Analisis daerah genangan banjir rob (pasang) di pesisir utara Jakarta menggunakan data citra satelit SPOT dan ALOS
ABSTRACT
UTET HILDALIYANI. Analysis of Tidal Flood Inundation Area in the Northern Coast of Jakarta Using SPOT and ALOS Satellite Imagery Data. Under direction of IDUNG RISDIYANTO and SYAMSUL BAHRI AGUS.
Most of the land area of the northern coast of Jakarta is a result of reclamation of mangrove forest area, thus changing the shoreline and mangrove buffer function vanish. Effect of shoreline phenomena such as tidal flood rob), it makes some parts of the region including the northern coast of Jakarta which has a coastline along the 32 km flood affected by tidal flood (rob). Floods tidal (rob) occur when sea water runoff to the mainland every time the high tides that inundate the region is lower than the average sea level. Effect of population makes land a solid building, make change in land cover wet into dry land by the construction of wet areas resulting from land use changes. Through the results of land use change, coastlines changes and inundation prediction using data of sea level rise can be explained tidal flood (rob). SPOT (2003) and ALOS (2008) satellite imagery can explain land cover changes over the past five years, and the value of sea level rise per year to predict inundation within the next ten years. Because of changes in coastal land, coastline changes that lead to the addition of soil (accretion) and a decrease in surface (abrasion). Addition of soil (accretion) explains the more advanced the shoreline that have an impact on the pool of sea water at high tide when the maximum occurs. Based on field surveys carried out, explaining that changes in the research area of coastal land cause tidal flood (rob). Inundation predictions using DEM-GDEM data 30 m, the level of the value of the coastline and the sea rose to explain the occurrence of inundation in coastal areas north of Jakarta in 2019. The results obtained from several methods to explain the inundation occurred in the same area, so that could explain the relevance of changes in land and sea level rise which resulted in tidal flood (rob) event.
(2)
RINGKASAN
UTET HILDALIYANI. Analisis Daerah Genangan Banjir Rob (Pasang) di Pesisir Utara Jakarta menggunakan Data Citra Satelit SPOT dan ALOS. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Sebagian besar wilayah daratan pesisir utara Jakarta merupakan hasil reklamasi dari area hutan mangrove, sehingga garis pantai mengalami perubahan dan fungsi buffer mangrove lenyap. Pengaruh perubahan garis pantai menimbulkan banyak fenomena seperti banjir rob (pasang), hal tersebut menjadikan beberapa bagian wilayah termasuk pesisir utara Jakarta yang memiliki garis pantai sepanjang ± 32 km terkena dampak banjir rob (pasang). Banjir rob terjadi ketika limpasan air laut ke daratan setiap kali air laut pasang sehingga menggenangi daerah-daerah yang lebih rendah dari muka laut rata-rata. Pengaruh pertambahan penduduk membuat daratan menjadi padat bangunan, menjadikan perubahan penutupan lahan yang basah menjadi daratan yang kering dengan melakukan pembangunan wilayah basah yang akibatnya terjadi perubahan tata guna lahan. Melalui hasil perubahan tata guna lahan, perubahan garis pantai serta prediksi genangan dengan menggunakan data kenaikan muka laut dapat menjelaskan kejadian banjir rob (pasang). Citra satelit SPOT tahun 2003 dan citra ALOS 2008 dapat menjelaskan perubahan penutupan lahan selama jangka waktu lima tahun, serta nilai kenaikan muka laut per tahun dapat memprediksi genangan dalam kurun waktu sepuluh tahun kedepan. Akibat perubahan lahan pada wilayah pesisir, maka terjadi perubahan garis pantai yang menyebabkan penambahan darat (akresi) dan pengurangan darat (abrasi). Penambahan darat (akresi) menjelaskan garis pantai semakin maju yang berdampak pada genangan air laut saat pasang maksimum terjadi. Berdasarkan survei lapang yang dilakukan, menjelaskan bahwa pada wilayah kajian terjadi perubahan lahan pada pesisir sehingga terjadi genangan banjir rob (pasang). Prediksi genangan menggunakan data DEM-GDEM 30 m, garis pantai serta nilai kenaikan muka laut menjelaskan terjadinya genangan pada wilayah pesisir utara Jakarta pada tahun 2018. Hasil yang diperoleh dari beberapa metode menjelaskan genangan terjadi pada wilayah-wilayah yang sama, sehingga dapat menjelaskan keterkaitan perubahan lahan dan kenaikan muka laut saat pasang yang mengakibatkan kejadian banjir rob. Kata Kunci: banjir rob (pasang), kenaikan muka laut, perubahan lahan, citra satelit, SPOT, ALOS.
(3)
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan pesisir utara Jakarta merupakan daerah yang rentan terhadap perubahan garis pantai. Pengaruh perubahan tata guna lahan dan fenomena kenaikan muka laut yang mengakibatkan perubahan garis pantai. Akibat perubahan garis pantai ini sering terjadi bencana di wilayah pesisir, yang salah satunya adalah kejadian banjir rob (pasang). Banjir rob (pasang) terjadi pada saat kondisi pasang maksimum/tertinggi (High Water Level) menggenangi daerah-daerah yang lebih rendah dari muka laut rata-rata (mean sea level). Limpasan air laut dengan bantuan gaya gravitasi akan mengalir menuju tempat-tempat rendah, kemudian akan menggenangi daerah-daerah tersebut.
DKI Jakarta sebagai pusat kota dan perekonomian di Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang ± 32 km di pesisir bagian utara serta 40 % daerah Jakarta merupakan dataran rendah, maka wilayah pantai ini jelas terkena dampak banjir rob (pasang). Terjadinya pembangunan di setiap titik wilayah Jakarta, seiring dengan laju peningkatan kepadatan penduduk membuat daratan menjadi padat bangunan. Kondisi seperti ini yang menjadikan perubahan wilayah yang basah menjadi daratan yang kering dengan melakukan pembangunan wilayah basah tanpa melihat dampak yang akan terjadi. Wilayah- wilayah pesisir utara Jakarta yang sering mengalami banjir rob (pasang) meliputi wilayah Muara Baru, Muara Angke, Pluit, Marunda, dan Cilincing.
Pemilihan pesisir utara Jakarta sebagai daerah yang dikaji dalam penelitian ini karena hampir sepanjang musim baik musim hujan maupun kemarau daerah ini selalu mengalami banjir rob (pasang). Namun banjir rob (pasang) di kawasan pesisir Jakarta semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan pada pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai. Alasan ini yang menjadi fokus penelitian dalam menganalisis genangan akibat banjir rob (pasang), serta pengaruh kenaikan muka laut terhadap genangan banjir rob (pasang) sebagai prediksi kejadian tersebut.
Penelitian lain yang sudah dilakukan oleh Indah (2009), dengan penelitian banjir rob (pasang) menyatakan bahwa limpasan permukaan yang berasal dari DAS yang
bermuara ke laut tidak mempengaruhi kejadian banjir rob (pasang) tersebut. Hal ini menjadi alasan untuk melakukan penelitian dengan tema yang sama yaitu banjir rob (pasang) dengan fokus perubahan garis pantai antara tahun 2003 dan 2008 dan tidak melakukan analisis pengaruh parameter dari limpasan permukaan yang berasal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) maupun curah hujan. 1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di wilayah pesisir utara Jakarta dengan menggunakan citra satelit SPOT dan ALOS.
2. Menganalisis perubahan garis pantai, serta hubungannya dengan penggunaan lahan dan kejadian banjir rob (pasang). 3. Membuat prediksi area genangan banjir
rob (pasang) kemudian memetakan genangannya.
1.3 Batasan Penelitian
Penelitian ini dititik beratkan pada hubungan dari penggunaan lahan dan perubahan garis pantai dengan kejadian banjir rob (pasang) di wilayah pesisir utara Jakarta, tanpa mengkaji penyebab kejadian banjir rob (pasang) lainnya misalnya Land Subsidence, curah hujan, serta DAS (Daerah Aliran Sungai).
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Daerah Kajian 2.1.1 Geografis Teluk Jakarta
Pesisir utara Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 5° 56' 15'' - 6°55' 30'' LS dan 106° 43' 00'' – 106° 58' 30'' BT , dengan batas di sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Pasir dan di sebelah Timur berbatasan Tanjung Karawang. Luas perairan Teluk Jakarta sekitar 514 km2 dan panjang garis pantainya lebih kurang 80 km dimana 32 km merupakan garis pantai Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta (Setiapermana dan Nontji, 1980).
Sistem perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh limpasan air 13 muara sungai yang melewati wilayah kota Jakarta. Ketiga belas sungai tersebut terdiri dari 3 sungai besar, yaitu Sungai Citarum, Sungai Bekasi, dan Sungai Ciliwung serta 10 sungai kecil, yaitu: Sungai Kamal, Sungai
(4)
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan pesisir utara Jakarta merupakan daerah yang rentan terhadap perubahan garis pantai. Pengaruh perubahan tata guna lahan dan fenomena kenaikan muka laut yang mengakibatkan perubahan garis pantai. Akibat perubahan garis pantai ini sering terjadi bencana di wilayah pesisir, yang salah satunya adalah kejadian banjir rob (pasang). Banjir rob (pasang) terjadi pada saat kondisi pasang maksimum/tertinggi (High Water Level) menggenangi daerah-daerah yang lebih rendah dari muka laut rata-rata (mean sea level). Limpasan air laut dengan bantuan gaya gravitasi akan mengalir menuju tempat-tempat rendah, kemudian akan menggenangi daerah-daerah tersebut.
DKI Jakarta sebagai pusat kota dan perekonomian di Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang ± 32 km di pesisir bagian utara serta 40 % daerah Jakarta merupakan dataran rendah, maka wilayah pantai ini jelas terkena dampak banjir rob (pasang). Terjadinya pembangunan di setiap titik wilayah Jakarta, seiring dengan laju peningkatan kepadatan penduduk membuat daratan menjadi padat bangunan. Kondisi seperti ini yang menjadikan perubahan wilayah yang basah menjadi daratan yang kering dengan melakukan pembangunan wilayah basah tanpa melihat dampak yang akan terjadi. Wilayah- wilayah pesisir utara Jakarta yang sering mengalami banjir rob (pasang) meliputi wilayah Muara Baru, Muara Angke, Pluit, Marunda, dan Cilincing.
Pemilihan pesisir utara Jakarta sebagai daerah yang dikaji dalam penelitian ini karena hampir sepanjang musim baik musim hujan maupun kemarau daerah ini selalu mengalami banjir rob (pasang). Namun banjir rob (pasang) di kawasan pesisir Jakarta semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan pada pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai. Alasan ini yang menjadi fokus penelitian dalam menganalisis genangan akibat banjir rob (pasang), serta pengaruh kenaikan muka laut terhadap genangan banjir rob (pasang) sebagai prediksi kejadian tersebut.
Penelitian lain yang sudah dilakukan oleh Indah (2009), dengan penelitian banjir rob (pasang) menyatakan bahwa limpasan permukaan yang berasal dari DAS yang
bermuara ke laut tidak mempengaruhi kejadian banjir rob (pasang) tersebut. Hal ini menjadi alasan untuk melakukan penelitian dengan tema yang sama yaitu banjir rob (pasang) dengan fokus perubahan garis pantai antara tahun 2003 dan 2008 dan tidak melakukan analisis pengaruh parameter dari limpasan permukaan yang berasal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) maupun curah hujan. 1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di wilayah pesisir utara Jakarta dengan menggunakan citra satelit SPOT dan ALOS.
2. Menganalisis perubahan garis pantai, serta hubungannya dengan penggunaan lahan dan kejadian banjir rob (pasang). 3. Membuat prediksi area genangan banjir
rob (pasang) kemudian memetakan genangannya.
1.3 Batasan Penelitian
Penelitian ini dititik beratkan pada hubungan dari penggunaan lahan dan perubahan garis pantai dengan kejadian banjir rob (pasang) di wilayah pesisir utara Jakarta, tanpa mengkaji penyebab kejadian banjir rob (pasang) lainnya misalnya Land Subsidence, curah hujan, serta DAS (Daerah Aliran Sungai).
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Daerah Kajian 2.1.1 Geografis Teluk Jakarta
Pesisir utara Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 5° 56' 15'' - 6°55' 30'' LS dan 106° 43' 00'' – 106° 58' 30'' BT , dengan batas di sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Pasir dan di sebelah Timur berbatasan Tanjung Karawang. Luas perairan Teluk Jakarta sekitar 514 km2 dan panjang garis pantainya lebih kurang 80 km dimana 32 km merupakan garis pantai Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta (Setiapermana dan Nontji, 1980).
Sistem perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh limpasan air 13 muara sungai yang melewati wilayah kota Jakarta. Ketiga belas sungai tersebut terdiri dari 3 sungai besar, yaitu Sungai Citarum, Sungai Bekasi, dan Sungai Ciliwung serta 10 sungai kecil, yaitu: Sungai Kamal, Sungai
(5)
2
Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol, dan Sungai Pesanggrahan (Damar, 2003).
Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal yang pada umumnya memiliki kedalaman kurang dari 30 meter (Setiapermana dan Nontji, 1980). Dasar perairan melandai ke arah utara menuju Laut Jawa. Perairan Teluk Jakarta dapat dibagi dalam tiga zona yaitu zona barat, timur, dan tengah. Zona barat dipengaruhi oleh sungai-sungai yang sebelum bermuara di perairan teluk, melalui kota metropolitan Jakarta. Zona tengah selain mendapat pengaruh dari sungai-sungai tersebut juga dipengaruhi oleh aktivitas beberapa buah pelabuhan, yaitu : Pelabuhan Pelindo, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Cilincing, dan lain-lain. Sementara itu, zona timur mendapat pengaruh dari sungai Citarum dan beberapa sungai kecil yang melalui daerah indrustri dan pemukiman Bekasi.
2.1.2 Kondisi Iklim
Ketinggian dari permukaan laut antara 0-20 meter, dari tempat tertentu ada yang dibawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa/empang air payau. Wilayah Jakarta Utara merupakan pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata 27oC, curah hujan setiap tahunnya rata-rata 142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut.
Sungai-sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta ini menyebabkan perairan tersebut menjadi tempat pembuangan cemaran-cemaran aktivitas manusia. Pada perairan tersebut, musim mempengaruhi kondisi perairan karena menentukan arah dan kecepatan arus air laut. Perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh massa air Laut Jawa, seperti pada musim barat (November-April) massa air dari Laut Natuna mempengaruhi massa air Teluk Jakarta sedangkan pada musim timur (Mei-Oktober) arus berasal dari Laut Jawa bagian Timur (Pemprov DKI Jakarta, 2010).
Pada musim barat umumnya curah hujan sangat tinggi, sehingga zat-zat pencemar yang berasal dari daratan juga
meningkat akibat proses pencucian oleh air hujan. Selain itu pada musim barat, juga sering terjadi arus pasang akibat arah arus yang dipengaruhi angin pada musim barat. 2.2 Kejadian Banjir ROB di Wilayah
Pesisir
Banjir rob (pasang) merupakan istilah yang digunakan untuk mengatakan banjir dari pasang air laut yang sering terjadi di daerah Semarang. Fenomena alam yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia, yaitu daerah-daerah pesisir atau pantai yang tidak terlalu jauh dibelakangnya terdapat pegunungan. Selain Semarang wilayah DKI Jakarta dengan pegunungan yang berada 40 km dari wilayah tersebut juga mengalami kejadian banjir rob (pasang). Begitu pula di beberapa kota lain seperti Medan, Brebes, Tegal bahkan hingga ke Papua (Soehoed, 2004). Kejadian banjir rob (pasang) di wilayah Jakarta dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kejadian banjir rob (pasang) di Penjaringan, Jakarta Utara
(www.Liputan6.com)
Pesisir Jakarta merupakan teluk yang landai dengan lereng dasar laut rata-rata 1:300 sampai lebih kurang kedalamannya 5 meter yang baru tercapai jarak 1.500 meter dari garis pantai. Kelandaian dari dasar laut di wilayah pantai berangsur membentuk daratan baru, sehingga garis pantai itu senantiasa bergerak maju dari tahun ke tahun sambil membentuk endapan-endapan yang menghambat pencurahan air sungai ke laut. Arus pasang merambat di daerah pantai yang landai ini dan akan membuat genangan di wilayah pantai. Akibat pengaruh tersebut kejadian banjir rob (pasang) sering terjadi di wilayah pesisir pantai. Pada Tabel 1, disajikan daftar kejadian rob (pasang) di Pesisir utara Jakarta.
(6)
3
Tabel 1. Data kejadian banjir rob (pasang) di Pesisir Jakarta Kejadian Banjir ROB Tanggal Kejadian
(Masehi)
Tanggal Kejadian
(Hijriah) Lokasi Kejadian Tinggi Genangan
23 Agustus 2007 9 Shaban 1428 Muara Baru 70-80 cm
23 Desember 2007 13 Dzulhijjah 1428 Muara Baru 50-80 cm
04 Juni 2008 5 Muharram 1428 Muara Baru -
01 Desember 2008 2 Dzulhijjah 1429 Muara Baru 60 cm 15 Desember 2008 16 Dzulhijjah 1429 Muara Baru 10-20 cm
11 Januari 2009 14 Muharram 1430 Marunda 40 cm
14 Januari 2009 17 Muharram 1430
Muara Baru 20 cm
Penjaringan 10-15 cm
Kapuk Muara 30-40 cm
Jalan Kapuk raya 10-20 cm Kaw. Pluit pelelangan 10-20 cm
14 Mei 2009 19 Jamada Aula 1430 Muara Baru -
22 Oktober 2009 3 Dzulkaidah 1430 Muara Baru 10-100 cm 05 Nopember 2009 17 Dzulkaidah 1430 Marunda 60-80 cm 04 Desember 2009 16 Dzulhijjah 1430 Jl. RE Martadinata 20-40 cm 30 Januari 2010 14 Safar 1431 Jl.RE Martadinata 5-10 cm
13 Maret 2010 27 Rabiul awal 1431 Muara Baru 197 cm
16 Juni 2010 4 Rajab 1431 Jl.RE Martadinata 40-50 cm
25 Juni 2010 13 Rajab 1431 Muara Baru -
Sumber : www.liputan6.com
Bila ditinjau kembali banjir-banjir besar pada saat-saat bulan penuh, umumnya pada saat air laut mengalami pasang tinggi dan akan berlangsung genangan selama berhari-hari sepanjang pantai. Tidak mustahil bahwa hujan besar di pegunungan dan wilayah Kota Jakarta serta pasang tinggi terjadi pada saat bersamaan itulah yang membuat efek banjir dengan sedimentasi di wilayah muara sungai, maka tidak mustahil pula kinerja arus pasang ini menimbulkan arus balik pada sungai-sungai dan saluran-saluran dengan akibat luapan-luapan di alur bagian hulu (Soehoed, 2004). Kejadian banjir rob (pasang) terjadi 2 kali dalam setahun, yakni pada saat musim hujan dan musim pancaroba pada saat musim barat tiba.
2.3 Penyebab Terjadinya Banjir Rob (Pasang)
Banjir rob (pasang) disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu :
a. Faktor-faktor alam, seperti iklim (angin, durasi dan intensitas curah hujan yang sangat tinggi), oseanografi (pasang surut
dan kenaikan permukaan air laut), kondisi geomorfologi (dataran rendah/perbukitan, ketinggian, dan lereng, bentuk sungai), geologi dan genangan. Ditambah kondisi hidrologi (siklus, kaitan hulu-hilir, kecepatan aliran).
b. Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak pada perubahan alam. Aktivitas manusia yang sangat dinamis, seperti pembabatan hutan mangrove (bakau) untuk daerah hunian, konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, dan sebagainya.
c. Degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup lahan pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai, dan sebagainya.
d. Jebolnya tanggul pembatas antara daratan dan lautan seperti digambarkan pada Gambar 2.
(7)
4
Gambar 2 Tanggul pembatas jebol akibat gelombang dan pasang surut
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Banjir Rob (Pasang)
2.4.1 Penutupan Lahan
Penutupan lahan (land cover) adalah perwujudan secara fisik (kenampakan visual) dari vegetasi, benda alami dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa mempermasalahkan kegiatan manusia pada objek yang ada (Townshend dan Verge, 1998). Di wilayah yang tingkat perkembangannya sangat pesat dan labil, penutupan lahan bersifat dinamis. Dinamika tingkat perkembangan ini disebabkan oleh faktor utamanya yaitu faktor manusia dan faktor alam itu sendiri yang mudah berubah. Perubahan yang berasal dari faktor manusia antara lain dipicu oleh tingkat aksebilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk, jarak lokasi terhadap pusat kegiatan (infrastruktur). Faktor dari alam seperti iklim dan erosi sangat mempengaruhi perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pantai atau sungai.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penutupan lahan diantaranya pendekatan fungsional yang berorientasi pada kegiatan pertanian, kehutanan, perkotaan, dan seterusnya serta pendekatan morfologi yang menjelaskan penutupan lahan dengan memakai beberapa istilah seperti, lahan rumput, lahan hutan, lahan sawah, areal dibangun, dan sebagainya (Lo, 1995).
Jakarta Utara atau lebih tepatnya daerah pesisir utara Jakarta yang merupakan daerah kajian penelitian, merupakan wilayah yang tingkat perkembangannya sangat pesat karena menjadi pusat ibukota DKI Jakarta. Penggunaan tanah luas daratan di Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km2.
Dirinci berdasarkan penggunaan 47,58 % untuk perumahan, 15,78 % untuk areal indrustri, 8,89 % digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan serta sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut : status hak milik 13,28 %, Hak Guna Bangunan (HGB) sekitar 29,04%, lainnya masih berstatus Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan non sertifikat (Pemprov DKI Jakarta, 2010). Jumlah penduduk : 1.182.749 jiwa, kepadatan penduduk : 8.475 jiwa/km2, pertumbuhan penduduk 0,46%, terdiri dari : 6 kecamatan, 31 kelurahan, 409 RW, dan 4.746 RT.
2.4.2 Garis Pantai
Garis pantai (shoreline) adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan antara air laut dengan daratan pantai. Garis pantai selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik perubahan sementara akibat pasang surut maupun perubahan yang permanen dalam jangka waktu yang panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya (Pratikto, 2004)
Penyebab perubahan garis pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan manusiawi. Faktor alami terdiri dari sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen pantai dan kondisi geologi. King, 1974 menyebutkan bahwa secara umum ada tiga hal yang berpengaruh terhadap faktor alami pada perubahan fisik pantai, yaitu gelombang, pasang surut, dan angin. Faktor manusiawi meliputi penanggulangan pantai, reklamasi (penggurugan pantai), penggalian sedimen pantai, penimbunan pantai, pembabatan hutan bakau pelindung pantai, pembuatan kanal banjir, dan pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya.
(8)
5
Secara garis besar perubahan pantai ada dua macam, yaitu perubahan maju dan perubahan mundur. Garis pantai dikatakan bergerak maju (akresi) apabila terjadi pengendapan substrat pantai akibat penambahan material hasil endapan dari sungai dan laut. Garis pantai dikatakan mundur apabila terjadi proses pengikisan atau penggerusan pantai (abrasi) karena pengaruh dinamika gerak laut seperti gelombang dan hempasan ombak (Pardjaman, 1977 in Hutomo et all).
Upaya penanggulangan erosi pantai antara lain dengan dibangunnya tembok laut sea wall atau pelindung tebing revetment, krib tegak lurus pantai groin dan pemecah gelombang sejajar pantai (Pratikto, 2004). Namun demikian upaya untuk melindungi erosi pantai, seperti pembuatan pembangunan pelindung pantai juga dapat menimbulkan masalah erosi pantai baru disekitarnya.
Perubahan-perubahan garis pantai yang terjadi dapat diinterpretasikan dan dipetakan dari citra satelit. Perubahan garis pantai tersebut berupa penambahan dan pengurangan areal tiap tahun yang dapat dihitung dan dipantau dari rekaman satelit yang berupa citra (Hermanto, 1986).
2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut (Sarbidi, 2002) adalah pergerakan permukaan air laut arah vertikal yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan, matahari dan benda angkasa terhadap bumi. Gerakan permukaan air laut berperiodik sesuai gaya tariknya, intensitas gaya tarik akan berfluktuasi sesuai posisi bulan, matahari dan bumi. Posisi bulan dan bumi akan mempengaruhi besar kecilnya tunggang air. Tunggang air (tidal range) yaitu perbedaan tinggi air antara pasang maksimum (High Water) dan pasang minimum (Low Water) disebut tunggang air dengan tinggi air rata-rata mencapai dari beberapa meter hingga puluhan meter. Puncak gelombang disebut pasang maksimum dan lembah gelombang disebut pasang minimum (Wibisono, 2005).
Pasang terutama disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi yang berskala dari bulan. Gaya sentrifugal adalah suatu tenaga yang didesak ke arah luar dari pusat bumi yang besarnya lebih kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke permukaan bumi. Tidak sama halnya dengan gaya tarik gravitasi bulan di mana gaya ini terjadi tidak merata pada bagian-bagian permukaan bumi. Gaya ini lebih kuat terjadi pada daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan bulan, sehingga gaya yang terbesar terdapat pada bagian bumi yang terdekat dengan bulan dan gaya yang paling lemah terdapat pada bagian yang letaknya terjauh dari bulan. Gaya tarik gravitasi menarik laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Hutabarat dan Evans,1988).
Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan ¾. Sistem pasang surut purnama (spring tide) dan perbani (neap tide) dijelaskan pada Gambar 3 (Karl, 2002).
(9)
6
Gambar 3 Sistem pasang surut (Karl, 2002) Dilihat dari pola gerakan muka
lautnya, pasang surut di dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal), harian ganda (semi diurnal) dan dua jenis campuran (mixed tides). Pada jenis harian tunggal terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, saat spring dapat terjadi dua kali pasang sehari. Pada jenis harian ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut yang relatif sama. Pada pasang surut campuran terdapat dua jenis yaitu campuran
tunggal (mixed tide prevalling diurnal dan campuran ganda (mixed tide prevalling semi diurnal). Pasang surut campuran tunggal terjadi satu atau dua kali pasang sehari dengan interval yang berbeda, sedangkan pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan perbedaan tinggi dan interval yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera. Tabel 2 Komponen-komponen harmonik pasang surut utama
Sumber: Triadmojo, 2007
Pasang surut bersifat periodik, data amplitudo dan beda fase dari komponen pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk meramalkan pasang surut. Komponen-komponen utama pasang surut terdiri dari komponen tengah dan harian. Namun demikian, karena interaksinya dengan bentuk morfologi pantai dan superposisi
antar gelombang pasang surut komponen utama, terbentuk komponen-komponen pasang surut yang baru (Pond dan Pickard, 1983).
2.4.4 Kenaikan Muka Laut
Kenaikan muka laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap
Jenis Nama
Komponen
Periode
(jam) FENOMENA
Semi-Diurnal
M2 12,42 Gravitasi bulan dengan orbit lingkaran dan sejajar ekuator bumi
S2 12,00 Gravitasi matahari dengan orbit lingkaran dan sejajar ekuator bumi
N2 12,66 Perubahan jarak bulan ke bumi akibat lintasan yang berbentuk elips
Diurnal K1 23,93 Deklinasi sistem bulan dan matahari O1 25,28 Deklinasi Bulan
(10)
7
rata-rata muka laut (titik acu benchmark di darat) akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka laut yang direprsentasikan dengan SLR (sea level rise) dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian thermal (thermal expansion) sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka laut. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sea level rise di estimasi dari pengukuran dari stasiun pasang surut (Nurmaulia, et all, 2006). Dampak yang terjadi secara permanen antara lain perubahan kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi pantai.
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm. Apabila perkiraan IPCC tentang kenaikan muka laut terjadi, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini pula yang akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia (Mimura, 2000).
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan mayoritas populasinya terbesar di sekitar wilayah pesisir. Dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut diantaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Meskipun demikian sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah region perairan Indonesia belum dipahami secara
baik dan komprehensif. Jadi, perilaku kedudukan muka laut baik variasi temporal maupun spasialnya di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan.
2.5 Citra Satelit Sumberdaya Alam 2.5.1 SPOT-5
Satelit SPOT-5 (Systeme Pour I’Observation de la Terre-5) merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote sensing (Prahasta, 2008). Satelit komersial ini merupakan kerjasama antara Perancis, Swedia, dan Belgia dibawah koordinasi Centre National d’Etudes Spatial (CNES). Satelit pengamatan bumi SPOT-5 diluncurkan dari pusat luar angkasa The Guiana, Kourou, Guyana, Perancis.
Satelit pengamatan SPOT-5 memiliki banyak kelebihan dibandingkan satelit SPOT pendahulunya. Kemampuan kualitas citra yang lebih tinggi sehingga menjamin keefektifan solusi penambahan harga citra yaitu dengan peningkatan resolusi sebesar 2,5–5 meter untuk pankromatik serta 10 meter untuk multispektral, satelit SPOT-5 memberikan keseimbangan ideal antara resolusi yang tinggi dan luas area cakupan.
Satelit SPOT-5 dilengkapi dengan beberapa sensor, diantaranya sensor High Resolution Geometric (HRG), sensor High Resolution Streosopic (HRS) yang memiliki kemampuan untuk produksi digital terrain model (DEM), dan sensor vegetasi (Prahasta, 2008).
Karakteristik dari citra satelit SPOT-5, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan sensor HRG (High Resolution Geometric). Dua sensor HRG merupakan instrumen yang berasal dari HRVIR SPOT 4 yang mampu menghasilkan data pada empat tingkat resolusi yang sama. Sensor dengan resolusi sebesar 2,5 meter yang menghasilkan konsep sampling yang unik disebut Supermode. Supermode menggunakan teknik pemrosesan yang canggih untuk menghasilkan gambar 2,5 meter dari dua gambar 5 meter dimana kedua gambar ini diperoleh secara bersamaan. Satelit SPOT-5 disajikan pada Gambar 4.
(11)
8
Gambar 4 Satelit SPOT (CNES, 1999) Pengolahan citra satelit SPOT pada penelitian ini dengan sensor HRG, yaitu hanya pada band 1 (hijau) , band 2 (merah), dan band 3 (near infrared) karena ketiga band tersebut memiliki resolusi yang sama yaitu 10 meter.
2.5.2 ALOS
Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) diluncukan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), memiliki lebar 3,5 meter, panjang 4,5 meter dan tinggi 6,5 meter dengan Solar Battery Paddle memiliki lebar 22 meter x 3 meter yang merupakan satelit pengamatan bumi terbesar yang pernah dibangun Jepang (Restec, 2008). Alos merupakan satelit yang diutamakan untuk pengamatan daratan, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survei sumber daya alam. Satelit ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan meningkatkan fungsi satelit JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite-1) dan satelit ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite).
ALOS mempunyai tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRSIM) untuk pemetaan elevasi digital yang memiliki resolusi spasial 2,5 meter, Advance Visible and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2) untuk observasi penutupan lahan secara tepat yang memiliki resolusi spasial 10 meter, dan
Phased Array type L-band Synthetic Apertur Radar (PALSAR) untuk observasi permukaan bumi dan cuaca pada siang dan malam hari yang terdiri dari high resolution dan ScanSAR yang masing-masing memiliki resolusi spasial 10 meter dan 100 meter (JAXA, 2007).
Karakteristik citra ALOS, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan citra satelit ALOS sensor AVNIR-2. AVNIR-2 adalah suatu sensor yang dirancang untuk meneruskan sensor VNIR/OPS pada satelit JERS-1 adalah satelit Jepang untuk pengamatan daratan. AVNIR/ADEOS adalah sensor optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi spasial 10 m untuk pengamatan daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2 merupakan peningkatan dari sensor AVNIR/ADEOS. Satelit ALOS disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Satelit ALOS (JAXA, 2007) Pengolahan citra satelit ALOS pada sensor AVNIR-2 dari band 2, band 3, dan band 4. Pada kedua citra, digunakan band yang memiliki domain spektral sama yaitu band hijau, band merah, band NIR. Nilai spektral masing-masing band pada kedua citra memiliki nilai yang hampir sama, yaitu di dominasi oleh warna merah yang dihasilkan dari pantulan vegatasi yang mendominasi penutupan lahan daerah penelitian.
(12)
9
Tabel 3 Karakteristik citra satelit SPOT-5 dan ALOS
Sumber : Prahasta, 2008 ; JAXA, 2007
Keterangan : * Sensor citra satelit yang digunakan dalam penelitian
2.6 Digital Elevation Models
Digital Elevation Model atau DEM adalah model digital yang memberikan informasi bentuk permukaan bumi (topografi) dalam bentuk data lainnya. Data DEM ini merupakan data digital berformat raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap pixel atau selnya. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu : data ketinggian (topografi) dan data posisi koordinat dari ketinggian tersebut di permukaan bumi (Bambang dan Firsan, 2007). Data DEM dari permukaan bumi merupakan informasi yang sangat penting dalam membantu proses koreksi dan analisis citra seperti koreksi citra karena pengaruh ketinggian (orthorektrfikasi), pembuatan kontur, tampilan citra 3D, analisis manajemen bencana (penentuan daerah rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami), penyusunan tata ruang, penurunan level tanah (land subsidence) dan yang lainnya (Trisakti, 2005). Pada penelitian ini data DEM dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi topografi wilayah yang diteliti sebagai salah satu data
pendukung dalam analisa daerah kejadian banjir rob (pasang).
Data DEM dapat dibuat berdasarkan data titik tinggi (spot height) yang dapat diperoleh dari hasil pengolahan foto udara, citra satelit secara fotogrametri atau citra RADAR melalui proses inferometri. Data DEM juga dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap berbagai peta topografi atau peta rupabumi. Secara konvensional DEM juga dapat diperoleh melalui survei lapangan dengan menggunakan berbagai alat survei yang banyak digunakan untuk survei lokasi. Data DEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah data DEM hasil perekaman space shuttle (NASA) yaitu GDEM 30 meter.
Pengolahan data DEM akan selalu menghasilkan kesalahan (sink) dari proses interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Hasil pengolahan dari data DEM dengan proses-proses di atas tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi dari kenampakan yang ada. Untuk meningkatkan kualitas topografi tersebut pada pekerjaan data DEM perlu di sesuaikan dengan data survei, sehigga kenampakan
Karakteristik SPOT-5 ALOS
Tanggal
Peluncuran 03 Mei 2002 24 Januari 2006
Ukuran Scene 60 x 60 km 70 x 70 km
Orbit Sun-Syncrronous Sun-Syncrronous
Sub-Reccurent
Ketinggian 832 km diatas equator 691,65 km diatas equator
Inklinasi 98o 98,16 o
Periode Orbit 101 menit 2 hari
Sensor HRG, HRS, dan Vegetation PRSIM, AVNIR-2, PALSAR, dan ScanSAR
Siklus Kembali 26 hari 46 hari
Domain Spektral
Sensor* HRG 1.Hijau : 0,50 – 0,59 µm 2.Merah : 0,61 – 0,68 µm 3.NIR : 0,78 – 0,89 µm
Sensor* AVNIR-2 1. Biru : 0,42 – 0,50 µm 2. Hijau : 0,52 – 0,60 µm 3. Merah : 0, 61– 0,69 µm 4. NIR : 0,76 – 0,89 µm Resolusi Spasial
1. Hijau : 10 m 2. Merah : 10 m 3. NIR : 10 m
1. Biru : 10 m 2. Hijau : 10 m 3. Merah : 10 m 4. NIR : 10 m
(13)
10
topografi wilayah yang direkam tersebut dapat terwakili pada data DEM.
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi yang diperlukan untuk menjawab atau menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang bersangkutan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, penataan, pengolahan, penganalisaan, dan penyajian data-data/fakta-fakta yang terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data/fakta yang terdapat dalam ruang muka bumi tersebut sering juga disebut sebagai data spasial, dan hasil analisisnya disebut informasi geografis atau informasi spasial.
Jadi SIG didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan pengumpulan, penataan, pengolahan, dan penganalisaan data/fakta spasial sehingga diperoleh informasi spasial untuk menjawab suatu masalah dalam ruang muka bumi tertentu. Untuk memperjelas pengertian SIG, perlu ditambahkan bahwa
dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi SIG selain perangkat kelas dan perangkat lunak, juga pemakai dan organisasinya, serta data yang dipakai, sebab tanpa faktor tersebut SIG tidak akan berjalan secara operasional.
III.
METODOLOGI
3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret 2010 hingga bulan November 2010 dengan pesisir utara Jakarta sebagai daerah genangan banjir rob (pasang). Tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan studi pustaka, perolehan data citra satelit, pengolahan data lapang dan data citra, serta analisis hasil pengolahan data dalam bentuk laporan akhir penelitian. Wilayah daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 6.
(14)
10
topografi wilayah yang direkam tersebut dapat terwakili pada data DEM.
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi yang diperlukan untuk menjawab atau menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang bersangkutan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, penataan, pengolahan, penganalisaan, dan penyajian data-data/fakta-fakta yang terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data/fakta yang terdapat dalam ruang muka bumi tersebut sering juga disebut sebagai data spasial, dan hasil analisisnya disebut informasi geografis atau informasi spasial.
Jadi SIG didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan pengumpulan, penataan, pengolahan, dan penganalisaan data/fakta spasial sehingga diperoleh informasi spasial untuk menjawab suatu masalah dalam ruang muka bumi tertentu. Untuk memperjelas pengertian SIG, perlu ditambahkan bahwa
dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi SIG selain perangkat kelas dan perangkat lunak, juga pemakai dan organisasinya, serta data yang dipakai, sebab tanpa faktor tersebut SIG tidak akan berjalan secara operasional.
III.
METODOLOGI
3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret 2010 hingga bulan November 2010 dengan pesisir utara Jakarta sebagai daerah genangan banjir rob (pasang). Tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan studi pustaka, perolehan data citra satelit, pengolahan data lapang dan data citra, serta analisis hasil pengolahan data dalam bentuk laporan akhir penelitian. Wilayah daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 6.
(15)
11
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Seperangkat Personal Computer (PC) yang digunakan untuk mengolah data dan citra
2. Perangkat lunak Microsoft Office
3. Perangkat lunak pengolah data citra (image processing)
4. Perangkat lunak untuk menganalisis Sistem Informasi Geografis (SIG) 3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian berupa data sekunder diantara lain :
1. Peta RBI DKI Jakarta skala 1 : 50.000 2. Data Pasang Surut dari Stasiun Tanjung
Priuk
3. Data topografi DEM (Digital Elevation Models) GDEM 30 m
4. Citra SPOT dengan sensor HRG (perekaman tanggal 14 Januari 2003) 5. Citra ALOS dengan sensor AVNIR-2
(perekaman tanggal 21 November 2008) Data primer berupa titik koordinat yang berasal dari hasil survei lapang.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Klasifikasi Penutupan Lahan dan Analisis Perubahan Garis Pantai Klasifikasi penutupan lahan digunakan untuk membedakan setiap jenis penutupan lahan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi ini dilakukan dengan asumsi bahwa data (bands) citra dijital yang akan diproses terdiri dari band (multi-spektral) citra yang mencakup area yang sama. Pada klasifikasi tidak terbimbing, identitas dan lokasi kelas-kelas unsur tipe penutupan lahan (seperti halnya perkotaan, badan air, lahan basah, dan sebagainya) tidak dilakukan pendefinisian dari masing-masing kelas oleh pengguna (training sites/area) (Prahasta, 2008). Banyaknya kelas klasifikasi disesuaikan dengan kebutuhan, pada penelitian ini menggunakan tujuh kelas yaitu bangunan, danau, lahan terbuka, laut, mangrove, sawah dan tambak. Penajaman warna dengan proses RGB dan analisis foto
citra disesuaikan untuk proses klasifikasi penutupan lahan, lalu dilakukan digitasi untuk tiap-tiap kelas. Hasil klasifikasi dari kedua citra tersebut di-overlay, tujuannya yaitu untuk mengetahui perubahan luasan masing-masing hasil klasifikasi serta mengetahui perubahan penutupan lahan yang terjadi antara tahun 2003 yang diwakili dengan citra SPOT, dengan penutupan lahan tahun 2008 yang diwakili citra ALOS dilihat pada Lampiran 1. Penggunaan kedua citra satelit yang berbeda pada penelitian ini yaitu menggunakan citra SPOT dan ALOS, merupakan faktor keterbatasan data citra. Walaupun demikian, kedua citra ini cukup mewakili dalam penganalisaan perubahan lahan yang terjadi dalam jangka waktu lima tahun karena kedua citra ini memiliki resolusi yang sama.
Perubahan garis pantai diperoleh dari proses overlay kedua citra hasil klasifikasi penutupan lahan. Kemudian citra ALOS dan SPOT diklasifikasikan menjadi dua kelas besar yaitu kelas darat dan kelas laut. Hasil dari kedua citra yang diklasifikasi, untuk mengetahui seberapa besar perubahan luas masing-masing kelas. Klasifikasi darat dan laut menghasilkan empat kelas baru yaitu tetap darat, darat menjadi laut, laut menjadi darat, dan tetap laut. Kemudian dari hasil klasifikasi darat dan laut, kedua citra ini di-overlay untuk mendapatkan hasil perubahan garis pantai. Hasil overlay ini kemudian di-digitasi, yang didapatkan dua perubahan yaitu penambahan daratan dan pengurangan daratan. Perubahan tersebut dihasilkan yaitu perubahan laut menjadi daratan yang merupakan penambahan daratan (akresi), sedangkan perubahan darat menjadi laut merupakan pengurangan daratan (abrasi). Perubahanlahan pada kelas darat dan kelas laut dihasilkan dari proses overlay kedua citra yang berbeda serta dengan waktu perekaman citra yang berbeda.
Untuk menganalisa penambahan dan pengurangan daratan, kemudian dihitung luas masing-masingnya. Hasil perhitungan tersebut dapat dijadikan acuan untuk menganalisis kejadian banjir rob (pasang) berdasarkan perubahan garis pantai. Pada Gambar 7, dijelaskan diagram alir klasifikasi penutupan lahan dan perubahan garis pantai pada penelitian ini.
(16)
12
Gambar 7 Diagram alir klasifikasi penutupan lahan dan perubahan garis pantai 3.3.2 Penentuan Kejadian Pasang Surut
Data pasang surut harian di pesisir Jakarta digunakan untuk mengetahui perubahan tinggi muka air laut, saat kejadian dimana permukaan laut mengalami kenaikan (pasang) dan penurunan (surut). Kejadian pasang surut ini akan diakurasi dengan citra SPOT dan ALOS guna mengetahui waktu pada saat perekaman terjadi pasang atau surut. Selain itu dilihat pula tipe pasang surut pada stasiun yang bersangkutan. Data pasang surut diperoleh dari buku ramalan pasang surut DISHIDROS TNI-AL bulan Januari 2003 dan November 2008 pada stasiun Tanjung Priuk yang diterbitkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi Indonesia (DISHIDROS) TNI-AL per tahun. Dari data pasang surut tersebut akan dapat ditampilkan grafik kejadian kenaikan (pasang) dan penurunan (surut) sehingga akan dapat
dilihat pengaruh pasang surut terhadap waktu perekaman citra. Tipe pasang surut dihitung dengan bilangan atau konstanta pasut (Tidal Constant/ Formzhal) yang dihitung dengan metode Admiltari (Wibisono, 2005). Bilangan Formzhal dirumuskan pada Persamaan 1 berikut :
Keterangan :
F = bilangan Formzhal atau Konstanta pasut
AK1 = amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari
AO1 = amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal yang Klasifikasi Penutupan
Perubahan Garis Pantai Citra
SPOT 2003
Citra ALOS 2008
RGB Komposit band 321
Unsupervised Classification
Unsupervised Classification
Penutupan Lahan 2008 Penutupan Lahan 2003
Akresi Digitasi Perubahan
Garis Pantai Perubahan Penutupan
Lahan
Overlay
Hasil dan Analisis Perubahan Garis Pantai
Abrasi RGB Komposit
(17)
13
dipengaruhi oleh deklinasi matahari
AM2 = amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan
AS2 = amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh matahari. Kisaran nilai untuk bilangan Formzahl adalah sebagai berikut:
0.00< F≤ 0, 5 = tipe pasut semidiurnal
0, 5 < F ≤ ,50 = tipe pasut campuran
cenderung semidiurnal
,50 < F≤ 3,00 = tipe pasut campuran
cenderung diurnal
F ≥ 3,00 = tipe pasut diurnal
3.3.3 Survei Lapang
Survei ini bertujuan untuk memastikan lokasi-lokasi kejadian banjir rob (pasang) dengan merekam posisi koordinat menggunakan GPS dan mengetahui penyebab kejadian banjir rob (pasang) serta penggunaan lahan pada lokasi titik sampel tersebut. Titik yang diambil di lapangan untuk dijadikan sampel yaitu 8 titik. Pengambilan titik tersebut didasarkan pada wilayah-wilayah yang sering terjadi banjir rob (pasang) yang didasarkan informasi masyarakat sekitar lokasi kejadian. Kemudian hasil perekaman titik koordinat akan dibandingkan dengan peta penutupan lahan serta peta perubahan garis pantai hasil pengolahan citra dengan memetakan hasil perekaman titik koordinat tersebut.
3.3.4 Pemetaan Area Genangan Banjir Rob (Pasang) dengan Data DEM Pemetaan untuk area genangan banjir rob (pasang) diakurasi menggunakan data DEM-GDEM. Model elevasi dijital (Digital Elevation Model/DEM) merupakan penyajian permukaan relief secara dijital dengan elevasi atau ketinggian di atas datum geodetik. Data yang digunakan yaitu
DEM-GDEM 30 meter yang direkam pada tahun 2008 bulan Agustus. Pemoresesan data DEM ini dilakukan dengan beberapa tahap, tahap ekstraksi data DEM dan overlay data DEM dengan garis pantai. Tahap berikutnya, data DEM tersebut diekstraksi menjadi kontur ketinggian menggunakan software Global Mapper. Kontur ketinggian yang diekstraksi dengan memasukkan nilai sea level rise (kenaikan muka laut) pertahun pada wilayah kajian sehingga dihasilkan interval kontur. Prediksi genangan yang dihasilkan yaitu untuk 10 tahun agar genangan yang dihasilkan tampak lebih jelas dalam penganalisisan. Hasil kontur ketinggian tersebut akan dibentuk prediksi genangan banjir rob (pasang) menggunakan Arc GIS 9.3, melalui proses overlay dengan peta perubahan garis pantai yang diperoleh berdasarkan citra satelit. Pada penelitian ini elevasi yang digunakan tiap-tiap 5 meter dan prediksi yang digunakan untuk menghasilkan genangan yaitu selama 10 tahun. Pada Gambar 8, dijelaskan diagram alir prediksi genangan.
Gambar 8 Diagram alir prediksi area genangan
DEM GDEM 30 meter
Prediksi Area Genangan 10 tahun Perubahan
Garis Pantai
Mean Sea Level (10 tahun)
(18)
14
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 – 2008
4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan lahan di wilayah pesisir utara Jakarta guna mengetahui daerah yang rawan terhadap banjir rob (pasang). Klasifikasi penutupan lahan dihasilkan dari citra SPOT tahun 2003 dan citra ALOS tahun 2008 untuk koordinat 6°9'37,18'' LS - 6°3'16,99'' LS dan 106°43'10,16'' BT - 106°59'28,70'' BT. Cakupan daerah penelitian meliputi wilayah Jakarta Utara (Kelapa Gading, Pluit, Penjaringan, Cilincing, Tanjung Priuk, Koja, Pademangan, serta sebagian wilayah Jakarta Barat (Kalideres, Grogol, Sawah Besar, Taman Sari, Tambora, dan Cengkareng).
Untuk memudahkan proses klasifikasi dilakukan proses penajaman citra (komposit band RGB). Komposit yang diberlakukan pada kedua data satelit yang digunakan, citra SPOT yaitu ada pada band 3, band 2, dan band 1, sedangkan pada citra ALOS terhadap band 4, band 3, dan band 2. Penajaman citra pada masing-masing band tersebut dilakukan karena band pada masing-masing citra merupakan kombinasi yang paling sesuai untuk melihat penampakan penutupan lahan dan perubahan garis pantai, kemampuan yang dapat membedakan obyek dengan tingkat kekontrasan yang baik, terutama untuk obyek perairan, vegetasi, dan lahan. Berdasarkan hasil komposit band RGB, maka dapat dianalisis perubahan lahannya pada tahun 2003 dan 2008. Kedua citra ini memiliki resolusi yang sama yaitu 10 meter, sehingga analisis perubahan lahan dapat dilakukan pada kedua citra ini.
Band 2 pada citra SPOT dan band 3 pada citra ALOS untuk komposit merah (red) memberikan pantulan warna merah yang sesuai untuk mendeteksi lahan terbuka. Semakin terbuka penutupan lahan maka warna yang terlihat pada citra akan semakin merah. Band 1pada citra SPOTdan band 2 pada citra ALOS untuk komposit hijau (green) berfungsi untuk mengamati kehijauan vegetasi. Tingkat kerapatan suatu vegetasi ditunjukkan oleh adanya nilai
pantulan klorofil di daratan. Semakin tinggi nilai dijital dari pantulan klorofil, kerapatan vegetasi yang terdeteksi akan semakin rapat, dan sebaliknya semakin rendah nilai dijital dari pantulan klorofil maka kerapatan vegetasi semakin renggang yang ditampilkan dengan warna hijau muda. Band 3 pada citra SPOT dan band 4 pada citra ALOS untuk komposit near infrared yang sesuai untuk mendeteksi tubuh air. Air menyerap hampir semua radiasi elektromagnetik maka unsur tubuh air akan nampak sangat gelap, sedangkan berbeda dengan pantulan pada vegetasi dan unsur tanah yang agak cerah. Oleh karena itu, band ini sangat baik untuk membedakan batasan air dan daratan.
Metode pada klasifikasi penutupan lahan ini menggunakan Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan digitasi peta penggunaan lahan sebagai informasi tambahan. Klasifikasi pada penelitian ini dibedakan menjadi tujuh kelas berdasarkan pengamatan (secara visual) pada citra yang telah di komposit RGB dan analisis data citra.
Perairan baik darat dan laut seperti sungai dan laut dengan pola yang memanjang dan berkelok-kelok merupakan kelas laut. Daerah pada penampakan citra yang merupakan tempat kegiatan perikanan yang berada di pesisir pantai serta memberikan pantulan warna biru dan berbentuk segi empat merupakan kelas tambak. Daerah yang bervegetasi yang berada di sekitar pantai merupakan kelas mangrove. Badan air dengan pantulan warna biru yang tidak berhubungan langsung dengan sungai baik berasal dari alam maupun buatan manusia merupakan kelas danau. Penampakan pada citra di lahan basah yang menyangkut semua kegiatan pertanian yang bervegetasi merupakan kelas sawah. Semua lahan kosong tanpa vegetasi merupakan kelas lahan terbuka. Kelas bangunan memantulkan warna putih dan coklat dengan sebaran yang mengelompok merupakan kawasan pemukiman, gedung, indrustri dan lain-lain. Untuk memperjelas informasi tersebut, maka klasifikasi lahan dengan citra satelit SPOT (tahun 2003) dan citra satelit ALOS (tahun 2008) digambarkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.
(19)
15
(20)
16
(21)
17
Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2003. Kelas bangunan hampir menyebar rata pada seluruh daratan. Bangunan terpusat di bagian utara dan barat berdasarkan hasil klasifikasi, kelas bangunan yang paling dominan khususnya pada bangunan pemukiman dan bangunan indrustri. Pembangunan pemukiman dan indrustri ini disebabkan pada wilayah tersebut merupakan wilayah yang strategis, khususnya dalam hal pembangunan indrustri karena adanya pelabuhan pada wilayah pesisir sehingga memudahkan dalam kegiatan indrustri. Sama seperti halnya indrustri, persebaran bangunan pemukiman karena lokasi wilayah penelitian merupakan bagian dari ibukota DKI Jakarta. Lahan terbuka pada tahun 2003 menyebar pada wilayah bagian timur dan barat pada hasil klasifikasi. Untuk kelas sawah terpusat pada wilayah bagian timur dan ada sebagian kecil kelas sawah yang mengisi wilayah bagian barat. Kelas tambak pada citra menyebar pada wilayah bagian timur dan barat yang biasanya berbatasan langsung dengan pesisir pantai. Kelas mangrove terpusat pada wilayah bagian barat pada tahun 2003 yang hanya berada pada beberapa area yang tidak luas.
Luas masing-masing kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra SPOT tahun 2003 dijelaskan pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas penutupan lahan citra SPOT pada tahun 2003
Pada Gambar 10, dapat dilihat persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2008. Persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2008 jauh berbeda pada penutupan lahan tahun 2003. Kelas bangunan menyebar merata dan mengisi
seluruh daratan pada lokasi wilayah penelitian, dan mulai adanya penambahan pada wilayah yang dulunya lahan terbuka dibagian barat citra. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga kebutuhan akan tempat tinggal (bangunan pemukiman) dan lapangan kerja (bangunan indrustri) juga semakin meningkat. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk Jakarta Utara per tahun selama 10 tahun terakhir (2000-2010) sebesar 1,49 %. Kelas lahan terbuka pada tahun 2008, sudah banyak mengalami pengurangan luas akibat tingginya pertumbuhan penduduk sehungga mengkonversi lahan terbuka menjadi bangunan. Kelas sawah, tambak, dan mangrove pada tahun 2008 dibanding 2003 mengalami pengurangan luasan namun tidak terlalu mengalami perubahan yang sigifikan. Begitu pula pada danau yang tidak mengalami perubahan.
Luas masing-masing kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra SPOT tahun 2008 dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas penutupan lahan citra ALOS pada tahun 2008
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbuka 1.211 4,34
Bangunan 9.761 34,96
Sawah 861 3,08
Danau 55 0,20
Tambak 891 3,19
Mangrove 88 0,32
Laut 15.054 53,92
Total 27.921 100
Maka berdasarkan peta penutupan lahan dan informasi-informasi tersebut, pola penutupan lahan di wilayah penelitian adalah bangunan.
Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 terjadi perubahan luas lahan pada setiap kelas, yaitu terjadi pertambahan dan pengurangan luas pada masing-masing kelas. Untuk mendapatkan perubahan lahan dari kedua citra tersebut dilakukan proses overlay. Hasil overlay klasifikasi penutupan lahan tahun 2003-2008 dari kedua citra, dapat dilihat pada Gambar 11.
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbuka 2.033 7,28
Bangunan 8.205 29,39
Sawah 886 3,17
Danau 53 0,19
Tambak 1.034 3,70
Mangrove 117 0,42
Laut 15.593 55,85
(22)
18
(23)
19
Gambar 11 merupakan peta perubahan lahan hasil overlay hasil klasifikasi citra SPOT dengan citra ALOS. Hasil overlay ini menyajikan perubahan penutupan lahan yang menghasilkan lima kelas baru sehingga ada 12 kelas penutupan lahan secara keseluruhan. Setiap kelas penutupan lahan terutama pada kelas baru, dibedakan dengan warna-warna yang berbeda seperti pada Gambar 11.
Perubahan penutupan lahan yang terjadi karena adanya waktu pengambilan citra yang berbeda (perbedaan tahun) dan karena adanya aktivitas manusia di atas lahan untuk tempat tinggal maupun untuk kepentingan lainnya. Berikut dijelaskan perubahan luas penutupan lahan tahun 2003 dan 2008 yang dapat dilihat pada Tabel 6 . Tabel 6 Luas perubahan lahan
Berdasarkan Tabel 6 perubahan lahan terjadi pada kelas laut, tambak, mangrove, lahan terbuka, sawah dan bangunan serta tidak terjadi perubahan lahan pada kelas danau. Kelas baru yang mengalami perubahan lahan paling besar terjadi pada lahan terbuka menjadi bangunan yaitu sebesar 74,87% (1.080 ha). Kelas bangunan pada penutupan lahan tahun 2008 yang paling dominan khususnya pembangunan yang terjadi pada wilayah pemukiman dan indrustri. Pembangunan yang pesat pada penutupan lahan tahun 2008 disebabkan aktivitas manusia yang mengkonversi lahan secara drastis selama lima tahun yang dijadikan tempat tinggal (pemukiman) dan bangunan untuk indrustri. Peningkatan pada kelas bangunan terjadi sama halnya pada kelas sawah yang diubah menjadi bangunan, luas perubahannya sebesar 15,61% (225 ha). Namun terjadi pula penambahan luas pada kelas sawah yaitu perubahan pada kelas lahan terbuka menjadi sawah sebesar 5,10% (74 ha), khususnya pembangunan pemukiman dan indrustri. Pada kelas mangrove menjadi tambak luas perubahannya sebesar 0,29% (4 ha). Sedangkan untuk kelas laut yang berubah menjadi bangunan yaitu sebesar 4,14% (60 ha).
Perubahan lahan yang terjadi pada tahun 2003 dan 2008 terutama pada wilayah pesisir akan mengakibatkan kejadian banjir rob (pasang). Melihat Gambar 11, perubahan lahan pada wilayah pesisir khususnya pada perubahan lahan terbuka yang dirubah menjadi bangunan, mangrove yang dirubah menjadi tambak, dan laut yang dirubah menjadi bangunan akan mengancam wilayah-wilayah pesisir ini dari bahaya banjir rob (pasang).
Sesuai dengan survei lapang yang dilakukan pada wilayah pesisir utara Jakarta dapat menjelaskan terjadinya perubahan penggunaan lahan pada wilayah-wilayah tersebut yang mengakibatkan banjir rob (pasang). Wilayah-wilayah survei lapang yaitu Muara Angke, Pluit, dan Muara Baru. Perubahan lahan yang terjadi pada wilayah Muara Angke sebagian besar terjadi pada daerah rawa yang dirubah menjadi darat. Penutupan lahan yang awalnya rawa-rawa sebagai tempat genangan air laut ketika pasang terjadi, setelah mengalami perubahan lahan menjadi darat maka wilayah tersebut akan tergenang air laut dan terjadilah banjir rob (pasang). Penyebab kejadian banjir rob (pasang) pada wilayah Pluit dan Muara baru sama halnya dengan Muara Angke. Namun pada wilayah ini, perubahan kelas yang paling besar terjadi pada kelas laut yang dirubah menjadi darat. Sehingga jelas terjadi genangan air laut pada pada perubahan lahan tersebut. Perubahan lahan pada wilayah-wilayah tersebut sebagian besar dibangun pemukiman, kantor, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Peningkatan kebutuhan akan bangunan seiring pertambahan penduduk mengakibatkan darat semakin padat, sehingga dengan cara penambahan daratan (kelas darat dirubah menjadi kelas laut) akan bisa memenuhi kebutuhan akan bangunan tersebut.
4.1.2 Klasifikasi Darat dan Laut
Citra SPOT tahun 2003 dan ALOS tahun 2008 diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu, kelas darat dan kelas laut (Lampiran 3). Pengklasifikasian kelas darat dan laut bertujuan untuk melakukan pengamatan perubahan garis pantai. Kedua kelas tersebut digunakan untuk memperjelas letak dari garis pantai yang akan dilihat dalam penelitian ini. Garis pantai pada peta merupakan batas antara kelas darat dan kelas laut. Kelas darat merupakan hasil generalisasi dari seluruh kelas yang di darat, yaitu lahan terbuka, bangunan, sawah,
Kelas Luas
(ha)
Persentase (%) Laut – Bangunan 60 4,14 Mangrove –Tambak 4 0,29 Sawah – Bangunan 225 15,61 Lahan Terbuka – Bangunan 1.080 74,87 Lahan Terbuka – Sawah 74 5,10
(24)
20
tambak, mangrove, dan danau. Sedangkan kelas laut merupakan kelas laut itu sendiri. Luas klasifikasi darat dan laut citra SPOT tahun 2003 dan ALOS 2008 dijelaskan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas kelas darat dan laut tahun 2003 dan 2008
Kelas 2003 2008
Luas (ha) Luas (ha)
Darat 12.328 12.867
Laut 15.593 15.054
Total 27.921 27.921
Pada Tabel 7 menjelaskan perubahan luas kelas darat dan laut dari tahun 2003 dan 2008. Luas total daratan pada tahun 2003 sebesar 12.328 ha menjadi 12.867 ha pada tahun 2008 dan untuk laut pada tahun 2003 sebesar 15.593 ha pada tahun 2008 menjadi 15.054 ha. Luas total pada kelas darat pada tahun 2008 bertambah sebesar
539 ha dan luas total pada kelas laut berkurang sebesar 539 ha.
Hasil dari klasifikasi lahan, ada beberapa kelas yang berada digaris pantai yang berbeda karena mengalami perubahan setelah di-overlay. Pada saat overlay citra, harus memperhitungkan perbedaan ketinggian pasang surutnya karena pada kedua citra memiliki waktu perekaman yang berbeda. Data pasang surut yang digunakan dalam penelitian ini diambil sesuai dengan tanggal pengamatan citra untuk memperjelas identifikasi perubahan garis pantai pada waktu perekaman kedua citra. Pengamatan untuk citra SPOT direkam pada tanggal 14 Januari 2003 dan untuk citra ALOS direkam pada tanggal 21 November 2008. Berdasarkan data dari DISHIDROS TNI-AL pada stasiun Tanjung Priuk, diketahui gerakan pasang surut diramalkan terhadap surut muka surutan yang letaknya 6 dm di bawah Mean Sea Level (MSL). Tetapan yang digunakan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Konstanta pasang surut tahun 2003 dan 2008
Tidal Constants M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Zo
Amplitude (cm) 2003 5 5 - - 25 13 8 - - 60
2008 5 4 1 1 29 13 10 1 1 60
Sumber : Buku Ramalan Pasang Surut DISHIDROS TNI AL (tahun 2003 dan 2008) Pada Tabel 8, pasang surut pada
tahun 2003 dan 2008 diperoleh masing-masing nilai bilangan Fromzahl sebesar 3,8 dan 4,6. Perbedaan angka tersebut tidak menjadi masalah karena tipe pasang surutnya sama yaitu termasuk tipe pasang
surut harian tunggal (Diurnal Tide) dengan kejadian pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. Gambar 12, menjelaskan kejadian pasang surut pada kedua tanggal citra dengan menggunakan data per-jam.
Gambar 12 Rentang pasang surut berdasarkan tanggal perekaman citra 0
0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ti
n
ggi
(m
)
Jam
14 Januari 2003 21 November 2008
MSL
(25)
21
Berdasarkan waktu perekaman citra didapatkan perbedaan ketinggian pasang surut pada kedua citra (Lampiran 4). Pada perekaman tanggal 14 Januari untuk citra SPOT, waktu perekamannya pada pukul 10.00 WIB. Berdasarkan grafik pada Gambar 12, pada saat waktu perekaman citra SPOT kejadian pasang tertinggi saat nilai pasangnya mencapai 1 meter yang melebihi nilai mean sea level (rata-rata muka laut) yaitu sebesar 0,6 meter. Waktu perekaman pada citra ALOS pada pukul 14.00 WIB, nilai ketinggian pasangnya sebesar 0,7 meter yang juga melebihi nilai rata-rata muka laut (mean sea level). Nilai pasang surut pada kedua citra berdasarkan waktu perekamannya menunjukkan bahwa pada saat perekaman citra SPOT tahun 2003 pada pukul 10.00 WIB mengalami pasang tertinggi, sedangkan untuk perekaman citra ALOS tahun 2008 pada pukul 14.00 WIB juga mengalami pasang namun ketinggian pasangnya mendekati nilai rata-rata muka laut. Kejadian pasang tertinggi pada saat perekaman citra SPOT, menggambarkan terjadinya genangan pada wilayah kajian 4.2 Perubahan Garis Pantai
Citra hasil klasifikasi darat dan laut tahun 2003 dan 2008 di-overlay untuk memperoleh perubahan garis pantai. Hasil overlay dari klasifikasi kelas darat dan laut akan didapatkan kelas baru yaitu tetap darat, darat menjadi laut, laut menjadi darat, dan tetap laut. Empat kelas baru tersebut menunjukkan adanya perubahan garis pantai dalam kurun waktu lima tahun. Luasan daerah yang mengalami perubahan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Luas perubahan garis pantai
Pada Tabel 9 dapat dilihat luas perubahan garis pantai citra pada tahun 2003
dan 2008. Hasil yang diperoleh dari overlay kedua citra menjelaskan bahwa kelas darat mengalami penambahan luas yaitu pada kelas laut menjadi darat sebesar 148 ha yang menandakan terjadinya akresi (penambahan daratan) dimana luas pada tahun 2003 kelas darat sebesar 12.328 ha. Wilayah yang mengalami abrasi (pengurangan daratan) yaitu pada kelas darat menjadi laut sebesar 21 ha dimana luas dari kelas laut berkurang dari luas pada tahun 2003 yaitu sebesar 15.593 ha.
Pada Gambar 13, menjelaskan perubahan garis pantai yang diperoleh dari overlay klasifikasi darat-laut. Berdasarkan hasil overlay tersebut, dapat dilihat adanya penambahan (akresi) dan pengurangan daratan (abrasi) pada beberapa lokasi kajian wilayah penelitian. Penambahan dan pengurangan daratan akan mengakibatkan perubahan garis pantai, garis pantai yang semakin maju akan mengakibatkan penambahan daratan (akresi) dan sebaliknya apabila garis pantai semakin mundur akan mengakibatkan pengurangan daratan (abrasi). Garis pantai semakin maju terjadi akibat penambahan material hasil endapan sungai dan laut serta pengaruh terjadinya perubahan lahan pada wilayah pesisir. Garis pantai semakin mundur terjadi karena penggerusan pantai akibat gelombang dan arus laut. Faktor-faktor perubahan garis pantai ini merupakan kejadian sebenarnya yang terjadi di alam, namun perubahan garis pantai pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh kejadian pasang surut saat perekaman citra. Kejadian titik pasang surut yang berbeda pada kedua citra akan mengakibatkan terjadinya perbedaan luas pada darat ataupun laut dari luas yang sebenarnya.
Kejadian abrasi dan akresi akan mengakibatkan bencana-bencana di wilayah pesisir. Pada wilayah pesisir yang terjadi akresi akan mengalami genangan air laut akibat pasang surut (banjir rob) dan wilayah pesisir yang mengalami abrasi akan mengalami pengurangan daratan serta rusaknya konstruksi bangunan.
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
Tetap darat 12.846 46,01
Darat menjadi laut 21 0,08
Laut menjadi darat 148 0,53
Tetap laut 14.905 53,38
(26)
22
(27)
23
4.3 Analisis Kejadian Banjir Rob (Pasang)
Banjir rob merupakan banjir yang diakibatkan genangan air laut saat pasang terjadi. Kejadian pasang surut yang mempengaruhi kejadian banjir rob (pasang) terjadi pada saat pasang maksimum/tertinggi (High Water Level) atau dikatakan pasang purnama (spring tide). Pasang purnama terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus yang akan menghasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama biasanya terjadi pada saat bulan penuh (full moon) dan bulan baru (new moon). Bulan penuh dapat disebut dengan istilah bulan terang atau bulan purnama. Bulan purnama dan bulan baru, akan menghasilkan pasang yang tinggi (maksimum) biasanya terjadi pada awal dan akhir bulan Muharram pada kalender islam (Hijriah). Maka banjir pasang ini terjadi ketika bulan terang dan bulan baru yang menghasilkan pasang tertinggi sehingga menggenangi daratan pada wilayah pesisir.
Genangan air laut akibat pasang akan menggenangi wilayah yang ketinggian daratannya lebih rendah atau sejajar dibandingkan dengan muka laut. Perubahan lahan merupakan salah satu faktor penyebab genangan di wilayah pesisir. Berdasarkan klasifikasi lahan yang dihasilkan dari penutupan lahan tahun 2003 dengan citra SPOT dan tahun 2008 dengan citra ALOS menjelaskan perubahan lahan yang signifikan pada wilayah kajian, terutama pada kelas bangunan yang berdampak pada pengurangan kelas-kelas lain salah satunya laut. Perubahan kelas laut merupakan akibat dari pembangunan pemukiman, perkantoran, dan pelabuhan pada wilayah pesisir sehingga menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai. Akibat majunya garis pantai, maka terjadi penambahan daratan (akresi) dan pengurangan pada kelas laut yang akan menyebabkan kejadian banjir rob (pasang) didaerah pesisir utara Jakarta. Semakin besar perubahan lahan yang terjadi pada wilayah pesisir maka nilai ketinggian dan luas genangan akan semakin besar pula. Volume air laut yang tetap, tapi terjadi perubahan garis pantai yang semakin maju akan berakibat pengurangan luasan laut. Maka saat pasang maksimum terjadi wilayah-wilayah darat yang mengalami perubahan akan tergenang air laut.
Hasil perubahan garis pantai yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
menjelaskan bahwa perubahan kelas laut menjadi darat sebesar 148 ha pada lokasi penelitian. Namun dari luasan tersebut, tidak semua wilayah pesisir yang mengalami panambahan daratan (akresi) akan mengakibatkan kejadian banjir rob (pasang). Kejadian ini akan terjadi pada wilayah-wilayah yang konstruksi bangunan pembatas antara pantai dan darat kurang baik, pengaruh dari break water (pemecah gelombang) pada wilayah yang bersebelahan dengan lokasi kejadian banjir pasang, dan pada wilayah ini lebih rendah dari muka laut rata-rata. Pada waktu angin musim barat, angin berhembus dari Asia menuju Australia yang melewati Laut Natuna hingga Teluk Jakarta sehingga angin akan mempengaruhi gelombang. Apabila gelombang air laut mengenai break water akan mempengaruhi wilayah yang berada disekitarnya dan akan menyebabkan gelombang pasang yang tinggi tinggi. Sehingga wilayah-wilayah yang berada disekitar (samping) break water inilah yang sering mengalami kejadian banjir rob (pasang). Selain itu, pengaruh gelombang ini akan membawa material ke wilayah ini yang menyebabkan terjadinya akresi dan wilayah yang berada sebelum break water akan mengalami pengikisan pantai (abrasi).
Indah (2009) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa limpasan permukaan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sunter yang mengalir menuju Teluk Jakarta pada tanggal 9-13 Januari 2008 bernilai nol dan pada tanggal 12 Januari 2008 yaitu sebesar 3,03 mm, menjelaskan bahwa limpasan permukaan yang berasal dari sungai tidak mempengaruhi ketinggian maupun luasan banjir rob (pasang) yang terjadi. Data tersebut dapat menggambarkan bahwa genangan banjir rob (pasang) di pesisir utara Jakarta tidak dipengaruhi limpasan permukaan dari DAS akibat pengaruh curah hujan, karena nilai yang diperoleh berdasarkan parameter curah hujan wilayah. Namun, jika limpasan permukaan dari DAS merupakan limpasan yang diakibatkan kejadian pasang surut, dimana terjadi pada saat pasang tertinggi sehingga air laut didesak memasuki aliran DAS, maka limpasan tersebut merupakan banjir pasang yang akan mengakibatkan genangan pada wilayah-wilayah disekitar muara Sungai. Hal ini ditunjukkan pada peta hasil survei lapang pada Gambar 14, dimana lokasi kejadian banjir rob (pasang) berada di muara-muara sungai.
(28)
24
(29)
25
Wilayah pesisir utara Jakarta yang menjadi langganan banjir rob (pasang) tiap tahunnya. Melalui survei lapang yang dilakukan pada wilayah Muara Angke, Pluit, dan Muara Baru menjelaskan pengaruh perubahan lahan dan pasang surut yang menyebabkan kejadian banjir rob (pasang). Ketika pasang terendah (surut) maka wilayah tidak tergenang, namun jika terjadi pasang tertinggi (pasang) maka luas genangan serta ketinggian genangan akan semakin besar. Kejadian banjir rob (pasang) pada wilayah ini sering terjadi, akibat perubahan lahan pada kelas laut menjadi darat yang memperparah kejadian tersebut. Gambar 14, menjelaskan lokasi-lokasi yang menjadi langganan kejadian banjir rob (pasang) berdasarkan hasil survei lapang dengan perekaman koordinat.
Hasil perekaman koordinat wilayah pada survei lapang yang mengalami genangan banjir rob (pasang) di-overlay dengan hasil perubahan garis pantai. Perekaman titik koordinat pada lokasi kajian diambil sampel sebanyak delapan titik, yaitu Pluit, Pemukiman Muara Baru, Kawasan Pelabuhan Muara Baru (Muara Baru 1, 2, dan 3), Pelabuhan Muara Angke (Muara Angke 1 dan 2), dan Kampung Nelayan Muara Angke (Lampiran 5).
Berdasarkan Gambar 14, pada wilayah Kampung Nelayan Muara Angke, Pelabuhan Muara Angke (Muara Angke 1 dan 2) dan Pluit terjadi penambahan darat (akresi). Penambahan daratan merupakan salah satu penyebab terjadinya kejadian banjir rob (pasang) di lokasi ini. Penambahan daratan dipengaruhi perubahan tata guna lahan pada wilayah pesisir dan penambahan material baik dari laut maupun sungai. Sesuai dengan penjelasan mengenai penyebab banjir rob (pasang), wilayah Muara Angke yang bersebelahan dengan wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK). Pada wilayah PIK mempunyai konstruksi pembatas pantai yang baik dan memiliki break water (pemecah gelombang) sehingga akibatnya wilayah Muara Angke akan mengalami banjir akibat pasang surut. Akibat konstruksi pembatas yang tidak baik serta ketinggian wilayah ini lebih rendah dibanding muka laut akan memperparah kejadian banjir pasang ini pada wilayah Muara Angke. Sama seperti halnya Muara Angke, wilayah Muara Baru dan Pluit juga mengalami kejadian banjir pasang akibat pengaruh tersebut.
Namun wilayah Muara Baru pada Gambar 14 yaitu, Pelabuhan Muara Baru
(Muara Baru 1, Muara Baru 2, dan Muara Baru 3) dan Pemukiman Muara Baru pada wilayah ini tidak terjadi penambahan ataupun pengurangan daratan berdasarkan pemetaan posisi koordinat pada Gambar 14. Tetapi pada survei lapang yang dilakukan pada wilayah Muara Baru terjadi penambahan daratan. Perbedaan antara pemetaan perubahan garis pantai dan kenyataan di lapangan merupakan pengaruh dari waktu perekaman citra yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah pasang surut. Perekaman citra SPOT tahun 2003 pada pukul 10.00 WIB, menjelaskan terjadinya pasang tertinggi pada wilayah kajian. Namun, berbeda pada citra ALOS tahun 2008 yang direkam pada pukul 14.00 WIB yang tidak mengalami pasang tertinggi. Perbedaan waktu perekaman ini akan mempengaruhi perubahan garis pantai seperti perbedaan hasil penelitian dengan survei lapang pada wilayah Muara Baru, serta wilayah-wilayah yang mengalami pengurangan daratan (abrasi) disekitar lokasi kejadian banjir rob (pasang) yang terjadi akibat saat perekaman citra pada lokasi tersebut sedang mengalami pasang maksimum sehingga terjadi penggenangan dan berakibat pada pengurangan daratan dimana garis pantainya semakin mundur.
Upaya untuk menanggulangi kejadian banjir akibat pasang surut ini telah dilakukan dengan pembangunan tanggul yang mencapai 3-5 meter, tetap saja tidak bisa mengatasi kejadian banjir rob (pasang) tersebut. Rusaknya tanggul terjadi akibat terjangan gelombang dan bolongnya sisi pada tanggul akibat pasang surut.
Survei lapang yang dilakukan menjelaskan bahwa saat terjadi banjir besar pada tahun 2006 di Jakarta, pada wilayah-wilayah pesisir tidak mengalami genangan akibat dari banjir tersebut. Sehingga, berdasarkan survei lapang dan hasil analisis menyatakan bahwa banjir rob (pasang), dipengaruhi oleh pasang surut dan terjadinya perubahan lahan pada wilayah pesisir serta tidak dipengaruhi oleh limpasan permukaan dari sungai dan curah hujan wilayah tersebut.
4.4 Prediksi Area Genangan
Prediksi area genangan dihasilkan berdasarkan informasi data elevasi (DEM-GDEM 30 meter) wilayah pesisir utara Jakarta. Data elevasi diolah untuk mendapatkan interval kontur ketinggian
(1)
34
(2)
35
Lampiran 4. Kondisi Pasut saat Perekaman Citra di Stasiun Tanjung Priuk
Sumber : Buku Ramalan Pasang Surut DISHIDROS TNI AL (tahun 2003 dan 2008)
14 Januari 2003 21 November 2008
Jam Tinggi (m) Jam Tinggi (m)
0 0,5 0 0,6
1 0,5 1 0,6
2 0,6 2 0,6
3 0,6 3 0,6
4 0,7 4 0,6
5 0,8 5 0,6
6 0,9 6 0,6
7 1 7 0,6
8 1 8 0,6
9 1 9 0,6
10 1 10 0,7
11 0,9 11 0,7
12 0,8 12 0,7
13 0,6 13 0,7
14 0,5 14 0,7
15 0,4 15 0,7
16 0,3 16 0,6
17 0,2 17 0,6
18 0,2 18 0,6
19 0,2 19 0,5
20 0,3 20 0,5
21 0,3 21 0,5
22 0,4 22 0,5
(3)
36
Lampiran 5. Koordinat Wilayah Banjir Rob (Pasang) berdasarkan Perekaman Titik.
Waypoint Bujur Lintang Keterangan
3 106.7754972 6.104002778 Muara Angke 1
4 106.7751667 6.106236111 Muara Angke 2
5 106.7740306 6.109927778 Kampung Nelayan Muara Angke
6 106.7853833 6.112216667 Pluit
7 106.8007250 6.107358333 Muara Baru 1
8 106.7994611 6.099469444 Muara Baru 2
9 106.8052556 6.111186111 Muara Baru 3
(4)
37
Lampiran 6. Wawancara Hasil Survei Lapang
1. Muara Angke 1
Responden: Pak Junaedi Pekerjaan: Kepala TPI Hasil wawancara:
Daerah TPI dulunya adalah rawa
Genangannya hingga mata kaki
Banjir rob (pasang) terparah terjadi pada tahun 2009
Daerah yang biasanya tergenang: Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Baru
2. Muara Angke 2
Responden: 1. Bu Siti 2. Supriyanto 3. Slamet Pekerjaan: Pegawai TPI Hasil wawancara:
Banjir rob (pasang) yang sering terjadi akibat jebolnya tanggul
Pengaruh pasang surut
Ramalan pasang surut milik DISHIDROS dapat dijadikan patokan kejadian banjir rob
(pasang)
Daerah yang biasanya tergenang: perumahan nelayan, jembatan Pluit, depan Kantor TPI Pluit.
3. Muara Baru
Responden: Bu Usnul Pekerjaan: Humas Hasil wawancara:
Banjir rob (pasang) terjadi pada saat bulan terang
Tinggi genangannya mencapai 1-2 meter
Lama kejadian banjir rob (pasang) hingga surut hingga 2-3 hari
Walaupun telah dibangun tanggul, tapi banyak tanggul yang bolong sehingga masih terjadi
banjir rob (pasang)
Kejadian banjir rob (pasang) paling tinggi terjadi pada tahun 2008
Daerah yang biasanya tergenang: kampung nelayan, Pelabuhan Muara Baru
Sejak tahun 2009 kejadian banjir rob (pasang) sudah bisa teratasi oleh pembangunan tanggul, tapi di wilayah kampung nelayan masih belum teratasi
(5)
38
Lampiran 7. Banjir Rob (Pasang) di Wilayah Muara Angke
Genangan air laut di wilayah Muara Angke (Sumber : Masyarakat Muara Angke)
(6)
39
Lampiran 8. Banjir Rob (Pasang) di Wilayah Muara Baru
(i) Saat Kejadian banjir rob (pasang) (ii) Sesudah kejadian banjir rob (pasang)
Pasang air laut di wilayah Muara Baru (Sumber : Masyarakat Muara Baru)