas wawasan awal tentang
peran perempuan pesisir di bidang perikanan.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami, Ir. Muhammad Ikhsan, MSi atas dukungan semangat, waktu, doa, kesabaran dan
materi sejak awal perkuliahan hingga kelulusan penulis, serta kepada putrinda Astari Miranti dan Irena Ganesha atas dukungan semangat dan doa serta
kesabarannya. Terakhir terima kasih kepada ayahanda, Ir. Soenarno Josodarsono alm atas didikan tentang pentingnya memiliki semangat juang, dan kepada
ibunda, Siti Moersijam Prodjosoewito atas informasi awal tentang masalah gender.
Penulis memohon maaf kepada semua pihak jika ada kesalahan baik perkataan dan perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
penulis selama masa perkuliahan, penelitian hingga lulus. Bogor, Oktober 2007
Sri Murni Soenarno
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Juni 1963 sebagai anak ketiga dari empat anak pasangan Ir. Soenarno Josodarsono alm dan Siti Moersijam
Projosoewito. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FPMIPA
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri Jakarta, UNJ, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1984, penulis terpilih menjadi
Mahasiswa Teladan II IKIP Jakarta, saat menjabat sebagai Ketua Sub Unit Karawitan IKIP Jakarta. Setelah lulus S1, pada tahun 1987, penulis diterima di
Program Studi S2 Ilmu Lingkungan–Ekologi Manusia ILEM pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia UI dan menamatkannya sebagai Magister
Sains MSi pada tahun 1990. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PSL Institut
Pertanian Bogor IPB diperoleh pada tahun 2003. Biaya kuliah diperoleh dari instansi kerja penulis yaitu The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation, IWF
Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia.
Penulis bekerja sebagai konsultan AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sejak tahun 1990. Pada tahun 1992 sampai 1997, penulis bekerja
sebagai konsultan di PT. Selaras Rona Consultant, Jakarta. Penulis bekerja di IWF sejak tahun 1990 hingga sekarang. Saat ini, penulis
adalah anggota pengurus dan berkedudukan sebagai Sekretaris Yayasan IWF serta sebagai Pimpinan Redaksi WARTA IWF, terbitan berkala IWF. Bidang tugas
kekhususan yang menjadi tanggung jawab penulis saat ini adalah pusat informasi dan pangkalan data.
Makalah ilmiah yang berjudul “Pemberdayaan Wanita Nelayan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Lestari” telah disajikan pada Lokakarya
Nasional “Optimalisasi Peran Wanita Nelayan di Pesisir Pantai” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Hang Tuah Surabaya ke 16
pada tgl 24 April 2003 di Surabaya. Artikel berjudul ”Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” dimuat pada
Buletin PSP Volume XVI Nomer 1 April 2007, yaitu jurnal terakreditasi dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Departemen PSP Fakultas Ilmu
Perikanan dan Kelautan FPIK IPB. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
Penulis menikah dengan Ir. Muhammad Ikhsan, MSi pada tahun 1990 dan dikaruniai dua puteri yaitu Astari Miranti lahir tahun 1991 dan Irena Ganesha
lahir tahun 1993. Penulis dinyatakan lulus dalam Ujian Doktor Terbuka pada hari Kamis
tanggal 4 Oktober 2007.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL
xiii DAFTAR
GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii DAFTAR
SINGKATAN xviii
DAFTAR ISTILAH
xix 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
1.3.1 Tujuan penelitian 5
1.3.2 Manfaat penelitian 5
1.4 Hipotesis 6
1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian 6
1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan 8
1.7 Novelty 12
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan 14
2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 23
2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia
23 2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir
24 2.2.3 Perikanan pantai
27 2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan
31 3 METODE
PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
34 3.2 Metode Penelitian
34 3.2.1 Rancangan penelitian
34 3.2.2 Pelaksanaan penelitian
36 3.3 Analisis Data
39 3.3.1 Analisis gender 40
3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats SWOT
42 3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process AHP
43 3.4 Definisi Operasional
43 4 KONDISI
UMUM 4.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang
45
xii Halaman
4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang 47
4.2.1 Distribusi penduduk 47
4.2.2 Pendidikan 51
4.2.3 Kesehatan 52
4.2.4 Kegiatan ekonomi 54
4.3 Perikanan Kabupaten Subang 56
4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang 56
4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut 57
4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang 58
4.4 Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Subang 60
4.4.1 Landasan hukum 60
4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa BPMD Kabupaten Subang
63 5 HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Masyarakat Umum Kecamatan Blanakan 66
5.1.1 Karakteristik sosial budaya 66
5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut 71
5.1.3 Rona lingkungan hidup 84
5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai 87
5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai
115 5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender
124 5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis
kesetaraan gender 124
5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
126 5.6 Pembahasan Umum
136 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
146 6.2 Saran
148 DAFTAR
PUSTAKA 150
LAMPIRAN 159
xiii DAFTAR TABEL
Halaman 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data
sesuai tujuan penelitian di Desa Blanakan dan Desa Muara, Kabupaten Subang, tahun 2006
39 2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang
dan Kecamatan Blanakan tahun 2005 48
3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun
2005 48
4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
49 5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur
tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
49 6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang
tahun 2000-2004 50
7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003
50 8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf
menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004 51
9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004
51 10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis
kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004 52
11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun 2003
53 12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis
kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003 53
13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun 1999-2005
53 14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran
Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004
54 15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis
kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004 55
16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten
Subang tahun 2002-2004 55
17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005
57 18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di
Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 69
19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 70
xiv Halaman
20 Perahukapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang
tahun 2005 72
21 Produksi KUDTPI Fajar Sidik dan KUDTPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
72 22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009
88 23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan
pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
90 24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan
dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
91 25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan
dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
97 26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di
Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006 100
27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
103 28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas
perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
107 29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan
perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
108 30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol,
partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
109 31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu
gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006
110 32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada
pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang 112
33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksis pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang
113 34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan
pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
119 35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
125 36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
125
xv Halaman
37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku
129 38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda
132 39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina
134 40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang
135 41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang
145
xvi DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian 8
2 Kerangka sistem perikanan berkelanjutan Charles 2001
30 3
Kerangka kerja KIE modifikasi DENR et al. 2001 33
4 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis
SWOT 126
5 Hirarki pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
128
xvii DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Peta Kecamatan Blanakan 159
2 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan
Kabupaten Subang tahun 2005-2009 160
3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan
gender 163
4 Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam
perikanan pantai 164
5 Hasil pengolahan data dengan SPSS
166 6
Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
168 7
Hasil pengolahan data AHP 170
xviii DAFTAR SINGKATAN
AHP : Analytical Hierarchy Process BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Dislutkan : Dinas Kelautan dan Perikanan DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan
GAP : Gender Analysis Pathway GDI : Gender-related Development Index
GEM : Gender Empowerment Measured HDI : Human Development Index
IPM : Indeks Pembangunan Masyarakat KUD : Koperasi Unit Desa
MDGs : Millennium Development Goals PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai
PUG : Pengarusutamaan Gender RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SDM : Sumberdaya Manusia SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats
TPI : Tempat Pelelangan Ikan
xix DAFTAR ISTILAH
Bias gender :
Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat
pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu, misalnya, lebih berpihak
kepada lelaki daripada kepada perempuan atau sebaliknya.
Data terpilah menurut jenis kelamin
:
Informasi statistik yang membedakan perempuan dan lelaki, misalnya, ‘prosentase perempuan dan lelaki dalam angkatan
kerja” bukan “jumlah penduduk dalam angkatan kerja”
Isu gender :
Isu-isu dan permasalahan yang disebabkan oleh ketimpangan gender. Bagian dari permasalahan adalah
diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan,
kesempatan, status, peran, hak, dan penghargaan.
Keadilan gender :
Adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud,
diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah
menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya.
Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.
Kesetaraan gender
Berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-
haknya dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan
masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka lakukan.
Kesenjangan gender :
Suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam akses ke dan kontrol
atas sumber-smber daya penting, perbedaan dalam pekerjaan dan upah dimana laki-laki menerima lebih banyak
dibandingkan permepuan. Selain itu terkandung juga dalam kesenjangan gender ini yaitu ketidak-seimbangan hubungan
antara perempuan dan laki-laki di dalam proses pembangunan, dimana perempuan tidak berpartisipasi dalam
proses pembangunan merencanakan, memutuskan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi. Kesenjangan
gender dapat diidentifikasi melalui analisis gender.
xx Pengarusutamaan
gender :
Adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan publik. Selain itu, ia juga merupakan
suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang memasukkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Tujuan pengarusutamaan
gender adalah untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati manfaat pembangunan
sehingga kesenjangan gender tidak ada lagi.
Perencanaan yang responsif gender
:
Perencanaan yang responsif gender adalah penggunaan dan pengintegrasian kerangka gender dan Pembangunan ke
dalam keseluruhan siklus perencanaan pembangunan dari suatu proyek.Siklus suatu proyek yaitu perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dimana ditiap tahap tersebut partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-
laki terjadi sehingga kebutuhan-kebutuhan dan potensi- potensi mereka yang berbeda diperhatikan.
Perspektif gender :
Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang: politik,
ekonomi, sosial, hukum, budaya, agama, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut
dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan
pengembangan diri seseorang.
Responsif gender :
Perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan- perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat
yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan.
Sensitif gender :
Adalah kemampuan untuk mengenali kesenjangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga
dan di dalam komunitas; dampak pembagian kerja berdasarkan gender terhadap perempuan dan laki-laki;
bahwa pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan, aspirasi perempuan dan laki-laki juga berbeda. Kesadaran ini
membawanya kepada kepekaan gender yang artinya selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek,
kegiatan adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama
dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.
Sumber: www.menegpp.go.id
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan
Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya
manusia SDM yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian pembangunan antara lelaki dan perempuan RI 2005. Kondisi perempuan
Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas 2002 BPS 2003 antara lain adalah sebagai
berikut: • Angka Partisipasi Sekolah penduduk APS usia sekolah 7-18 tahun adalah
80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki. • Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen
perempuan banding 5,85 persen lelaki. • Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK penduduk usia 15 tahun ke atas:
50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki. • Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga KRT:
12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki. Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI Human
Development Index atau IPM Indeks Pembangunan Manusia dan GDI Gender- related Development Index. HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan
manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil
antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender. Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan indikatornya usia
harapan hidup, pendidikan indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti pendidikan formal dan standar hidup layak Pendapatan Domestik Bruto per
kapita. Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI
Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara UNDP 2006. Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya
kesenjangan gender.
15 Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI,
adalah GEM Gender Empowerment Measured. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang
menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik
indikatornya partisipasi perempuan di parlemen, partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi indikatornya perempuan berposisi sebagai
legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional, dan kekuatan terhadap sumberdaya ekonomi indikatornya perempuan dalam angkatan kerja
dan rata-rata upah di sektor non-pertanian BPS-Bappenas-UNDP, 2004. Menurut Johansson 2004, “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows
womens opportunities in economic and political life”. Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat KPP 2002a. Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul
masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan
pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia SDM atau pengambilan keputusan. Menurut KPP 2002b, kesenjangan gender merupakan hambatan
utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia, pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan
serta penikmat hasil pembangunan. Gender, menurut Instruksi Presiden Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pengarusutamaan Gender PUG dalam Pembangunan Nasional, adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat RI 2000. Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan.
Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada KPP 2002b.
16 Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam
struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan dalam masyarakat Popenoe 1989 atau sekumpulan hak dan kewajiban Sunarto
2004. Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan ascribed status dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja achieved status. Status
tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran
dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi Koentjaraningrat
1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004. Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan
kedudukannya Popenoe 1989; Abdulsyani 1994 atau suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai
dengan status yang dimilikinya Abdulsyani 1994. Peran adalah aspek dinamis dari status Abdulsyani 1994; Sunarto 2004. Berkembangnya suatu masyarakat
dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat
akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak menyadari akan peranannya Kartasapoetra dan Kreimers 1987. Peran gender
adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan. Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak
lahir Popenoe 1989. Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan adalah keluarga, kelompok bermain teman bergaul, sekolah dan media massa
Popenoe 1989; Sunarto 2004. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan status antara lelaki dan
perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender itu KPP 2002c; Fakih 2004 meliputi 1 Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status
dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum
perempuan di beberapa suku di Indonesia.
17 2 Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan
tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
3 Pandangan stereotipi pelabelan yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang
ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah
melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
4 Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan
bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh:
pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.
5 Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga
dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat
kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak
diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.
Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004. Fakih 2004
membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut
1 Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai
tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam
program Women In Development WID. Dasar pemikiran feminisme liberal Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003 adalah semua
manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini
18 menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua
peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan. 2 Aliran konflik. Menurut Fakih 2004, teori konflik meyakini bahwa setiap
kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan.
Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan
feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme, dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis
berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis
Ritzer dan Goodman 2003 mendeskripsikan penindasan gender sebagai sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk
mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar 2001, kelompok feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada
lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah masalah bagi perempuan.
Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang UU No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Convention On The Elimination Of All Forms
Of Discrimination Against Women, CEDAW, selanjutnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka
mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for Action BPFA. BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan
Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau
kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan yang akan membantu pemberdayaan dan kemajuan perempuan KPP 2002a;
19 Handayani dan Sugiarti 2002. Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk
meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah Peraturan Presiden Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional RPJMN 2004-2009. Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak
menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep
kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan Dwi et al. 2002; Subhan 2002. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000,
kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan;
sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki dan perempuan RI 2000.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender maka perlu dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan
yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan
struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000 maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender
dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan Gender PUG. PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara RI 2000. Dengan demikian, melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan dan program yang responsif gender. Untuk
pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan No. 132 Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
20 Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah Depdagri 2003; Depdagri
2004. Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan
focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD di wilayah masing-
masing. Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan
pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan
perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan KPP 2002b. Penyebab perempuan terisolir dari proses
pembangunan adalah karena: 1 beban ganda dimana perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan 2 kebijakan
pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang
lebih luas Krisnawaty 1993. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk
mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan
kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran
dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi
sektor KPP 2002d. Hal ini sesuai dengan pendapat Moser 1993, “The goal of gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their
achievement of equality, equity and empowerment”. Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak
kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan
perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak harus berarti menghasilkan output yang sama KPP 2002b; Handayani dan
Sugiarti 2002. Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam:
21 1 memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya;
2 berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan keputusan; dan
3 memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan KPP 2002d.
Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 adalah Gender Analysis Pathway GAP. GAP ini digunakan untuk
membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan Depdagri 2003. GAP adalah suatu metode
analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam
program pembangunan KPP 2003. Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis
Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi,
merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan,
identifikasi terhadap peranan gender perempuan produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender Moser 1993;
Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003. Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam
pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen 1995 yang
menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda 2001,
untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang
akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas dipandang dari
sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik, hal ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk
membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.
22 Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan
karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan
politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan
memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan
sumberdaya kolektif di tingkat komunitas lokal masih belum banyak dibahas dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat
komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan perempuan miskin Anonim, 2003.
Menurut Soetrisno 1993, kemiskinan dari sudut pandang perempuan berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun
pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya sebagai perempuan. Menurut Hubeis 2004
“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan miskin menyebabkan
terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan
telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah
perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”
Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam
alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda Anonim 2003.
Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu
The Millennium Development Goals MDGs. MDGs merupakan hasil komitmen The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota
PBB termasuk Indonesia yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci yang dikemukakan dalam MDGs
UNIFEM and BMZ 2004 sebagai berikut 1 Eradicate extreme poverty and hunger
2 Achieve universal primary education 3 Promote gender equality and women’s empowerment
4 Reduce child mortality
23 5 Improve maternal health
6 Combat HIVAIDS, malaria and other diseases 7 Ensure environmental sustainability
8 Develop a global partnership for development.
Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan
berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Menurut OECD 1996, perempuan termasuk pelaku kunci dalam pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai
pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan
pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia