RE DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR
RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM
(
Orcaella brevirostris
Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN
DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR
IVAN YUSFI NOOR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasI berjudul “Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis
Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Ivan Yusfi Noor
(4)
RINGKASAN
IVAN YUSFI NOOR. Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, AGUS PRIYONO KARTONO dan DANIELLE KREB.
Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) selama 1997-2004 mengungkapkan bahwa di Sungai Mahakam terdapat 2 daerah utama sebaran (habitat inti/core area) populasi pesut mahakam yakni Muara Pahu–Penyinggahan dan Pela–Muara Kaman. Sejak tahun 2007 terlihat hal yang tidak biasa dalam sebaran pesut mahakam. Habitat inti Muara Pahu– Penyinggahan yang sebelumnya diketahui mendukung sebagian besar populasi pesut mahakam, kelihatannya mulai ditinggalkan. Perubahan sebaran terdeteksi kembali di tahun 2010 pada saat monitoring populasi dilakukan. Kegiatan tersebut tidak menemukan pesut mahakam di habitat inti Muara Pahu– Penyinggahan. Pesut mahakam lebih banyak berkumpul di daerah Muara Muntai hingga habitat inti Pela–Muara Kaman.
Penelitian disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena perubahan sebaran pesut mahakam dan melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Adaptasi tersebut akan berwujud penyempurnaan terhadap desain konservasi pesut mahakam. Pengungkapan fenomena perubahan tersebut mencakup hal-hal pokok seperti dinamika populasi, habitat dan lingkungan sosial-politik (kebijakan). Hal-hal pokok tersebut akan menjadi tujuan penelitian ini. Dengan demikian, rumusan dari tujuan penelitian disertasi ini adalah: 1) memprediksi kemampuan populasi pesut mahakam untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu 100 tahun ke depan; 2) menganalisis karakteristik habitat pesut mahakam; 3) menguji efektivitas koordinasi dan konsistensi kebijakan pelestarian pesut mahakam; dan 4) menyempurnakan desain konservasi pesut mahakam dengan mengakomodasi situasi terkini dari populasi, habitat pesut mahakam dan lingkungan sosial-politik yang mendukung upaya konservasinya.
Studi atas populasi pesut mahakam pada tahun 2012 mengungkapkan bahwa jumlah individu pesut mahakam adalah sebanyak 92 ekor, jumlah kelahiran 5 ekor dan jumlah kematian 6 ekor. Hasil penelitian ini juga menegaskan dan memperkuat bahwa perubahan sebaran pesut telah terjadi di S. Mahakam. Pesut mahakam sudah tidak menggunakan lagi habitat inti Muara Pahu-Penyinggahan. Sekarang, pesut terkonsentrasi di habitat inti Pela-Muara Kaman. Perubahan sebaran mengindikasikan bahwa penyusutan habitat pesut mahakam telah terjadi lagi di S. Mahakam. Di tengah situasi seperti itu analisis kelangsungan hidup populasi pesut mahakam dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa peluang hidup populasi pesut mahakam sampai seratus tahun ke depan kurang menggembirakan karena jumlah individunya akan terus berkurang. Satu-satunya skenario yang harus ditempuh agar populasi pesut mahakam dapat lestari seratus tahun ke depan adalah dengan cara mengurangi tingkat kematian pesut sampai angka dua individu per tahun. Itupun dengan syarat bahwa tidak ada lagi penyusutan habitat yang bisa menurunkan daya dukung dan tingkat kelahiran tetap sebesar lima individu per tahun.
(5)
Jaringan kerja koordinasi untuk konservasi pesut mahakam yang mencakup 16 organisasi belum berjalan secara baik. Terdapat banyak kekosongan koordinasi di sebagian jaringan, yakni yang berkaitan dengan organisasi/aktor yang termasuk kelompok (faksi) yang bekerja di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Kekosongan koordinasi ini terjadi bertepatan dengan mulai berlangsungnya proses pindahnya pesut dari kawasan perlindungan pesut dan habitatnya di Muara Pahu hingga berakhir sebagai fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Tidak ada proses koordinasi untuk merespon dan mengantisipasi proses berkurangnya pesut di Muara Pahu, oleh sebab itu kelemahan koordinasi ini memiliki kontribusi yang nyata dalam fenomena perubahan sebaran pesut mahakam.
Jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara struktur terbagi tiga bagian. Bagian-bagian ini terbentuk berdasarkan wilayah yurisdiksi (wilayah kewenangan) sehingga koordinasi terkotak-kotak dalam wilayah tersebut. Tidak ada koordinasi antara kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat untuk konservasi pesut. Secara struktural dapat dikatakan bahwa banyak potensi hubungan antar aktor/organisasi dalam jaringan koordinasi pesut mahakam yang belum terwujud.
Inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang terkait konservasi pesut mahakam masih terus berlangsung. Kebijakan-kebijakan (peraturan atau keputusan) terkait konservasi pesut tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Kurangnya komunikasi/koordinasi dan alokasi sumberdaya, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa kebijakan tidak dilaksanakan secara konsisten. Inkonsistensi tersebut disebabkan kurangnya dari orang-orang di organisasi/lembaga yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam (SRAK Pesut) dengan rencana pembangunan (RPJM) dari kedua kabupaten yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda. Pembangunan daerah
tidak berorientasi/fokus kepada konservasi tetapi lebih kepada ‘pertumbuhan ekonomi’.
Inkonsistensi implementasi kebijakan terkait konservasi pesut mahakam adalah faktor yang berkontribusi besar terhadap munculnya permasalahan-permasalahan dalam konservasi pesut mahakam. Keduanya berakar pada kurang-nya komitmen dari pihak-pihak yang bertanggungjawab atas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, desain konservasi pesut mahakam harus mencakup strategi atau rencana untuk menumbuhkan komitmen dari orang-orang yang terlibat dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut di atas.
Penelitian ini, mengungkapkan bahwa re-desain konservasi pesut mahakam perlu dilakukan. Re-desain tersebut berupa: 1) penambahan kawasan perlindung-an pesut di Muara Muntasi dperlindung-an sekitarnya, 2) pembentukan ‘dewan’ yang berfungsi memfasilitasi/memediasi kepentingan dan mengelola pengaruh setiap aktor/stakeholder yang terlibat dalam konservasi pesut, 3) pemanfaatan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk konservasi pesut, 4) penegakan hukum dan membangun komitmen untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan
Kata kunci: pesut mahakam, peluang hidup populasi, perubahan sebaran, penguatan koordinasi, re-desain konservasi
(6)
SUMMARY
IVAN YUSFI NOOR. Re-design of Mahakam Irrawaddy Dolphin (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Conservation Based on Distributional Changes in Mahakam River, East Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI, AGUS PRIYONO KARTONO dan DANIELLE KREB.
The intensive bio-ecological research on the Mahakam dolphins (Orcaella brevirostris Gray,1866) from 1997 to 2004 revealed that there were two core habitats/core areas with high dolphin densities in the Mahakam River i.e. the MuaraPahu-Penyinggahan area and Pela-Muara Kaman area. Since 2007, there have been unusual occurrences within the distribution of the Mahakam dolphins. The core habitat of Muara Pahu-Penyinggahan, which was previously known to support a large population of Mahakam dolphins has apparently been left. The changes in distribution were also detected in 2010 when the population monitoring was conducted and no individuals were found in the Muara Pahu-Penyinggahan core habitat . The Mahakam dolphins are now more concentrated in the area of Muara Muntai and in their other core habitat, Pela-Muara Kaman.
This research aimed to reveal whether the changes in distribution were persistent and to respond to this phenomenon by improving the conservation design. To predict the persistency of these changes population dynamics, habitat and socio-political environmentv(policies) were studied and formed the research goal.. Thus, the research objectives of this dissertation are as follows: 1) predicting the survival of the Mahakam dolphin population for a period of100 years, 2) analyzing the characteristics of the Mahakam dolphin habitats; 3) evaluating the effectiveness of coordination and consistency of the Mahakam dolphin conservation policies; and 4) perfecting the design of dolphin conservation to accommodate the current situation of the population, the Mahakam dolphin habitat and socio-political environment that support the conservation efforts.
The research on the population of Mahakam dolphins in 2012 revealed that the individual number of Mahakam dolphins, the number of births, and the number deaths were as many as 92 individuals, 5 individuals, and6 individuals, respectively. This research also demonstrated that changes in the distribution of dolphins had occurred inMahakam River. The Mahakam dolphins do no longer live in their core habitat of PenyinggahanMuaraPahu. Currently, the dolphin habitat is concentrated in the core habitat of Pela-Muara Kaman. The changes in the distribution indicate that further shrinkage in the habitat of Mahakam dolphins has occurred Mahakam River. As a result of this, an analysis on the survival of the Mahakam dolphin population was conducted. The results of the analysis predict that the life chances of the Mahakam dolphin population in the next one hundred years are less encouraging as the number of individuals will continue to diminish. The only scenario that predicts a stable dolphin population in one hundred years is when the mortality rate of dolphins is reduced to two individuals per year with the conditions that there is no further shrinkage of habitat, which will result in the reduction of its carrying capacity, and the birth rate is maintained at five individuals per year.
(7)
Networks for coordination for dolphin conservation, which includes 16 organizations have not been effective. There has been a lack of coordination in most networks especially related to organizations/actors included in groups (factions) that work in WestKutai Regency. The lack of coordination started from the time when the dolphins moved away from their conservation area and habitat in Muara Pahu. There has been no coordination process to respond to and anticipate the reduced dolphin occurrence in Muara Pahu; Therefore, this lack of coordination has a significant contribution to the phenomenon of changes in the distribution of Mahakam dolphins.
The conservation network of Mahakam dolphins is structurally divided into three parts. These sections are formed by the jurisdiction that has caused some fragments in the coordination in the region. There has been no coordination between Kutai Kartanegara and West Kutai for dolphin conservation. Structurally, it can be said that there many potential relationships between actors/organizations inside the Mahakam dolphin coordination networkt have not been materialized.
Inconsistencies in the implementation of policies related to dolphin conservation have continued; moreover, policies (regulations or decisions) related to dolphin conservation have not fully been legalized yet besides the area demarcation and thus not yet implemented. Also, there are lacks of communication/coordination and allocation of resources, and the weak law enforcement shows that the policies are not enforced consistently (such as bufferzones). The inconsistencies are due to a lack of attitudes of the people in the organizations/institutions involved in the conservation of Mahakam dolphins. The research also revealed that there is incoherence between Strategies and Action Plan for Conservation of the Mahakam dolphins (SRAK Pesut) and the development plan (RPJM) of the two regencies where the dolphins live. Incoherence arises because there are two different approaches or orientations, and the regional development is not orientated toward conservation but rather toward the 'economic growth'.
Inconsistencies in policy implementations related to dolphin conservation have been the major contributing factor to the emergence of problems in dolphin conservation. Both are rooted in lacks of attitudes of the parties responsible for the implementation of these policies. Therefore, the design must include the Mahakam dolphin conservation strategies or plans to change the attitudes of the people involved in the implementation of the policies mentioned above.
The research based on changes in the distribution of Mahakam dolphins revealed that the redesign of dolphin conservation must be implemented in order to secure the future survival of the Mahakam dolphin population. The redesign plan should include: 1) the enlargement of protected areas of dolphin habitats in Muara Muntai and its surrounding areas; 2) the building of 'council' which serves to facilitate/mediate interests and manage the influence each actor/stakeholder involved in dolphin conservation; 3) the using of block grants and special fund allocations (DAU and DAK) for dolphin conservation; and 4) the law enforcement and building commitment to consistently implement policies.
Keywords: Mahakam dolphins, probality of survival, changes in distribution, strengthening of coordination, redesign of conservation
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
1. PENDAHULUAN
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM
(
Orcaella brevirostris
Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN
DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR
IVAN YUSFI NOOR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(10)
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Rinekso Soekmadi, M.ForSc Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Novianto Bambang W, MSi Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS
(11)
(12)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah konservasi pesut mahakam, dengan judul Re-desain Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) Berbasis Perubahan Sebaran di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Danielle Kreb, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberi bimbingan, saran dan semangat untuk penyelesaian disertasi ini.
2. Papa (alm), Mama, Isteri (Herlina Puspa Dewi) dan Anak-ku (M. Primadevan Pascaharchana Noor), Bapak dan Ibu mertua serta seluruh keluarga (adik-adik dan kakak-adik ipar), atas segala bantuan, dukungan, doa dan kasih sayangnya.
3. Kementerian Kehutanan sebagai institusi tempat penulis bekerja yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan S3.
4. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang telah memberikan bantuan dana stimulus penelitian melalui Program Beasiswa Kaltim Cemerlang.
5. Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) yang telah memfasilitasi kedua kegiatan survei untuk penghitungan populasi pesut mahakam serta memberikan akses terhadap database-nya.
6. PT. Gunung Bayan Pratama Coal dan Sdr. Ting Ham yang telah membantu sebagian pendanaan penelitian ini.
7. Institut Pertanian Bogor sebagai lembaga penelitian yang memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian penulis.
8. Laboratorium Air Pusrehut/PPHT Universitas Mulawarman yang telah membantu pengukuran dan analisis kualitas air.
9. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimanan Timur beserta jajarannya yang telah memberikan fasilitasi guna kelancaran penelitian di lapangan.
10. Semua responden yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk wawancara dan diskusi dalam rangka pengisian kuesioner penelitian.
11. Teman-teman seperjuangan: Abdul Muin, U. Mamat Rahmat, Mufti Sudibyo, Kissinger, Edi Sulistyo dan Sri Harteti
12. Sdr. Sofwan dan Reni Sri Mulyaningsih yang telah banyak membantu penulis.
13. Sdr. Acok, Udin dan Idi atas kesabaran dan bantuannya mengantar penulis menjelajahi S. Mahakam dengan ces/perahu-nya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
(13)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Pertanyaan Penelitian (Research Questions) 2
Tujuan dan Sasaran 3
Manfaat Penelitian 4
Kebaruan (Novelty) 4
Alur Pemikiran 6
2. BIO-EKOLOGI Orcaella brevirostris: SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi 7
Sebaran 8
Kelimpahan 10
Status Perlindungan 10
Preferensi Habitat 11
Ancaman terhadap Kelestarian 12
Upaya Konservasi Jenis 13
3. KELIMPAHAN DAN SEBARAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) DI SUNGAI MAHAKAM,
KALIMANTAN TIMUR
Pendahuluan 14
Bahan dan Metode 15
Hasil 20
Pembahasan 26
Simpulan 29
4. ANALISIS KELANGSUNGAN HIDUP POPULASI: PELUANG
KEPUNAHAN POPULASI PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866)
Pendahuluan 31
Bahan dan Metode 32
Hasil 37
Pembahasan 39
Simpulan 41
5. KARAKTERISTIK HABITAT PESUT MAHAKAM (Orcaella brevirostris Gray, 1866) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR
Pendahuluan 42
Bahan dan Metode 42
Hasil 47
Pembahasan 53
(14)
6. KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM JARINGAN KERJA KONSERVASI PESUT MAHAKAM
Pendahuluan 58
Bahan dan Metode 59
Hasil 62
Pembahasan 70
Simpulan 74
7. KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI PESUT MAHAKAM
Pendahuluan 76
Bahan dan Metode 77
Hasil 78
Pembahasan 84
Simpulan 86
8. DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM
Pendahuluan 87
Desain yang Ada Sekarang 88
Pertimbangan bagi Re-desain Konservasi Pesut 90
Re-desain Konservasi Pesut 94
Desain Konservasi Pesut Mahakam: Sebuah Konsep Penyempurnaan 95 9. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 99
Saran-saran 99
DAFTAR PUSTAKA 101
(15)
DAFTAR TABEL
3.1. Hasil uji beda dua rata-rata (z-test) jumlah individu kelompok
antara hasil penelitian ini dengan Kreb (2004) 23 3.2. Jarak jelajah harian 13 kelompok pesut yang diikuti selama 8-11 jam 23 3.3. Hasil uji beda dua rata-rata (z test) jarak jelajah harian pesut antara
penelitian ini dengan Kreb (2004) 25
3.4. Kematian pesut mahakam sepanjang tahun 2012 25 4.1. Peluang kepunahan, laju pertumbuhan dan jumlah individu pesut
mahakam pada berbagai skenario perkembangan populasi 37 5.1. Variabel, metode dan alat yang digunakan untuk pengukuran
parameter lingkungan dan kualitas air habitat pesut mahakam 43 5.2. Kehadiran pesut yang terekam melalui land-base observation selama
5 hari berturut-turut pada masing-masing periode ketinggian air 47 5.3. Tingkat signifikansi hasil uji Mann-Whitney untuk rata-rata jumlah
ikan dan berat hasil tangkapan per hari dari 4 lokasi penangkapan 49 5.4. Kepadatan/frekuensi lalu lintas sungai/perairan di S. Mahakam 50 5.5. Hasil analisis regresi berganda (metode stepwise) terhadap variabel
frekuensi keberadaan pesut dan habitat 53
6.1. Organisasi/lembaga yang menjadi responden penelitian 59 6.2. Organisasi/aktor penting dalam jaringan kerja konservasi pesut 64 6.3. Posisi dan sentralitas organisasi/aktor dalam jaringam kerja konservasi
pesut mahakam saat ini 66
6.4. Sentralitas organisasi/aktor dalam jaringan kerja transaksi sumberdaya
untuk konservasi pesut mahakam 67
6.5. Tingkat kepentingan dan pengaruh organisasi dalam konservasi pesut
Mahakam 69
7.1. Kebijakan yang langsung tertuju pada spesies pesut mahakam dan
fakta terkait pelaksanaan kebijakannya di lapangan 79 7.2. Kebijakan di bidang perikanan yang erat kaitannya dengan konservasi
pesut mahakam 81
7.3. Matriks koherensi kebijakan yang menunjukkan seberapa banyak (kali) konsep dari suatu teks kebijakan tercantum dalam teks kebijakan
lainnya 83
(16)
DAFTAR GAMBAR
2.1. Lumba-lumba Irrawaddy Orcaella brevirostris (Sumber: http://www.
tmsi.nus.edu.sg) 7
2.2. Daerah sebaran lumba-lumba irrawaddy (O. Brevirostris); Sumber
Jefferson et al. (2008) 8
2.3. Sebaran lumba-lumba Irrawaddy/pesut mahakam (Orcaella breviros- tris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; Sebaran musiman (arsir warna hijau), sebaran yang tercatat dari tahun 2000-2007 (arsir warna
kuning) [Kreb et al. 2007] 9
3.1. Peta lokasi penelitian (garis tebal hitam) 16 3.2. Berbagai ciri-ciri sirip yang membedakan individu-individu pesut
Mahakam 19
3.3. Sebaran pesut mahakam tahun 2012 (arsir warna jingga); Bulatan Hitam menunjukkan dua habitat inti (core area) pesut mahakam se- belum terjadi perubahan sebaran dan perpindahan pesut dari Muara
Pahu 21
3.4. Trayek pergerakan harian 13 kelompok pesut (focal group) yang masing-masing diikuti selama 8-11 jam. Panjang setiap segmen sungai yang diwarnai belum tentu merepresentasikan panjang kese- luruhan trayek pergerakan harian karena pesut bisa bergerak bolak-
balik dalam segmen tersebut 24
4.1. Prediksi perkembangan jumlah individu populasi pesut mahakam
dalam 100 tahun ke depan berdasarkan 6 skenario 38 5.1. Lokasi land-base observation dan pengamatan lalu lintas perairan
(titik hijau) serta pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air
(bendera merah) 44
5.2. Perbandingan hasil tangkapan ikan di 7 lokasi pada level air rendah dan air sedang. Gambar atas menunjukkan jumlah individu ikan yang tertangkap (ekor) dan gambar bawah menunjukkan berat (kg)
ikan yang tertangkap 48
5.3. Tanggul pembatas yang melindungi kebun kelapa sawit dari luapan
air S. Kedang Pahu 56
6.1. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam. Jaringan kerja ini dibuat dengan hanya mempertimbangkan ada tidaknya komunikasi dan tanpa mempertimbangkan nilainya (frekuensi
komunikasi 63
6.2. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasar-
Kan frekuensi koordinasi/komunikasi minimal 2 kali setahun 65 6.3. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasar-
kan transaksi sumberdaya 67
6.4. Matriks kepentingan-pengaruh dalam konservasi pesut mahakam 70 7.1. Penangkapan ikan dengan menggunakan setrum listrik dari generator 82 8.1. Usulan kawasan perlindungan habitat pesut Muara Muntai dan seki-
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Pengukuran dan analisis parameter kualitas air habitat pesut
Mahakam 109
2. Kriteria, indikator dan skor kepentingan dan pengaruh organisasi 112 3. Foto-foto sirip pesut sebagai dasar identifikasi individu dalam
(18)
(19)
Latar Belakang
Pesut mahakam adalah jenis satwaliar yang dilindungi di Indonesia (Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa). Jenis ini berada dalam kondisi sangat terancam punah karena jumlah individu dewasa diduga kurang dari 50 ekor. Oleh sebab itu, sejak tahun 2000, pesut mahakam dimasukkan ke dalam kategori critically endangered oleh Badan Konservasi Alam Dunia atau IUCN (Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Penghitungan populasi terakhir pada tahun 2010 menunjukkan bahwa populasi pesut mahakam diduga hanya berjumlah 91 ekor dengan kisaran = 81 – 106 (Kreb & Susanti2011).
Saat ini, status populasi dan bio-ekologi pesut mahakam sebagian besar sudah berhasil diungkap (Kreb 2004); kawasan perlindungan habitat pesut mahakam sudah ditetapkan di salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu (Kreb et al. 2010); monitoring populasi secara periodik telah dilakukan (Kreb et al.
2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011); dan yang tidak kalah pentingnya, sejak 2008 pesut mahakam ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018).
Sesuai arahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008, pelestarian spesies prioritas dilakukan berdasarkan sebuah kerangka kerja yang dinamakan strategi dan rencana aksi konservasi. Oleh sebab itu, sejak tahun 2010 telah disusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam (SRAK Pesut). SRAK Pesut tersebut berisikan visi, misi, strategi dan rencana aksi pelestarian pesut mahakam. Secara garis besar SRAK Pesut mencakup desain kawasan perlindungan bagi habitat pesut mahakam serta desain rencana, sistem dan aktivitas/kegiatan konservasi yang akan dilakukan hingga tahun 2020. Khusus untuk desain kawasan perlindungan, SRAK Pesut juga mengadopsi desain kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam yang telah ditetapkan Bupati Kutai Barat di wilayah Muara pahu.
Pada dasarnya SRAK Pesut dibuat sebagai solusi atas berbagai permasalahan konservasi pesut mahakam yang teridentifikasi dan dihadapi hingga tahun 2010. Tetapi, sampai dengan tahun 2013, strategi dan rencana aksi ini belum dapat diimplementasikan karena proses penetapannya menjadi sebuah kebijakan masih belum selesai. Sementara itu, dinamika populasi, habitat dan lingkungan pesut terus berlangsung di S. Mahakam, dan salah satu yang terpenting adalah terjadinya fenomena perubahan sebaran pesut mahakam.
Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam selama 1997-2005 mengung-kapkan bahwa di S. Mahakam terdapat 2 daerah utama sebaran (habitat inti/core area) populasi pesut mahakam yakni Muara Pahu–Penyinggahan dan Pela–Muara Kaman (Kreb 2004; Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Namun demikian, habitat inti Muara Pahu–Penyinggahan yang pada tahun 2005 diketahui mendukung 78% populasi pesut mahakam, sejak tahun 2007 kelihatannya mulai ditinggalkan. Pemantauan populasi tahun 2007 mencatat bahwa pada tahun
(20)
tersebut jumlah individu pesut mahakam yang tinggal di habitat inti Muara Pahu– Penyinggahan menurun hingga 57% dari total populasi (Kreb & Susanti 2008). Fenomena ini juga diikuti oleh temuan kelompok besar pesut mahakam (16-18 ekor) di S. Kedang Rantau di sekitar Muara Kaman, dimana sebelumnya jumlah individu terbanyak yang pernah tercatat di tempat itu hanya 6 ekor. Gejala perubahan terdeteksi kembali di tahun 2010 saat pemantauan populasi kembali dilakukan. Pemantauan populasi pesut mahakam di tahun 2010 (Kreb & Susanti 2011) tidak menemukan pesut mahakam di habitat inti Muara Pahu– Penyinggahan. Pesut mahakam saat ini cenderung lebih banyak berkumpul di daerah hilir Muara Muntai hingga habitat inti Pela–Muara Kaman.
Dinamika/perubahan sebaran pesut mahakam tersebut di atas diperkirakan memiliki implikasi yang luas dalam kerangka kerja pelestarian pesut mahakam dan memunculkan permasalahan baru. Implikasi dan permasalahan baru tersebut tentu saja tidak terakomodasi dalam konsep SRAK Pesut yang ada sekarang. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini, penulis bermaksud untuk mendesain kembali (re-desain) SRAK Pesut dengan mempertimbangkan implikasi dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan perubahan sebaran pesut di S. Mahakam tersebut.
Pertanyaan Penelitian (Research Question)
Daerah Muara Pahu–Penyinggahan di Kabupaten Kutai Barat, yang selama ini dikenal sebagai habitat inti dan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan bagi habitat pesut mahakam, diindikasikan tidak digunakan lagi sebagai habitat oleh pesut mahakam. Data dari serangkaian survei yang dilakukan tahun 2007 dan 2010 mengungkapkan hal tersebut. Bertitik tolak dari fenomena tersebut, pertanyaan pertama yang muncul adalah: Apakah sebaran pesut mahakam memang sudah berubah? Berbagai pertanyaan lain kemudian juga mengikuti: Apakah habitat inti Muara Pahu–Penyinggahan sudah tidak penting bagi pesut mahakam? Kemana pesut mahakam-pesut mahakam berpindah? Apa penyebab pesut mahakam meninggalkan habitat intinya di Muara Pahu–Penyinggahan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini. Ketika fenomena perubahan sebaran pesut terlihat di S. Mahakam, diduga telah terjadi perubahan pada habitatnya yakni perairan S. Mahakam beserta anak-anak sungainya.
Kebijakan penetapan kawasan perlindungan habitat bagi pesut mahakam di wilayah perairan Kecamatan Muara Pahu merupakan kulminasi dari proses pengusulan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Berbagai lokakarya telah menghasilkan kesepahaman dan kesepakatan di antara para pihak tentang langkah atau upaya konservasi pesut mahakam, khususnya dalam konteks kawasan perlindungan. Pemerintah adalah bagian dari para pihak tersebut dan secara strategis memainkan peran yang sangat penting dalam keseluruhan proses. Tetapi, fenomena perubahan sebaran telah terjadi dan hal itu paralel dengan proses perkembangan penetapan kawasan perlindungan pesut. Dari sini muncul
pertanyaan, “Apakah telah terjadi inkonsistensi kebijakan pemerintah di wilayah Muara Pahu dan sekitarnya, yang ternyata tidak sejalan dengan program-program
(21)
koordinasi ketika mengimplementasikan program-program konservasi yang telah disepakati? Pertanyaan-pertanyaan di atas juga diajukan untuk jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara keseluruhan yang mencakup dua wilayah kabupaten.
Sejak tahun 2000 hingga sekarang, populasi pesut mahakam berstatus
critically endangered. Jumlahnya saat ini relatif rendah yakni kurang dari 100 individu. Ancaman-ancaman yang selama ini sudah teridentifikasi seperti kematian langsung dan kerusakan/penurunan kualitas habitat, masih potensial terjadi dan menjadi tantangan terbesar pelaku konservasi pesut mahakam untuk dapat mencegah dan mengatasinya. Dengan berbagai kemungkinan timbulnya ancaman dan upaya-upaya konservasi yang dilakukan di masa depan, muncul
suatu pertanyaan: “Apakah dalam jangka waktu tertentu ke masa depan (misalnya
100 tahun) pesut mahakam dapat bertahan hidup?” Kondisi-kondisi semacam apa yang harus dipenuhi agar pesut mahakam dapat lestari dalam jangka waktu tertentu yang diinginkan? Keputusan manajemen seperti apa yang harus diambil pengelola? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab melalui penelitian ini, khususnya dengan menerapkan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi.
Tujuan dan Sasaran
Pada dasarnya kegiatan penelitian disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena perubahan sebaran pesut mahakam dan melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Adaptasi tersebut akan berwujud sebuah desain ulang (re-desain) bagi konservasi pesut mahakam, yang didasarkan atas sintesis dari hasil-hasil pengungkapan terhadap fenomena di atas.
Pengungkapan fenomena perubahan sebaran pesut diprediksi akan mencakup hal-hal pokok seperti dinamika dalam populasi (perilaku, sebaran, demografi), habitat (kualitas, kuantitas, sebaran, nilai penting) dan lingkungan sosial-politik (kebijakan). Hal-hal pokok tersebut akan menjadi tujuan penelitian ini. Dengan demikian, rumusan dari tujuan penelitian disertasi ini adalah:
1. Memprediksi kemampuan populasi pesut mahakam untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu ke masa depan melalui penerapan Analisis Kelangsungan Hidup Populasi atau Population Viability Analysis (PVA). 2. Mengungkap karakteristik habitat yang sesuai bagi kehidupan pesut mahakam. 3. Menguji konsistensi kebijakan dan efektivitas koordinasi pelestarian pesut
mahakam.
4. Menyempurnakan desain konservasi pesut mahakam dengan mengakomodasi situasi terkini dari populasi dan habitat pesut mahakam serta lingkungan sosial-politik yang mendukung upaya konservasinya.
Dalam Sub Bab: Pertanyaan Penelitian (Research Question), peneliti sudah mengajukan berbagai pertanyaan terkait fenomena perubahan dan kelangsungan hidup populasi pesut mahakam. Jawaban atas petanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya adalah panduan bagi peneliti untuk mencapai keempat tujuan di atas. Oleh karena itu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian akan menjadi target/sasaran dari penelitian disertasi ini. Sasaran-sasaran tersebut adalah sebagai berikut:
(22)
1. Menghitung jumlah individu, angka kematian dan angka kelahiran pesut mahakam.
2. Mengetahui dan memetakan sebaran pesut mahakam.
3. Mengidentifikasi perubahan perilaku (pergerakan harian dan ukuran ke-lompok).
4. Menghitung daya dukung habitat S. Mahakam bagi pesut mahakam.
5. Melakukan PVA untuk memprakirakan kemungkinan kelangsungan hidup pesut mahakam, mengevaluasi ancaman yang dihadapi, serta meningkatkan proses pengelolaan dan pengambilan keputusan.
6. Menilai kepentingan habitat inti Muara Pahu–Penyinggahan, Pela–Muara Kaman dsk, dan wilayah “Muara Muntai dsk” yang kini diindikasikan menjadi lokasi tempat berpindahnya pesut-pesut dari Muara Pahu.
7. Mengidentifikasi faktor-faktor habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan pesut mahakam.
8. Menguji konsistensi kebijakan dan koordinasi dari para pihak terkait. 9. Menganalisis kebijakan terkait konservasi pesut mahakam.
Manfaat Penelitian
Penelitian/disertasi ini, terutama sekali, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelolaan dan konservasi pesut mahakam dalam hal:
1. Memberikan landasan pemikiran dan argumentasi bagi strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam.
2. Memberikan prinsip-prinsip bagi perencanaan dan pengelolaan konservasi pesut mahakam mahakam.
3. Memberikan pedoman bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi pesut mahakam.
Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dalam rangka melengkapi ilmu pengetahuan tentang spesies ini dan mengupdate data dan informasi terdahulu tentang pesut mahakam mahakam.
Kebaruan (Novelty)
Novelty dari penelitian ini dapat dilihat dari dua segi yakni sebagai output (hasil) maupun sebagai sebuah metodologi baru. Dari segi output, novelty tersebut meliputi:
1. Dinamika bioekologi pesut mahakam yang terkait dengan fenomena perubahan sebarannya.
2. Kualitas perairan habitat pesut mahakam.
Dari segi metodologi, penelitian ini menghasilkan novelty sebagai berikut: 1. Aplikasi substitusi matematis untuk menentukan daya dukung.
2. Desain konservasi dengan pendekatan multidisiplin ekologi populasi, kebijakan dan kelembagaan.
(23)
Alur Pemikiran
Penelitian ini bertitik-tolak dari perubahan sebaran pesut yang terjadi di perairan S. Mahakam di Kalimantan Timur. Perubahan sebaran ini mempunyai implikasi serius. Kawasan perlindungan habitat pesut di daerah Muara Pahu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dan dibangun melalui proses panjang kerjasama para pihak terancam kehilangan relevansinya dan berpeluang tidak efektif dalam pelestarian pesut mahakam.
Sementara itu, kawasan perlindungan habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara yang sedang dalam proses pengusulan menjadi tidak komprehensif lagi karena (jika memang perubahan sebaran bersifat permanen) tidak mencakup perlindungan habitat di daerah sebaran barunya di kabupaten ini. Uraian di atas mengindikasikan bahwa program-program konservasi dalam pengelolaan pesut mahakam perlu dire-desain agar dapat mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi.
Re-desain konservasi pesut mahakam adalah suatu produk dari proses sintesis atas berbagai situasi terkini dan prediksi peluang di masa depan dari seluruh aspek yang mempengaruhi kelangsungan hidup populasi pesut mahakam. Aspek yang dimaksud disini adalah populasi, habitat dan lingkungan sosial (kebijakan). Dipandang dari aspek populasi, re-desain memerlukan informasi tentang status terkini populasi dan juga prediksi kondisi populasi dimasa depan. Informasi tersebut adalah produk dari Analisis Kelangsungan Hidup Populasi yang akan menjadi bagian penting dari penelitian ini. Keluaran lain dari proses tersebut yang akan berguna dalam menre-desain konservasi pesut mahakam adalah berbagai pilihan skenario terkait peluang hidup populasi dan risiko kepunahan
Aspek penting lain yang diperlukan dalam re-desain adalah informasi tentang habitat yang menyangkut status dan kesesuaian habitat. Hal ini penting untuk diungkap karena perairan S. Mahakam yang merupakan habitat pesut bersifat dinamis. Data yang ada hingga saat ini membuktikan atau setidaknya mengindikasikan bahwa perubahan memang terjadi di habitat pesut. Bahkan, fenomena yang terjadi, yang menjadi alasan pokok dari penelitian ini, dihipotesiskan sebagai akibat dari adanya dinamika (perubahan) di habitat pesut mahakam.
Dinamika juga terjadi dalam lingkungan sosial/politik yang menjadi atmosfer pengelolaan pesut mahakam. Berbagai kebijakan, yang mencakup berbagai sektor dan yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan pesut atau habitatnya, telah diterbitkan. Namun demikian, diduga ada kelemahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan. Satu kebijakan dengan kebijakan lainnya juga berpotensi saling kontradiksi, inkonsisten atau kontraproduktif. Situasi semacam itu diduga sebagai pemicu terjadinya perubahan kondisi habitat pesut mahakam yang berujung pada munculnya fenomena perubahan sebaran. Jika skenario di atas memang benar terjadi, maka patut diduga lingkungan sosial-politik konservasi pesut mahakam sudah berubah. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan sosial-politik yang melandasi program-program konservasi pesut mahakam selama ini menjadi kurang relevan dengan kondisi terkini populasi,
(24)
habitat dan pengelolaan serta konservasi satwa tersebut. Di sinilah kemudian terlihat pentingnya suatu re-desain konservasi pesut mahakam.
Re-desain memerlukan input berupa berbagai macam informasi yang menyangkut konsistensi kebijakan dan efektivitas koordinasi, yang kesemuanya diperoleh melalui serangkaian analisis terhadap dinamika sosial/politik yang terjadi.
(25)
2. BIO-EKOLOGI
Orcaella brevirostris
Gray, 1866:
SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Orcaella brevirostris Gray, 1866 adalah nama ilmiah yang diberikan kepada satu jenis mamalia air yang hidup di perairan pesisir tropis dan sub tropis wilayah Indo-Pasifik (Stacey & Arnold 1999). Jenis ini dikenal secara umum dengan nama Irrawaddy Dolphin (lumba-lumba Irrawaddy). Lumba-lumba Irrawaddy hidup di perairan laut, payau maupun air tawar seperti sungai atau danau,
sehingga diberi julukan: ‘facultative river dolphin’ (Leatherwood & Reeves 1994; Kreb 2004). Di Indonesia, masyarakat mengenalnya dengan nama pesut; nama yang diambil dan berasal dari sebutan masyarakat lokal terhadap jenis satwa ini yang hidup di perairan S. Mahakam Kalimantan Timur. Dalam Bahasa Indonesia,
O. brevirostris kadang-kadang disebut dengan nama lumba-lumba air tawar, sebuah sebutan yang kurang tepat karena sesungguhnya sebagian besar populasi jenis ini adalah penghuni perairan laut pesisir.
Orcaella brevirostris, secara taksonomi ditempatkan dalam Kelas Mamalia, Ordo Cetacea, Sub Ordo Odontoceti, Superfamili Delphinoidea, Famili Delphinidae, Subfamili Orcininae dan Genus Orcaella. O. brevirostris memiliki sinonim Orcaella fluminalis Anderson, 1971.
Gambar 2.1. Lumba-lumba Irrawaddy Orcaella brevirostris (Sumber: http://www.tmsi.nus.edu.sg)
Secara fisik, oleh Chakraborty & De (2007), perawakan O. brevirostris
digambarkan berbentuk torpedo (Gambar 2.1). Satwa dewasa memiliki panjang tubuh bervariasi antara 1,9 m hingga 2,75 m (Marsh et al. 1989; Stacey & Arnold 1999). Pada bagian atas tubuh di belakang kepala terdapat lubang nafas yang terletak di sebelah kiri garis tengah tubuh. Warna kulit bervariasi, abu-abu terang hingga abu-abu gelap atau abu-abu kebiruan (Marsh et al. 1989). Kepala O. brevirostris berbentuk membulat dengan dahi tinggi (Stacey & Arnold 1999; Marsh et al. 1989). Garis mulut mengarah miring ke depan-bawah dari sekitar mata. Jenis satwa ini tidak memiliki paruh sebagaimana kebanyakan lumba-lumba. Lumba-lumba Irrawaddy memiliki dua sirip dada yang relatif besar dan ujungnya
(26)
membulat, sirip punggung kecil berbentuk segitiga yang terletak di belakang bagian tengah tubuh dan sirip ekor horisontal (Marsh et al. 1989).
Sebaran
Lumba-lumba Irrawaddy (O. brevirostris) hidup di perairan dangkal pesisir tropis dan subtropis Indo-Pasifik Barat. Sebarannya meliputi Teluk Benggala (India, Bangladesh) dan Asia Tenggara (Gambar 2.2) [Marsh et al. 1989; Stacey & Arnold 1999; Reeves et al. 2003].
Gambar 2.2. Daerah Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy, O. brevirostris (arsir warna merah); Sumber: Jefferson et al. (2008)
Di beberapa tempat dalam wilayah sebarannya, populasi kecil dari O. brevirostris hidup terisolasi di danau payau atau pedalaman sungai yang berair tawar (Stacey & Arnold 1999; Reeves et al. 2003). Dua populasi terisolasi di Danau (D.) Chilika, India (Pattnaik et al. 2007) dan D. Songkhla, Thailand (Kittiwattanawong et al. 2007). Tiga populasi sudah beradaptasi dan sepenuhnya hidup di perairan tawar sungai-sungai besar seperti S. Mahakam, Indonesia (Tas’an & Leatherwood 1984; Kreb 2004), S. Ayeryarwady, Myanmar (Reeves et al. 2003; Smith & Mya 2007) dan S. Mekong, Vietnam, Laos dan Kamboja (Beasley et al. 2007; Beasley 2007; Dove et al. 2008).
Di perairan Indonesia, O. brevirostris tercatat di banyak tempat: S. Mahakam, Kalimantan Timur (Tas’an & Leatherwood 1984; Kreb 2004), S. Kumai, Kalimantan Tengah (Kartasana & Suwelo 1994); Segara Anakan di pantai Selatan Jawa Tengah (Morzer Bruyns 1966); Teluk Balikpapan dan Sangkulirang
(27)
serta perairan di sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Kreb 2004); dan berbagai tempat lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Morzer Bruyns 1966).
Di S. Mahakam, O. Brevirostris (nama lokal: pesut mahakam) tidak menyebar merata di seluruh bagian sungai, anak-anak sungai serta danau-danaunya. Populasi pesut mahakam umumnya terkonsentrasi di bagian tengah S. Mahakam (Gambar 2.3). Keseluruhan daerah sebaran historis pesut mahakam mencakup: 1) alur Sungai Mahakam antara Loa Kulu di bagian hilir (± 90 km dari muara) dan Burit Halau (Long Bagun) di bagian hulu (± 600 km dari muara); 2) danau-danau Mahakam seperti D. Semayang, D. Melintang dan D. Jempang; serta 3) anak-anak sungainya seperti S. Kedang Rantau (sampai sejauh Sedulang), S. Kedang Kepala (hingga Muara Ancalong), S. Belayan, S. Kedang Pahu (sampai sejauh Damai) dan S. Ratah hingga sejauh 100 km ke arah hulunya [Kreb 2004].
Gambar 2.3. Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy/Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; Sebaran musiman (arsir warna hijau), sebaran yang tercatat dari tahun 2000-2007 (arsir warna kuning) (Kreb et al., 2007).
Penelitian intensif bio-ekologi pesut mahakam selama 1997-2005 mengungkapkan bahwa di S. Mahakam terdapat 2 habitat inti (core area) populasi pesut yakni Muara Pahu–Penyinggahan dan Pela–Muara Kaman (Kreb & Susanti 2008; Kreb et al. 2010). Kedua wilayah sebaran utama ini merepresentasikan dua kelompok populasi yang ada. Tahun 2005 habitat utama Muara Pahu– Penying-gahan dan Pela–Muara Kaman mendukung masing-masing 72% dan 28% populasi pesut mahakam. Tahun 2007, proporsi itu berubah menjadi 57% dan 46% (Kreb & Susanti 2008).
(28)
Pesut mahakam diperkirakan sudah menghilang dari D. Jempang (Priyono 1993; Kreb 2004). Di sebagian besar D. Semayang dan D. Melintang, pesut mahakam juga sudah tidak terlihat ketika air rendah (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008). Di anak-anak S. Mahakam seperti S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala dan S. Kedang Pahu, daerah sebaran pesut juga semakin menyusut. Dalam periode 1980 – 2000 saja diperkirakan pesut mahakam telah kehilangan 15% dari wilayah jelajah historisnya (Kreb & Budiono 2005; Kreb et al. 2007).
Kelimpahan
Tidak ada data yang memadai mengenai kelimpahan (jumlah individu) lumba-lumba irrawaddy di seluruh wilayah sebarannya. Namun demikian, karena fokus perhatian terutama ditujukan kepada populasi-populasi air tawar di S. Mahakam, S. Ayeryarwady dan S. Mekong, kelimpahan dari daerah-daerah tersebut sudah diketahui (Smith & Mya 2007; Beasley 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Selain itu, kelimpahan populasi D. Songkhla di Thailand dan D. Chilika di India (Kittiwattanawong et al. 2005; Pattnaik et al.
2005) juga telah dihitung.
Di perairan S. Ayeryarwady, dua survei antara 2007-2009 mencatat keberadaan 32 dan 56 individu (Mya & Aung 2010). Di S. Mekong, penghitungan tahun 2007–2008 dengan menggunakan metode capture-mark-recapture, menduga populasi lumba-lumba Irrawaddy di sungai tersebut tinggal 70 individu dengan kisaran 69 – 91 individu (Vibol et al. 2010).
Untuk populasi di D. Chilika, dua survei di tahun 2007 dan 2010 yang dilakukan dengan penghitungan serentak dari 18 perahu menghasilkan perkiraan populasi berturut-turut sebesar 135 dan 158 individu (Choudhury et al. 2010). Sementara itu, belum ada laporan tentang jumlah yang akurat tentang kelimpahan lumba-lumba Irrawaddy di D. Songkhla, Thailand. Namun demikian, survei udara yang dilakukan tahun 2004 menunjukkan bahwa populasi di D. Songkhla tidak lebih dari 20 individu (Kittiwattanawong et al. 2007).
Dua survei populasi pesut di S. Mahakam telah dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 dengan menggunakan metode “capture-mark-recapture” Petersen dan iden -tifikasi foto sirip punggung. Hasilnya, pada tahun 2007, jumlah populasi pesut mahakam diperkirakan 90 individu dengan kisaran 75 – 105 ekor (Kreb & Susanti, 2008), sedangkan pada tahun 2010 jumlahnya 91 ekor dengan kisaran 81 – 106 ekor (Kreb & Susanti 2011).
Status Perlindungan
Sampai tahun 1996, IUCN Redlist of Threatened Species menempatkan lumba-lumba Irrawaddy dalam kategori Data Deficient (Reeves et al. 2008). Sejak tahun 2000, dengan semakin bertambahnya informasi mengenai jenis ini, status kelangkaan keseluruhan populasinya berubah menjadi vulnerable. Status
vulnerable terus bertahan ketika IUCN menerbitkan The IUCN Redlist of Threatened Species tahun 2008 (Reeves et al. 2008).
(29)
Walaupun secara keseluruhan populasi lumba-lumba Irrawaddy dimasukkan ke dalam kategori vulnerable, secara lokal terdapat populasi-populasi yang memiliki status kelangkaan berbeda. Populasi S. Mahakam memperoleh status
critically endangered sejak tahun 2000 setelah penelitian yang mendalam tentang kelimpahannya di tahun 1999–2000 (Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008). Populasi S. Mekong dan S. Ayeryarwady dimasukkan ke dalam kategori
critically endangered pada tahun 2004 (Smith 2004; Smith & Beasley 2004). Status ini diberikan karena jumlah individu dewasa produktif di masing-masing populasi diduga kurang dari 50 ekor dan diperkirakan populasinya akan terus menurun akibat adanya ancaman bagi kelestariannya (Reeves et al. 2008; Jefferson et al. 2008). Dua sub populasi lain yang secara geografis terisolasi, yakni populasi D. Songkhla dan Selat Malampaya, Pelawan (Filipina), pada tahun 2004 juga dimasukkan ke dalam kategori critically endangered karena jumlahnya yang kecil dan persebarannya terbatas (Smith & Beasley 2004; Reeves et al.
2008).
Populasi lumba-lumba Irrawaddy (pesut) di S. Mahakam Indonesia sudah dilindungi Pemerintah Indonesia sejak tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 45/Kpts/Um/1/1975. Status perlindungan tersebut kemudian diperkuat Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sejak 2008, pesut mahakam bahkan ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008).
Preferensi Habitat
Lumba-lumba Irrawaddy hidup pada berbagai macam habitat: laut pesisir, estuari/muara sungai berair payau, danau/laguna berair payau dan sungai/danau air tawar (Marsh et al. 1989; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007). Keberadaan lumba-lumba Irrawaddy di suatu tempat sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan. Areal-areal yang menyediakan habitat bagi sejumlah besar ikan dan he-wan air lainnya pada umumnya menjadi tempat-tempat yang disukai oleh lumba-lumba Irrawaddy/pesut karena di tempat semacam itulah pakan bagi satwa ini melimpah (Kreb & Budiono 2005; Beasley et al. 2007).
Lumba-lumba Irrawaddy menyukai pertemuan anak sungai, cabang sungai dan belokan sungai (Stacey & Hvenegaard 2002; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007, Reeves et al. 2008) s. Satwa ini juga menyukai badan-badan air yang dalam (Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007; Smith et al. 2009), terutama yang berada pada pertemuan arus, seperti pada muara anak-anak sungai. Pertemuan dua sungai biasanya menciptakan pusaran air kuat yang akan memerangkap ikan-ikan yang merupakan mangsa pesut (Kreb & Budiono 2005).
Di S. Mahakam, pesut senang tinggal di perairan yang relatif dalam. Pada level air tinggi, pesut menyebar ke hampir seluruh wilayah yang dikenal sebagai daerah sebarannya, termasuk danau-danau dan anak sungai Mahakam. Saat level air rendah, pesut mahakam lebih suka berada di tempat-tempat yang memiliki kedalaman yang memadai seperti alur utama S. Mahakam (Kreb & Budiono 2005).
(30)
Di S. Mahakam, areal-areal yang diidentifikasi sebagai habitat yang disukai oleh pesut adalah: (1) Muara Pahu dan sekitarnya, (2) S. Pela yang merupakan alur sungai penghubung D. Semayang dengan S. Mahakam, (3) Muara Kaman dan sekitarnya serta 4) Muara Muntai dan sekitarnya. Keempat lokasi ini merupakan tempat pertemuan anak sungai-anak sungai dengan alur utama S. Mahakam. Di samping itu, anak-anak sungai tersebut merupakan akses keluarnya ikan dari rawa-rawa dan danau yang merupakan tempat berkembangbiaknya (Kreb & Budiono 2005).
Ancaman Terhadap Kelestarian
Populasi lumba-lumba Irrawaddy (O. brevirostris) yang hidup di perairan tawar dan payau sedang terancam punah. Berbagai ancaman dihadapi oleh populasi-populasi yang hidup di S. Mahakam, S. Ayeyarwady, S. Mekong, D. Songkhla dan D. Chilika. Satu populasi laut yang terisolasi di Selat Malampaya Pelawan Filipina juga terancam punah (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003; Smith et al. 2007).
Ancaman paling utama yang dihadapi lumba-lumba Irrawaddy yang terdapat di perairan tawar adalah kematian akibat terjerat jaring penangkap ikan/ jaring insang atau gillnet (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003). Beasley et al.
(2007) menyatakan bahwa 87% kematian yang terjadi setiap tahun di S. Mekong Kamboja pada periode 2001–2005 adalah akibat terperangkap di jaring semacam itu. Sedangkan di S. Mahakam, angkanya adalah 66% dari kematian pesut per tahun (Kreb et al. 2007). Pesut memang sering ditemukan sedang mencari makan di dekat jaring. Beberapa nelayan bahkan menggunakan pola mencari makan pesut sebagai indikator waktu dan lokasi untuk memasang jaring, sehingga resiko pesut terperangkap jaring semakin meningkat (Kreb & Susanti 2008).
Ancaman kematian lain datang dari kecelakaan akibat tertabrak alat transportasi sungai (Reeves et al. 2008). Di S. Mahakam kematian akibat tertabrak speed-boat adalah 4% dari seluruh kematian yang terjadi dari tahun 1995 -2007 (Kreb & Susanti 2008). Kematian sebelum atau saat dilahirkan dan akibat pembunuhan masing-masing terhitung sekitar 8% dari semua kasus kematian yang tercatat; kasus pembunuhan kebanyakan terjadi di daerah yang terisolasi dimana jarang ditemui lumba-lumba (Kreb & Susanti 2008).
Di S. Mahakam dan S. Ayeyarwady, ancaman juga terjadi dari aktivitas penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan listrik (penyetruman), racun dan jaring pukat (Smith & Mya 2007; Kreb & Susanti 2008). Teknik penangkapan ikan yang tidak selektif ini menyebabkan berkurangnya ikan yang menjadi pakan lumba-lumba Irrawaddy/pesut (Smith et al. 2007). Di samping itu, ancaman muncul dari kehilangan dan degradasi habitat. Ancaman ini muncul akibat pembangunan dam, penambangan emas dan batubara, sedimentasi sebagai akibat dari penebangan hutan di daerah tangkapan air, polusi kimiawi dari perkebunan dalam skala besar seperti kelapa sawit dan penggunaan bahan berbahaya dan be-racun (B3) dalam kegiatan pertambangan (Smith & Mya 2007; Beasley et al.
(31)
Upaya Konservasi Jenis
Secara global, salah satu langkah terpenting dalam upaya konservasi jenis O. brevirostris adalah memberinya status vulnerable atau rentan (Reeves et al. 2008) untuk mengingatkan dunia bahwa jenis ini sedang menghadapi risiko kepunahan yang tinggi di alam. Tiga populasi air tawar di S. Mahakam, S. Ayeryarwady dan S. Mekong, serta populasi air payau dan laut masing-masing di D. Songkhla dan Selat Malampaya bahkan sudah diberi status critically endangered atau sangat terancam punah (Smith 2004; Smith & Beasley 2004; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008; Reeves et al. 2008). Status kelangkaan bagi lumba-lumba Irrawaddy tersebut di atas ditentukan melalui serangkaian upaya survei sistematis di tiap-tiap lokasi sebarannya.
Sebagai konsekuensi dari status tersebut, berbagai strategi dan aksi telah direncanakan dan dilakukan. Salah satunya adalah upaya untuk mewujudkan kawasan perlindungan bagi populasi dan habitat satwa ini (Kreb et al. 2010). Di S. Ayeryarwady, Myanmar, satu kawasan perlindungan bagi O. brevirostris sudah ditetapkan dan 2 lokasi lagi diusulkan untuk ditetapkan (Mya & Aung 2010). Di S. Mahakam Indonesia, satu kawasan perlindungan habitat pesut mahakam yang terletak di wilayah Muara Pahu Kabupaten Kutai Barat telah ditetapkan dengan Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor 522.5.51/K.471/2009 tanggal 4 Juni 2009. Sementara itu, satu lokasi kawasan perlindungan habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara sedang dalam proses penetapan. Satu lagi kawasan perlindungan bagi lumba-lumba Irrawaddy terdapat di India, yaitu di D. Chilika. Status kawasan perlindungan ini adalah Situs Ramsar (Choudhury et al. 2010). Tiga lokasi di wilayah Sundarbans Bangladesh saat ini sedang diusulkan untuk ditetapkan sebagai kawasan perlindungan (Smith et al. 2010).
Selain upaya penetapan kawasan perlindungan bagi habitat dan populasi lumba-lumba Irrawaddy, berbagai langkah atau aksi telah disepakati oleh para penggiat konservasi jenis lumba-lumba ini (Smith & Reeves 2000; Kreb et al.
2010) yakni:
1. Mendorong masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan.
2. Memastikan agar pemanfaatan sumber daya perairan dan hutan tepian sungai berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat setempat.
3. Melarang dan menerapkan peraturan pelarangan penggunaan metode penangkapan ikan yang tidak selektif, termasuk rengge, rawai, bom ikan, racun, dan setrum.
4. Melaksanakan program pendidikan lingkungan, dengan fokus utama pada jenis perairan dan menjelaskan alasan pembentukan kawasan perlindungan. 5. Memastikan pelaksanaan undang-undang dan peraturan perlindungan cetacea
(dan satwa lain) yang menjadi tujuan pembentukan kawasan perlindungan. 6. Pemantauan kualitas air dan menerapkan standar resmi.
Mengatur penggunaan kapal bermotor, bahkan untuk kegiatan pelaksanaan undang-undang dan monitoring, karena dapat membahayakan cetacea dan satwa perairan lainnya.
(32)
3. KELIMPAHAN DAN SEBARAN POPULASI PESUT
MAHAKAM (
Orcaella brevirostris
Gray. 1866) DI
SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR
Pendahuluan
Lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella brevirostris Gray, 1866) yang hidup di perairan tawar sedang terancam punah karena populasinya yang kecil dan terisolasi, menghadapi berbagai macam tekanan yang mengancam kelestariannya (Reeves et al. 2003; Smith et al. 2003; Smith et al. 2007). Oleh karena itu, tiga populasi air tawar dari lumba-lumba ini sekarang berstatus critically endangered
atau sangat terancam punah (Smith 2004; Smith & Beasley 2004; Kreb & Budiono 2005; Jefferson et al. 2008; Reeves et al. 2008). Ketiga populasi tersebut adalah populasi S. Mahakam di Kalimantan, populasi S. Ayeryarwady di Myanmar dan populasi S. Mekong di Kamboja. Populasi lumba-lumba Irrawaddy di S. Mahakam Indonesia (pesut mahakam) sudah dilindungi Pemerintah Indonesia sejak tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 45/Kpts/Um/1/1975. Status perlindungan tersebut kemudian diperkuat melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pemberian status kelangkaan dan perlindungan terhadap pesut mahakam telah menyebabkan perhatian dan upaya-upaya konservasi jenis ini mengalami peningkatan. Jika pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an sangat memprihatinkan, maka sejak 1997, setelah serangkaian penelitian intensif dilakukan (Kreb 2004), perhatian dan upaya konservasi terhadap populasi pesut mahakam meningkat secara signifikan. Saat ini, status populasi dan bio-ekologi pesut mahakam sebagian besar sudah berhasil diungkap (Kreb 2004); kawasan perlindungan habitat pesut mahakam sudah ditetapkan di salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu (Kreb et al. 2010); monitoring populasi secara periodik telah dapat dilakukan (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011); dan yang tidak kalah pentingnya, sejak 2008 pesut mahakam ditetapkan sebagai spesies yang menjadi fokus dan prioritas upaya konservasi jenis di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008).
Pengelolaan populasi dan habitat secara intensif merupakan keharusan ketika suatu spesies mendapat prioritas untuk dilestarikan (Lamb et al. 2008). Dalam konteks pengelolaan yang intensif, pemahaman atas dinamika populasi menjadi sangat penting (Beasley 2007) untuk membantu pengelola keputusan yang tepat. Salah satu aspek populasi yang penting diketahui dan perlu diungkap paling dulu adalah jumlah individu atau kelimpahan populasi (Campbell 2002; Corkeron 2011). Kelimpahan populasi dari waktu-ke-waktu dapat menggambarkan kondisi habitat dan kecenderungan perkembangan populasi yang berguna bagi pengelola untuk membuat strategi pengelolaan (Gerber & Hatch 2002). Perkembangan populasi juga dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian anggota populasi. Oleh karena itu, jumlah individu yang lahir dan mati juga sangat penting diketahui.
(33)
Penghitungan jumlah individu pesut mahakam yang akurat dan dapat dipercaya telah dilakukan pada tahun-tahun 2005, 2007 dan 2010 (Kreb et al.
2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Hasilnya berturut-turut adalah 89, 90 dan 91 individu. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2011 terjadi kematian sebanyak 71 individu dengan rata-rata 4 individu per tahun. Sedangkan, kisaran jumlah individu yang lahir per tahunnya adalah 5-6 individu (Kreb 2004; Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011)
Tahun 2012, melalui penelitian ini, telah dilakukan kegiatan survei populasi untuk menduga jumlah individu, angka kelahiran dan kematian terkini pesut di S. Mahakam. Angka-angka parameter populasi tersebut selanjutnya digunakan dalam Analisis Kelangsungan Hidup Populasi untuk memprediksi peluang kepunahan/kelestarian pesut mahakam di masa depan dan membuat rencana-rencana untuk pengelolaan populasi dan habitatnya.
Suatu fenomena telah terjadi di S. Mahakam. Pesut mahakam kini sulit dan jarang dijumpai di daerah Muara Pahu–Penyinggahan (Kreb & Noor 2012), padahal daerah yang berada di Kabupaten Kutai Barat ini dikenal sebagai habitat inti (core area) pesut mahakam (Kreb et al. 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Fenomena ini telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti:
“Apakah telah terjadi perubahan dalam sebaran pesut mahakam?” atau “Kemana
pesut mahakam-pesut mahakam tersebut pindah?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, penelitian terhadap sebaran populasi pesut mahakam dilakukan.
Bahan dan Metode Bahan dan Alat
Identifikasi individu pesut dilakukan berdasarkan analisis foto sirip pung-gung. Oleh sebab itu, foto sirip punggung merupakan bahan yang sangat vital bagi penelitian ini. Pengambilan foto sirip dilakukan dengan menggunakan 3 buah kamera digital: Nikon D700s + Lensa 300mm/f4.0, Nikon D70s + Lensa70-300mm/f4-5.6 dan Nikon D300 + Lensa 24-120mm/f3.5-5.6. Ketiga kamera ter-sebut dioperasikan oleh 3 orang yang berbeda.
Alat lain yang sangat penting bagi penelitian ini adalah ces/ketinting yaitu perahu kecil yang dilengkapi mesin tempel berkekuatan 18 dan 20 PK. Penelitian ini juga menggunakan teropong binokuler dan GPS. Teropong binokuler Fujinon 7 X 50 dan Nikon 12 X 25 digunakan dalam proses pengamatan/pencarian pesut, sedangkan GPS 60 Garmin dipakai untuk menentukan posisi perjumpaan dengan pesut, trajektori pergerakan pesut dan trayek perjalanan survei.
Pengumpulan Data 1. Kelimpahan
Pendugaan jumlah individu pesut mahakam tahun 2012 dilakukan dengan menggunakan metode tangkap-tandai-dan tangkap kembali berdasarkan iden-tifikasi foto sirip punggung (Kreb et al. 2007; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Metode semacam ini telah diuji dan diterapkan pada beberapa populasi O. brevirostris seperti di S. Mahakam (Kreb 2004), S. Mekong (Beasley 2007) dan D. Chilika, India (Sutaria 2008) serta dianggap layak dan
(34)
direkomendasikan untuk digunakan menghitung dan menduga populasi pesut di S. Mahakam (Kreb et al. 2010).
Pengumpulan data untuk menghitung kelimpahan pesut mahakam dilakukan dengan menelusuri alur S. Mahakam dari Muara Kaman (± 188 km dari muara) sampai Laham (± 557 km dari muara), termasuk anak-anak sungainya (S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala, S. Belayan, S. Pela, S. Kedang Pahu dan S. Ratah) serta danau-danaunya yakni D. Semayang dan D. Melintang (Gambar 3.1). Penelusuran sungai dilakukan dengan menggunakan perahu motor kecil (ces/ketinting) yang bergerak dengan kecepatan antara 10–16 km/jam (rata-rata 13,6 km/jam).
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian (garis tebal hitam)
Alur sungai yang ditelusuri ditentukan berdasarkan data perjumpaan yang berasal dari survei-survei terdahulu (Kreb & Budiono 2005; Kreb & Susanti 2008; Kreb & Susanti 2011). Individu-individu di S. Ratah tidak termasuk dalam pengamatan karena kesulitan untuk mengarungi jeram-jeram S. Ratah dalam keadaan air rendah seperti saat survei ini dilakukan. Penelusuran S. Ratah hanya
dilakukan sampai Kampung Ma’au (10 km dari muara S. Ratah) dan data tentang keberadaan pesut di S. Ratah diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat.
Data dikumpulkan melalui 2 kali survei. Survei pertama disebut ‘penang
-kapan’ dan survei kedua disebut ‘penangkapan kembali’. Kedua survei dilakukan
pada saat kondisi/level air S. Mahakam rendah di musim kemarau. Survei pertama dilakukan pada 9 - 14 Juli 2012 dan survei kedua pada 10 - 18 September 2012. Total waktu kedua survei adalah 90,9 jam dan total panjang alur sungai yang ditelusuri adalah 1.274 km.
(35)
Observasi pesut pada kedua survei dilakukan oleh 3 orang pengamat. Dua pengamat memantau arah depan. Salah satunya berdiri dan menggunakan teropong binokuler. Satu pengamat lainnya, memantau arah belakang untuk memastikan tidak ada pesut yang luput dari pengamatan (Kreb 2004).
Dalam setiap survei, ketika terjadi perjumpaan dengan individu/kelompok pesut, semua individu “ditangkap dan ditandai” dengan cara mengambil foto sirip
punggungnya. Foto sirip punggung diambil secara “perpendicular” atau tegak
lurus bidang sirip (Kreb 2004; Beasley 2007; Sutaria 2009). Proses pengambilan foto sirip dilakukan sampai semua individu diyakini telah diambil foto siripnya. Pengamatan dan pengambilan foto sirip dari setiap perjumpaan rata-rata menghabiskan waktu selama 45 menit. Keseluruhan waktu yang telah dihabiskan untuk pengamatan dan pengambilan foto sirip pada semua perjumpaan selama survei populasi ini adalah 18,2 jam.
2. Sebaran
Data primer sebaran pesut diperoleh melalui kegiatan penelusuran dan pengamatan di S. Mahakam (beserta anak-anak sungai dan danaunya) selama rentang waktu Februari 2012 hingga Januari 2013, termasuk pada saat yang bersamaan dengan dua survei yang dilakukan untuk menduga kelimpahan. Total panjang alur sungai yang ditelusuri dan diamati untuk mengetahui sebaran pesut mahakam adalah 4.611,3 km. Wilayah studi sebaran pesut membentang dari Tenggarong (Kabupaten Kutai Kartanegara) di hilir hingga Laham (Kabupaten Kutai Barat) di hulu.
Kegiatan penelusuran dan pengamatan selama rentang waktu tersebut di atas mencatat 134 perjumpaan dengan pesut mahakam. Setiap perjumpaan direkam posisinya dengan menggunakan GPS. Koordinat semua lokasi perjumpaan yang terekam kemudian dipetakan untuk menentukan sebaran pesut mahakam. Penelitian ini, secara khusus telah merekam trajektori dari pergerakan 13 kelompok pesut untuk mengetahui jelajah hariannya. Koordinat hasil rekaman trajektori tersebut juga digunakan untuk memetakan sebaran pesut di S. Mahakam.
Untuk melengkapi peta sebaran pesut, informasi tentang perjumpaan pesut dari masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang jarang/kadang-kadang dikunjungi pesut, telah dikumpulkan.
3. Ukuran Kelompok dan Jarak Jelajah Harian
Ukuran kelompok adalah jumlah individu pesut mahakam yang tergabung dalam suatu kelompok. Ukuran kelompok diperoleh melalui identifikasi terhadap individu dalam kelompok-kelompok yang dijumpai selama penelitian berlangsung (Februari 2012–Januari 2013). Bahan utama bagi identifikasi individu adalah foto-foto sirip punggung yang diambil ketika terjadi perjumpaan dengan kelompok pesut. Seratus dua belas (112) kelompok telah dijumpai, baik melalui penjelajahan sungai dengan menggunakan perahu motor maupun melalui pengamatan dari pos observasi darat di 7 lokasi yakni Muara Kaman, Pela, Muara Muntai, Minta, Tering, Sebulu dan Tenggarong (lihat Land-base Observation di Bab 5).
Jarak jelajah harian pesut mahakam diukur dengan mengikuti pergerakan satu kelompok pesut mahakan selama hari terang (8–11 jam) dan merekam trayek jelajahnya dengan menggunakan GPS. Pergerakan kelompok diikuti dengan
(36)
menggunakan perahu motor kecil/ces dalam jarak ± 50 m dari kelompok agar pergerakan pesut tidak terpengaruh oleh kehadiran pengamat. Kecepatan perahu motor pengamat disesuaikan dengan kecepatan pergerakan pesut.
Angka Kelahiran dan Kematian
Angka kelahiran pesut mahakam pada tahun 2012 diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan selama periode Februari 2012 hingga Januari 2013. Adanya pesut yang lahir diidentifikasi melalui keberadaan bayi pesut yang
berumur kurang dari 1 tahun. Secara visual, kategori/kelas umur “bayi” untuk
pesut ditentukan oleh kriteria sebagai berikut (Kreb 2004): 1) panjang tubuh kurang dari separuh (< ½) rata-rata panjang individu dewasa, 2) hampir sepanjang waktu berada dekat sekali dengan induknya, dan 3) memperlihatkan cara berenang yang masih kikuk/kaku.
Jumlah pesut mahakam yang mati di tahun 2012 diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, wawacara dengan masyarakat, database Yayasan Kon-servasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) serta laporan masyarakat. Informasi tentang kematian pesut yang berasal dari wawancara, hanya diperhitungkan apabila informan bisa menyebutkan secara pasti tentang lokasi, waktu dan kronologis kejadian serta saksi-saksi yang menguatkan dan dapat dilacak keberadaannya.
Analisis Data
1. Identifikasi Individu
Proses terpenting dalam menentukan jumlah individu yang “tertangkap”
(baik pada survei pertama maupun kedua) adalah mengidentifikasi dan mengenali individu-individu untuk dapat membedakan satu dari yang lainnya. Identifikasi dilakukan melalui analisis dari ratusan foto sirip punggung yang diperoleh dari survei. Foto-foto yang digunakan dalam analisis adalah foto dengan kualitas tinggi yang memperlihatkan dengan jelas ciri-ciri khas sirip setiap individu (Gambar 3.2) seperti pola luka, tonjolan, lekukan, kurva dll (Kreb 2004) yang membedakannya dari individu lain. Analisis foto dilakukan oleh dua orang agar obyektivitas tetap terjaga. Untuk membantu proses identifikasi digunakan pula katalog foto individu pesut mahakam yang dimiliki oleh YK-RASI.
2. Pendugaan Jumlah Individu Populasi
Pendugaan jumlah individu populasi pesut mahakam dilakukan dengan
menggunakan metode Petersen yang didasarkan atas penerapan teknik “tangkap -tandai-tangkap kembali”. Dalam konteks ini, ‘penangkapan dan penandaan’ ber -arti mengambil foto sirip punggung pesut (=menangkap) dan mengidentifikasinya berdasarkan ciri spesifik sirip punggung (=menandai) agar bisa dibedakan dengan individu pesut lainnya.
Hasil identifikasi individu memberikan keluaran berupa jumlah individu yang “tertangkap”/teridentifikasi pada survei pertama (n1), jumlah individu yang
“tertangkap”/teridentifikasi pada survei kedua (n2), serta jumlah individu yang tertangkap pada survei pertama dan tertangkap kembali pada survei kedua (m).
(37)
Gambar 3.2. Berbagai ciri-ciri sirip yang membedakan individu-individu pesut mahakam
Angka-angka tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan Chapman (eq.1) [Sutherland 2006] untuk menduga jumlah individu populasi pesut mahakam yang ada pada tahun 2012 (N).
–
……. (eq.1)
Selanjutnya, batas-batas kepercayaan terendah dan tertinggi atau selang kepercayaan 95% (CL1,2) dan koefisien variabel (CV) jumlah individu dugaan dihitung dengan persamaan-persamaan matematis berikut ini:
………. (eq.2)
√
……… (eq.3)
(38)
√
……… (eq.4)
dan,
……… (eq.5)
3. Analisis Sistem Informasi Geografi
Sebaran pesut ditentukan berdasarkan koordinat lokasi perjumpaan dan trayek pergerakan kelompok pesut yang terekam dalam GPS. Data tersebut dianalisis dengan bantuan program komputer ArcView GIS v3.2 untuk mem-peroleh peta sebaran.
4. Analisis Statistik Deskriptif dan Inferensial
Data jumlah individu dari semua kelompok yang dijumpai selama penelitian dan jarak pergerakan harian 13 kelompok dianalisis dengan statistik deskriptif untuk memperoleh nilai rata-rata (mean), keragaman (varian) dan simpangan baku/standar deviasinya. Nilai rata-rata jumlah individu kelompok dan jarak jelajah pesut dari dua masa yang berbeda, yakni dari periode 2000–2002 (Kreb 2004) dan sekarang (hasil penelitian ini), dianalisis dengan uji beda dua rata-rata (z-test).
Hasil Kelimpahan
Survei pertama (“penangkapan”) mencatat 11 kali perjumpaan dengan kelompok pesut. Empat perjumpaan terjadi di S. Kedang Rantau, satu perjum-paan di S. Kedang Kepala dan enam perjumperjum-paan di S. Mahakam (Muara Kaman, Kotabangun dan Sebemban). Berdasarkan foto-toto sirip diidentifikasi (ditandai) 48 individu yang berbeda. Angka 48 ini merupakan variabel n1 dalam perhitungan pendugaan jumlah individu pesut.
Survei kedua mencatat 13 perjumpaan dengan kelompok pesut. Tujuh kali perjumpaan terjadi di S. Mahakam. Perjumpaan lainnya terjadi di S. Kedang Rantau (3 perjumpaan), S. Pela (2 perjumpaan) dan S. Belayan (satu perjumpaan). Dua perjumpaan di S. Mahakam tidak berhasil memperoleh foto sirip karena pengamat kehilangan jejak kelompok ini. Namun demikian, dari 11 perjumpaan lainnya berhasil diidentifikasi (ditandai) 35 individu pesut yang berbeda. Dengan demikian, nilai bagi variabel n2 dalam persamaan eq.1 adalah 35. Analisis silang hasil identifikasi dari kedua survei mengungkapkan bahwa ada 18 individu yang teridentifikasi (tertangkap) baik pada survei pertama maupun survei kedua.
Dengan menggunakan nilai 18 untuk variabel ‘m’ pada persamaan eq.1, diduga
jumlah populasi pesut di S. Mahakam pada tahun 2012 adalah sebanyak 92 individu (CV = 15%; selang kepercayaan 95% = 72–130).
(39)
Sebaran
Penelitian ini mencatat 132 perjumpaan dengan pesut mahakam. Di alur utama S. Mahakam, perjumpaan terjadi antara Rantau Empang di hilir (178 km dari muara) hingga Muara Pahu di hulu (330 km dari muara) [Gambar 3.3]. Perjumpaan terbanyak (107 kali) terjadi di wilayah Pela–Muara Kaman (Kabupaten Kutai Kartanegara), yang merupakan salah satu daerah utama sebaran dan core area pesut (Kreb 2004).
Gambar 3.3. Sebaran pesut mahakam tahun 2012 (arsir warna jingga); Bulatan merah menunjukkan dua habitat inti (core area) pesut mahakam sebelum terjadi perubahan sebaran dan perpindahan pesut dari Muara Pahu
Frekuensi perjumpaan yang cukup banyak (18 kali) di alur utama S. Mahakam juga terjadi di wilayah Muara Muntai. Daerah ini sekarang menjadi lebih sering digunakan dan ditinggali oleh pesut mahakam. Hasil wawancara dengan masyarakat di Muara Muntai dan sekitarnya mengkonfirmasi hal tersebut.
Land-base observation yang dilakukan selama penelitian ini juga mengungkapkan bahwa frekuensi dan durasi perjumpaan serta jumlah individu yang terlihat di Muara Muntai, baik pada level air rendah maupun air sedang, lebih tinggi dari daerah Muara Pahu–Penyinggahan (Kabupaten Kutai Barat) yang selama ini dianggap sebagai salah satu dari dua daerah sebaran utama pesut (core area). Di daerah Muara Pahu–Penyinggahan sendiri, penelitian ini hanya sekali mencatat perjumpaan langsung. Beberapa perjumpaan langsung juga tercatat di Kutai Barat di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan dengan Kutai Kartanegara seperti Loa Deras-Bakung dan Minta.
(40)
Perjumpaan dengan pesut mahakam juga sering terjadi di anak-anak S. Mahakam yang besar seperti S. Kedang Rantau, S. Kedang Kepala, S. Belayan dan S. Pela (alur sungai yang menghubungkan S. Mahakam dengan D. Semayang). Di S. Kedang Rantau, ketika permukaan air sedang, pesut mahakam bahkan bisa dijumpai di anak sungainya, yakni S. Sabintulung.
Keberadaan pesut mahakam di anak-anak sungai, pada level air rendah dan sedang, umumnya tidak sampai jauh ke bagian hulu. Titik terjauh di S. Kedang Rantau dimana perjumpaan pesut tercatat pada tahun 2012 adalah Tunjungan (22,3 km dari muara). Di S. Kedang Kepala, catatan perjumpaannya adalah sampai Muara Siran (6,7 km dari muara), tempat dimana alur sungai kecil dari D. Siran bermuara. Di S. Belayan, pengamatan tahun 2012 mencatat perjumpaan terjauh adalah sekitar 13,12 km dari muaranya di S. Mahakam, yakni di satu lokasi yang berada antara Sebelimbingan dan Muhuran. Di S. Pela, pesut tercatat hingga D. Semayang (4 km).
Selain perjumpaan langsung, penelitian ini juga mencatat laporan/informasi dari masyarakat tentang keberadaan pesut di luar daerah yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 2012, pesut dilaporkan beberapa kali terlihat di Sebulu dan Tenggarong. Di tahun-tahun sebelumnya, catatan perjumpaan di daerah-daerah tersebut sangat sedikit. Pada saat level air relatif tinggi, pesut mahakam dilaporkan terlihat di Desa Semayang dan Desa Melintang. Lebih jauh ke hulu, pesut dilaporkan terlihat di sekitar Melak, Long Iram dan Laham, pada periode level air sedang di S. Mahakam. Selain perjumpaan langsung, penelitian ini juga mencatat laporan/informasi dari masyarakat tentang keberadaan pesut di luar daerah yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 2012, pesut dilaporkan beberapa kali terlihat di Sebulu dan Tenggarong. Di tahun-tahun sebelumnya, catatan perjumpaan di daerah-daerah tersebut sangat sedikit.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang tinggal di S. Ratah, diduga 4-5 ekor pesut yang terperangkap di antara jeram-jeram sungai ini sejak 1998 masih berada di sana. Survei monitoring populasi pesut tahun 2007 (Kreb & Susanti 2008) mengungkapkan bahwa pesut-pesut di S. Ratah terlihat di dua tem-pat, yakni di lokasi yang berada 20 dan 100 km dari muaranya. Namun demikian,
wawancara dengan masyarakat kampung Ma’au mengungkapkan bahwa
kelompok yang tadinya berada di hilir telah berpindah lebih jauh ke hulu.
Untuk memperkuat dugaan tentang perubahan sebaran pesut, Land-base observation telah dilakukan di tujuh lokasi di S. Mahakam (lihat Bab 5; hasil penelitian tentang Nilai Penting Habitat). Hasil observasi tersebut mengungkap-kan bahwa dalam pengamatan sepanjang siang hari (07.00–18.00 WITA) di Muara Pahu selama 5 hari berturut-turut (55 jam) baik di level air rendah maupun sedang, hanya ada 1 perjumpaan (1 kelompok, 3 individu) yang terlihat dan teridentifikasi berada di daerah ini. Sementara itu, di daerah lainnya yakni Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman, dalam jangka waktu pengamatan yang sama, frekuensi kemunculan pesut, berturut-turut adalah 10, 45 dan 47 kali.
Ukuran Kelompok dan Jarak Jelajah Harian
Seratus tiga belas (n = 113) kelompok telah dijumpai selama penelitian ini. Kelompok terkecil terdiri atas 2 individu, sedangkan yang terbesar 32 individu. Kelompok 32 individu pesut mahakam yang terlihat di S. Kedang Kepala adalah kelompok terbesar yang pernah tercatat selama ini. Rata-rata jumlah individu
(1)
Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Danielle Kreb
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
27 ObM-27 Muara Pahu, Kedang Rantau,
Kedang Kepala,
25 ObM-25 Bukit Jering, Pela, Kedang Rantau
26 ObM-26 Bukit Jering, Pela, Kedang Kepala
23 ObM-23
Kedang Kepala, Belayan, Kedang Rantau, Muara Muntai,
Murunan, Bukit Jering
24 ObM-24 Kedang Rantau
21 ObM-21 Pela, Kedang Rantau, Kedang
Kepala, Muara Muntai
22 ObM-22 Kotabangun, Kedang Kepala,
Kedang Rantau, Pela
20 ObM-20 Pela, Kotabangun, Muara Muntai
(2)
Lampiran 3. (Lanjutan)
Kanan Kiri
Foto: Danielle Kreb
Foto: Danielle Kreb
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor
Foto: Danielle Kreb
Foto: Danielle Kreb Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
36 ObM-36 Bukit Jering, Kotabangun
34 ObM-34 Kedang Rantau
35 ObM-35 Pela, Muara Muntai
32 ObM-32 Kedang Kepala, Pela,
Kotabangun, Kedang Rantau
33 ObM-33 Bukit Jering, Murunan, Pela
30 ObM-30 Kedang Rantau, Muara Muntai,
Kotabangun
31 ObM-31 Kotabangun, Kedang Kepala, Pela
28 ObM-28 Kedang Kepala
29 ObM-29 Kedang Kepala
(3)
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor
Foto: Danielle Kreb
Foto: Danielle Kreb
Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Syachraini Foto: Danielle Kreb
45 ObM-45 Kedang Kepala, Kotabangun
43 ObM-43 Batuq, Muara Muntai
44 ObM-44 Kedang Rantau
41 ObM-41 Loa Deras, Bakung
42 ObM-42 Batuq, Pela
39 ObM-39 Loa Deras, Bakung
40 ObM-40 Loa Deras, Bakung
37 ObM-37 Muara Muntai, Batuq, Pela,
Belayan, Kedang Rantau,
(4)
Lampiran 3. (Lanjutan)
Kanan Kiri
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
Foto: Danielle Kreb
Foto: Ivan Y Noor Foto: Ivan Y Noor
46 ObM-46 Kedang Rantau
No. Identitas Foto Sirip Lokasi Perjumpaan
50 ObM-50 Muara Muntai, Kotabangun,
Kedang Rantau
47 ObM-47 Kuyung
48 ObM-48 Kedang Rantau
(5)
(6)
RIWAYAT HIDUP
IVAN YUSFI NOOR, lahir di Bogor tanggal 23 Juli 1967, adalah anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Drs. Usman Noor (Alm) dan Ibu Rosniar. Tahun 1986 menamatkan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 1 Bogor. Tahun 1986, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus sarjana kehutanan pada tahun 1992.
Tahun 1996 penulis menikah dengan Herlina Puspa Dewi, S.Pd binti H. Soehartoyo dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Primadevan Pascaharchana Noor pada tahun 2001. Tahun 1999, penulis memperoleh tugas belajar S2 di IPB dari Kementarian Kehutanan melalui beasiswa ITTO. Program studi yang dipilih untuk studi S2 adalah Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Gelar Magister Sains diperoleh tahun 2002. Tahun 2008 penulis kembali mendapat beasiswa dari Kementerian Kehutanan untuk menempuh pendidikan S3 di IPB pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Untuk menyelesaikan studi S3, penulis melakukan penelitian disertasi berjudul RE-DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM (Orcaella
brevirostris Gray, 1866) BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI
MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR dibawah bimbingan Prof.Dr. Ir. Sambas Basuni, MS (ketua), Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si (anggota) dan Danielle Kreb, Ph.D (anggota)
Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan sejak tahun 1993. Tahun 1993– 1999, penulis ditempatkan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) V Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tahun 1999-2002, tugas belajar S2 di IPB. Promosi jabatan tahun 2002 untuk memangku jabatan Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Tenggarong pada BKSDA Kalimantan Timur hingga tahun 2007. Tahun 2007 mutasi jabatan menjadi Kepala Seksi Pemolaan pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Jakarta. Tahun 2008-2013 penulis mendapat tugas belajar pada program S3 di IPB.