Pengembangan Komoditas Mangrove wilayah dan

I. Pendahuluan

Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi dan kekayaan sumber daya perikanan. Sektor perikanan di Provinsi Aceh memiliki luasan 56.329 Ha yang terdiri dari lahan tambak, kolam, sawah, jaring apung, keramba, dan laut (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, 2012).Wilayah pesisir Aceh memiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km².Wilayah pantai dan lautnya secara umum di pengaruhi oleh persimpangan arus dan gerakan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan daratan pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehingga menampakkan ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangat sesuai bagi kehidupan,biota laut.

Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini.

Program dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir Aceh. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, diperlukan kebijakan sektoral yang strategis dan inovatif dengan menerapkan langkah-langkah terobosan yang efektif. Kementrian Kelautan dan Perikanan mulai melakukan perubahan orientasi pembangunan dari daratan ke lautan (maritime), yang disebut dengan Revolusi Biru. Pengembagan dari revolusi biru melahirkan implementasi sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan terpadu berbasis wilayah yang disebut dengan konsep minapolitan (KKP, 2011.).

Pembangunan perikanan yang berkelanjutan perlu mengacu pada 3 indikator (Friend, 2000), yaitu indikator ekologi, ekonomi, dan budaya. Ekologi berkaitan dengan konsep sustainable yang menjaga keseimbangan pengembangan sektor dengan keseimbangan ekosistem laut. Ekonomi berkaitan dengan konsep pro poor, pro growth, dan pro job yang Pembangunan perikanan yang berkelanjutan perlu mengacu pada 3 indikator (Friend, 2000), yaitu indikator ekologi, ekonomi, dan budaya. Ekologi berkaitan dengan konsep sustainable yang menjaga keseimbangan pengembangan sektor dengan keseimbangan ekosistem laut. Ekonomi berkaitan dengan konsep pro poor, pro growth, dan pro job yang

Salah satu project pengembangan kawasan sektor perikanan pembangunan berbasis minapolitan. Adapun salah satu tujuan Minapolitan adalah untuk pengembangan kawasan pesesir melalui penataan lahan perikanan budidaya bebasisis ekosistem. Penataan lahan tambak berbasi ekosistem dapat dikembangkan melalui model silvofishery dengan pengembangan budidaya mangrove.

Karakteristik wilayah pesisisr terdiri dari berbagai macam habitat/ekosistem (serperti pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria) yang menghasilkan berbagai sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan bagai masyarakat, khususnya yang bermukim di pesisir. Ekosistem mangrove yang terletak di wilayah pesisir memiliki berbagai macam manfaat bagi kegiatan perikanan. Ekosistem mangrove tidah hanya melegkapi penyediaan makanan bagi biodata dan pendauran biodata laut, tetapi juga menciptakan iklim laut yang cocock dengan kondisi biota laut.

Hutan mangrove adalah salah satu komponen ekosistem penting bagi sumberdaya kawasan pesisir. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sekarang ini dalam keadaan kritis ketersediaannya. Hal ini disebabkan adanya degradasi hutan mangrove akibat penebangan yang melampuai batas kemampuan kelestariannya. Hutan mangrove telah mengalami konversi pemanfaatan untuk areal pertanian, pembangunan dermaga, perluasan tambak udang dan ikan, dan pemukiman yan tidak memperhitungkan nilai-nilai ekologis.

Bencana Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah menghancurkan hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat di wilayah pantai barat dan pantai utara di Provinsi Aceh serta telah menyebabkan kerusakan parah atas tumbuhan pantai yang tumbuh di sepanjang garis pantai di wilayah timur laut. Hilangnya sumber daya ini memiliki dampak langsung terhadap kelangsungan hidup dari para korban tsunami yang selamat serta dampak lanjutannya. Kenyataan menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran hutan mangrove secara ekologi sebagai penahan gelombang tsunami.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai badan yang diberi mandat oleh pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai badan yang diberi mandat oleh pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias,

Berkaitan dengan pengelolaan mangrove secara ekologi kawasan perairan laut, maka perencanaan harus didasarkan atas pengelolaan kawasan mangrove yang mendukung komponen dan atribut ekologis mangrove (seperti bahan organic) terhadap kehidupan biota laut. Pengembangan minapolitan dengan budidaya mangrove secara sektoral harus mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan di Provinsi Aceh. Fokus pembangunan sektor perikanan dan kelautan harus memberikan dampak bagi lingkungan, kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir, meningkatkan hasil perikanan, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka project pengembangan minapolitan melalui budidaya mangrove harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai:

1. Identifikasi posisi kuadran Provinsi Aceh dalam lingkup regional terhadap pengembangan minapolitas budidaya mangrove dengan menggunakan analisis kuadran daya saing-wealth serta analisis SWOT.

2. Menentukan strategi pengembangan komoditas mangrove dan membandingkan dengan Program/kebijakan yang pernah dilakukan

3. Identifikasi rantai nilai komoditas mangrove berbasis blue economy

4. Tahapan-tahapan strategis membangun postur ekonomi Provinsi Aceh

II. Landasan Teoritis

2.1. Wilayah Pesisir

Soegiarto (1976) dalam Dahuri et.al. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas daratan meliputi bagian kering maupun yang terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat ‐sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan perembesan air laut. Sebaliknya ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses ‐proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat.

Perkembangan dan pertumbuhan daerah ‐daerah pantai dilandasi oleh berbagai macam bentuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan sosial budaya, ekonomi, dan politik, yang jelas akan termanifestasikan pada perkembangan fisiknya. Faktor ‐faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan daerah pantai ini dengan sendirinya tidak sama untuk berbagai daerah. Faktor yang umum dapat dikemukakan bahwa perkembangan dan Perkembangan dan pertumbuhan daerah ‐daerah pantai dilandasi oleh berbagai macam bentuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan sosial budaya, ekonomi, dan politik, yang jelas akan termanifestasikan pada perkembangan fisiknya. Faktor ‐faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan daerah pantai ini dengan sendirinya tidak sama untuk berbagai daerah. Faktor yang umum dapat dikemukakan bahwa perkembangan dan

1. Zona Daratan (Inland areas) yang mempengaruhi lautan melalui sedimen dan bahan pencemar yang terbawa oleh aliran sungai, aliran air permukaan (run-off), maupun aliran air tanah (ground water).

2. Zona lahan pesisir (coastal land) meliputi lahan basah (wetlands), rawa-rawa (marshes), pantai (beaches), gundukan pasir (sand dunes), dll; dimana kegiatan manusia berlangsung dan secara langsung mempengaruhi perairan pesisir di depannya.

3. Perairan pesisir (coastal waters) meliputi estuaria, laguna, padang lamun, terumbu karang, dan laut dangkal, dimana pengaruh kegiatan-kegiatan di darat dominan.

4. Perairan lepas pantai (offshore waters); dari batas terluar perairan pesisir sampai 200 mil ke arah laut bebas (high seas).

5. Laut bebas (high seas); di luar batas jurisdiksi nasional atau the common heritage of mankind.

Gambar 1. Zona Wilayah Pesisir-Laut

2.2. Komoditas Mangrove

Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Susiana, 2011).Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut (Sidik, 2005)

Mangrove merupakan suatu ekosistem yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun aspek sosial ekonomi. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan pohon bakau (mangrove) yang khas yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sunga dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Onrizal, 2010 ). Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem dan sumberdaya alam pemanfaatannya diarahkan untuk kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan pemanfaatannya agar dapat berkelanjutan, maka hutan mangrove perlu dijaga keberadaannya (Kusmana, 2005). Hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai dan sungai secara umum menyediakan habitat bagi berbagai jenis ikan. Hutan mangrove sebagai salah satu lahan basah di daerah tropis dengan akses yang mudah serta kegunanan komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi menjadikan sumberdaya tersebut sebagai sumberdaya tropis yang kelestariannya akan terancam. (Praktiko, 2002).

Sebagai habitat utama mangrove terletak di daerah pesisir dan ekosistem yang kaya akan berbagai macam hewan yang saling berinteraksi diantara komponen habitat tersebut. Wilayah pesisir juga merupakan Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, tempat hidup (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat pengasuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonomi hutan mangrove antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia biasanya mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya (Kusmono, 1997)

Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara fisik di antaranya : menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai dari erosi atau abrasi, mempercepat Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara fisik di antaranya : menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai dari erosi atau abrasi, mempercepat

Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis). Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon antara lain bakau (Rhizophora), api-api (Avicenia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria) (Nontji, 2007). Pemetaan FA0 (2009), t erdapat lima kelompok tumbuhan mangrove yang digunakan, yaitu sebagai berikut:

1. Posisi rendah, dekat dengan Permukaan Laut (Mean Sea Level - MSL)

2. Posisi Menengah, dekat dengan Tingkat Ketinggian Air Pasang (Mean High Water Neap level - MHWN)

3. Posisi atas, dekat dengan Tingkat Ketinggian Air Surut (Mean High Water Spring level - MHWS)

4. Diantara ketinggian air pasang dan wilayah hutan pantai Umum, yang dapat tumbuh pada salah satu dari wilayah diatas tetapi biasanya dikecualikan oleh spesies lain.

2.3. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu usaha. Analisis SWOT ini didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan peluang (Opportunitis) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan yang strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategi harus menganalisis factor- faktor strategi perusahan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini.

Menurut Rangkuti (2008) Analisis ini membandingkan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan Faktor eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT digunakan untuk membandingkan faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman, sedangkan faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Matrik

SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu para stake holder mengembangkan empat tipe strategi: Strategi SO (Strengths-Opportunities), Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), Strategi ST (Strengths-Threats), dan Strategi WT (Weaknesses- Threats). Dalam analisis SWOT (Rangkuti, 2008) dilakukan perbandingan antara faktor- faktor strategis internal maupun eksternal untuk memperoleh strategi terhadap masing- masing faktor tersebut.

Alat yang digunakan dalam menyusun faktor-faktor strategis untuk pengembangan daerah dapat dilakukan dengan matriks SWOT. Matriks ini menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman dari sisi eksernal serta kekuatan dan kelemahan dari sisi internal daerah. Berikut ini tabel Matrik berdasarkan rangkuti (2008), yang menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis :

Tabel 1. Matrik SWOT

Faktor

Weakness (W) Kekayaan

Strength (S)

Menetukan beberapa

Menentukan beberapa

faktor kelemahan Faktor

faktor kekuatan Wealth

wealth

Daya Saing Opportunity (O)

Strategi (WO) Menetukan beberapa

Strategi (SO)

Menciptakan situasi yang Meminimalkan

faktor peluang Daya menggunakan kekuatan, kelemahan untuk Saing

untuk memanfatkan

memanfatkan peluang

peluang

Strategi (WT) Menentukan beberapa

Treaths (T)

Strategi (ST)

Menggunakan kekuatan Meminimalkan

faktor ancaman Daya

untuk mengatasi

kelemahan dan

Saing

ancaman

menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti, 2008

Berdasarkan Matriks SWOT diatas maka didapatkan 4 langkah strategi yaitu sebagai berikut :

1. Strategi SO

Strategi ini dibuat berdasarkan kondisi daerah, yaitu dengan memadukan dan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut peluang sebesar-besarnya. Strategi SO menggunakan kekuatan kekayaan alam untuk memanfaatkan peluang eksternal.

2. Strategi ST

Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki daerah untuk mengatasi ancaman. Strategi ST menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal.

3. Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan potensi alam dengan memanfaatkan peluang eksernal .

4. Strategi WT

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif program dan berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman. Strategi WT bertujuan untuk mengurangi kelemahan internal dengan menghindari ancaman eksternal.

2.4. Analisis Rantai Nilai (Value Chain)

Womack, Jones et all, dalam Porter (1992) mendefinisikan Value Chain Analysis (VCA) sebagai berikut : ”Analisis rantai nilai adalah teknik yang banyak diterapkan dalam bidang manajemen operasi, teknik manajemen proses dan manajemen rantai pasokan, untuk analisis dan perbaikan berikutnya dari pemanfaatan sumber daya dan aliran produk dalam proses manufaktur”. Sedangkan Shank dan Govindarajan, dalam Porter (1993), mendefinisikan Value Chain Analysis merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk.

Rantai nilai berasal dari aktivitas – aktivitas yang dilakukan, mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual. Analisis value chain merupakan alat analisis strategis yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value (nilai) pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan serta perusahaan lain dalam industri.

Tujuan dari analisis value chain adalah untuk mengidentifikasi tahap – tahap value chain dimana perusahaan dapat meningkatkan value (nilai) untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah dapat membuat perusahaan lebih kompetitif (Hansen, Mowen, 2000). Porter dalam Mauludin (2010) memaparkan analisis value chain mempunyai 3 (tiga) tahapan, yaitu:

1. Mengidentifikasi aktivitas Value Chain

2. Mengidentifikasi Cost driver pada setiap aktivitas nilai

3. Cost driver merupakan faktor yang mengubah jumlah biaya total, oleh karena itu tujuan pada tahap ini adalah mengidentifikasikan aktivitas dimana perusahaan mempunyai keunggulan biaya, baik saat ini maupun keunggulan biaya potensial. Misalnya agen asuransi mungkin menemukan bahwa Cost driver yang penting adalah biaya pencatatan berdasarkan pelanggan.

4. Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan mengurangi biaya atau menambah nilai

Pemasok

Penelitian &

Input Pengolahan & budidaya

Pengembangan Eksportir

Keuangan Aliran Pesanan, Minat dan Informasi Konsumen

Gambar 2. Pendekatan Value Chain (Mauludin, 2010)

2.5. Konsep Blue Economy

konsep “Blue Economy” oleh Gunter Pauli melalui bukunya The Blue Economy : 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs (2010), mencoba menawarkan solusi untuk menjawab tantangan bahwa sistem ekonomi dunia yang cenderung eksploitatif dan secara nyata telah merusak lingkungan. Gunter Pauli memaparkan 3 (tiga) hal yang menjadi esensi blue economy.

a. Learning From Nature : Konsep Blue Economy mencontoh pada alam, bekerja sesuai dengan apa yang disediakan alam dengan efisien tanpa mengurangi tapi justru memperkaya alam (shifting from scarcity to abundance).

b. The Logic of Ecosystems : dimana cara kerja ekosistem dijadikan model blue economy, yaitu seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponen eksistem (limbah dari sesuatu akan menjadi makanan bagi yang lain, limbah dari suatu proses menjadi bahan baku/sumber energi bagi yang lain).

c. Inspired by 100 Innovations : ada 100 inovasi ekonomi praktis yang mengilhami blue economy dengan prinsip mencontoh cara kerja ekosistem. Ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efesiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa emisi dan limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor.

Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut diantaranya adalah : 1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa pengelolaannya bersifat zero waste; 2) menjamin keberlanjutan (sustainable); 3) menjamin adanya social inclusiveness; 4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis yang beragam ( multiple cash flow). Ditengah perjuangan mencapai visi pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, perlu adanya konsep pembangunan perikanan di bidang budidaya yang sejalan dengan prinsip blue economy (Dirjen Perikanan Budidaya KKP, 2012).

Ada tujuh manfaat dari pengelolaan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis pada blue economy. Pertama, meningkatnya nilai tambah (Added value) produk kelauatan dan perikanan yang diikuti oleh peningkatan daya saing; kedua, terciptanya modernisasi sistem hulu dan hulir; ketiga, menguatnya para pelaku usaha industri kelautan dan perikanaan; keempat, terfokusnya industri pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar dan sebaran sumberdaya alam; kelima, menjamin keberlanjutan; keenam, mendorong transformasi social dengan merubah cara berfikir dan berprilaku masyarakat sesuai karakteristik masyaraakat industry yang modern; ketujuh, sebagai penghela percepatan sistem produksi perikanan nasional yang berorientasi pada trend pasar global dan lokal (ekonomibiru.com)

III. Posisi Kuadran Daya-Wealth Mangrove Aceh

Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan Terciptanya sabuk hijau di Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan Terciptanya sabuk hijau di

Posisi Aceh

strategy)

strategy

III. Pembalikan IV. Pembangunan Turnaround (building strategy) Strategy

Gambar 3. Kuadran Daya Saing-Wealth

Kuadran I : merupakan situasi yang menguntungkan. Daerah memiliki kekayaan alam dan daya saing sehingga sehingga strategi yang diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, daerah masih memiliki kekuatan dari segi internal yaitu potensi kekayaan alam. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar). Kuadran III : Daerah menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal dari segi potensi kekayaan sumber daya alam. Fokus strategi ini yaitu meminimalkan masalah-masalah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta merebut pasar yang lebih baik (turn around). Kuadran IV : Situasi yang sangat tidak menguntungkan, dimana daerah menghadapi masalah dayaa saing yang rendah dan potensi yang terbatas (minimum). Fokus strategi yaitu melakukan tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar (defensive).

3.1. Analisis Kuadran Daya Saing Komoditas Mangrove

Provinsi Aceh berada di kuadran 2 dengan karakteristik memiliki kekayaan yg tinggi tapi daya saingnya mulai menurun. Kekayaan sektor perikanan dan kelautan Aceh memiliki potensi besar, karenana sebagaian besar berada di wilayah pesisir.

Gambar 4. Lokasi rencana pengembangan kawasan minapolitan

Berdasarkan Kepmen-KP/ Nomor 35/ 2013 Tentang Kawasan Minapolitan Provinsi Aceh terbagi dalam 5 Kabupaten, yaitu:

1. Aceh Selatan: Kecamatan Kluet Selatan, Kecamatan Kluet Timur,Kecamatan Pasie Raja, Kecamatan Kluet Utara, Kecamatan Kluet Tengah,

2. Aceh Utara: Tanah Jambo Aye Seunuddon, Baktiya, Baktiya Barat, Muara Batu, Dewantara, Aceh Tenggara, Kecamatan Lawe Bulan, Kecamatan Deleng Pokhisen, Kecamatan Babusalam, Kecamatan Lawe Sumur, Kecamatan Bambel, Kecamatan Darul hasanah, Kecamatan Lawe Alas

3. Aceh Timur: Kecamatan Darul Aman, Kecamatan Peureulak, Kecamatan Idi rayeuk, Kecamatan Idi Timur, Kecamatan Peudawa, Kecamatan Peureulak Barat, Pusat PeleIangan ikan di Idi

4. Aceh Barat Daya: Kecamatan Susoh, Kecamatan Manggeng, Kecamatan Batee, Kecamatan Lembah Sabil

5. Bireun :Kecamatan Jangka, Kecamatan Gandapura, Kecamatan Peusasangan, Kecamatan Jeumpa, Kecamatan Kuala

Gambar 5. Profil Wilayah Pantai Bagian Barat Provinsi Aceh

Gambar 6. Profil Wilayah Pantai Bagian Timur Provinsi Aceh

Pengelolaan mangrove bagi wilayah pesisi perlu direvitalisasi melalui:

1. Review komitmen hubungan secara regional: Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh perlu melakukan komitmen pengembangan sektoral mangrove. Beberapa daerah secara regional telah banyak melakukan pengembangan mangrove dan masuk dalam kawasan minapolitan. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya pengembangan mangrove bagi kawasan pesisir Aceh secara otonomi.

2. Promosi investasi : Daerah dengan karakteriskik kuadaran II memiliki kelemahan pada sisi promosi. Meskipun kuat secara potensi alam, namun lemahnya promosi investasi dapat menjadi ancaman bagi pengembangan Mangrove.

3. Promosi inovasi: Pengembangan Mangrove perlu dilakukan dengan adopsi inovasi dan penyesuaian pengembangan dengan kondisi regional pesisir. Pengembangan 3. Promosi inovasi: Pengembangan Mangrove perlu dilakukan dengan adopsi inovasi dan penyesuaian pengembangan dengan kondisi regional pesisir. Pengembangan

4. Penguatan prasarana: Revitalisasi pengembangan mangrove melalui penguatan prasarana dapat memberikam dampak bagi pengembangan tersebut dan memperkuat akses wilayah pesisir. Pengembangan yang terhambat muncul ketika prasaran tidak didukung dengan baik, dan lemahnya kebijakan infrastruktur publik wilayah pesisir. Kondisi wilayah pesisir yang rentan akan alam dan musim dengan adanya pengembangan mangrove dapat meminimalisir kerusakan prasarana tambah, turunnya perikanan tangkap, dan wisata pesisir-laut.

5. Reshaping budget: Penganggaran dengan wilayah regional kuadran II harus di dorong dengan dukungan budged. Bagi pengembangan ekosistem mangrove, budged untuk green economy bisa dilakukan fokus untuk keseimbangan alam yang berkelanjutan (pro environment) melalui konsep PDB hijau.

6. Simplifikasi regulasi : Regulasi yang diatur dalam pengembangan mangrove dapat dilakukan melalui perundang-undangan, Kementrian, dan Peraturan Daerah (dalam Aceh disebut Qanun). Regulasi yang berbelit sering mengakibatkan sulitanya pengembangan sektoral wilayah, karena adanya cost of transaction yang besar, sehingga regulasi menjadi fondasi pengembangan mangrove yang bernilai bisnis.

7. Investasi di SDM: Investasi SDM sangat indentik dengan modal sosial, artinya masyarakat wilayah pesisir perlu diperkuat modal sosial bagi pengembagan mangrove. Investasi SDM dapat mendukung pengembangan mangrove secara kearifan lokal dan membuka sektor-sektor lapangan pekerjaan.

3.2. Analisis SWOT Pengembangan Mangrove

Berdasarkan posisi pengembangan mangrove Aceh di kuadran II, adapun analisis SWOT pengembangan mangrove Provinsi Aceh dapat dijabarkan dalam matriks SWOT berikut ini:

Tabel 2. Matriks Analisis SWOT Pengembangan Mangrove Wilayah Pesisir

Strengths (S)

Weaknesses (W)

1. potensi Wilayah pesisir

1. Belum adanya peraturan

yang kaya tumbuhan

daerah (QANUN)

Kekayaan

mangrove

mengenai pengolaan

2. Adanya program

mangrove Penanaman melalui swa- 2. Mangrove digunakan untuk

daya masyarakat pasca

kayu bakar

Tsunami

3. Belum tersentuh teknologi

3. Peran pemerintah Aceh

4. Kurangnya follow up

dalam pengelolaan

project pemberdayaan

mangrove melalui Aceh

masyarakat dalam

Green Vison

pengelolaan mangrove

4. Posisi Aceh berada

5. Penyuluhan mangrove

dalam lintas Selat

dilakukan dengan project

Malaka dan lintas

yang tidak berkelanjutan.

perdagangan

Daya Saing

5. Adanya dukungan kelembagaan adat laot Aceh dalam pengembangan Mangrove

Oportunities (O)

Stretegi SO :

Strategi WO :

1. Aceh termasuk dalam

1. Membentuk round map 1. Membuat QANUN yang pengembangan sektor

mengatur wilayah pesisir minapotian

kawasan ekosistem

mangrove berbasis

Aceh bagi pengembangan

kawasan mangrove sektor ekosistem mangrove dapat

2. Program pengembangan

minapolitan wilayah

minapolias meningkatkan budidaya

pesisir dengan intervensi

2. Sosialisasi dan penyuluhan tambak, kehidupan biota

konsep blue economy

kepada masyarakat tentang laut, dan eco tourism

2. Rekonstruksi dan

rehabilitasi ekosistem

bahaya penebangan

mangrove melanggar kebiasaan dan

3. Penanaman mangrove tidak

mangrove sesuai

3. Perlu sentuhan teknologi adat istiadat

program Aceh Green

Vision

dalam pengembangan

4. Aceh mendapatkan Dana

mangrove Alokasi Khusus (Otsus)

3. Menempatkan posisi

4. Pemberdayaan masyarakat selama 15 Tahun dari 2%

adat laot Aceh sebagai

dengan penyuluhan Dana Alokasi Umum (DAU)

pengembangan berbasis

pentingya mangrove bagi bagi pengembangan sektor

kearifan lokal dan

nilai ekonomi budiaya perikanan

pemberdayaan

masyarakat wilayah

tambak, rehabiltasi

pesisir

mangrove, dan eco tourism

4. Memanfaatan dana

5. Memanfaatkan dana

OTSUS untuk

OTSUS untuk penyuluhan

pengembangan kawasan

dan pemberdayaan

pesisir melalui

masyarat pesisir untuk

pengembangan

pengembangan mangrove.

mangrove pada sektor perikanan tangkap, mangrove pada sektor perikanan tangkap,

Threats (T)

Strategi ST :

Strategi WT :

1. Pengetahuan masyarakat

1. Sosialisasi penerapan tentang pengelolaan ling-

1. Program penyuluhan

peraturan pemerintah kungan masih kurang

tentang lingkungan dan

ekosistem mangrove

tentang lingkungan

2. Adanya tabrakan kebijakan

2. Melibatkan masyarakat dan inkonsistensi

2. Menggas sistes tambak

lokal dalam penyusunan pengembangan budidaya

model silvofishery

perencanaan dan tambak dan kontruksi

(tumpang sari) dengan

pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir.

memanfaat ekosistem

mangrove

mangrove

3. Adanya pasang surut

3. Menjaga program-program wilayah pantai dan potensi

3. Melakukan rapat

yang sudah berjalan dalam bencana yang unprediktable

koordinasi antar SKPD

dan LSM untuk

project pengembangan

4. Adanya rent seeking

mangrove kebijakan minapolitan

memadukan

pengembangan wilayah 4. Membagi wilayah pengembangan mangrove

mangrove

pengembangan mangrove

4. Program Aceh Green

secara sektoral pada tiap

Vision untuk nilai

Kabupaten/Kota

ekologi dan menjaga kestabilan garis pantai, tebing sungai dari erosi, dan abras

Berdasarkan tabel matriks SWOT, maka pilihan strategi menjadi penting untuk melihat kondisi di internal provinsi untuk pengembangan mangrove (potensi) dan kondisi eksternal dalam daya saing komoditi mangrove. Potensi dan kekayaan alam saja tidak cukup, diperlukan strategi pengembangan dan alternatif-alterbatif. Matriks SWOT dapat dijadikan acuan untuk melihat dan menangkap permasalahan kedalam bentuk-bentuk program/kebijakan.

Pengembangan mangrove wilayah pesisir sangat potensi bagi perekonomian sektoral Aceh dan Nasional. Strategi yang telah disusun dalam matriks SWOT harus dikaji dengan melibatkan komponen stake holder (pemerintah Aceh, legistatif Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pariwisata, Bapeda Provinsi Aceh, lembaga penelitian kampus, LSM, masyarakat wilayah pesisir). Program dan kebijakan rehabiltasi mangrove yang sudah ada dilanjutkan dan dilakukan evaluasi, adopsi pengembangan mangrove di daerah lain juga perlu untuk dilakukan. Pengembangan mangrove wilayah pesisir dapat di gambarkan berikut ini:

Gambar 7. Alur Pengembangan Mangrove Berdasarkan Analisis SWOT

Pengembangan Mangrove Wilayah Pesisir Aceh

Posisi Mangrove Aceh dalam Kuadran DayaSaing Wealth

Daya Saing Potensi Kekayaan/Sumber

Daya

Peluang Ancaman

Kekuatan

Kelemahan

Analisis SWOT

Kebijakan/Program Adopsi Pengembangan

yang sudah ada Strategi Pengembangan

Daerah Lain

Mangrove

IV. Program-Program Pengembangan Ekosistem Mangrove di Aceh

4.1. Program dan Kebijakan yang sudah dilakukan

Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditas ekspor perikanan, turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991 dalam Anwar dan Gunawan, 2006). Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditas ekspor perikanan, turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991 dalam Anwar dan Gunawan, 2006). Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga

Kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Indonesia disusun berdasarkan analisis terhadap isu-isue pokok yang dihadapi dalam implemantasi pengelolaan ekosisitem hutan mangrove. Ada beberapa isu pokok dalam penyususnan strategi pengelolaan hutan mangrove di Indonesia antara lain (Strategi Nasional hutan Mangrove Indonesia, 2004):

1. Isu ekologi meliputi lebih dari 50% dari total luas hutan mangrove Indonesia rusak sehingga fungsi ekologis menurun, konservsi dan rehabilitasi yang diharapkan mampu meningkatkan fungsi ekologi masih dianggap beban bukan tanggung jawab dan upaya untuk rehabilitasi mangrove yang rusak masih belum mampu mengimbagi laju kerusakan yang terjadi.

2. isu ekonomi yang meliputi adanya perbedaan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat, pemahaman masyarakat lokal dan perencanaan pengelolaan ekosisitem mangrove belum optimal, sebagaian besar kondisi masyarakat disekitar ekosisitem mangrove masih tergolong miskin serta kegiatan pemanfaatan sumberdaya mangrove yang ramah lingkungan masih kurang.

3. Isu kelembagaan meliputi koordinasi di antara lembaga terkait dalam pengelolaan ekosisitem mangrove belum efektif.

4. Isu keempat adalah isu peraturan perundang–undangan pengelolaan ekosisitem mangrove yang belum memadai, penegakan hukun dalam pengelolaan ekosisitem mangrove belum efektif dan belum adanya payung-payung yang memadai untuk strategi nasional pengelolaan ekosisitem mangrove nasional. Di dalam undang-undang No.27 tahun 2007 tentang pengolahan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil pada bagian ketiga pasal 9 ayat 3 diamanatkan bahwa perencanaan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, dan keseimbangan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan.

Selain pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kebijakan pembangunan minapolitan juga mendukung program pengembangan kawasan mangrove. Menurut Pedoman Umum Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), bahwa suatu kawasan Selain pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kebijakan pembangunan minapolitan juga mendukung program pengembangan kawasan mangrove. Menurut Pedoman Umum Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), bahwa suatu kawasan

1. Kesesuaian dengan Renstra Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan.

2. Memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi.

3. Letak geografis yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan

4. Terdapat unit produksi, pengolahan dan atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah dan atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan mempunyai matarantai produksi pengolahan dan atau pemasaran yang saling terkait.

5. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan atau pemasaran, keberadaan lembaga- lembaga usaha dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan. Empat kebijakan utama yang menjadi acuan dari program rehabilitasi dan

rekonstruksi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh, yaitu: (1) memulihan kembali daya dukung lingkungan dan mengamankan lingkungan eksisting; (2) memulihkan kembali kegiatan perekonomian masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam; (3) melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dan budaya lokal dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan; dan (4) emulihkan kembali sistem kelembagan sumber daya alam dan lingkungan hidup di tingkat pemerintah.

1. Green Coast Project/Post Tsunami Project in Aceh and Nias (2005-2009)

Wetlands International (WI-IP) adalah bagian dari jaringan global Wetlands International, yang merupakan Organisasi Non-Pemerintah dan bekerja secara global, regional, nasional hingga lokal untuk mencapai tujuan konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana, sebagai bentuk sumbangan bagi terwujudnya pembangunan secara berkelanjutan. Project WI-IP bertujuan merehabilitasi ekosistem pesisir yang digabungkan dengan upaya-upaya penciptaan mata pencaharian alternatif di Aceh-Nias. Tidak kurang dari 75 kelompok masyarakat telah menerima dana bantuan dari Green Coast Project untuk rehabilitasi ekosistem dan kegiatan pengembangan ekonomi mereka

(pendekatan Bio-rights). Sekitar 4350 orang mendapat manfaat secara langsung dari adanya proyek ini, dan seluruh masyarakat sekitar pesisir pada umumnya merasakan manfaat-manfaat dari kondisi lingkungan yang telah direhabilitasi. Lebih dari 1000 hektar kawasan pesisir NAD-Nias telah berhasil di-reforestasi dengan lebih dari 1,9 juta tanaman mangrove dan pohon pantai lainnya melalaui pendekatan-pendekatan Bio- rights.

Beberapa program yang dilakukan untuk rehabilitasi tanaman mangrove antara lain Merehabilitasi dan mengembangkan mangrove seluas 164.840 ha di NAD dan 9.750 ha di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2006-2010 untuk kepentingan perlindungan pantai maupun pemanfaatannya sebagai tempat pemijahan dan perkembangan perikanan dan ekosistem baru yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

1. Memetakan kondisi kawasan ekosistem mangrove NAD dan Nias;

2. Melakukan kajian tentang karakter dan poteni pantai;

3. Menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman pantai lainnya;

4. Menyusun rencana teknik rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman tanaman pantai lain jangka menengah

5. Melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove di zona pantai dan zona perikanan/pertambakan (mengikuti rencana tata ruang) secara terpisah maupun terintegrasi khususnya dengan metode silvo-fishery (budi daya perikanan berwawasan lingkungan);

6. Menyusun mekanisme kelembagaan untuk memelihara, memantau dan mengevaluasi hasil rehabilitasi hutan mangrove.

2. Program Conservational International Indonesia Rehabilitasi Wilayah Pesisir Melalui Penanaman Mangrove

Pogram rehabilitasi pesisir dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia di Banda Aceh pada 3 Kecamatan yaitu Dayah Reyah, Tibang, dan Kampung Jawa. melalui dua pendekatan yaitu pendekatan lingkungan dan pendekatan sosial ekonomi masyarakat. Pendekatan lingkungan dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa secara ekologis mangrove yang ditanam dapat hidup sebaik mungkin dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, serta memberikan dampak positif terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Pendekatan sosial ekonomi masyarakat bertujuan agar penanaman mangrove ini disadari sebagai sebuah kebutuhan sehingga mendapat dukungan, Pogram rehabilitasi pesisir dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia di Banda Aceh pada 3 Kecamatan yaitu Dayah Reyah, Tibang, dan Kampung Jawa. melalui dua pendekatan yaitu pendekatan lingkungan dan pendekatan sosial ekonomi masyarakat. Pendekatan lingkungan dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa secara ekologis mangrove yang ditanam dapat hidup sebaik mungkin dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, serta memberikan dampak positif terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Pendekatan sosial ekonomi masyarakat bertujuan agar penanaman mangrove ini disadari sebagai sebuah kebutuhan sehingga mendapat dukungan,

60 Ha areal tambak dan 2 km sungai dan saluran air, dengan jumlah bibit mangrove yang telah ditanam mencapai sekitar 220.000 batang terdiri dari 3 jenis yaitu Rhizopora mucronata, R. apiculata, dan R. Stylosa.

4.2. Program-Program pengembangan Mangrove Yang Di Tawarkan

Pengembangan ekosistem mangrove yang ditawarkan mengacu pada Indikator- indikator dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:

1. Dimensi ekologi terdiri dari : perubahan keragaman habitat; struktur relung komunitas; ukuran populasi dan struktur demografi; tingkat keragaman hutan mangrove; perubahan kualitas air; rantai makanan dan ekosistem.

2. Dimensi ekonomi terdiri dari : pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; rencana pengelolaan hutan mangrove; keterlibatan stakeholder; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; rehabilitasi hutan mangrove; hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove; peran mangrove terhadap pembangunan wilayah.

3. Dimensi sosial terdiri dari : kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove; koordinasi antar lembaga; akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove; kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove; tingkat pendidikan masyarakat; pola hubungan antar stakeholder; pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove; peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.

Ekologi

Sosial Budaya

Ekonomi

Gambar 8. Indikator Pembangunan Berkelanjutan (Friend, 2000)

Pendekatan yang dapat ditempuh adalah: (1) pengadaan bibit tanaman mangrove dengan air tawar (pendekatan konservasi ex situ); (2) melibatkan pihak industri atau swasta; dan 3. penanaman atau rehabilitasi hutan mangrove dengan, (3) berbasis masyarakat kawasan pesisir (pendekatan buttom-up).

Menurut Kusmana (2009), ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian integral dari program PWPLT (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu). Alternatif pemanfaatan daerah pesisir yang bersifat multiple-use dimana mangrove sebagai salah satu unsur ekosistemnya.

Pendekatan berbasis masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove perlu digalakkan. Masyarakat setempat/lokal merupakan bagian dari ekosistem wilayah pesisir sehingga dapat mengembangkan budidaya mangrove. Dengan suatu terobosan baru pengadaan bibit mangrove, teknik penanaman yang benar dan dibantu oleh berbgai pihak terkait serta adanya peran aktif masyarakat sangat membantu dalam realisasi hutan mangrove di kawasan rawan bencana. Berikut ini alut pembangunan Mangrove wilayah pesisir yang berkelanjutan dan memiliki multiplier effect.

Gambar 9. Alur Pembangunan Berkelanjutan Budidaya Mangrove Wilayah Pesisir

Pembangunan Berkelanjutan budidaya Mangrove

Potensi Hutan

Kebijakan Mangrove Lingkungan Hidup

Pengelolaan Mangrove

ekologis

Ekonomi

Kelestarian konservasi

rehabilitasi

ekosistem

Kesejahterahaan lingkungan Masyarakat

Stake Holder

1. Pengelolaan Kawasan Budidaya Mangrove Mangrove

Program pengembangan kawasan mangrove bagi perikanan dapat dilakukan dengan 2 jalan sebagai berikut:

A. Rehabilitasi, Penataan dan Pengelolaan Kawasan Mangrove

- Survey dan pendataan area, identifikasi dan inventarisasi jenis-jenis tumbuhan dan kondisi lingkungan mangrove. - Penanaman bibit mangrove - Pengembangan area pembibitan mangrove lestari - Pemetaan area mangrove - Pengembangan kawasan konservasi mangrove - Pembentukan sabuk hijau daun (green belt) mangrove

B. Optimalisasi Pemanfaatan Fungsi Mangrove

- Pengembangan nursery ground (tempat pemijahan) biota akuatik - Pengembangan habitat alami fauna (burung, mamalia, dan reptile) - Pelepasan biota laut penghuni mangrove - Perbaikan kondisi lingkungan (penahan abrasi laut, penangkap sediment) - Pengurangan bahan pencemar sungai (logam berat dan bahan berbahaya lainnya) - Pencegahan intrusi air laut

2. Integrasi Kawasan Ekosistem Mangrove dengan konsep Eco-Tourism

konsep pengembangan Kawasan Mangrove wilayah pesesir mampu mengintegrasi potensi-potensi bisnis yang menghasilkan multiple effect pada bisnis-bisnis turunan. Konsep eco-tourism ini dapat memadukan peningkatan aktivitas ekonomi laut berbasis ekosistem melalui sektor pariwisata, seperti: wisata alam (eco-taurism business), pengembangan Unit Usaha Kecil Menengah pengolahan produk-produk perikanan dan kerajinan, dan menciptakan lapangan kerja baru dalam pariwisata. Pengembangan Wisata Mangrove Terpadu dapat dilakukan dengan program-program:

- Pengembangan area Wisata - Pengembangan area hot spot tempat singgah jalur air (keunikan alam, pusat suvernir/makanan) - Pengembangan area kegiatan out bond mangrove.

- Pemberdayaan masyarakat sebagai penunjang wisata (pemandu, penyedia perahu, peningkatan ketrampilan pembuatan suvernir. - Pembersihan dan Penataan Area Wisata. - Peningkatan sarana dan prasarana wisata (area jogging mangrove, pengamatan burung, tempat mincing, jalan-jalan sungai mangrove, tempat persinggahan, penjaga kebersihan). - Perbaikan akses menuju area wisata (jalan, penerangan, air, dan listrik)

3. Nilai Ekologis

Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah di ujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil dari studi lapangan di pelestarian sumberdaya alam nasional futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove, invertebrate bentik, atau spesies algae.

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan. Mangrove dapat berperan penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai macam biota laut, penahan abrasi pantai, proteksi terhadap tiupan angin dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut.

Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan,karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi (Howes et al, 2003).