3
Tabel 1. Data kejadian banjir rob pasang di Pesisir Jakarta
Kejadian Banjir ROB Tanggal Kejadian
Masehi Tanggal Kejadian
Hijriah Lokasi Kejadian
Tinggi Genangan
23 Agustus 2007 9   Shaban 1428
Muara Baru 70-80 cm
23 Desember 2007 13 Dzulhijjah 1428
Muara Baru 50-80 cm
04 Juni 2008 5   Muharram 1428
Muara Baru -
01 Desember 2008 2   Dzulhijjah 1429
Muara Baru 60 cm
15 Desember 2008 16 Dzulhijjah 1429
Muara Baru 10-20 cm
11 Januari 2009 14 Muharram 1430
Marunda 40 cm
14 Januari 2009 17 Muharram 1430
Muara Baru 20 cm
Penjaringan 10-15 cm
Kapuk Muara 30-40 cm
Jalan Kapuk raya 10-20 cm
Kaw. Pluit pelelangan 10-20 cm
14 Mei 2009 19 Jamada Aula 1430
Muara Baru -
22 Oktober 2009 3   Dzulkaidah 1430
Muara Baru 10-100 cm
05 Nopember 2009 17 Dzulkaidah 1430
Marunda 60-80 cm
04 Desember 2009 16 Dzulhijjah 1430
Jl. RE Martadinata 20-40 cm
30 Januari 2010 14 Safar 1431
Jl.RE Martadinata 5-10 cm
13 Maret 2010 27 Rabiul awal 1431
Muara Baru 197 cm
16 Juni 2010 4   Rajab 1431
Jl.RE Martadinata 40-50 cm
25 Juni 2010 13 Rajab 1431
Muara Baru -
Sumber : www.liputan6.com Bila  ditinjau  kembali  banjir-banjir
besar pada saat-saat bulan penuh, umumnya pada  saat  air  laut  mengalami  pasang  tinggi
dan  akan  berlangsung  genangan  selama berhari-hari
sepanjang pantai.
Tidak mustahil  bahwa  hujan  besar  di  pegunungan
dan wilayah Kota Jakarta serta pasang tinggi terjadi  pada  saat  bersamaan  itulah  yang
membuat  efek  banjir  dengan  sedimentasi  di wilayah  muara  sungai,  maka  tidak  mustahil
pula  kinerja  arus  pasang  ini  menimbulkan arus  balik  pada  sungai-sungai  dan  saluran-
saluran  dengan  akibat  luapan-luapan  di  alur bagian  hulu  Soehoed,  2004.  Kejadian
banjir  rob  pasang  terjadi  2  kali  dalam setahun,  yakni  pada  saat  musim  hujan  dan
musim  pancaroba  pada  saat  musim  barat tiba.
2.3 Penyebab  Terjadinya  Banjir  Rob
Pasang Banjir  rob  pasang  disebabkan  oleh
beberapa faktor, diantaranya yaitu : a.
Faktor-faktor  alam,  seperti iklim  angin, durasi  dan  intensitas  curah  hujan  yang
sangat  tinggi,  oseanografi  pasang  surut dan  kenaikan  permukaan  air  laut,
kondisi geomorfologi
dataran rendahperbukitan,
ketinggian, dan
lereng,  bentuk  sungai,  geologi  dan genangan.  Ditambah  kondisi  hidrologi
siklus,  kaitan  hulu-hilir,  kecepatan aliran.
b. Kegiatan  manusia  yang  menyebabkan
terjadinya  perubahan  tata  ruang  yang berdampak
pada perubahan
alam. Aktivitas  manusia  yang  sangat  dinamis,
seperti  pembabatan  hutan  mangrove bakau  untuk  daerah  hunian,  konversi
lahan pada
kawasan lindung,
pemanfaatan sungaisaluran
untuk permukiman,
pemanfaatan wilayah
retensi  banjir,  perilaku  masyarakat,  dan sebagainya.
c. Degradasi  lingkungan  seperti  hilangnya
tumbuhan penutup lahan pada catchment area,
pendangkalan sungai
akibat sedimentasi,  penyempitan  alur  sungai,
dan sebagainya. d.
Jebolnya  tanggul  pembatas  antara daratan  dan  lautan  seperti  digambarkan
pada Gambar 2.
4
Gambar 2  Tanggul pembatas jebol akibat gelombang dan pasang surut
2.4  Faktor-Faktor  yang  Mempengaruhi Tingkat  Kerawanan  Banjir  Rob
Pasang
2.4.1 Penutupan Lahan
Penutupan  lahan  land  cover  adalah perwujudan
secara fisik
kenampakan visual dari vegetasi, benda alami dan unsur-
unsur  budaya  yang  ada  di  permukaan  bumi tanpa  mempermasalahkan  kegiatan  manusia
pada  objek  yang  ada  Townshend  dan Verge,  1998.    Di  wilayah  yang  tingkat
perkembangannya  sangat  pesat  dan  labil, penutupan lahan bersifat dinamis. Dinamika
tingkat  perkembangan  ini  disebabkan  oleh faktor  utamanya  yaitu  faktor  manusia  dan
faktor alam itu sendiri yang mudah berubah. Perubahan  yang  berasal  dari  faktor manusia
antara  lain  dipicu  oleh  tingkat  aksebilitas, pesatnya  laju  pertumbuhan  penduduk,  jarak
lokasi
terhadap pusat
kegiatan infrastruktur. Faktor dari alam seperti iklim
dan  erosi  sangat    mempengaruhi  perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pantai
atau sungai .
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam
penutupan lahan
diantaranya pendekatan  fungsional  yang  berorientasi
pada kegiatan
pertanian, kehutanan,
perkotaan,  dan  seterusnya  serta  pendekatan morfologi  yang  menjelaskan  penutupan
lahan  dengan  memakai  beberapa  istilah seperti,  lahan  rumput,  lahan  hutan,  lahan
sawah, areal dibangun, dan sebagainya  Lo, 1995.
Jakarta  Utara  atau  lebih  tepatnya daerah pesisir utara Jakarta yang merupakan
daerah kajian penelitian, merupakan wilayah yang  tingkat  perkembangannya  sangat  pesat
karena  menjadi  pusat  ibukota  DKI  Jakarta. Penggunaan
tanah luas
daratan di
Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km
2
. Dirinci
berdasarkan penggunaan
47,58    untuk  perumahan,  15,78    untuk areal  indrustri,  8,89    digunakan  sebagai
perkantoran  dan  pergudangan  serta  sisanya merupakan  lahan  pertanian,  lahan  kosong
dan  sebagainya.  Sementara  luas  lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci
sebagai  berikut  :  status  hak  milik  13,28  , Hak Guna Bangunan HGB sekitar 29,04,
lainnya  masih  berstatus  Hak  Pakai,  Hak Pengelolaan  dan  non  sertifikat  Pemprov
DKI  Jakarta,  2010.  Jumlah  penduduk  : 1.182.749 jiwa, kepadatan penduduk : 8.475
jiwakm
2
,  pertumbuhan  penduduk  0,46, terdiri dari : 6 kecamatan, 31 kelurahan, 409
RW, dan 4.746 RT.
2.4.2 Garis Pantai
Garis  pantai  shoreline  adalah  garis yang  dibentuk  oleh  perpotongan  antara  air
laut  dengan  daratan  pantai.  Garis  pantai selalu  berubah-ubah  dari  waktu  ke  waktu,
baik  perubahan  sementara  akibat  pasang surut  maupun  perubahan  yang  permanen
dalam  jangka  waktu  yang  panjang  akibat abrasi  dan  akresi  pantai  atau  keduanya
Pratikto, 2004
Penyebab  perubahan  garis  pantai dipengaruhi
oleh faktor
alami dan
manusiawi. Faktor  alami  terdiri
dari sedimentasi,  abrasi,  pemadatan  sedimen
pantai  dan  kondisi  geologi.  King,  1974 menyebutkan  bahwa  secara  umum  ada  tiga
hal  yang  berpengaruh  terhadap  faktor  alami pada
perubahan fisik
pantai, yaitu
gelombang,  pasang  surut,  dan angin.  Faktor manusiawi  meliputi  penanggulangan  pantai,
reklamasi  penggurugan  pantai,  penggalian sedimen
pantai, penimbunan
pantai, pembabatan  hutan  bakau  pelindung  pantai,
pembuatan  kanal  banjir,  dan  pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya.
5
Secara  garis  besar  perubahan  pantai ada  dua  macam,  yaitu  perubahan  maju  dan
perubahan    mundur.  Garis  pantai  dikatakan bergerak  maju  akresi  apabila  terjadi
pengendapan substrat
pantai akibat
penambahan  material  hasil  endapan  dari sungai  dan  laut.  Garis  pantai  dikatakan
mundur  apabila  terjadi  proses  pengikisan atau  penggerusan  pantai  abrasi  karena
pengaruh  dinamika  gerak  laut  seperti gelombang
dan hempasan
ombak Pardjaman, 1977 in Hutomo et all.
Upaya  penanggulangan  erosi  pantai antara lain dengan dibangunnya tembok laut
sea  wall  atau  pelindung  tebing  revetment, krib  tegak  lurus  pantai  groin  dan  pemecah
gelombang  sejajar  pantai  Pratikto,  2004. Namun  demikian  upaya  untuk  melindungi
erosi
pantai, seperti
pembuatan pembangunan  pelindung  pantai  juga  dapat
menimbulkan  masalah  erosi  pantai  baru disekitarnya.
Perubahan-perubahan  garis  pantai yang  terjadi  dapat  diinterpretasikan  dan
dipetakan  dari  citra  satelit.  Perubahan  garis pantai  tersebut  berupa  penambahan  dan
pengurangan  areal  tiap  tahun  yang  dapat dihitung  dan  dipantau  dari  rekaman  satelit
yang berupa citra Hermanto, 1986.
2.4.3 Pasang Surut
Pasang  surut  Sarbidi,  2002  adalah pergerakan  permukaan  air  laut  arah  vertikal
yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan, matahari  dan  benda angkasa terhadap  bumi.
Gerakan  permukaan  air  laut  berperiodik sesuai  gaya  tariknya,  intensitas  gaya  tarik
akan  berfluktuasi  sesuai  posisi  bulan, matahari  dan  bumi.  Posisi  bulan  dan  bumi
akan
mempengaruhi besar
kecilnya tunggang  air.  Tunggang  air  tidal  range
yaitu  perbedaan  tinggi  air  antara  pasang maksimum  High  Water  dan  pasang
minimum Low Water disebut tunggang air dengan  tinggi  air  rata-rata  mencapai  dari
beberapa  meter    hingga  puluhan  meter. Puncak
gelombang disebut
pasang maksimum  dan  lembah  gelombang  disebut
pasang minimum Wibisono, 2005. Pasang  terutama  disebabkan  oleh
adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya
sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi  pada  sumbunya  dan  gaya  gravitasi
yang  berskala  dari  bulan.  Gaya  sentrifugal adalah  suatu  tenaga  yang  didesak  ke  arah
luar  dari  pusat  bumi  yang  besarnya  lebih kurang  sama  dengan  tenaga  yang  ditarik  ke
permukaan bumi. Tidak sama halnya dengan gaya  tarik  gravitasi  bulan  di  mana  gaya  ini
terjadi  tidak  merata  pada  bagian-bagian permukaan bumi. Gaya ini  lebih kuat terjadi
pada  daerah-daerah  yang  letaknya  lebih dekat  dengan  bulan,  sehingga  gaya  yang
terbesar  terdapat  pada  bagian  bumi  yang terdekat dengan bulan dan gaya  yang paling
lemah  terdapat  pada  bagian  yang  letaknya terjauh  dari  bulan.  Gaya  tarik  gravitasi
menarik laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan  dua  tonjolan  bulge  pasang
surut  gravitasional  di  laut.  Lintang  dari tonjolan  pasang  surut  ditentukan  oleh
deklinasi,  sudut  antara  sumbu  rotasi  bumi dan  bidang  orbital  bulan  dan  matahari
Hutabarat dan Evans,1988.
Periode  pasang  surut  adalah  waktu antara  puncak  atau  lembah  gelombang  ke
puncak  atau  lembah  gelombang  berikutnya. Nilai  periode  pasang  surut  bervariasi  antara
12  jam  25  menit  hingga  24  jam  50  menit. Pasang  purnama  spring  tide  terjadi  ketika
bumi,  bulan  dan  matahari  berada  dalam suatu  garis  lurus.  Pada  saat  itu  akan
dihasilkan  pasang  tinggi  yang  sangat  tinggi dan  pasang  rendah  yang  sangat  rendah.
Pasang  purnama  ini  terjadi  pada  saat  bulan baru  dan  bulan  purnama.  Pasang  perbani
neap  tide  terjadi  ketika  bumi,  bulan,  dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada
saat  itu  akan  dihasilkan  pasang  tinggi  yang rendah  dan  pasang  rendah  yang  tinggi.
Pasang  surut  perbani  ini  terjadi  pada  saat bulan  ¼  dan  ¾.  Sistem  pasang  surut
purnama  spring  tide  dan  perbani  neap tide    dijelaskan  pada  Gambar  3  Karl,
2002.
6
Gambar 3  Sistem pasang surut Karl, 2002 Dilihat  dari  pola  gerakan  muka
lautnya,  pasang  surut  di  dapat  dibagi menjadi  empat  jenis  yaitu  pasang  surut
harian tunggal  diurnal, harian ganda  semi diurnal  dan  dua  jenis  campuran  mixed
tides.  Pada  jenis harian  tunggal terjadi  satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari,
saat  spring  dapat  terjadi  dua  kali  pasang sehari.    Pada  jenis  harian  ganda  terjadi  dua
kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut  yang  relatif  sama.  Pada  pasang  surut
campuran terdapat dua jenis yaitu campuran tunggal  mixed  tide  prevalling  diurnal    dan
campuran ganda  mixed tide prevalling semi diurnal.  Pasang  surut  campuran  tunggal
terjadi  satu  atau  dua  kali  pasang  sehari dengan  interval  yang  berbeda,  sedangkan
pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari  dengan  perbedaan  tinggi  dan  interval
yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari  rentang  pasang  surut  berubah  secara
sistematis  terhadap  siklus  bulan.  Rentang pasang  surut    juga  bergantung  pada  bentuk
perairan dan konfigurasi lantai samudera.
Tabel 2  Komponen-komponen harmonik pasang surut utama
Sumber: Triadmojo, 2007 Pasang  surut  bersifat  periodik,  data
amplitudo  dan  beda  fase  dari  komponen pembangkit  pasang  surut  dibutuhkan  untuk
meramalkan  pasang  surut.  Komponen- komponen  utama  pasang  surut  terdiri  dari
komponen  tengah  dan  harian.  Namun demikian,
karena interaksinya
dengan bentuk  morfologi  pantai  dan  superposisi
antar  gelombang  pasang  surut  komponen utama,
terbentuk komponen-komponen
pasang  surut  yang  baru  Pond  dan  Pickard, 1983.
2.4.4 Kenaikan Muka Laut
Kenaikan  muka  laut  merupakan fenomena  naiknya  muka  air  laut  terhadap
Jenis Nama
Komponen Periode
jam FENOMENA
Semi-Diurnal M2
12,42 Gravitasi  bulan  dengan  orbit  lingkaran  dan
sejajar ekuator bumi S2
12,00 Gravitasi  matahari  dengan  orbit  lingkaran
dan sejajar ekuator bumi N2
12,66 Perubahan  jarak  bulan  ke  bumi  akibat
lintasan yang berbentuk elips Diurnal
K1 23,93
Deklinasi sistem bulan dan matahari O1
25,28 Deklinasi Bulan
7
rata-rata  muka  laut  titik  acu  benchmark  di darat  akibat  pertambahan  volume  air  laut.
Perubahan  tinggi  permukaan  air  laut  dapat dilihat  sebagai  suatu  fenomena  alam  yang
terjadi  secara  periodik  maupun  menerus. Perubahan  secara  periodik  dapat  dilihat  dari
fenomena  pasang  surut  air  laut,  sedangkan kenaikan  air  laut  yang  menerus  adalah
seperti  yang  teridentifikasi  oleh  pemanasan global.  Fenomena  naiknya  muka  laut  yang
direprsentasikan dengan SLR sea level rise dipengaruhi  secara  dominan  oleh  pemuaian
thermal
thermal expansion
sehingga volume  air  laut  bertambah.  Selain  itu,
mencairnya  es  di  kutub  dan  gletser  juga memberikan  kontribusi  terhadap  perubahan
kenaikan muka laut. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sea level rise di estimasi dari
pengukuran  dari  stasiun  pasang  surut Nurmaulia,  et  all,  2006.  Dampak  yang
terjadi
secara permanen
antara lain
perubahan kondisi
ekosistem pantai,
meningkatnya erosi,
makin cepatnya
kerusakan  yang  terjadi  bergantung  pada tingkat  dan  jenis  pemanfaatan  kawasan  tepi
pantai. Menurut  IPCC  Intergovernmental
Panel  on  Climate  Change,  memperkirakan bahwa  pada  kurun  waktu  100  tahun
terhitung  mulai  tahun  2000  permukaan  air laut  akan  meningkat  setinggi  15-90  cm
dengan  kepastian  peningkatan  setinggi  48 cm.  Apabila  perkiraan  IPCC  tentang
kenaikan
muka laut
terjadi, maka
diperkirakan  Indonesia  akan  kehilangan 2.000  pulau.  Hal  ini  pula  yang  akan
menyebabkan  mundurnya  garis  pantai  di sebagian  besar  wilayah  Indonesia  Mimura,
2000.
Indonesia  yang  merupakan  negara kepulauan  dengan  mayoritas  populasinya
terbesar  di  sekitar  wilayah  pesisir.  Dampak negatif  yang  dapat  dirasakan  langsung  dari
fenomena  kenaikan  muka  laut  diantaranya erosi  garis  pantai,  penggenangan  wilayah
daratan,
meningkatnya frekuensi
dan intensitas  banjir,  meningkatnya  dampak
badai  di  daerah  pesisir,  salinisasi  lapisan akuifer  dan  kerusakan  ekosistem  wilayah
pesisir.  Meskipun  demikian  sampai  saat  ini karakteristik  serta  perilaku  dari  fenomena
naiknya  muka  laut  di  wilayah  region perairan  Indonesia  belum  dipahami  secara
baik  dan  komprehensif.  Jadi,  perilaku kedudukan  muka  laut  baik  variasi  temporal
maupun  spasialnya  di  wilayah  Indonesia merupakan  salah  satu  informasi  penting
yang  diperlukan  untuk  perencanaan  dan pelaksanaan  pembangunan  suatu  wilayah
secara berkelanjutan.
2.5 Citra Satelit Sumberdaya Alam
2.5.1 SPOT-5
Satelit SPOT-5
Systeme Pour
I’Observation  de  la  Terre-5  merupakan kelanjutan  dari  program  seri  satelit  remote
sensing  Prahasta,  2008.  Satelit  komersial ini  merupakan  kerjasama  antara  Perancis,
Swedia,  dan  Belgia  dibawah  koordinasi
Centre  National  d’Etudes  Spatial  CNES. Satelit
pengamatan bumi
SPOT-5 diluncurkan  dari  pusat  luar  angkasa  The
Guiana, Kourou, Guyana, Perancis. Satelit pengamatan SPOT-5 memiliki
banyak kelebihan dibandingkan satelit SPOT pendahulunya.  Kemampuan  kualitas  citra
yang  lebih  tinggi  sehingga  menjamin keefektifan  solusi  penambahan  harga  citra
yaitu  dengan  peningkatan  resolusi  sebesar 2,5
–5  meter  untuk  pankromatik  serta  10 meter  untuk  multispektral,  satelit  SPOT-5
memberikan  keseimbangan  ideal  antara resolusi yang tinggi dan luas area cakupan.
Satelit  SPOT-5  dilengkapi  dengan beberapa  sensor,  diantaranya  sensor  High
Resolution  Geometric  HRG,  sensor  High Resolution Streosopic HRS  yang memiliki
kemampuan  untuk  produksi  digital  terrain model
DEM, dan
sensor vegetasi
Prahasta, 2008. Karakteristik  dari  citra  satelit  SPOT-
5,  serta  sensornya  dijelaskan  pada  Tabel  3. Pada  penelitian  ini  digunakan  sensor  HRG
High  Resolution  Geometric.  Dua  sensor HRG  merupakan  instrumen  yang  berasal
dari  HRVIR  SPOT  4  yang  mampu menghasilkan  data  pada  empat  tingkat
resolusi  yang  sama.  Sensor  dengan  resolusi sebesar 2,5 meter yang menghasilkan konsep
sampling  yang  unik  disebut  Supermode. Supermode
menggunakan teknik
pemrosesan yang
canggih untuk
menghasilkan  gambar  2,5  meter  dari  dua gambar  5  meter  dimana  kedua  gambar  ini
diperoleh  secara  bersamaan.  Satelit  SPOT-5 disajikan pada Gambar 4.
8
Gambar 4  Satelit SPOT CNES, 1999 Pengolahan  citra  satelit  SPOT  pada
penelitian  ini  dengan  sensor  HRG,  yaitu hanya pada band 1 hijau , band  2 merah,
dan  band  3  near  infrared  karena  ketiga band  tersebut  memiliki  resolusi  yang  sama
yaitu 10 meter. 2.5.2
ALOS
Satelit ALOS
Advanced Land
Observing  Satellite  diluncukan  oleh  Japan Aerospace  Exploration  Agency  JAXA,
memiliki lebar 3,5 meter, panjang 4,5 meter dan  tinggi  6,5  meter  dengan  Solar  Battery
Paddle  memiliki  lebar  22  meter  x  3  meter yang  merupakan  satelit  pengamatan  bumi
terbesar  yang  pernah  dibangun  Jepang Restec, 2008. Alos merupakan satelit yang
diutamakan  untuk  pengamatan  daratan, observasi  wilayah,  pemantauan  bencana
alam,  dan  survei  sumber  daya  alam.  Satelit ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan
meningkatkan
fungsi satelit
JERS-1 Japanese  Earth  Resources  Satellite-1  dan
satelit  ADEOS  Advanced  Earth  Observing Satellite.
ALOS  mempunyai  tiga  instrumen penginderaan  jauh,  yaitu  Panchromatic
Remote-sensing Instrument
for Stereo
Mapping  PRSIM  untuk  pemetaan  elevasi digital  yang  memiliki  resolusi  spasial  2,5
meter,  Advance  Visible  and  Near  Infrared Radiometer  type  2  AVNIR-2  untuk
observasi penutupan lahan secara tepat yang memiliki  resolusi  spasial  10  meter,  dan
Phased Array type L-band Synthetic Apertur Radar
PALSAR untuk
observasi permukaan  bumi  dan  cuaca  pada  siang  dan
malam hari yang terdiri dari  high resolution dan ScanSAR yang masing-masing memiliki
resolusi  spasial  10  meter  dan  100  meter JAXA, 2007.
Karakteristik  citra  ALOS,  serta sensornya  dijelaskan  pada  Tabel  3.  Pada
penelitian  ini  digunakan  citra  satelit  ALOS sensor  AVNIR-2.  AVNIR-2  adalah  suatu
sensor  yang  dirancang  untuk  meneruskan sensor  VNIROPS  pada  satelit  JERS-1
adalah  satelit  Jepang  untuk  pengamatan daratan.  AVNIRADEOS  adalah  sensor
optik  dengan  4  kanal  spectral,  mempunyai resolusi  spasial  10  m  untuk  pengamatan
daratan  dan  zona-zona  garis  pantai.  Sensor AVNIR-2  merupakan  peningkatan  dari
sensor  AVNIRADEOS.  Satelit  ALOS disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5  Satelit ALOS JAXA, 2007 Pengolahan  citra  satelit  ALOS  pada
sensor  AVNIR-2  dari  band  2,  band  3,  dan band  4.  Pada  kedua  citra,  digunakan  band
yang  memiliki  domain  spektral  sama  yaitu band  hijau,  band  merah,  band  NIR.  Nilai
spektral  masing-masing  band  pada  kedua citra memiliki nilai yang hampir sama, yaitu
di  dominasi  oleh  warna  merah  yang dihasilkan  dari  pantulan  vegatasi  yang
mendominasi
penutupan lahan
daerah penelitian.
9
Tabel 3  Karakteristik citra satelit SPOT-5 dan ALOS
Sumber : Prahasta, 2008 ; JAXA, 2007 Keterangan :  Sensor citra satelit yang digunakan dalam penelitian
2.6 Digital Elevation Models
Digital  Elevation  Model  atau  DEM adalah  model  digital  yang  memberikan
informasi bentuk
permukaan bumi
topografi  dalam  bentuk  data lainnya.  Data DEM  ini  merupakan  data  digital  berformat
raster  yang  memiliki  informasi  koordinat posisi x,y dan elevasi z pada setiap pixel
atau  selnya.  DEM  terdiri  dari  2  informasi, yaitu  :  data  ketinggian  topografi  dan  data
posisi  koordinat  dari  ketinggian  tersebut  di permukaan  bumi  Bambang  dan  Firsan,
2007.  Data  DEM  dari  permukaan  bumi merupakan  informasi  yang  sangat  penting
dalam membantu proses koreksi dan analisis citra  seperti  koreksi  citra  karena  pengaruh
ketinggian  orthorektrfikasi,  pembuatan kontur,
tampilan citra
3D, analisis
manajemen  bencana  penentuan  daerah rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami,
penyusunan  tata  ruang,  penurunan  level tanah  land  subsidence  dan  yang  lainnya
Trisakti,  2005.  Pada  penelitian  ini  data DEM
dapat digunakan
untuk menggambarkan  kondisi  topografi  wilayah
yang  diteliti  sebagai  salah  satu  data pendukung  dalam  analisa  daerah  kejadian
banjir rob pasang. Data  DEM  dapat  dibuat  berdasarkan
data  titik  tinggi  spot  height  yang  dapat diperoleh  dari  hasil  pengolahan  foto  udara,
citra  satelit  secara  fotogrametri  atau  citra RADAR  melalui  proses  inferometri.  Data
DEM
juga dapat
diperoleh dengan
melakukan  pengolahan  terhadap  berbagai peta  topografi  atau  peta  rupabumi.  Secara
konvensional  DEM  juga  dapat  diperoleh melalui
survei lapangan
dengan menggunakan  berbagai  alat  survei  yang
banyak  digunakan  untuk  survei  lokasi.  Data DEM  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini
adalah  data  DEM  hasil  perekaman  space shuttle NASA yaitu GDEM 30 meter.
Pengolahan  data  DEM  akan  selalu menghasilkan  kesalahan  sink  dari  proses
interpolasi  yang  akan  berpengaruh  terhadap akurasi  data.  Hasil  pengolahan  dari  data
DEM  dengan  proses-proses  di  atas  tidak sepenuhnya  dapat  menggambarkan  kondisi
dari
kenampakan yang
ada. Untuk
meningkatkan  kualitas  topografi  tersebut pada pekerjaan data DEM perlu di sesuaikan
dengan  data  survei,  sehigga  kenampakan
Karakteristik SPOT-5
ALOS Tanggal
Peluncuran 03 Mei 2002
24 Januari 2006
Ukuran Scene 60 x 60 km
70 x 70 km
Orbit
Sun-Syncrronous Sun-Syncrronous
Sub-Reccurent
Ketinggian 832 km diatas equator
691,65 km diatas equator
Inklinasi 98
o
98,16
o
Periode Orbit 101 menit
2 hari
Sensor HRG, HRS, dan Vegetation
PRSIM, AVNIR-2, PALSAR, dan ScanSAR
Siklus Kembali
26 hari 46 hari
Domain Spektral Sensor HRG
1. Hijau        : 0,50 – 0,59 µm
2. Merah
: 0,61 – 0,68 µm
3. NIR
: 0,78 – 0,89 µm
Sensor AVNIR-2
1. Biru
: 0,42 – 0,50 µm
2. Hijau  : 0,52 – 0,60 µm
3. Merah  : 0, 61– 0,69 µm
4. NIR
: 0,76 – 0,89 µm
Resolusi Spasial
1. Hijau
: 10 m 2.
Merah  : 10 m 3.
NIR : 10 m
1. Biru       : 10 m
2. Hijau     : 10 m
3. Merah  : 10 m
4. NIR
: 10 m
10
topografi  wilayah  yang  direkam  tersebut dapat terwakili pada data DEM.
2.7 Sistem Informasi Geografis SIG