Pengembangan Komoditas Unggulan Di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang

PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI WILAYAH
PENGEMBANGAN TUMPANG KABUPATEN MALANG

SHINTA WIDYANING CIPTA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan
Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

Desember 2015

Shinta Widyaning Cipta
NIM A156140154

RINGKASAN
SHINTA WIDYANING CIPTA. Pengembangan Komoditas Unggulan di
Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Dibimbing oleh
SANTUN R.P. SITORUS dan DJUARA P. LUBIS
Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur
yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor pertanian. Mata pencaharian
masyarakat di Kabupaten Malang mencapai 36,40% berada di sektor pertanian
(BPS Kabupaten Malang, 2014). Besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian tersebut mengindikasikan pembangunan di sektor pertanian merupakan
pilar utama keberhasilan pembangunan daerah di Kabupaten Malang. Peranan
sektor pertanian terhadap kontribusi PDRB di Kabupaten Malang mencapai
35,04%. Hal inilah yang menjadi pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten
Malang untuk menggerakkan sektor pertanian pedesaan guna peningkatan

perekonomian regional.
Tujuan utama penelitian yaitu menyusun arahan pengembangan komoditas
unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Tujuan antara
untuk mencapai tujuan antara yaitu : (1) Mengidentifikasi komoditas unggulan;
(2) Menganalisis preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan; (3)
Menganalisis hirarki wilayah; (4) Menganalisis lahan yang berpotensi untuk
pengembangan komoditas unggulan.
Lokasi penelitian berada di Wilayah Pengembangan Tumpang yang
mencakup Kecamatan Tumpang, Jabung, Wajak dan Poncokusumo. Berdasarkan
arahan pemanfaatan ruang Wilayah Pengembangan Tumpang diarahkan untuk
pertanian, wisata dan industri. Di Wilayah Pengembangan Tumpang terdapat
Kawasan Agropolitan yang berada di Kecamatan Poncokusumo.
Penelitian menggunakan data primer yang diperoleh melalui
wawancara/kuesioner di lapangan. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi
terkait Penentuan responden petani, para pakar, dan stakeholders menggunakan
metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
ketersediaan dan kesesuaian lahan, Location Quotient (LQ) dan Shift Share
Analysis (SSA), skala likert, skalogram, AHP-TOPSIS dan AHP-SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wilayah Pengembangan Tumpang
memiliki komoditas unggulan adalah Padi, Jagung Ubi jalar, Kentang, Bawang

Putih, Kacang Panjang, Mentimun, Cabe Rawit, Terung, Sawi, Kangkung, Bayam,
Buncis, Tomat, Cabe Besar, Kubis, Buncis, Wortel dan Apel. Preferensi petani
menggambarkan minat petani terhadap budidaya komoditas pertanian. Beberapa
atribut preferensi petani dalam membudidayakan komodtas pertanian yaitu
keuntungan, risiko, penguasaan teknologi, biaya produksi, kesesuaian lahan,
sarana prasarana dan kemudahan pemasaran. Komoditas unggulan tanaman
pangan, hortikultura dan buah masing-masing mendapat respons positif sebesar
74%, 76% dan 72%. Persentase ini menunjukkan banyaknya responden yang
memiliki respons positif terhadap budidaya komoditas unggulan. Atribut yang
paling banyak mendapatkan respons positif petani adalah kemudahan pemasaran
dan harapan keuntungan. Penetapan komoditas unggulan utama di masing-masing
kecamatan diprioritaskan ditentukan berdasarkan kriteria nilai LQ, nilai SSA,

rataan luas panen, persentase perkembangan harga, persentase tingkat konsumsi
dan preferensi petani dengan menggunakan MCDM-TOPSIS.
Analisis ketersediaan sarana dan prasarana pertanian penunjang
pengembangan komoditas unggulan yang diperoleh dari hasil rataan Indeks
Perkembangan Kecamatan (IPK) di Wilayah Pengembangan Tumpang. Wilayah
yang tergolong hirarki I adalah Tumpang dan wilayah yang tergolong hirarki III
mencakup Poncokusumo, Wajak dan Jabung.

Hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual
untuk komoditas padi memiliki kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) seluas 5.340
ha (43%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 1.680 ha (13%), kelas lahan N (tidak
sesuai) seluas 5.476 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas jagung
yaitu S3(sesuai marjinal) seluas 7.018 ha (56%) dan kelas N (tidak sesuai) seluas
5.478 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas apel kelas S2 (cukup
sesuai) seluas 2.200 ha (18%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 4.532 ha (36%)
dan kelas N (tidak sesuai) seluas 5.762 ha (46%). Kelas kesesuaian lahan untuk
sawi kelas S1 (sesuai) seluas 124 ha (1%), S2 (cukup sesuai) seluas 5.178 ha
(41%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 1.176 ha (14%) dan sisanya kelas N
(tidak sesuai) seluas 5.478 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas
kubis kelas S1 (sesuai) seluas 3.523 ha (28%), S2 (cukup sesuai) seluas 1.141 ha
(9%), S3 (sesuai marjinal) seluas 5.391 ha (43%) dan sisanya kelas N (tidak
sesuai) seluas 2.439 ha (20%). Faktor pembatas kelas kesesuaian lahan adalah
lereng (e), ketersediaan air (w) dan media perakaran (r).
Arahan pengembangan komoditas unggulan apel di Kecamatan
Poncokusumo seluas 682 ha dan komoditas kubis seluas 3.539 ha. Pengembangan
komoditas unggulan sawi dan jagung di Kecamatan Wajak seluas 877 ha dan 393
ha. Lahan pengembangan komoditas unggulan Kecamatan Jabung yaitu sawi di
seluas 3 ha dan padi seluas 1.312 ha. Pengembangan komoditas unggulan padi

dan sawi di Kecamatan Tumpang seluas 1.516 ha dan 10 ha.
Prioritas lokasi pengembangan komoditas unggulan dibagi empat prioritas
wilayah yaitu: prioritas 1 Kecamatan Poncokusumo seluas 4.221 ha, prioritas 2
Kecamatan Wajak seluas 1.270 ha prioritas 3 Kecamatan Tumpang seluas 1.526
ha dan prioritas 4 Kecamatan Jabung seluas 1.315 ha. Hasil analisis A’WOT
menunjukkan terdapat delapan prioritas strategi pengembangan komoditas
unggulan yang dapat diterapkan Pemerintah Kabupaten Malang.
Kata kunci: arahan pengembangan, ketersediaan dan kesesuaian lahan, komoditas
unggulan

SUMMARY
SHINTA WIDYANING CIPTA. The Development of Leading Commodities in
Tumpang Development Area, Malang Regency. Supervised by SANTUN R.P.
SITORUS and DJUARA P. LUBIS
Malang Regency is one of regencies in East Java Province which has the
potency for agricultural development. According to the BPS of Malang Regency
(2014), 36,40% of local communities work in agriculture sector. The high number
of labor absorption in agricultural sector indicates the development of agriculture
as main pillar of regional development accomplishment in Malang Regency.
Share of agricultural sector in Malang Regency reaches 35.04%. These conditions

become an input for government to develop rural agricultural sector in order to
increase regional economy
The main objective of the research is compose development direction of
leading commodities in Tumpang Development Area, Malang Regency. The
specifics objectives are: (1) to identify the leading commodities; (2) to analyze
farmer preference towards leading commodities farming; (3) to analyze the region
hierarchy; (4) to analyze potential land for development of leading commodities.
The research location is in Tumpang Development Area i.e. Tumpang, Jabung,
Wajak and Poncokusumo districts. Based on the spatial use direction, Tumpang
Development Area is directed to agriculture, tourism and industry activities.
Besides, there is Agropolitan Area in Tumpang Development Area, specifically in
Poncokusumo district.
Primary data used is obtained through interviews/questionnaires. Furthermore,
secondary data obtained from the relevant agencies i.e. farmers, experts, and
stakeholders. A purposive sampling method is used to get respondents. Analysis
data used are land availability and suitability analysis, Location Quotient (LQ)
and Shift Share Analysis (SSA), likert scale, schallogram, and AHP-TOPSIS and
AHP – SWOT.
The results showed that leading commodities in Tumpang Development Area
are rice, corn, sweet potato, potatoes, garlic, long bean, cucumber, chili, eggplant,

mustard greens, kale, spinach, beans, tomatoes, chili large, cabbage, beans, carrots
and apples. Preferences farmers illustrates the interest of farmers on the
cultivation of agricultural commodities. Some attribute preferences of farmers in
the cultivation of agricultural basic commodities among other advantages, risks,
control technology, production costs, suitability of land, infrastructure and ease of
marketing. Percentage of leading commodity crops, horticulture and fruit each got
a positive responses of 74%, 76% and 72%. This percentage indicates the number
of respondents who have a positive responses against the cultivation of the leading
commodities. Most attributes get positive response of farmers is the ease of
marketing and profit expectations.
Determination of the leading commodities that will be prioritized based on the
criteria are LQ value, SSA value, average of the spacious harvest, the percentage
growth rates, the percentage of the level of consumption and preferences of
farmers using the MCDM-TOPSIS.

Analysis of the availability of agricultural infrastructure supporting
development of leading commodities are obtained from the average of district
Development Index (IPK) in the Tumpang Development Area. The territory is
located on the hierarchy I is Tumpang and hirarchy III includes Poncokusumo,
Wajak and Jabung districts.

The results show that Tumpang Development Area has suitable and available
land divide into three classes actual for paddy have suitability class S2
(Moderately Suitable) of 5.340 ha (43%), the class S3 (Marginally Suitable) of
1,680 ha (13%), class of soil N (Not Suitable) area of 5.476 ha (44%). Class of
land suitability for maize is S3 (Marginally Suitable) area of 7.018 ha (56%) and
class N (Not Suitable) area of 5.478 ha (44%). Class of land suitability for apple
commodity class S2 (Moderately Suitable) covering 2.200 ha (18%), the class S3
(Marginally Suitable) area of 4.532 ha (36%) and class N (Not Suitable) area of
5.762 ha (46%). Class of land suitability for mustard class S1 (Highly Suitable)
area of 124 ha (1%), S2 (Moderately Suitable) area of 5.178 ha (41%), the class
S3 (Marginally Suitable) area of 1,176 ha (14%) and the rest of the class N (Not
Suitable) area of 5,478 ha (44%). Suitability classes commodity cabbage land
suitability classes S1 (Higly Suitable) area of 3.523 ha (28%), S2 (Moderately
Suitable) area of 1.141 ha (9%), S3 (Marginally Suitable) area of 5.391 (43%) and
the rest of the class N (Not Suitable) area of 2.438 ha (20%). The limiting factor
of the land suitability class are slope (e), water supply (w) and the rooting medium
(r).
Development direction of leading commodities apples in Poncokusumo area
of 682 ha and cabbage commodities of 3.539 ha. Development of leading
commodities mustard and corn in Wajak area of 877 ha and 393 ha. Development

leading commodities mustard and corn in Jabung area of 3 ha and 1.312 ha.
Development of leading commodities rice and mustard in Tumpang area of 1.516
ha and 10 ha.
The location of priority development of leading commodities divided into
four priority areas, namely: priority 1 is Poncokusumo an area of 4.221 ha,
priority 2 is Wajak an area of 1.270 ha, priority 3 is Tumpang an area of 1.526 ha
and priority 4 is Jabung an area of 1.315 ha . Results of the A'WOT analysis are
eight priorities of leading commodities development strategies that can be
implemented by the government of Malang Regency
Keywords: availability and suitability of land, direction of development, leading
commodities,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI WILAYAH
PENGEMBANGAN TUMPANG KABUPATEN MALANG

SHINTA WIDYANING CIPTA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA


PRAKATA
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini yang berjudul Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing
sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dengan kesabaran
dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan
membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Bapak Dr Ir Djuara P. Lubis, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang
juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk
mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Dr.Ir Widiatmaka, DEA sebagai penguji luar komisi atas masukan dan
sarannya.
4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti
studi.
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada penulis.
6. Bapak Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta
Kepala Dinas Pertanian dan Pertanian Kabupaten Malang yang telah
memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti
tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
7. Ayah bunda terkasih serta Suami Anak tercinta yang telah memberikan ridho,
ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar
kepada penulis.
8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang
juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik
moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan
penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan
manfaat.

Bogor,

Desember 2015

Shinta Widyaning Cipta
NRP A156140154

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
3
4
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Wilayah
Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pembangunan Berbasis Komoditas Unggulan
Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

7
9
10
12

3 BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Bahan dan Alat
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

15
15
15
16
17

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Letak dan Wilayah Administrasi
Kawasan Pengembangan Utama
Pusat Agropolitan (Agropolis)
Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan
Kemiringan Lahan
Tanah
Kondisi Iklim
Penggunaan Lahan
Pola Pemanfaatan Ruang
Kondisi Demografi
Sarana dan Prasarana Pertanian

32
33
34
35
35
36
36
37
38
39
40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Komoditas Unggulan
41
Analisis Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan
45
Analisis Hirarki Wilayah
51
Analisis Kesesuaian Lahan dan Ketersediaan Lahan
53
Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan
Tumpang
61

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

78
79

DAFTAR PUSTAKA

80

LAMPIRAN

84

RIWAYAT HIDUP

124

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

Deskripsi Data Penelitian
Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan yang Diminati
Contoh Tabel Skalogram
Matriks Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW dan Penggunaan
Lahan Eksisting
Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan
Skala Perbandingan Berpasangan
Jumlah Desa dan Luas Wilayah Masing-Masing Kecamatan
Rata-Rata Ketinggian dan Kemiringan Lereng Masing-Masing
Kecamatan
Jenis Tanah di Wilayah Pengembangan Tumpang
Luas Penggunaan di Wilayah Pengembangan Tumpang
Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Masing-Masing Kecamatan
Jumlah Tenaga Kerja dan Mata Pencaharian di Masing-Masing
Kecamatan Kabupaten Malang
Nilai LQ Komoditas Tanaman Pangan tiap Kecamatan Tahun 2013
Nilai DS Komoditas Tanaman Pangan tiap Kecamatan Tahun 2013
Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share
Analysis) Tanaman Pangan Pada Lokasi Studi
Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share
Analysis) Hortikultura Pada Lokasi Studi
Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share
Analysis) Buah Pada Lokasi Studi
Identifikasi Responden Petani
Hasil Analisis Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan
Hasil Penetapan Rencana Pengembangan Komoditas Unggulan di
Masing-Masing Kecamatan
Hirarki Wilayah Berdasarkan Analisis Skalogram
Luas Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW Kabupaten Malang
Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Padi
Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Padi
Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Apel
Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Apel
Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Sawi
Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Komoditas Sawi
Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Jagung
Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Komoditas Jagung
Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Kubis
Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Kubis
Hasil Pembobotan Kriteria dan Nilai CR Berdasarkan analisis AHP
Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang
Prediksi Peningkatan Produksi Komoditas Unggulan Utama
Faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Komoditas Unggulan
Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan

16
21
23
24
25
29
34
35
36
38
39
39
41
42
43
43
44
46
49
50
53
54
55
55
56
57
57
57
58
59
60
60
63
64
66
68
71

38
39

Hasil Pembobotan Komponen SWOT
Peringkat Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan

72
74

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Bagan alir penelitian
Struktur Hirarki Pemilihan Wilayah Untuk Pengembangan
Komoditas Unggulan
Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur
Peta Lokasi Penelitian Wilayah Pengembangan Tumpang
Peta Lereng Wilayah Pengembangan Tumpang
Peta Jenis Tanah di Wilayah Pengembangan Tumpang
Peta Curah Hujan Tahun 2013 di Wilayah Pengembangan Tumpang
Peta Penggunaan Lahan Eksisting di Wilayah Pengembangan
Tumpang
Peta Rencana Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan
Tumpang
Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman Pangan di
Masing-Masing Kecamatan
Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman
Hortikultura di Masing-Masing Kecamatan
Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman Buah di
Masing-Masing Kecamatan
Peta Hirarki Wilayah Pengembangan Tumpang
Peta Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW Kabupaten Malang
Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Padi
Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Apel
Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Sawi
Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Jagung
Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Kubis
Grafik Prioritas Wilayah Pengembangan Komoditas Unggulan di
Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang
Lokasi Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang
Rekapitulasi Penerbitan Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
tahun 2010-2014
Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kabupaten Malang

18
28
32
33
35
36
37
37
38
46

47
48
52
54
55
56
58
59
60
64
65
70
73

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Hasil Analisis Locationt Quotient (LQ) Komoditas Hortikultura
Hasil Analisis Shift Share Analysis (SSA) Komoditas Hortikultura
Hasil Analisis LQ dan SSA Komoditas Tanaman Buah

84
86
88

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Rata-Rata Luas Panen Komoditas Unggulan Tahun 2008-2013 Di
Masing-Masing Kecamatan
Kuesioner Untuk input data preferensi petani terhadap budidaya
komoditas unggulan
Distribusi Frekuensi Respons Petani Terhadap Budidaya Tanaman
Pangan, Hortikultura dan Buah
Hasil Analisis Komoditas Unggulan di Kecamatan dengan MCDM
TOPSIS
Hasil Analisis Skalogram Sarana Prasarana Kecamatan
Kriteria Kesesuaian Lahan Padi Sawah yang Digunakan dalam
Evaluasi
Kriteria Kesesuaian Lahan Apel yang Digunakan dalam Evaluasi
Kriteria Kesesuaian Lahan Sawi yang Digunakan dalam Evaluasi
Kriteria Kesesuaian Lahan Jagung yang Digunakan dalam Evaluasi
Kriteria Kesesuaian Lahan Kubis yang Digunakan dalam Evaluasi
Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi
Hasil Penilaian Kesesuian Lahan untuk Komoditas Apel
Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Sawi
Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Jagung
Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Kubis
Peta Ketersediaan Lahan Untuk Komoditas Unggulan Kecamatan
Kuesioner untuk input data pada metode AHP-TOPSIS
Hasil analisis prioritas wilayah pengembangan komoditas unggulan
menggunakan TOPSIS
Hasil analisis pembobotan komponen SWOT menggunakan
Software Expert Choice 2000

89
91
96
99
101
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
117
121
123

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara sedang berkembang, pada awal proses
pembangunan cenderung mengarah pada strategi pembangunan sektoral. Strategi
pembangunan ini lebih menonjolkan sektor-sektor strategis untuk dikembangkan
menjadi motor penggerak ekonomi. Strategi pembangunan tersebut dapat dilihat
dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong sektor industri menjadi
sektor pemimpin (leading sector), dengan harapan leading sector tersebut dapat
memacu pertumbuhan sektor-sekor lainnya. Pembangunan tersebut secara spasial
(ruang) menciptakan daerah-daerah orientasi sebagai pusat pertumbuhan.
Pemilihan daerah-daerah pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan pertimbangan
ketersediaan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam.
Hal ini mengakibatkan dampak negatif bagi daerah yang bukan pusat
pertumbuhan, yaitu terserapnya sumberdaya pembangunan baik modal,
sumberdaya alam maupun tenaga kerja ahli ke daerah pusat pertumbuhan.
Dampak lain yang ditimbulkan dari strategi pembangunan ini adalah
terkonsentrasinya kegiatan ekonomi (aglomerasi) di daerah perkotaan (pusat
pertumbuhan), sehingga trickle down effect yang diharapkan melalui
pembangunan tidak tercapai (Rustiadi dan Hadi, 2006).
Fenomena tersebut mengindikasikan tidak ada pergerakan pertumbuhan
ekonomi dari pusat pertumbuhan (kota) ke daerah bukan pusat pertumbuhan
(desa), bahkan justru meningkatkan kesenjangan ekonomi antar daerah. Dengan
kata lain, kebijakan pembangunan regional kita telah membentuk daerah-daerah
nodal. Daerah nodal adalah areal-areal yang strukturalnya terdiri dari atas areal
inti dengan areal-areal sekitarnya yang melengkapi, dalam arti ekonomi yang
terpadu dengan areal inti itu (Soepono, 1999).
Hubungan antara wilayah perdesaan dan perkotaan yang tidak seimbang
telah menimbulkan berbagai permasalahan baik di perdesaan dan perkotaan.
Kondisi pembangunan ideal yaitu antara wilayah perdesaan dan perkotaan terjadi
mekanisme pertukaran sumberdaya yang saling menguntungkan sehingga
hubungan fungsional saling memperkuat ini akan mampu mewujudkan
keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Kesenjangan antara kawasan
perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upayaupaya pembangunan di kawasan perdesaan. Upaya pendekatan pengembangan
kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah
mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan
perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu terserapnya potensi
perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumberdaya manusia, alam, bahkan modal
(Douglas, 1989).
Ketika kekuatan spread effect jauh lebih kecil dibanding backwash effect
maka mekanisme pasar memperlebar ketimpangan-ketimpangan antar wilayah.
Menurut Rustiadi et al. (2011) fenomena backwash pada kawasan pedesaan dan
daerah-daerah tertinggal, berlangsung melalui beberapa tahapan aliran, yakni (1)
aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya

2
manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial
(capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi dan (5) aliran kekuasaan
(power).
Fenomena di atas salah satunya terjadi pada daerah Malang Raya, dimana
wilayah Kota Malang sebagai pusat kegiatan ekonomi (perkotaan), karena hampir
semua infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi (mulai dari pasar input
sampai pasar output) ada di wilayah Kota Malang. Akibatnya laju pertumbuhan
ekonomi Kota Malang menjadi lebih tinggi dibanding Kabupaten Malang.
Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan melalui indikator PDRB per kapita dari
tahun 2010-2013 Kota Malang memiliki rata-rata pertumbuhan yang lebih tinggi
yaitu 8,5% dibanding rata-rata pertumbuhan Kabupaten Malang sebesar 4,7%
(BPS Kota Malang dan Kabupaten Malang, 2014).
Salah satu realitas pembangunan adalah terciptanya kesenjangan
pembangunan antardaerah. Menyadari hal tersebut, pemerintah mencoba
melakukan perubahan konsep pembangunan dari pendekatan sektoral kepada
pendekatan regional sejak Repelita VI. “Pendekatan pengembangan wilayah
tersebut dilakukan melalui penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur
ruang nasional melalui pendekatan kawasan, dan dilaksanakan melalui penetapan
kawasan andalan” (Witoelar, 2000). Kebijakan pemerintah melalui UndangUndang No 32 Tahun 2004 terkait otonomi daerah diharapkan tercipta
keterpaduan pendekatan sektoral dan regional dalam perencanaan pembangunan
daerah. Hal ini artinya program-program pembangunan sektoral dilaksanakan
dalam kerangka pembangunan wilayah.
Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur
yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor pertanian. Berdasarkan data
BPS Kabupaten Malang (2013) masyarakat di Kabupaten Malang mencapai
36,40% mata pencahariannya di sektor pertanian. Besarnya penyerapan tenaga
kerja di sektor pertanian tersebut mengindikasikan pembangunan di sektor
pertanian merupakan pilar utama keberhasilan pembangunan daerah di Kabupaten
Malang. Peranan sektor pertanian terhadap kontribusi PDRB di Kabupaten Malang
mencapai 35,04%. Sub sektor pertanian yang menopang sektor pertanian antara
lain tanaman pangan berada di tingkat tertinggi dengan kontribusi rata-rata sebesar
57,77% diikuti tanaman perkebunan dengan 23,01%, peternakan dengan 14,92%,
kehutanan dengan 1,06% dan perikanan dengan 3,24%.
Persentase penggunaan lahan di Kabupaten Malang berdasarkan data BPS
Tahun 2013 yaitu sebesar 31% tegal/kebun, 16% lahan sawah, 6% perkebunan,
20% hutan negara, 3% hutan, 0,02% tambak, 2% untuk pemukiman dan 22%
peruntukan lainnya. Beberapa potensi yang dimiliki inilah yang menjadi input bagi
pemerintah Kabupaten Malang untuk menggerakkan sektor pertanian pedesaan
guna peningkatan perekonomian regional.
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan potensi yang dimiliki
Kabupaten Malang maka dibutuhkan strategi pembangunan sektoral yang
dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Pengembangan wilayah
perlu dimulai dengan analisis kondisi wilayah, potensi unggulan wilayah, dan
permasalahan yang ada di wilayah tersebut untuk selanjutnya digunakan sebagai
dasar pertimbangan dalam menentukan strategi pengembangan wilayah dengan

3
berdasarkan keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya, potensi sumberdaya alam, serta ketersediaan sarana dan prasarana
wilayah dalam mendukung aktivitas perekonomian di wilayah tersebut. Salah satu
tujuan penelitian ini adalah menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan
untuk mendukung pengembangan kawasan pertanian di Wilayah Pengembangan
Tumpang Kabupaten Malang
Berkaitan dengan pengembangan kawasan pertanian, ketersediaan dan
kesesuaian lahan merupakan hal penting untuk diperhatikan. Karena setiap jenis
tanaman membutuhkan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh
dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al., 2002). Keragaman sifat lahan
sebagai dasar pertimbangan manajemen pengelolaan lahan dan penentuan wilayah
komoditas pertanian untuk mencapai produktivitas yang optimal.
Mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Malang yang telah disusun
oleh Pemerintah Kabupaten Malang terkait pemanfaatan ruang bahwa Wilayah
Pengembangan Tumpang diarahkan untuk pengembangan sektor pertanian,
wisata, peternakan dan industri. Wilayah Pengembangan Tumpang ini meliputi
Kecamatan Tumpang, Jabung, Wajak dan Poncokusumo. Wilayah Poncokusumo
ini juga merupakan pusat Kawasan Agropolitan melalui penetapan Surat
Keputusan Bupati Malang Nomor 180/1146/KEP/421.013/2007 tentang
Penetapan Kecamatan Poncokusumo sebagai Sentra Kawasan Agropolitan. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terkait studi penetapan
Kawasan Agropolitan Poncokusumo yang telah dilakukan.
Perumusan Masalah
Ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi (Kota Malang) dengan wilayah perdesaan (Kabupaten
Malang) sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal perlu diminimalisasi,
sehingga terjadi interaksi antara perkotaan dengan perdesaan yang saling
menunjang. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada
dalam posisi saling memperlemah (eksploitatif). Salah satu solusi dari masalah
tersebut adalah pengembangan wilayah untuk menciptakan interaksi saling
memperkuat.
Perencanaan pembangunan melalui pendekatan sektoral dan regional
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan wilayah serta mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengembangan kawasan pertanian pada wilayah-wilayah yang kurang
berkembang sesuai dengan Permentan No 50 Tahun 2012. Pengembangan
kawasan pertanian dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan
wilayah. Hal ini didasari dari kontribusi sektor pertanian yang cenderung dominan
sebesar 35,04% dan persentase mata pencaharian masyarakat sebesar 36,40% di
sektor pertanian. Persentase kontibusi sub sektor pertanian yang didominasi
tanaman pangan sebesar 57,77%. Berdasarkan potensi inilah pengembangan
kawasan pertanian berbasis komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan
Tumpang menjadi langkah awal perencanaan pengembangan wilayah untuk
mengurangi ketimpangan antar wilayah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan pokok
dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

4
1. Belum diketahuinya komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang
2. Belum diketahui preferensi petani dalam membudidayakan komoditas
unggulan
3. Belum diketahuinya hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang
4. Belum diketahuinya lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas
unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang.
5. Belum diketahuinya arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang.
Penelitian ini dilakukan pada Wilayah Pengembangan Tumpang yang terdiri
dari Kecamatan Poncokusumo, Kecamatan Wajak, Kecamatan Jabung dan
Kecamatan Tumpang. Rencana pengembangan komoditas unggulan ini
diharapkan mampu meningkatkan interaksi antar wilayah pusat pertumbuhan dan
wilayah pengembangan serta meningkatkan perekonomian wilayah di pedesaan.
Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:
1. Apa yang menjadi komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan
Tumpang Kabupaten Malang?
2. Bagaimana preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan?
3. Bagaimana hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang
Kabupaten Malang?
4. Berapa luas dan distribusi spasial lahan yang berpotensi pengembangan
unggulan?
5. Bagaimana arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dirumuskan tujuan
penelitian utama yaitu menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan di
Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Untuk mencapai tujuan
utama maka disusunlah tujuan antara terdiri atas:
1. Mengidentifikasi komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang
Kabupaten Malang
2. Menganalisis preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan
3. Menganalisis hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang
Kabupaten Malang.
4. Menganalisis lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas
unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Malang
sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan dalam penyusunan
pengalokasian anggaran pembangunan baik jangka pendek maupun jangka
panjang dalam pengembangan wilayah.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para investor yang akan menanamkan
modalnya di Kabupaten Malang sehingga percepatan pembangunan dan

5
pertumbuhan wilayah akan semakin cepat berkembang dan membawa
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kerangka Pemikiran
Ketimpangan pembangunan antar wilayah yang terjadi membutuhkan
strategi perencanaan melalui pendekatan sektoral dan regional. Keterpaduan
pendekatan perencanaan sektoral dan regional diharapkan dapat mengurangi
ketimpangan wilayah. Salah satu kebijakan yang sejalan dengan pendekatan
sektoral dan regional adalah pengembangan kawasan pertanian berbasis
komoditas unggulan. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengidentifikasi
potensi pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang.
Hal ini diperlukan karena setiap wilayah kecamatan memiliki karakteristik
sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia, dan sumberdaya
sosial yang khas. Pewilayahan pengembangan komoditas unggulan didasarkan
pada potensi wilayah yang mengacu pada tiga aspek yaitu spasial, biofisik, dan
sosial ekonomi. Aspek spasial adalah bahwa lahan/areal yang diprioritaskan untuk
pengembangan komoditas unggulan sesuai dengan RTRW Kabupaten Malang.
Aspek biofisik adalah bahwa lahan pengembangan komoditas unggulan
merupakan areal yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Aspek sosial
ekonomi terkait dengan input maupun sarana prasarana pertanian.
Pada tahap awal penelitian ini dilakukan identifikasi potensi komoditas
unggulan di Kawasan Agropolitan Poncokusumo dan Wilayah Pengembangan
Tumpang. Metode yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ) dan
Shift Share Analysis (SSA). Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk
melihat komoditas basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat
mengidentifikasi komoditas unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah.
Shift Share Analysis (SSA) adalah komponen yang menggambarkan dinamika
(keuunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah
tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain. Komoditas unggulan yang
dipilih adalah komoditas yang memiliki nilai LQ>1 dan SSA >0.
Kajian terkait preferensi petani terhadap komoditas unggulan ini
menggunakan skala likert yang dilakukan pada tahun 2015. Analisis ini dilakukan
melalui pengumpulan data primer dengan responden petani. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dan tabulasi melalui analisis distribusi frekuensi (%,
nisbah, rata-rata) (Singarimbun dan Effendi, 2015; Sukartawi et al., 1984).
Analisis ini bertujuan menggambarkan preferensi petani terhadap budidaya
komoditas unggulan pada wilayah mereka melalui beberapa pernyataan.
Penetapan komoditas unggulan utama dan komoditas unggulan penunjang
di masing-masing kecamatan dilakukan dengan menggunakan metode TOPSIS.
Beberapa yang menjadi kriteria pemilihan antara lain nilai LQ, nilai SSA, rataan
luas panen, persentase perkembangan harga, persentase tingkat konsumsi
komoditas serta prioritas komoditas unggulan berdasarkan preferensi petani.
Output dari penetapan ini adalah komoditas unggulan utama yang akan
direncanakan areal pengembangannya di masing-masing kecamatan.
Analisis selanjutnya adalah hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan
Tumpang dilakukan melalui analisis skalogram. Metode ini mengidentifikasi
sarana prasarana pertanian yang dimiliki setiap unit wilayah didata dan disusun

6
dalam satu tabel. Metode skalogram ini digunakan dengan menuliskan jumlah
fasilitas yang dimiliki setiap wilayah, atau menuliskan ada/tidaknya fasilitas
tersebut di suatu wilayah dengan memperhatikan jumlah/kuantitasnya. Hirarki
wilayah menunjukkan ketersediaan sarana prasarana pertanian terhadap luas lahan
pertanian yang harus dilayani dalam wilayah.
Analisis potensi lahan dilakukan untuk pengembangan wilayah berbasis
komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang. Analisis ketersediaan
lahan bertujuan untuk mendapatkan lahan yang tersedia berdasarkan RTRW
Kabupaten Malang, rencana kawasan dan penggunaan lahan eksisting. Metode
yang digunakan adalah evaluasi kesesuaian lahan dengan membandingkan
karakteristik lahan dengan landuse requirement. Lahan yang berpotensi untuk
pengembangan komoditas unggulan adalah lahan yang sesuai dan tersedia. Lahan
yang tersedia berdasarkan RTRW dan rencana kawasan serta penggunaan lahan
eksisting kemudian di evaluasi kesesuaian lahannya. Kriteria kesesuaian lahan
yang digunakan untuk komoditas unggulan menggunakan kriteria Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian
Pertanian (BBSDLP) Tahun 2011. Output pada tahap ini adalah luasan lahan
yang berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan di Wilayah
Pengembangan Tumpang.
Arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan
Tumpang dilakukan menggunakan analisis AHP-TOPSIS dan AHP-SWOT.
Analisis AHP-TOPSIS untuk menentukan lokasi prioritas pengembangan
komoditas unggulan dan analisis AHP-SWOT untuk menentukan prioritas strategi
dalam pengembangan komoditas unggulan. Analisis TOPSIS merupakan
pendekatan pengambilan keputusan multikriteria (MCDM) yang dilakukan
dengan konsep pemilihan alternatif terbaik berdasarkan jarak terdekat dari solusi
ideal positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif. Solusi ideal positif adalah
nilai maksimal yang dapat dicapai untuk kriteria keuntungan dan nilai minimal
yang dapat dicapai untuk kriteria biaya, sedangkan solusi ideal negatif adalah nilai
maksimal yang dapat dicapai untuk kriteria biaya dan nilai minimal yang dapat
dicapai untuk kriteria keuntungan. Selain itu, nilai preferensi tertinggi dari suatu
alternatif juga menjadi dasar untuk memilih alternatif terbaik (Kusumadewi et al.,
2006).

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Wilayah
Konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah terdiri dari
tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform atau homogenous region), 2)
wilayah nodal (nodal region) dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut
bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam
(heterogen) (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et al., 2011). Konsep
pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena
pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok
wilayah secara terkait. Pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya bertujuan
untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya
dengan sektor-sektor lainnya. (Riyadi, 2002).
Konsep pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya
untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan
antarwilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah.
Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya
dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi
dan permasalahan wilayah yang bersangkutan. Pembangunan sektoral dan
regional berbeda dalam orientasi tetapi saling melengkapi. Pengembangan
wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral, sebaliknya
pembangunan sektoral tanpa pengembangan wilayah akan berujung pada tidak
optimalnya pembangunan sektor itu sendiri (Riyadi, 2002).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa
memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri.
(Direktoret Jendral Penataan Ruang, 2003). Menurut Departemen Pekerjaan
Umum, pada saat itu (tahun 2002) masih bernama Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen
Penataan Ruang, ditetapkan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah
adalah:
1. Sebagai growth center
Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus
diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat
ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar
daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan
wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari
daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

8
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat
bagi perencanaan pengembangan kawasan.
Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan
diharapkan mempunyai unsur- unsur strategis. Unsur-unsur strategis yang
dimaksud berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang
saling berkaitan dan melengkapi. Ketiga unsur tersebut dapat dikembangkan
secara optimal secara sinergis. (Direktorat Pengembangan Kawasan, 2002).
Pengembangan wilayah pada kawasan perdesaan harus dipandang sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan kawasan perkotaan. Pemahaman yang menyeluruh
dan tidak dikotomis ini menjadi penting dan mendasar dalam penyusunan
peraturan. Hal ini bertujuan terciptanya sinergi dan keseimbangan perlakuan
wilayah, khususnya oleh pelaku pembangunan (Rahardjo, 2007). Sasaran utama
pembangunan oleh pemerintah daerah maupun pusat yaitu pengembangan wilayah.
Pengembangn wilayah dilakukan melalui peningkatan pertumbuhan produktivitas
(productivity growth), pemerataan distribusi pendapatan (income distribution),
memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran
(unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara
berkesinambungan (sustainable development). (Alkadri dan Djajaningrat, 2002)
Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk
mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian, khususnya memberdayakan
petani, peternak dan nelayan agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi
produktif secara mandiri dan selanjutnya mampu memperbaiki kehidupannya
sendiri (Solahuddin, 2009). Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan
sekarang dianggap sangat penting. Pembangunan sektor pertanian memiliki
pengaruh bagi pembangunan nasional baik itu jangka panjang maupun jangka
menengah. Dampak negatif lambatnya pembangunan sektor pertanian berupa
terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok
tingkat pendapatan. Kesenjangan antar wilayah menciptakan ketidakstabilan
(instabillity) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak
ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang ulang. (Anwar dan Rustiadi,
1999)
Arahan kebijakan pengembangan wilayah yang tepat dibutuhkan untuk
meminimalisasi kesenjangan pembangunan di wilayah. Secara spasial arahan
pengembangan sektor unggulan wilayah merupakan salah satu kebijakan
pengembangan wilayah. Perumusan arahan dilakukan melalui analisis
perkembangan wilayah dengan metode analisis entropi terhadap sektor
perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis skalogram (aspek sarana
prasarana wilayah). Hasilnya pengembangan wilayah diarahkan pada wilayah
yang diversitas ekonomi rendah dan indeks hierarki yang kurang berkembang
(Pahlevi et al., 2014).
Pengembangan wilayah tidak bisa dilakukan secara parsial namun secara
holisitik yaitu dengan membangun semua yang tersedia di perkotaan ke
perdesaan. Perumusan arahan pengembangan wilayah yang dilakukan Arifin et al.
(2013) diawali dengan menganalisis struktur dan pola pertumbuhan ekonomi
wilayah, potensi serta daya saing lokasi sebagai prioritas pusat pertumbuhan di
wilayah dengan menggunakan analisis tipologi Klassen dan Shift-Share (S-S).

9
Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pengembangan Kawasan Agropolitan menurut Direktorat Jenderal Tata
Perkotaan dan dan Tata Perdesaan (2005) adalah pembangunan ekonomi berbasis
pertanian di kawasan agribisnis. Pembangunan ini dirancang dan dilaksanakan
dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis
kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Pembangunan ini digerakan oleh
masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah.
Berkaitan dengan permasalahan ketimpangan desa kota di atas maka salah
satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan
perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana
keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Friedmann dan
Douglass (1976) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai
aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah
penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Agropolitan menjadi relevan
dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan
pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari
sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan
keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di
perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan
pembangunan daerahnya sendiri.
Konsep Agropolitan sebenarnya lahir sebagai respons dari munculnya
ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias
yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan
dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional.
Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem
kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan
dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi dan Hadi,
2006).
Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 pasal 1 ayat 24 tentang
Penataan Ruang, kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari satu atau
lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirakhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem
agribisnis. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) agropolitan adalah kawasan yang
merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian
(agropolis). Wilayah produksi pertanian ini ditunjukkan oleh adanya sistem
keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman
dan sistem agribisnis. Keterkaitan ini terwujud baik melalui maupun tanpa melalui
perencanaan. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentrasentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.
Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara
kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Pengembangan
kota-kota dalam skala kecil dan menengah akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan. Tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut dsertai
dengan peningkatan fasilitas-fasilitas pelayanan dasar dan pasar untuk produkproduk perdesaan. Pengembangan perekonomian kota kecil menengah melalui

10
keterkaitan dengan komunitas yang lebih luas. Karena itu dalam pengembangan
agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu
diminimalkan (Rustiadi et al., 2011).
Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi
pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil dan
menengah, serta mendorong keberagaman aktivitas ekonomi di perdesaan
(Rustiadi et al., 2011). Peran pusat agropolitan adalah untuk melayani kawasan
produksi pertanian disekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para
petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberi kemudahan
produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit,
obat-obatan, peralatan dan lainnya), sarana penunjang produksi (lembaga
perbankan, koperasi) serta sarana pemasaran (pasar, terminal, sarana transportasi
dan lainnya). Hal ini bertujuan menekan biaya produksi dan biaya pemasaran
dengan meningkatnya faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan
pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan di
pusat agropolitan (Harun, 2006).
Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk mengembangkan
agribisnis pertanian tanaman pangan guna meningkatkan nilai tambah dan daya
saing, meningkatkan pendapatan masyarakat agribisnis di sekitar kawasan, serta
meningkatkan kontribusi sektor