GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

LINGKUNGAN FISIK Letak Geografis Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 208.657,74 km 2 meliputi wilayah daratan seluas 198.441,17 km 2 dan wilayah laut 10.216,57 km 2 . Wilayah ini terletak antara 113 °44 Bujur Timur dan 119°00 Bujur Timur serta diantara 4°24 Lintang Utara dan 2°25 Lintang Selatan. Topografi kawasan ini bervariasi dari hutan dataran rendah hingga kawasan pegunungan di bagian utara propinsi Anonim, 2006. Kabupaten Kutai Barat dengan Ibukota Sendawar merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kutai yang telah ditetapkan berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1999. Dengan luas sekitar 31.628,70 km 2 atau kurang lebih 15 dari luas Propinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kabupaten Kutai Barat terletak antara 113°4505 sampai 116°3119 Bujur Timur serta diantara 1°3135 Lintang Utara dan 1°1016 Lintang Selatan. Wilayah yang menjadi batas Kabupaten Kutai Barat adalah Kabupaten Malinau dan Negara Serawak Malaysia Timur di sebelah Utara, Kabupaten Kutai Kertanegara di sebelah Timur, Kabupaten Pasir di sebelah Selatan dan untuk sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Barat Anonim, 2007. Daerah Kabupaten Kutai Barat didominasi topografi bergelombang, dari kemiringan landai sampai curam dengan kemiringan antara 0-60 persen dengan ketinggian berkisar 0-1500 meter dari permukaan laut. Daerah dataran rendah pada umumnya dijumpai di kawasan danau dan kawasan sepanjang sungai DAS. Sedangkan daerah perbukitan dan pegunungan memiliki ketinggian rata-rata lebih dari 1000 m dari permukaan laut dengan kemiringan 30 persen terdapat di bagian barat laut yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia Anonim, 2007. Kabupaten Kutai Barat terdiri dari 21 kecamatan dan 209 kampung. Kecamatan Muara Lawa yang menjadi lokasi penelitian Gambar 2 merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kutai Barat yang penduduknya didominasi oleh suku Dayak Benuaq. Wilayah Kecamatan Muara Lawa terletak pada 0°30 - 1°10 Lintang- 9 Gambar 2 Peta lokasi penelitian lingkaran merah di Kabupaten Kutai Barat Selatan sedangkan batas garis bujurnya belum diketahui. Luas wilayah Kecamatan Muara Lawa 444,50 km 2 yang terdiri dari delapan kampung yang telah berumur LEG EN DA K uta i Tim ur K uta i K arta Ne g ara S am arin d a P en a ja m P as er Uta ra B alikp ap an M a lin au K uta i Ba rat Su n ga i Jala n Bata s Ke cam ata n Ibu Ko ta Kab u pa ten Ibu Ko ta Kec am atan Ibu Ko ta Pro p insi Kota L ain Garis p a ntai Dan a u K ABUP A TEN KOTA DE PA R TE ME N PE KE R JA A N U M UM DI REKTOR AT JEND ERAL S UM BERDA YA A IR PEN G EN D A LI AN B AN JI R D A N PE NG A MA N AN PA N TA I KA L IMA N TA N T I MU R D PS Mah akam K al im ant an Mal aysi a U PET A A DMIN ISTR ASI U S B T 40 40 Kilo me ter PENY USU NA N PO LA PE NG ELO LA A N SU MBER D A YA A IR WI LA Y AH SUN GA I MAH AK AM PT . SA TY AK ARS A MUD A TAMA S um be r : P e ta Rup a bu mi In do n esia D igital S k ala 1 : 25 0 .0 0 0 Tah u n 1 99 1 - 1 99 4 Le mb ar : 17 1 5, 1 71 6 , 1 71 7 , 1 7 1 4, 1 81 5, 1 91 6 , 1 91 7 9 900 00 m U 99 00 00 m U 9 990 00 m U 99 90 00 m U 1 00 80 000 m U 10 08 00 00 m U 10 17 000 m U 101 70 00 m U 1 80 0 00 mT 1 80 0 00 mT 2 70 0 00 mT 2 70 0 00 mT 3 6 00 00 mT 3 6 00 00 mT 45 00 0 0 m T 45 00 0 0m T 54 00 0 0 m T 54 00 0 0 m T S . K o ss o S . M a h a k a m T ion gohan g Longp ahangai S . M a h a k a m S . N y a a n S . B o h S . O g a S . T r e n g g u K A BU PA TE N K U TA I K A R TA NE G A RA S . B e l a y a n S . T e l e n Mua r a Wah au S. W a h a u D pc B at u A m par S . K i n j a u S . M a r ah S . B e n a sa rb esa r S , K i n j a u S . K a d a n g K e p a l a S . K e d a n g R a n t au k e B o n t a n g Sp . Ma Bad ak Ma B adak Sam ber a Sam ber a Sebul u TE N G G AR ON G S AMA R IN D A K ot a Wa ngun Sp. 3 S enom i D. Uw i s S . K e d a n g a e m e l is D. Sem ayan g D. Sem ayan g D. Sem ayan g D . Mel in tan g S. En g g e l a m S . K a h a l a S . B e l a y a n Sekol ak D ar at Mela k Ment i w an Lin ggang bi ngung B ar ongt on gkok Sp. Dam ai D am ai S . B e r a s a n S p. L awa S . K e d an g p ah u S . N y a w a t a n S . L o w u S . T u a n g S . B o n g a n h a n g a n S . P a r a k S . J e l a u S . O h o n g S . J e m b a y a n S . L o a h a u r L oaj ana Don dang G ere ja Sam bo ja Ma Jaw a S . B a m b a n g a n Loaj ana K A BU PA T EN MAL I NA U MA LA Y SI A S . N ya a n M e r a h KA B UP AT E N K UT A I TI MU R S . P e s a b Uj oh B i lang Long boh S . M e d a n g S . P a r i Ter i ng SE N DA WA R S . M ah a k a m PR O PI N SI K A LI MA N TA N T EN G A H ke Mu ar a t ew eh S E L A T M A K A S A R S . L e n S . P e d a h a n S . S e n y i u r S . S e n t e ka n KA B U PA TE N K U TA I B A RA T S . D a so n S . P a r i S . N y e r i b u n g a n Penaj am Sep aku B al ik papan S . W a i n S . R i k o D . Jem pan g K D. Uwis D. Semayang D. Semayang D. Semayang D. Melintang S . E n g g e la m S . K a h a la S . B e l a y a n Sekolak Darat Melak Mentiwan Linggangbingung Barongtongkok Sp. Damai Damai S . B e r a s a n Sp. Lawa S . Ked a n g p a h u S . N y a w a ta n S . L o w u S . T u a n g S . B o n g a n h a n g a n S . P ar a k S . J e la u S . O h o n g M e d a n g S . P ar i Tering SENDAWAR S . M a hak am ke Muara teweh S e n y iu r S . S e n te k a n KABUPATEN KUTAI BARAT S . Da s o n S . P a ri S . N y e r ib u n g a n D. Jempang 10 ratusan tahun yaitu Kampung Banggeris, Kampung Cempedas, Kampung Dingin, Kampung Lambing, Kampung Lotaq, Kampung Muara Begai, Kampung Muara Lawa, dan Kampung Payang. Wilayah-wilayah yang menjadi batas Kecamatan Muara Lawa adalah Kecamatan Muara Pahu dan Kecamatan Siluq Ngurai di sebelah Timur, Kecamatan Damai di sebelah Barat, Kecamatan Sekolaq Darat di sebelah Utara dan Kecamatan Bentian Besar di sebelah Selatan Anonim, 2007. Kecamatan Muara Lawa dapat dicapai dengan jalur transportasi sungai, darat dan udara. Transportasi sungai dengan menggunakan kapal atau bis air jurusan Sungai Kedang Pahu yang berjarak sekitar 323 km. Transportasi darat dari terminal Sungai Kunjang Samarinda dengan menggunakan bus trayek Samarinda-Melak. Sedangkan jalur udara dapat ditempuh dari Samarinda Bandara Temindung atau Balikpapan Bandara Sepinggan dengan maskapai penerbangan Bintang Sendawar menuju kota Sendawar Bandara Melalan. Selanjutnya dari Sendawar menuju kecamatan Muara Lawa waktu tempuh sekitar 45 menit perjalanan darat. Geologi dan Tanah Publikasi peta geologi Kalimantan yang sistematis tidak banyak dibandingkan dengan peta daerah-daerah lainnya di Indonesia RePPProtT 1990. Sebagian besar Kalimantan terdiri dari batuan yang keras dan agak keras, termasuk batuan Kuarter di Semenanjung Sangkulirang dan jajaran Pegunungan Meratus, batuan vulkanik dan endapan Tersier. Kalimantan tidak memiliki gunung api yang aktif seperti yang terdapat di Sumatera dan Jawa, tetapi memiliki daerah batuan vulkanik tua yang kokoh di bagian barat daya dan bagian timur Kalimantan. Hal- hal tersebut merupakan peninggalan sejarah geologis Indonesia yang mencakup berbagai masa kegiatan vulkanik dari 300 juta tahun yang lalu sampai sekarang MacKinnon et al. 2000. Lokasi penelitian di Kecamatan Muara Lawa termasuk ke kawasan geologi Cekungan Kutai Kutai Basin. Menurut Moss dan Chambers 1999 posisi tektonik Cekungan Kutai berada pada daerah pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng India -Australia. Interaksi ket iga lempeng tersebut mempengaruhi proses-proses pembentukan, pengisian, dan modifikasi cekungan. 11 Secara fisiografi, Cekungan Kutai terletak di bagian timur Kalimantan, dibatasi oleh Tinggian Kuching di bagian barat, Tinggian Mangkalihat di utara, Selat Makassar di timur, dan Pegunungan Meratus dan Paparan Pasternoster di selatan. Cekungan Kutai dibatasi dari Cekungan Tarakan di utaranya oleh Tinggian Mangkalihat, dan dibatasi dari Cekungan Barito di selatan oleh Pegunungan Meratus. Di bagian barat, Cekungan Melawi dan Ketungau berbatasan langsung dengan Cekungan Kutai melalui bagian dari Tinggian Kuching. Luas Cekungan Kutai secara keseluruhan ± 160.000 kilometer persegi. Van de Weerd dan Armin 1992 menyatakan bahwa Cekungan Kutai terbentuk pada kala Eosen Tengah sebagai cekungan regangan, yang terisi oleh endapan genang laut berumur Eosen sampai Oligosen, yang diikuti oleh pengisian endapan susut-laut Miosen. Kondisi tanah merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi penyebaran vegetasi. Ada lima faktor utama dalam formasi tanah: lithologi, iklim, topografi, makhluk hidup dan waktu. Secara umum pengetahuan tentang penyebaran tanah di Kalimantan masih terbatas; 90 laporan survei tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah terbatas untuk proyek-proyek khusus seperti transmigrasi, perkebunan atau jaringan irigasi Sudjadi, 1988. Sebagian besar tanah di Kalimantan berkembang pada dataran bergelombang dan pegunungan yang tertoreh di atas batuan sedimen dan batuan beku tua. Tanah-tanah ini berkisar dari ultisol masam yang sangat lapuk dan inceptisol muda. Tanah di atas bagian utama Borneo tengah dan Borneo timur laut adalah ultisol acrisol. Tanah yang mengalami pelapukan sangat berat ini membentuk jenis tanah podsolik merah-kuning di sebagian besar dataran Kalimantan yang bergelombang. Sebagian besar ultisol di Kalimantan adalah tropodult . Jenis udult sukar untuk digunakan secara intensif karena kandungan hara di bawah lapisan permukaan rendah, dan kombinasi antara kandungan alumunium yang tinggi dan keasaman yang kuat RePPProtT 1990. Secara tradisional, penduduk setempat menggunakan tanah ini untuk peladangan berpindah dengan tanaman berumur pendek dan masa bera yang lebih panjang, supaya kesuburan tanah pulih kembali. Cara ini memberikan kesempatan bagi lapisan permukaan tanah untuk 12 mengumpulkan humus dan bahan organik lagi yang penting bagi cadangan hara dan untuk mengatur kelembaban dan suhu tanah MacKinnon et al. 2000. Iklim dan Curah Hujan Deskripsi iklim di Kalimantan Timur umumnya berdasarkan data curah hujan yang dicatat pada beberapa stasiun meteorologi dan sangat sedikit publikasi informasi tentang karakteristik iklim Kalimantan Timur selain curah hujan Toma et al, 2000. Karakteristik iklim Kutai Barat termasuk dalam katagori iklim tropika humida, dengan rata-rata curah hujan tertinggi terdapat pada bulan April dan terendah pada bulan Agustus serta tidak menunjukkan adanya bulan kering atau sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurang-kurangnya tujuh hari hujan Anonim, 2007. Pada lokasi penelitian berdasarkan data rata-rata curah hujan dari tahun 1986- 2006 stasiun Agroklimat Melak menunjukkan bahwa puncak curah hujan dengan pola ganda. Puncak tertinggi pada bulan Maret dan November dengan rata-rata curah hujan lebih dari 200 mm perbulan. Curah hujan minimum pada bulan Agustus dengan rata-rata 80 mm perbulan dan maksimum pada bulan November dengan rata-rata lebih dari 285 mm per bulan. Rata-rata suhu udara tahunan adalah 30,9 o C untuk suhu harian maksimum dan 23,3 o C untuk suhu harian minimum dan rata-rata suhu udara hanya berbeda sedikit dari bulan ke bulan. Kisaran temperatur diurnal sekitar 7,6 o C dan perubahan temperatur bulanan lebih kecil dibandingkan kisaran suhu harian. Rata-rata kelembaban udara tahunan sekitar 90,39 Gambar 3. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Anonim, 2003 pewilayahan curah hujan adalah pengelompokan sejumlah stasiun curah hujan pada suatu wilayah penelitian ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan jumlah dan pola curah hujan bulanan. Lokasi penelitian di Kecamatan Muara Lawa tergolong wilayah pola IIIC yaitu wilayah yang mempunyai curah hujan 2000-3000 mmtahun dengan pola ganda double wave. Pola IIIC mempunyai bulan kering berturut-turut kurang dari 4 bulan dan bulan basah berturut-turut 6-8 bulan sehingga dapat ditanami sekali padi dan sekali palawija tetapi penanaman jangan pada bulan kering. 13 0,00 15,00 30,00 45,00 60,00 75,00 90,00 105,00 120,00 135,00 150,00 165,00 180,00 195,00 210,00 225,00 240,00 255,00 270,00 285,00 300,00 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nop Des Bulan curah hujan suhu kelembaban Gambar 3 Rata-rata curah hujan, suhu dan kelembaban bulanan di Stasiun Melak Kutai Barat tahun 1989-2006. Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 dengan cara menggunakan perhitungan nisbah antara kejadian bulan kering BK60 mm terhadap kejadian bulan basah yang dinyatakan dengan nilai Q Quotient, yaitu dengan nilai Q = 13,4 , dapat diketahui bahwa daerah di wilayah sekitar lokasi penelitian mempunyai iklim tipe A. Peta curah hujan menunjukkan bahwa kawasan penelitian yang terletak di Sub DAS Kedang Pahu presipitasi tahunannya adalah 14 antara 2000–2500 mm dan 2500–3000 mm Gambar 4. Hal ini berarti bahwa wilayah tersebut sangat basah yakni mempunyai curah hujan yang tinggi yang dapat memungkinkan terjadinya banjir pada saat musim hujan. Walaupun termasuk tipe iklim yang basah, pada bulan-bulan tertentu terjadi musim kering yang agak lama yang menyebabkan air danau menjadi surut dan sangat dangkal. Wilayah ini juga terkena pengaruh fenomena El Niño. Terutama pada tahun 1982-1983 dan tahun 1997-1998, dan pernah mengalami kekeringan pada waktu kemarau yang panjang Hardwinarto dkk, 2006. Gambar 4 Peta curah hujan daerah penelitian yang terletak dalam kawasan Danau Jempang dan sekitarnya. 15 LINGKUNGAN BIOLOGI Distribusi tumbuhan dan hewan sangat dipengaruhi oleh sejarah geologi dan sejarah iklim terutama fluktuasi iklim di daerah tersebut. Flora Indonesia dipisahkan oleh garis Wallace menjadi genera Asian Laurasia dan Australasian Gondwana. Garis ini merupakan batas antara flora dan fauna di bagian barat dan bagian timur Indonesia. Borneo terletak di bagian barat garis Wallace, lokasi biogeografi Borneo sangat menentukan karakteristik flora dan fauna di Kalimantan Timur Fatawi Mori, 2000. Borneo memiliki flora yang terkaya di Kepulauan Sunda, baik jumlah kekayaan maupun keanekaragaman jenisnya. Pulau ini merupakan pusat keanekaragaman tumbuhan dengan 10.000 hingga 15.000 jenis tumbuhan berbunga, floranya sekaya flora di seluruh Afrika yang luasnya 40 kali lebih besar. Keragaman jenis itu mencakup unsur Asia dan Australasia MacKinnon et al, 2000. Borneo memiliki lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk 267 jenis Dipterocarpaceae yang merupakan kelompok pohon kayu perdagangan terpenting di Asia Tenggara. Sekitar 58 jenis Dipterocarpaceae tersebut merupakan jenis endemik Ashton, 1982. Tingkat endemisme flora cukup tinggi, yaitu sekitar 34 dari seluruh tumbuhan MacKinnon et al, 2000 Tipe-tipe hutan di Kalimantan Timur meliputi hutan mangrove, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan dipterokarpa dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan pada batu kapur MacKinnon MacKinnon, 1986. Sebagian besar area di Kalimantan Timur ditutupi oleh hutan dipterokarpa dataran rendah. Vegetasi alam yang ada di Kecamatan Muara Lawa termasuk hutan campuran dipteroka rpa dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Sebagaimana di tempat-tempat lainnya berbagai jenis tumbuhan berkayu dijumpai di sini. Keßler dan Sidiyasa 1999 melaporkan 280 jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi di lahan pamah Kalimantan Timur. Di hutan-hutan dipterokarpa dataran rendah di Muara Lawa dijumpai berbagai jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae seperti Tempudou Dipterocarpus confertus, D. cornutus, dan D. tempehes, Kapur Dryobalanops beccarii, Jengan Shorea 16 laevis, Kahoi S. balangeran, Kawang S. seminis , Mengkorau S. leprosula , Mentewohok S. johoriensis, Merembung S. smithiana, Orai S. pinanga , dan Resak Vatica sp.. Selain jenis-jenis Dipterocarpaceae yang bernilai komersial dan pohon berkayu, hutan Borneo kaya dengan pohon buah-buahan yang sangat penting bagi kehidupan di hutan dan bagi penduduk setempat. Jenis-jenis buah ini antara lain adalah berbagai jenis mangga Mangifera decandra, M. foetida, M. macrocarpa, M. pajang, M. torquenda, berbagai jenis durian Durio dulcis, D. graveolens, D. griffithii, D. kutejensis, D. lanceolatus, D. oxleyanus, D. zibethinus, berbagai jenis menteng Baccaurea lanceolata, B. macrocarpa, B. puberula, B. pyriformis, berbagai jenis nangka dan kerabatnya Artocarpus champeden, A. integra, A. kemando, A. lanceifolius, A. odoratissimus, serta berbagai jenis rambutan dan kerabatnya Nephelium lappaceum , N. ramboutan-ake, N. uncinatum. Selanjutnya hutan Muara Lawa kaya akan berbagai jenis Palem seperti aren Arenga pinnata, nipah Nypa fructicans, lontar Borrassodendron borneensis, sagu bukit Eugeissona utilis, dan berbagai jenis rotan. Rotan Calamus spp dan Daemonorops spp mempunyai nilai komersial dan beberapa jenis ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Kalimantan Timur MacKinnon et al, 2000. Rotan sudah sejak lama dibudidayakan oleh masyarakat asli Dayak dan melimpah di hutan tropis lembab ini biasanya ditanam pada akhir masa panen dalam sistem perladangan berpindah. Mamalia di Kalimantan Timur sekitar 100 jenis Yasuma, 1994. Jumlah ini sekitar 45 dari 222 jenis mamalia yang ditemukan di seluruh Borneo. Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan eksploitasi hutan, di lokasi penelitian banyak terjadi kerusakan flora dan fauna. Banyak satwa-satwa liar seperti Macan Dahan Neofelis nebulosa, Rusa Cervus unicolor, Kancil Tragulus spp, dan Babi Hutan Sus barbatus yang pada tahun 1980-an masih banyak dijumpai, tetapi sekarang sudah semakin jarang. Kecend erungan yang sama juga terjadi pada berbagai jenis burung, reptil dan hewan- hewan lainnya. Fauna Kalimantan, seperti floranya juga merefleksikan sejarah iklim dan geologi Borneo. Fauna dipisahkan lebih tegas oleh garis Wallace dibandingkan flora. Fauna yang banyak terdapat di Kalimantan sebagian besar berasal dari Asia, 17 meskipun beberapa spesies juga ditemukan di pulau-pulau sebelah timur garis Wallace yang faunanya didominasi oleh spesies dari Australia MacKinnon et al, 2000. Sebagai contoh 55 jenis mamalia sama -sama terdapat di Borneo dan Sumatera, yang berjarak sekitar 800 km di sebelah barat. Tetapi hanya 9 jenis mamalia yang sama antara Borneo dan Sulawesi yang berjarak 200 km di sebelah timur pulau Borneo. Distribusi fauna Borneo juga dipengaruhi oleh altitude, tipe-tipe habitat dan hambatan geografi seperti pegunungan dan sungai. Sebagai contoh, Orang utan secara alami hanya mendiami area sebelah utara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur Fatawi dan Mori, 2000. LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA Persebaran Dayak Benuaq Menurut sejarah penyebaran suku Dayak di Kalimantan disebabkan karena diantara mereka sering saling berperang, sehingga mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan suku lainnya. Dengan tersebarnya mereka dalam kondisi lingkungan yang berbeda dan juga sulitnya dalam berkomunikasi menimbulkan pola kehidupan yang berbeda pula diantara mereka walaupun dalam beberapa hal masih terdapat persamaan. Apabila dilihat dari bahasa yang digunakan, suku Dayak mempunyai banyak sekali bahasa sehingga antara tempat yang berdekatan pun terdapat perbedaan bahasa. Menurut Riwut 1979, suku Dayak berdasarkan asalnya dibagi menjadi tujuh suku besar yaitu Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Klemantan, Suku Dayak Apo Kayan, Suku Dayak Ot Danum, Suku Dayak Punan, Suku Dayak Murut, dan Suku Dayak Iban. Kemudian dari tujuh suku tersebut dibagi lagi ke dalam sub suku dan kelompok kecil yaitu Suku Dayak Ngaju terdiri dari: Dayak Ngaju 53 kelompok, Dayak Ma’anyan 8 kelompok, Dayak Dusun 8 kelompok, dan Dayak Lawangan 21 kelompok; Suku Dayak Klemantan terdiri dari: Dayak Klemantan 47 kelompok dan Dayak Ketungau 40 kelompok; Suku Dayak Apo Kayan terdiri dari: Dayak Kenya 24 kelompok, Dayak Kayan 10 kelompok, dan Dayak Bahau 26 kelompok; Suku Dayak Ot Danum terdiri dari Dayak Ot Danum 61 kelompok; 18 Suku Dayak Punan terdiri dari: Dayak Punan 24 kelompok, Dayak Basap 20 kelompok, Dayak Ot 3 kelompok, dan Dayak Bukat 3 kelompok; Suku Dayak Murut terdiri dari: Dayak Murut 28 kelompok, Dayak Idaan Dusun 6 kelompok, dan Dayak Tidung 10 kelompok; Suku Dayak Iban terdiri dari: Dayak Iban 11 kelompok. Masyarakat Dayak Benuaq merupakan bagian dari kelompok masyarakat Dayak Lawangan. Masyarakat Dayak Lawangan merupakan sub suku Dayak Ngaju yang berdiam di propinsi Kalimantan Tengah. Kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam suku Dayak Lawangan berjumlah 21 kelompok kecil, diantaranya adalah kelompok masyarakat suku Lawangan Karau, Singa Rasi, Paku, Ayus, Bawu, Tabuyan Mantararan, Malang, Tabuyan Teweh, Mangku Anam, Nyumit, Bantian, Purui, Tudung, Bukit, Leo Arak, Mangku, Bayam, Lemper, Tungku Lawangan, Pauk dan Benuaq Riwut, 1979. Berdasarkan asal- usul di atas, maka di Kabupaten Kutai Barat terdapat dua kelompok suku Dayak. Pertama kelompok suku Kenyah, Kayan dan Bahau, sedangkan yang kedua kelompok suku Tunjung, Benuaq dan Bentian Coomans, 1987. Walaupun sebutan Lawangan sebagai suku jarang digunakan diantara masyarakat Benuaq namun dikalangan para orang tua yang mengetahui tentang adat- istiadat dan asal- usul masih mengakui tentang hal tersebut. Kebanyakan masyarakat Benuaq merasa dirinya sebagai Dayak untuk membedakan mereka dari muslim, sedangkan sebutan Benuaq untuk membedakan mereka dari kelompok Dayak lainnya selanjutnya untuk identitas sehari- hari biasanya merujuk pada kampung tempat mereka tinggal seperti Benuaq Dingin masyarakat Benuaq yang bertempat tinggal di Kampung Dingin atau Benuaq Isuy masyarakat Benuaq yang bertempat tinggal di Tanjung Isuy. Perkampungan suku Dayak Benuaq terletak di sepanjang anak-anak sungai Mahakam sebelah selatan yang termasuk ke dalam 3 kelompok Sub DAS Wilayah Sungai Mahakam. Pertama Sub DAS Bongan yaitu sepanjang sungai Bongan Hangan dan anak-anak sungainya. Kedua Sub DAS Jempang yaitu sepanjang sungai Ohong dan di sekeliling Danau Jempang. Ketiga Sub DAS Kedang Pahu yaitu sungai Idan, 19 sungai Jelau, sungai Kedang Pahu, sungai Kelawit, sungai Lawa, sungai Nyuwatan, sungai Tuang, dan bagian hulu sungai Teweh di Kalimantan Tengah Gambar 5. Gambar 5 Peta persebaran Dayak Benuaq di Kalimantan Timur yang terletak pada Sub DAS Bongan BN, Sub DAS Jempang Jmp dan Sub DAS Kedang Pahu KdP. Massing 1981 berdasarkan geografis mengemukakan klasifikasi, daerah dan jumlah orang Benuaq pada tahun 1979-1980 di Kabupaten Kutai sebagai berikut: Vie w1 S un ga i Ja la n Batas Kec ama ta n Ibu Kota Ka bup ate n Ibu Kota Ke cama tan Ibu Kota P rop insi Kota La in Ga ris p an ta i Da nau S UB DAS Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Mh Bl KdR Bh KdK KdP BN Jm Jm p Kh Pr n Ri ko SM Y Ch Eng Tp Krm Wain 9 90 00 00 m U 9 90 00 00 m U 99 90 00 m U 99 90 00 m U 1 00 80 000 m U 10 08 00 00 m U 1 01 70 00 m U 10 17 00 00 m U 1 80 00 0 mT 1 80 00 0 mT 270 00 0 mT 270 00 0 mT 36 00 00 m T 36 00 00 m T 4 50 00 0 mT 4 50 00 0mT 54 00 00 m T 54 00 00 m T S . K o ss o S. M a h a k a m Ti ong ohan g Lo ngpa h a ngai S. M a h ak a m S . N y a an S . B oh S . O g a S . T re ng gu K A BU PA T EN KU TA I KA R TA N EG A R A S . B el a ya n S . T e l e n Muara Wahau S . W a h a u Dpc B atu A mpar S. K i n ja u S. M a ra h S . B e n as arb e sa r S , K in ja u S . K ad a n g K ep a l a S . K e d a n g R a n ta u k e B on t a ng Sp. Ma B adak Ma Ba dak S amb era Sambera Sebul u TEN G G AR O N G SA MA RIN D A K ot a Wangu n S p. 3 Sen omi D. Uw i s S. K e da ng a em eli D. S emayang D . Mel i nta ng S . En gg e l am S. K a h a l a S. B e l a ya n Sekol ak D arat Melak Ment i wan Li ngg angb ing ung B aro ngt ongk ok Sp . D ama i D amai S . B e r as an Sp. L aw a S . K e da ng p a hu S . N y a w at a n S . L o w u S . T ua n g S. B o ng an ha n g a n S . P a r a k S. J e l a u S . O h o n g S. J em b a ya n S . L o ah a u r Loaj ana D onda ng G ere ja S amb oj a Ma Jaw a S. B am b a n ga n Loaj ana K AB U PA TE N M AL INA U MA LA Y SIA S . N y a an M e ra h KA B UP AT E N K UT A I T IMU R S . P e sa b U joh B i lan g Lon gboh S. M e d an g S . P a r i T erin g SEN D A WA R S . M a h a ka m PR O PINS I K AL IMA NT A N T EN G AH ke Muara t ew eh S E L A T M A K A S A R S . L e n S . P e d ah a n S . Se n y i u r S. S e nt e kan KA B U PA TE N K U TA I B A RA T S. D a son S . P ar i S. N ye ri b u ng a n DEP ART EM EN P EKE RJ AAN UM UM DI REKTORA T JEND ERAL SUMBERD AYA AIR PE N GE N D AL IAN BA N JIR D A N PE NG A MA N AN PA N TA I K A LIMA N TA N T IMU R D PS Mah ak am K ali mant an Mal aysi a U PETA SU B DA S WI LA YA H SU NG AI MAH AKA M U S B T 40 40 Kilome te r PENY USUN AN POLA PEN GELOLA AN SU MBER DA YA AI R WILA YAH SU NGA I MAHA KAM PT. SATYA KA RSA MU DAT AMA S umb er : P e ta Ru pa bu mi Indo ne sia Digital S ka la 1 : 2 5 0.000 Tah un 1 99 1 - 19 94 Lemb ar : 171 5, 17 16 , 1 71 7, 17 1 4 , 1 815 , 1 9 16, 19 17 Ke dan g Ra ntau Ke dan g Ke pala Bela yan Top ai Bo h Co ha M ah aka m Kaha la En gg elam Sem aya ng Karan gmu mu s Jemb ay an Prian Bon gan Jemp an g Keda ng Pa hu Rik o Wa in D . Jempang K dR K dK Bl T p B h C h Mh K h En g Smy K rm Jm Prn B N JMP Kd P Ri ko Wai n S . R i k o S . W ai n Penaj am Sepaku B A LIKP A PA N Z Z Z Z Z Z Z Z KdP BN Jmp Prn Riko SMY Eng Sp. 3 D. U wis D. Semayang D. Melintang S . E n g g e la m . K a h a la S . Sekol ak Darat Melak Mentiwan Barongtongkok Sp. Damai Damai S . B e r a s a n Sp. Lawa S . K ed a n g p a h u S . N y a w a t a n S . L o w u S. T ua n g S . B o n g a n h a n g a n S . P a ra k S . Je la u S . O h o n g SENDAWAR S . M a h a k a m ke Muara tew eh S . N y e r ib D. Jempang 20 1. Benuaq Bongan di Kecamatan Bongan: 1500 orang 2. Benuaq sungai Ohong dan danau Jempang di kecamatan Jempang: 3600 orang 3. Benuaq sungai Kelawit, sungai Tuang dan sungai Jelau di kecamatan Muara Pahu: 4800 orang 4. Bentian di hulu sungai Tuang dan sungai Lawa kecamatan Bentian Besar: 2300 orang 5. Benuaq Lawa di bagian hilir sungai Lawa kecamatan Muara Lawa: 2600 orang 6. Benuaq di bagian hulu sungai Kedang Pahu dan sungai Nyuwatan di kecamatan Damai: 4600 orang. 7. Benuaq sungai Idan di kecamatan Barong Tongkok dan kecamatan Damai: 4000 orang Jumlah populasi masyarakat Benuaq yang tersebar pada beberapa lokasi tersebut sekitar 23.400 jiwa pada tahun 1979-1980 Massing, 1981. Namun jumlah populasi tersebut telah meningkat pesat pada saat ini. Jumlah penduduk di Kecamatan Muara Lawa saja pada bulan Maret 2007 adalah 6.440 jiwa dengan rincian 3.374 jiwa laki- laki dan 3.066 jiwa perempuan serta 1366 kepala keluarga. Jumlah ini jauh mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan populasi masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa tahun 1980 sebanyak 2600 jiwa Massing, 1981. Adapun suku-suku non-Dayak lain di Kecamatan Muara Lawa adalah Banjar, Batak, Bugis, Jawa, Kutai, Sunda, Madura dan Padang. Jumlah mereka umumnya relatif sedikit, kebanyakan dari mereka menetap di Kampung Lambing dan Muara Lawa yang merupakan kampung pusat pemerintahan Kecamatan Muara Lawa. Agama, Kepercayaan dan Konsep Lahtalla Secara umum kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak Benuaq zaman dulu adalah termasuk kepercayaan animisme dan dinamisme yaitu percaya adanya roh dan kekuatan pada benda-benda tertentu. Roh-roh tersebut terdiri dari roh baik dan roh jahat, yang dapat memberikan kebaikan dan juga merusak atau mengganggu 21 makhluk- makhluk lainnya. Pada saat ini masih ada sebagian kecil masyarakat Benuaq yang menganut kepercayaan asli yang didapat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Hal ini tercermin dari berbagai jenis patung belontakng dan artefak lainnya di rumah-rumah penduduk berkaitan dengan ritual-ritual yang mereka lakukan. Selain percaya adanya roh pada semua benda dan mahkluk hidup, masyarakat Benuaq pun percaya dengan adanya Sang Penguasa Tunggal yang disebut Lahtalla atau Latalla. Lahtalla hanya satu dan menguasai kehidupan manusia, alam dan jagat raya. Menurut salah satu versi mitologi pada suku Dayak Benuaq, Lahtalla sebagai Penguasa Alam Tertinggi mengatur alam semesta hanya dengan sekali bertitah. Titah dari Lahtalla ini selanjutnya dijalankan oleh Ayus Junjung, penjunjung titah Lahtalla, sebagai dewa pencipta serta pengatur alam dan aspek kehidupan manusia. Dalam fungsinya sebagai dewa pencipta serta pengatur alam dan aspek kehidupan manusia, Ayus Junjung dikenal sebagai: a. Silu’ Uraay, yang mengatur pembuatan langit da n bumi. b. Seniang Perjadiq, yang menjadikan atau menciptakan manusia. c. Seniang Pengitah, yang memelihara alam dan kehidupan manusia dengan memberikan kekuatan, rahmat dan karunia yang diperlukan. Kemungkinan konsep Lahtalla dipengaruhi dari luar yakni oleh agama Islam Weinstock, 1983. Hal ini di dukung oleh Alqadrie 1994 bahwa kompleksnya sistem kepercayaan orang Dayak ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar, seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik - mangkok dan tempayan-tempayan yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun penggunaan berbagai macam dekorasi naga tambon atau dragon yang melambangkan secara mitologis Tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur -Hinduisme dan Islamisme. Kedua unsur ini dapat ditemukan dalam istilah- istilah keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan satu, seperti Mahatara yang mungkin berasal dari istilah dalam agama Hindu Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, maupun Mahatala 22 atau sering LahatalaAlatala yang berasal dari ucapan Allah ta’ala dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Walaupun hal ini tidak diakui oleh beberapa tokoh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur kom. pri.. Masyarakat Dayak Benuaq juga mengenal dewa yang menjadi penolong bagi manusia mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai dengan batas kekuasaan yang mereka miliki. Hal ini akan tercermin pada upacara penyembuhan suatu jenis penyakit atau beliatn. Apabila orang yang sakit tidak sembuh dengan beliatn tingkat pertama maka acara beliatn akan diteruskan untuk minta kesembuhan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dan berkuasa. Usaha yang terakhir dilakukan apabila penyakit yang diderita belum sembuh, yaitu dengan membuat upacara beliatn besar yang menyembah dewa langit bernama Seniang Perejadiq. Menurut Ukur 1994 untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mitos lainnya yang menggambarkan keterikatan dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitarnya. Kepercayaan lama berupa firasat, ramalan-ramalan, dan nyahuq atau pertanda alam masih mempengaruhi kehidupan sehari-hari dari masyarakat Benuaq. Nyahuq terwujud dalam suara beberapa jenis burung tertentu, binatang, dan cuaca yang dianggap ada hubungan dengan nasib manusia. Jadi nyahuq merupakan pertanda bahwa sesuatu akan terjadi dan manusia harus berhati-hati dalam pekerjaannya sehingga terhindar dari bencana dan malapetaka. Kepercayaan mengenai dunia roh berkaitan dengan konsep kepercayaan suku Dayak Benuaq mengenai alam semesta. Menurut kepercayaan mereka alam semesta terdiri dari langit, bumi dan bawah bumi. Langit terdiri dari 2 lapisan utama, dan masing-masing lapisan terdiri dari 7 tingkat. Langit lapisan pertama dihuni oleh para dewa, dimana Lahtalla sebagai Penguasa Alam Semesta berada di tingkat ketujuh dari lapisan langit ini. Lapisan kedua dihuni oleh para roh ciptaanNya termasuk roh manusia, khususnya roh kelelungan yang menurut kepercayaan suku Dayak Benuaq terdapat di kepala manusia, yang berasal dari nafas yang ditiupkan oleh Seniang 23 Perejadiq ke atas ubun- ubun Tamarikukng dan Ape Bungan Tanaa’ pada waktu penciptaan manusia pertama. Nenek moyang suku Benuaq pada zaman dahulu meyakini bahwa orang yang telah meninggal dunia mempunyai dua roh dan tinggal di tempat yang berbeda, yaitu liaau yang tinggal di Gunung Lumut bumi dan kelelungan yang naik ke langit pada suatu tempat yang disebut teluyatn tangkir langit. Kelelungan adalah roh tengkorak orang yang meninggal dunia. Kemurkaan roh kelelungan dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit, namun kelelungan juga dapat memberi pertolongan apabila diminta oleh manusia. Oleh karena itu dalam melaksanakan upacara tertentu, kelelungan selalu diundang dan dijamu dengan upacara adat. Kelelungan memiliki dua pengertian yaitu: 1 tengkorak yang didapat sebagai hasil pergi berperang mengayau dan disimpan serta digunakan sebagai peralatan upacara, dan 2 tengkorak nenek moyang yang mempunyai pengaruh dan berwibawa pada masa hidupnya bangsawan. Kelelungan ini tidak dikubur bersama tulang dari bagian tubuh lainnya, melainkan disimpan oleh anak cucunya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib dan membawa keberuntungan. Pada waktu-waktu tertentu, tengkorak ini harus dibersihkan dengan upacara beliatn Madrah, 2001. Menurut kepercayaan suku Dayak Benuaq, roh kelelungan dari anggota keluarga yang meninggal sebelum diadakan upacara adat kwangkei, hanya menempati tingkat yang pertama yaitu Langit Beni Yatakng. Sedangkan roh kelelungan dari anggota keluarga yang sudah diadakan upacara kwangkei bisa menempati tingkat yang ke tujuh, yaitu Teluyatn Tangkir Langit. Menurut Gonner 2000, sistem kepercayaan ini merupakan alasan utama disamping bahasa yang menempatkan masyarakat Benuaq ke dalam kelompok Dayak Lawangan. Sistem kepercayaan ini di Kalimantan Tengah disebut Kaharingan Weinstock, 1983. Pada saat ini masyarakat Benuaq kebanyakan memeluk agama Kristen, Katolik, dan beberapa memeluk agama Islam, namun dalam kehidupan sehari- hari masih sering ditemukan ritual-ritual kepercayaan warisan dari nenek moyang mereka. Beberapa ritual yang sering dilakukan sepanjang tahun antara lain ritual Pakan Nyahuq memberi persembahan 24 kepada penjaga para penjaga hutan, ritual pengobatan belian, ritual penyucian Ngugu Tautn, dan ritual kematian atau duka cita Kwangkei. Stratifikasi Sosial pada M asyarakat Dayak Benuaq Kekerabatan pada suku Benuaq dikenal dengan istilah purus yang diperhitungkan berdasarkan perkawinan. Suku Dayak Benuaq seperti kebanyakan suku Dayak lainnya, menganut sistem garis keturunan bilateral, yaitu sistem garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu masuk da lam hubungan kekerabatan anaknya. Hubungan kekerabatan yang terjadi melalui perkawinan digolongkan ke dalam hubungan kekerabatan purus diniiq hubungan kekerabatan yang dekat. Hubungan kekerabatan juga menjadi pedoman dan pertimbangan oleh seseorang dalam menentukan dan menerima jodohnya. Karena menganut garis keturunan bilateral maka pewarisan harta mengikuti ketentuan adat sukat warisan. Harta warisan barang bana atau babatn retaaq digolongkan menjadi dua kelompok yaitu 1 harta benda yang diperoleh suami atau istri sebelum menikah atau warisan dari orang tua masing-masing dikenal dengan retaaq mento, 2 harta benda yang diperoleh oleh suami- istri sebagai hasil usaha bersama setelah menikah dikenal dengan retaaq rempuuq. Ketentuan adat sukat bahwa anak laki-laki berhak atas retaaq mento ayahnya, dan jika suatu keluarga tidak mempunyai anak laki- laki maka retaaq mento tadi dikembalikan ke pihak keluarga ayahnya. Sedangkan anak perempuan berhak atas retaaq mento ibunya, dan jika suatu keluarga tidak mempunyai anak perempuan tadi dikembalikan ke pihak keluarga ibu. Selanjutnya harta retaaq rempuuq yang diperoleh dari hasil usaha bersama kedua orang tua dibagi atas dasar kasih sayang dan perhatian yang dikenal dengan istilah bukuh jantak atau suyuk sang anak terhadap orang tuanya. Dengan menganut sistem garis keturunan bilateral, peranan wanita cukup besar dalam organisasi dan kegiatan sosial yang ada, termasuk pada waktu penyelenggaraan upacara-upacara adat. Penekanan peranan kaum wanita juga ditandai denga n lokalitas pasangan nikah mengikuti keluarga pihak istri, dan hanya sewaktu-waktu pergi mengunjungi orang tua pihak laki- laki. Adat menetap sesudah 25 kawin residence patterns ini tergolong pada uxorilokal atau matrilokal Koentjaraningrat, 1992. Hal ini sesuai dengan peribahasa Benuaq ‘anaak bawee kalaaq molupm ulutn tuhaaq’ yang berkaitan dengan tradisi anak perempuan lebih diutamakan untuk menghidupi dan mengurus orang tuanya pada saat keduanya sudah tua Madrah, 2001. Pada zaman dahulu masyarakat Benuaq mengenal stratifikasi sosial yang dibedakan sangat tajam dalam kehidupan bermasyarakat Madrah, 2001. Hal ini sesuai dengan Massing 1981 yang menyatakan bahwa karakter keluarga-keluarga Benuaq tidak jauh berbeda dalam hal kekayaan dan standar hidup namun dipisahkan oleh perbedaan status sosial yang tidak terlihat. Secara umum susunan status sosial tersebut terbagi 3 golongan yaitu: 1. Purus Mantiq yaitu golongan bangsawan yang mempunyai hak turun- temurun. 2. Purus Merentika-merentawai yaitu golongan masyarakat biasa yang bebas merdeka. 3. Purus Ripatn-batakng ulutn yaitu golongan budak. Namun strata sosial seperti disebutkan di atas hampir tidak diperhatikan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini, kecuali dalam peradilan adat dan adat perkawinan. Dalam peradilan adat, strata sosial tersebut masih diperhatikan karena terkait dengan sanksi adat. Berat atau ringannya sanksi adat terhadap orang yang dianggap bersalah bergantung antara lain pada strata sosialnya. Semakin tinggi strata sosial seseorang maka semakin berat hukuman adat yang dijatuhkan dan sebaliknya. Pertimbangan Dewan Adat dalam hal ini berhubungan dengan faktor kewajiban memberikan teladan dalam masyarakat dan faktor kemampuan ekonomi, serta faktor penguasaan pengetahuan akan adat itu sendiri. Berkaitan dengan adat perkawinan, masalah strata sosial ini terutama dikaitkan dengan nilai ekonomis. Orang dari stratifikasi sosial yang tinggi akan dikategorikan sebagai orang kaya, dan sebaliknya orang dari golongan rendah cenderung dikategorikan sebagai orang miskin. Dengan dasar pertimbangan tersebut tata cara adat perkawinan diperhitungkan. 26 Kepemimpinan Lokal dan Lembaga Adat Kepala Kampung dikalangan masyarakat Dayak Benuaq dikenal dengan sebutan Petinggi, sesuai dengan panggilan tradisional zaman Kewedanaan Kutai Tengah, waktu mulai diaktifkannya organisasi pemerintahan desa di luar perangkat Tuhaatn Benua gaya feodal zaman dulu. Kepala Kampung ini dipilih oleh masyarakat dan disetujui secara resmi oleh pemerintah. Kepala Kampung bertanggung jawab terutama atas administrasi pada tingkat kampung dan aktifitas resmi lainnya. Disamping Kepala Kampung juga ada Kepala Adat Mantiq di setiap kampung. Kepala Adat memiliki peranan dan pengaruh besar dalam kehidupan sehari- hari masyarakat desa. Kepala Adat yang merancang acara-acara tradisional masyarakat kampung dan aktifitas-aktifitas resmi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan tradisi dan budaya. Lembaga Adat Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Adat Mantiq , seorang sekretaris, dan tiga dewan adat. Pada zaman dulu lembaga adat ini di pimpin oleh seorang Kepala Adat dibantu oleh seorang pembantu khusus yang disebut Penggapit Mantiq Asy’arie, 2004. Seorang Kepala Adat dituntut mempunyai kemampuan dan pengetahuan tentang adat dan hukum-hukum adat, begitu pula dengan sekretaris dan para anggota dewan adat. Beberapa Lembaga Adat Kampung bergabung dalam satu satuan wilayah tertentu dapat berupa aliran anak sungai dan kadang kala sama dengan wilayah administrasi membentuk sempekat atau kumpulan beberapa Lembaga Adat Kampung menjadi Lembaga Adat Besar yang dipimpin oleh Mantiq Solai, seperti Lembaga Adat Besar Muara Lawa. Penggabungan dalam suatu kumpulan lembaga adat ini erat kaitannya dengan sejarah migrasi dan sejarah terbentuknya suatu kampung. Pada zaman dulu sistem pemilihan dan pengangkatan kepala adat besar dan kepala adat kampung adalah berdasarkan keputusan dari raja Kutai. Secara kelembagaan, Lembaga Adat Kecamatan berada di bawah dari Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat, namun peran yang dilaksanakan oleh lembaga adat kecamatan dapat dikatakan cukup penting dalam upaya penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat adat di wilayahnya. Wilayah hukum lembaga adat 27 kecamatan pada saat sekarang ini sama luasnya dengan wilayah administrasi pemerintahan kecamatan. Lembaga adat kecamatan dipimpin oleh seorang Kepala Adat dari suatu kampung yang dipilih melalui musyawarah dan salah satu syarat untuk dapat menjadi Kepala Adat Kecamatan adalah yang mempunyai kemampuan pengetahuan adat secara menyeluruh dan mendalam serta dapat dijadikan panutan oleh masyarakat adatnya. Lembaga adat kecamatan membawahi seluruh kampung yang ada di wilayah kecamatan tersebut. Struktur Lembaga Adat Kecamatan Muara Lawa terdiri dari seorang Kepala Adat Besar, seorang Sekretaris, seorang Bendahara dan delapan orang anggota Pengadilan Adat yang terdiri dari semua Kepala Adat Kampung di wilayah Kecamatan Muara Lawa. Selanjutnya struktur lembaga adat ini mempunyai tujuh bidang khusus yaitu bidang pelulukng nikah adat, bidang umaq tautn lati tana silsilah sejarah waris, bidang dongoq nalitn kayuq adat medis adat, bidang mate mancar jangan angka adat kematiankecelakaan, bidang ngehaq esaq lingkungan hidup, bidang riek seni budaya dan bidang manokng pengiraq polisi adat. Para pengurus lembaga adat harus menjaga kesakralan adat dimata masyarakat dan dari penguasa tertinggi Nayu Seniang yaitu para dewa pemelihara adat yang konon tinggal di atas khayangan Langit Balai Solai. Menurut kepercayaan masyarakat Benuaq dari Langit Balai Solai tersebut aturan-aturan adat diturunkan kepada manusia sehingga dalam struktur lembaga adat bermuara pada tempat tersebut yang di simbolkan dengan tanda bintang Lampiran 1. Adat istiadat ini dipakai sebagai petunjuk cara bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Perlakuan adat-istiadat disertai sanksi bagi yang melanggar adat-istiadat tersebut, maka hal tersebut dikatakan sebagai hukum adat. Muhammad 1988 menegaskan bahwa hukum adat merupakan hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan, kelaziman dan kebiasaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakatnya. Hukum adat ini juga merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi-sanksi dan ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang 28 mempunyai kewibawaan dan berkuasa dalam memberi keputusan pada masyarakat adat. Adat-istiadat suku Dayak Benuaq pada dasarnya terikat pada golongan genealogi atau keturunan tertentu. Dalam hal ini hanya berlaku pada masyarakat suku Dayak Benuaq itu sendiri. Menurut Asy’arie 2004 masyarakat Dayak Benuaq memiliki lima komponen yang menjadi tiang adat yaitu: 1. Adet: peraturan pokok yang menjadi landasan. 2. Purus: yang mengatur hubungan antara umat manusia. 3. Timekng: hal-hal yang perlu dipertimbangkan. 4. Sukat: yang mencatat segala kejadian yang berkaitan dengan adat. 5. Terasi: yang memberi rasa belas kasih terhadap sesama. Kelima komponen diatas adalah tiang adat yang menjadi pegangan dan falsafah bagi para Mantiq atau Kepala Adat dalam melaksanakan atau menegakkan peraturan adat agar tindak tanduknya selalu terkendali dan berada pada landasan yang benar. Mantiq yang merupakan kaum pemimpin terbagi dalam beberapa tingkatan atau golongan yaitu: 1. Mantiq biasa artinya seseorang dari turunan bangsawan yang tidak punya jabatan apa-apa namun di lingkungannya namun diharapkan partisipasinya dalam segala hal karena potensi dan kapasitasnya yang memadai dalam masyarakat; 2. Mantiq yang menyandang tugas sebagai kepala adat di lingkungan kampungnya; 3. Mantiq yang bertugas sebagai Kepala Adat Besar yang membawahi beberapa kampung yang tunduk dan mengakui kekuasaan dan kemampuan kepemimpinannya. Jumlah Mantiq pada suatu lou kadang-kadang tidak hanya satu orang saja, tapi bisa dua atau lebih. Pada suatu lou yang tergolong besar dan disebut kampung besar atau Benua, jumlah para Mantiq bisa puluhan orang. Maka untuk membedakan Mantiq yang jadi penguasa dan Mantiq -Mantiq biasa, maka pemimpin lou biasa disebut sebagai Puncutn Lou atau Puncutn Benua dan Puncutn Kutaq. Hal yang sama juga ditemukan pada lou masyarakat Bentian Sillander, 2002 dimana setiap lou mempunyai seorang atau beberapa pemimpin dan juru bicara yang biasanya keturunan bangsawan. 29 Adat-istiadat masyarakat Dayak Benuaq dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu Adat Bolupm dan Adat Mate. Adat Bolupm yaitu adat- istiadat yang mengatur tentang tata cara, peraturan, dan sopan santun yang harus dilaksanakan semasa manusia hidup. Sedangkan Adat Mate yaitu adat- istiadat yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan upacara kematian. Upacara Adat Bolupm disebut dengan Adat Kehidupan sedangkan upacara Adat Mate disebut dengan Adat Kematian. Adat Sukat dalam masyarakat Benuaq merupakan pengatur dan pedoman dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi. Dalam Adat Sukat terdapat aturan, kaidah, atau ketentuan yang berlaku dalam masyarakat secara turun-temurun meskipun tidak tertulis. Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Benuaq mempunyai ruang lingkup yang luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik adat perkawinan, kematian, kelahiran, pertanahan dan perladangan serta adat yang mengatur kehidupan sehari-hari. Berlakunya ketentuan hukum adat tergantung dari penerimaan masyarakat yang bersangkutan, disamping itu pula dikaitkan dengan hal- hal yang bersifat spiritual berupa dukungan roh-roh nenek moyang yang dimunculkan berupa anggapan bahwa jika adat tersebut dilanggar maka si pelanggar akan mendapat kutukan atau hukuman dari roh-roh nenek moyang tersebut. Perpaduan kata adat dan sukat dinilai cukup memberi pengertian yang jelas dalam masyarakat Benuaq. Adat berarti suatu norma, aturan, kaidah, ketentuan, dan kebiasaan dalam masyarakat secara turun-temurun. Sedangkan sukat menggambarkan bahwa dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan adat, maka kepala adat memiliki ukuran, ketentuan serta kebijaksanaan sehingga masyarakat benar-benar mendapat perlindungan oleh adat sukat. Dalam istilah hukum sekarang ini berlaku yuris prudensi dalam adat sukat tersebut yaitu kasus yang sama harus dihukum dengan hukuman yang sama. Sebagai aturan, kaidah, ketentuan dan kebiasaan secara turun temurun adat sukat mempunyai sanksi hukum. Sanksi pertama adalah sanksi hukum berupa nilai barang dan uang yang harus dibayarkan sebagai denda, atau pengusiran, dikucilkan atau dicela oleh masyarakat kampung. Sedangkan sanksi yang kedua berupa mendapat kutukan dari roh-roh nenek moyang Madrah, 2001. 30 Dalam menyelesaikan masalah atau perselisihan yang terjadi, Kepala Adat harus mendengarkan dan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari anggota dewan adat dan para pemuka adat serta melihat sukat dari kasus -kasus terdahulu untuk menentukan seberapa besar denda atau hukuman yang akan diberikan kepada yang bersalah. Ketika mengajukan gugatan, si penggugat harus mengajukan sebuah piring putih dan sejumlah uang, serta saksi untuk dapat diproses secara adat oleh lembaga adat. Demikian pula bagi pihak tergugat harus memberikan piring putih sebagai tanda bahwa ia siap untuk kasus yang diajukan oleh penggugat. Dana yang dibayarkan tersebut berguna untuk operasional lembaga adat dalam melakukan penegakan hukum adat. Sistem Penguasaan Lahan Tenurial System Bagi masyarakat Dayak, sungai, tanah dan hutan merupakan bagian yang terpenting dari identitas sebagai orang Dayak. Pandangan yang sama juga tercermin dalam pola penguasaan lahan oleh masyarakat Benuaq dalam ekosistem hutan tempat tinggal mereka. Tanah bukan hanya sebagai sumber daya ekonomi, namun juga merupakan basis untuk kegiatan budaya, sosial, politik dan spiritual. Tanah dan hutan merupakan bagian dari sejarah kehidupan secara turun-temurun sehingga juga merupakan bagian dari totalitas kehidupan mereka. Oleh karena itu, pengetahuan tradisiona l mereka mengajarkan suatu konsep tentang pengelolaan hutan secara arif sehingga pemanfaatan dan pemeliharaannya berkelanjutan yang dalam istilah lokal disebut lati tana. Pandangan masyarakat Benuaq mengenai hutan dan tanah terungkap dalam sistem katagorisasi mereka tentang hutan-tanah di sekitar mereka Bab II. Mereka mempunyai anggapan bahwa hutan dan tanah harus dilihat secara fungsional, artinya tanah tidak mempunyai makna kalau tidak dilihat sekaligus dengan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Konsep lati tana menunjukkan bahwa makna hutan dan tanah tidak terpisahkan. Hukum adat tradisional mengatur sebagian besar aspek-aspek sosial pada masyarakat suku Dayak Benuaq. Demikian juga halnya dengan tata guna lahan diatur oleh hukum adat secara tetap dan berkesinambungan. Tanah dibagi 31 dalam peruntukan yang khas untuk bagian-bagian tertentu dari aktivitas kehidupan masyarakat. Artinya, tanah yang telah ditetapkan untuk wilayah masing-masing harus dijaga, digarap, dan dimanfaatkan sebagaimana hukum adat menentuk annya. Dengan demikian, oleh sebab dan dalih apapun, pengelolaan tanah dan hutan tidak akan tumpang-tindih karena hukum adat sangat dijunjung oleh masyarakat adat. Sistem penguasaan tanah secara tradisional di kampung-kampung Benuaq meminimalkan konflik pe nguasaan lahan. Pada zaman dulu batas antara kampung hanya ditentukan atas dasar kesepakatan antara Mantiq kampung yang bertetangga, tanpa peta desa dan dokumen tertulis yang dapat menjelaskan segala sesuatunya secara detail. Batas-batas desa hanya menggunakan tanda-tanda alam seperti sungai, danau, dan pohon, namun sistem ini menjamin terpeliharanya integrasi sosial pada tingkat lokal. Setiap kampung di Kecamatan Muara Lawa mempunyai batas-batas hutan-tanah yang tegas berdasarkan ketentuan adat-istiadatnya. Menurut Sardjono 2004 tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan pada masyarakat tradisional ataupun secara umum bagi kepentingan sosial-ekonomi dalam kehidupan kesehariannya. Penggunaan istilah ‘lokal’ saja sudah mengindikasikan aspek ‘tempat’ yang berarti juga ‘ruang hidup’. Bagi masyarakat lokal sekitar hutan, ruang hidup dimaksud adalah hutan dan komponennya yang bersifat hayati pohon, tanaman, mikro organisme dan non hayati di dalamnya termasuk air dan tanah yang menjadi habitat komponen hayati dan sekaligus penyanggah kehidupan sistem sosio- kultural. Dengan demikian, tanah bagi masyarakat lokal merupakan ‘teritorial’ guna menyatakan keberadaan, penguasaan, status dan sekaligus harta. Apalagi sebagian teritorial itu diperoleh dengan perjuangan, apakah peperangan khususnya pada jaman perang antar suku atau kelompok masyarakat atau diperoleh dengan kerja keras mengolah ‘hutan belantara’. Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pertanian khususnya perladangan dalam lingkungan masyarakat Dayak selalu berhubungan erat dengan kepemilikan lahan untuk waktu yang tidak terbatas. Sehingga untuk menjaga aktifitas perladangan 32 secara berkesinambungan maka masyarakat peladang tradisional harus mempunyai persediaan lahan baik berupa lahan yang diolahnya dari hutan primer maupun bekas lahan perladangan sebelumnya. Pada masyarakat Dayak Benuaq penggunaan lahan yang diaplikasikan merupakan sistem hak pakai yang dapat dialihkan devolvable usufruct system. Sistem ini mengacu pada hak-hak tetap permanent right yang berasal dari pembukaan pertama first clearing hutan primer Appell, 1986. Hak pakai atau hak penggunaan permanen dapat diperoleh melalui pembukaan hutan primer dan hak tersebut dapat dipindahkan kepada pihak lainnya, baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Seeland Schmithusen, 2002. Beberapa cara pemindah-tanganan hak atas tanah pada masyarakat Benuaq adalah melalui: 1. pewarisan waris waalar, 2. jual-beli bogai-moli, 3. pemberian nyeq, 4. gadai gadeq, dan 5. tukar- menukar simaai. Penggunaan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq pada dasarnya merupakan suatu kondisi yang berubah terus menerus dari area hutan menjadi ladang berpindah, kemudian menjadi kebun hutan, dan akhirnya dibiarkan suksesi alami mengubah area-area tersebut kembali menjadi hutan. Secara umum terdapat 7 penggunaan lahan yang berbeda oleh masyarakat Dayak Benuaq: umaq ladang, urat bataakng bekas ladang, simpukng dalam berbagai bentuk agrofo restri, kebotn dukuh kebun, ewei teweletn hutan peliharaan, lati pingit hutan keramat, dan bengkar hutan primer. Hukum adat Dayak Benuaq mengakui dua bentuk penguasaan dan kepemilikan lahan yaitu lahan milik kampung benua dan lahan milik keluar ga pokatn. Lahan kampung adalah lahan yang meliputi sumberdaya yang secara tradisional dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan kampung misalnya hutan primer dan sungai di sekitarnya. Disini termasuk lahan untuk kuburan simpukng lubakng, karena pada masyarakat Dayak Benuaq kuburan biasanya berlokasi pada simpukng bua terutama kuburan-kuburan tua. Tanah kampung dianggap sebagai modal bersama, untuk diusahakan secara bersama demi kepentingan masyarakat kampung tersebut. Untuk itu setiap warga masyarakat mempunyai hak untuk menguasai tanah yang berada di daerahnya. Hak ini sering disebut hak ulayat atau 33 hak persekutuan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh kepala desa. Di sini hak ulayat mempunyai arti yang cukup luas karena memberi bermacam- macam hak kepada anggota masyarakat. Misalnya: hak menggunakan tanah untuk tempat tinggal, tanah pertanian, tempat menggembala, mengambil hasil hutan, berburu atau menangkap ikan. Lahan milik keluarga pokatn didapatkan dari membuka hutan primer untuk ladang berpindah umaq tautn dimana luasnya tergantung pada kapasitas keluarga tersebut yaitu jumlah tenaga kerja dan teknologi yang digunakan. Hal ini berarti luas lahan yang dimiliki tergantung kemampuan keluarga untuk membuka hutan primer. Berkaitan dengan hal ini ukuran keluarga di masa lalu terdiri dari keluarga besar meliputi beberapa keluarga yang berasal dari garis keturunan yang sama dan bertempat tinggal di rumah panjang, tetapi di masa sekarang sebagian besar keluarga hanya meliputi keluarga inti keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak dan bertempat tinggal di rumah individual. Pembukaan hutan primer sangat jarang dilakukan pada saat ini karena lokasinya sangat jauh dari kampung. Lahan- lahan yang diolah oleh masyarakat sekarang cenderung berasal dari warisan orang tua. Lahan milik keluarga lebih dikenal masyarakat Dayak Benuaq dengan sebutan lati tana rempuuq. Lati artinya hutan sedangkan tana artinya tanah. Tanah milik keluarga biasanya berawal dari tanah milik pribadi yang diwariskan oleh pemiliknya kepada anak cucunya atau generasi penerusnya sehingga tanah itu menjadi milik keluarga besar. Pengaturan pengelolaannya biasanya diatur oleh tetua dalam keluarga tersebut tuhaaq pokatn. Akses perempuan terhadap tanah menyangkut tanah komunal hampir sama dengan laki- laki. Meskipun demikian, kontrol atas tanah masih dipegang oleh laki- laki tuhaaq pokatn terutama pengambilan keputusan apabila terjadi sengketa tanah. Lahan milik keluarga ini meliputi beberapa jenis lahan yaitu: kelatn tanyut pohon madu, simpukng berbagai bentuk agroforestri, kebotn dukuh kebun, dan urat bataakng lahan ladang yang diberakan. Urat bataakng merupakan lahan- lahan bekas ladang yang sedang diberakan dan biasanya ditumbuhi semak belukar. Lahan ini umumnya warisan dari orang tua 34 karena pada saat ini sudah sangat jarang masyarakat membuka hutan primer. Lahan warisan tersebut merupakan peninggalan orang tua atau nenek moyang mereka sehingga secara langsung anak atau cucu tertua dan berpengaruh tuhaaq pokatn dari keluarga tersebut akan menjadi pemegang kuasa untuk semua kerabatnya yang seketurunan. Pemilik lahan biasanya tidak mutlak menggunakan lahan urat bataakng tersebut semata- mata bagi keperluan dirinya dan keluarganya. Pada budaya masyarakat Dayak Benuaq juga diketahui adanya peminjaman lahan garapan untuk keperluan membuat ladang. Dengan syarat yang bersangkutan harus meminta dengan baik-baik dan tidak langsung menduduki dan menggarap lahan tersebut karena hal demikian dikenal dengan istilah nemperu dalam masyarakat Dayak Benuaq. Nemperu berarti menguasai sesuatu yang bukan miliknya tanpa meminta ijin kepada pemiliknya. Pelakunya dapat dikenakan denda secara adat karena dianggap merampas hak orang lain secara hukum. Masyarakat Dayak Benuaq selain mempunyai sistem kepemilikan dan penguasaan lahan, juga mempunyai sistem penguasaan pohon secara khusus. Klaim individual terhadap pohon-pohon tertentu dan sumberdaya alam adalah biasa pada masyarakat Dayak. Klaim pertama biasanya dilakukan pada pohon yang ditemukan dalam hutan primer, hal ini mungkin dilakukan pada zaman dahulu. Misalnya, klaim terhadap pohon madu tanyut dilakukan oleh penemunya dengan membuat tanda ngerasi dengan memotong tumbuh-tumbuhan lain di sekelilingnya kecuali pohon yang berguna untuk naik ke pohon madu tersebut. Penguasaan pohon-pohon semacam ini juga diwariskan kepada anak cucu dan keluarganya. Kepemilikan pohon-pohon madu biasanya merupakan milik komunal kampung yang pengelolaannya di bawah pengawasan kepala adat mantiq tetapi bisa juga merupakan milik keluarga dan perseorangan yang diwarisi dari nenek moyangnya. 35 Daftar Pustaka Alqadrie SI. 1994. Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: Keterkaitan antara unsur budaya khususnya kepercayaan nenek moyang dan realitas kehidupan sosial ekonomi. Di dalam: Florus P, Djuweng S, Bamba J, Andasputra, editor. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo. Anonim. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania n-Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Anonim. 2006. Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2006. Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. Anonim. 2007. Kutai Barat Dalam Angka Tahun 2007. Sendawar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat. Appell GN. 1986. Kayan Land Tenure and Distribution of Devolvable usufruct in Borneo. Borneo Research Bulletin 18 2: 119-130 Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae. Flora Malaya Ser. I 9: 237-552. Asy’arie H. 2004. Fungsi Hutan dan Sistem Ladang Berpindah-pindah Menurut Adat dan Kepercayaan Masyarakat Tradisional di Kalimantan Timur. Samarinda: Biro Humas Setdaprov Kalimantan Timur. Coomans M. 1987. Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: PT Gramedia. Fatawi M, Mori T. 2000. Description of Forests and Forestry in East Kalimantan. Di dalam: Guhardja E, Fatawi M, Sutisna M, Mori T, Ohta, S, editor. Rainforest Ecosystems of East Kalimantan: El Nino, Drought and Human Impacts. Tokyo: Springer-Verlag. Gonner C. 2000. Resource Management in a Dayak Benuaq Village: Strategies, Dynamics and Prospects A Case Study from East Kalimantan, Indonesia. Germany, Eschborn: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbe it GTZ. Hardwinarto S, Mislan, Sumaryono. 2006. Studi Penyusunan Pengelolaan Danau Jempang. Samarinda: Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Kalimantan Timur. Direktorat Jendral Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum. 36 Keßler PJA, Sidiyasa K. 1999. Pohon-Pohon Hutan Kalimantan Timur: Pedoman mengenal 280 jenis pohon pilihan di daerah Balikpapan-Samarinda. Balikpapan: The Tropenbos Foundation. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Lahajir, Y. 2001. Etnoekologi perladangan orang Dayak Tunjung Linggang Etnografi lingkungan hidup di Dataran Tinggi Tunjung. Yogyakarta: Galang Press. MacKinnon J, Mackinnon K. 1986. Review of the protected areas system in the Indo- Malayan Realm. IUCN. Gland. Mackinon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan. Jakarta: Prenhallindo. Madrah D. 2001. Adat Sukat Dayak Benuaq dan Tonyooi. Jakarta: Puspa Swara dan Yayasan Rio Tinto. Massing AW. 1981. The Journey to Paradise: Funerary Rites of the Benua q Dayak of East Kalimantan. Borneo Research Bulletin 132: 85-104. Moss SJ, Chamber JLC. 1999. Tertiary facies architecture in the Kutai Basin, Kalimantan, Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences 17: 157-181. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Muhammad B. 1988. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Poerwadarminta WJS. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusataka. RePPProT. 1990. The land resources of Indonesia. Jakarta: ODA Ministry of Transmigation. Riwut, T. 1979. Kalimantan Membangun. Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset. Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogjakarta: DEBUT Press. Schmidt FH, Ferguson JHA. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios of Indonesia with Western New Guinea. Verhandelingen No 42. Kementrian Perhubungan Djawatan Meteorologi dan Geofisik. 37 Seeland K, Schmithusen F Ed.. 2002. A Forest Tribe of Borneo, Resource use among the Benuaq Dayak. Man and Forest Series Vol. 3. New Delhi: D. K. Printworld P Ltd. Soekanto, S. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit UI. Sudjadi S. 1988. Daftar peta tanah list of soil maps. Bogor: Soil Research Institute. Toma T, Marjenah, Hastaniah. 2000. C limate in Bukit Suharto, East Kalimantan. Di dalam: Guhardja E, Fatawi M, Sutisna M, Mori T, Ohta, S, editor. Rainforest Ecosystems of East Kalimantan: El Nino, Drought and Human Impacts. Tokyo: Springer-Verlag. Ukur F. 1994. Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak. Didalam: Florus P, Djuweng S, Bamba J, Andasputra, editor. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo. Van de Weerd AA, Armin RA. 1992. Origin and Evolution of the Tertiary hydrocarbon bearing basin in Kalimantan Borneo, Indonesia. AAPG Bulletin 76 11: 1778-1803. Weinstock JA. 1983. Kaharingan and Luangan Dayaks. Religion and Identity in Central-East Borneo [Disertasi]. Cornell University. Yasuma S. 1994. An invitation to the mammals of East Kalimantan. Samarinda: Mulawarman University, Pusrehut special publication No 3.

3. ETNOEKOLOGI DAN DINAMIKA LINGKUNGAN MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA