Fungsi ekologis Fungsi ekonomis

5 2. Gangguan chemist kimia - Pencemaran air, tanah dan udara - Hujan asam 3. Gangguan biologis - Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan - Penebangan pohon yang tidak memperhitungkan azas kelestarian hutan - Invasi Piay Acrostichum aureum dan jenis semak belukar lainnya Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam pesisir yang mempunyai peranan penting bagi kelangsungan hidup ekositem lainnya, dimana secara garis besar mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis.

a. Fungsi ekologis

Perakaran yang kokoh dari mangrove ini memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin topan Dahuri et al., 2002.

b. Fungsi ekonomis

Masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove banyak memanfaatkan pohon mangrove untuk berbagai tujuan. Menurut Saenger et al. 1983 dalam Bengen dan Adrianto 1998, lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia yang telah teridentifikasi, baik produk langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil, maupun produk tidak langsung seperti tempat rekreasi dan sumber bahan makanan. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal adalah sebagai kawasan wisata alamekoturisme. Di negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan ekoturisme di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan, padahal Indonesia memiliki hutan mangrove lebih luas dibanding dengan negara lain Bengen dan Adrianto, 1998. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir untuk berbagai peruntukan pemukiman, perikanan, pelabuhan dll, mengakibatkan tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove semakin meningkat pula. Meningkatnya 6 tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan maupun secara tidak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan Bengen, 2002. Secara ringkas berbagai ancaman terhadap ekosistem hutan mangrove sebagai dampak dari kegiatan manusia disajikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial − Tebang habis. − Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove. − Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuh berbagai biota. − Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi. − Peningkatan salinitas ekosistem hutan mangrove. − Menurunnya tingkat kesuburan tanah dan perairan. − Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dan lain- lain. − Mengancam regenerasi stock sumberdaya ikan di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove. − Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya tertahan di ekosistem hutan mangrove. − Pendangkalan perairan pantai. − Erosi garis pantai dan intrusi garam. − Pembuangan sampah cair. − Penurunan kandungan oksigen terlarut memungkinkan timbulnya gas H 2 S. − Pembuangan sampah padat. − Kemungkinan terlapisnya pneumatophora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove. − Perembesan bahan – bahan pencemar dalam sampah padat. − Pencemaran minyak tumpahan. − Kematian pohon mangrove. − Penambangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar hutan mangrove. − Kerusakan total ekosistem hutan mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove daerah mencari makanan asuhan dan pemijahan. − Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove. Sumber: Bengen 2002 7 Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji Lillesand dan Kiefer, 1990. Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan obyek dan diterima sensor. Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Lebih lanjut Lillesand dan Kiefer 1990 menjelaskan bahwa proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen proses pengumpulan data meliputi a sumber energi, b perjalanan energi melalui atmosfer, c interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, d sensor wahana pesawat terbang dan satelit, dan e hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial dan bentuk numerik. Proses analisis data meliputi: 1. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, danatau komputer untuk menganalisis data sensor numerik. 2. Penyajian informasi dalam bentuk peta, tabel dan suatu bahasan tertulis atau laporan. 3. Penggunaan data untuk proses pengambilan keputusan. Teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metoda yang sangat efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1. Menghasilkan data sinoptik meliputi wilayah yang luas dalam waktu yang hampir bersamaan dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan mampu menghasilkan data deret waktu time series data dalam frekuensi yang rendah. 2. Mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan memberikan informasi tentang lapisan yang terpenting yaitu lapisan permukaan. 8 3. Pengamatan terhadap suatu obyek dapat dilakukan dengan menggunakan sensor yang bersifat multispektral, mulai dari sinar tampak visible, infra merah infrared dan gelombang mikro microwave. Hal ini memungkinkan dilakukannya analisis multispektral dengan mengimplementasikan berbagai model matematik untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. 4. Biaya operasional yang relatif murah serta tidak mengandung resiko rusaknya sumberdaya alam, karena tanpa kontak langsung dengan obyek yang diamati. Disamping semua kelebihan dari sistem penginderaan jauh dengan sarana satelit, sistem ini juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain : 1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau pengamatan secara insitu. 2. Untuk menghasilkan citra yang memiliki informasi akurat, harus disertai pengecekan daerah atau objek yang diamati. 3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut melintas di atas lokasi pengamatan. 4. Kondisi atmosfer yang beraneka ragam seperti awan, kabut dan hujan menyebabkan citra yang diperoleh kurang baik untuk keperluan monitoring daerah lautan maupun daratan. Awan dan kabut akan menyebabkan citra visual kurang jelas. Namun dengan dikembangkannya penginderaan jauh secara aktif dengan menggunakan radar yang bisa menembus awan, kabut dan hujan maka beberapa kekurangan tersebut dapat diatasi. Menurut Lo 1995 aplikasi lebih baru dari penginderaan jauh multi spektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan. Daun memantulkan secara kurang kuat pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan secara kuat pada panjang gelombang inframerah dekat. Daun memiliki karakteristik warna hijau, 9 dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau. Karakteristik Citra Landsat Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 Earth Resource Technology Satellite yang diluncurkan pertama kalinya tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978. Tepat sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA National Aeronatics and Space Administration secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat, untuk membedakan program oseanografi ”seasat” sehingga ERTS-1 menjadi Landsat 1 dan Landsat 2. Peluncuran Landsat 3 dilakukan pada tanggal 5 Maret 1978 Paine, 1992. Landsat 1, Landsat 2 dan Landsat 3 mempunyai dua sensor yaitu RBV Return Beam Vidicon dan MSS Multi Spectral Scanner. Landsat 4 diluncurkan Juli 1982, Landsat 5 diluncurkan pada Maret 1984 dan Landsat 6 diluncurkan pada Februari 1993, namun Landsat 6 tidak mencapai orbit dan jatuh ke laut. Landsat 4 dan 5 merupakan pengembangan sensor pada sistem Landsat sebelumnya dengan peningkatan resolusi spasial, resolusi radiometrik dan resolusi spektral. Landsat 1, 2 dan 3 membawa empat saluran sensor MSS, sedangkan Landsat 4 dan 5 membawa empat saluran sensor MSS dan sensor TM Thematic Mapper memiliki 7 saluran dan ETM Enhanced Thematic Mapper pada Landsat 6 dengan menambahkan saluran thermal 10,24-12,6 µm. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 april 1999 dengan membawa satu sensor yaitu Enhanced Thematic Mapper plus Purwadhi, 2001. Menurut Paine 1992, Citra Landsat dirancang untuk meliput daerah yang luas untuk pandangan secara keseluruhan. Keberadaan atau ciri-ciri geologi yang besar tertentu dapat nampak secara jelas pada citra Landsat tetapi mudah diabaikan pada fotografi konvensional karena dibutuhkan foto udara yang banyak untuk meliput suatu kawasan yang sama. Sebagai contoh, dibutuhkan sebanyak 7.000 foto udara dengan skala 1:12.000 tanpa tumpang tindih untuk meliput daerah yang sama luasnya dengan yang diliput oleh sebuah gambar Landsat digital. Frekuensi yang tinggi dalam ulangan pengambilan liputan yang dilakukan 10 oleh Landsat lebih dari cukup untuk mendapatkan peta tahunan yang terbaru dan untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang waktu. Karakteristik spektral Landsat TM dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Karaktersitik BandKanal pada Landsat TM Band Panjang Gelombang Resolusi Spasial Aplikasi 1 2 3 4 1 0,45-0,52 μm 30 m Dirancang untuk menghasilkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. 2 0,52-0,60 μm 30 m Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. 3 0,63-0,69 μm 30 m Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi. 4 0,76-0,90 μm 30 m Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air. 5 1,55-1,75 μm 30 m Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah. 6 2,08-2,35 μm 30 m Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan. 7 10,0-12,50 μm 120 m Saluran inframerah thermal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Sumber: Lillesand dan Kiefer 1990 11 Analisis Digital Citra Landsat Menurut Lo 1995 pendekatan pada interpretasi citra dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan manual visual dan pendekatan dengan bantuan komputer digital. Menurut Jensen 1986 analisis visual memiliki kekurangan antara lain: 1 kesulitan dalam hal mendeteksi perbedaan warna, terutama pada warna abu-abu, 2 pada analisis visual umumnya kegiatan interpretasi tidak bisa diulang-ulang dalam waktu yang singkat, 3 analisis visual dirasakan kurang dalam hal kemampuan menyimpan data dalam jumlah yang besar. Menurut Soesilo 1994 keunggulan analisis secara digital adalah interpretasi citra dapat dilakukan secara cepat, efisien dan sistematik. Namun hal ini tidak selalu berarti bahwa analisis digital selalu lebih baik dari analisis visual. Dalam rangka analisis digital, Lillesand dan Kiefer 1990, mengkelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu 1 pemulihan citra image restoration , 2 penajaman citra image enhancement, 3 klasifikasi citra image classification . Pemulihan Citra image restoration Restorasi citra image restoration didefinisikan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan koreksi distorsi, degradasi dan noise yang terjadi akibat kesalahan pada saat perekaman imaging. Kegiatan dari restorasi citra ini nantinya akan menghasilkan citra yang telah dikoreksi baik radiometrik maupun geometrik Jaya, 2002. Lebih lanjut Jaya 2002 menjelaskan untuk mengoreksi data, sumber dan macam kesalahan data eksternal dan internal harus ditentukan terlebih dahulu. Kesalahan internal terjadi karena kesalahan sensor itu sendiri, yang umumnya sistematis dapat diprediksi dan konstan, dan dapat ditentukan sebelum peluncuran satelitsensor atau kalibrasi pada saat dalam penerbangan. Kesalahan eksternal diakibatkan oleh gangguan platform dan modulasi karakteristik bentang alam yang sifat-sifatnya sangat bervariasi tidak sistematis. Kesalahan yang tidak sistematis ini dapat ditentukan dengan membuat korelasi antara titik-titik kontrol lapangan dengan sensor. Kesalahan radiometrik dan geometrik adalah kesalahan yang umum terjadi dan perlu dikoreksi dalam sistem penginderaan jauh. 12 Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari Purwadhi, 2001. Sedangkan koreksi geometrik rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta Jaya, 2002. Koreksi geometrik mempunyai tiga tujuan, yaitu 1 melakukan rektifikasi pembetulan atau pemulihan restoration citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi, 2 registrasi mencocokkan posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal dan 3 registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu Purwadhi, 2001. Pemotongan Citra croppingmasking area Sebelum memulai mendigitasi untuk cropping area mangrove, perlu dilakukan interpretasi citra terlebih dahulu. Hal ini penting dalam interpretasi citra ini yaitu pengenalan atau identifikasi obyek mangrove. Untuk itu seorang interpreter harus memiliki pengetahuan dasar interpretasi visual citra dan mengerti karakterustik tempat tumbuh dan sebaran mangrove Arsjad et al., 2005. Pada pemetaan mangrove, daerah yang di-cropping adalah area mangrove itu sendiri. Teknis cropping area mangrove dilakukan dengan mendigitasi area mangrove untuk menghasilkan file vektor region yang selanjutnya digunakan untuk memotong area mangrove. Cropping dilakukan mendasarkan pada logika Boolean sebagaimana formula tersebut dibawah ini Arsjad et al., 2005: Dimana, Region 1 r1 = file vektor area mangrove yang telah didigitasi Input 1 i1 = band i Penajaman Citra image enhancement Sebelum menampilkan data citra untuk analisis visual, teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan penampakan kontras di antara kenampakan IF INREGIONr1 THEN Input1 ELSE NULL 13 dalam scene. Pada berbagai penerapan langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual Lillesand dan Kiefer, 1990. Tiga teknik penajaman citra yang dapat dilakukan, yaitu memanipulasi kontras citra contrast manipulation, manipulasi kenampakan secara spasial spatial feature manipulation dan manipulasi multi citra multi image manipulation Purwadhi, 2001. Klasifikasi Citra image classification Klasifikasi adalah proses mengelompokkan piksel-piksel ke dalam kelas- kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan brightness valueBV atau digital numberDN piksel yang bersangkutan Jaya, 2002. Menurut Purwadhi 2001, teknik klasifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu klasifikasi secara terbimbing supervised classification, klasifikasi secara tidak terbimbing unsupervised classification dan klasifikasi pengkelasan hibrida hybrid classification dengan menerapkan model restorasi dan teknik penajaman di dalam klasifikasi. Lebih lanjut Purwadhi 2001 menyatakan klasifikasi tidak terbimbing menggunakan algoritma untuk mengkaji atau menganalisis sejumlah besar piksel yang tidak dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tidak terbimbing adalah kelas spektral. 14 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Jangka waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan September 2005 – Januari 2006 dengan lokasi penelitiannya adalah daerah delta sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BAKOSURTANAL. Alat dan Perlengkapan Alat dan perlengkapan yang dipakai dalam penelitian ini terutama digunakan untuk pengolahan data citra dengan perangkat lunak ER MAPPER versi 6.3 dan ARC VIEW versi 3.3, yang terdiri dari : 1. Seperangkat komputer pribadi Personal Computer. 2. Printer untuk mencetak hasil pengolahan citra. 3. Media penyimpanan data, berupa CD dan disket 3.5 inch. 4. Citra satelit Landsat delta sungai mahakam perekaman 3 Agustus 1997 dan 27 Februari 2001 pathrow 11660. 5. Peta Rupa Bumi Indonesia 1:250.000 lembar 1915 daerah Samarinda. 6. Data penunjang lain. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan menerapkan teknik penginderaan jauh melalui analisis data secara visual dan analisis data secara digital untuk melihat terjadinya perubahan hutan mangrove. Kedua dengan proses analisis dari hasil klasifikasi dan data pendukung untuk mengetahui faktor penyebab peristiwa tersebut. 15 Analisis Data Penginderaan Jauh Analisis data penginderaan jauh melalui dua cara, yaitu analisis data secara visual dan analisis data secara digital. Analisis data secara visual dilakukan terhadap citra visual dan analisis data secara digital dilakukan terhadap citra numerik. Analisis data secara visual berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra serta disajikan dalam bentuk peta tematik, tabel atau grafik dan membandingkannya dengan data sekunder. Analisis data secara digital dilakukan dengan menggunakan Personal Computer PC dengan software ER Mapper versi 6.3 dan ARC View versi 3.3. ER Mapper digunakan dalam analisis secara digital citra yang diperoleh. ARC View digunakan untuk overlay citra dan tampilan citra. Perubahan penutupan lahan dapat dilihat dengan membandingkan citra hasil klasifikasi Analisis citra secara visual Analisis secara visual meliputi dua kegiatan yaitu penyadapan data citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu Sutanto, 1986. Penyadapan data citra berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke peta tematik, tabel atau grafik. Langkah-langkah proses ini adalah: - Menguraikan atau memisahkan obyek berbeda rona atau warnanya diikuti dengan delineasi atau penarikan garis bagi obyek yang wujud ronawarnanya sama. - Setiap obyek yang diperlukan dikenali berdasarkan karakteristik spektral atau unsur interpretasi yang tergambar pada citra. - Diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasinya. - Digambarkan ke dalam peta sementara. - Untuk meningkatkan hasil ketelitian diperlukan pekerjaan medan. - Dilakukan interpretasi ulang atau interpretasi akhir dalam pengkajian atas pola atau susunan keruangan obyek yang menjadi tujuan penelitian. 16 Analisis Citra Secara Digital Tujuan dari analisis data citra secara digital adalah untuk mengekstrak informasi yang terkandung dari hasil rekaman citra satelit. Analisis citra secara digital terdiri atas pemulihan citra image restoration, penajaman citra image enhancement dan pengklasifikasian citra image classification. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis citra secara digital terdapat pada Gambar 1. Gambar 1. Tahapan Analisis Citra Secara Digital.

a. Pemulihan Citra image restoration