Peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

(1)

DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT

ADHYAKSA DAULT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Peran Pemuda dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pergurua n tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2007

Adhyaksa Dault


(3)

Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Sukabumi. Di bawah bimbingan. RUDY C. TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H. PURWAKA, dan JOHN HALUAN.

Pembangunan kelautan dan perikanan memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional, menyediakan dan menyerap lapangan kerja, menyumbangkan devisa, serta mempercepat dan mendorong pembangunan pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan perikanan merupakan wujud dari pembangunan Negara Indonesia dalam bingkai negara kesatuan. Kendala sumberdaya manusia merupakan masalah utama dalam pemanfaatan sumberadaya laut dan perikanan secara optimal.

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rumusan kebijakan dimana peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan. Secara khusus, tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan; (2) Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan; (3) Menentukan variabel kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan; dan (4) Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan perikanan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi dan menggunakan model persamaan struktural.

Bentuk peran pemuda dalam pembangunan perikanan dan kelautan adalah dalam hal perencanaan, produksi, monitoring dan evaluasi, dan lembaga perikanan. Peran pemuda paling banyak dalam hal produksi perikanan terutama sebagai tenaga kerja karena kegiatan ini relatif paling mudah dibanding peran dalam bentuk lainnya. Walaupun demikia n peran pemuda dalam bentuk lainnya perlu terus ditingkatkan agar peran mereka secara keseluruhan bisa lebih optimal. Penyediaan lapangan kerja lebih luas memang merupakan prioritas, tetapi pemerintah juga perlu mendorong peran pemuda dalam hal perencanaan,

monitoring dan evaluasi, maupun kelembagaan perikanan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah kebijakan publik, kewirausahaan pemuda, pemilikan kapital sosial, dan penguasaan sumberdaya. Variabel dalam kebijakan publik yang relatif paling berpengaruh adalah intensitas penyuluhan dan pemberian kredit. Terdapat korelasi antar faktor yang mempengaruhi peran pemuda dan mengindikasikan bahwa kebijakan publik akan bisa efektif jika didukung kebijakan yang terkait dengan faktor- faktor lainnya secara simultan.


(4)

Development in Sukabumi Regency (Under the guidance of RUDY C. TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H. PURWAKA, and JOHN HALUAN).

Fisheries and marine development contributes to the national income, employment, foreign exchange reserves, and acceleration of remote islands development acceleration. Politically, the development of fisheries and marine affair development is implementation of Indonesian development for the unity of the nation. Human resource is one of the main constraints in optimizing the role of marine and fisheries resources.

The study is aimed at formulating policies in which youth’s roles in fisheries and marine affair development could be improved. Specifically, the objectives of the study are: (1) to identify and to assess forms of youth’s roles in fisheries and marine affair development; (2) to assess and to synthesize factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair sector; (3) to determine policy variables affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development; and (4) to formulate public policy aimed at improving youth’s roles in fisheries and marine affair development. This study was conducted in Sukabumi Regency and a structural equation modeling (SEM) was applied.

Types of youth’s roles in fisheries and marine affair are planning, fisheries production, monitoring and evaluation of use of fisheries and marine resources, and fisheries institutions. Youth plays their role most in fisheries production, especially as the labor because it is relatively the simplest type of role they can implement. Other youth’s roles, however, should be promoted continuously to optimize their overall roles. Expanding labor employment is the priority agenda of the government, but the government has to boost the other types of youth’s roles in terms of planning, monitoring and evaluation, and fisheries institutions.

Factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development are public policy, youth entrepreneurship, social capital ownership, and resources possession. Among the most influencing variables of public policy are extension intensity and credit provision. The factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development are correlated each other. It indicates that public policy will be effective if it is implemented simultaneously with other policies.


(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT

ADHYAKSA DAULT

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(7)

Nama : Adhyaksa Dault

NRP : C561030254

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F Ketua

Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc Anggota Anggota

Dr. Tommy H. Purwaka, SH, LLM Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(8)

Penulis merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, dari pasangan H. M. Dault, SH (Alm.) dan Maryam Hadju. Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 7 Juni 1963, menikah dengan drg. Mirah Arismunandar, memiliki seorang putra bernama Umar Adhi Putra dan seorang putri bernama Fakhira Putri Adhyaksa. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan S3 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.


(9)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini sesuai dengan yang diharapkan. Judul disertasi ini adalah Peningkatan Peran Pemuda dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan pengha rgaan kepada Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc., dan Dr. Tommy H. Purwaka, SH, LLM selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan masukan yang sangat berharga bagi disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc., Bapak Darsono selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Donwill Panggabean, S.Pi., Erina Nelly, S.Pi., MSi., Franky Rorimpandey, S.Si., seluruh staf Kementeria n Pemuda dan Olahraga, serta teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, istri tercinta dan kedua anak-anak tersayang serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, cinta dan dukungannya sehingga penulis tegar dalam menyelesaikan disertasi ini.

Penulis berharap disertasi ini bermanfaat dan dapat digunakan bagi segala keperluan yang sifatnya baik dan membangun.

Bogor, April 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . . . iv

DAFTAR GAMBAR . . . vi

DAFTAR LAMPIRAN . . . vii

1 PENDAHULUAN . . . 1

1.1 Latar Belakang . . . 1

1.2 Perumusan Masalah . . . 7

1.3 Tujuan Penelitian . . . 15

1.4 Manfaat Penelitian . . . 16

1.5 Ruang Lingkup Penelitian . . . 16

1.6 Kerangka Pikir Penelitian . . . 17

1.7 Hipotesis Penelitian . . . 21

2 TINJAUAN PUSTAKA . . . 23

2.1 Definisi dan Peranan Pemuda . . . 24

2.2 Pemuda dan Kebijakan Publik . . . 28

2.3 Kewirausahaan Pemuda . . . 32

2.4 Kapital Sosial Pemuda . . . 35

2.5 Kepemilikan Sumberdaya . . . 38

3 METODE PENELITIAN . . . 40

3.1 Data dan Peubah . . . 40

3.2 Metode Pengumpulan Data . . . 40

3.3 Model Peran Pemuda . . . 42

3.4 Metode Analisis . . . 45

3.4.1 Konstruksi peubah esksogen laten dan endogen pengamatan 48

3.4.2 Konstruksi peubah endogen pengamatan dan laten . . . 49

3.4.3 Konstruksi peubah esksogen laten dan endogen laten . . . 51

3.5 Hipotesa Operasional . . . 51

3.6 Perumusan Peran Pemuda . . . 54

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN . . . 56

4.1 Kondisi Geografis . . . 56

4.2 Kondisi Klimatologis . . . 60

4.3 Kependudukan . . . 62

4.3.1 Kecamatan Cisolok . . . 64

4.3.2 Kecamatan Pelabuhan Ratu . . . 67

4.3.3 Kecamatan Ciemas . . . 70

4.3.4 Kecamatan Ciracap . . . 73

4.3.5 Kecamatan Surade . . . 75

4.4 Organisasi Pemuda/Organisasi Masyarakat di Kabupaten Sukabumi . 78 4.5 Program Pembangunan Perikanan . . . 79


(11)

4.6 Perikanan Tangkap . . . 81

4.7 Perikanan Air Tawar . . . 85

4.8 Potensi Sumberdaya Alam . . . 88

5 HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 90

5.1 Karakteristik Responden Pemuda . . . 90

5.2 Deskripsi Peran Pemuda . . . 97

5.3 Pengujian Hipotesis . . . 99

5.3.1 Hasil empiris bentuk-bentuk peran pemuda . . . 102

5.3.2 Faktor penentu peran pemuda . . . 109

5.3.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda 110 5.4 Implikasi Kebijakan . . . 117

5.4.1 Kebijakan bentuk peran pemuda . . . 117

5.4.2 Kebijakan tentang faktor determinan peran pemuda . . . 121

5.4.3 Kebijakan komprehensif . . . 126

6 KESIMPULAN DAN SARAN . . . 128

6.1 Kesimpulan . . . 128

6.2 Saran . . . 130

DAFTAR PUSTAKA . . . 133


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah responden pemuda per kecamatan di Kabupaten Sukabumi . . . 41

2 Jenis tanah di Kabupaten Sukabumi . . . 60

3 Penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Kabupaten Sukabumi (2003) . . . 63

4 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok . . . 64

5 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Pelabuhan Ratu. . . 66

6 Jenis mata pencaharian penduduk di sektor perikanan Kecamatan Ciemas . . . 71

7 Jenis peralatan dan armada perikanan di Kecamatan Ciemas . . . 71

8 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 73

9 Jumlah penduduk menurut status perkawinan dan jenis kelamin di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 74

10 Luas areal, produksi dan jumlah RTP perikanan darat menurut jenis usaha di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 74

11 Jumlah RTP perikanan laut menurut jenis usaha di Kecamatan Ciracap (2004) . . . 75

12 Perkembangan produksi dan nilai ikan yang dilelang di TPI di Kecamatan Ciracap (2002-2004) . . . . . . 75

13 Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Surade . . . 76

14 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sukabumi . . . 82

15 Jenis dan produksi ikan hasil tangkapan Kabupaten Sukabumi . . . 82

16 Produksi ikan segar di enam kecamatan pesisir Kabupaten Sukabumi 83

17 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Sukabumi (2004). . . 84


(13)

19 Karakteristik responden pemuda nelayan di Kabupaten Sukabumi

(2006) . . . 92 20 Bentuk-bentuk peran pemuda nelayan di Kabupaten Sukabumi

(2006) . . . 98 21 Hasil analisis bentuk-bentuk peran pemuda di Kabupaten Sukabumi

(2006) . . . 104 22 Faktor-faktor penentu peran pemuda di Kabupaten Sukabumi (2006) . . . 110 23 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda

di Kabupaten Sukabumi (2006) . . . .. . . 111 24 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi peran pemuda


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian . . . 20 2 Model peran pemuda di Kabupaten Sukabumi . . . 44 3 Diagram proses analisis dan sintesis peran pemuda dari studi kasus ke

implikasi kebijakan nasional. . . 55 4 Hasil uji empiris peran pemuda di Kabupaten Sukabumi . . . 101


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta Kabupaten Sukabumi dan lokasi penelitian . . . 142 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda . . . 148 3 Matriks template bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan

kelautan dan perikanan di Kabupaten Sukabumi, tahun 2006 . . . 149 4 Luas wilayah menurut kemampuan tanah (ketinggian) per kecamatan

di Kabupaten Sukabumi . . . 150 5 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kabupaten

Sukabumi, tahun 2004 . . . 151 6 Jumlah penduduk menurut kelompok umur per kecamatan di Kabupaten

Sukabumi, tahun 2004 . . . 152 7 Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya di Kabupaten Sukabumi, tahun 2005 . . . 154 8 Frekuensi faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda di Kabupaten


(16)

1.1Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, serta lautan seluas 5,8 juta km2 yang merupakan 70% dari seluruh wilayahnya. Sejak dulu, kekayaan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya ikan, telah menjadi sumber makanan serta protein hewani utama bagi rakyat Indonesia.

Sekitar 5 juta orang menggantungkan kehidupan ekonomi keluarganya dengan bekerja sebagai nelayan. Di daerah pesisir, selain sebagai nelayan, banyak penduduk yang bekerja sebagai pembudidaya ikan. Demikian juga ada yang bekerja sebagai pengolah dan pemasar ikan dan produk perikanan. Terutama di pulau-pulau kecil, pekerjaan pada bidang perikanan cenderung sebagai satu-satunya alternatif. Bila ukuran keluarga rata-rata 4 orang maka diperkirakan sedikitnya 20 juta penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada perikanan DKP (2003).

Namun pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak terbatas pada perikanan (Dahuri 2003). Kegiatan lain yang mengandalkan sumberdaya kelautan adalah pertambangan, industri jasa transportasi, perhubungan, komunikasi, pariwisata, dan perdagangan. Akan tetapi tidak seperti sektor perikanan yang termasuk di dalamnya kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan, sektor-sektor selain perikanan ini tidak begitu banyak melibatkan penduduk Indonesia, terutama yang ada di pesisir dan kepulauan. Di pulau-pulau kecil di perbatasan negara, perikanan pada umumnya adalah satu-satunya mata pencaharian. Karena itu pula maka biasanya usaha perikanan, utamanya


(17)

penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran menjadi tumpuan ekonomi keluarga.

Hanya sejak dasawarsa terakhir, sumberdaya kelautan dan perikanan mulai diperhatikan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, serta swasta sebagai salah satu sumberdaya ekonomi. Hal ini mulai terjadi setelah sumberdaya alam lainnya sudah berkurang karena eksploitasi dan kerusakan lingkungan.

Secara nasional memang kontribusi sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai satu sektor ekonomi tidak dilaporkan secara eksplisit. Untuk bidang perikanan sendiri yang difokuskan hanya pada kegiatan produksi primer, sumbangannya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar 2%. Pangsa sumbangan bidang perikanan primer ini memang tidak beranjak selama 25 tahun terakhir, meskipun secara absolut nilainya meningkat. Bila dipertimbangkan dengan kegiatan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan maka sumbangan ini semakin besar.

Dahuri (2003) mengemukakan bahwa sumbangan sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan mencakup bidang perikanan dan bidang-bidang lain yaitu sekitar 20,06% PDB pada tahun 1998. Sedangkan khusus sub sektor perikanan pada tahun 2004 menyumbang 15,0% terhadap PDB sektor pertanian berdasarkan ha rga konstan tahun 2000 (BPS 2006). Dengan adanya perubahan dan perkembangan pembangunan ekonomi di berbagai daerah yang menitikberatkan pada bidang perikanan, maka mungkin saja presentasi sumbangan ini sudah makin besar. Di China dan Korea, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB masing- masing negara yaitu 48,4% dan 54,0%. Membandingkan Korea dan China di satu sisi dan Indonesia di sisi lain,


(18)

maka bisa dikemukakan bahwa potensi sumberdaya alam kelautan dan perikanan Indonesia yang lebih besar belum sebanding dengan kontribusi yang disumbangkannya. Dengan kata lain, sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan telah diberikan Tuhan ini belum dimanfaatkan dengan baik bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara.

Di beberapa daerah, utamanya provinsi dan kabupaten dengan basis kepulauan, sektor kelautan dan perikanan memang memberikan sumbangan pembangunan yang lebih besar dibandingkan secara nasional. Namun demikian, aktivitas ekonomi di daerah masih juga terbatas pada industri perikanan primer yaitu penangkapan ikan. Industri pengolahan dan pemasaran belum banyak dikembangkan, apalagi bidang pembangunan kelautan lainnya. Sejak diberlakukannya rezim otonomi daerah (desentralisasi), beberapa pemerintah daerah provinsi dan kabupaten telah memproklamirkan daerahnya sebagai provinsi atau kabupaten kepulauan atau maritim. Itu berarti di daerah-daerah tersebut, pembangunan kelautan dan perikanan khususnya pemanfaatan sumberdaya alam hayati perairan menjadi tumpuan pembangunan ekonomi.

Secara ekonomi makro, pembangunan kelautan dan perikanan selain memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional juga menyediakan dan menyerap lapangan kerja, menyumbangkan devisa, serta memicu dan mendorong pembangunan pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan perikanan merupakan wujud dari pembangunan negara Indonesia dalam bingkai negara kesatuan.

Tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah (1) menjadi salah satu mesin pertumbuhan yang mendorong dan menarik pertumbuhan sektor


(19)

lain, (2) menyediakan ikan sebagai sumber pangan sehat bagi penduduk melalui peningkatan konsumsi ikan per kapita, (3) menyediakan lapangan kerja dan sebagai pendapatan penduduk dalam rangka pengentasan kemiskinan, (4) meraih lebih banyak devisa melalui peningkatan ekspor dan pengendalian impor, serta (5) mewujudkan laut sebagai alat pemersatu bangsa.

Dalam hal kelautan dan perikanan sebagai sektor basis yang menarik dan mendorong sektor lain, hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan industri hulu dan hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki dampak ekonomi bagi sektor lain. Berdasarkan tabel Input-Output tahun 2000, dari 172 sektor KLUI (Kelompok Lapangan Usaha Indonesia), paling sedikit terdapat 57 dan 30 KLUI yang masing- masing dapat digolongkan ke dalam sektor perikanan dan kelautan (Nikijuluw 2005). Dengan demikian pilihan pemerintah untuk membangun sektor kelautan dan perikanan sama artinya dengan menggerakkan sektor lain yang saling memiliki keterkaitan. Dengan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang dimiliki dan dikelola oleh hampir seluruh provinsi serta lebih dari 400 kabupaten/kota maka membangun sektor kelautan dan perikanan bisa dipandang sebagai upaya membangun perekonomian daerah.

Sebagai sumber pangan, konsumsi ikan nasional adalah sekitar 20 kg per kapita, meskipun beberapa daerah sudah mencapai lebih dari 40 kg per kapita. Target konsumsi ikan rata-rata nasional adalah 32,3 kg. Dalam hal penyediaan lapangan kerja, sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat menampung sekitar 21 juta jiwa penduduk pesisir pada saat ini. Ekspor bersih hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari posisi $1,9 milyar pada tahun 2005 menjadi $4,0 milyar pada tahun 2009 (DKP 2006).


(20)

Tujuan dan target ini memang hanya bisa dicapai melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, diikuti dengan pengembangan industri terkait khususnya industri pengolahan dan pemasaran yang merubah bahan mentah menjadi bahan jadi, siap konsumsi. Tujuan dan target ini juga akan dicapai bila adanya sumberdaya manusia yang ahli dan terampil, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan sistem manajemen pengelolaan, serta yang terutama yaitu adanya iklim investasi yang memfasilitasi swasta nasional dan asing untuk berusaha dengan sebaik-baiknya.

Membangun sektor kelautan dan perikanan adalah pilihan di antara sektor-sektor ekonomi lainnya. Sumberdaya alam Indonesia yang bervariasi yang terdiri dari laut dan daratan membuka peluang berusaha dan berbisnis di berbagai bidang ekonomi. Sejak zaman penjajahan, pembangunan perkebunan menjadi perhatian utama, ditandai dengan dibangunnya perkebunan negara. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan pertanian tanaman pangan dalam rangka menyediakan pangan bagi penduduk menjadi tumpuan. Pada zaman Orde Baru pula, sumberdaya hutan, minyak, dan tambang dieksploitasi untuk dijual sebagai sumber devisa negara. Proses pembangunan yang terjadi ini di satu sisi mengakibatkan sumberdaya alam mengalami deplesi dan kerusakan. Di sisi lain, hal ini mengakibatkan sumberdaya kelautan tidak diperhatikan, dan yang tinggal saat ini yaitu sumberdaya alam di daratan yang sudah makin menipis, sementara di laut masih terlambat atau belum dimanfaatkan dan dieksploitasi. Karena itu, membangun sektor kelautan dan perikanan pada saat ini adalah momentum yang sangat baik untuk menggerakkan pembangunan ekonomi.


(21)

Selain pertimbangan sumberdaya dan alasan-alasan internal, permintaan dunia akan ikan juga merupakan alasan kuat yang menarik pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Sumberdaya ikan dunia yang cenderung deplesi di satu sisi, sementara di sisi lain permintaan ikan yang meningkat membuat kelangkaan akan ikan terjadi. Kelangkaan ini membuat industri perikanan dunia mencari daerah baru, negara baru, dan peluang baru untuk berinvestasi dalam rangka memenuhi kebutuhan jurang kelangkaan yang cenderung melebar. Karena Indonesia merupakan salah satu sumber ikan dunia, disebut dengan serengetis sumberdaya ikan dunia, maka menggerakkan pembangunan kelautan dan perikanan untuk tujuan pemenuhan pasar internasional ini adalah salah satu alternatif pembangunan (Nikijuluw 2005).

Berikut ini adalah justifikasi pembangunan kelautan dan perikanan pada spektrum nasional maupun daerah:

1. Ketersediaan sumberdaya alam, baik sumberdaya hayati maupun non-hayati, baik yang dapat maupun yang tidak dapat diperbaharui.

2. Banyak sektor pembangunan ekonomi yang dapat digolongkan sebagai sektor kelautan dan perikanan, berdasarkan jenis usaha ekonomi masyarakat. 3. Keterkaitan antara sektor kelautan dan perikanan dengan sektor-sektor lainnya yang erat atau tinggi yang berarti membangun sektor kelautan dan perikanan akan memiliki dampak pada sektor lain.

4. Adanya kontribusi PDB perikanan yang cukup signifikan secara nasional maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota).

5. Adanya permintaan ikan secara nasional dan internasional yang tinggi yang merupakan daya tarik untuk membangun industri perikanan.


(22)

1.2 Perumusan Masalah

Meskipun sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia dan boleh dikatakan masih dalam tahap (tingkat) pemanfaatan yang belum optimal, ternyata kendala sumberdaya manusia menghalangi optimalisasi pembangunan sektor ini.

Sumberdaya manusia memang adalah faktor penting dalam pembangunan. Aliran Cobb-Douglasian menempatkan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting, di samping modal atau kapital (Cobb dan Douglas 1928). Optimasi suatu sistem produksi, baik pada tingkat industri maupun perusahaan, dicapai melalui pengelolaan atau manajemen sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga efisiensi bisa dicapai. Meskipun pada akhirnya aliran Cobb-Douglasian yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi ini dikritisi, namun kenyataannya optimasi produksi melalui pengaturan (manajemen) sumberdaya manusia tetap berlangsung. Aliran yang mengkritisi Cobb-Douglasian menilai manusia lebih tinggi dari sekedar faktor produksi. Manusia adalah objek bukan subjek pembangunan, bukan objek ekonomi tetapi subjek ekonomi.

Karena pentingnya sumberdaya manusia, baik sebagai objek dan subjek pembangunan, maka otomatis keberadaannya menentukan kinerja pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Sumberdaya manusia yang rendah kualitasnya tentu saja mempengaruhi secara negatif kinerja pembangunan. Sebaliknya sumberdaya manusia yang tinggi kualitasnya, bila juga ditunjang kuantitas, akan secara positif menentukan kinerja pembangunan.

Gejala menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pada sektor perikanan terjadi secara global. Nikijuluw (2005), misalnya, memberi


(23)

contoh tentang turunnya jumlah orang muda yang kuat dan berprestasi yang menjadi nelayan di Jepang dan Korea. Karena bisnis menangkap ikan dinilai sebagai bisnis yang memiliki sifat dangerous, dirty, dan desperate maka orang muda berhenti menjadi nelayan atau tidak mau masuk bekerja pada usaha ini. Disebut dangerous karena memang menangkap ikan penuh bahaya yang mengancam keselamatan. Disebut dirty karena usaha ini memang bernuansa dekil, bau amis, diterjang sinar matahari, dan tidak seperti pekerjaan di kantor. Disebut

desparate karena menjalankan bisnis ini mengandung makna nekat dan aneh karena hanya mereka yang demikianlah yang mau tinggal berhari- hari di laut.

Akibatnya, generasi muda Korea dan Jepang banyak yang tidak mau menjadi nelayan, sehingga yang bekerja di sektor perikanan adalah nelayan usia tua. Karena alasan kurang sumberdaya manusia usia muda maka Korea dan Jepang merekrut nelayan dari negara lain, utamanya Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Filipina, untuk mengoperasikan kapal-kapal perikanan laut dalam

(deep-sea fishing).

Di tingkat nasional, minat generasi muda untuk bekerja pada usaha perikanan cenderung semakin berkurang, paling tidak dinilai dari kurangnya minat pemuda yang masuk sekolah kedinasan (kejuruan) perikanan. Bila dilihat dari alumni sekolah kejuruan perikanan, hanya sedikit yang ingin benar turun ke laut sebagai nelayan. Menurut Satria (2002) urbanisasi serta tersedia peluang kerja dan usaha di sektor lain adalah alasan kaum muda menurun minatnya pada pekerjaan sebagai nelayan.

Disamping kecenderungan jumlah ge nerasi muda yang berkurang pada usaha perikanan, masalah lain yang dihadapi oleh industri perikanan Indonesia


(24)

adalah kualitas sumberdaya manusia yang rendah, setidaknya dilihat dari tingkat pendidikan formal yang dijalani. Hanya tiga dari 10.000 orang nela yan yang pernah duduk di perguruan tinggi. Sementara, 79,50% nelayan tidak tamat Sekolah Dasar (SD), sekitar 17,39% tamat SD, 1,90% tamat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan 1,36% tamat Sekolah Lanjutan Atas atau SLTA (DELP 2000 dan DKP 2004). Dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia nelayan seperti ini, disertai dengan kecenderungan nelayan usia tua yang tinggal di dalam usaha perikanan, maka adalah salah satu upaya yang tidak ringan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dan pada akhirnya kinerja sektor perikanan

Dalam skala lokal dan spektrum yang kecil, dampak kehadiran nelayan terhadap produksi perikanan sangat variatif (Simbolon 2002). Misalnya, dalam penelitian tentang pengembangan perikanan pole and line di perairan Sorong menyimpulkan bahwa jumlah nelayan di suatu unit kapal tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan. Hasil tangkapan lebih ditentukan oleh ketersediaan umpan hidup dan musim penangkapan.

Namun untuk kasus yang lain, hasil empiris menunjuk kan bahwa nelayan sangat mempengaruhi kinerja usaha perikanan dan mempengaruhi pembangunan pesisir pada spektrum yang lebih luas. Hasil penelitian empiris tersebut adalah sebagai berikut.

Mangga Barani (2005) dalam penelitian tentang perikanan di wilayah padat tangkap Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kehadiran nelayan dalam suatu unit penangkapan sangat mempengaruhi kinerja ekonomi usaha. Hasil yang sama juga diperoleh Bintoro (2005) pada saat melakukan penelitian tentang perikanan ikan tembang di Selat Madura.


(25)

Sementara itu, untuk pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan dan terpadu, Lewaherilla (2006) menyimpulkan bahwa tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah penentu utama kesenjangan implementasi kebijakan di lapangan. Akibat sumberdaya manusia yang tidak berkualitas, kebijakan pemerintah pusat dalam hal pembangunan pesisir diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda di tingkat daerah.

Berdasarkan hasil penelitian empiris yang dirujuk ini, dapat dikatakan bahwa kehadiran nelayan masih memiliki arti penting dalam menentukan kinerja produksi perikanan. Pada spektrum lebih luas tentu saja kehadiran nelayan ikut mempengaruhi atau menentukan pembangunan perikanan serta pembangunan pesisir di suatu daerah.

Dengan adanya kecenderungan turunnya kualitas nelayan, berkurangnya kuantitas nelayan usia muda, sementara di sisi lain, hasil penelitian empiris yang menunjukkan bahwa kehadiran nelayan masih sangat diperlukan maka hal tersebut merupakan suatu persoalan yang perlu dijawab. Bila trend penurunan jumlah nelayan usia muda terus berlanjut, padahal kehadiran mereka sangat diperlukan, maka hal tersebut akan sangat menentukan pembangunan kelautan dan perikanan di masa datang. Bukan tidak mungkin bahwa situasi ini akan membuat sumberdaya kelautan dan perikanan bukan dimanfaatkan oleh rakyat dan Bangsa Indonesia tetapi sebaliknya oleh negara asing melalui infiltrasi secara tidak legal. Dari sisi konstelasi politik, itu berarti bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan akan terganggu.

Merupakan suatu hasil simplifikasi jika dikatakan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan pesisir semata- mata tergantung pada ketersediaan


(26)

sumberdaya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas. Karakter atau sifat intrinsik sumberdaya manusia tentu saja memiliki peranan yang besar dalam pembangunan. Secara komunal, sifat tersebut diwujudkan bersama dalam interaksi antar sesama manusia yang bisa dinilai sebagai cara pandang kolektif terhadap sumberdaya laut.

Memang harus diakui bahwa kesadaran bangsa Indonesia terhadap sumberdaya laut masih sangat rendah. Bahkan, pemahaman dan pengetahuan bahwa Indonesia adalah suatu negara kepulauan juga masih sangat rendah. Umpamanya, Bachtiar (2002) mengatakan bahwa nama “Indonesia” sendiri pun bukan diberi oleh orang Indonesia, tetapi seorang Eropa yang bernama James Richardson. Mengikuti nama- nama yang diberikan pada rumpun-rumpun pulau di Lautan Pasifik, seperti Polynesia (banyak pulau), Mikronesia (pulau-pulau kecil), dan Melanesia (pulau-pulau hitam), ia pun mengusulkan nama kepulauan Indonesia.

Sebagai Indonesia, yaitu kepulauan yang berada di antara Asia dan Australia serta Lautan Hindia dan Lautan Pasifik maka sepantasnya oritentasi kehidupan manusianya bertumpu ke laut. Akan tetapi, meskipun sejarah kerajaan-kerajaan tua di Indonesia menunjukkan keperkasaan mereka di laut (Ricklefs 2005), dalam kenyataannya keperkasaan dan kejayaan itu tidak dapat bertahan dan relatif mati pada masa setelah Indonesia merdeka. Atje et al. (2002) misalnya, menguraikan tentang kebijakan pembangunan masa setelah kemerdekaan yang bertumpu pada dua sumberdaya alam utama yaitu hutan dan minyak dan gas (migas). Sumberdaya kelautan yang merupakan porsi terbesar negara ini, boleh dikatakan sama sekali diabaikan selama kurun waktu 50 tahun kemerdekaan.


(27)

Tetapi desentralisasi pembangunan di era otonomi daerah saat ini memungkinkan beberapa daerah (provinsi dan kabupaten/kota) melihat laut sebagai sumberdaya yang menjanjikan bagi ekonomi daerahnya. Tujuh dari 33 propinsi saat ini telah mendeklerasikan daerahnya sebagai provinsi kepulauan yang mengandalkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai basis pembangunan ekonomi. Sementara itu, lebih dari 200 kabupaten-kota di Indonesia yang secara geografis memang berada di pesisir.

Tampaknya dengan trend seperti ini, dimana sumberdaya hutan dan minyak yang sudah makin berkurang (Atje et al. 2002) maka ke depan pembangunan kelautan dan perikanan akan lebih diperhatikan oleh bangsa ini. Bila ada kebijakan makro yang mendorong terbangun perspektif positif masyarakat terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan maka ke depan generasi muda bisa beralih memandang ke laut sebagai sumber kehidupan ekonomi mereka. Bila saja nilai- nilai kebaharian serta cinta laut yang ada pada suku-suku di Indonesia (Pramono 2005) kembali digali dan diremajakan maka sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu luas dan besar ini dimanfaatkan dengan bijaksana bagi kemakmuran.

Atas dasar adanya persoalan yang diuraikan ini maka penelitian ini dilakukan. Tentu saja suatu penelitian yang mencakup keseluruhan daerah (secara nasional) membutuhkan upaya yang sangat besar. Karena itu penelitian ini dilakukan pada kawasan dimana pembangunan kelautan dan perikanan memiliki arti penting serta sumberdaya alam ya ng tersedia dapat menjamin pengembangan di masa yang akan datang.


(28)

Penelitian ini mengambil daerah pesisir Kabupaten Sukabumi sebagai daerah contoh atau kasus. Berdasarkan hasil penelitian empiris dari Kabupaten Sukabumi ini dilakukan proses induksi untuk menarik kesimpulan dan merumuskan implikasi kebijakan secara nasional. Alasan-alasan pengambilan Kabupaten Sukabumi sebagai contoh adalah sebagai berikut :

1. Sukabumi merupakan kabupaten pesisir yang memiliki potensi sumberdaya alam yang relatif tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sebagai salah satu dari sembilan daerah penangkapan ikan Indonesia. Selain Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan lainnya yang dimiliki Sukabumi namun umumnya dimanfaatkan oleh perikanan rakyat (skala kecil) adalah Teluk Pelabuhan Ratu.

2. Sukabumi memiliki sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang cukup lengkap, yaitu sumberdaya ikan laut untuk tujuan penangkapan dan sumberdaya budidaya laut. Benih ikan dan udang dihasilkan pula di daerah ini. Sampai tahun 2000, beberapa panti benih udang (hatchery) berlokasi di Sukabumi. Panti benih tutup sejalan dengan gugurnya industri budidaya udang windu. Di Kecamatan Cisolok masih beroperasi industri budidaya dan pembesaran sidat secara terpadu.

3. Sukabumi juga merupakan daerah yang banyak memiliki industri pengolahan, khususnya olahan tradisional. Produk pindang dan abon ikan adalah produk yang umum dihasilkan oleh pengusaha kecil Sukabumi. Dari Sukabumi, produk olahan ini dipasarkan ke daerah Jawa Barat lainnya, Jakarta serta kota-kota besar lainnya. Produk perikanan bernilai tambah


(29)

tinggi dihasilkan oleh beberapa perusahaan yang terletak di Sukabumi. Produk tersebut umumnya diekspor ke Korea Selatan.

4. Selain kegiatan sumberdaya perikanan yang menjadi basis industri perikanan, Sukabumi juga merupakan kawasan wisata bahari. Pantai, gelombang, dan berbagai olahraga bahari adalah kegiatan yang menarik wisatawan. Dengan adanya industri pariwisata, penduduk khususnya pemuda dapat ikut serta langsung atau tidak langsung dalam industri ini. 5. Sukabumi adalah lokasi bagi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)

Pelabuhan Ratu dan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok. PPN Pelabuhan Ratu merupakan salah satu sentra produksi perikanan yang tersebar di pantai selatan Jawa yang juga dijadikan pangkalan bagi nelayan yang berasal dari Sibolga-Sumatera Utara, Cilacap-Jawa Tengah, Muara Baru-Jakarta, hingga Banyuwangi-Jawa Timur.

6. Dari sisi keikutsertaan pemuda dalam organisasi resmi kepemudaan, Sukabumi termasuk unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Barat, yaitu relatif sedikitnya pemuda yang menjadi anggota organisasi kepemudaan yang dimaksud. Apakah ini berarti bahwa mereka juga tidak ikut berperan dalam bekerja memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang di sekitarnya untuk kebutuhan individu dan keluarga mereka, hal ini merupakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya.

Secara spesifik, dan dengan menggunakan istilah pemuda untuk menggantikan usia muda, persoalan yang dirumuskan di atas dirinci dengan beberapa pertanyaan berikut:


(30)

1. Adakah pemuda berperan dalam pembangunan kelautan dan perikanan saat ini?

2. Faktor-faktor apa yang menentukan peranan atau ketiadaan peranan tersebut?

3. Mungkinkah faktor- faktor tersebut digunakan sebagai peubah kebijakan dalam rangka meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan?

4. Bila mungkin, apa bentuk kebijakan yang perlu dirumuskan dan diimplementasikan sehingga pemuda akan semakin berperan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya suatu rumusan kebijakan yang melaluinya peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia dapat digunakan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

2. Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembanguna n sektor kelautan dan perikanan.

3. Menentukan peubah kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

4. Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.


(31)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam upaya pemberdayaan pemuda dan pembangunan daerah melalui peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan, baik oleh pemerintah daerah, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun oleh Kement erian Pemuda dan Ola hraga sebagai acuan dasar yang dapat diterapkan pada daerah lain di Indonesia.

2. Di bidang ilmu kebijakan publik, sebagai salah satu masukan ilmiah dan bahan rujukan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang ini.

1.5Ruang Lingkup Pe nelitian

Penelitian peran pemuda dalam pembangunan adalah suatu tema yang cukup luas dimensinya. Agar kegiatan penelitian dapat dilakukan dengan baik dan dalam rangka mencapai tujuan pene litian seperti dikemukakan sebelumnya maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa aspek berikut ini.

1. Pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai mereka berkelamin laki- laki atau perempuan, berusia 18-35 tahun, merupakan penduduk di daerah penelitian, serta bekerja dalam bidang kelautan dan perikanan

2. Peran pemuda dalam penelitian ini diartikan sebagai keikutsertaan seorang pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai salah satu atau satu-satunya mata pencaharian. Peran tersebut terwujud bukan karena ada proyek pembangunan pemerintah yang mensyaratkan keikutsertaan pemuda. Peran yang dimaksudkan di sini lebih difokuskan


(32)

pada keputusan pemuda secara independen untuk menekuni usaha pada bidang kelautan dan perikanan sebagai mata pencaharian. Dengan demikian peran pemuda yang dimaksudkan berbeda dengan partisipasi pemuda dalam proyek atau program pemerintah.

3. Sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini sumberdaya hayati perairan. Dengan demikian fokus penelitian ini adalah usaha ekonomi yang dijalankan pemuda dalam memanfaatkan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya kelautan lainnya berupa tambang, mineral, minyak, dan gas, termasuk kegiatan jasa perhubungan laut, tidak diikutkan dalam penelitian ini. Karena itu pula maka definisi sektor atau bidang kelautan dan perikanan dalam penelitian ini adalah usaha ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan serta usaha penyediaan barang dan jasa bagi pelaksanaan usaha kelautan dan perikanan.

4. Lingkup kawasan penelitian adalah kawasan pesisir Teluk Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan lingkup kawasan penelitian ini dilakukan proses deduksi dalam rangka perumusan implikasi peran pemuda pada spektrum kawasan yang lebih luas.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini menganalisis peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Kegiatan penelitian beranjak dari kondisi sekarang di lokasi penelitian yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu:


(33)

2. Masih tersedia nya sumberdaya kelautan dan perikanan yang digunakan untuk pengembangan selanjutnya sebagai mata pencaharian masyarakat serta sumber pendapatan keluarga dan daerah.

3. Peluang berusaha dan bekerja pada sektor kelautan dan perikanan relatif rendah.

Dengan adanya kondisi seperti ini dan apabila hal tersebut berlanjut maka beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi adalah:

1. Insidensi kemiskinan yang dapat menyebar di kalangan masyarakat secara umum, khususnya di kalangan generasi muda.

2. Sumberdaya kelautan dan perikanan yang tersedia akan tidak termanfaatkan dan bila sudah mencapai batas usianya dapat lenyap secara natural.

3. Kemungkinan lain yaitu sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan oleh nelayan asing secara ilegal dengan menggunakan teknologi destruktif yang pada akhirnya merusak eksistensi sumberdaya tersebut.

4. Karena sumberdaya tidak dimanfaatkan maka kegiatan ekonomi menjadi rendah yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan secara umum untuk ekono mi daerah dan secara khusus pada sektor kelautan dan perikanan. 5. Bila semua dampak sebelumnya terjadi maka tidak tertutup kemungkinan

akan muncul frustasi sosial di kalangan pemuda. Bisa saja frustasi sosial tersebut tampil dalam bentuk aksi masa yang tidak diinginkan.

Kemungkinan dampak negatif ini dapat ditiadakan apabila peran pemuda dihidupkan dan ditingkatkan. Karena itu harus dipahami dan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemuda untuk berperan dalam


(34)

pembangunan. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa empat faktor yang mungkin menentukan peran pemuda adalah:

1. Kebijakan publik tentang kepemudaan atau alokasi sumberdaya ekonomi yang dapat diakses pemuda.

2. Sumberdaya alam yang tersedia yang dapat menarik pemuda untuk terjun ke dalam industri pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.

3. Kapital sosial (social capital) yang dimiliki pemuda yang memungkinkan yang bersangkutan dapat mendayagunakan modal tersebut untuk mengaktualisasikan peranannya.

4. Kemampuan kewirausahaan serta karakteristik individu yang memungkinkan pemuda dapat ikut ambil bagian dalam pembangunan.


(35)

Kondisi Sekarang

1.Pemanfaatan sumberdaya rendah 2.Peran pemuda belum

optimal

3.Kesempatan dan peluang berusaha rendah Akibat Faktor Penentu Peran Pemuda 1.Kewirausahaan 2.Kebijakan publik 3.Sumberdaya 4.Kapital sosial Program pemerintah untuk menumbuhkan dan mengembangkan peran pemuda Dukungan kapital sosial dan pengembangan jiwa kewirausahaan Manipulasi faktor penentu peran pemuda dalam rangka perumusan kebijakan publik, program dan proyek

1.Peran pemuda tinggi 2.Sumberdaya termanfaatkan 3.Kesejahteraan 4.Pembangunan daerah 5.Kestabilan sosial politik 1.Kemiskinan

2.Sumberdaya tidak termanfaatkan 3.Perikanan ilegal 4.Pertumbuhan ekonomi

rendah 5.Frustrasi sosial

pemuda Pengembangan potensi sumberdaya ekonomi

Kondisi yang Diharapkan

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian 1.Akibat

2.Determinan

3.Kondisi yang diharapkan 4.Manipulasi

5.Dukungan KETERANGAN:


(36)

Keempat faktor tersebut tentu saja terdiri dari elemen (peubah) yang dapat dijadikan peubah intervensi kebijakan (policy intervention variable) yang bila dikelola (dimanipulasi) dengan baik dan terarah dapat menghasilkan kebijakan publik yang mendorong dan meningkatkan peran pemuda. Apabila kebijakan publik, dukungan modal sosial, serta pengembangan potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki pemuda dapat dipadukan dan dikelola secara cerdas maka diharapkan peran pemuda dapat ditingkatkan. Hasil akhir atau kondisi yang diharapkan dari peningkatan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan, seperti dikemukakan pada Gambar 1 adalah:

1. Tingginya peran pemuda dalam pembangunan.

2. Dimanfaatkannya sumberdaya alam yang diberikan Tuhan. 3. Kesejahteraan masyarakat makin baik.

4. Berlangsungnya pembangunan daerah dengan kelautan dan perikanan sebagai sektor utama.

5. Tidak adanya frustasi sosial di kalangan pemuda sehingga bentuk-bentuk aspirasi pemuda yang disalurkan secara tidak benar dapat dihindari serta ditiadakan.

1.7Hipotesis Penelitian

Berdasarkan atas persoalan yang dihadapi seperti diuraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah penelitian ini, tujuan dan sasaran penelitian, serta kerangka pikir penelitian maka disusunlah hipotesis yang merupakan arahan bagi pengembangan metode penelitian dan analisis data. Hipotesis yang dimaksud adalah sebagai berikut:


(37)

1. Kebijakan publik bagi pemuda, dapat meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

2. Jiwa kewirausahaan seorang pemuda, menentukan peran pemuda tersebut dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

3. Kapital sosial yang dimiliki seorang pemuda, menentukan perannya dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

4. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemuda, dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

Hipotesis yang dikemukakan ini pada hakekatnya adalah dikonstruksi untuk empat kelompok peubah bebas (independen) yang diduga mempengaruhi peran pemuda. Keempat kelompok peubah bebas tersebut adalah (1) jiwa kewirausahaan, (2) kebijakan publik, (3) kepemilikan sumberdaya, dan (4) kapital sosial. Pada uraian tentang metode penelitian di bab selanjutnya keempat kelompok peubah bebas akan didekomposisi menjadi peubah-peubah yang lebih terukur dan dengan demikian akan mempermudah pengujian hipotesis.


(38)

Tinjauan pustaka adalah proses sintesis hasil penelitian, kajian, regulasi, serta pengetahuan yang berkaitan dengan peran pemuda serta faktor- faktor yang diduga menentukan peran itu yaitu kebijakan publik, kewirausahaan, modal sosial, dan kepemilikan sumberdaya. Dengan adanya tinjauan pustaka maka akan ada pemahaman yang lebih komprehensif tentang aspek yang diteliti yang berguna dalam pengembangan metode penelitian serta pembahasan hasil penelitian. Bab Tinjauan Pustaka ini terdiri dari lima sub-bab, masing- masing tentang aspek (1) definisi dan peran pemuda, (2) kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan peran pemuda, (3) kewirausahaan, (4) pengaruh dan kekuatan kapital sosial, serta (5) kepemilikan sumberdaya yang memungkinkan pemuda dapat berperan.

Pemuda, sebagai bagian dari masyarakat, bisa berperan optimal jika bisa berperan serta dalam meningkatkan kapasitasnya dimana kesejahteraannya menjadi lebih baik berdasarkan aset yang ada, yaitu sumberdaya manusia, sosial, fisik, dan lingkungan. Dalam hal ini pemuda harus bisa meningkatkan kemampuannya dan secara kreatif mengkombinasikan sumberdaya dari luar dengan sumberdaya yang ada di sekitarnya untuk membangun visi bersama. Dalam pengembangan kapasitas agar pemuda lebih berperan secara optimal perlu adanya agen perubahan. Dalam hal ini agen perubahan adalah fasilitator dan pendidik. Proses serta fasilitasi tugas dalam suatu masyarakat perlu diperhatikan. Pemuda diharapkan mampu mengenali dan memecahkan masalah secara kolektif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Flora dan Luther (2000) adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan peran serta anggota masyarakat secara inklusif


(39)

(kebijakan publik), (2) meningkatkan basis kepemimpinan (kapital sosial), (3) memperkuat kemampuan individual (kewirausahaan), (4) pemahaman visi secara bersama (kapital sosial), (5) agenda masyarakat yang strategis dalam menghadapi perubahan (kewirausahaan), (6) kemajuan yang konsisten dan terukur menuju tujuan (kewirausahaan), (7) organisasi masyarakat dan lembaga yang efektif (kapital sosial), dan (8) pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik oleh masyarakat (sumberdaya).

2.1 Definisi dan Peranan Pemuda

Peran atau peranan bisa diartikan sebagai tindakan atau kegiatan atau fungsi yang diberikan atau diharapkan dari seseorang atau kelompok. Peran juga bisa diartikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh seseorang dalam lingkungan sosial tertentu (The Free Dictionary 2006).

Strieter dan Blalock (2006) mengungkapkan, supaya seseorang bisa menjalankan perannya secara lebih baik maka perlu melakukan kolaborasi. Kolaborasi adalah upaya organisasi atau manusia mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai secara efisien melalui upaya individu. Pemuda harus diyakinkan bahwa mereka masing- masing memiliki hak untuk berperan, oleh karena itu pemuda dalam kelompok yang sama harus memiliki visi yang sama dan mengembangkan rasa kepemilikan bersama.

Dengan berperan serta, seseorang bisa ikut mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan masyarakat di sekitarnya. Ini adalah hak warga negara yang sangat fundamendal (mendasar) dan biasanya digunakan sebagai variabel untuk mengukur apakah ada demokrasi dalam suatu kelompok masyarakat(Howard et al. 2002).


(40)

Bentuk peran serta pemuda berbeda menurut lingkungan tempat tinggal dan antar kelas sosial. Misalnya, pemuda kelas atas dan menengah di Filipina berperan dalam protes kebijakan pemerintah melalui demonstrasi damai dengan cara saling tukar informasi melalui telekomunikasi modern. Sementara pemuda miskin di pedesaan menyampaikan informasi dari mulut ke mulut. Secara umum sulit untuk meningkatkan peran kelompok berusia 15 – 24 tahun yang tidak memiliki akses ke pendidikan, informasi, dan teknologi. Juga sulit meningkatkan peran pemuda jika ada prasangka buruk di kalangan generasi tua. Meningkatkan peran pemuda juga sulit dalam sistem pemerintahan otokratik dan gaya manajemen tradisional jika mereka tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat (Tayo 2002).

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Menpora 2005) menetapkan usia pemuda adalah 18-35 tahun. Sanit (1985) diacu dalam Rohmad (1998) memandang pemuda sebagai masa yang sentral. Ia memandang pemuda dari teori lingkaran hidup (life cycle theory) yang membagi suatu generasi menjadi lima masa, yakni (1) anak-anak; (2) remaja; (3) pemuda; (4) dewasa; dan (5) tua. Pemuda dapat berperan seperti orang dewasa dan mungkin juga dapat berperan seperti seorang remaja. Pemuda adalah kehidupan pada masa transisi, tetapi penting untuk memastikan bahwa pemuda mengembangkan kompetensi dan kapabilitas mereka selama masa transisi ini (McCabe dan Garry 2002). Generasi tua berpendapat bahwa generasi muda umumnya: (1) kurang komitmen, (2) memuaskan diri sendiri, (3) tidak disiplin, (4) tidak tertarik dengan perencanaan jangka panjang, (5) temperamental, (6) tidak berpengalaman, dan (7) hanya ingin bersenang-senang. Sedangkan pendapat generasi muda terhadap generasi tua


(41)

adalah: (1) terlalu banyak meminta, (2) tidak memberikan wilayah pribadinya, (3) kokoh pada prinsip yang dimilikinya, (4) tidak memahami tentang realita saat ini, (5) tidak terlalu tertarik akan aspek-aspek emosi atau perasaan, (6) tidak rela memberi kesempatan kepada yang lain, dan (7) membosankan (Iyer 2002).

Selanjutnya Rohmad (1998) menyimpulkan bahwa secara garis besar, pengertian pemuda adalah: (1) memiliki identitas ego yang stabil; (2) dapat berpikir secara sistematis; (3) memiliki minat tertentu; (4) mampu menyesuaikan diri dengan nilai, norma dan harapan masyarakat; (5) perkembangan moralnya mencapai tahap konvensional; (6) terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di daerahnya; dan (7) secara umum diakui keberadaan dan eksistensinya dalam program pembangunan masyarakat. Selain itu, pemuda dicirikan dengan kebiasaannya yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang merupakan manifestasi dari sifat yang energik, original, spontan dan ideal.

Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran maupun dari lingkungan yang memberi peran kepadanya (Pareek dan Udai 1985 diacu dalam Rohmad 1998). Peran adalah sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan dari para anggota dalam sistem sosial yang bersangkutan dan harapan sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki dalam sistem sosial itu. Dengan demikian peran adalah perilaku yang diharapkan sesuai dengan fungsi atau kedudukannya (Rohmad 1998).

Pada awalnya teori peran hanya berfungsi sebagai sistem yang memberikan gambaran-gambaran alternatif tentang gejala sosial yang dikaji oleh para pakar sosial yang bersifat teori. Pada dekade terakhir ini, sosiologi dan psikologi sosial menunjukkan beberapa perubahan pandangan yang mendorong


(42)

munculnya teori-teori tersebut. Seiring dengan munculnya minat pada model-model struktur sosial, maka teori peran juga turut berkembang, teori pengambilan hati (ingratitation theory) pertama kali diajukan oleh Jones (1990 diacu dalam Rohmad 1998). Teori ini untuk mempelajari strategi interpersonal yang digunakan individu untuk memberikan kesan positif bagi orang lain, teori ini menggunakan strategi dan taktik dengan memberi imbalan (insentif) agar orang berperilaku seperti yang diharapkan.

Teori lainnya adalah teori cermin (looking glasses theory) yang dikembangkan oleh Dewey, Mead dan Goffman (1929, 1934 dan 1959 diacu dalam Rohmad 1998). Inti teori cermin adalah individu dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Bagaikan seseorang bercermin di depan kaca, maka ia tampak seperti apa yang dilihatnya di dalam kaca. Berdasarkan hal tersebut, kedirian pemuda dapat terlihat dari respon atau tanggapan yang diterima dari lingkungannya.

Pareek dan Udai (1985 diacu dalam Rohmad 1998) menyatakan bahwa peran tidak dapat ditentukan tanpa harapan- harapan dari para pengirim peran. Pengirim peran adalah orang-orang penting di dalam sistem terlibatnya pemegang peran. Setiap peran mempunyai sistem, terdiri dari pemegang peran dan mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peran dan sejumlah harapan dari peran itu.

Para pengirim peran bukan hanya keluarga, tetapi juga masyarakat, maka tidak cukup hanya berbekal sosialisasi di dalam keluarga saja. Tendensi pemuda meleburkan diri pada kelompok pemuda dalam semua masyarakat sebenarnya adalah berakar pada kenyataan tersebut. Partisipasi dalam keluarga belum cukup


(43)

untuk pengembangan kematangan sosial dan pembentukan identitas diri secara penuh. Dengan kata lain, peran yang dipelajari dalam keluarga kurang membentuk dasar yang cukup untuk pengembangan identitas dan partisipasi pemuda dalam bermasyarakat. Di masyarakat, kelo mpok pemuda mencari kerangka untuk pengembangan dan kristalisasi dari identitasnya untuk mencapai otonomi pribadi dan untuk transisinya yang efektif ke dalam dunia dewasa (Rogers dan Dorothy 1977 diacu dalam Rohmad 1998).

2.2 Pemuda dan Kebijakan Publik

Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kebijakan (policy) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan juga bisa merupakan suatu deklarasi mengenai dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (Wahab 2004). Anderson (1979) merumuskan kebijakan sebagai tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.

Dye (1978) diacu dalam Islamy (2004) mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dipilih atau tidak dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan. Jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan, bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan pemerintah termasuk kebijakan


(44)

publik juga. Hal ini karena pilihan untuk tidak melakukan sesuatu oleh pemerintah juga akan berpengaruh atau memiliki dampak yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukanoleh pemerintah.

Kebijakan publik yang ideal ada dua, yaitu: (1) Kewirausahaan bukan merupakan sumberdaya, tetapi merupakan generasi yang mempunyai ide yang produktif secara sosial, kewirausahaan merupakan generasi ide dan bukan eksistensi sumberdaya yang menentukan kemakmuran; (2) Proses memahami kewirausahaan menetukan alokasi sumberdaya. Esensinya adalah bahwa alokasi sumberdaya merupakan dampak dari aktivitas wirausaha. Kebijakan publik bisa mempengaruhi hal ini dalam berbagai cara. Kebijakan publik yang bersifat regulasi bisa merusak kewirausahaan masyarakat (Kirzner dan Sautet 2006).

Penyusunan kebijakan publik yang baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. Keterbukaan (transparansi) atas berbagai proses pengambilan keputusan akan mendorong partisipasi masyarakat dan membuat para penyusun kebijakan publik menjadi bertanggung jawab (accountable) kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) denga n proses maupun kegiatan dalam sektor publik. Transparansi adalah sebuah kondisi minimum bagi partisipasi masyarakat dan merupakan awal dari terwujudnya akuntabilitas. Prinsip partisipatif menunjukan bahwa masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari suatu kebijakan publik harus turut serta di dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, masyarakat menikmati faedah kebijakan publik tersebut bukan semata-mata dari hasil (produk) kebijakan tersebut tetapi dari keikutsertaan dalam prosesnya. Prinsip partisipatif dalam penyusunan kebijakan publik membantu terselenggaranya proses perumusan


(45)

kebijakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan, dan memudahkan penentuan prioritas (transparansi). Prinsip akuntabilitas publik menuntut kapasitas para aparat publik untuk dapat membuktikan bahwa setiap tindakan yang mereka ambil ditujukan untuk kepentingan publik, dapat dipertanggungjawabkan kepada

stakeholders dengan indikator kinerja dan target yang jelas.

Adalah penting untuk meningkatkan kesadaran di kalangan pengambil keputusan politik tentang kebutuhan mendesak, yaitu partisipasi yang lebih luas spektrumnya dan secara menyeluruh terutama interaksi dan komunikasi antar generasi(Busch 2002). Upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif dalam pembangunan Bangsa Indonesia, dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan: (1) Ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan pemuda yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, akibat dari derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir, sikap, serta perilaku pemuda, ini dapat dilihat dari kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas serta produktivitas di kalangan pemuda, sehingga pemuda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan karakter bangsa; (2) Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi di berbagai aspek kehidupan ternyata sangat mempengaruhi daya saing pemuda, sehingga pemuda baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan jenis pekerjaan yang sedang dijalaninya (Depdiknas 2004).


(46)

Selanjutnya, tantangan yang dihadapi adalah: (1) Derasnya arus mobilisasi pemuda baik yang berpendidikan maupun yang putus sekolah dari desa ke kota dan dari lapangan pekerjaan di bidang pertanian, perikanan dan kelautan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menghasilkan, kepada pekerjaan/jasa yang dapat menghasilkan dalam jangka pendek, sehingga terjadi penumpukan pemuda pada satu jenis pekerjaan tertentu yang berada di perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah orang yang melakukan arus balik ke kota-kota besar setelah hari besar/libur; (2) Munculnya gerakan demokratisasi yang dapat memunculkan masalah- masalah baru di bidang kepemudaan. Ini dapat dilihat dengan menj amurnya LSM yang banyak melibatkan pemuda. Disertai dengan laju globalisasi, akan memberikan dampak pada persoalan identitas dan integritas bangsa serta pembentukan moral dan agama yang kuat di kalangan pemuda dan juga kepedulian terhadap lingkungan; (3) Belum terumuskannya kebijakan pembangunan di bidang kepemudaan secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah (Depdiknas 2004).

Dengan adanya permasalahan tersebut, maka tantangan pembangunan bidang pemuda ke depan dapat memunculkan masalah-masalah baru di bidang kepemudaan, terlebih lagi bila disertai laju globalisasi, maka akan memberikan dampak pada persoalan identitas dan integritas bangsa di kalangan pemuda. Menurut Gakunzi (2005) ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) Desentralisasi adalah salah satu cara untuk memperbesar, memperdalam, dan mengkonsolidasi demokrasi secara umum dan demokrasi lokal secara khusus; dan


(47)

(2) Representasi politik kaum minoritas yang merupakan cara untuk me ndorong partisipasi.

Pemerintah juga harus mendukung proyek skala kecil dan pengembangan kewiraswastaan. Demikian juga pemerintah perlu memperhatikan pengangguran di kalangan pemuda. Kebijakan ketenagakerjaan harus jelas mengarah menuju kesempatan kerja kepada pemuda (NSC 2006).

2.3 Kewirausahaan Pemuda

Kewirausahaan atau entrepreneurship adalah kemampuan seseorang untuk untuk mengenali produk baru, menemukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Dalam hal ini seorang wirausaha juga mampu mengorganisir dan berani mengambil resiko dari suatu kegiatan bisnis atau usaha yang dijalankannya (Depdiknas 2003 dan Merriam Webster 2001).

Kewirausahaan merupakan kemampuan manusia untuk mengatasi ketidakpastian, karena setiap tindakan yang diputuskan selalu menghadapi ketidakpastian, maka setiap tindakan memiliki sifat kewirausahaan dalam skala kecil maupun besar. Bagi mereka yang ingin melakukan interaksi sosial baik secara sukarela maupun berdasarkan klasifikasi pekerjaan akan menghadapi berbagai hal lebih sulit yang terkait dengan kewirausahaan, yaitu menemukan dan memperkirakan nilai subyektif dari orang lain (Herbener 1992).

Meningkatkan kewirausahaan bisa merupakan alat kebijakan yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi regional maupun dalam hal menciptakan lapangan kerja. Kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya, telah bergeser ke


(48)

arah peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal melalui kewirausahaan dan bukan berpijak pada investasi yang datang dari luar daerah (Campbell dan Rogers 2007). Kewirusahaan sangat penting dalam mendorong dinamika ekonomi moderen dan penciptaan kerja. Pembuat kebijakan perlu mengetahui bagaimana perusahaan baru memulai usaha nya dan kelembagaan keuangan seperti apa yang diperlukan untuk mendorong kewirausahaan. Data time series antar negara menunjukkan terdapat korelasi antara kewirausahaan dengan kualitas peraturan, akses terhadap modal, dan adanya informalitas (Klapper 2006).

Untuk melakukan wirausaha, pemuda perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Kebutuhan fasilitas tergantung dari keterampilan pemuda, jenis usaha yang dilakukan, serta ketersediaan dana. Hasil studi Brasier et al. (2006) di Pennsylvania, misalnya, menunjukkan keterampilan komputer sangat penting dan signifikan dalam melakukan tugas manajamen usaha tani. Karena itu perlu ditingkatkan dan dikembangkan kemampuan komputer untuk keberhasilan usaha tani dan pembangunan pedesaan pada masa yang akan datang.

Pembukaan lapangan kerja baru melalui kewirausahaan dipandang perlu untuk dapat meningkatkan daya dukung pertumbuhan ekonomi. Departemen KUMKM (2005) mentargetkan pembukaan usaha baru. Untuk periode 2005-2009 diupayakan penumbuhan usaha baru berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebanyak 6 juta unit termasuk pengembangan koperasi. Dalam hal ini pemuda juga merupakan kelompok sasaran. Para tamatan sekolah kejuruan akan diberi beasiswa untuk melanjutkan ke program diploma atau sarjana agar memiliki keahlian yang lebih memadai.


(49)

Jiwa kewirausahaan harus ditumbuhkan sejak usia dini. Di Eropa, khususnya di Norwegia, jiwa wirausaha sudah ditanamkan sejak usia sekolah. Anak-anak harus diberi pengarahan agar sadar bahwa wirausaha merupakan pilihan mata pencaharian pada masa depan. Disamping itu anak-anak sekolah perlu diberi dorongan agar lebih percaya diri dan kreatif tentang setiap keputusan yang mereka ambil. Sedangkan cara terbaik untuk belajar kewirausahaan adalah melalui pengalaman dan praktek langsung. Misalnya, di sekolah para murid diberi kesempatan praktek untuk menjalankan bisnis skala mini (Europe Union 2006).

Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), misalnya, memberi kesempatan kepada para pemuda untuk mengikuti kecakapan hidup terhadap pemuda yang bersedia berusaha mandiri. Proram ini dirasa lebih bermanfaat untuk mendorong kewirausahaan pemuda dalam menghadapi tantangan kemajuan jaman dimana tuntutan hidup semakin tinggi sementara di pihak lain kesempatan kerja semakin sempit (Kompas 2004). Program semacam ini dipraktekkan di Jawa Timur pada tahun 2005, yaitu dengan memberi pelatihan wirausaha dari Forum Pemuda Jawa Timur bagi para siswa SMA dan SMK se-Jawa Timur. Pelatihan ini bertujuan menanamkan jiwa wirausaha sejak dini sehinga setelah lulus sekolah diharapkan bisa bekerja secara mandiri dan tidak tergantung kepada kesempatan kerja yang diberikan oleh orang lain (Jawa Pos 2005).

Silalahi (2005) menyatakan dari seluruh lulusan perguruan tinggi yang memperoleh pekerjaan sebanyak 82% bekerja pada instansi pemerintah atau swasta. Hanya 18% dari kelompok yang bekerja tersebut bekerja secara mandiri atau sebagai wirausaha. Dalam hal ini pemerintah diharapkan membuat kebijakan


(50)

yang mendorong pemuda agar lebih berminat bekerja secara mandiri seperti halnya yang dilakukan negara- negara maju karena kewirausahaan berperan menyumbang kemajuan ekonomi suatu bangsa.

2.4 Kapital Sosial Pemuda

Kapital sosial merupakan sumberdaya yang tersedia di dalam dan melalui perorangan atau jaringan bisnis. Sumberdaya tersebut bisa berupa informasi, ide, pimpinan, kesempatan bisnis, kekuatan dan pengaruh, dukungan emosional, kemauan baik, kepercayaan, dan kerjasama. Kapital sosial tumbuh dari interaksi kita dengan orang lain dan bisa disebut sinergi sosial. Dalam hal ini kapital sosial bisa berkontribusi terhadap produktivitas bisnis ataupun kesuksesan perorangan. Untuk bisnis, kegiatan sosial bisa meningkatkan pangsa pasar, menarik minat investasi, memperbaiki citra perusahaan, memperbaiki efisiensi, dan meningkatkan moral pegawai. Bagi perorangan, kapital sosial bisa meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan, kesehatan, kebahagiaan dan semua kualitas hidup (Baker 2000).

Van Staveren (2003) memberikan definisi kapital sosial dalam berbagai sudut pandang. Dari dimensi fungsionalis, kapital sosial merupakan tindakan kolektif, dari sudut pandang sosiologi merupakan kohesi sosial, secara ekonomi adalah kesejahteraan atau pertumbuhan ekonomi. Kapital sosial merupakan komitmen terhadap nilai sosial yang bisa diekspresikan secara kuantitaif dan kualitatif.

Kapital sosial terkait dengan nilai-nilai tertentu melalui jaringan kerja atau

network melalui berbagai persamaan, misalnya pekerjaan, tempat tinggal, agama, atau suku. Kapital sosial mampu menjembatani antar individu yang berbeda


(51)

dengan norma yang bersifat timbal balik (Dekker dan Uslaner 2001 diacu dalam Aribowo 2007). Walaupun demikian, dengan perkembangan jaman terjadi perubahan, misalnya ikatan antar kelompok dalam hal gotong royong atau tolong-menolong semakin pudar. Kapital sosial bisa ditumbuhkan kembali tetapi memerlukan waktu yang lama dan terus menerus.

Masyarakat Ao’ gading di Tana Toraja misalnya, kapital sosial yang mereka miliki untuk membangun daerahnya dengan alam sekitar yang sejuk mereka berusaha menarik wisatawan. Kapital sosial yang mereka miliki diharapkan mendukung kegiatan mereka, yaitu kebersamaan, kepedulian, keikhlasan, dan kerelawanan (Fina dan Jemang 2006). Walaupun demikian mereka juga harus bersiap-siap bahwa adat yang mereka miliki bisa berubah dengan berjalannya waktu. Mereka tetap harus mempertahankan daya tarik wisata walaupun terjadi perubahan kapital sosial.

Generasi muda (suatu kelompok) tertentu harus menghormati kelompok yang lain. Alasannya adalah karena pemuda berasal dari latar belakang yang berbeda, hal ini harus merupakan kontribusi untuk membangun suatu masyarakat. Pemuda patut mengembangkan kesetiakawanan melampaui batas-batas lingkungannya karena nilai- nilai yang berasal dari cinta kasih dan kesetiakawanan dapat menyela matkan pemuda di tengah konflik sosial politik yang begitu banyak. Keragaman di antara pemuda mena mbahkan kekayaan terhadap semua proses, meskipun sulit mencapai konsensus (Benjumea 2002).

Sayogyo (1985) menggambarkan melalui dua alternatif masyarakat sebagai sistem sosial, pertama; masyarakat dipandang sebagai jaring- jaring sejumlah relasi dan hubungan sosial, yang mana di dalamnya terdapat suatu pola


(52)

yang unsur-unsurnya mantap. Alternatif kedua; masyarakat sebaga i susunan sejumlah posisi sosial yang berhubungan dan saling mengisi. Posisi sosial ini dapat menggambarkan titik-titik pusat atau pertemuan sejumlah relasi dan hubungan sosial yang berpusat, sehingga menempatkan individu- individu pada kedudukan tertentu.

Seseorang dapat memperoleh kedudukan tertentu di masyarakat melalui tiga cara: pertama, secara otomatis; yakni dimana seseorang memperoleh kedudukan tanpa suatu usaha tertentu. Kedudukan ini sering juga disebut

ascribed-status. Kedudukan ini biasanya di dapat melalui pengakuan masyarakat, misalnya karena umur, jenis kelamin dan sebagainya. Kedua, seseorang memperoleh kedudukan di masyarakat melalui suatu usaha atau setidak-tidaknya karena seseorang tersebut menentukan pilihannya, misalnya seorang dokter, guru, pengacara, pengusaha dan sebagainya. Kedudukan ini sering disebut achieved-status. Ketiga, seseorang mendapatkan kedudukan di masyarakat dengan cara diberikan oleh suatu golongan atau kelompok masyarakat, dan kedudukan ini biasanya disebut assigned-status. Perbedaan assigned-status ini dengan cara yang pertama (ascribed-status) terletak pada performance role-nya, dimana seseorang tersebut ternyata dapat berperilaku melebihi harapan dari masyarakat yang mengirim peran, sehingga ia diberi kedudukan yang lebih tinggi, misalnya seorang ulama, kiai dan sebagainya (Sayogyo 1985, Taneko 1984).

Secara sosiologis, kedudukan pemuda berada pada posisi sub-ordinat atau di bawah kedudukan orang dewasa. Dengan kata lain, kedudukan pemuda bila ditinjau dari cara yang pertama (ascribed-status) berada di antara kedudukan anak dan remaja, dan berada di bawah kedudukan orang dewasa dan orang tua. Maka,


(53)

pemuda merupakan seseorang yang berada pada periode transisi yang diharapkan aktif mempersiapkan diri, membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan sehingga nantinya pemuda tersebut dapat menjadi warga dan pemimpin di tengah-tengah masyarakat (Rohmad 1998).

2.5 Kepemilikan Sumberdaya

Sumberdaya di masyarakat bisa diklasifikasikan sebagai sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk kegiatan investasi diperlukan sumberdaya finansial. Manusia harus bisa menggunakan sumberdaya yang dimiliki agar bisa memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Pembangunan harus berkelanjutan dengan cara menggunakan sumberdaya alam tanpa melampaui batas-batas kapasitas yang ada. Secara sosial politik, pembangunan berkelanjutan akan terancam jika agenda pembangunan berkelanjutan kalah oleh agenda lainnya. Pembelajaran pembangunan berkelanjutan sangat penting bagi pemuda sebagai bagian dari masyarakat. Dalam hal ini ada tiga aspek pembelajaran, yaitu secara individual, secara sosial, dan penyadaran (Moeliono 2006).

Ketersediaan dana pendanaan, yang merupakan sumberdaya finansial, yang tidak stabil dapat merendahkan peran serta pemuda. Kondisi kekurangan dana ini harus dihindari jika tujuan partisipasi adalah untuk mendorong keterlibatan pemuda dalam kegiatan berbasis masyarakat serta dalam hal menumbuhkan rasa memiliki atas sesuatu (Golombek 2002). Pengalaman Youth Serice America (YSA), yaitu pusat sumberdaya dan wadah pemersatu dari lebih 200 organisasi yang bekerja meningkatkan secara kualitas dan kuantitas kesempatan pemuda Amerika untuk pekerjaan voluntir secara lokal, nasional dan internasional, menunjukkan beberapa masalah yang diha dapi pemuda, yaitu


(54)

kekurangan aktivitas yang sesuai dengan perhatian dan kesukaan kaum muda dan kekurangan dukungan finansial (McCabe dan Garry 2002).

Hodgson (1995) mengemukakan lima syarat yang harus dicapai agar pemuda dapat secara sungguh-sungguh diberdayakan, yaitu: (1) Akses ke kelompok yang memiliki kekuasaan, (2) Akses ke informasi yang relevan, (3) Memiliki alternatif dalam menentukan pilihan, (4) Dukungan dari orang yang independen dan dipercaya, dan (5) Bisa menyampaikan pandangan dan keluhan jika mendapat kesulitan.


(55)

Bagian ini menguraikan tentang data dan peubah, kerangka analisis, metode analisis, metode pengumpulan data, dan hipotesis operasional (testable hyphotesis) penelitian. Pada bagian akhir bab ini diuraikan tentang analisis dan sintesis peran pemuda dari studi kasus di Kabupaten Sukabumi ke kondisi dan situasi pemuda sekarang secara nasional.

3.1 Data dan Peubah

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang dicatat langsung dari responden pemuda. Data primer meliputi karakteristik pemuda sebagai peubah dari faktor determinan yang mempengaruhi pemuda. Data primer lainnya adalah peubah bentuk-bentuk peran pemuda. Data sekunder terdiri dari data geografi, klimatologi, kependudukan, organisasi pemuda/sosial politik, program pembangunan perikanan, dan potensi sumberdaya alam Kabupaten Sukabumi yang dikutip dari berbagai publikasi dan laporan tahunan. Data sekunder berupa keadaan umum wilayah penelitian dibahas pada Bab 4, sedangkan hasil ana lisis data primer secara deskriptif maupun empiris dibahas pada Bab 5.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan di lima wilayah kecamatan yang terletak di daerah pesisir pantai Sukabumi, yaitu Pelabuhan Ratu, Cisolok, Ciemas, Ciracap, dan Surade di Kabupaten Sukabumi dari bulan Maret hingga April 2006. Peta daerah penelitian secara rinci dicantumkan pada Lampiran 1. Responden penelitian ini adalah pemuda, baik laki- laki maupun perempuan yang berumur antara 18 hingga


(56)

35 tahun dengan total responden sebanyak 390 orang. Secara rinci jumlah responden ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 Jumlah responden pemuda per kecamatan di Kabupaten Sukabumi

No. Kecamatan Responden (orang)

1. Cisolok 124

2. Pelabuhan Ratu 179

3. Ciemas 30

4. Ciracap 28

5. Surade 29

Jumlah 390

Sesuai dengan tujuan penelitian, metode pengumpulan data dilakukan sebagai berikut; pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden pemuda menggunakan kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan dengan metode complete enumeration, yaitu semua pemuda yang berusia 18-35 tahun di wilayah penelitian diwawancara dengan catatan pemuda tersebut bersedia diwawancara dan mempunyai pekerjaan di sektor kelautan dan perikanan. Total sampel sebanyak 390 orang, semula berjumlah 419 orang tetapi sebagian sampel tidak dipakai karena datanya bersifat ekstrim. Data sekunder yang terkait dengan program sektor kelautan dan perikanan dikumpulkan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten berupa laporan kegiatan. Disamping itu juga dikumpulkan data sekunder lainnya, seperti jumlah dan jenis organisasi kemasyarakatan dari instansi terkait

Data primer dikelompokkan berdasarkan aspek yang mempengaruhi peran pemuda dan bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan perikanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda berdasarkan studi pustaka dikelompokkan dalam empat aspek, yaitu kerwirausahaan, kebijakan publik, sumberdaya, dan kapital sosial. Kode peubah dan satuan faktor-faktor yang mempengaruhi peran tercantum pada Lampiran 2.


(1)

Lampiran 8. Frekuensi faktor- faktor yang mempengaruhi peran pemuda di Kabupaten Sukabumi, 2006

Faktor yang mempengaruhi Kelompok/Frekuensi

1. KEWIRAUSAHAAN

USIA (tahun) Total

Kelompok 18 - 20 21 - 25 26 - 30 31 - 35

Frekuensi (orang) 44 97 109 135 390

Persentase (%) 11,3 24,9 27,9 34,6 100,0

PENDIDIKAN (tahun)

Kelompok 1 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 16

Frekuensi (orang) 233 77 61 19 390

Persentase (%) 59,7 19,7 15,6 4,9 100,0

PENGALAMAN BISNIS (tahun)

Kelompok 1 - 7 8 - 14 15 - 21 22 - 28

Frekuensi (orang) 160 114 102 14 390

Persentase (%) 41,0 29,2 26,2 3,6 100,0

MEMBACA BERITA BISNIS (hr/bln)

Kelompok 0 1 - 10 11 - 20 21 - 30

Frekuensi (orang) 253 91 25 21 390

Persentase (%) 64,9 23,3 6,4 5,4 100,0

MENDENGAR BERITA BISNIS (hr/bln)

Kelompok 0 1 - 10 11 - 20 21 - 30

Frekuensi (orang) 97 88 40 165 390

Persentase (%) 24,9 22,6 10,3 42,3 100,0


(2)

Lanjutan

Faktor yang mempengaruhi Kelompok/Frekuensi

2. KEBIJAKAN PUBLIK

NILAI KREDIT (Rp 000) Total

Kelompok 0 20 - 1.000 1.200 - 2.000 > 2.000

Frekuensi (orang) 322 42 11 15 390

Persentase (%) 82,6 10,8 2,8 3,8 100,0

PAJAK (Rp 000)

Kelompok 0 7,5 - 100 120 - 960 > 960

Frekuensi (orang) 177 28 103 82 390

Persentase (%) 45,4 7,2 26,4 21,0 100,0

PENYULUHAN (kali/thn)

Kelompok 0 1 - 3 4 - 6 10 - 12

Frekuensi (orang) 239 130 14 7 390

Persentase (%) 61,3 33,3 3,6 1,8 100,0

WAKTU MENGURUS IJIN USAHA (hari)

Kelompok 0 1 -14 15 - 30 31 - 90

Frekuensi (orang) 258 94 31 7 390

Persentase (%) 66,2 24,1 7,9 1,8 100,0


(3)

Lanjutan

Faktor yang mempengaruhi Kelompok/Frekuensi

3. SUMBERDAYA

NILAI ASET USAHA (Rp 000) Total

Kelompok 0 5 - 100 120 - 800 > 1.000

Frekuensi (orang) 162 31 29 168 390

Persentase (%) 41,5 7,9 7,4 43,1 100,0

NILAI LAHAN NON PERIKANAN (Rp 000)

Kelompok 0 200 - 5.000 7.000 - 10.000 12.000 - 100.000

Frekuensi (orang) 335 18 7 30 390

Persentase (%) 85,9 4,6 1,8 7,7 100,0

JUMLAH TENAGA KERJA KELUARGA (orang)

Kelompok 1 2 - 3 4 - 5 6 - 10

Frekuensi (orang) 298 75 12 5 390

Persentase (%) 76,4 19,2 3,1 1,3 100,0

KEUNTUNGAN BISNIS PERIKANAN (Rp 000/tahun)

Kelompok 0 400 - 1.000 1.100 - 10.000 10.200 - 180.000

Frekuensi (orang) 2 24 199 165 390

Persentase (%) 0,5 6,2 51,0 42,3 100,0

SALDO TABUNGAN (Rp 000)

Kelompok 0 25 - 100 120 - 900 1.000 - 15.000

Frekuensi (orang) 238 13 73 66 390

Persentase (%) 61,0 3,3 18,7 16,9 100,0

PERKIRAAN KENAIKAN KEUNTUNGAN (%)

Kelompok 0 2 - 20 25 - 50 60 - 100

Frekuensi (orang) 238 54 70 28 390

Persentase (%) 61,0 13,8 17,9 7,2 100,0


(4)

Lanjutan

Faktor yang mempengaruhi Kelompok/Frekuensi

4. KAPITAL SOSIAL

NILAI WARISAN DARI ORANG TUA (Rp 000) Total

Kelompok 0 750 - 10.000 10.250 - 30,000 32.500 - 465.000

Frekuensi (orang) 341 24 17 8 390

Persentase (%) 87,4 6,2 4,4 2,1 100,0

KEKAYAAN KELUARGA (Rp 000)

Kelompok 100 - 10.000 10.030 - 30.000 30.400 - 100.000 100.190 - 852.300

Frekuensi (orang) 83 134 114 59 390

Persentase (%) 21,3 34,4 29,2 15,1 100,0

LAMA IKUT ORGANISASI POLITIK (tahun)

Kelompok 0 1 - 4 5 - 9 10 - 20

Frekuensi (orang) 350 22 12 6 390

Persentase (%) 89,7 5,6 3,1 1,5 100,0

LAMA IKUT ORGANISASI AGAMA (tahun)

Kelompok 0 1 - 4 5 - 9 10 - 20

Frekuensi (orang) 311 41 25 13 390

Persentase (%) 79,7 10,5 6,4 3,3 100,0

JUMLAH MITRA BISNIS (orang)

Kelompok 0 1 - 5 6 - 10 11 - 55

Frekuensi (orang) 64 231 47 48 390

Persentase (%) 16,4 59,2 12,1 12,3 100,0


(5)

ABSTRAK

ADHYAKSA DAULT

. Peningkatan Peran Pemuda dalam Pembangunan

Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Sukabumi. Di bawah bimbingan. RUDY C.

TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H.

PURWAKA, dan JOHN HALUAN.

Pembangunan kelautan dan perikanan memberikan sumbangan terhadap

pendapatan nasional, menyediakan dan menyerap lapangan kerja,

menyumbangkan devisa, serta mempercepat dan mendorong pembangunan

pulau-pulau terpencil. Secara politik, pembangunan kelautan dan perikanan merupakan

wujud dari pembangunan Negara Indonesia dalam bingkai negara kesatuan.

Kendala sumberdaya manusia merupakan masalah utama dalam pemanfaatan

sumberadaya laut dan perikanan secara optimal.

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rumusan

kebijakan dimana peran pemuda dalam pembangunan kelautan dan perikanan

dapat ditingkatkan. Secara khusus, tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi

dan mengkaji bentuk-bentuk peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan

dan perikanan; (2) Mengkaji dan mensintesa faktor- faktor yang mempengaruhi

peran pemuda dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan; (3) Menentukan

variabel kebijakan yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan

kelautan dan perikanan; dan (4) Merumuskan kebijakan publik yang bertujuan

untuk meningkatkan peran pemuda dalam pembangunan perikanan. Penelitian ini

dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi dan menggunakan model persamaan

struktural.

Bentuk peran pemuda dalam pembangunan perikanan dan kelautan adalah

dalam hal perencanaan, produksi,

monitoring

dan evaluasi, dan lembaga

perikanan. Peran pemuda paling banyak dalam hal produksi perikanan terutama

sebagai tenaga kerja karena kegiatan ini relatif paling mudah dibanding peran

dalam bentuk lainnya. Walaupun demikia n peran pemuda dalam bentuk lainnya

perlu terus ditingkatkan agar peran mereka secara keseluruhan bisa lebih optimal.

Penyediaan lapangan kerja lebih luas memang merupakan prioritas, tetapi

pemerintah juga perlu mendorong peran pemuda dalam hal perencanaan,

monitoring

dan evaluasi, maupun kelembagaan perikanan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pemuda dalam pembangunan

kelautan dan perikanan adalah kebijakan publik, kewirausahaan pemuda,

pemilikan kapital sosial, dan penguasaan sumberdaya. Variabel dalam kebijakan

publik yang relatif paling berpengaruh adalah intensitas penyuluhan dan

pemberian kredit. Terdapat korelasi antar faktor yang mempengaruhi peran

pemuda dan mengindikasikan bahwa kebijakan publik akan bisa efektif jika

didukung kebijakan yang terkait dengan faktor- faktor lainnya secara simultan.


(6)

ABSTRACT

ADHYAKSA DAULT

. Improving Youth’s Role in Fisheries and Marine Affair

Development in Sukabumi Regency (Under the guidance of RUDY C.

TARUMINGKENG, MANUWOTO, VICTOR P.H. NIKIJULUW, TOMMY H.

PURWAKA, and JOHN HALUAN).

Fisheries and marine development contributes to the national income,

employment, foreign exchange reserves, and acceleration of remote islands

development acceleration. Politically, the development of fisheries and marine

affair development is implementation of Indonesian development for the unity of

the nation. Human resource is one of the main constraints in optimizing the role

of marine and fisheries resources.

The study is aimed at formulating policies in which youth’s roles in

fisheries and marine affair development could be improved. Specifically, the

objectives of the study are: (1) to identify and to assess forms of youth’s roles in

fisheries and marine affair development; (2) to assess and to synthesize factors

affecting youth’s roles in fisheries and marine affair sector; (3) to determine

policy variables affecting youth’s roles in fisheries and marine affair

development; and (4) to formulate public policy aimed at improving youth’s roles

in fisheries and marine affair development. This study was conducted in Sukabumi

Regency and a structural equation modeling (SEM) was applied.

Types of youth’s roles in fisheries and marine affair are planning, fisheries

production, monitoring and evaluation of use of fisheries and marine resources,

and fisheries institutions. Youth plays their role most in fisheries production,

especially as the labor because it is relatively the simplest type of role they can

implement. Other youth’s roles, however, should be promoted continuously to

optimize their overall roles. Expanding labor employment is the priority agenda

of the government, but the government has to boost the other types of youth’s

roles in terms of planning, monitoring and evaluation, and fisheries institutions.

Factors affecting youth’s roles in fisheries and marine affair development

are public policy, youth entrepreneurship, social capital ownership, and

resources possession. Among the most influencing variables of public policy are

extension intensity and credit provision. The factors affecting youth’s roles in

fisheries and marine affair development are correlated each other. It indicates

that public policy will be effective if it is implemented simultaneously with other

policies.