Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum.L) Lahan Kering Di Pt Gula Putih Mataram, Lampung Dengan Aspek Khusus Tebang, Muat, Dan Angkut

PENGELOLAAN TANAMAN TEBU
(Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING
DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG
DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT

OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH
A24062623

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PENGELOLAAN TANAMAN TEBU
(Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING
DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG
DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT

OLEH
DHIYAUDZDZIKRILLAH

A24062623

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

RINGKASAN
DHIYAUDZDZIKRILLAH. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum) Lahan Kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung, Dengan
Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut. (Dengan pembimbing Ir.
Purwono, MS.)
Kegiatan magang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan teknis dan manajemen budidaya tebu. Aspek
khusus yang diamati dalam magang ini adalah sistem tebang, muat, dan angkut di
PT Gula Putih Mataram. Kegiatan magang dilaksanakan dari tanggal 15 Febuari
dan berakhir pada tanggal 15 Juli 2010 di perkebunan

tebu PT Gula Putih


Mataram, Lampung. Kegiatan magang menggunakan dua metode yaitu metode
langsung dengan pengamatan pelaksanaan kegiatan teknis budidaya terutama
terhadap sistem tebang, muat, dan angkut. Metode yang kedua adalah metode
tidak langsung dengan mempelajari dan menganalisis laporan pihak kebun dan
studi pustaka.
PT Gula Putih Mataram menerapkan sistem panen burn cane atau tebu
bakar. Sistem pembakaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan oleh
perusahaan karena berpengaruh terhadap kelestarian dan fungsi metabolisme tebu
sendiri serta pengaruh lainnya terhadap lingkungan. Pembakaran yang bijak akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan maupun daerah sekitar. Penebangan
tebu dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia dengan alat
berupa golok tebang. Sistem muat dan angkutnya dibedakan atas sistem tebu urai
(loose cane) dan tebu ikat (bundle cane). Perbedaan antara dua sistem tersebut
yaitu pemakaian mesin untuk memuatnya. Sistem loose cane dimuat dengan
menggunakan grabloader dan sidetyping setelah tebu ditebang dan ditumpuk di
areal. Selanjutnya tebu dipindahkan ke truk atau trailer untuk diangkut ke pabrik.
Tebu pada sistem bundle cane, setelah ditebang kemudian diikat dengan kulit tebu
dan selanjutnya dimuat ke bundle truck, dan selanjutnya diangkut ke pabrik.
Curah hujan yang tinggi cukup mempengaruhi proses tebang, muat, dan
angkut. Tingginya curah hujan menyebabkan tebu tidak bisa dibakar ataupun

dipanen. Proses muat dan pengiriman tebu ke pabrik pun terhambat karena adanya
faktor kesulitan penggunaan alat di areal atau jalan yang basah. Semakin tinggi

curah hujan maka semakin berkurang pengiriman tebu ke pabrik (-0.417). Hal ini
pun akan berpengaruh terhadap brix dan pol tebu.
Pola penebangan yang masih menggunakan tebang rangkul menunjukkan
adanya kehilangan hasil di areal, walaupun evaluasi kehilangan hasil masih lebih
baik dibandingkan standarnya. Pada pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan
dengan tepat, baik pemberian peringatan bagi tim pekerja yang kurang sesuai
dengan standar maupun pemberian reward untuk pekerjaan yang sesuai.
Kebutuhan tenaga kerja cukup besar selama on season, terutama untuk
tenaga penebang. Jumlah tenaga tebang yang sedikit menjadi kendala dalam
manajemen tebangan. Jumlah tenaga kerja yang ada harus mampu memenuhi
kapasitas giling pabrik demi menjaga efisiensi kerja pabrik. Kekurangan tenaga
tebang yang terjadi saat ini dikarenakan banyaknya profesi lain yang lebih
diminati dan menguntungkan pekerja serta adanya persaingan pemberian upah
dengan perkebunan tebu lainnya.

PENDAHULUAN


Latar Belakang
Gula di dalam perekonomian Indonesia memiliki peranan yang sangat
penting dan strategis, karena gula merupakan salah satu kebutuhan pokok
penduduk Indonesia. Kebutuhan gula nasional diperkirakan terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Produksi gula nasional ditargetkan
dapat memenuhi konsumsi langsung rumah tangga serta konsumsi tidak langsung
oleh industri. Demi tercapainya tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, pemerintah telah merancang kebijakan swasembada gula nasional.
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program swasembada gula
diperkirakan mencapai 15 trilyun rupiah yang bersumber dari anggaran
pemerintah, pelaku usaha, dan perbankan. Dana tersebut digunakan untuk
membiayai kegiatan pengembangan tanaman, rehabilitasi pabrik gula (PG) dan
pembangunan PG baru, infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia
(SDM), penelitian, dan manajemen (Ditjenbun, 2009). Akselerasi yang telah
dilakukan pemerintah dalam periode 2003-2008, menunjukkan bahwa produksi
gula nasional meningkat dalam kurun waktu 5 tahun tersebut yaitu dari 1.62 juta
ton menjadi 2.7 juta ton, dengan rendemen yang berfluktuatif 7.14-8.10%.
Tingkat produksi gula tersebut pada dasarnya telah memenuhi konsumsi rumah
tangga sebesar 2.67 juta ton gula yang diperuntukkan lebih dari 230 juta jiwa
penduduk Indonesia atau setara dengan 12 kg/orang/tahun. Jumlah pabrik gula

untuk jenis kristal putih hingga tahun 2009 sebanyak 60 unit, sedangkan untuk
jenis rafinasi terdapat 8 pabrik gula. Pembangunan PG baru maupun program
pemerintah lainnya akan dilakukan secara simultan dari tahun ke tahun sehingga
pada tahun 2014 diproyeksikan produksi gula nasional mencapai 5.7 juta ton yang
diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga maupun industri, walaupun dalam
pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala (Ditjenbun, 2010).
Perluasan areal perkebunan tebu pun dilakukan untuk mendukung
swasembada gula nasional. Luas areal perkebunan tebu di Jawa sekitar 211 000 ha
dan di luar Jawa sekitar 133 400 ha dan hampir 80% areal beralih ke lahan kering.

2

Perkebunan tebu lahan kering di Indonesia yang cukup prosfektif banyak terdapat
di daerah Lampung. Luas areal perkebunan tebu di Lampung yang telah
digunakan yaitu 105 915 ha (Bappenas, 2008). Salah satu pelopor usaha
perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa, khususnya Lampung, yang turut
memenuhi pasokan gula nasional adalah PT Gula Putih Mataram (GPM).
Perusahaan ini mengembangkan konsep budidaya tebu lahan kering dengan
berbagai sarana pendukung pada setiap tahapannya.
Majunya suatu industri gula pada umumnya ditentukan pertama-tama oleh

kualitas tebu. Oleh karena itu, setiap pabrik gula sangat berkepentingan
memelihara tanaman tebunya sebaik mungkin, sehingga dapat menghasilkan
jumlah kristal per hektar setinggi mungkin (Moerdokusumo, 1993). Aspek yang
mempengaruhi kualitas tersebut yaitu aspek tanaman tebu (on farm) dan aspek
pabrik (off farm) terkait teknis dan teknologi proses (Sutaryanto, 2009). Pada
aspek on farm, peningkatkan produksi per hektar dan peningkatan nilai rendemen
dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni,
optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang,
pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat,
penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan,
penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat (P3GI,
2008b).
Hubungan dan koordinasi antara produksi tebu per hektar di lapangan
dengan kapasitas giling di pabrik merupakan kunci utama dalam menjaga kualitas
dan kontinyuitas produksi gula. Kegiatan giling tebu akan optimal dan efisien,
jika jumlah tebu yang dikirim memenuhi kapasitas giling yang diharapkan.
Selama musim giling, pengelolaan tebang-angkut harus ada di dalam satu tangan
dengan pengelolaan di pabrik atau paling sedikit ada di bawah satu komando,
sehingga penyediaan tebu atau jumlah tebu yang ditebang sesuai dengan
kebutuhan pabrik. Kesulitan di pabrik yang akan menyebabkan pabrik berhenti

giling dan kesulitan dalam penebangan/pengangkutan yang akan menyebabkan
tertundanya tebu digiling atau kekurangan tebu harus segera diinformasikan pada
pengelola sehingga dapat segera diambil jalan pengamanan (P3GI, 1989).

3

Pihak manajemen perlu menentukan dan memperhitungkan areal dan
luasan yang hendak ditebang sesuai dengan perkiraan produktivitasnya hingga
memenuhi target gilingan di pabrik. Manajemen akan menunda penebangan pada
areal yang diduga dapat dimundurkan waktu panennya apabila kapasitas giling
telah terpenuhi dan tebu di areal memiliki daya tahan tinggi (kadar gula tidak
mengalami penurunan jika ditunda). Sebaliknya, beberapa pabrik sering juga
mengurangi kapasitas kerjanya bahkan menghentikan kegiatan gilingan

jika

ketersediaan tebu tidak memenuhi kapasitas pabrik karena random fluctuation.
Random fluctuation yaitu faktor yang selalu berubah, tidak diinginkan, tidak
bisa/sukar dikendalikan, mempengaruhi secara acak proses produksi, dan
seringkali menyebabkan output bisa berbeda dengan yang diinginkan. Hal ini

terjadi karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap sistem. Oleh karena itu
manajemen harus bekerja keras dalam menetapkan langkah-langkah yang tepat.

Tujuan
1. Mengetahui aspek budidaya dan manajemen perkebunan tebu lahan kering
2. Mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
sistem tebang, muat, dan angkut
3. Menganalisis manajemen tebang, muat, dan angkut yang tepat, optimal, dan
efisien di perkebunan tebu lahan kering

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Tebu
Gula diproduksi di 121 negara dengan produksi dunia melebihi 120 juta
ton per tahun. Sekitar 70% gula dihasilkan dari tebu yang dibudidayakan di
negara-negara tropis. Produksi gula lainnya diperoleh dari bit gula, terutama di
daerah beriklim sedang. Secara historis, gula hanya dihasilkan dari tebu dan
dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan gula menjadi barang
mewah, terutama di Eropa karena tebu sulit ditanam. Saat ini, beberapa negara
mengimpor raw sugar (gula mentah) untuk memproduksi gula kristal putih.

Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang tumbuh bergerombol
membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya bulat panjang dan
berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna batangnya beragam,
ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan batangnya kadangkadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan tunas. Helaian
daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2m dan lebar 48cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang panjang dan
tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih. Masa berbunga
biasanya antara bulan Februari dan Juni (LIPI, 1978).
Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung.
Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman saja. Secara
komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam
bentuk stek batang. Rata-rata di Jawa setiap 1 ha kebun bibit dapat memenuhi
kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan di luar Jawa lebih kecil lagi, 1 ha
kebun bibit hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat
benih, 2008).
Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak
sinar matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan
optimal. Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S.
spontaneum, S. barberi, dan S. sinense. Tanaman komersial ini memiliki banyak
kultivar yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam usahataninya. Kemasakan


5

tebu biasanya terjadi pada umur 12 bulan. Rata-rata tebu yang masak memiliki
kandungan gula 10% dari bobot tebunya. Jika estimasi produktivitas tebu 100 ton
per hektar, maka gula yang diperoleh sebesar 10 ton per hektar. Beberapa faktor
yang membedakan kandungan gula dari satu kebun dengan kebun lainnya yaitu
varietas tebu, perubahan musim, dan perbedaan keadaan lokasi (SKIL, 1998).
Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak dikembangkan oleh
masyarakat merupakan tanaman C4, yang menyimpan hasil produksinya dalam
batang. Tebu merupakan salah satu tanaman yang sangat efisien memproduksi
karbohidrat melalui fotosintesis dibandingkan tumbuhan lain. Fotosintesisnya
melibatkan 2 kumpulan sel yang ditunjukkan dengan adanya Kranz Anatomi,
yaitu perpindahan struktur dalam prosesnya, yang melibatkan sel-sel mesofil dan
sel-sel seludang pembuluh. Tanaman C4 lebih efisien ketika proses reduksi CO2
dan tingkat fotorespirasinya rendah. Tanaman ini cukup beradaptasi dengan iklim
yang agak panas.
Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah
menyerap tapi juga mudah melepaskan air. Di Indonesia tebu dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1300 m (LIPI, 1978). Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran
kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4.5 maka kemasaman tanah

menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, seperti pada beberapa kasus
disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Pemberian kapur
pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu pun
akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro
sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari
batas kritisnya(Balai Penelitian Tanah, 2010).
Sifat iklim yang diinginkan tanaman tebu adalah iklim kering pada musim
kemarau selama 3-6 bulan dengan suhu optimum 25-300C. Suhu udara yang tinggi
diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi, akan sangat
menguntungkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Cuaca kering yang dingin atau
cool dry weather dapat mempercepat pematangan (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Menurut Bey dan Las (1991) menyatakan bahwa curah air hujan bagi
pertumbuhan tanaman tebu rata-rata 45-145 mm/bulan dengan radiasi surya
berkisar antara 1.0-1.4 kal/cm2/menit.

6

Budidaya Tebu Lahan Kering
Hasil gula yang tinggi dapat diperoleh dengan memahami pengetahuan
tentang teknik budidaya tebu yang mencakup ketersediaan air, sifat fisik tanah,
kemasaman/pH tanah, pemupukan berdasarkan uji tanah, penggunaan varietas
unggul,

serta

pengendalian

organisme

pengganggu

tanaman

(OPT).

Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan
untuk mempercepat proses pencapaian kuantitas, kualitas dan kontinyuitas
produksi gula menuju kemandirian gula nasional. Luas lahan kering yang tersedia
menurut skala ekonomi dan potensi sumberdaya yang memungkinkan serta
teknologi proses produksi yang sudah dikuasai dengan baik menjadi pertimbangan
dalam pengembangannya. Apabila masalah bibit dan penyediaan air menurut
ruang (spasial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka
produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa
seperti yang terjadi selama ini.
Lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan relatif rendah.
Kebanyakan pengembangannya dilakukan pada daerah dengan topografi tidak
rata, peka terhadap erosi, dan kerusakan lainnya. Titik kritis dari pengelolaan tebu
lahan kering yaitu kondisi kekeringan yang kelak akan berdampak terhadap
penurunan produksi tebu per hektar, terutama pada fase pembentukan gula
maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan
produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas
rendemen (kandungan gula persatuan bobot tebu) meningkat (Irianto, 2003).
Kondisi ideal syarat tumbuh tebu dari variabel sifat fisik lahan ditentukan
oleh drainase tanah yang baik dengan kelebihan air keluar dari tubuh tanah tidak
lebih dari 24 jam, sifat olah tanah ideal yang berada pada kisaran antara tanah
ringan dan berat (mengurangi tenaga, biaya dan beban pengolahan tanah) dan
lahan cukup air (kecukupan air tersedia sepanjang tahun). Adapun penilaian
terhadap hirarki klas lahan tinggi sampai rendah, meliputi :
a. Klas S1, lahan sangat sesuai (highly suitable), tidak mempunyai pembatas
pertumbuhan berarti yang mempengaruhi pengelolaan tebu. Apabila jaminan
nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu padat mencapai >100.000 kg/ha.

7

b. Klas S2, lahan cukup sesuai (moderatelly suitable), mempunyai pembatas
ringan (bersyarat rendah) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan
memerlukan masukan biaya sedang. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi,
potensi tebu dapat mencapai 80.000 - 100.000 kg/ha
c. Klas S3, lahan sesuai marginal (marginaly suitable) mempunyai pembatas
berat (bersyarat tinggi) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan
memerlukan biaya besar. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu
dapat mencapai 45.000 – 80.000 kg/ha
d. Klas N, lahan tidak sesuai saat ini (currenty not sutitable), mempunyai
pembatas sangat berat. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu
mencapai < 45.000 kg/ha.

Berdasarkan definisi klas pengelompokan lahan di atas, klasifikasi klas lahan
memberikan informasi terhadap faktor pembatas, tingkat pengelolaan dan potensi
produksi. Prinsip lain dari pengklasan tanah juga adalah mengandung makna
(berdasarkan faktor pembatas yang ada) terhadap upaya-upaya yang diperlukan
untuk

mendapatkan

produktivitas

lahan

sesuai

kemampuan

yang

berkesinambungan (Ditjenbun, 2003).
Menurut Irianto (2003), masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu
serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam
proses produksi tebu lahan kering. Pengelolaan sumber air untuk menekan resiko
kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep
“rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”, yaitu
dengan menyimpan air aliran permukaan pada saat musim hujan dan
didistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif
untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi dan pencucian hara
(nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga
peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan
kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada
di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat digunakan untuk
menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun parit
bertingkat (channel reservoir in cascade).

8

Kemasakan dan Pemanenan Tebu
Secara konvensional untuk meningkatkan banyaknya gula yang dapat
diperah, dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan
murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan
berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang
tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis
kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat.
Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan
optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi
kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI, 2008a).
Komposisi kandungan tebu terdiri dari 11-19% sukrosa, 65-75% air, serta
komponen lainnya. Demi mencapai nilai sukrosa yang tinggi, dalam sistem
pemanenan tebu, faktor kemasakan tebu menjadi sangat penting. Tebu yang
masak akan memberikan tingkat kandungan gula yang tinggi. Kemasakan tebu
secara umum diukur berdasarkan nilai brix, pol, harkat kemurnian, dan rendemen.
Brix adalah zat kering yang larut dalam air yang terdiri dari kristal gula dan bukan
gula. Pol menyatakan kadar gula, baik dari zat kering yang larut atau yang berada
dalam air. Harkat kemurnian (HK) menyatakan prosentase kemurnian gula dalam
komposisi zat kering yang larut dalam air atau dengan kata lain prosentase
perbandingan pol dengan brix. Rendemen menunjukkan banyaknya gula dari
bobot tebu tertentu.
Kemasakan tebu menjadi permasalahan prapanen. Pengawasan kemasakan
tebu pada petak-petak tebang menjelang giling di pabrik-pabrik gula sudah sejak
lama dilakukan secara intensif. Rendemen tebu akan maksimal, hanya dapat
diperoleh pada tebu yang telah masak, sehingga analisis kemasakan diperlukan
sebelum pemanenan. Berbagai cara penentuan kemasakan dapat digunakan
analisis brix atau analisis tiga bagian yang lebih teliti (Mochtar, 1989). Analisis
tingkat kematangan tebu dilaksanakan terus menerus selama tahun giling dan
beberapa bulan sebelumnya. Perubahan tingkat kematangan tebu, dapat diketahui
dari semua data hasil analisis tebu dari berbagai areal, yang pengambilan
contohnya ditentukan dari peta tanaman. Tiap contoh biasanya diperlukan 15

9

batang tebu dan dianalisis 7 kali berturut-turut dalam hal polarisasi, brix, nilai nira
dan harkat kemurnian (HK). Tujuan dari perhitungan ini yaitu mengetahui berapa
besar selisih rendemen batang atas dan bawah. Pada tebu yang tua, perbedaan atau
selisih tersebut berkurang, dan rendemen rata-ratanya bertambah, dan pada titik
tertentu tetap. Pada tingkat inilah tebu dinyatakan mencapai tingkat kematangan
tertinggi, meskipun itu belum berarti tanaman tebu di areal tersebut sudah saatnya
ditebang (Moerdokusumo, 1993).
Ketika tebu mencapai kemasakan yang maksimal, maka rendemen dan
kadar P2O5 akan tinggi dan kadar gula reduksi akan turun. Jadi keuntungan yang
akan diperoleh apabila penebangan dilakukan pada saat masak optimal dengan
potensi produksi gula tertinggi. Kadar P2O5 yang memegang peranan penting
dalam proses pemurnian nira di pabrik juga dalam kondisi tertinggi dan akan
mengurangi biaya penambahan P2O5. Penambahan P2O5 dimaksudkan untuk
membantu proses pemurnian nira dan agar inkrustasi di pan penguapan sesedikit
mungkin dan tidak terlalu sulit dibersihkan (Mochtar, 1989).
Kemasakan tebu dalam beberapa kondisi tertentu dapat mengalami
kendala sehingga kandungan sukrosanya tidak mencapai sepenuh potensinya.
Cuaca yang basah pada saat tanaman tebu mendekati umur panen, misalnya, dapat
mengakibatkan tanaman gagal mencapai puncak kemasakan potensialnya.
Demikian pula intensitas penyinaran yang tidak maksimal akibat cuaca yang
sering berawan selama periode pemasakan, seperti yang sering dialami oleh
pertanaman tebu di wilayah tropika, dapat menyebabkan pencapaian kadar gula
atau rendemen yang relatif rendah.
Teknologi zat pemacu kemasakan tebu (ZPK, cane ripener) mulai
diperkenalkan di pertengahan tahun 1970an, terutama di perkebunan-perkebunan
di Hawaii, Florida, Lousiana, Afrika Selatan, dan Brasil. Tujuan aplikasi ZPK
adalah untuk memacu kemasakan tebu, khususnya di dalam situasi yang tidak
ideal untuk berlangsungnya proses pemasakan secara alami. Bahan kimia yang
digunakan sebagai ZPK pada umumnya adalah sama dengan herbisida, namun
diaplikasikan dalam dosis sub-letal (non-herbisida) (Widyatmoko, 2009).
Zat Pemacu Kemasakan (ZPK) pada tebu atau cane ripener merupakan
suatu bahan kimia yang dapat mempercepat kemasakan tebu dengan mekanisme

10

menyimpan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa pada batang tebu. Penggunaan
ZPK biasanya ditujukan pada tebu yang secara fisiologis belum masak atau
mengalami penundaan kemasakan akibat berbagai faktor seperti kondisi tanah
kelebihan air dan kebanyakan pupuk nitrogen (N). Percepatan proses kemasakan
pada akhirnya akan berdampak terhadap rendemen atau perolehan gula. Namun
walaupun demikian pemberian ZPK tidak bisa meningkatkan rendemen di atas
batas optimum yang dihasilkan tebu secara alamiah. Bila secara alami suatu
varietas tebu memiliki potensi rendemen 11% pada umur 12 bulan, maka
pemberian ZPK tidak akan menyebabkan rendemen menjadi lebih dari 11%.
Aplikasi ZPK diperlukan pada saat awal giling, terutama pada hamparan
tebu dengan komposisi varietas yang memiliki komposisi kemasakan kurang baik
atau didominasi oleh varietas tebu masak tengah hingga akhir. Pada awal musim
giling dibutuhkan tebu masak relatif banyak, sementara sebagian besar tebu yang
ada masih belum masak. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya diaplikasikan
ZPK.
Secara alamiah sebenarnya kemasakan tebu bisa dipercepat dengan cara
mengeringkan tanah, menurunkan suhu sekitar perakaran, membuat tanaman
stress (kekurangan) hara atau memperpendek penyinaran matahari. Akan tetapi,
cara-caratersebut relatif sulit dilakukan dan perlu waktu cukup panjang. Iklim
tropika basah seperti di Indonesia sangat bertentangan dengan kondisi yang
dibutuhkan untuk proses pemasakan tebu secara alami. Karena itu alternatif yang
paling efektif adalah dengan menyemprotkan ZPK (Toharisman, 2009).

Pembakaran
Tanaman tebu ketika dewasa hampir seluruh daun-daunnya mengering,
namun masih mempunyai beberapa daun hijau. Sebelum panen, jika
memungkinkan, seluruh tanaman tebu dibakar untuk menghilangkan daun-daun
yang telah kering dan lapisan lilin. Api membakar pada suhu yang cukup tinggi
dan berlangsung sangat cepat sehingga tebu dan kandungan gulanya tidak ikut
rusak. Di beberapa wilayah, pembakaran areal tanaman tebu tidak diijinkan
karena asap dan senyawa-senyawa karbon yang dilepaskan dapat membahayakan
penduduk setempat. Banyak bahan yang biasa ditemukan dalam udara yang

11

tercemar diketahui merupakan penyebab sakitnya seseorang, jika terdapat dalam
kadar yang cukup tinggi. Biasanya, kadar yang menunjukkan pengaruh yang
membahayakan pada uji laboratorium jauh lebih tinggi daripada yang teramati
dalam atmosfer. Karbon monoksida yang lebih mudah bergabung dengan
hemoglobin dibandingkan oksigen, dapat mengurangi daya darah untuk
mengangkut oksigen, meningkatkan bahaya kematian akibat penyakit jantung,
mengurangi kemampuan untuk melakukan kegiatan fisik, mempengaruhi mental,
kesiagaan, dan ketajaman penglihatan. (SKIL, 1998).
Pembakaran yang dilakukan merupakan salah satu bentuk sumbangsih gas
rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika kadar gas rumah kaca (seperti karbon
dan turunannya) cukup tinggi, sehingga mempengaruhi ketebalan atmosfer bumi
dan menyebabkan naiknya suhu bumi. Suhu udara yang tinggi akan meningkatkan
suhu tanaman, sehingga akan mengganggu banyak proses dalam tanaman. Suhu
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan produksi
tanaman. Berbagai proses fisiologi pada tanaman terjadi pada kisaran suhu 0400C. Pada sebagian besar tanaman laju pemanjangan tercepat dari daun muda
terjadi pada kisaran 20-300C. Pada suhu 40-450C laju pemanjangan daun muda
akan menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh rusaknya protein dan terjadinya
defisit air pada sel jaringan tanaman. Suhu juga mempengaruhi distribusi asimilat
serta proses transformasi dan penyimpanannya. Ini terutama menyangkut kegiatan
enzim serta laju transpirasi maupun respirasi yang dapat berakibat matinya
tanaman.
Keadaan cuaca (terutama unsure suhu) di suatu tempat serta perubahannya
dalam jangka pendek berpengaruh kuat terhadap proses metabolisme sel seperti
tersebut di atas. Di samping itu, keadaan cuaca juga berpengaruh kuat terhadap
kadar air dalam tanah. Dengan demikian tedapat pola hubungan yang jelas antara
keadaan cuaca dan proses fisiologi tanaman. Dalam hal ini, data cuaca sehari-hari
bermanfaat untuk membantu tindakan operasional di dalam suatu usahatani. Dan
dalam jangka panjang akan dapat diketahui hubungan mantap antara data iklim
dan data pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman (Nasir, 1991).
Salah satu bentuk konservasi tanah di lahan tebu adalah dengan
penambahan mulsa dan bahan organik. Dalam upaya melakukan konservasi pada

12

tanaman tebu, kebiasaan membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapang harus
dihilangkan. Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta
akan menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti
nitrogen dan belerang. Daun tebu dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya
dijadikan mulsa atau dikomposkan (Ditjenbun, 2003).

Sistem Tebang, Muat, dan Angkut
Sistem tebangan berhubungan dengan cara-cara praktis di lapang untuk
memanen tebu. Pelaksanaan sistem tebang, muat, angkut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor terutama dalam penentuan jadwal tebang (T-score) yang meliputi
masa tanam, selisih harkat kemurnian bawah dan harkat kemurnian atas,
rendemen rata-rata, selisih antara rendemen atas dan bawah, faktor kemasakan,
koefisien peningkatan, koefisien daya tahan, hama penggerek pucuk, kondisi
tanaman, jarak. Sedangkan layout kebun, prasarana (kondisi jalan, jembatan),
topografi, iklim dan cuaca, dan peralatan penanggulangan kebakaran menentukan
sistem tebangan yang akan digunakan (Supatma, 2008).
Pemanenan dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan ataupun
dengan mesin. Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan
pekerjaan kasar yang sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di
area di mana banyak terjadi pengangguran.Tebu dipotong di bagian atas
permukaan tanah, dedauan hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang
tersebut diikat menjadi satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat
tersebut kemudian dibawa dari areal perkebunan dengan menggunakan
pengangkut-pengangkut kecil dan kemudian dapat diangkut lebih lanjut dengan
kendaraan yang lebih besar ataupun lori tebu menuju ke penggilingan.
Pemotongan dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi
potongan pendek-pendek. Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi
lahan memungkinkan dengan topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan,
solusi ini tidak tepat untuk kebanyakan pabrik gula karena modal yang
dikeluarkan untuk pengadaan mesin dan hilangnya banyak tenaga kerja kerja
(SKIL, 1998).

13

Sistem tebangan yang diterapkan di beberapa perusahaan yaitu sistem
tebangan secara mekanis, semimekanis, dan manual. Menurut Soepardan (1989),
tebangan secara mekanisasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
muat, angkut, dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanisasi. Namun cara
ini seperti yang telah diamati di PG Subang, tidak dapat diterapkan karena faktor
tenaga kerja relatif cukup banyak tersedia, keadaan topografi yang tidak
menunjang karena sangat bergelombang, juga mutu tebangan yang dihasilkan
sangat rendah. Bahkan dari beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1985,
trash (kotoran) mencapai 30 %.
Mekanisasi dalam bidang pertanian bertujuan meningkatkan produktivitas
dari tenaga kerja untuk memberikan hasil yang maksimal. Penggunaan mesin
tebang memerlukan syarat-syarat yang hingga saat ini belum sepenuhnya dipenuhi
dengan baik. Salah satu syarat utama yang perlu dipenuhi adalah layout dari
kebun secara keseluruhan. Apabila mesin tebang yang digunakan jenis chopper,
maka mesin tebang yang memotong batang tebu menjdi 30 cm ini, memerlukan
adanya road transport (Kartohadikusumo, 1975).
Kapasitas penebangan dengan menggunakan mesin tebang bisa mencapai
20-45 ton per jam. Jika dalam satu harinya bisa bekerja dengan lancar selama
8jam, maka sudah dapat menghasilkan 160-360 ton tebu. Jadi untuk suatu pabrik
dengan kapasitas 2 000 TCD akan diperlukan 12 atau 8 mesin tebang. Oleh karena
mesin tebang ini harganya mahal, maka untuk merendahkan biayanya perlu
mencapai hasil pekerjaan yang maksimal (Kartohadikusumo, 1975).
Tebangan semimekanis yang pernah dilaksanakan di PG Subang
(Soepardan, 1989) ialah pelaksanaan tebangan sejak tebang, muat, angkut, serta
bongkarnya dilakukan secara mekanisasi, sedangkan pembersihan klaras (tras
cleaning) dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan oleh tenaga
manusia. Akan tetapi sistem ini hanya sebagian kecil saja dari kegiatan pekerjaan
tebangan manual secara keseluruhan.
Tebangan secara manual (Soepardan, 1989), merupakan kegiatan tebangan
sejak menebang, pembersihan klaras (sisrikan), pengikatan dan muat tebu hasil
tebangan dilakukan seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutannya
dilakukan

dengan

menggunakan

truk-truk

milik

kontraktor,

serta

14

pembongkarannya dilakukan secara mekanisasi di pabrik. Sistem tebang manual
yang dilaksanakan di lahan kering seperti di PG Subang ini, pelaksanaannya
meliputi penebangan batang tebu rata dengan permukaan tanah, membersihkan
klaras, akar serta kotoran lain yang melekat pada setiap batang tebu yang
ditebang, memotong pucuk yang kemudian disisihkan bersama klaras dan kotoran
lain pada lajur khusus. Selanjutnya meletakkan batang-batang tebu tebangan pada
lajur atau juringan-juringan yang telah dibersihkan dari klaras dan kotoran lain
sebelumnya, yang terdapat diantara dua lajur tempat timbunan klaras dan
potongan pucuk. Namun menurut Suharyono (1989), tebangan manual yang
dilakukan di PG Bone, dilakukan dengan tebang pangkal, memotong pucuk,
kelentek, sisik, pengikatan dan dipindahkan sampai di pinggir jalan kebun atau
jalan diperkeras. Hal ini disebabkan karena unit angkutan tebu tidak
diperbolehkan masuk ke tengah kebun. Keuntungan dari sistem ini yaitu tidak
terjadi pemadatan tanah di kebun dan angkutan tebu lebih diperlancar, namun
kerugiannya kapasitas tebang per orang menurun dan tebu tertinggal di kebun
meningkat terutama pada kebun bertopografi miring atau bergelombang.
Muat tebu didefinisikan sebagai kegiatan yang dimulai dari pekerjaan
mengambil ikatan tebu pada lahan, mengangkat ikatan tebu menuju truk
pengangkut, sampai meletakkan di atas truk. Kegiatan selanjutnya, pengangkutan
tebu yang harus dilakukan dengan cepat dan aman. Hal ini berarti bahwa
pengangkutan tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan nira pada tebu,
memenuhi target giling pabrik setiap harinya, tidak merusak lingkungan dan
dalam jangkauan biaya (Irawan, 2008). Alat muat yang biasa digunakan yaitu
grabloader. Kapasitasnya sekitar 10-60 ton per jam tergantung dari jenisnya. Jika
rata-rata memuat 25 ton per jam-nya, maka dalam satu hari (8 jam) bekerja bisa
memuat 200 ton tebu. Prinsip dalam penggunaannya perlu memperhatikan layout
mekanisasi yang baik (Kartohadikusumo, 1975).
Menurut Sutaryanto (2009), tebang dan angkut dengan mutu tebu yang
MBS (Masak, Bersih, dan Segar) dilakukan dengan cara, yaitu:
1. Memperkecil front tebang dan Tebang Sendiri Angkut Sendiri (TSAS)
melalui kelompok tebang. Batasan jumlah kebun ditebang maksimal 3-

15

6 kebun tebangan per wilayah. Hal ini bertujuan agar kontrak petugas
tebangan terjangkau masing-masing wilayah.
2. Penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu
faktor kemasakan (FK), koefisien peningkatan (KP), koefisien daya
tahan (KDT).
3. Pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total
4. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 0-10% kapasitas giling.
5. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang
lebih dari sama dengan 17%.

Trash dan Tebu Tertinggal
Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash
(kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash
adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada tanaman
tebu. Trash yang dianalisis pada umumnya meliputi kelaras (kelopak daun) daun
kering/hijau, sogolan yang kurang dari 1.5m, pucuk, akar, tali ikat, dan tebu mati.
Trash dinyatakan dengan nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat
kotoran dibanding dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan,
dinyatakan tebu bersih bila EM< 5% (Haryanti, 2008). Menurut Mochtar (1989),
kotoran bersabut (seperti daun, pucuk, kelaras, akar, sogolan, gulma, kayu) akan
menurunkan rendemen tebu karena akan menaikkan kadar sabut dengan menurun
kadar nira tebu. Ini berarti sebagian gula yang seharusnya dapat diperoleh hiang
dalam ampas. Di samping itu ada bagian nongula yang larut dalam nira tebu,
sehingga menurunkan nira tebu. Kotoran tidak bersabut (tanah, pasir, batu, bahan
logam) mungkin tidak larut, akan tetapi akan merusak peralatan gilingan,
sehingga dapat menurunkan keragaan peralatan tersebut dan menambah biaya
untuk perbaikan. Tanah yang tidak larut, akan masuk sampai stasiun pemurnian
dan sebagai koloid akan mempersulit proses pengendapan, sehingga sukar untuk
mendapatkan nira yang jernih sehingga dapat menekan kapasitas pengolahan.
Tebu tertinggal yang biasa terjadi di lapangan berupa tunggak, yaitu sisa
tebu akibat tebangan yang melebihi tinggi standar tebangan. Tunggak merupakan
masalah yang harus dipecahkan karena merupakan bagian yang memiliki kadar

16

gula tinggi. Di PG Subang, tunggak pada tahun 2006 mencapai 7.4 kuintal per
hektar (Renatho, 2007).

Pada PG Sindang Laut dan Tersana Baru, untuk tinggi

tunggak maksimal yang diperbolehkan adalah 5 cm (Supatma, 2008).

METODE MAGANG

Tempat dan Waktu
Kegiatan magang dilaksanakan di perkebunan tebu milik PT. Gula Putih
Mataram, Lampung. Magang dilaksanakan selama 4 bulan atau 16 minggu efektif,
yang dimulai sejak 15 Maret hingga 15 Juli 2010.

Metode Pelaksanaan
Metode yang dilakukan adalah bekerja langsung di lapangan dan menjadi
satu bagian dari sistem kerja di perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram,
Lampung. Kegiatan ini memberikan pengalaman tentang keterampilan teknis dan
manajerial dari berbagai level atau spesifikasi pekerjaan sesuai dengan
tahapannya. Kemampuan analisis mahasiswa juga dilatih dalam memandang suatu
permasalahan. Mahasiswa selama magang dilibatkan dalam aktivitas budidaya
tanaman tebu dengan melaksanakan pekerjaan pada posisi tugas sebagai
pendamping mandor atau field maintenance, pendamping officer, dan pendamping
manajer.
Tahap budidaya yang dilakukan di lapangan pada saat itu, mulai dari
persiapan lahan (land preparation), pembibitan dan persiapan bahan tanam,
persiapan tanam dan penanaman, pengairan/irigasi, pengendalian OPT, kultivasi,
dan pemupukan, pemanenan (program ripener, analisis kemasakan, tebang, muat,
angkut dan bongkar), hingga pengolahan hasil. Secara administrasi mahasiswa
melakukan penyusunan jurnal harian yang diketahui pembimbing lapang,
mencatat prestasi kerja tenaga kerja yang diperoleh pada beberapa tahapan
budidaya, kemudian dibandingkan dengan norma kerja di perusahaan tersebut.
Pada aspek khsusus yang diamati, mahasiswa melakukan pendekatan
masalah pada sistem panen, terutama mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi tebang, muat, dan angkut pada dua sistem pemanenan yang
diterapkan (bundle cane dan loose cane).

18

Pengamatan dan Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mengumpulkan data
primer dan data sekunder. Data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di
lapangan terhadap semua kegiatan yang berlangsung di perkebunan, khususnya
terhadap faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap tebang, muat, dan
angut tebu. Faktor-faktor tersebut yaitu perencanaan program tebang, pembakaran
dan pengiriman tebu (burn to crush), aspek teknis dan kehilangan hasil, serta
aspek ketenagakerjaan.
Pengumpulan data terhadap faktor perencanaan program tebang meliputi
penentuan jadwal tebangan dan luasannya dengan berdasarkan prinsip nilai
kemasakan. Pada aspek teknis dan kehilangan hasil meliputi:
1. Jenis pemanenan: a) hijau atau bakar, b) manual, mekanisasi, atau
semimekanisasi, c) sistem penumpukan tebu.
2. Proses muat berdasarkan sistem pemanenan (burai atau ikat) serta
banyaknya muatan.
3. Pengangkutan memperhatikan letak dan arah gerakkan angkutan.
4. Kehilangan hasil diamati dengan pengukuran berat
a. tebu tidak tertebang yang melebihi standar (tunggul) pada sistem bundle
cane dan loose cane yang diwakili oleh beberapa kontraktor. Standar
tunggul yang diperbolehkan yaitu 5 cm.
b. pengukuran bobot tebu tebangan yang tertinggal di petakan (lonjoran)
pada sistem bundle cane (BC) dan loose cane (LC) yang diwakili oleh
beberapa kontraktor. Luas petak contoh pengukuran kehilangan hasil
pada BC yaitu 4 double row (DR) sepanjang 5 m, sedangkan LC 6 DR
sepanjang 5 m.
c. pengukuran bobot tebu yang terjatuh ketika pengangkutan di jalur
pengangkutan, dengan pengamatan sepanjang 500 m pertama jalur
pengangkutan.

Jarak

500

m

pertama

merupakan

jalur

kritis

pengangkutan karena peristiwa tebu jatuh lebih banyak dibandingkan
jarak selanjutnya.
Data sekunder diperoleh dari kebun meliputi lokasi dan letak geografis
kebun, keadaan tanah dan iklim, luas areal dan tata guna lahan, kondisi

19

pertanaman dan produksi, norma kerja di lapang serta organisasi dan manajerial,
dan data lain yang terdapat diperusahaan yang mendukung. Data brun to crush
bulan Juni dan jumlah tenaga kerja juga diperoleh dari data perusahaan.

Analisis Data dan Informasi
Analisis data yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengamatan
adalah dengan membandingkan data-data yang diperoleh dari kebun dan data
standar perusahaan. Dari data tersebut, selanjutnya akan dilakukan pengolahan
data menggunakan perhitungan matematis dan statistik. Analisis diawali dengan
membandingkan nilai brix dan pol tebu tiap kemasakan tebu (masak awal, tengah,
dan akhir). Analisis data tenaga kerja dilakukan dengan membuat grafik trend
tenaga kerja setiap bulannya. Analisis lainnya yaitu menduga banyaknya
kehilangan hasil dari penebangan dan pengangkutan.

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
Seiring dengan ditetapkannya kebijakan pemerintah untuk berswasembada
gula pada masa yang akan datang, maka pada tahun 1988 dibangun PT Gula Putih
Mataram (PT GPM). Perusahaan yang dibangun dengan mengintegrasikan
perkebunan tebu dengan pabrik gula ini merupakan wujud partisipasi pihak swasta
dalam menunjang pengembangan perindustrian gula di Indonesia, terutama dalam
mendukung penciptaan dan pemerataan pusat-pusat perekonomian baru di daerah.
Pabrik dan perkebunannya berlokasi di Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten
Lampung Tengah, Provinsi Lampung, sedangkan kantor pusat berada di Jakarta.
Perusahaan ini berbentuk Perseroan Terbatas (PT) swasta penuh dengan
status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan merupakan salah satu
perusahaan dari Sugar Group Companies (SGC), kelompok usaha PT Garuda
Pancaarta. PT GPM tergolong perusahaan yang padat modal dan padat karya. Hal
ini tercermin dari besarnya investasi yang ditanam dan jumlah tenaga kerja yang
diserap.
PT GPM didirikan dengan akte notaris Imas Fatimah, SH. Nomor 33 pada
tanggal 21 April 1988 dan surat izin 064/SITU/BKPMD/II/1988 serta terdaftar di
kantor

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Selatan

dengan

nomor

1092/Not/1991/PN.JK.SEL, juga telah memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) dari Departemen Perdagangan pada bulan Juni 1991 dengan nomor
SIUP:507/09-04/PB/UI/91.
Kegiatan perkebunan tebu dan pabrik gula mulai beroperasi sejak 1987
dengan memanfaatkan konsesinya seluas 12 860.66 ha dengan status Hak Guna
Lahan (HGU) dengan luasan pabrik 43 361 m2. Pada penggilingan perdana pada
tahun 1987, sudah menghasilkan gula dengan kualitas super yang setara dengan
semi rafinasi, dengan kapasitas giling 10 000 TCD. Pabrik perusahaan ini
merupakan yang pertama dibangun di Indonesia untuk menghasilkan kualitas gula
yang demikian. Saat ini pabrik PT GPM dikembangkan untuk memproduksi gula
dengan merk dagang ”GULAKU”. Gula kemasan jenis premium bermerk pertama

21

di Indonesia ini, diproses secara higienis dan berkualitas tinggi dengan standar
internasional. Pengolahannya menggunakan mesin-mesin otomatis yang modern
dan berteknologi tinggi tanpa perlu melibatkan kontak fisik manusia untuk
mencegah kontaminasi oleh bakteri, debu, dan partikel asing lainnya. Produk
”GULAKU” telah didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.

Letak Geografis dan Topografi
PT GPM mempunyai kantor direksi di Jakarta, dan untuk membantu
kelancaran kegiatan divisi bisnis dibuka kantor pembantu yaitu kantor Purchasing
di Bandar Lampung dan Molasses Instalation di Pelabuhan Panjang. Perkebunan
tebu dan pabrik gula PT GPM terletak di Mataram Udik, Kecamatan Seputih
Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Jarak perusahaan dari
Bandar Lampung sekitar 144 km. Lokasi pabrik berada di tengah-tengah areal
perkebunan tebu. Peta lokasi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1.
Letak geografis PT GPM berada pada 105026’18”-105030’22” BT dan
4042’50” LS. Batas-batas wilayahnya yaitu dikelilingi dari bagian:
Selatan timur

: areal perkebunan PT Gunung Madu Plantation

Barat bagian selatan

: areal perkebunan PT Great Giant Pineapple

Barat bagian utara

: Way Terusan

Utara

: areal perkebunan PT Sweet Indo Lampung

Perusahaan ini berada pada ketinggian 105-127 meter di atas permukaan
laut (mdpl), dengan kondisi tanah secara umum datar hingga bergelombang.
Tingkat kemiringan tertinggi yaitu 9-15% terutama pada daerah yang dekat sungai
atau lebung.

Keadaan Tanah dan Iklim
Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial. Ultisol
memiliki ciri-ciri warna yang relatif krem tua terang, tanahnya dalam dan liat.
Aluvial umumnya dekat dengan aliran air, dominana sedimen. Jika dilihat dengan
penampang melintang, maka akan terlihat dalam satu tanah terdapat lapisanlapisan yang berbeda. Derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Tipe iklim
menurut Schmidt & Ferguson, perkebunan tebu PT GPM termasuk ke dalam tipe

22

B. Suhu udara rata-rata berkisar 26.1-27.1 0C, dengan kecepatan angin rata-rata
0.79-3.09 km/jam. Rata-rata curah hujan tahunan yaitu 2 424.6 mm dengan
jumlah hari hujan rata-rata 141 hari. Jumlah bulan basah berturut-turut yaitu 5-6
bulan (November-April). Data curah hujan selama 10 tahun terakhir dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 3.

Luas Areal dan Tata Guna Lahan
Areal perusahaan secara keseluruhan memiliki luasan sebesar 34 912.75
ha, yang digunakan untuk perkebunan, pabrik, perkantoran dan fasilitas
perusahaan lainnya, serta bentangan alam yang ada (hutan dan rawa-rawa). Luas
perkebunan sebesar 24 515.98 ha yang terdiri dari areal untuk riset seluas 140.87
ha, lahan produksi 22 300 ha, dan sisanya untuk pembibitan. Sebagian besar areal
perkebunan merupakan perkebunan HGU, akan tetapi perusahaan juga memiliki
perkebunan plasma inti yang bekerja sama dengan masyarakat. Sekitar 75% areal
perkebunan ini berasal dari hutan sekunder dan selebihnya hutan primer. Data luas
areal dan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4.
Areal kebun produksi di PT GPM dibagi menjadi lima divisi yakni divisi 1,
2, 3, 4, dan 5. Pembagian divisi ini berdasarkan jalan utama (main road) menjadi
empat kuadran. Titik pusat (0,0) dari kuadran tersebut terletak di pabrik. Letak
masing-masing divisi tersebut yaitu:
Divisi I

: mulai dari km 5 – km 17 Timur Utara

Divisi II

: mulai dari km 2 Timur Selatan – Ujung Barat Selatan

Divisi III

: mulai dari Ujung Barat Utara– km 5 Timur Utara

Divisi IV : mulai dari km 2 Timur Selatan – km 17 Timur Selatan
Divisi V

: mulai dari km 17 Timur – Ujung Timur

Keadaan Tanaman dan Perkembangan Produksi
Tanaman tebu yang dibudidayakan terdiri dari 2 kategori yaitu Replanting
Cane (RPC) dan Ratoon Cane (RC). Replating Cane adalah tanaman tebu baru
yang ditanam pada areal yang pernah ditanam sebelumnya atau ”dibongkar”.
Ratoon Cane (tebu keprasan) merupakan tanaman tebu yang berasal dari sisa
tanaman yang ditebang sebelumnya yang kemudian dipelihara kembali menjadi

23

tanaman baru. Sistem RC dapat dilakukan hingga 2-3 kali tahun tanam tergantung
dengan sifat atau varietas tebu yang ditanam. Jika tanaman dinilai tidak mampu
berproduksi lagi selanjutnya dilakukan replanting. Kategori tanaman yang
dibudidayakan lainnya yaitu Plant Cane (PC) atau tanaman tebu pertama yang
ditanam pada areal yang baru dibuka. Perkebunan tebu GPM pada tahun 2010
membuka areal penanaman baru untuk dipanen pada tahun selanjutnya.
Sistem tanam yang digunakan yaitu sistem baris ganda (double row). Jarak
tanam antar baris yang berdekatan 65 cm, dan antar double row 185 cm.
Produktivitas tanaman rata-rata 80 ton/ha dari varietas yang dikembangkan
perusahaan ataupun yang didatangkan dari luar negeri seperti Taiwan.

Keragaan Pabrik
PT GPM memiliki pabrik sendiri yang dibangun sejak bulan Juni 1986 dan
mulai beroperasi penuh mulai tahun 1987. Kapasitas giling awal pabrik ini 8 000 10 000 TCD. Pada tahun 1994 kapasitas giling pabrik ditingkatkan menjadi 10000
-12 000 TCD. Waktu giling pabrik mulai bulan April sampai dengan November.
Produksi gula sejak 2005-2009 yaitu 152 608.62 ton, 136 736.26 ton, 154 904.36
ton, 168 264.64 ton, dan 153 045.08 ton.
Kebutuhan listrik dipenuhi dengan memiliki sumber pembangkit listrik
sendiri menggunakan 2 Boiler dengan kapasitas 120 ton bagas per jam per unit,
3unit Turbo Generator dengan kapasitas 6 000 KVA per unit, dan 3 unit Diesel
Generator dengan kapasitas 750 KVA per unit.

Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan
PT Sugar Group Companies (SGC) merupakan perusahaan gabungan dari
lima perusahaan yaitu PT Gula Putih Mataram (GPM), PT Indo Lampung Perkasa
(ILP), PT Indo Lampung Distillery (ILD), PT Sweet Indo Lampung (SIL), dan PT
Guna Layang Kuasa (GULAKU). Direktur PT GPM membawahi 6 departemen
dengan masing-masing departemen dipimpin oleh seorang manager. Struktur
organisasi PT GPM dapat dilihat pada Lampiran 2.

24

Salah satu departemen yang terdapat di PT GPM yaitu departemen
pertanian (Plantation). Keberadaannya sangat penting karena menentukan
produktivitas dan kualitas tebu yang diharapkan. Departemen ini bertanggung
jawab dalam mengelola seluruh kegiatan budidaya tanaman, sejak dari
penanaman, perawatan, pemanenan sampai pengangkutan tebu ke cane yard.
Manajer Plantation Departement membawahi 10 divisi yaitu 5 divisi wilayah,
harvesting, field technical support (FTS), stillage & blotong, administrasi, dan
quality control.
Workshop Departement bekerja sama dengan bagian workshop divisi
wilayah, bertanggung jawab dalam mengelola perbaikan, perawatan serta
pengadaan barang spare part seluruh alat dan mesin yang digunakan. Depatemen
Warehouse mengelola stok material yang berhubungan dengan kebutuhan
perusahaan, seperti BBM, pupuk, spare part, dan lain-lain. Factory Department
merupakan bagian perusahaan yang bertanggung jawab dalam mengelola seluruh
kegiatan di pabrik, mulai dari tebu tiba di cane yard hingga pengemasan gula,
serta pemeliharaan peralatan di pabrik. Departemen Administrasi bertanggung
jawab terhadap pendataan serta kesejahteraan karyawan. Manajer Finance
berkaitan dengan keuangan internal perusahaan dan mengatur hubungan dengan
pihak-pihak yang bekerja sama dengan perusahaan.
Tenaga kerja dibedakan atas karyawan dan tenaga harian. Dalam beberapa
tahun terakhir ini terdapat karyawan berstatus kontrak dalam jangka waktu
tertentu di perusahaan. Karyawan dibedakan atas karyawan staf dan nonstaf.
Karyawan nonstaf terdiri atas pengawas, teknisi lapangan, mandor, mekanik, dan
operator.

63

PEMBAHASAN

Prinsip dari manajemen atau pengelolaan tebangan (harvesting) tebu
adalah menghasilkan dan membawa bagian tebu yang bern