Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

ARIEF TAJALLI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

ARIEF TAJALLI. E34061026. Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Kelompok hewan yang paling memungkinkan terkena dampak akibat kerusakan hutan adalah herpetofauna karena sebagian besar memiliki ruang lingkup pergerakan yang sempit dan mikrohabitat yang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan areal eks IUPHHK-HA yang penting bagi sistem penyangga kehidupan dan pengendali dampak yang ditimbulkan dari hutan homogen. Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian mengenai inventarisasi keanekaragaman reptil perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman serta menggali semua kekayaan jenis dan potensi reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

Penelitian dilakukan di tiga lokasi dalam Kawasan Lindung Sungai Lesan pada tanggal 29 Juli - 28 Agustus 2010. Pengumpulan data reptil dilakukan dengan metode Visual Ecounter Survey (VES) yang dimodifikasi dengan time search dan line transect. Pengumpulan data habitat dilakukan dengan cara mengukur beberapa parameter habitat seperti suhu, kelembaban, pH air, substrat, curah hujan dan cuaca serta beberapa parameten fisik lain seperti topografi, penutupan tajuk, intensitas cahaya dan vegetasi dominan. Data pola aktivitas dan sebaran ekologis diperoleh dari pencatatan data reptil yang berupa aktivitas dan posisi pada saat ditemukan. Data tersebut dikaitkan dengan data habitat kemudian dianalisis dengan metode Ward menggunakan software SPSS untuk melihat pengelompokan penggunaan ruang, serta menggunakan metode CCA menggunakan software CANOCO for WINDOWS untuk melihat korelasi mikrohabitat terhadap penyebaran jenis.

Hasil penelitian menemukan 31 jenis reptil dari 9 famili dengan 145 individu serta terdapat 2 jenis yang termasuk dalam kategori rawan (vulnerable) IUCN dan appendix II CITES yaitu bulus (Amyda cartilaginea) dan kura-kura punggung datar (Notochelys platynota). Jalur pengamatan Sungai Lesan memiliki tingkat keanekaragaman paling tinggi namun memiliki kemerataan paling rendah, jalur Anak Sungai Lejak memiliki keanekaragaman paling rendah dan Sungai Lejak memiliki kemerataan paling tinggi. Perbedan tipe habitat akuatik dengan terestrial terlihat dari perolehan jumlah jenis yang lebih banyak pada akuatik namun jumlah individu yang lebih banyak pada terestrial. Mikrohabitat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan reptil karena berkaitan dengan pola aktivitas dan sebaran ekologisnya sehingga jenis-jenis dengan aktivitas dan pola pergerakan yang sama dapat dijumpai pada mikrohabitat yang sama pula.


(3)

ARIEF TAJALLI. E34061026. Reptile Diversity in Lesan River Protected Area, East Kalimantan. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Herpetofauna is an animal group most likely to be impacted by deforestation because most species has limited range and microhabitat which are dependent on the conditions of its environment. The Lesan River Protected Area is an ex natural forest logging concession essential for life supporting systems and controlling the impacts of homogeneous forest. Therefore there is need to assess the diversity and richness of reptile species in Lesan River ProtectedArea.

Research was conducted in three sites within the Lesan River Protected Area on 29 July – 28 August 2010. Reptile data was collected using Visual Encounter Survey (VES) modified with timed search and line transect methods. Habitat data was collected by measuring habitat parameters such as temperature, humidity, water pH, substrate, rainfall, and weather, as well as several physical parameters such as topography, forest canopy, light intensity, and dominant vegetation. Reptile activity patterns and ecological distribution were recorded by observing activities and position of each individual detected. This data was then compared with habitat data and analyzed using Ward method using SPSS software to observe groupings in habitat use. Data was analyzed with CCA method using CANOCO software to identify the correlation between microhabitat and species distribution.

A total o 31 reptile species were recorded in the study from 9 families consisting of 145 individuals. Two of the species are listed as Vulnerable in the IUCN Redlist and Appendix II of CITES, the Malayan Flat-shelled Turtle (Notochelys platynota) and Asiatic Softshell Turtle (Amyda cartilaginea). The Lesan River transect has the highest diversity but lowest evenness index, while the Anak Sungai Lejak transect has lowest diversity and Lejak River transect has the highest evenness index. Differences between aquatic and terestrial habitats are evident in the higher number of species detected in aquatic habitat but a higher number of individuals were recorded in the terestrial habitat. Microhabitat greatly influences reptile presence because it is correlated with activity and ecological distribution and therefore species with similar activity and movement patterns can been found on the same microhabitat.


(4)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

ARIEF TAJALLI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pemimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi ataupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Arief Tajalli NRP E34061026


(6)

Nama : Arief Tajalli NRP : E34061026

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. NIP. 19651114 199002 2 001 NIP. 19660221 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

Arief Tajalli dilahirkan di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah pada tanggal 1 Juli 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Basjuni dan Ibu Sri Padmoningsih. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 di Taman Kanak-Kanak Islam Al-Ma’ruf dan lulus pada tahun 1994. Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di SDN Cilangkap 04 dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis melanjutkan ke SLTPN 196 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2003, setelah itu melanjutkan ke SMAN 99 jakarta Timur pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima sebagain mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB dan pada tahun 2007 diterima pada program mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai anggota dan pengurus Biro Informasi dan Komunikasi serta Kelompok Pemerhati Herpetofauna pada organisasi HIMAKOVA periode 2007-2009, dan pernah menjadi ketua Biro Informasi dan Komunikasi pada periode 2008-2009. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat (2008) dan Cagar Alam Rawa Danau Jawa Barat (2009), Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (2008) dan Taman Nasional Manupeu Tanadaru tahun (2009), Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Kamojang dan Leuweung Sancang (2008), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2009), serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Merbabu (2010). Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi berjudul “Keanekaragaman Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.


(8)

Alhamdulillahirabbil `aalamiin. Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dorongan semangat, nasehat dan bimbingannya.

2. Orang tuaku tercinta yaitu Bapak Basjuni dan Sri Padmoningsih serta adikku Dian Shalatin dan kakakku Ervina Fitri Amalia yang memberikan doa, dorongan serta semangat selama kegiatan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan serta Ir. Rachmad Hermawan M.Sc. sebagai ketua sidang. Terimakasih atas arahan dan masukan untuk penulis.

4. Pihak TNC (The Nature Conservancy) atas kesediaannya memberikan segala fasilitas kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

5. Bu Rondang yang telah bersedia menemani penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan serta segala bantuan dan motivasinya selama proses penulisan. 6. Mas Nardi, Mas Jas, Mas Pur, Mas Sudi dan seluruh pegawai TNC Berau

yang telah menemani dan mendampingi penulis selama di lapang serta membantu segala proses yang dibutuhkan dalam penelitian.

7. Saudara seperjuangan penelitian Rahmat Abdiansyah atas kebersamaan di lapangan untuk melewati hari-hari penuh pelajaran berharga.

8. Teman-Teman Laboratorium Katak yang telah memberikan saran dan masukannya.


(9)

kepengurusan tahun 2007-2009 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

10.Keluarga besar KSHE 43 Cendrawasih tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

11.Saudara seperjuangan di KSHE (Berry, Agung, Didit, Domi, Fajar, Abdi, Stefhen, Akmal, Obi, Eka, Haray, Catur dan Bucok) atas kebersamaan melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan.

12.Keluarga besar Pondok Wina (Bayu, Nodi, Henky, Abok, Ekay, Miftah, Bete, Koko, Heru, Nanang, Ipang, Hendra, Vicky, Riki, Irman dan seluruh PGT) atas kebersamaannya melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan. 13.The Banned Things (Bayu, Yunus, Ijul dan Dinen) yang telah membantu

menetralisir emosi dan menenangkan pikiran melalui lantunan nada selama proses penyusunan skripsi.

14.Keluarga besar DKSHE atas bantuannya yang sudah membantu penulis selama menimba ilmu di IPB.

15.Seseorang yang tidak boleh disebut namanya atas motivasi, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.

Bogor, Juli 2011

Arief Tajalli NRP E34061026


(10)

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam penyusun panjatkan kepada suri tauladan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penelitian ini berjudul “Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Kawasan lindung Sungai Lesan merupakan wilayah bekass HPH. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh The Nature Coservancy (TNC) dan bekerja sama dengan masyarakat lokal. Sebagai suatu kawasan lindung, Sungai Lesan membutuhkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya agar pengelolaannya lebih optimal. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang keanekaragaman reptil di berbagai habitat pada Kawasan Lindung Sungai Lesan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang bertujuan untuk memperbaiki skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis hanya dapat berharap semoga karya yang telah dibuat ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Bio-ekologi Reptil ... 4

2.2. Penelitian Mengenai Reptil yang Telah Dilakukan ... 6

2.3. Ukuran Keanekaragaman Jenis ... 7

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis ... 8

BAB III METODE PENELITIAN ... 10

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

3.2. Alat dan Bahan ... 11

3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 11

3.3.1. Data Primer ... 11

3.3.2. Data Sekunder ... 12

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 12

3.4.1. Reptil ... 12

3.4.2. Habitat ... 16

3.5. Analisis Data ... 17

3.5.1. Analisis Data Reptil ... 17

3.5.2. Analisis Data Habitat ... 18

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

4.1. Sejarah ... 19

4.2. Letak dan Luas Kawasan ... 20

4.3. Kondisi Biologi ... 21

4.3.1. Kondisi Iklim ... 21

4.3.2. Kondisi Hidrologi ... 21

4.3.3. Topografi ... 22

4.3.4. Kondisi Penutupan Lahan ... 22

4.3.5. Tingkat Bahaya Erosi ... 22


(12)

4.4. Kondisi Habitat ... 23

4.4.1. Anak Sungai Lejak ... 23

4.4.2. Sungai Lejak ... 25

4.4.3. Sungai Lesan ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Komposisi Jenis ... 31

5.1.2. Tingkat Keanekaragaman Jenis ... 36

5.1.3. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis ... 39

5.2. Pembahasan ... 48

5.2.1. Komposisi Jenis ... 48

5.2.2. Tingkat Keanekaragaman Jenis ... 52

5.2.3. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis ... 55

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

6.1. Kesimpulan ... 63

6.1. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 11

2. Daftar Famili, jenis dan jumlah individu pada tiap habitat ... 31

3. Daftar klasifikasi dan jumlah jenis reptil ... 32

4. Aktivitas dan sebaran ekologis reptil ... 40


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Lokasi kawasan lindung Muara Lesan di Kalimatan Timur ... 10

2. Peta kondisi fisik lokasi Kawasan lindung Sungai Lesan ... 20

3. Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur ... 24

4. Jalur akuatik Anak sungai Lejak ... 25

5. Jalur terestrial sungai Lejak dan aliran air memotong jalur ... 25

6. Jalur akuatik sungai Lejak ... 26

7. Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur. ... 27

8. Jalur terestrial kedua sungai Lesan ... 27

9. Jalur akuatik sungai Lesan ... 28

10. Grafik tingkat kedalaman sungai di tiga lokasi ... 29

11. Grafik tingkat lebar badan dan bibir sungai di tiga lokasi ... 30

12. Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili ... 32

13. Jenis dengan nilai kelimpahan tertinggi (Eutrophis rudis) ... 33

14. Grafik Jumlah jenis dari tiap famili pada tiap lokasi pengamatan ... 34

15. Grafik akumulasi spesies berdasarkan tipe habitat dan waktu pengamatan ... 35

16. Jenis dengan peluang perjumpaan tertinggi (Cyrtodactylus malayanus) ... 35

17. Grafik perbandingan nilai kenanekaragaman jenis (H’) ... 36

18. Grafik perbandingan nilai kemerataan jenis (E) ... 37

19. Grafik perbandingan jumlah jenis (S) ... 38

20. Grafik perbandingan kekayaan jenis (Dmg) ... 39

21. Persentase penggunaan substrat oleh reptil pada saat perjumpaan ... 41

22. Persentase perilaku reptil pada saat perjumpaan ... 41

23. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies akuatik ... 42

24. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies terestrial ... 43

25. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies keseluruhan ... 44

26. Dendogram sebaran spesies pada transek akuatik ... 45

27. Korelasi mikrohabitat terhadap spesies pada jalur akuatik ... 46


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data iklim (suhu udara, kelembaban dan cuaca) di lokasi

penelitian ... 69 2. Data jenis (famili, nama spesies dan nama lokal) serta jumlah

perjumpaan dan status konservasinya di lokasi penelitian ... 70 3. Deskripsi jenis reptil yang dijumpai di Kawasan Lindung Sungai


(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan kawasan lindung Sungai Lesan berperan penting bagi kelestarian plasma nutfah sebagai habitat berbagai jenis satwa, serta mempertahankan kelangsungan fungsi-fungsi ekologis. Menurut Keputusan Menteri Nomor: 375/kpts - II/1998 tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pelestarian plasma nutfah di hutan produksi, menyatakan bahwa kawasan pelestarian plasma nutfah pada ekosistem dataran rendah pada kawasan hutan, pada umumnya berada di hutan produksi yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang kegiatannya dapat mengancam kelestarian plasma nutfah. Kawasan hutan yang berada disekitar lokasi produksi seperti hutan lindung berperan penting sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengendali dampak yang ditimbulkan dari hutan homogen.

Kawasan Sungai Lesan terletak di antara areal IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan perkebunan kelapa sawit. Data dari Pokja Program Karbon Berau, terdapat dua IUPHHK-HA, satu IUPHHK-HT dan lima perkebunan Sawit di sekitar Sungai Lesan yang dikhawatirkan dapat merusak kawasan akibat adanya kegiatan di sekitarnya. Sejumlah perkebunan telah beroperasi sejak 2006 di sekitar kawasan lindung ini, seperti PT Berau Sawit Sejahtera (luas wilayah 6.000 ha lebih), PT Gunta Samba Jaya (8.000 ha lebih), dan PT Yudha Wahana Abadi (hampir 12.000 ha). Adapun beberapa IUPHHK-HA seperti PT Mardhika Insan Mulia, PT Karya Lestari. dan PT Belantara Pusaka (luas 2.500 ha). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan lindung Sungai Lesan merupakan kawasan penyeimbang bagi daerah sekitarnya karena lokasi di sekitarnya sudah sangat terganggu oleh aktivitas manusia yang dapat mengancam keberadaan satwa di dalamnya.

Ketergantungan satwa pada kawasan lindung sangat tinggi karena gangguan manusia dapat mengakibatkan kepunahan pada satwa. Kelompok satwa yang paling memungkinkan terkena dampak dari rusaknya hutan adalah herpetofauna karena sebagian besar herpetofauna memiliki ruang lingkup pergerakan yang sempit dan mikrohabitat yang tergantung pada kondisi lingkungannya. Reptil


(17)

merupakan salah satu predator komponen herpetofauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang memberikan peranan dalam suatu mata rantai untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Penelitian reptil di Indonesia masih kurang serta masih banyak daerah yang belum dieksplorasi, seperti daerah pedalaman, daerah bukaan hutan dan daerah terfragmentasi. Reptil lebih sedikit dipelajari dibandingkan amfibi karena amfibi lebih rentan terhadap kematian dan dampak dari kontaminan (Gibbons et al. 2000). Menurut Gibbons et al. (2000) terdapat enam masalah signifikan yang mempengaruhi populasi reptil dalam skala global yaitu kehilangan habitat dan degradasi, introduksi spesies, pencemaran lingkungan, penyakit, pemanfaatan yang berlebihan, perubahan iklim global. Minimnya data merupakan suatu masalah yang harus segera diatasi karena dapat menyulitkan pengelola dalam melakukan upaya-upaya konservasi terutama pada habitat asli agar tidak terfragmentasi. Hal yang tidak diharapkan adalah terjadinya kepunahan dini pada reptil tanpa diketahui keberadaan, potensi dan upaya pencegahan oleh semua pihak yang berkepentingan.

Beberapa jenis reptil memiliki daerah sebaran yang sempit dan terbatas serta hanya dijumpai di habitat yang spesifik. Hilangnya populasi jenis yang menempati habitat spesifik menandakan adanya perubahan kualitas lingkungan pada lokasi tersebut, meskipun perubahan yang terjadi mungkin tidak terlalu tampak. Oleh karena itu, jenis reptil yang mempunyai habitat spesifik sangat bermanfaat untuk memberikan peringatan dini terjadinya perubahan lingkungan (Mistar 2008). Selain itu juga reptil memberikan pelayanan ekologi bagi manusia antara lain sebagai pengendali hama biologis terutama untuk serangga dan tikus, dengan begitu reptil memiliki peran yang sama pentingnya dengan komponen lain di dalam suatu ekosistem. Reptil yang mendiami padang rumput, tepi hutan, atau hutan pedalaman dalam lingkungan hutan tropis yang terfragmentasi akan merespon perubahan mikrohabitat dengan cara yang beragam dan kompleks (Urbina-Cardona et al. 2006).

Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian mengenai inventarisasi keanekaragaman reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman serta menggali semua kekayaan jenis dan


(18)

potensi yang ada. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai kajian dalam tindakan pengelolaan kawasan dan dijadikan masukan kepada pengelola untuk melengkapi variabel yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan konservasi dan manajemen pengelolaan. Manfaat lain adalah terciptanya perlindungan secara tidak langsung terhadap satwa lain yang berada pada ruang lingkup habitat yang sama dengan reptil seperti amfibi dan mamalia kecil.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menyusun daftar jenis serta mengetahui komposisi dan penyebaran jenis reptil yang ditemukan di kawasan lindung Muara Lesan, Kalimantan Timur

2. Membandingkan tingkat keanekaragaman dan kemerataan jenis reptil dari berbagai tipe habitat yang ada di Muara Lesan, Kalimantan Timur

3. Mengetahui pola aktivitas dan sebaran ekologis reptil di Muara Lesan, Kalimantan Timur.

1.3 Manfaat

1. Menyediakan data awal mengenai keanekaragaman, penyebaran dan populasi di lokasi penelitian

2. Menjadi masukan dalam penerapan kegiatan pengelolaan kawasan agar tidak berdampak negatif terhadap keanekaragaman reptil yang ada di lokasi


(19)

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Reptil

Reptil adalah binatang melata berdarah dingin dan bertulang belakang dengan seluruh bagian tubuh ditutupi sisik dan bernapas dengan paru-paru. Salah satu ciri utama dari reptil yaitu tubuhnya yang ditutupi sisik-sisik rata yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air melalui kulitnya. Sisik tersebut tidak terpisah satu dengan lainnya dan dapat berganti dalam kurun waktu tertentu dengan sisik baru. Sisik tersusun oleh protein yang disebut keratin, pada manusia. Warna kulit beragam, dari warna yang menyerupai lingkungannya sampai warna membuat reptil mudah terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal. Pada sebagian besar reptil terdapat perbedaan antara jantan dan betina ukuran dan bentuk tubuh maupun warna tubuh dewasa (Halliday dan Adler 2000).

Reptil adalah satwa ektothermik, yaitu mereka mengatur suhu tubuhnya melalui lingkungan sekitarnya (Irvin 2003). Sumber panas ekstenal tersebut digunakan untuk proses metabolisme, pada daerah yang terkena sinar matahari cukup reptil sering dijumpai sedang berjemur khususnya pada pagi hari. Reptil paling aktif pada suhu tanah antara 15ºC-25º C dan suhu udara 20ºC-30º C dan dengan sedikit atau tidak ada tutupan awan (Irvin 2003). Pada daerah yang terkena sinar matahari, reptil sering dijumpai berjemur pada pagi hari untuk mencapai suhu badan yang dibutuhkan (Halliday dan Adler 2000). Pada saat kondisi lingkungan panas, reptil khususnya kadal memperoleh panas dengan cara berjemur di bawah sinar matahari atau berpindah ke tempat yang panas dengan cara mengekspose sebagian besar tubuhnya sehingga memperoleh panas dengan optimal. Sedangkan pada saat kondisi lingkungan dingin, kadal hanya mengekspose sebagian kecil tubuhnya untuk menyimpan panas (Cogger 1999). Pola reproduksi reptil dilakukan dengan cara ovipar dan ovovivipar. Irvin (2003) juga mengatakan bahwa spesies yang bertelur mungkin memerlukan berbagai mikrohabitat untuk memberikan tempat yang cocok untuk oviposisi. Oviposisi juga dapat menentukan jenis kelamin pada beberapa jenis reptil seperti buaya dan penyu.


(20)

 

Reptil mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran dan strategi yang mengesankan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kura-kura dengan tubuhnya yang diselimuti cangkang, ular dengan tubuhnya yang panjang dan berkelok-kelok, gerakan lincah dari kadal dan tubuh yang besar dari buaya (Cogger dan Zweifel 2003). Sebagian besar reptil merupakan karnivora namun ada beberapa dari sub ordo Sauria yang herbivora dan dari ordo Testudinata yang omnivora. Reptil berperan sangat penting dalam kelompok predator karena banyak berinteraksi sebagai penyeimbang dalam suatu habitat. Mangsanya berupa serangga, ikan, telur, mamalia bahkan reptil lain. Oleh karena itu reptil memiliki beberapa perilaku yang digunakan untuk berburu ataupun bertahan diri dari pemangsa seperti mimikri, mengeluarkan racun, caudal autotomi dan mengandalkan beberapa bagian tubuhnya yang dapat menarik mangsanya, seperti ular hijau ekor merah (Trimeresusrus albolabris) yang memiliki ekor seperti cacing yang dapat digunakan untuk memancing mangsa. Untuk bertahan diri seperti famili geckonidae yang bila merasa terancam dapat memutuskan ekornya (caudal autotomi).

Dalam kelas reptilia terdapat beberapa ordo dan sub ordo yang tersebar di seluruh dunia kecuali daerah kutub. Menurut Savage (1998), reptil memiliki taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertabrata Kelas : Reptilia Sub-kelas : Eureptilia

Super ordo : Lepidosauria, Testudines, Archosauria

Ordo : Testudinata, Rhynchocephalia, Crocodylia dan Squamata Obst (1998) menyebutkan bahawa reptil terdiri dari 64 famili, sekitar 964 genus dan 7427 spesies yang terdiri dari:

• Ordo Testudinata yang terdiri dari 250 spesies, 90 marga,12 famili • Ordo Rhynchocephalia yang terdiri dari 2 spesies, 1 marga dan 1 famili • Ordo Crocodylia yang terdiri dari 23 spesies, 8 marga dan 3 famili • Ordo Squamata yang terdiri dari:


(21)

 

o 152 spesies, 18 marga dan 4 famili dari sub ordo Amphisbaenia o 2.700 spesies, 450 marga dan 18 famili dari sub ordo Serpentes o 4.300 spesies, 420 marga dan 26 famili dari sub ordo Sauria

Dari 4 ordo yang ada, Indonesia memiliki 3 ordo diantaranya kecuali Rhynchocephalia atau tuatara. Menurut O’Shea dan Halliday (2001), tuatara merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 famili dan hanya terdapat di Selandia Baru.

Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari pada daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Selain itu, keanekaragaman reptil disuatu lokasi dipengaruhi oleh ketinggian dan tipe habitat yang tersedia. Primack

et al. (1988) mengatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis reptil lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi dan kelimpahannya akan semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Reptil dapat hidup di dalam dan permukaan tanah, celah-celah batu, di bawah puing-puing, hingga tajuk pohon pada hutan hujan, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwole 1988). Sementara itu kondisi penutupan tajuk yang berbeda dapat mempengaruhi kondisi iklim mikro pada masing-masing lokasi. Reptil dapat digolongkan kedalam empat kelompok berdasarkan habitat hidupnya yaitu reptil terestrial yang hidup di darat, reptil akuatik yang hidup di air, reptil fosforial yang hidup di dalam tanah dan reptil arboreal yang hidup di atas pohon.

2.2 Penelitian Mengenai Reptil yang Telah Dilakukan

Penelitian reptil di Indonesia masih terbilang kurang dan kepedulian masyarakat terhadap reptil masih sangat rendah. Menurut Iskandar dan Erdelen (2006), pada umumnya herpetofauna di Indonesia tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya. Hal tersebut dikarenakan sedikitnya program monitoring yang berskala luas dan konsisten serta kerja sama antar instansi dalam membagi informasi tentang hal yang pernah, sedang atau akan dilakukan. Penelitian reptil yang pernah dilakukan merupakan data penting sebagai acuan dan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.


(22)

 

Beberapa contoh penelitian keanekaragaman reptil yang pernah dilakukan di beberapa lokasi di Kalimantan antara lain HIMAKOVA (2008) melakukan penelitiannya di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat menemukan 32 jenis reptil, hasil ini lebih besar dari pada penelitian yang pernah dilakukan HIMAKOVA dan TBI Indonesia (2005) di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat yang menemukan sebanyak 10 jenis reptil. Akan tetapi hasil tersebut sama dengan jumlah jenis yang ditemukan di areal sekitar PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat yaitu 32 jenis (Mistar 2008). Jumlah jenis tersebut lebih sedikit dari pada di Batu Apoi Brunei Darussalam yang menemukan 44 jenis reptil (Das 1995). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan (Mediansyah dan Rachmansyah 2010) yang menjumpai 47 jenis reptil di Kalimantan Barat. (Mistar 2008) melakukan penelitiannya di dua lokasi berbeda di Kalimantan timur yaitu Gunung Beratus dan Mawas dengan jumlah reptil 13 jenis pada Gunung Beratus dan 43 jenis pada Areal Mawas.

Adanya perbedaan jumlah jenis reptil disebabkan oleh perbedaan lokasi, usaha pencarian, lama penelitian dan cakupan wilayah penelitian baik dalam ketinggian maupun luasan area. Selain itu metode dan peralatan yang lebih lengkap juga menjadi faktor penting dalam pencarian reptil selain profesionalitas peneliti. Kondisi topografi lokasi yang sulit dijangkau serta cuaca dan musim yang tidak mendukung untuk pengamatan reptil juga dapat mengakibatkan perbedaan jumlah temuan.

2.3 Ukuran Keanekaragaman Jenis

Terdapat enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978). Menurut Krebs (1978) bahwa ukuran keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran yang dikenal secara umum yaitu kekayaan jenis (species richness), heteregonitas (heteroneity), dan kemerataan (evennes). Pada tingkat yang sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies (Primack et al. 1998).


(23)

 

Keanekaragaman jenis reptil berbeda pada setiap tipe habitat tergantung suhu lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada suatu tegakan hutan, reptil tersebar dari dalam tanah hingga tajuk suatu vegetasi. Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman tersebut berupa kecocokan terhadap suhu, kelembaban, tutupan tajuk dan formasi tanah. Reptil hanya hidup pada habitat yang memiliki suhu panas yang cukup setiap tahunnya karena panas dibutuhkan untuk proses metabolisme.

Ukuran keanekaragaman ini ditentukan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap jenis yang teramati (Santosa 1995). Indeks yang biasa digunakan dalam penentuan ukuran keanekaragaman jenis diantaranya: indeks Shanon-Wiener, indeks Simpson dan indeks Brillouin. Santosa (1995) menjelaskan bahwa konsep kemerataan ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar spesies. Konsep ini dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominasi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan maksimum.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis

Terdapat dua hal yang berkaitan dengan keanekaragaman jenis yaitu kekayaan dan sebaran keseragaman. Menurut Campbell (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dalam komunitas alamiah sebagai berikut:

a. Ketersediaan energi.

b. Peningkatan radiasi matahari di daerah tropis meningkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.

c. Heterogenitas habitat.

d. Dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis seringkali mengalami gangguan lebih bersifat lokal (seperti pohon tumbang, anging ribut, dan banjir), dan memiliki ketidakseragaman lingkungan yang lebih besar yang memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar bagi spesies tumbuhan.


(24)

 

e. Spesialisasi relung.

f. Iklim tropis memungkinkan banyak organisme untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih sempit. Relung yang lebih kecil akan mengurangi persaingan dan memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman spesies yang besar.

g. Interaksi populasi.

h. Keanekaragaman dalam suatu pengertian adalah memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi kompleks mengalami ko-evolasi, dan interaksi pemangsa serta interaksi simbiotik dihasilkan dalam suatu komunitas yang beranekaragam untuk mencegah suatu populasi menjadi dominan.

Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada tingkat keanekargaman reptil yang ada di suatu lokasi karena dalam penyebarannya reptil dipengaruhi oleh kondisi fisik dan ketersediaan pakan serta tingkat interaksi terhadap gangguan.


(25)

 

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan dua tahap yaitu pengambilan data yang dilakukan selama satu bulan dari tanggal 29 Juli - 28 Agustus 2010 dan pengolahan data yang dilakukan selama satu bulan pada bulan September sampai November 2010. Penelitian dilakukan di kawasan lindung Muara Lesan, Kalimantan timur (Gambar 1). Pengolahan dan identifikasi lanjutan dilakukan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Lokasi kawasan lindung Muara Lesan di Kalimatan Timur (TNC 2008).


(26)

 

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan data keanekaragaman reptil serta fragmentasi habitat di Kawasan Lindung Sungai Lesan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

No. Kegunaan Alat dan Bahan 1. Pembuatan plot

pengamatan

Kompas,meteran (50 m), Meteran jahit, tambang plastik, tali rafia, tongkat ukur kedalaman, altimeter, pita penanda (flagging tape), GPS

2. Pengambilan data reptil Senter, baterai, jam tangan, plastik spesimen, alat penangkap ular, spidol permanen, timbangan (5-1000 gr dan 10 kg), kaliper, kaca pembesar

3. Pengukuran faktor lingkungan

pH meter, stopwatch, termometer air raksa, Dry Wet thermometer

4. Preservasi Alat suntik, tabung spesimen/tupperware, kapas, alkohol 70%, kertas label, benang jahit, kertas label 5. Dokumentasi Kamera digital, alat tulis, tally sheet

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan sumbernya maka jenis data yang dikumpulan berasal dari data primer dan data sekunder. Kedua data tersebut digunakan sebagai data penunjang dalam pengolahan data lanjutan.

3.3.1 Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan yang meliputi:

• Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis reptil ditemukan, jumlah individu setiap tiap jenis, jenis kelamin, waktu perjumpaan, posisi ditemukan pada jalur pengamatan, aktivitas saat ditemukan, substrat yang dimanfaatkan saat individu ditemukan, berat tubuh, panjang tubuh (keseluruhan dan SVL), dan kondisi kenormalan dan ketidak-normalan morfologis.


(27)

 

• Pengumpulan data habitat reptilia dilakukan dengan mengikuti metode Heyer

et al. (1994). Data yang dicatat meliputi kondisi cuaca, tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat, struktur dan komposisi vegetasi, ketinggian lokasi di atas permukaan laut (m dpl), suhu air, suhu udara, kelembaban udara relatif, pH air dan tumbuhan bawah dominan.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dari jurnal, laporan ilmiah, dan laporan-laporan lain yang relevan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: sejarah pengelolaan kawasan, peta kawasan, suhu udara harian, iklim dan curah hujan serta kelembaban udara relatif yang bersumber dari stasiun klimatologi terdekat. Selain itu, guna memperkaya informasi tentang keberadaan reptil dan pemanfaatannya maka dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dengan kelompok masyarakat setempat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Reptil

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Visual Encounter Survey

(VES) yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994). Pada metode VES, pengamatan dilakukan dengan berjalan menyusuri transek secara perlahan untuk mencari herpetofauna dalam jangka waktu tertentu. Semua spesimen ditangkap dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan tongkat ular. Metode ini umumnya digunakan untuk menentukan kekayaan jenis suatu daerah, untuk menyusun suatu daftar jenis, serta untuk memperkirakan kelimpahan relatif jenis-jenis satwa yang ditemukan. Metode ini biasa dilakukan disepanjang suatu jalur, dalam suatu plot, sepanjang sisi sungai, sekitar tepi kolam, dan seterusnya, selama sampel reptil bisa terlihat. Metode ini seharusnya digunakan untuk penelitian tentang amfibi, namun dikarenakan reptil dan amfibi memiliki relung yang sama dan dikategorikan ke dalam herpetofauna, maka metode ini juga dapat digunakan pada penelitian reptil.


(28)

 

Pemilihan metode VES dengan asumsi. bahwa 1). Setiap individu dari semua spesies mempunyai kesempatan yang sama untuk diamati, 2). Setiap spesies menyukai tempat atau habitat yang sama, 3). Semua individu hanya dihitung satu kali dalam pengamatan, dan 4). Hasil survei merupakan hasil pengamatan lebih dari satu orang. Metode VES yang digunakan merupakan modifikasi, yaitu:

a. Visual Encounter Survey-Time Search

Kombinasi metode yang digunakan adalah time search selama dua jam baik pada habitat terestrial maupun akuatik. Time search merupakan suatu metode pengambilan data dengan waktu penuh yang lamanya waktu telah ditentukan sebelumnya dengan waktu untuk mencatat satwa tidak dihitung. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu pengamatan malam yang dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WIB untuk mengambil data reptil nokturnal serta pengamatan pagi pada pukul 07.00-09.00 WIB yang bertujuan untuk melihat reptil yang sedang berjemur (basking) dan mencari makan, karena pada saat itu cahaya matahari yang sampai ke bumi sangat baik bagi reptil untuk berjemur, selain itu pengamatan pagi juga dilakukan untuk pemasangan jebakan di lokasi yang berpotensi seperti tempat yang biasa digunakan untuk berjemur. Pengamatan ini dilakukan bila dalam lokasi tersebut belum dibuat jalur pengamatan.

b. Visual Encounter Survey-Line Transect

Pengamatan dilakukan di sepanjang transek yang telah dibuat. Masing-masing lokasi dibuat sepanjang 400 meter. Pengamatan dilakukan pada pagi pukul 08.00 WITA sampai selesai (disesuaikan dengan kondisi setempat). Cara pengamatan adalah berjalan pelan-pelan di sepanjang transek. Jika terdapat akar banir diamati celah-celahnya, kayu lapuk baik yang berdiri maupun telah roboh dibongkar untuk mencari hewan yang tersembunyi. Pengulangan dilakukan pada hari berikutnya, hal tersebut dilakukan untuk pengumpulan data tambahan serta pengambilan jebakan yang dipasang sebelumnya. Pengambilan data reptil dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:

a. Pra pengamatan

Sebelum pengamatan, dilakukan survei dengan cara mendeliniasi kawasan sehingga jelas perbedaan antar tipe habitat. Kegiatan ini bertujuan untuk


(29)

 

mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi. Setelah dilakukan deliniasi, maka dilakukan penentuan lokasi melalui peta yang ada atau survei lapang bila data peta kawasan tidak tersedia. Lokasi yang dipilih adalah kawasan lindung dengan berbagai ukuran fragmen serta beberapa plot contoh pada tiap tipe hutan tanaman. Setelah lokasi ditetapkan, maka dimulai dengan pembuatan jalur sepanjang 400 meter baik akuatik maupun terestrial, untuk terestrial dibuat lurus dengan memilih jalur yang memungkinkan dilalui dalam pengamatan malam. Tiap jalur diberikan penandaan dengan pita setiap 10 meter serta melakukan pembersihan jalur agar mudah dilewati. Setiap lokasi dibuat masing-masing satu jalur untuk akuatik dan terestrial dengan satu kali ulangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lapang lokasi yang akan dijadikan tempat pengamatan sehingga pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kegiatan ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan analisis habitat.

Penambahan jalur dilakukan jika lebih banyak jenis baru yang ditemukan di luar jalur pengamatan yang telah dibuat sebelumnya. Bila belum dilakukannya pembuatan transect pada lokasi yang akan diamati maka pengamatan dilakukan dengan time search selama dua jam di lokasi yang dominan, lokasi tersebut dapat berupa sepanjang aliran sungai atau terfokus pada suatu mikro habitat seperti kubangan atau gua. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan penambahan jenis dan melengkapi data keanekaragaman reptil dilokasi tersebut. Metode ini biasa dilakukan pada hari pertama tiba di lokasi karena belum adanya pembuatan

transect pengamatan. b. Pengamatan

Pengamatan pagi dilakukan pada pukul 07.00-09.00 WITA atau sepanjang jalur yang telah dibuat. Pengamatan difokuskan pada lokasi-lokasi yang memungkinkan digunakan untuk reptil berjemur seperti di atas batu atau di lokasi yang terkena sinar matahari langsung. Pengamatan ini juga dilakukan penempatan jebakan reptil berupa perekat yang diletakkan diatas papan. Pembuatan jebakan dilakukan dengan meletakkan perekat pada papan yang akan diletakkan di lokasi yang memungkinkan reptil melewatinya seperti tempat berjemur atau di mulut sarang, selain itu perekat juga dapat dipasangkan di tongkat kayu panjang yang


(30)

 

berguna untuk mengambil reptil yang sulit dijangkau seperti diatas pohon. Hal ini bertujuan untuk menangkap reptil yang sedang bergerak saat pengamat tidak berada di lokasi tersebut.

Pengamatan malam dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WITA atau sepanjang jalur yang telah dibuat. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan penerangan berupa cahaya senter yang diarahkan pada lokasi-lokasi yang memungkinkan reptil ditemukan seperti di batang pohon, lubang, kayu lapuk dan semak. Untuk kura-kura dilakukan penelusuran sungai dengan menyodok-nyodok tongkat kayu pada bagian anak sungai yang rimbun tertutup rerumputan dan tumbuhan air (Riyanto dan Mumpuni 2003). Pengamatan malam difokuskan pada reptil nokturnal yang sedang beraktivitas dan reptil diurnal yang sedang beristirahat.

Pengamatan dan penangkapan dilakukan di sepanjang jalur. Individu yang diamati lalu ditangkap dan dimasukkan dalam plastik berlabel. Untuk keperluan pengenalan awal, beberapa jenis reptil yang berhasil ditangkap diawetkan untuk kebutuhan identifikasi. Sebelumnya, sampel reptil dicatat ciri-ciri morfologi, ukuran tubuh dan data lain yang mungkin dibutuhkan seperti waktu, substrat serta perilaku saat ditemukan. Untuk reptil yang ditemukan di luar jalur juga diambil dan dicatat datanya untuk keperluan pelengkapan daftar jenis.

Pengulangan dilakukan sebanyak satu kali dijalur yang sama dengan sebelumnya atau jika memungkinkan dapat dilakukan pembuatan jalur baru berjarak 10 meter di sebelah jalur sebelumnya, sehingga jalur yang dibutuhkan untuk satu kali pengulangan berjumlah dua jalur. Pengulangan bertujuan untuk mendapatkan penambahan jenis dan pengambilan data habitat jika adanya data yang belum lengkap.

c. Preservasi, dokumentasi dan identifikasi spesimen

Data yang dicatat pada saat ditemukan adalah waktu, substrat, posisi, perilaku saat ditemukan serta nama penemu. Dokumentasi berupa gambar dapat diambil dengan kamera digital baik saat ditemukan ataupun setelah dipreservasi. Preservasi dilakukan untuk mengawetkan reptil yang ditangkap, preservasi hanya dilakukan pada reptil yang tidak dapat diidentifikasi, unik, memiliki kelainan atau reptil berbahaya yang sulit diidentifikasi dalam keadaan hidup. Preservasi


(31)

 

dilakukan dengan menenangkan reptil menggunakan alkohol 10%, kemudian dilakukan penyuntikan dengan alkohol 70% pada bagian tubuh tertentu lalu membentuknya agar tidak rusak. Setelah kaku reptil dimasukkan ke dalam kotak berisi kapas yang telah dibasahi oleh alkohol 70% atau tabung berisi alkohol 70%.

Data yang dicatat saat identifikasi adalah nama jenis, Snout-Vent Length, berat, lokasi dan informasi lain. Untuk penamaan jenis dilakukan identifikasi menggunakan buku kunci identifikasi seperti A Field Guide to The Snakes of Borneo (Inger dan Stuebing 1999), A Pocket Guide Lizard of Borneo (Das 2004 ),

A Photographic Guide to Snakes & Other Reptiles of Borneo (Das 2006), The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago (De Rooij 1915), dan Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini (Iskandar, 2000), Turtles of Borneo and Peninsular Malaysia (Lim dan Das 1999), Amphibians and Reptiles of Brunei

(Das 2007), serta panduan lain yang menunjang identifikasi dari berbagai sumber. Jenis yang tidak dapat diidentifikasi di lapang diawetkan dan dibawa ke Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang biologi-LIPI Cibinong, Bogor.

3.4.2 Habitat

Data habitat berguna untuk melakukan perbandingan keanekaragaman reptil yang ditemukan di tiap habitat serta melakukan perbandingan terhadap habitat yang berbeda dengan parameter keanekaragaman tersebut. Pengukuran parameter habitat yang dilakukan meliputi suhu dan kelembaban udara, pH air, substrat, curah hujan dan cuaca. Parameter lain yang diambil adalah topografi, penutupan tajuk, intensitas cahaya, substrat lantai hutan, vegetasi pohon dan tumbuhan bawah yang dominan.

Suhu dan kelembaban udara diambil pada satu titik yang diambil pada awal dan akhir pengamatan, karena kondisi habitat di setiap lokasi pengamatan tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Suhu dan kelembaban serta cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan dengan menggunakan termometer.


(32)

 

3.5 Analisis Data 3.5.1 Analisis Data Reptil

Data reptil yang diperoleh dalam jalur pengamatan dianalisis menggunakan beberapa indeks antara lain:

A. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis yang ditemukan dihitung menggunakan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Odum 1971), yaitu:

H’= -∑ Pi Ln Pi Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-i dibagi jumlah seluruh individu yang diperoleh di suatu lokasi

Variabel tersebut dapat digunakan dengan kriteria sebagai berikut:

H’ < 1 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah 1 < H’ < 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang H’ > 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi Nilai yang diperoleh kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragaman jenis berdasarkan habitat.

B. Kemerataan Jenis

Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan Jenis (Odum 1971), yaitu:

E = H’/ Ln S Keterangan:

E = Indeks Kemerataan Jenis

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan

C. Kekayaan Jenis

Untuk mengetahui kekayaan jenis pada suatu habitat digunakan indeks kekayaan jenis Margalef, yaitu:


(33)

 

Keterangan:

Dmg = Indeks kekayaan jenis margalef N = Jumlah individu semua jenis S = Jumlah jenis yang ditemukan D. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis

Untuk mengetahui pola aktivitas dan penyebaran jenis reptil dilakukan pencatatan data aktivitas yang dilakukan dan posisi (vertikal dan horizontal) pada setiap lokasi pengamatan dan keterkaitannya dengan kondisi fisik lokasi. Pengelompokan jenis berdasarkan penggunaan ruang dilihat dengan melakukan pengelomponkan menggunakan software SPSS dengan metode Ward. Korelasi mikrohabitat pada penyebaran jenis dilihat dengan melakukan pengelomponkan menggunakan software CANOCO dengan metode Gradient analysis CCA.

3.5.2 Analisis Data Habitat

Data habitat dianalisis secara deskriptif berdasarkan pada kenyataan yang ada di lapangan dan pada referensi-referensi yang ada dari spesies-spesies yang ditemukan di lokasi penelitian seperti kondisi fisik sungai, tegakan dominan, suhu serta berbagai data yang menunjang. Analisis data lalu dihubungkan dengan keanekaragaman jenis yang ditemui di lokasi penelitian melalui berbagai variabel yang diperoleh dari analisis data reptil.


(34)

 

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah

Kawasan lindung muara Lesan merupakan bekas PT Alas Helau pada tahun 1980 dengan luas 12.228 ha yang bergerak dibidang HPH dan memperdagangkan hasilnya. Kawasan baru menjadi kawasan konservasi setelah ditetapkan peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Berau nomor 3 tahun 2004 tentang tata ruang, di mana kawasan hutan lesan diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan terhadap habitat orangutan. Perda itu kemudian diperkuat putusan Bupati Berau Nomor 251 pada tahun yang sama yaitu pembentukan badan pengelola hutan Lesan untuk melindung orangutan. Kawasan lindung ini sudah masuk dalam usulan perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kaltim. Saat ini menunggu persetujuan menteri kehutanan sehingga berstatusnya dari lahan budidaya non kehutanan menjadi hutan lindung.

Berdasarkan peta Citra Lansat, kawasan di luar Kawasan Hutan Muara Lesan (Utara, Selatan, dan Barat) telah kritis, dan hulu sungai lebih terkonsentrasi dalam kawasan. Kondisi ini menyebabkan fungsi lindung untuk DAS sungai Lesan dan sekitarnya sangat penting untuk ekosistem perairan di bawahnya. Dengan indikator perlindungan populasi orang utan yang potensinya sama dengan beberapa taman nasional yang memiliki orang utan, topografinya yang bergelombang sampai curam dan lapisan tanahnya yang tipis maka perlindungan DAS Sungai Lesan lebih kuat untuk dipertahankan sebagai hutan lindung bagi perlindungan orang utan dan tata air. Perlindungan kawasan ini didukung oleh masyarakat adat Dayak Lesan dengan membuat pernyataan bersama, bahwa kawasan tersebut harus dipertahankan sebagai hutan adat mereka karena menjadi sumber tanaman buah-buahan untuk kehidupannya.

Sejumlah perkebunan telah beroperasi sejak 2006 di sekitar Hutan Lindung ini, seperti PT Berau Sawit Sejahtera (luas wilayah 6.000 ha lebih), PT Gunta Samba Jaya (8.000 ha lebih), dan PT Yudha Wahana Abadi (hampir 12.000 ha). Belum lagi beberapa HPH seperti PT Mardhika Insan Mulia dan PT Karya


(35)

 

Lestari. dan PT Belantara Pusaka (luas 2.500 ha). Praktis yang tersisa hanyalah hutan lindung ini sebagai penyeimbang alam. Topografi dibeberapa lokasi yang cukup sulit mengakibatkan kegiatan penebangan di kawasan Sungai Lesan tidak optimal, bahkan beberapa tempat masih dapat ditemukan hutan primer dengan tidak adanya kegiatan penebangan. Menurut Nardiyono (2005) kondisi hutan cukup berfariasi dari hutan dataran rendah, rawa, hingga perbukitan yang merupakan habitat cukup baik bagi flora dan fauna.

4.2 Letak dan Luas kawasan

Kawasan ini terletak diantara areal HPH, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit (Gambar 2). Data dari Pokja Program Karbon Berau, ada dua HPH, satu HTI dan lima perkebunan Sawit yang terdapat disekitar kawasan. Kawasan hutan lindung sungai lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01032’20,26”-01040’29,67” Lintang Utara dan antara 117003’58,19”-117011’13,47” Bujur Timur, dengan luasan 12.192 ha. Kawasan tersebut terbagi dalam wilayah administrasi 4 (empat) kampung yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Sidobangen, dan Merapun.


(36)

 

Hutan Lindung Sungai Lesan sebelah Utara berbatasan dengan Sidobangen, sebelah Timur dengan Lesan Dayak dan Muara Lesan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Merapun dan sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Mardhika Insan Mulia dan PT. Karya Lestari (PEMDA Berau 2005). Menurut surat rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 November 2005 tentang perubahan kawasan yang ditujukan kepada menetri Kehutanan, luasan kawasan yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 ha dari luasan 12.192 ha yang diusulkan oleh bupati Berau. Berkurangnya luasan kawasan tersebut disebabkan adanya kajian ulang Dinas Kehutaan Provinsi Kalimantan Timur yang menemukan bahwa sebagian wilayah kawasan Lesan yang semula diusulkan merupakan wilayah IUPHHKT PT. Belantara Pusaka.

4.3 Kondisi Biologi

4.3.1 Kondisi Iklim

Kondisi iklim di kawasan dicirikan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kecepatan angin rendah dan lama penyinaran yang relatif panjang (± 6 jam perhari). Rata-rata curah hujan tahunan selama 30 tahun pencatatan (1971-2000) mencapai 2.012 mm dengan distribusi yang relatif merata sepanjang tahun yaitu tidak mempunyai bulan kering (curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah (curah hujan bulanan>200 mm) terjadi pada bulan November, Desember, Januari dan Maret sedangkan sisanya adalah bulan lembab (curah hujan antara 100 s/d 200 mm perbulan). Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Juli sampai September. Rata-rata jumlah hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan. Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September (PEMDA Berau 2005).

4.3.2 Kondisi Hidrologi

Kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Kelai di bagian Utara dan Sungai Lesan di bagian Timur. Sungai Kelai merupakan salah satu dari dua sungai utama di Kabupaten Berau, dengan lebar kurang lebih 120 meter dan debit air yang stabil sepanjang tahun. Sungai Lesan dengan lebar 30 meter adalah salah satu sungai yang memberi kontribusi kepada sungai Kelai atau DAS Sungai Lesan merupakan Sub DAS Kelai (bagian Utara) serta sub DAS


(37)

 

Letak di sebelah Timur dan Selatan kawasan. Dalam kawasan juga terdapat beberapa sub DAS yang lain yaitu sub DAS Sungai Pesan dan sub DAS Sungai Lejak (PEMDA Berau 2005).

4.3.3 Topografi

Dari hasil identifikasi melalui system informasi data Demographic Elevation Model (DEM), data-data kontur, data-data RepPProt dan yang lainnya serta pengecekan lapangan, diperoleh informasi tentang kelas lereng dan keadaan topografi kawasan Lesan. RePProt tahun 1987 pada kawasan ini terdapat 10.664 ha atau sekitar 87% areal memiliki kelas kemiringan lereng (slope) lebih dari 40%. Di kawasan Lesan yang memiliki kemiringan lahan sangat ekstrim ini menjadi indicator tingkat bahaya erosi akan sangat berat dan sudah seharusnya dijadikan hutan lindung (PEMDA Berau 2005).

4.3.4 Kondisi Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat dan hasil cek lapangan tim survei

Berau Forest Management Project (BFMP) tahun 1999-2000 diketahui kondisi hutan kawasan ini masih sangat baik (85% hutan tidak terganggu). Kondisi hutan semakin baik karena selama 2000-2007 tidak ada Aktivitas yang cukup berat di kawasan ini selain pengambilan hasil hutan non kayu atau non timber forest product (NTFP) dan perburuan terbatas oleh masyarakat sekitar. Kawasan hutan lindung sungai lesan terdiri dari hutan bekas tebangan yang masih sehat, hutan bekas tebangan sangat terganggu, hutan tanaman industri dengan komoditi tanaman karet, alang-alang dan belukar (PEMDA Berau 2005).

4.3.5 Tingkat Bahaya Erosi

Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan menggunkan teknik

Universal Soil Loss Equation (USLE), yaitu alat untuk memprediksi bahaya erosi pada suatu tempat bila di suatu wilayah tidak lagi memiliki hutan, dengan nilai bahaya dari ringan sampai berat. Mengacu pada kriteria bahaya erosi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RLKT Departemen Kehutanan 1994, kawasan Lesan termasuk dalam tingkat bahaya erosi sedang sampai sangat. Dengan tingginya nilai erosi di dalam kawasan sangat berat cocok dengan kriteria kelas bahaya erosi


(38)

 

untuk Hutan Lindung dan penyangga yaitu kelas IV-V atau nilai erosi antara 60-180 ton/ha/thn dan diatas 60-180 ton/ha/thn (PEMDA Berau 2005).

4.3.6 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Hutan Sungai Lesan sebagian besar merupakan hutan sekunder. Dari hasil pengamatan tim survey TNC pada tahun 2003-2006, berhasil dicatat ada 45 jenis pohon pakan primata dan sarang Orangutan (Nardiyono, 2007). Adapun jenis-jenis pohon yang ditemukan pada kawasan ini adalah jenis-jenis pohon jambu-jambu, kayu kacang, resak, kayu arang, kecundai, majau, meranti merah, ulin, kapur, keranji, medang, kenari, rengas, meranti pandan, pasang, meranti kuning, empilung, mata kucing, mersawa, bengkal, nyatoh, meranti putih, semangkok, terap, sengkuang, penjalin, dan marsolo serta berbagai jenis pohon buah-buahan. Sebagian dari jenis kayu yang ditemui sangat cocok bagi sarang dan pakan Orangutan.

Menurut data survei yang dilakukan The Nature Conservancy menunjukkan keanekaragaman satwa yang ada di kawasan Sungai Lesan sangat tinggi. Nardiyono (2007) menyatakan bahwa hal ini bisa dilihat dari beberapa jenis satwa yang berhasil diobservasi, tercatat ada 52 jenis mamalia (18 jenis kelelawar), 118 jenis burung, 12 amfibi dan 5 jenis reptil.

4.4 Kondisi Habitat

Habitat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi tiga lokasi yaitu anak sungai Lejak, sungai Lejak dan sungai Lesan, ketiga lokasi dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu terestrial dan akuatik. Karakteristik masing-masing lokasi dibedakan berdasarkan kondisi fisik sungai, tegakan dominan, pH air, suhu udara dan air, serta faktor lainnya yang terdapat pada lokasi tersebut.

4.4.1 Anak sungai Lejak

Lokasi pertama yaitu anak sungai Lejak yang dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial untuk metode transek dengan masing-masing dua kali ulangan, lokasi ini juga dilakukan pengamatan dengan metode

time search namun tidak mendapatkan penambahan jenis reptil dengan waktu pengamatan dua jam.


(39)

 

Jalur terestrial (Gambar 3) memiliki karakteristik berupa hutan dengan tutupan kanopi rapat, sedikit alang dan semak dengan ketebalan serasah mencapai 10 cm dan didominasi tumbuhan ulin (Eusideroxylon zwageri). Jalur ini merupakan jalur yang sudah lama dibuat sebelumnya, tipe jalur yang berbukit dan banyak dijumpai tumbuhan besar yang tumbang dan lapuk yang merupakan mikro habitat bagi satwa tertentu. Dijumpai kubangan pada jalur serta memotong dua aliran air berupa sungai kecil bersubstrat lumpur. Lokasi ini banyak ditemukan vegetasi tingkat pohon yang memiliki lubang penampungan air di batangnya yang biasa digunakan katak untuk bersembunyi.

Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur.

Jalur akuatik (gambar 4) memiliki karakteristik berupa sungai yang mengalir sepanjang tahun yang didominasi oleh tumbuhan bintangur (Calophyllum inophyllum) dengan tinggi rata-rata 1 meter. Lokasi yang berupa sungai kecil beraliran tenang, dangkal dan jernih dengan dasar sungai atau substrat dominan berupa bebatuan kecil, namun pada bagian sungai yang lebih dalam, dasar sungai berisikan serasah, pasir dan bebatuan yang lebih besar. Tingkat kedalaman semakin tinggi pada setiap tikungan. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 25° C dengan suhu kering 25,5° C, suhu basah 22,5° C dan pH 7. Lebar rata-rata sungai 3 meter dengan kedalaman hanya 20 cm pada saat cerah dan bertambah sehabis hujan.


(40)

 

Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak.

4.4.2 Sungai Lejak

Lokasi kedua yaitu sungai Lejak yang dibagi menjadi 2 jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial untuk metode transek dengan masing-masing 2 kali ulangan. Jalur akuatik lokasi kedua merupakan induk sungai jalur akuatik lokasi pertama namun dengan karakteristik yang berbeda, lokasi ini memiliki aliran air yang lebih tenang dan badan sungai yang lebih lebar dibandingkan lokasi pertama.

Gambar 5 Jalur terestrial sungai Lejak dan aliran air memotong jalur.

Jalur terestrial (Gambar 5) pada lokasi kedua berupa hutan dengan tutupan kanopi rapat yang didominasi tumbuhan tingkat semai dan pancang dari jenis meranti (Shorea sp.). Terdapat 2 aliran sungai yang masih mengalir dan 1 bekas aliran air, serta kontur berbukit dan bersemak cukup rapat pada beberapa titik. Ketebalan serasah mencapai 10 cm namun tidak terlalu banyak ditemukan pohon tumbang. Banyak dijumpai pohon dengan banir besar yang dijadikan tempat berlindung. Lokasi ini merupakan jalur yang baru dibuat sehingga tingkat


(41)

 

keanekaragamannya lebih tinggi dibanding lokasi pertama. Di luar jalur ditemukan sungai berarus tenang dengan air berwarna gelap serta bersubstrat dasar lumpur.

Jalur akuatik (Gambar 6) merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun yang didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dengan tinggi rata-rata 1 meter, namun banyak juga dijumpai pandan-pandanan dibagian tepi sungai. Lokasi yang berupa sungai yang cukup lebar dengan lebar rata-rata 10 meter dengan lebar maksimal 20 meter. Terdapat 3 cabang sungai kecil di sepanjang jalur. Kedalaman rata-rata sungai 43 cm dengan kedalaman maksimal 120 cm. arus sangat tenang serta berwarna sedikit keruh dan banyak ditemukan pohon tumbang pada bagian sisi sungainya. Substrat dasar sungai didominasi oleh pasir dan serasah namun pada beberapa titik didominasi oleh bebatuan besar. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan suhu kering 24° C, suhu basah 22° C dan pH 8.

Gambar 6 Jalur akuatik sungai Lejak.

4.4.3 Sungai Lesan

Lokasi ketiga yaitu sungai Lesan yang dibagi menjadi 3 jalur pengamatan yaitu satu akuatik dan 2 terestrial untuk metode transek dengan masing-masing 2 kali ulangan. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan dengan metode time search

namun tidak didapatkan penambahan jenis. Sungai Lesan merupakan sungai terbesar di kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan ini, jalur akuatik yang digunakan adalah anak sungai yang langsung mengalir ke Sungai Lesan.


(42)

Gambar 7 Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur.

Jalur terestrial pertama (Gambar 7) merupakan hutan dengan tutupan kanopi cukup rapat dengan kontur yang berbukit dan ditemukan satu kubangan serta melewati satu aliran sungai kecil. Kubangan pada lokasi ini merupakan micro habitat yang sangat menarik karena terdapat 3 jenis amfibi yaitu Polypedates colletii, Rhacophorus appendiculatus dan Microhyla sp yang hanya ditemukan di lokasi ini tanpa ditemukan di jalur pengamatan lainnya. Tegakan dominan berupa

tum .

lokasi ini memiliki jenis tumbuhan lebih beraneka ragam dalam tingkat pancang, terdap

Gambar 8 Jalur terestrial kedua sungai Lesan.  

buhan tingkat pancang dan rapat dengan ketebalan serasah lebih dari 10 cm


(43)

 

Jalur terestrial kedua merupakan jalur utama masuk lokasi Lesan (Gambar 8), lokasi ini merupakan jalur yang paling berbeda dari lokasi lainnya karena kondisi habitat yang sudah tidak alami karena terdapat bangunan dan jalan yang sudah permanen. Lokasi ini diambil sebagai pembanding tingkat keanekaragaman terhadap lokasi lainnya. Lokasi dengan tutupan kanopi yang rapat namun dengan vegetasi dominan tingkat pohon, Tidak dapat tumbuhan pada jalur karena jalan sudah permanen dengan serasah hanya mencapai 5 cm.

Jalur akuatik (Gambar 9) merupakan sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun yang didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dan rotan (Daemonorops sp.). Sungai berarus tenang dan banyak dijumpai genangan namun terdapat arus

yang cukup deras n serasah dengan

tutupan kalopi yang cukup rapat dan sem sedikit

lainnya karena substrat didominasi oleh serasah dan tanah namun sedikit batuan. Lebar sungai mencapai 6 meter dengan kedalaman 50 cm yang biasa terdapat pada bagian tikungan. Terdapat tegakan bambu pada bagian awal sungai, tegakan bambu merupakan tegakan yang hanya dijumpai di jalur pengamatan ini dan memiliki tingkat penambahan jenis khususnya reptil. Pada bagian titik akhir, sungai menjadi bercabang dengan

pada beberapa titik. Dasar sungai berpasir da

ak yang lebat sehingga hanya terdapat celah matahari masuk, yang mengakibatkan lokasi ini lebih lembab dibanding lokasi akuatik lainnya.

Gambar 9 Jalur akuatik sungai Lesan.

Terdapat banyak pohon dan kayu tumbang dan melintang di tengah sungai. Karakteristik sungai berbeda dengan lokasi


(44)

 

tutupan kanopi yang lebih rapat. Volume dan tinggi air meningkat saat sehabis hujan serta warna air yang berubah kotor dengan arus yang lebih deras. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan suhu kering 24° C, suhu basah 23° C dan pH 6.

Karakteristik sungai berdasarkan lebar dan kedalaman ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. Sungai yang memiliki ukuran paling lebar dan paling dalam terletak pada lokasi kedua yaitu sungai Lejak dengan lebar maksimum 24 meter dan kedalaman maksimum 120 cm. sedangkan sungai dengan ukuran lebar terkecil adalah lokasi ketiga yaitu sunga aksimum 7 meter, namu

i Lesan dengan lebar m

n kedalaman maksimum lokasi ketiga sama dengan lokasi pertama yaitu 50 cm.

Gambar 10 Grafik tingkat kedalaman sungai di tiga lokasi.

20 0

Rata‐rata Max Min

nilai 40

60 80 100 120

Sentimeter

A.Lejak Lejak Lesan


(45)

 

Gam asi.

Sungai di Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan sungai berarus tenang dengan warna air jernis dan substrat dasar dominan batuan dan serasah dengan karakteristik sebagian besar sama. Sungai Lejak merupakan sungai terlebar dan terdalam dibanding ketiga lokasi lainnya, sehingga sungai ini memiliki ruang masuk matahari lebih besar dibanding sungai lain yang tertutup kanopi. Sungai ketiga atau sungai Lesan adalah anak sungai yang langsung mengalir ke sungai Lesan, lokasi ini paling berbeda dibanding 2 sungai lainnya karena terdapat tegakan bambu dan banyak dijumpai rotan serta tumbuhan semak lainnya. Sungai ini memiliki karakteristik vegetasi yang beragam dengan tutupan kanopi yang sangat rapat dengan hulu sungai yang berlumpur.

Tingkat kelembaban lokasi tertinggi adalah jalur Anak Sungai Lejak dengan nilai kelembaban dengan nilai 86,8%, sedangkan yang terendah adalah jalur Sungai Lejak dengan nilai 78%. Lokasi jalur Sungai Lesan memiliki tingkat kelemb

0 5 10 15 20 25

∑ Max Min ∑ Max Min

Badan sungai (m) bibir sungai (m)

Meter

Nilai

A.Lejak Lejak Lesan

bar 11 Grafik tingkat lebar badan dan bibir sungai di tiga lok


(46)

 

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Komposisi Jenis

Jumlah keseluruhan reptil yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu 31 jenis diantaranya 27 jenis ditemukan di dalam jalur pengamatan dan 15 jenis di luar jalur pengamatan (Tabel 2).

Tabel 2 Daftar Famili, jenis dan jumlah individu pada tiap habitat

No Famili Jenis D J A T Total

1

Agamidae

Aphaniotis ornata 0 2 3 5 2 Bronchocela cristatella 1 0 0 1

3 Draco fimbriatus 1 0 0 1

4 Draco haematopogon 0 0 1 1 5 Gonocephalus borneensis 1 2 11 14 6 Gonocephalus grandis 0 1 0 1 7 Gonocephalus liogaster 0 0 3 3 8

Colubridae

Ahaetulla prasina 0 1 0 1

9 Boiga drapiezii 0 1 0 1

10 Dendrelaphis formosus 0 0 2 2 11 Dendrelaphis pictus 1 0 0 1 12 Pareas malaccanus 0 1 0 1 13 Rhabdophis chrysarga 1 0 0 1 14 Xenochrophis trianguligera 0 1 0 1 15 Xenodermus javanicus 0 1 0 1

16 Crotalidae Tropidolaemus wagleri 0 0 1 1

17

Geckonidae

Aeruloscalobates felinus 0 0 1 1 18 Cyrtodactylus consobrinus 0 1 0 1 19 Cyrtodactylus malayanus 0 8 11 19

20 Gekko gecko 1 0 1 2

21 Gehyra mutilata 1 0 1 2

22 Hemidactylus frenatus 2 0 1 3

23 Geomididae Notochelys platynota 1 1 0 2

24 Pythonidae Python reticulatus 1 1 0 2

25

Scincidae

Dasia olivaceae 0 0 1 1 26 Eutrophis multifasciata 2 6 6 14

27 Eutrophis rudis 5 2 17 24

28 Sphenomorphus haasii 2 1 15 18 29 Tropidophorus mocquardii 1 1 4 6

30 Trionychidae Amyda cartilaginea 0 1 0 1

31 Varanidae

Varanus salvator Jumlah Jenis Jumlah Individu 10 15 31 3 18 35 0 16 79 13 31 145


(47)

 

Jumlah individu tertinggi dijumpai pada jalur terestrial yaitu 79 individu sedangkan akuatik hanya 35 individu (Tabel 2). Jumlah jenis tertinggi dijumpai pada habitat akuatik yaitu 18 jenis sedangkan terestrial 16 jenis. Perolehan di luar jalur tidak jauh berbeda dengan akuatik yaitu 15 jenis dan 31 individu. Reptil yang hanya ditemukan di luar jalur pengamatan berjumlah 4 jenis yaitu

Bronchocela cristatella, Dendrelaphis pictus, Rhabdophis chrysarga, dan Draco fimbriatus.

Tabel 3 Daftar klasifikasi dan jumlah jenis reptil

No Ordo Sub-ordo Famili Marga Jenis

1 Squamata Sauria Varanidae 1 1

2 Scincidae 4 5

3 Geckonidae 5 6

4 Agamidae 4 7

5 Ophidia Colubridae 7 8

6 Phytonidae 1 1

7 Crotalidae 1 1

8 Testudinata Geomydidae 1 1

9

Jumlah

Trionychidae 9

1 25

1 31

0 20 40 60 80

Scincidae Geckonidae Agamidae Varanidae Colubridae Geomydidae Pythonidae Crotalidae Trionychidae

Jumlah

Famili

Jenis Individu

Gambar 12 Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili.

Dari 31 jenis reptil yang diperoleh, terdiri dari 2 ordo yaitu squamata dan testudinata serta 9 famili yaitu Phytonidae, Varanidae, Crotalidae, Geomydidae,


(48)

 

dan Trionychidae (1 jenis), Scincidae (5 jenis), Geckonidae (6 jenis), Agamidae (7 jenis) dan Colubridae (8 jenis). Terdapat 2 jenis yang termasuk dalam kategori rawan (Vulnerable) IUCN dan Appendix II CITES yaitu kura-kura punggung datar (Notochelys platynota) dan bulus (Amyda cartilaginea). Kedua jenis tersebut dicantumkan dalam Redlist IUCN pada tahun 2000 dan Appendix II CITES pada tahun 2005. Sebagian besar jenis reptil yang diperoleh merupakan catatan baru karena belum pernah diadakan penelitian spesifik tentang herpetofauna sebelumnya.

Jumlah individu dari seluruh jenis yang ditemukan adalah 145 individu. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari penemuan jenis di dalam dan di luar jalur dengan 114 individu di dalam jalur dan 31 individu di luar jalur pengamatan.

Gambar 13 Jenis dengan nilai kelimpahan tertinggi (Eutrophis rudis).

Kelas famili yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah famili Scincidae yaitu 63 individu dan terendah adalah famili Crotalidae dan Trionychidae yaitu 1 individu. Sedangkan individu terbanyak (24 individu) dengan nilai kelimpahan 16,55% adalah Eutrophis rudis serta paling sedikit (1 individu) dengan nilai kelimpahan 0,69% adalah Aeruloscalobates felinus, Amyda cartilaginea, Ahaetulla prassina, Boiga drapiezii, Bronchocella cristatella, Cyrtodactylus consobrinus, Dasia olivaceae, Draco haematopogon, Draco fimbriatus, Dendrelaphis pictus, Gonochepalus grandis, Pareas malaccanus, Rhabdophis chrysarga, Tropidolaemus wagleri, Xenocrophis triangularigera ,


(49)

 

1

4

2

1

0

3

0 0

5

1

2

1 1

4

0

1

4 4

5

0 0

5

1 1

Anak Sungai Lejak Sungai Lejak Sungai Lesan

Gambar 14 Grafik Jumlah jenis dari tiap famili pada tiap lokasi pengamatan.

Lokasi Anak Sungai lejak didominasi oleh famili colubridae dengan jumlah 4 jenis (Dendrelaphis formosus, Dendrelaphis pictus, Pareas malaccanus dan

Xenodermus javanicus). Sungai Lejak didominasi oleh famili Agamidae dengan jumlah 5 jenis (Aphaniotis ornata, Bronchocela cristatella, Gonocephalus borneensis, Gonocephalus grandis, dan Gonocephalus liogaster). Sungai Lesan didominasi oleh famili Geckonidae dengan jumlah 5 jenis (Aeruloscalobates felinus, Cyrtodactylus consobrinus, Cyrtodactylus malayanus, Gehyra mutilata,

dan Hemidactylus frenatus) dan famili Scincidae dengan jumlah 5 jenis (Dasia olivaceae, Eutrophis multifasciata, Eutrophis rudis, Sphenomorphus haasii, dan

Tropidophorus mocquardii). Jumlah tersebut termasuk dalam penemuan di luar waktu pengamatan dan metode jebakan (glue trap).

Dalam waktu pengambilan data selama 20 hari pengamatan (31 Juli 2010 sampai 19 Agustus 2010) terjadi penambahan jenis selama 15 hari pengamatan. Dari Gambar 15 menunjukkan perolehan jenis lebih tinggi pada lokasi di luar jalur pengamatan dengan jumlah jenis 15, sedangkan jalur akuatik memiliki perolehan lebih tinggi dibandingkan terestrial yaitu 9 jenis pada akuatik dan 8 jenis pada terestrial. Penambahan jenis secara keseluruhan menunjukkan kurva terus naik yang memungkinkan terjadinya penambahan jenis bila dilakukan pengambilan data lebih lama dengan cakupan lokasi yang lebih luas (Gambar 15).


(50)

 

0 5 10 15 20 25 30 35

31/07 01/08 02/08 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08 08/08 09/08 10/08 11/08 12/08 13/08 14/08 15/08 16/08 17/08 18/08 19/08

Jumlah

 

spesies

Keseluruhan Akuatik Terestrial Diluar Jalur

Gambar 15 Grafik akumulasi spesies berdasarkan tipe habitat dan waktu pengamatan.

Waktu pengamatan

Penyebaran jenis pada tipe akuatik didominasi oleh famili Colubridae yaitu

Ahaetulla prasina, Boiga drapiezii, Pareas malaccanus, Xenodermus javanicus

dan Xenochrophis trianguligera sedangkan pada habitat terestrial didominasi oleh famili Agamidae yaitu Aphaniotis ornata, Draco haematopogon, Gonocephalus borneensis dan Gonocephalus liogaster. Reptil yang tersebar di kedua tipe habitat hanya 3 jenis yaitu Aphaniotis ornata, Cyrtodactylus malayanus dan

Gonocephalus borneensis.


(51)

 

Jenis reptil yang memiliki peluang perjumpaan tertinggi adalah

Cyrtodactylus malayanus sebesar 87,5%, sedangkan jenis Eutrophis rudis, Eutrophis multifasciata, Gonochepalus borneensis dan Sphenomorphus haasii

juga memiliki peluang perjumpaan yang cukup tinggi yaitu 75%.

Famili Geckonidae memiliki tingkat peluang perjumpaan paling tinggi di antara famili lain yaitu sebesar 100% atau dapat ditemukan di seluruh lokasi pengamatan, sedangkan famili Crotalidae dan Trionychidae memiliki peluang perjumpaan terendah yaitu sebesar 12,5% atau hanya dapat ditemukan di satu lokasi pengamatan. Peluang perjumpaan paling tinggi dari famili Colubridae adalah Dendrelaphis fumosus (25%) karena jenis lainnya hanya ditemukan pada satu lokasi sebanyak satu individu saja.

5.1.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis

Nilai keanekaragaman jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 2,47 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 2,28 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 1,89. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 2,05 dan A. Lejak 1,33) dan terestrial (S. Lesan 2,35 dan A. Lejak 1,58), akan tetapi untuk lokasi Sungai Lejak (S. Lejak) pada tipe habitat akuatik dan terestrial tidak jauh berbeda yaitu 1,90 dan 1,96.

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Akuatik Terestrial Total

Nilai

 

H'

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan


(52)

 

Gambar 17 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai keanekaragaman jenis lebih rendah dibandingkan terestrial, akan tetapi nilai tersebut hanya berlaku bila ketiga lokasi pengamatan dipisah, sedangkan bila ketiga lokasi digabung maka perbandingan menjadi terbalik dengan nilai keanekaragaman jenis pada habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial yaitu 2,56 pada habitat akuatik dan 2,27 pada habitat terestrial.

Nilai kemerataan jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 0,89 kemudian Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 0,86 dan terendah pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 0,84. Perbandingan tersebut berlaku pada tipe habitat akuatik namun berbeda dengan terestrial, habitat terestrial pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 0,89 dibandingkan Anak Sungai Lejak (A. Lejak) yaitu 0,88. Gambar 18 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai kemerataan lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial, nilai tersebut diperoleh bila ketiga lokasi dipisah.

0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1

Akuatik Terestrial Total

NIlai

  

E

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan

Gambar 18 Grafik perbandingan nilai kemerataan jenis (E).

Nilai kemerataan gabungan dari ketiga lokasi memiliki perbandingan sama yaitu habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan terestrial dengan nilai 0,89 pada habitat akuatik dan 0.82 pada habitat terestrial, hasil tersebut berbeda dengan nilai keanekaragaman jenis gabungan akuatik terestrial dengan nilai keanekaragaman


(53)

 

jenis gabungan ketiga lokasi pengamatan yang berbanding terbalik. Nilai kenanekaragaman pada tipe habitat akuatik lebih rendah dibandingkan terestrial, sedangkan nilai kemerataan pada tipe habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan terestrial, lokasi dengan nilai keanekaragaman paling tinggi terdapat pada Sungai Lesan yang merupakan lokasi dengan nilai kemerataan paling rendah, sedangkan lokasi dengan nilai kemerataan paling tinggi terdapat pada Sungai Lejak.

Jumlah jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 19 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 13 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 9. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 10 dan A. Lejak 4) dan terestrial (S. Lesan 14 dan A. Lejak 6). Gambar 19 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki jumlah jenis lebih rendah dibandingkan terestrial, akan tetapi nilai tersebut hanya berlaku bila ketiga lokasi pengamatan dipisah, sedangkan bila ketiga lokasi digabung maka perbandingan menjadi terbalik dengan jumlah jenis pada habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial yaitu 18 pada habitat akuatik dan 16 pada habitat terestrial. Hasil tersebut juga berbanding terbalik dengan jumlah individu, reptil yang ditemukan pada tipe habitat terestrial memiliki jumlah individu yang lebih banyak yaitu akuatik 79 individu dan terrestrial 35 individu.

0 5 10 15 20

Akuatik Terestrial Total

Jumlah

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan


(54)

 

Nilai kekayaan jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 4,53 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 3,25 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 2,63. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 2,91 dan A. Lejak 1,86) dan terestrial (S. Lesan 3,79 dan A. Lejak 1,80). Hasil dengan menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef (Gambar 20) menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki kekayaan jenis lebih tinggi dibandingkan terestrial pada lokasi Anak Sungai Lejak dan Sungai Lejak namun lebih rendah pada lokasi Sungai Lesan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai perbandingan kekayaan jenis Margalef antar lokasi tidak berbanding lurus dengan nilai indek keanekaragaman jenis Shanon yang menunjukkan bahwa lokasi akuatik lebih rendah dibandingkan terestrial.

0 1 2 3 4 5

Akuatik Terestrial Total

Nilai

 

Dmg

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan

Gambar 20 Grafik perbandingan kekayaan jenis (Dmg).

5.1.3 Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis

Jenis data yang dicatat merupakan aktivitas pertama kali dilihat pada saat pengambilan data seperti aktivitas, substrat serta posisi yang dapat menunjukkan pola pergerakan. aktivitas reptil terbagi menjadi dua yaitu diurnal dan nokturnal dengan sebaran ekologis yang terbagi menjadi 4 yaitu akuatik, terestrial, arboreal dan fosforial. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar satwa terestrial


(1)

FAMILI GEOMYDIDAE

Notochelys platynota Gray, 1834 (Malayan Flat-shelled Turtle)

Deskripsi:Kura-kura yang dapat mencapai ukuran 400 mm. Salah satu cirinya yang sangat khas adalah terdapat 6 atau 7 keping sisik vertebral dengan sisik terakhir berukuran jauh lebih kecil dibandingkan yang lainnya, keeping vertebral memiliki lunas dibagian tengah tubuhnya. Tepi keping marginalnya memiliki gerigi di bagian depan dan belakangnya. Warna perisai punggungnya coklat tua atau hijau gelap tanpa adanya bercak atau pola lainnya. Bagian bawah berwarna kekuningan dengan bercak hitam yang besar tersebar di tengah dan tepi tiap sisiknya. Pada spesies yang masih juvenile berwarna hujau cerah atau kuning cerah.

Photo By : Arief Tajalli 

Penyebaran : Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Bangka.

FAMILI SCINCIDAE

Dasia olivacea Gray, 1839 (Olive Tree Skink)

Deskripsi : Jenis kadal arboreal yang jarang ditemukan, biasa dijumpai sedang berjemur pada siang hari di lokasi-lokasi yang terkena sinar matahari langsung di atas pepohonan karena jenis ini tergolong arboreal. Ciri utama yang mudah dikenal yaitu warnanya yang hijau mengkilap Photo By : Sasi Kirono 


(2)

pada bagian bawah tubuhnya dan corak lebih gelap pada bagian atas tubuhnya. Penyebaran : Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.

Eutropis multifasciata Kuhl, 1820 (Many-lined Sun Skink)

Deskripsi : Jenis kadal yang sangat mudah ditemukan, biasa dijumpai sedang berjemur pada siang hari di lokasi-lokasi yang terkena sinar matahari langsung seperti pohon tumbang atau di permukaan batu. Biasa ditemukan dalam jumlah banyak di lantai hutan. Ciri utama yang mudah dikenal yaitu warnanya yang mengkilap dan biasa terdapat corak berwarna

kekuningan pada bagian sisi tubuhnya. Satwa diurnal atau aktif di siang hari serta

tinggal di lantai hutan seperti tumpukan serasah atau lobang kayu yang telah tumbang, namun pada malam hari biasa ditemukan di tumbuhan tingkat semai dengan ketinggian berkisar 1 meter.

Photo By : Arief Tajalli  Photo By : Arief Tajalli 

Penyebaran : Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Papua.

Eutropis rudis Boulenger, 1887 (Rough Mabuya)

Deskripsi : Jenis kadal yang sangat mudah ditemukan, biasa dijumpai sedang berjemur pada siang hari di lokasi-lokasi yang terkena sinar matahari langsung seperti pohon tumbang atau di permukaan batu. Biasa ditemukan dalam jumlah banyak di lantai hutan. Ciri utama yang mudah Photo By : Arief Tajalli 


(3)

tebal berwarna lebih gelap pada bagian sisi tubuhnya. Satwa diurnal atau aktif di siang hari serta tinggal di lantai hutan seperti tumpukan serasah atau lobang kayu yang telah tumbang, namun pada malam hari biasa ditemukan di tumbuhan tingkat semai dengan ketinggian berkisar 1 meter.

Penyebaran : Mentawai, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Sphenomorphus haasi Inger & Hosmer, 1965 (Haas’ Litter Skink)

Deskripsi : Kadal tanah berukuran kecil namun mampu memanjat pohon, tubuh ramping dan memanjang dengan tungkai yang relatif panjang. Ekor melebihi panjang tubuh dan rubcing pada bagian ekornya. Bagian atas tubuh berwarna kecoklatan atau perak kemuningan dengan pola berwarna gelap tesebar acak. Bagian bawah mata atau upper labiar berwarna hitam dan putih bersilangan. Merupakan jenis yang cukup melimpah di Lesan karena sering ditemukan tertama pada malam hari di lantai hutan dalam kondisi tidur. Jenis yang mudah dikenali dari ukurannya yang kecil. Satwa diurnal atau aktif di siang hari serta tinggal di lantai hutan seperti tumpukan serasah atau lobang kayu yang telah tumbang, namun pada malam hari biasa ditemukan di tumbuhan tingkat semai dengan ketinggian berkisar 1 meter.

Photo By : Arief Tajalli 


(4)

Tropidophorus mocquardii Boulenger, 1894 (Mocquard’s Keeled Skink)

Deskripsi : Kadal dengan kepala berukuran besar dan meruncing pada bagian ujungnya dan ditutupi dengan sisik yang halus. Cirri utama yang mudah dikenali yaitu corak pada bagian atas tubuh berwarna gelap yang melintang serta taburan warna putih pada bagian sisi tubuhnya. Biasa ditemukan disiang hari sedang berjemur atau berburu mangsa, namun sulit ditangkap karena larinya yang cepat. Mudah ditangkap pada malam hari dengan kondisi tidur di

tumbuhan tingkat semai dengan ketinggian berkisar 1 meter.

Photo By : Arief Tajalli 

Penyebaran : Endemik Kalimantan. FAMILI PYTHONIDAE

Python reticulatus Schneider, 1801 (Reticulated Python)

Deskripsi : Ular yang berukuran paling besar dari ular lainnya yang mencapai ukuran 10 meter. Ciri utama yang mudah dikenali yaitu polanya yang menyerupai batik dengan warna utama kecoklatan. Warna khas yang menandakan jenis ini yaitu terdapat warna putih pada bagian sisi tubuhnya. Ular ini tidak memiliki bisa namun membunuh mangsanya dengan melilit lalu menelannya. Biasa ditemukan pada malam hari di sungai, individu sering ditemukan sedang berenang setelah berburu mangsanya.


(5)

FAMILI TRIONYCHIDAE

Amyda cartilaginea Boddaert, 1770 (Malayan Softshell Turtle)

Deskripsi : Ukuran tubuh dewasa mencapai 80 mm namun umumnya hanya sekitar 60 mm. perisainya ditutupi kulit yang sebagian dibangun oleh tulang rawan. Ukuran mata relative kecil dan lubang hidung terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Bibir relatif tebal. Selaput kaki penuh dan memiliki cakar yang kuat. Ukuran leher relative panjang karena mampu melebihi setengah perisainya. Warna perisai hitam hingga abu-abu, pada perisai atas (karapas) terdapat bintil-bintil yang membentuk garis putus-putus dari depan ke belakang. Kepala dan kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai bintik-bintik berwarna kuning. Pada usia muda, kadang-kadang bisa dijumpai enam hingga sepuluh bercak hitam bertepi putih pada bagian belakang

perisainya. Jenis ini ditemukan saat sungai pasang dan berwarna keruh dengan arus

yang cukup deras pada malam hari. Jenis ini tergolong agresif yang menggigit saat merasa terancam, memilihi leher yang panjang sehingga jangkauan gigitannya cukup jauh.

Photo By : Sasi Kirono 


(6)

FAMILI VARANIDAE

Varanus salvator Laurenti, 1768 (Asian Monitor Lizard)

Deskripsi : Kadal berukuran besar yang banyak terdapat di hutan dataran rendah dan mangrove. Ukuran dapat mencapai 1040 mm dengan ekor 1320 mm. Namun di Berau Kalimantan timur dijumpai hingga panjang tubuh 1100 mm dan panjang ekor 1400 mm. Ciri yang mudah dikenali yaitu warnanya yang kusam pada dewasa sedangkan pada spesies yang masih kecil berwarna hitam dengan bintik kuning tersebar ditubuhnya. Anakan (Juvenile) biasa tinggal di pohon atau arboreal untuk perburu mangsanya berupa serangga sekaligus berlindung dari predator..

Photo By : Arief Tajalli