Aktivitas antihiperglikemia fraksi air buah makasar (Brucea javanica (L.) Merr) pada tikus yang diinduksi aloksan

ABSTRAK
NOURMALA PUTRI AGUSTYN. Aktivitas Antihiperglikemia Fraksi Air Buah
Makasar (Brucea javanica (L.) Merr) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan.
Dibimbing Oleh ANNA P. ROSWIEM dan SYAMSUL FALAH.
Tanaman buah makasar (Brucea javanica (L.) Merr) diduga memiliki
aktivitas sebagai antidiabetes. Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas
antihiperglikemia fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar pada tikus yang
diinduksi aloksan. Fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar diperoleh dengan
cara maserasi menggunakan pelarut etanol 95%, kemudian dipartisi menggunakan
corong pisah dengan campuran pelarut heksana, metanol, dan air (5:9:1) serta
kloroform-air (1:1). Sebanyak 24 ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok. Pada
tahap peningkatan kadar glukosa darah, satu kelompok (kelompok normal)
diinduksi NaCl 0.9% dan lima kelompok perlakuan lainnya diinduksi dengan
aloksan (150 mg/kg BB). Selanjutnya pada tahap perlakuan, kelompok normal
dan kontrol negatif dicekok dengan akuades, kelompok kontrol positif dicekok
dengan glibenklamid (0.25 mg/kg BB), dan tiga kelompok lainnya masing-masing
dicekok dengan fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dosis 0.25, 25, dan 50
mg/kg BB. Kadar glukosa darah puasa diukur pada hari ke-0, 3, 7, 11, dan 15.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen fraksi air yang diperoleh adalah 3.71%.
Selain itu, diperoleh hasil bahwa fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dosis
0.25, 25, dan 50 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah masingmasing sebesar 37.64%, 37.43%, dan 60.82%. Fraksi air buah makasar dosis 50

mg/kg BB mempunyai aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan
glibenklamid dosis 0.25 mg/kg BB (45.53%).

ABSTRACT
NOURMALA PUTRI AGUSTYN. Aqueous Fraction Antihyperglycemic
Activity of Brucea Fruit (Brucea javanica (L.) Merr) in Alloxan Induced Rats.
Under the direction of ANNA P. ROSWIEM and SYAMSUL FALAH.
Brucea fruit (Brucea javanica (L.) Merr) was known to have a potential
antidiabetic activity. This research was aimed to determine antihyperglycemic
activity of aqueous fraction from ethanolic extract of brucea fruit in alloxan
induced rats. Aqueous fraction of ethanolic extract brucea fruit obtained by
maseration using ethanol 95%, which then separated using funnel separator with
mixed solution of hexane, methanol, and water (5:9:1) and chloroform:water
(1:1). Twenty four rats divided into 6 groups. In the process of raising the blood
glucose concentration, one of normal group induced by NaCl 0.9% and the other
five treatment groups induced by alloxan (150 mg/kg BW). Afterwards, in the
treatment process, normal group and negative control administered by aquadest,
positive control administered by glibenclamid (0.25 mg/kg BW), and three other
groups administered by aqueous fraction of ethanolic extract brucea fruit in
dosage 0.25, 25, and 50 mg/kg BW. Blood glucose concentration of the fasting

rats measured at day 0, 3,7,11, and 15. Aqueous fraction from ethanolic extract of
brucea fruit contained 3.71% in yield. The result showed that aqueous fraction
from ethanolic extract of brucea fruit in dosage 0.25, 25, dan 50 mg/kg BW
decreased the blood glucose concentration as many 37.64%, 37.43%, and 60.82%
respectively. Aqueous fraction of brucea fruit wich is extracted by ethanol in
dosage 50 mg/kg BW has higher activity than glibenclamid in dosage 0.25 mg/kg
BW (45.53%).

1

PENDAHULUAN
Penyakit yang berhubungan dengan
gangguan metabolik saat ini telah menjadi
masalah dunia. Salah satu contohnya adalah
semakin meningkatnya penderita diabetes
melitus (DM). Diabetes merupakan penyakit
metabolik yang dicirikan oleh tingginya
glukosa dalam darah. Akibat tingginya kadar
glukosa darah hingga mencapai fase diabetes
dapat memicu serangan jantung, stroke, gagal

ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, serta
penyakit komplikasi lainnya. World Health
Organization (WHO) menyebutkan bahwa
pada tahun 2003, hampir 200 juta orang di
dunia menderita diabetes dan diperkirakan
pada tahun 2025 jumlah penderita mencapai
330 juta jiwa. Berdasarkan data WHO tahun
2003, tercatat lebih dari 13 juta penderita
diabetes di Indonesia, dari jumlah tersebut
diperkirakan dapat meningkat menjadi lebih
dari 20 juta penderita pada tahun 2030 (WHO
2003 dalam Depkes 2005).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk
mengobati penyakit diabetes, seperti pemberian
insulin maupun menggunakan obat antidiabetes
sintetik. Masyarakat telah beralih dari obat
sintetik ke obat tradisional karena obat sintetik
dapat menimbulkan berbagai efek samping
seperti kembung, diare, kejang perut, sehingga
penggunaannya dibatasi (Lee et al. 2007). Obat

tradisional memiliki kelebihan yaitu dapat
mengobati tidak hanya satu macam penyakit
saja dan lebih aman dikonsumsi. Peningkatan
kesadaran manusia terhadap pandangan tentang
segi positif mengkonsumsi bahan alam
dibandingkan dengan bahan kimia atau sintetis
menyebabkan pemanfaatan produk herbal
semakin berkembang. Perkembangan tersebut
tidak hanya di negara-negara timur melainkan
sudah merambah ke negara barat. Hal ini
terlihat dari data WHO yang menunjukkan
pemanfaatan produk herbal pada kurun waktu
1999-2004 diperkirakan mencapai 66%
permintaan dunia (Wardana 2002).
Indonesia
merupakan
negara
yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang
tinggi. Kekayaan tersebut merupakan potensi

yang sangat besar dalam pengembangan obat
herbal. Indonesia memiliki sekitar 30000
spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
sebagai obat untuk berbagai penyakit.
Penggunaan tumbuhan sebagai obat di
Indonesia telah berlangsung sejak lama dan
masyarakat menggunakannya secara turun
temurun berdasarkan pengalaman. Penggunaan
tumbuhan obat tersebut masih terbatas secara
tradisional dan belum banyak diketahui

kandungan senyawa dan manfaat lainnya.
Beberapa spesies yang telah diketahui
kandungan senyawanya dari 1260 spesies
tanaman obat yang ada di Indonesia (Kardono
et al. 2003).
Beberapa tanaman yang telah diteliti dan
memiliki
potensi
sebagai

antidiabetes
diantaranya sambiloto, belimbing wuluh, tapak
dara, brotowali, dan mengkudu. Tanaman buah
makasar sendiri sudah sering digunakan oleh
masyarakat sebagai obat berbagai penyakit,
salah satunya sebagai obat diabetes. Sari
(2010) menyatakan bahwa fraksi air 1% dari
ekstrak etanol buah makasar secara in vitro
memiliki kemampuan dalam menghambat
enzim α-glukosidase sebesar 14.32%. Khasiat
buah makasar sebagai antidiabetes secara in
vivo perlu dilakukan untuk menguji
aktivitasnya di dalam tubuh hewan coba.
Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas
antihiperglikemia fraksi air dari ekstrak etanol
buah makasar terhadap penurunan kadar
glukosa darah tikus Sprague Dawley yang
diinduksi aloksan. Hipotesis penelitian ini
adalah fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar mampu menurunkan kadar glukosa

darah pada pada tikus Sprague Dawley yang
diinduksi aloksan. Penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
informasi
kepada
masyarakat mengenai manfaat tanaman buah
makasar, sehingga dapat dijadikan alternatif
pengobatan penyakit diabetes melitus.

TINJAUAN PUSTAKA
Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr)
Tanaman buah makasar (Brucea javanica
(L.) Merr) tergolong famili Simaroubaceae,
divisi Magnoliophyta, ordo Sapindales, kelas
Magnoliopsida, bangsa Geraniales, serta marga
Brucea (Kumala 2007). Buah makasar
merupakan tanaman perdu tegak, tinggi 1-3 m
dan ketika masih muda berambut halus.
Daunnya berupa daun majemuk menyirip

ganjil, jumlah anak daun 5-11, helaian anak
daun berbentuk lanset memanjang, memiliki
panjang 5-10 cm, dan lebar 2-4 cm. Bunga
majemuk berkumpul dalam rangkaian berupa
gerombolan padat yang keluar dari ketiak daun
dan berwarna ungu kehijauan. Buahnya
berbentuk buat telur, memiliki panjang sekitar
8 mm, dan jika sudah masak berwarna hitam
(WHO 1999) (Gambar 1).
Penyebaran tanaman buah makasar banyak
ditemukan di China, India, Indonesia, dan
Vietnam (WHO 1999). Buah makasar tumbuh
pada ketinggian 0.5-550 meter di atas

1

PENDAHULUAN
Penyakit yang berhubungan dengan
gangguan metabolik saat ini telah menjadi
masalah dunia. Salah satu contohnya adalah

semakin meningkatnya penderita diabetes
melitus (DM). Diabetes merupakan penyakit
metabolik yang dicirikan oleh tingginya
glukosa dalam darah. Akibat tingginya kadar
glukosa darah hingga mencapai fase diabetes
dapat memicu serangan jantung, stroke, gagal
ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, serta
penyakit komplikasi lainnya. World Health
Organization (WHO) menyebutkan bahwa
pada tahun 2003, hampir 200 juta orang di
dunia menderita diabetes dan diperkirakan
pada tahun 2025 jumlah penderita mencapai
330 juta jiwa. Berdasarkan data WHO tahun
2003, tercatat lebih dari 13 juta penderita
diabetes di Indonesia, dari jumlah tersebut
diperkirakan dapat meningkat menjadi lebih
dari 20 juta penderita pada tahun 2030 (WHO
2003 dalam Depkes 2005).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk
mengobati penyakit diabetes, seperti pemberian

insulin maupun menggunakan obat antidiabetes
sintetik. Masyarakat telah beralih dari obat
sintetik ke obat tradisional karena obat sintetik
dapat menimbulkan berbagai efek samping
seperti kembung, diare, kejang perut, sehingga
penggunaannya dibatasi (Lee et al. 2007). Obat
tradisional memiliki kelebihan yaitu dapat
mengobati tidak hanya satu macam penyakit
saja dan lebih aman dikonsumsi. Peningkatan
kesadaran manusia terhadap pandangan tentang
segi positif mengkonsumsi bahan alam
dibandingkan dengan bahan kimia atau sintetis
menyebabkan pemanfaatan produk herbal
semakin berkembang. Perkembangan tersebut
tidak hanya di negara-negara timur melainkan
sudah merambah ke negara barat. Hal ini
terlihat dari data WHO yang menunjukkan
pemanfaatan produk herbal pada kurun waktu
1999-2004 diperkirakan mencapai 66%
permintaan dunia (Wardana 2002).

Indonesia
merupakan
negara
yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang
tinggi. Kekayaan tersebut merupakan potensi
yang sangat besar dalam pengembangan obat
herbal. Indonesia memiliki sekitar 30000
spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
sebagai obat untuk berbagai penyakit.
Penggunaan tumbuhan sebagai obat di
Indonesia telah berlangsung sejak lama dan
masyarakat menggunakannya secara turun
temurun berdasarkan pengalaman. Penggunaan
tumbuhan obat tersebut masih terbatas secara
tradisional dan belum banyak diketahui

kandungan senyawa dan manfaat lainnya.
Beberapa spesies yang telah diketahui
kandungan senyawanya dari 1260 spesies
tanaman obat yang ada di Indonesia (Kardono
et al. 2003).
Beberapa tanaman yang telah diteliti dan
memiliki
potensi
sebagai
antidiabetes
diantaranya sambiloto, belimbing wuluh, tapak
dara, brotowali, dan mengkudu. Tanaman buah
makasar sendiri sudah sering digunakan oleh
masyarakat sebagai obat berbagai penyakit,
salah satunya sebagai obat diabetes. Sari
(2010) menyatakan bahwa fraksi air 1% dari
ekstrak etanol buah makasar secara in vitro
memiliki kemampuan dalam menghambat
enzim α-glukosidase sebesar 14.32%. Khasiat
buah makasar sebagai antidiabetes secara in
vivo perlu dilakukan untuk menguji
aktivitasnya di dalam tubuh hewan coba.
Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas
antihiperglikemia fraksi air dari ekstrak etanol
buah makasar terhadap penurunan kadar
glukosa darah tikus Sprague Dawley yang
diinduksi aloksan. Hipotesis penelitian ini
adalah fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar mampu menurunkan kadar glukosa
darah pada pada tikus Sprague Dawley yang
diinduksi aloksan. Penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
informasi
kepada
masyarakat mengenai manfaat tanaman buah
makasar, sehingga dapat dijadikan alternatif
pengobatan penyakit diabetes melitus.

TINJAUAN PUSTAKA
Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr)
Tanaman buah makasar (Brucea javanica
(L.) Merr) tergolong famili Simaroubaceae,
divisi Magnoliophyta, ordo Sapindales, kelas
Magnoliopsida, bangsa Geraniales, serta marga
Brucea (Kumala 2007). Buah makasar
merupakan tanaman perdu tegak, tinggi 1-3 m
dan ketika masih muda berambut halus.
Daunnya berupa daun majemuk menyirip
ganjil, jumlah anak daun 5-11, helaian anak
daun berbentuk lanset memanjang, memiliki
panjang 5-10 cm, dan lebar 2-4 cm. Bunga
majemuk berkumpul dalam rangkaian berupa
gerombolan padat yang keluar dari ketiak daun
dan berwarna ungu kehijauan. Buahnya
berbentuk buat telur, memiliki panjang sekitar
8 mm, dan jika sudah masak berwarna hitam
(WHO 1999) (Gambar 1).
Penyebaran tanaman buah makasar banyak
ditemukan di China, India, Indonesia, dan
Vietnam (WHO 1999). Buah makasar tumbuh
pada ketinggian 0.5-550 meter di atas

2

permukaan laut, dapat ditemukan dalam hutan
jati, hutan belukar, hutan sekunder, maupun
pada tepi sungai. Di Indonesia, tanaman ini
hidup di Pulau Jawa dan Madura.
Tumbuhan ini memiliki nama khas di tiap
daerah seperti di Sumatera disebut dadih-dadih,
tambar sipago, malur, sikalur dan belur. Di
Jawa, buah ini dikenal dengan sebutan kendung
peucang, ki padesa, walot dan kwalot
sedangkan di Sulawesi disebut tambara marica
(Makasar) dan di Maluku Nagas (Ambon).
Nama asing tumbuhan ini dikenal dengan
sebutan Ya dan Zi (Cina), false sumac, dan
java brucea fruit (Inggris). Nama simplisia
tumbuhan ini adalah Bruceae Fructus.
Bagian dari tanaman ini yang diminati
adalah bagian buahnya. Setelah buah
dikumpulkan, bagian yang keras dibuang untuk
diambil isinya. Selain buah, daun dan akar juga
berkhasiat sebagai obat. Khasiat buah makasar
diantaranya dapat mengobati penyakit malaria,
disentri, diare kronis akibat terinfeksi
Trichomonas sp., wasir, cacingan, papiloma,
dan sakit pinggang (Dalimartha 1999).
Kandungan fitokimia buah makasar antara
lain alkaloid (buracamarina dan yatanina),
flavonoid, glukosida, bruceosida A dan B,
fenol (brucenol dan asam bruceolat), brusatol,
dan brucein A. Di dalam daging buah terdapat
minyak, asam oleat, stearat, dan palmitat
(Wijayakusuma 1994). Dua macam kuasinoid
baru (javanikolida C & D dan javanikosida BF) terkandung di dalam bijinya bersama
dengan 8 kuasinoid dan 19 kuasinoid glukosida
lain yang telah diteliti sebelumnya. Senyawa
brucein yang ditemukan dalam ekstrak buah
makasar bersifat antimalaria dan antikanker.
Senyawa tersebut bukan hanya memberikan
efek
sitotoksik,
tetapi
juga
bersifat
menghambat pertumbuhan strain Plasmodium
fasciperum KI secara in vitro. Senyawa kimia
lainnya yang terkandung dalam buah makasar
dilaporkan juga mempunyai aktifitas melawan
leukimia limfotik dan kanker paru-paru (Kim et
al. 2004).

Gambar 1 Buah makasar.

Diabetes Melitus
Diabetes melitus didefinisikan sebagai
suatu penyakit kelainan metabolik kronis
secara serius yang memiliki dampak signifikan
terhadap kesehatan yang ditandai dengan
tingginya kadar gula dalam darah. Salah satu
penyebab diabetes melitus yaitu menurunnya
hormon insulin yang diproduksi oleh sel beta
pulau Langerhans dalam kelenjar pankreas.
Insulin merupakan hormon yang berperan
dalam metabolisme glukosa khususnya sebagai
perantara masuknya glukosa di dalam darah ke
sel-sel jaringan tubuh lainnya seperti otot dan
jaringan lemak (Reinauer et al. 2002).
Penyakit diabetes melitus dapat dideteksi
dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah
atau urin. Pemeriksaan glukosa darah spesifik
dilakukan dalam keadaan puasa (8-10 jam
setelah makan). Kadar glukosa darah puasa
pada orang normal berkisar antara 70 sampai
120 mg/dL. Konsentrasi tersebut bisa
bertambah tinggi pada keadaan setelah makan,
yaitu 180 mg/dL dan akan kembali normal
dalam waktu 2 jam. Apabila hasil dua kali
pemeriksaan pada waktu yang berbeda
menunjukkan kadar glukosa darah puasa lebih
dari 140 mg/dL, seseorang dapat didiagnosis
menderita penyakit diabetes (Mathur & Shiel
2003).
Diabetes melitus dibagi menjadi 2 tipe yaitu
diabetes tipe I Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM) dan diabetes tipe II Insulin
Independent Diabetes Melitus (IIDM).
Diabetes melitus tipe I didefinisikan sebagai
tipe diabetes yang tergantung pada insulin.
Tipe ini sel pankreas yang menghasilkan
insulin mengalami kerusakan, akibatnya sel-sel
β pankreas tidak dapat mensekresikan insulin.
Diabetes melitus tipe II merupakan tipe
diabetes yang tidak bergantung pada insulin.
Pada penderita diabetes tipe II, sel β pankreas
tidak mengalami kerusakan, akan tetapi jumlah
insulin yang disekresikan menurun. Penurunan
tersebut disertai defisiensi insulin hingga
resistensi insulin (Murray et al. 2003).
Pengobatan diabetes melitus umumnya
dilakukan dengan pengaturan diet, pemberian
obat antidiabetik oral, dan terapi insulin.
Pemberian obat secara oral merupakan cara
pemberian obat yang paling umum dilakukan
karena mudah, murah, dan aman. Umumnya,
pemberian obat antidiabetik secara oral hanya
dilakukan untuk penderita DM tipe II. Obat
tersebut dibagi menjadi dua jenis diantaranya
obat sintetik dan obat tradisional (Mathur &
Shiel 2003). Menurut mekanisme kerjanya,
obat sintetik yang memiliki aktivitas
antidiabetik dibagi menjadi 4 kelas. Pertama,

3

golongan
sulfonilurea
yang
memiliki
mekanisme kerja utama pada peningkatan
insulin, contohnya glibenklamid. Kedua,
golongan biguanida yang dapat mengurangi
produksi glukosa hati sehingga dapat
meningkatkan sensitivitas periferal dan
mengurangi penyerapan glukosa intestinal.
Contoh obat golongan ini adalah glucophage,
diabex, dan glukotika. Ketiga, golongan
inhibitor α-glukosidase, salah satu contohnya
adalah acarbose. Obat golongan ini dapat
menghambat enzim spesifik yang menguraikan
pati dalam usus halus sehingga menunda
penyerapan
glukosa
hasil
pemecahan
karbohidrat di dalam usus. Keempat,
merupakan insulin eksogen yang berperan
dalam meningkatkan sensitivitas insulin secara
tidak langsung dan menekan produksi gula hati
(Tuyet & Chuyen 2007).
Pengukuran Kadar Gula Darah
Kadar gula dalam darah dapat diukur
dengan beberapa cara, seperti metode gugus
amina, metode enzimatik, metode reduksi, dan
metode pemisahan glukosa. Pengukuran
dengan metode kondensasi gugus amina yaitu
menggunakan teknik spektrofotometri. Prinsip
metode gugus amina adalah kondensasi aldosa
dengan orto toluidin dalam suasana asam dan
menghasilkan larutan berwarna hijau. Secara
enzimatik kadar glukosa dapat ditentukan
melalui penambahan enzim glukosa oksidase.
Glukosa akan dioksidasi oleh enzim glukosa
oksidase menjadi asam glukoronat dan H2O2.
Metode reduksi merupakan metode pengukuran
glukosa menggunakan suatu oksidan. Oksidan
ferisianida yang direduksi menjadi ferosianida
oleh glukosa dalam suasana basa dengan
pemanasan, kemudian garam feri dititrasi
dengan cara iodometri. Prinsip metode
pemisahan glukosa yaitu adanya pemisahan
glukosa dalam keadaan panas dengan antron
atau timol dalam suasana asam dengan
menggunakan asam sulfat pekat. Glukosa
kemudian dipisahkan dengan menggunakan
kromatografi (Sari 2010).
Pengukuran kadar glukosa darah dapat pula
dilakukan dengan menggunakan alat. Alat
penentu kadar glukosa darah tersebut
merupakan alat yang sederhana, dilengkapi
dengan kit pereaksi pada lembaran kertas
(Gambar 2). Alat semacam
ini dapat
diterapkan dalam penentuan kadar glukosa
darah mencit melalui sampel darah yang
diperoleh dari bagian ekor. Darah yang
diperlukan sedikit dan hasil penentuannya
dapat diperoleh dalam waktu sekitar 15 detik
(Soemardji 2004).

Pengukuran kadar glukosa darah dengan
menggunakan glukometer memiliki berbagai
keunggulan diantaranya mudah digunakan,
hanya memerlukan jumlah sampel darah yang
sedikit dan proses penentuan yang relatif
singkat. Metode ini berdasarkan reaksi antara
glukosa dan NAD+ menjadi glukonolakton oleh
glukosa dehidrogenase (β-D-glukosa: NADOksido reduktase). Alat pengukur glukosa
darah ini juga memiliki keterbatasan tidak
dapat mengukur kadar glukosa darah di atas
600 mg/dL. Untuk percobaan farmakologi
antidiabetes, hasil induksi sebaiknya tidak
melebihi angka tersebut. Metode enzimatis
lainnya seperti GOD PAP memerlukan jumlah
sampel darah yang banyak. Pengambilan darah
yang terlalu banyak dapat mengakibatkan
hewan coba mengalami stres sehingga dapat
menimbulkan galat yang besar (Soemardji
2004).

Gambar 2 Alat pengukur gula darah.
Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6dioksiurasil) merupakan senyawa kimia yang
dapat digunakan untuk menginduksi penyakit
diabetes melitus (Gambar 3). Pada tahun 1943,
Shaw Dunn, Sheehan, dan McLetchie
menemukan bahwa pemberian aloksan pada
kelinci menghasilkan hiperglikemia temporer,
yang diikuti hipoglikemia hebat, dan diakhiri
dengan kematian hewan. Peristiwa ini
berhubungan dengan nekrosis selektif sel-sel β
pulau
Langerhans
(McLetchie
2002,
Szkuldelski 2001).
Dosis intravena yang digunakan biasanya
65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan
subkutan adalah 2-3 kalinya (Szkudelski 2001,
Rees & Alcolado 2005). Dosis pemberian
aloksan bervariasi tergantung pada spesies,
nutrisi, dan rute pemberiannya (Szkudelski
2001). Kemampuan aloksan untuk dapat
menimbulkan diabetes juga tergantung pada
jalur penginduksian, dosis, hewan coba, dan
status nutrisinya (Andayani 2003).
Aloksan bersifat hidrofilik dan tidak stabil,
waktu paruh pada suhu 37°C dan pH netral
adalah 1,5 menit dan dapat lebih lama pada
suhu yang lebih rendah. Aloksan sebagai
diabetogenik,
dapat
digunakan
secara

4

intravena, intraperitoneal dan subkutan
(Nugroho 2006).
Zat ini dapat menyebabkan kerusakan
selektif terhadap sel-sel β pankreas.
Pembentukan oksigen reaktif merupakan faktor
utama
pada
kerusakan
sel
tersebut.
Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan
proses reduksi aloksan dalam sel β Langerhans.
Aloksan mempunyai aktivitas tinggi terhadap
senyawa seluler yang mengandung gugus SH,
glutation tereduksi (GSH), sistein dan senyawa
sulfhidril terikat protein (misalnya SHcontaining enzyme). Salah satu target dari
oksigen reaktif adalah DNA pulau Langerhans
pankreas. Kerusakan DNA tersebut memicu
poly ADP-ribosylation, proses yang terlibat
pada DNA repair (Szkudelski 2001, Walde et
al. 2002).
Faktor lain selain pembentukan oksigen
reaktif adalah gangguan pada homeostatis
kalsium
intraseluler.
Aloksan
dapat
meningkatkan konsentrasi ion kalsium bebas
sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek
tersebut diikuti oleh beberapa kejadian, yaitu
influks kalsium dari cairan ekstraseluler,
mobilisasi kalsium dari simpanannya secara
berlebihan, dan eliminasinya yang terbatas dari
sitoplasma. Influks kalsium akibat aloksan
tersebut mengakibatkan depolarisasi sel β
Langerhans, membuka kanal kalsium dan
menambah masuknya ion kalsium ke sel. Pada
kondisi tersebut, konsentrasi insulin meningkat
sangat
cepat,
dan
secara
signifikan
mengakibatkan gangguan pada sensitivitas
insulin perifer dalam waktu singkat. Selain
kedua faktor tersebut di atas, aloksan juga
diduga
berperan
dalam
penghambatan
glukokinase dalam proses metabolisme energi
(Szkudelski 2001, Walde et al. 2002).

Gambar 3 Struktur kimia aloksan
(Nugroho 2006).
Hewan Percobaan
Hewan coba mempunyai kontribusi yang
sangat penting dalam mempelajari penyakit
diabetes melitus. Percobaan mengenai diabetes
melitus
dengan
menggunakan
hewan
percobaan didasarkan pada patogenesis
penyakit tersebut pada manusia. Penggunaan

hewan coba tersebut dapat memberikan
gambaran tentang kondisi genetik dan
lingkungan yang mungkin mempengaruhi
perkembangan penyakit tersebut beserta
komplikasinya,
yang
akhirnya
dapat
memberikan informasi baru tentang cara
penangan pada manusia. Kondisi patologis
hewan percobaan tersebut tidak sepenuhnya
menggambarkan kondisi patologis secara riil
pada manusia. Hal ini disebabkan karena
beberapa faktor, antara lain perbedaan kondisi
fisiologi, perbedaan patologis dari beberapa
model diabetes melitus, ragamnya penyakit
diabetes melitus, serta adanya komplikasi yang
menyertai dari penyakit tersebut (Nugroho
2006, Chatzigeorgiou et al. 2002).
Hewan coba yang paling banyak digunakan
dalam penelitian adalah tikus, meskipun dapat
juga menggunakan spesies lain yang memiliki
kemiripan
biologis
seperti
manusia
(Chatzigeorgiou et al. 2002). Terdapat lima
macam basic stock tikus putih (Albino Normal
rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan
dalam penelitian yaitu Long Evans, Osborne
Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan
Wistar. Tikus yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Sprague Dawley jantan. Tikus
Sprague Dawley betina tidak digunakan karena
kondisi hormonal yang berfluktuasi pada waktu
beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan
memberi respon yang berbeda dan dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Tikus Sprague
Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino
putih, berkepala kecil,dan ekornya lebih
panjang daripada badannya. Beberapa sifat
karakteristik
Sprague
Dawley
adalah
nocturnal, yaitu aktif pada malam hari dan
tidur pada siang hari,
tidak mempunyai
kantung empedu, tidak dapat memuntahkan
kembali isi perutnya, dan tidak pernah berhenti
tumbuh, namun kecepatan pertumbuhannya
akan menurun setelah berumur 100 hari.
Hewan coba dibuat diabetes dengan
menggunakan senyawa kimia diabetogenik,
genetik, atau dengan teknik lainnya.
Berdasarkan cara pembuatannya, hewan
percobaan diabetes melitus dibedakan menjadi
dua, yaitu: (1) terinduksi (induced), misalnya
melalui
pankreaktomi,
senyawa
kimia
(diabetogenik) dan virus; (2) spontan
(spontaneous), misalnya menggunakan tikus
BB (bio breeding) atau mencit NOD (nonobese diabetic). Spontaneous animal models
mempunyai karakteristik yang relatif sama
dengan kondisi diabetes melitus pada manusia
meliputi gejala-gejala penyakit, imunologi,
genetik maupun karakteristik klinik lainnya
(Reese & Alcolado 2005).

5

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada proses
ekstraksi adalah buah makasar, larutan alkohol
95%, heksana, metanol, air, dan kloroform.
Bahan-bahan yang digunakan pada masa
perlakuan hewan coba adalah aloksan,
glibenklamid, pakan standar, NaCl 0.9%, dan
akuabides pro injection. Hewan percobaan
yang digunakan adalah tikus putih jantan galur
Sprague Dawley berumur 1.5-2 bulan yang
diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, Bogor.
Alat-alat yang akan digunakan pada proses
ekstraksi adalah rotavapor, corong pisah, dan
neraca analitik. Peralatan lainnya yang
digunakan pada perlakuan hewan coba dan
pengukuran glukosa darah adalah jarum suntik
1 mL, sonde oral, lancet steril, dan glukometer.
Metode Penelitian
Ekstraksi Buah Makasar (Usman 2000)
Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi. Buah makasar yang telah kering dan
menjadi serbuk kemudian direndam dalam
alkohol 95% selama 24 jam dan disaring.
Residu yang didapat kemudian direndam
kembali dengan alkohol 95% dan dilakukan
berulang kali sampai larutan hasil ekstraksi
tidak berwarna. Semua filtrat kemudian
dijadikan satu dan pelarut dihilangkan dengan
menggunakan rotavapor 40°C. Ekstrak yang
telah diperoleh kemudian dipartisi dengan
campuran pelarut heksana, metanol, dan air
dengan perbandingan 5:9:1 (v/v). Partisi
dilakukan dengan menggunakan corong pisah
hingga diperoleh fase heksana dan fase
metanol-air. Bahan yang ada dalam fase
metanol-air kemudian dikeringkan dengan
rotavapor 40°C lalu dipartisi kembali dengan
campuran pelarut kloroform-air dengan
perbandingan 1:1 hingga diperoleh fase
kloroform dan fase air. Pelarut masing-masing
fase kemudian diuapkan dengan rotavapor
40°C untuk memperoleh fraksi air dan fraksi
kloroform. Fraksi yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah fraksi air.
Masa Aklimatisasi Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan tikus putih
galur Sprague Dawley sebanyak 24 ekor
sebagai hewan coba. Tikus yang akan
digunakan diadaptasikan terlebih dahulu
selama 6 minggu dengan tujuan penyeragaman
cara hidup. Pemberian pakan dan minum
akuades dilakukan secara ad libitum. Pakan
yang digunakan adalah pakan standar. Tikus
ditempatkan dalam kandang secara individual

dengan kondisi cahaya dan ventilasi yang
cukup pada suhu ruang. Setelah masa
aklimatisasi selesai, tikus dibagi menjadi 6
kelompok secara acak. Setiap kelompok terdiri
atas 4 ekor tikus.
Masa Peningkatan Kadar Glukosa Darah
Masa peningkatan glukosa darah pada
hewan coba dilakukan selama 3 hari.
Peningkatan kadar glukosa darah tersebut
dilakukan dengan cara injeksi aloksan dosis
150 mg/kg BB secara intraperitoneal.
Kelompok kontrol positif (KP), kontrol negatif
(KN), serta kelompok fraksi air dari ekstrak
etanol buah makasar dosis 0.25 mg/kg BB (BM
0.25), 25 mg/kg BB (BM 25), dan 50 mg/kg
BB (BM 50) diinduksi menggunakan aloksan,
kecuali kelompok normal (N). Kelompok N
diinjeksi dengan NaCl 0.9% (b/v). Sebelum
injeksi, tikus harus dipuasakan terlebih dahulu
sekitar 16 jam agar lebih rentan terhadap
serangan aloksan (Jelodar et al. 2007).
Setelah kadar glukosa darah melebihi batas
normal, kelompok N dan KN diberi perlakuan
dicekok dengan akuades. Kelompok KP
dicekok obat antidiabetes glibenklamid dosis
0.25 mg/kg BB. Kelompok BM 0.25, BM 25,
dan BM 50 dicekok fraksi air dari ekstrak
etanol buah makasar dengan dosis masingmasing sebesar 0.25, 25, dan 50 mg/kg BB
(Lampiran 1).
Pengukuran
Kadar
Glukosa
Darah
(Soemardji 2004)
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan
di hari ke-0, 3, 7, 11, dan 15. Tikus dipuasakan
selama 16 jam sebelum diambil darahnya.
Pengambilan darah dilakukan melalui ekor.
Ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%,
kemudian ujung ekor dilukai dengan
menggunakan lancet steril. Ekor tikus diurut
hingga darah menetes. Tetesan darah yang
diperoleh diteteskan di atas strip glukometer.
Kadar glukosa darah akan terukur setelah 5
detik dan dinyatakan dalam satuan mg/dL.
Analisis Data (Matjik 2002)
Data
kadar
glukosa
darah
diuji
menggunakan analysis covarian (ANCOVA)
pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α =
0.05 menggunakan perangkat lunak statistical
analysis system (SAS). Model rancangan
tersebut adalah:
Yij = µ + τi + βxij + εij
Keterangan:
yij = Kadar glukosa darah perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j

6

µ = Pengaruh rataan umum kadar glukosa
darah
τi = Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1-6
βxij= Pengaruh kadar glukosa darah hari ke-3
terhadap perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
i1 = kelompok kontrol normal
i2 = kelompok kontrol positif glibenklamid
i3 = kelompok kontrol negatif
i4 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 0.25 mg/kg BB
i5 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 25 mg/kg BB
i6 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 50 mg/kg BB
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fraksi Air Buah Makasar
Sampel yang digunakan adalah biji
tanaman buah makasar yang berasal dari
Jakarta, Indonesia. Pemilihan bagian tanaman
berdasarkan penggunaan umum yang telah
banyak dilakukan oleh masyarakat luas, yaitu
mengkonsumsi bagian bijinya. Bagian tanaman
yang telah berbentuk simplisia diekstraksi
dengan etanol 95% dan dipartisi lebih lanjut.
Fraksi yang digunakan adalah fraksi air dari
ekstrak etanol buah makasar. Etanol 95%
digunakan untuk melarutkan metabolit
sekunder yang bersifat semipolar. Tujuan
dilakukannya fraksinasi yaitu menghilangkan
pengotor yang masih terdapat dalam sampel
sehingga didapatkan fraksi yang lebih murni
bila dibandingkan dengan ekstraksi secara
langsung dengan menggunakan pelarut air.
Rendemen fraksi air dari ekstrak etanol
buah makasar yang diperoleh sebesar 3.71%.
Bachtiar (2010) dengan menggunakan metode
yang sama, menghasilkan rendemen sebesar
4.38%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan ukuran serbuk simplisia buah
makasar. Ukuran serbuk yang lebih kecil akan
memperbesar luas permukaan serbuk yang
kontak dengan pelarut sehingga rendemen yang
dihasilkan akan lebih banyak.
Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan
oleh Bachtiar (2010), fraksi air dari ekstrak
etanol buah makasar mengandung alkaloid dan
flavonoid, serta tidak mengandung triterpenoid
(Bachtiar 2010). NoorShahida et al. (2009)
menyatakan bahwa biji buah makasar
mengandung
senyawa
kuasinoid
yang
merupakan jenis triterpenoid. Triterpenoid
merupakan senyawa yang bersifat nonpolar,

sehingga tidak larut dalam pelarut air. Uji
fitokimia bertujuan untuk mengetahui adanya
senyawa metabolit sekunder yang diharapkan
dapat berperan sebagai antihiperglikemia.
Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa
aktif bahan alam yang telah diteliti memiliki
aktivitas hipoglikemia.
Kondisi Hewan Coba
Kondisi hewan coba yang sehat merupakan
faktor penting dalam penelitian dan syarat
untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot
badan dan konsumsi pakan merupakan
parameter yang mudah diukur dan diamati
untuk memantau kondisi kesehatan hewan coba
selama percobaan.
Sebelum melakukan percobaan, seluruh
hewan coba harus diadaptasikan untuk
menghindari stres selama perlakuan dan
penyeragaman cara hidup di lingkungan yang
baru. Selama masa adaptasi, dilakukan
penimbangan bobot badan hewan coba secara
berkala. Hasil penimbangan menunjukkan
bahwa rata-rata bobot badan hewan coba pada
awal masa adaptasi sebesar 153.92±11.61 g,
sedangkan pada akhir adaptasi sebesar
273.67±21.07 g (Gambar 4). Bobot badan
hewan coba meningkat sebesar 177.80%
dibandingkan pada awal adaptasi (Lampiran 2).
Kenaikan bobot badan selama masa
adaptasi dipengaruhi oleh umur tikus yang
masih berada dalam masa pertumbuhan dan
tingkat konsumsi pakan. Pertambahan bobot
badan dapat pula dipengaruhi oleh faktor
genetik. Pakan yang digunakan adalah pakan
standar PT. Indofeed dengan komposisi yang
tidak berbeda jauh dengan normal laboratory
diet (Tabel 1) yang memenuhi kebutuhan
nutrisi tikus. Kenaikan bobot badan terjadi
pada setiap individu tikus, menurut Lu (1991),
menunjukkan tikus dalam keadaan sehat,
kalorinya tercukupi, dan tidak ada gangguan
pertumbuhan. Kondisi tikus yang sehat ini
penting karena dapat memperkecil galat
percobaan ketika memasuki masa perlakuan.

Gambar 4 Bobot badan tikus masa adaptasi.

6

µ = Pengaruh rataan umum kadar glukosa
darah
τi = Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1-6
βxij= Pengaruh kadar glukosa darah hari ke-3
terhadap perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
i1 = kelompok kontrol normal
i2 = kelompok kontrol positif glibenklamid
i3 = kelompok kontrol negatif
i4 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 0.25 mg/kg BB
i5 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 25 mg/kg BB
i6 = kelompok perlakuan dengan ekstrak buah
makasar dosis 50 mg/kg BB
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fraksi Air Buah Makasar
Sampel yang digunakan adalah biji
tanaman buah makasar yang berasal dari
Jakarta, Indonesia. Pemilihan bagian tanaman
berdasarkan penggunaan umum yang telah
banyak dilakukan oleh masyarakat luas, yaitu
mengkonsumsi bagian bijinya. Bagian tanaman
yang telah berbentuk simplisia diekstraksi
dengan etanol 95% dan dipartisi lebih lanjut.
Fraksi yang digunakan adalah fraksi air dari
ekstrak etanol buah makasar. Etanol 95%
digunakan untuk melarutkan metabolit
sekunder yang bersifat semipolar. Tujuan
dilakukannya fraksinasi yaitu menghilangkan
pengotor yang masih terdapat dalam sampel
sehingga didapatkan fraksi yang lebih murni
bila dibandingkan dengan ekstraksi secara
langsung dengan menggunakan pelarut air.
Rendemen fraksi air dari ekstrak etanol
buah makasar yang diperoleh sebesar 3.71%.
Bachtiar (2010) dengan menggunakan metode
yang sama, menghasilkan rendemen sebesar
4.38%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan ukuran serbuk simplisia buah
makasar. Ukuran serbuk yang lebih kecil akan
memperbesar luas permukaan serbuk yang
kontak dengan pelarut sehingga rendemen yang
dihasilkan akan lebih banyak.
Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan
oleh Bachtiar (2010), fraksi air dari ekstrak
etanol buah makasar mengandung alkaloid dan
flavonoid, serta tidak mengandung triterpenoid
(Bachtiar 2010). NoorShahida et al. (2009)
menyatakan bahwa biji buah makasar
mengandung
senyawa
kuasinoid
yang
merupakan jenis triterpenoid. Triterpenoid
merupakan senyawa yang bersifat nonpolar,

sehingga tidak larut dalam pelarut air. Uji
fitokimia bertujuan untuk mengetahui adanya
senyawa metabolit sekunder yang diharapkan
dapat berperan sebagai antihiperglikemia.
Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa
aktif bahan alam yang telah diteliti memiliki
aktivitas hipoglikemia.
Kondisi Hewan Coba
Kondisi hewan coba yang sehat merupakan
faktor penting dalam penelitian dan syarat
untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot
badan dan konsumsi pakan merupakan
parameter yang mudah diukur dan diamati
untuk memantau kondisi kesehatan hewan coba
selama percobaan.
Sebelum melakukan percobaan, seluruh
hewan coba harus diadaptasikan untuk
menghindari stres selama perlakuan dan
penyeragaman cara hidup di lingkungan yang
baru. Selama masa adaptasi, dilakukan
penimbangan bobot badan hewan coba secara
berkala. Hasil penimbangan menunjukkan
bahwa rata-rata bobot badan hewan coba pada
awal masa adaptasi sebesar 153.92±11.61 g,
sedangkan pada akhir adaptasi sebesar
273.67±21.07 g (Gambar 4). Bobot badan
hewan coba meningkat sebesar 177.80%
dibandingkan pada awal adaptasi (Lampiran 2).
Kenaikan bobot badan selama masa
adaptasi dipengaruhi oleh umur tikus yang
masih berada dalam masa pertumbuhan dan
tingkat konsumsi pakan. Pertambahan bobot
badan dapat pula dipengaruhi oleh faktor
genetik. Pakan yang digunakan adalah pakan
standar PT. Indofeed dengan komposisi yang
tidak berbeda jauh dengan normal laboratory
diet (Tabel 1) yang memenuhi kebutuhan
nutrisi tikus. Kenaikan bobot badan terjadi
pada setiap individu tikus, menurut Lu (1991),
menunjukkan tikus dalam keadaan sehat,
kalorinya tercukupi, dan tidak ada gangguan
pertumbuhan. Kondisi tikus yang sehat ini
penting karena dapat memperkecil galat
percobaan ketika memasuki masa perlakuan.

Gambar 4 Bobot badan tikus masa adaptasi.

7

Tabel 1 Komposisi pakan standar tikus
Komposisi

Protein kasar
Lemak
Serat kasar
Kadar abu
Kalsium
Fosfor

PT. Indofeed
(%)
18
6
6
8
0.8
1.05

Ekstrak -nitrogen
53
bebas
*Sumber: Anila & Vijayalakshmi (2003)

Normal
laboratory diet
(%)*
21
5
4
8
1
0.6
53

Perlakuan hewan coba dilanjutkan dengan
induksi aloksan untuk kelompok KP, KN, BM
0.25, BM 25, dan BM 50, serta induksi NaCl
0.9% untuk kelompok N. Sebelum diinduksi
dengan aloksan (hari ke-0), menunjukkan
bobot badan yang normal yaitu rata-rata
273.62±20.33 g. Tiga hari setelah induksi
aloksan atau sesaat sebelum pencekokan (hari
ke-3) sampai hari ke-15 kelompok N
cenderung memiliki bobot badan yang stabil,
sedangkan kelompok KP, KN, BM 0.25, BM
25, dan BM 50 cenderung mengalami
penurunan bobot badan sampai akhir
perlakuan. Kelompok N mengalami penurunan
bobot badan sebesar 3.67%. Kelompok KP,
KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50 mengalami
penurunan bobot badan masing-masing sebesar
21.85%, 7.75%, 12.29%, 16.59%, dan 17.48%
(Gambar 5 & Lampiran 3).
Penurunan bobot badan ini dapat
disebabkan oleh tingkat stres yang tinggi akibat
pencekokan yang dilakukan pada hewan coba
dan efek samping yang ditimbulkan dari kerja
aloksan. Aloksan merusak sel beta pankreas
sehingga menghambat sekresi insulin dan juga
diduga
berperan
dalam
penghambatan
glukokinase dalam proses metabolisme energi
(Szkudelski 2001, Walde et al. 2002). Hal ini
dapat mengakibatkan absorpsi glukosa ke
dalam jaringan terhambat. Keadaan inilah yang
menyebabkan terjadinya glikogenolisis ataupun
lipolisis untuk mendapatkan energi. Lipolisis
dapat menyebabkan hewan coba kehilangan
massa tubuhnya.

Gambar 5 Bobot badan tikus selama perlakuan.

Pengaruh Induksi Aloksan terhadap Kadar
Glukosa Darah
Induksi hiperglikemia dilakukan dengan
menggunakan aloksan dosis 150 mg/kg BB.
Injeksi aloksan dilakukan melalui jalur
intraperitoneal. Aloksan dilarutkan dengan
akuabides pro injection steril. Kandungan
pirogen dan materi lain di dalam sampel dan
wadah yang tidak steril dapat menyebabkan
respon imun di dalam tubuh tikus seperti
demam (Robinson 2002).
Hasil pengukuran kadar glukosa darah
hewan coba pada hari ke-0 (sesaat sebelum
induksi aloksan ataupun NaCl 0.9%)
menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa
darah hewan coba 85.96±14.24 mg/dL. Semua
hewan coba memiliki kadar glukosa darah yang
berada dalam batas normal, yaitu 59-120
mg/dL (Lampiran 4). Kusumawati (2004)
menyatakan bahwa kadar glukosa darah normal
pada tikus adalah 50-135 mg/dL. Berdasarkan
uji statistik, konsentrasi glukosa darah hewan
coba pada semua kelompok tidak berbeda
nyata (p>0.05) (Lampiran 5 & 6).
Pada hari ke-3, kadar glukosa darah hewan
coba yang diinduksi dengan NaCl 0.9%
(kelompok N) tetap normal, terletak di kisaran
65-89 mg/dL. Sebaliknya, kelompok hewan
coba yang diinduksi aloksan (kelompok KP,
KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50) rata-rata
mengalami peningkatan kadar glukosa darah
sampai 2.5 kali lipat dari kondisi awal. Hasil
induksi aloksan menunjukkan kadar glukosa
darah hewan coba berada pada kisaran 71-368
mg/dL. Kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25,
dan BM 50 mengalami peningkatan kadar
glukosa darah berturut-turut sebesar 190.70%,
175.31%, dan 165.87%, 361.01%, dan
351.18%. Peningkatan kadar glukosa darah
kelompok yang diinduksi aloksan berbeda
nyata (p0.05) (Lampiran 6).
Kelompok BM 50 mengalami penurunan
kadar glukosa darah sampai rentang kadar
glukosa darah normal. Berbeda dengan
kelompok BM 50, walaupun mengalami
penurunan, kadar glukosa darah kelompok BM
25 belum mencapai kondisi normal. Kelompok
KN mengalami penurunan hingga mencapai
kadar glukosa darah normal. Penurunan dapat
disebabkan individu hewan coba pada
kelompok KN lebih resisten terhadap pengaruh
aloksan. Faktor lain yang dapat menyebabkan
penurunan ini yaitu mulai hilangnya efek
diabetogenik yang ditimbulkan oleh aloksan.
Efek diabetogenik aloksan biasanya bekerja ± 2
minggu, setelah itu konsentrasi glukosa darah
kembali normal (Szkudelski 2010). Lamanya
kerja aloksan sebagai agen diabetogenik juga
bergantung dari dosis aloksan yang digunakan
saat induksi. Dosis yang besar akan
menyebabkan kerusakan yang permanen pada
sel β pankreas. Selain itu, efek diabetogenik
aloksan terlihat menurun karena injeksi aloksan
tidak dilakukan terus menerus hingga akhir
perlakuan. Sebaiknya hewan coba diinduksi
aloksan terus menerus seperti yang dilakukan
Lestari (1993), yaitu menginduksi kelinci
dengan aloksan dosis 75 mg/kg BB tiap dua
hari melalui jalur intravena selama 2 minggu.
Pada hari ke-15 (15 hari setelah induksi dan
12 hari perlakuan), konsentrasi glukosa darah
kelompok N kembali mengalami peningkatan
tetapi masih dalam kondisi normal bila
dibandingkan dengan hari ke-11. Kenaikan
kadar glukosa darah juga terjadi pada
kelompok KN, BM 25, dan BM 50, sedangkan
kelompok KP kembali mengalami penurunan
hingga mencapai kadar glukosa darah normal.
Hasil kenaikan kadar glukosa darah hewan
coba pada kelompok BM 50 masih dalam
rentang kadar glukosa darah normal (Gambar 6
& Lampiran 5).

Gambar 6 Kadar glukosa darah tikus selama
perlakuan.

9

Kadar glukosa darah pada tikus kelompok
normal terlihat stabil dari awal sampai akhir
perlakuan. Hal ini terjadi karena di dalam
tubuhnya terjadi pengaturan (homeostasis)
yang menjaga agar kadar glukosa darah tetap
dalam kisaran normal. Homeostasis kadar
glukosa darah dapat dilakukan oleh kerja
hormon insulin dan glukagon (Suarsana et al.
2008). Menurut Lehninger (2004) hormon
insulin berfungsi untuk menurunkan kadar
glukosa darah dengan memacu glikolisis,
sintesis glikogen, lemak dan protein,
sedangkan hormon glukagon berfungsi
meningkatkan kadar glukosa darah dengan
memacu proses glikogenolisis dan lipolisis
melalui mekanisme cAMP. Glukagon juga
memacu glukoneogenesis di dalam hati.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
kadar glukosa darah antar kelompok di hari ke15 tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 6).
Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya
keragaman data.
Keragaman data tersebut
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam
invididu hewan coba yang tidak bisa
diseragamkan, diantaranya faktor metabolik
dan hormonal tikus
yang tidak dapat
diprediksi. Berbagai kondisi individual
(ketakutan, kegembiraan, stress, perdarahan,
hipoglikemi, hipoksia, dan lain-lain) dapat
mempengaruhi konsentrasi glukosa dalam
darah. Hormon epinefrin, dalam kondisi stres,
disekresikan oleh medula adrenal. Hormon
epinefrin memiliki efek yang kuat dalam
memacu terjadinya glikogenolisis dalam hati
sehingga menyebabkan peningkatan kadar
glukosa dalam darah.
Presentase
aktivitas
antihiperglikemia
fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar
dianalisis dengan membandingkan data kadar
glukosa darah hari ke-3 dengan hari ke-15.
Berdasarkan presentase yang diperoleh, ketiga
dosis fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar mampu menurunkan kadar glukosa
darah hewan coba yang diinduksi aloksan
(Gambar 7). Presentase penurunan terbesar
diberikan oleh fraksi air dari ekstrak etanol
buah makasar dosis 50 mg/kg BB (60.82%).
Pengaruh dosis ini lebih besar dibandingkan
dengan obat pembanding glibenklamid
menurunkan konsentrasi glukosa darah sebesar
45.53%. Fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar dosis 0.25 mg/kg BB memiliki
aktivitas penurunan kadar glukosa darah
sebesar 37.64%, sedangkan fraksi air dari
ekstrak etanol dari buah makasar dosis 25
mg/kg BB sebesar 37.42%. Hewan coba
kelompok KN juga mengalami penurunan
kadar glukosa darah sebesar 19.01%.

Hasil penelitian aktivitas antihiperglikemia
lainnya dengan menggunakan ekstrak etanol
dari buah mengkudu dosis 500 dan 1000 mg/kg
BB kadar glukosa serum menurun masingmasing sebesar 62,1% dan 74,1% pada mencit
yang diinduksi aloksan (Adnyana et al. 2004).
Efek antihiperglikemia tersebut lebih besar
dibandingkan dengan efek yang diberikan oleh
fraksi air dari eksrak etanol buah makasar.
Efek hipoglikemia pada hewan coba di
berbagai penelitian dapat disebabkan oleh
metabolit sekunder tanaman. Metabolit sekuder
tersebut diantaranya flavonoid, alkaloid,
saponin, polisakarida, kumarin, dan terpenoid
yang mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes
(Tanko et al. 2007).
Senyawa aktif alkaloid dan flavonoid yang
terkandung di dalam buah makasar diduga
mempunyai peran dalam menurunkan kadar
glukosa darah. Efek dari flavonoid pada sel
pankreas yaitu memacu proliferasi dan sekresi
insulin telah dilaporkan oleh Sri et al. (2004)
sebagai
mekanisme
yang
mereduksi
hiperglikemia pada tikus diabetes yang
diinduksi streptozosin. Golongan senyawa
flavonoid, terutama yang berada dalam bentuk
glikosidanya mempunyai gugus-gugus gula.
Glikosida flavonoid yang tersebut diduga
bertindak sebagai penangkap radikal hidroksil,
sehingga dapat mencegah aksi diabetogenik
dari aloksan.
Mekanisme yang mungkin terjadi pada
aktivitas fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar yaitu adanya senyawa aktif yang
terdapat dalam buah makasar yang dapat
mengaktifkan
reseptor
insulin
atau
mempercepat regenerasi sel beta pankreas yang
rusak akibat induksi aloksan sehingga dapat
menstimulasi sekresi insulin. Estimasi tentang
level insulin yang disekresikan dan reseptor
insulin ini perlu dibuktikan untuk mengetahui
mekanisme aktivitas antidiabetes yang dimiliki
oleh fraksi air dari ekstrak etanol buah
makasar.

Gambar 7 Presentase penurunan kadar glukosa
darah.

10

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar
dosis 0.25 mg/kg BB, 25 mg/kg BB, dan 50
mg/kg
BB
mempunyai
aktivitas
antihiperglikemia
berturut-turut
sebesar
37.67%, 37.43%,