PEMBAHASAN UMUM Biosistematika Mangga Di Indonesia Biosistematika Mangga Di Indonesia

IV. PEMBAHASAN UMUM

Kajian Biosistematika mangga Indonesia meliputi tinjauan status dan kedudukan taksonomi Mangifera laurina Bl. dan kerabat dekatnya yang terdiri atas M. aplanata Kosterm., M. rubropetala Kosterm., M. lalijiwa Kosterm., dan M. indica L, serta hubungan filogenetiknya, keanekaragaman genetik kultivar mangga Indonesia dan taksonomi budidaya kultivar mangga dalam praktek. Plastisitas morfologi yang besar di antara mangga dan kerabat dekatnya menjadi penyebab batasan jenis sering diperdebatkan. Penelitian ini mengurai kembali konsep jenis Kostermans Bompard 1993 dan Kochummen 1996 yang membuat batasan jenis berdasarkan ciri morfologi dan meninjau status jenis M. laurina dan kerabat dekatnya dengan penanda morfologi dan E-RAPD. Selain spesimen yang telah diperiksa sebelumnya oleh Kostermans dan Bompard 1993, juga dilakukan pengamatan terhadap spesimen lain sebanyak 400 nomor koleksi yang berasal dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Selain menggunakan data ciri morfologi, juga menggunakan data DNA sitoplasmik cpDNA trnL-F intergenic spacer untuk menganalisis hubungan filogenetik M. laurina dan kerabat dekatnya. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menghasilkan batasan jenis yang lebih jelas dan mantap, diketahuinya hubungan kekerabatan dan nenek moyang mangga Indonesia, menganalisis keanekaragaman genetik dan hubungan kekerabatan kultivar mangga Indonesia berdasarkan penanda RAPD, menyediakan sistem rujukan yang efektif bagi pengelompokan kultivar mangga dengan tersedianya deskripsi lengkap, kunci identifikasi yang baik dan efektif, menyediakan data dasar bagi pemulia tanaman mangga, dan merekomendasikan kultivar yang potensial untuk dikembangkan. Informasi yang lengkap mengenai keanekaragaman kultivar mangga Indonesia memudahkan dalam menyusun kebijakan dan pelaksanaan konservasinya. Status Taksonomi M. laurina dan Kerabatnya Pengamatan bentuk tajuk, bentuk daun, bunga, dan buah pada koleksi M. laurina dan kerabat dekatnya yang terdapat di Herbarium Bogoriense dan hasil eksplorasi dari lapangan memperlihatkan M. laurina dikategorikan sebagai jenis yang berbeda dengan M. indica, M. lalijiwa, dan M. aplanata. Berdasarkan ciri morfologi M. laurina dan M. indica membentuk kelompok parafiletik. Dimana pada kelompok M. laurina masih tercampur beberapa kultivar anggota M. indica seperti ‘Golek’ dan ‘Kiyal’. Diduga M. laurina adalah bentuk liar dari M. indica karena banyak ciri yang dimiliki oleh M. laurina baik ciri morfologi maupun DNA juga dimiliki oleh M. indica seperti sifat ciri bentuk daun dan bentuk buah. Namun demikian, ciri diagnostik dari penanda morfologi yang dimiliki oleh masing-masing jenis seperti struktur bunga yang kompak glomerulate, adanya rambut pada organ bunga dan perbungaan puberolous pada M. indica, serta bunga tidak kompak non glomerulate dan tidak adanya rambut glabrous pada M. laurina merupakan ciri yang cukup kuat untuk membedakan kedua jenis ini. Kombinasi penanda E-RAPD dan morfologi mendukung pemisahan M. laurina terhadap kerabat dekatnya seperti pengelompokan berdasarkan penanda morfologi. Oleh karena itu, pendapat Konstermans Bompard 1993 yang menyatakan M. laurina merupakan jenis yang berbeda dapat diterima. Pada penelitian ini selain menggunakan spesimen yang telah diperiksa oleh Kostermans Bompard 1993, juga digunakan 250 nomor koleksi hasil eksplorasi Wirawan dan Ismail di Sulawesi Selatan 1993 serta 150 nomor koleksi baru dari Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Maluku. Dengan bertambahnya spesimen dan ciri yang diperiksa memungkinkan merekam keseluruhan cakupan variasi yang ada. Ciri kunci perhiasan bunga nyata, berdaging, kaku dan perubahan warna perhiasan bunga setelah antesis yang digunakan Kostermans Bompard 1993 tidak dapat digunakan sebagai ciri diagnostik untuk membedakan jenis. Ciri tersebut bersifat kontinyu karena ditemukan gradasi warna perhiasan bunga setelah antesis mulai dari kuning, merah muda, merah, hingga merah tua. Implikasinya, M. rubropetala tidak dapat dikategorikan sebagai jenis baru yang terpisah dari M. indica seperti diungkapkan oleh Kosterman Bompard 1993, sehingga status M. rubropetala diubah menjadi sinonim M. indica. Mangga Depeh yang berasal dari Jungkat, Pontianak Kalimantan Barat merupakan jenis M. aplanata yang mempunyai ciri di luar batasan M. indica yaitu bentuk buah yang berukuran kecil dan pipih dengan jumlah kelipatan organ bunga yang berbeda kelipatan 4 dengan M. indica, sehingga mendukung Konstermans Bompard 1993 yang menjadikannya jenis baru dan berbeda dari M. indica. Selanjutnya, penanda E-RAPD juga mampu membedakan M. aplanata dengan kerabat dekatnya yaitu dengan terdapatnya lima pita pembeda yang hanya dijumpai pada jenis ini Fitmawati et al. 2006. Artinya, perbedaan yang diperlihatkan oleh ciri morfologi sejalan dengan ciri genetiknya. Perbedaan pita DNA hasil amplifikasi, terutama jumlah dan ukuran pita sangat berperan dalam menentukan tingkat keanekaragaman genetik antar jenis. M. lalijiwa mempunyai ciri morfologi dan DNA yang berbeda dengan kerabat lainnya, sehingga cukup kuat untuk memisahkannya dengan kerabat lainnya. Ciri yang membedakannya dari jenis kerabatnya adalah bentuk tajuk membulat, kulit batang yang berwarna coklat kehitaman, warna daun hijau tua membiru, ukuran organ bunga lebih besar dari jenis lainnya, bentuk buah bulat lonjong yang khas. Sejalan dengan ciri morfolgi, penggunaan ciri molekuler dengan penanda E-RAPD juga memperlihatkan M. lalijiwa dan tiga kultivarnya mengelompok secara monofiletik dan terpisah dari kerabat lainnya. Dengan demikian M. lalijiwa dapat diterima sebagai jenis baru dan endemik Pulau Jawa seperti yang dikemukakan Konstermans Bompard 1993. Kochummen 1996 tidak mengakui pembagian jenis M. laurina dan kerabatnya seperti yang dibuat oleh Kostermans dan Bompard 1993. Selanjutnya jenis-jenis tersebut hanya merupakan variasi M. indica dan diklasifikasikan sebagai sinonim M. indica. Pada penelitian ini ciri morfologi dan DNA M. laurina dan kerabatnya yang diperiksa Kochummen di Borneo menunjukkan bahwa M. laurina dan kerabatnya terdiri atas beberapa jenis, sehingga pendapat yang menyatakan M. laurina dan M. aplanata hanya merupakan varian dan dijadikan sinonim M. indica tidak dapat diterima. Studi Filogenetik Mangifera laurina dan Kerabat Dekatnya Menggunakan Penanda cpDNA trnL-F Intergenik Spacer Penanda cpDNA yang bersifat konservatif digunakan menelusuri hubungan kekerabatan mangga dan menentukan jenis yang diduga sebagai nenek moyang mangga yang ada saat ini. Perubahan cpDNA dalam waktu lama dapat direkam karena perubahan basa di tingkat sitoplasmik lebih lambat dibanding DNA inti. DNA kloroplas menyediakan informasi tentang rekonstruksi filogeni antar taksa pada tingkat famili tumbuhan berbunga Kajita et al. 1998. Salah satu penanda cpDNA yang dewasa ini banyak digunakan adalah trnL-F intergenic spacer. Daerah region ini merupakan bagian dari genom cpDNA yang bersifat nonkoding dan daerah ini lebih bervariasi dibanding daerah koding sehingga lebih sesuai digunakan dalam mengungkap hubungan evolusi pada tingkat taksa yang lebih rendah Bayer et al. 2000; Alejandro et al. 2005, Barfuss et al. 2005, Shaw et al. 2005. Selain itu, informasi evolusi mangga yang diungkap dengan penanda trnL-F intergenic spacer bermakna untuk memprediksi tetua bersama dari mangga yang ada di Indonesia saat ini. Pohon filogeni mangga membentuk kelompok monofiletik atau berasal dari nenek moyang yang sama. Pada kelompok ini mangga Hiku M. laurinaHK yang merupakan mangga liar asal Sulawesi Tenggara berada pada pangkal klade percabangan dan berpisah dari anggota kelompok lainnya atau pada tingkat evolusi yang lebih primitif. Mangga Hiku M. laurinaHK mempunyai klade terpanjang, dimana ukuran panjang klade diasumsikan sebagai waktu munculnya lebih dahulu dibanding kerabat lainnya, sedangkan mangga Kiyal diduga merupakan mangga pada tingkat evolusi yang paling maju karena muncul kemudian. Panjang tangkai klade menggambarkan jarak sekuen dan konsiderasi umur molekuler molecular clock. Dengan demikian, mangga Hiku merupakan aksesi dengan umur molekuler yang lebih kuno sebagai moyang bersama dari M. laurina dan kerabatnya. Morfologi buah mangga Hiku lebih memperlihatkan sifat ciri yang lebih primitif dibanding Mangifera lainnya. Bentuk buah mirip dengan M. indica tetapi memiliki rasa yang sangat asam, berserat kasar, daging buah berwarna kuning muda dan perkecambahannya bersifat poliembrioni. Dengan ditemukannya kerabat liar M. laurina dan kerabat dekatnya terutama yang bersifat poliembrioni di Sulawesi, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai pusat persebaran M. laurina. Pusat persebaran tanaman dicirikan dengan tingginya keanekaragaman tanaman di lokasi tersebut dan ditemukannya kerabat liar. Keanekaragaman Kultivar Mangga Indonesia Berdasarkan Penanda Morfologi dan RAPD Hasil analisis keanekaragaman kultivar mangga dengan penanda morfologi, RAPD dan kombinasi kedua penanda juga menunjukkan keanekaragaman genetik yang tinggi. Variasi yang diterangkan oleh penanda morfologi lebih besar dibanding variasi yang dapat diterangkan oleh penanda RAPD pada tingkat DNA. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh lingkungan yang lebih dominan dari pada pengaruh genetik Allard 1960. Sifat morfologi merupakan ekspresi fenotip dari individu dan populasi, diregulasi dan ditentukan oleh gen dan interaksinya dengan lingkungan. Sifat-sifat morfologi ini dapat berupa sifat kualitatif maupun kuantitatif, dimana tipe dan aksi gen yang berperan berbeda. Sifat yang memiliki tanggap lingkungan yang tinggi dinyatakan sebagai sifat kurang stabil, sebaliknya sifat tanaman yang stabil akan terekspresikan sama pada berbagai lingkungan tumbuh. Bradshaw 1965, mengemukakan tanggap diferensial lingkungan disebabkan oleh keplastisan fenotip. Rentang keplastisan fenotip berbanding terbalik dengan homosigositas genetik kultivar. Kultivar dengan taraf homosigositas tinggi bersifat kurang plastis dan sebaliknya varietas dengan taraf heterosigositas tinggi akan sangat plastis terhadap lingkungan beragam Schlichting Levin 1984. Jarak genetik menentukan keberhasilan dalam proses hibridisasi, semakin besar jumlah dan keanekaragaman anggota koleksi akan memberikan peluang yang semakin besar untuk melakukan persilangan. Sebaliknya, jumlah aksesi yang besar tanpa evaluasi yang mendalam akan mengurangi efisiensi pemanfaatan plasmanutfah itu sendiri, dan memerlukan biaya pengelolaan yang besar. Studi kekerabatan antar aksesi mangga dan kerabatnya akan membantu mengurangi duplikasi antar aksesi yang seharusnya dilestarikan dan dapat membantu pemilihan kombinasi tetua persilangan pada kelompok tanaman. Berdasarkan analisis DNA RAPD pengelompokan kultivar mangga tidak menunjukkan duplikasi aksesi, sehingga untuk menjaga keseluruhan sifat ciri yang ada, maka semua aksesi perlu dikonservasi untuk kelestariannya. Keanekaragaman genetik mangga Indonesia yang tinggi merupakan sumber plasmanutfah potensial bagi program pemuliaan untuk menghasilkan mangga unggul. Pengelolaan plasmanutfah mangga akan efektif dan efisien bila tercirikan dan teridentifiksi secara akurat, sehingga dihasilkan suatu sistem pengelompokan yang memiliki batasan yang jelas dan dapat dipakai sebagai rujukan bagi pemulia, petani dan pengusaha. Hal ini juga terkait dengan hak kekayaan intelektual dan perjanjian perdagangan Anand 2000, melindungi kultivar mangga Indonesia dari pembajakan dan menjamin keaslian tanaman yang diperjualbelikan true to type. Analisis keanekaragaman mangga Indonesia berdasarkan penanda morfologi dan RAPD yang telah dilakukan sebelumnya belum secara tegas mengelompokkan kultivar mangga sesuai dengan ciri-ciri agronomi yang dimiliki masing-masing kultivar. Dilain pihak, masyarakat pengguna buah mangga yang berpatokan pada ciri agronomi membutuhkan klasifikasi yang lebih jelas sehingga penamaan, sortasi, dan seleksi dapat menjadi lebih pasti. Kepastian berdasarkan ciri agronomi ini sangat penting dalam pengelolaan dan bisnis buah mangga. Karena itu, dilakukan pengklasifikasian tersendiri yang menghasilkan pengelompokan kultivar mangga berdasarkan ciri agronomi terutama ciri buah yang dikenal secara luas dan khas. Taksonomi Mangga Budidaya Indonesia Dalam Praktek Berdasarkan ciri agronomi 84 kultivar mangga Indonesia dapat dikelompokkan atas delapan kelompok utama yaitu; Berem, Madu, Gedong, Golek, Bapang, Arumanis, Kepodang dan Kebo, tujuh belas kelompok kultivar dan 84 kultivar. Berdasarkan morfologi buah, juga diperoleh sejumlah sinonim dan homonim dalam penamaan kultivar mangga. Sinonim adalah nama yang berbeda pada kultivar yang sama, sebaliknya homonim adalah nama yang sama mengacu pada kultivar berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh bahasa daerah dan lokasi tempat tumbuh, sehingga memunculkan sejumlah sebutan yang berbeda, seperti kultivar ‘Lalijiwo’ Jawa Tengah sama dengan ‘Thaber’ dan ‘Tabar’ Madura, ‘Gurih’ Jawa Timur. Kultivar ‘Indramayu’ sama dengan kultivar ‘Cengkir’. Kultivar ‘Arumanis’ sama dengan ‘Gadung’. Homonim yang dijumpai adalah pada kultivar ‘Kates277’ adalah anggota kelompok utama Golek, sedangkan kultivar ‘Kates’ adalah anggota kelompok utama Arumanis. Kultivar ‘Nanas93’ anggota kelompok utama Madu berbeda dengan ‘Nanas71’ anggota kelompok utama Bapang. Berdasarkan pengamatan terhadap sifat ciri dan adanya bentuk peralihan sifat ciri, diduga kelompok utama ini merupakan hasil persilangan jenis induk yang berbeda. Kostermans Bompard 1993 menggolongkan kelompok kultivar Lalijiwo, yang terdiri atas kultivar ‘Lalijiwo’, ‘Thaber’, ‘Durih’ dan ‘Tabar’ ke dalam anggota jenis M. lalijiwa. Kultivar ‘Madu’ juga anggota M. lalijiwa namun kelompok kultivar Madu, yang terdiri dari kultivar ‘Madu Sengoro’, ‘Madu65’, ‘Madu67’, ‘Dudul’ dan ‘Kidang Kweni’ memiliki ciri yang juga dimiliki kelompok utama Gedong dan kelompok utama Golek yang merupakan kultivar yang tergolong ke dalam M. indica. Diduga anggota kelompok ini merupakan hybrid antara ke-2 jenis M. indica dan M. lalijiwa. Kelompok Utama Bapang, secara morfologi memperlihatkan sifat ciri peralihan antara kelompok utama Golek dengan kelompok utama Arumanis. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif singkat 10 tahun terakhir telah muncul varian- varian mangga baru yang merupakan perpaduan dari berbagai kultivar. Terdapat buah dengan morfologi yang mirip tetapi dengan rasa dan aroma yang jauh berbeda, misalnya mangga yang mirip ‘Arumanis’, ‘Cengkir’, dan ‘Golek’. Kenyataan ini menggambarkan bahwa proses evolusi dalam tanaman budidaya mangga berjalan cukup cepat yang bertanggungjawab memperkaya keanekaragaman genetik mangga Indonesia. Potensi keanekaragaman genetik mangga Indonesia yang luas sebagai modal penting dalam pemuliaan tanaman. Diketahui bahwa setiap kelompok kultivar memiliki rentang sifat ciri ideotype di antara anggota kelompoknya. Sifat ciri yang dimiliki oleh kultivar budidaya maupun kerabat dekatnya dimanfaatkan untuk merakit kultivar baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar ideotype. Misalnya, kultivar ‘Arumanis’ ideotype dapat dirakit dengan kualitas yang sudah ada saat ini, tetapi dengan warna yang lebih menarik kuning, jingga tua atau merah. Warna tersebut dapat diekstraksi dan difiksasi dari kultivar ‘Delima’ yang mempunyai kulit buah masak jingga-ungu dan juga merupakan anggota kelompok Arumanis, karena warna kulit masak hijau pada ‘Arumanis’ dianggap merupakan ciri yang kurang disukai konsumen terutama untuk tujuan ekspor. Kelompok kultivar Madu merupakan tanaman yang sudah teruji sebagai sumber batang bawah yang baik karena mempunyai perakaran yang baik dan kompatibel dengan berbagai kultivar batang atas, disamping kultivar ‘Madu’ dapat juga digali keunggulan rasa buahnya. Di Kalimantan Barat, didapatkan empelam mangga yang mampu tumbuh berproduksi normal di daerah rawa dan di pinggir sungai. Diduga mangga tersebut mempunyai mekanisme ketahanan terhadap genangan air yang dikendalikan oleh gen tertentu dalam tanaman. Potensi ini dapat didayagunakan sebagai batang bawah di daerah dengan curah hujan tinggi maupun tergenang seperti di Pulau Sumatera tetapi dengan batang atas yang mempunyai rasa lebih baik seperti kultivar ‘Arumanis’ Kultivar ‘Arumanis’ yang dikenal umum sebagai mangga ‘Arumanis’, atau ‘Gadung’ merupakan kultivar terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Arumanis mempunyai rasa manis, serat halus, kadar air sedang, aroma harum, dan warna daging buah kuning sampai jingga, tetapi warna kulit buah masak hijau. Standar mutu yang dimiliki memenuhi standar mutu konsumen internasional. Sebagai tanaman asli Asia Tenggara mangga ‘Arumanis’ memiliki perkecambahan poliembrioni. Potensi poliembrioni ini dapat digunakan menghasilkan bibit yang sama baiknya dengan induk. Saat ini dikembangkan mangga ‘Arumanis’ dengan ukuran kecil 200 grambuah, biji yang tidak berkembang cherry mango yang kemungkinan berasal dari bibit poliembrioni. Strategi pemuliaan mangga sebaiknya diarahkan untuk menghasilkan kultivar unggul yang true to type. Strategi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi poliembrioni tanaman tetua unggul atau dengan perbanyakan secara vegetatif konvensional maupun dengan pemanfaatan kultur jaringan. Bibit yang dihasilkan diasumsikan sama dengan tetua unggulnya.

V. SIMPULAN UMUM