Kinerja Aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bandung Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut kemudian berkembang dan direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Otonomi Daerah. Peraturan ini merupakan konsep pemerintahan desentralistik.
Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksud untuk memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi dilaksanakan berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aparatur adalah orang-orang yang menjalankan roda pemerintahan. Aparatur memiliki peranan strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Peranan aparatur tersebut sesuai dengan tuntutan zaman terutama untuk menjawab tantangan masa depan. Aparatur yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi tantangan masa depan.
(2)
Aparatur yang berkualitas adalah aparatur yang memiliki kecakapan dan kemampuan. Kemampuan untuk melaksanakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Hal lainnya adalah mampu memelihara dan mengembangkan kecakapan dan kemampuannya secara berkesinambungan. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas pimpinan pada setiap organisasi pemerintahan untuk memelihara dan membina semua aparatur agar dapat lebih berkualitas dalam rangka pencapaian tujuan.
Pengelolaan sumber daya manusia terkait dan mempengaruhi kinerja instansi pemerintahan dengan cara menciptakan nilai atau menggunakan keahlian sumber daya manusia yang berkaitan dengan praktek manajemen dan sasarannya cukup luas, tidak hanya terbatas aparatur pemerintah saja semata, namun juga meliputi tingkatan pemimpin.
Pencapaian tujuan dari setiap organisasi pemerintahan juga didukung oleh kinerja dari setiap aparaturnya. Kinerja yang tinggi timbul apabila seseorang bersikap dan memandang kerja sebagai sesuatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia. Hal ini dijadikan sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbuat sesuatu untuk masyarakat. Sebaliknya kinerja yang rendah terjadi apabila seseorang tidak mempunyai pandangan atau sikap terhadap kerja dan memandang kerja yang dilakukan asal dilakukan saja.
Masalah sumber daya manusia masih menjadi sorotan dan tumpuhan bagi setiap instansi pemerintahan untuk tetap dapat bertahan di
(3)
era globalisasi. Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam setiap kegiatan perusahaan. Walaupun didukung dengan sarana dan prasarana serta sumber dana yang berlebihan, tetapi tanpa dukungan sumber daya manusia yang andal kegiatan perusahaan tidak akan terselesaikan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan kunci pokok yang harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Sebagai kunci pokok, sumber daya manusia akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan perusahaan. Tuntutan perusahaan untuk memperoleh, mengembangkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas semakin mendesak sesuai dengan dinamika lingkungan yang selalu berubah.
Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan untuk masyarakat.
Kemampuan untuk menyediakan dan memberikan layanan publik yang berkualitas dan tepat sasaran merupakan salah satu faktor penting keberhasilan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut meberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang dan berubah secara dinamis. Peranan dan cara kerja
(4)
pemerintah harus berubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Pelayanan umum pemerintah yang melibatkan seluruh aparatur pemerintah semakin terasa dengan adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak atas pelayanan yang berkualitas.
Pelayanan publik menjadi suatu tolok ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat dapat langsung menilai kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik yang diterima, karena kualitas layanan publik menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat dari semua kalangan, dimana keberhasilan dalam membangun kinerja pelayanan publik secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel akan mengangkat citra positif aparatur pemerintah di mata masyarakatnya.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung merupakan salah satu Instansi Pemerintahan KotaBandung yang bergerak bersama dalam roda pembangunan. Fungsi dan peran Bappeda KotaBandung dalam penyelenggaraan pembangunan daerah sangat strategis, khususnya dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Kewenangan perencanaan pengendalian tersebut kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dari 26 (dua puluh enam) urusan, Bappeda sebagai salah satu lembaga teknis daerah yang merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah. Bappeda KotaBandung mengemban 3 (tiga) urusan
(5)
wajib, yaitu urusan penataan ruang, perencanaan pembangunan, dan urusan statistik.
Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Dengan adanya pembangunan akan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Agar tujuan tercapai, pembangunan dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Pembangunan daerah tidak mudah untuk dilaksanakan, sehingga pembangunan daerah harus diatur terlebih dahulu melalui rencana-rencana dan program-program pembangunan, kemudian disesuaikan dengan keuangan daerah. Pembangunan KotaBandung diawali dengan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Fungsi tersebut dilaksanakan oleh aparatur Bappeda KotaBandung. Pelaksanaan tugas Bappeda KotaBandung lainnya bergantung juga pada kinerja aparaturnya. Kinerja aparatur yang baik akan mendukung pelaksanaan pembangunan di KotaBandung. Penilaian kinerja aparatur Bappeda KotaBandung juga digunakan untuk mengukur perilaku kerja dan
(6)
kemampuan setiap aparatur atau unit kerja dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi. Penilaian kinerja juga dapat menumbuhkan pengembangan perilaku dan motivasi. Perilaku dan motivasi yang terbangun akan membantu pencapaian tujuan organisasi.
Bappeda KotaBandung menyelenggarakan pelayanan publik kepada masyarakat luas. Masyarakat dapat mendapatkan informasi tentang perencanaan pembangunan KotaBandung dan statistik Data Urusan KotaBandung. Penyelenggaraan pelayanan tersebut membutuhkan juga kinerja dari aparatur Bappeda KotaBandung. Tingkat akurasi dan data yang selalu diperbaharui dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan informasi, terutama masyarakat di KotaBandung.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengangkat permasalahan tentang kinerja aparatur, oleh karena itu penulis mengambil judul Kuliah Kerja Lapangan mengenai Kinerja Aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung dalam Meningkatkan Pelayanan Publik.
(7)
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka untuk memperjelas fokus masalah yang akan dipaparkan. Penulis menyusun identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tanggung jawab aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik?
2. Bagaimana kedisiplinan aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik?
3. Bagaimana inisiatif aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan?
1.3 Maksud dan Tujuan Laporan KKL
Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kinerja aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik. Sedangkan tujuan dari Laporan KKL ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tanggungjawab aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik.
2. Untuk mengetahui kedisiplinan aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik.
3. Untuk mengetahui inisiatif aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik.
(8)
1.4 Kegunaan Laporan KKL
Hasil laporan kuliah kerja lapangan ini diharapkan memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis, sebagai berikut :
1. Bagi kepentingan penulis, hasil tulisan ini dapat berguna untuk menambah pengalaman, wawasan, pengetahuan dan memahami kinerja aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik, sehingga dapat memperoleh gambaran mengenai kesesuaian fakta dilapangan dengan teori yang ada.
2. Secara teoritis, hasil dari penulisan ini untuk mengembangkan teori-teori yang penulis gunakan yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini dan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan Ilmu Pemerintahan khususnya.
3. Secara praktis, diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat untuk aparatur Bappeda KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik.
1.5 Kerangka Pemikiran
Perubahan model sentralisasi menjadi desentralisasi menyebabkan pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengurusi rumah tangganya sendiri. Desentralisasi menghasilkan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Pemerintah daerah lebih dituntut untuk menyelenggarakan urusan daerah dalam rangka pembangunan daerah. Penyelenggaraan urusan daerah berawal dari perencanaan pembangunan daerah. Aparatur pelaksana perencanaan pembangunan
(9)
daerah merupakan pihak yang menjadi pondasi pembangunan daerah. Kinerja aparatur tersebut akan menentukan kelancaran pembangunan di daerah.
Kinerja para aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah KotaBandung pada saat ini membutuhkan tenaga kerja yang terampil dalam semua bidang. Oleh karena itu, pelaksanaan harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia terhadap kinerja aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung dalam meningkatkan pelayanan publik. Faktor sumber daya manusia merupakan salah satu indikator terwujudnya kinerja yang baik pada organisasi, khususnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung.
Menurut Sedarmayanti dalam bukunya yang berjudul Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja mendefinisikan Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja atau penampilan kerja. (Sedarmayanti, 2001:50).
Berdasarkan pendapat di atas, kinerja adalah penampilan yang melakukan, menggambarkan dan menghasilkan sesuatu hal, baik. Sesuatu yang dihasilkan tersebut bersifat fisik dan non fisik yang sesuai dengan petunjuk, fungsi dan tugasnya yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi. Keterampilan dilaksanakan dalam proses pencapaian kerja.
(10)
Hasibuan memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah “evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan” (Hasibuan, 2001:88). Penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi.
Berdasarkan pendapat hasibuan diatas, kinerja adalah sikap terhadap evaluasi diri pada jati diri yang bersifat membangun untuk mendapatkan hasil yang baik untuk suatu organisasi agar terciptanya aparatur yang terampil dalam organisasi tersebut
Sejalan dengan pendapat Hasibuan, Prawirosentono mengemukakan beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, yaitu :
1. Efektivitas
2. Otoritas dan tanggung jawab
3. Disiplin
4. Inisiatif
(Prawirosentono, 1999:27)
Berdasarkan pendapat Prawirosentono, kinerja aparatur dapat dilihat berdasarkan efektivitas kerja yang dilaksanakan. Faktor lainnya adalah pelaksanaan otoritas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada aparatur. Tingkat kedisiplinan aparatur dan inisiatif aparatur memegang peranan penting dalam pelaksanaan pencapaian kinerja.
Sumber daya aparatur harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan untuk mewujudkan profesional pegawai dalam melakukan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soewarno Handayaningrat bahwa:
(11)
Aparatur adalah aspek-aspek administrasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau Negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional. Aspek organisasi itu terutama pengorganisasian atau kepegawaian (Soewarno,1983:154).
Pendapat tersebut mengemukakan bahwa aparatur merupakan aspek-aspek administrasi yang diperlukaan oleh pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan atau Negara. Sedangkan Sarwono mengemukakan lebih jauh tentang aparatur pemerintahan bahwa yang dimaksud tentang aparatur pemerintahan ialah orang-orang yang menduduki jabatan dalam kelembagaan pemerintahan (Soewarno,1983:154).
Menurut T. Hani Handoko, Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. (Handoko, 1997:7)
Menurut pendapat Nawawi, Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang aparatur negeri sipil menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. (Nawawi, 2003:395).
Menurut pendapat nawawi, tanggung jawab adalah sikap dimana sesorang harus menyanggupi atau melaksanakan dengan sebaik mungin apa yang di amanatkan kepada dirinya dan bersedia akan resiko yang dihadapi akan perbuatan yang akan dilakukan.
Nitisemito menyatakan masalah kedisiplinan kerja, merupakan masalah yang perlu diperhatikan, sebab dengan adanya kedisiplinan,
(12)
dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi. (Nitisemito, 1986:199)
Peraturan sebagai salah satu sarana dalam mencapai tujuan bukan hanya satu kata yang tidak bermakna dan diabaikan tanpa ditaati. Dalam rangka mencapai tujuan, peraturan harus benar-benar ditaati oleh setiap individu yang menjadi obyek dari peraturan tersebut. Ketaatan terhadap peraturan yang ada lazim disebut dengan disiplin. Dalam organisasi disiplin diperlukan agar jangan sampai terjadi keteledoran atau kelalaian serta pemborosan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.
Disiplin menurut Moenir adalah suatu bentuk ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang telah ditetapkan (Moenir, 2006:94). Moenir berpendapat bahwa Dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan disiplin terdiri atas dua jenis disiplin, yaitu disiplin waktu dan disiplin perbuatan. Kedua jenis disiplin tersebut merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan serta saling mempengaruhi. Disiplin waktu tanpa disertai disiplin kerja tidak ada artinya, dengan kata lain tidak ada hasil sesuai dengan ketentuan organisasi. Sebaliknya disiplin kerja tanpa didasari dengan disiplin waktu tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu usaha pendisiplinan tidak dapat dilakukan separuh-separuh melainkan harus serentak kedua-duanya (Moenir, 2006:95-96).
Menurut Moenir, indikator-indikator yang mempengaruhi disiplin kerja antara lain:
1. Disiplin terhadap waktu 2. Disiplin terhadap waktu kerja 3. Disiplin terhadap prosedur kerja
(13)
Menurut Miftah otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pimpinan dalam sebuah organisasi. (Miftah, 2003: 225)
Aparatur pemerintah selain memiki sifat yang di atas, aparatur pemerintah juga harus memiliki sifat yang dimana berupa sifat membangun untuk melakukan sesuatu yang dengan kehendak diri sendiri tanpa ada yang menuliskan note atau meninggalkan pesan apa yang harus dilakukan. Kemampuan seseorang untuk mekalukan tindakan melebihi yang dibutuhkan atau yang dituntut oleh pekerjaan merupakan termaksud kedalam inisiatif.
Sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur adalah kemampuan yang dimilki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu. (Badudu dan Sutan, 1996:1372).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa sumber adaya aparatur merupakan sesuatu yang dimiliki seorang pegawai yang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya.
Menurut Bob Nelson, Inisiatif adalah kualitas kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus disuruh atau diberitahu. (Nelson, 2001:72).
(14)
Penyampaian Informasi pemerintahan mempunyai keterkaitan dengan pelayanan dikarenakan penyampaian informasi merupakan bentuk dari pelayanan oleh pemerintah dalam hal kebutuhan akan informasi. Pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain, pelayanan juga merupakan suatu hal, cara atau hasil pekerjaan melayani yang setiap kegiatannya dilakukan dalam suatu kumpulan yang menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat. Menurut pendapat Sampara yang dikutip oleh Lijan Poltak Sinambela dalam bukunya Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi mendefinisikan, pelayanan sebagai berikut:
“Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan” (Sinambela, 2006:5).
Kebutuhan akan informasi yang di perlukan membuat orang memerlukan pelayanan yang serba cepat, akurat, efektif dan efesien. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Mengenai peran dan fungsi pemerintahan dalam pelayanan dijelaskan oleh Arief Budiman sebagai berikut:
“sebagaimana fungsi pemerintah dalam melakukan pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Negara yang dijalankan melalui pemerintahannya mempunyai misi tersendiri yaitu menciptakan masyarakat yang lebih baik dari sekarang” (Budiman dalam Wiryatmi, 1996:2).
(15)
Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa kegiatan pelayanan oleh pemerintah, merupakan fungsi utama sebagai upaya untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian pemerintah memiliki peran dan fungsi melakukan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka definisi operasional dalam Laporan KKL ini adalah:
1. Kinerja adalah penampilan yang melakukan, menggambarkan dan menghasilkan sesuatu hal, baik. Sesuatu yang dihasilkan tersebut bersifat fisik dan non fisik yang sesuai dengan petunjuk, fungsi dan tugasnya yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi. Keterampilan dilaksanakan dalam proses pencapaian kerja.
2. Kinerja aparatur adalah aparat badan perencanaan pembangunan daerah KotaBandung bertindak secara birokratis yang menjalankan roda pemerintahan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja aparatur, yaitu :
a. Otoritas dan tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang pegawai negeri sipil menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.
(16)
Otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pimpinan dalam sebuah organisasi.
b. Disiplin
Suatu bentuk ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang telah ditetapkan sebagai sikap yang selalu taat dan tertib terhadap segala bentuk peraturan yang telah diterapkan yang dimana disiplin ini terdiri atas disiplin waktu dan disiplin perbuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan dan bersifat saling mempengaruhi antara satu sama lainya. c. Inisiatif
Kualitas kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus disuruh atau diberitahu terlebih dahulu kepadanya secara langsung ataupun melalui note. 3. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi
dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Secara singkat, kerangka pemikiran di atas dapat dilihat secara jelas dalam model kerangka pemikiran sebagai berikut:
(17)
Gambar 1.1
Model Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Laporan KKL 1.6.1 Metode Laporan KKL
Metode Laporan KKL yang digunakan untuk mengemukakan tata kerja dalam suatu kegiatan Laporan KKL melalui Metode Laporan KKL yang penulis gunakan adalah metode penulisan deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisa yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data berdasarkan keadaan atau fenomena yang nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanapiah Faisal dalam bukunya Format-Format Penulisan Sosial, mendefinisikan pengertian penulisan deskriptif (descriptive research), sebagai berikut:
“Untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian hipotesis, berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori” (Faisal, 1999:20).
Kinerja Aparatur BAPPEDA Kota Bandung
Otoritas dan Tanggung Jawab
Disiplin Inisiatif
(18)
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan adalah kualitatif. Menurut Sugiyono metode penulisan kualitatif adalah:
“Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2005:1). Penulis menggunakan metode deskriftif, karena penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang Kinerja Aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara-cara untuk memperoleh data dan keterangan yang diperlukan dalam penulisan. Metode yang digunakan untuk menunjang Laporan KKL ini sebagai berikut :
1. Studi Pustaka, yaitu cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan Kinerja Aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik.
2. Observasi non partisipan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti berada di luar subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, sehingga peneliti dapat
(19)
lebih mudah mengamati tentang data dan informasi yang diharapkan. Penulis meneliti tentang Kinerja Aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik.
1.7 Lokasi dan Jadwal Laporan KKL
Laporan KKL ini dilaksanakan di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KotaBandung , yang berada di Jln. Taman Sari No. 76 Bandung. Telepon (022) 2500950, 2501233. Fax.(022) 2501316.
Adapun waktu Laporan KKL yang dilakukan dimulai dari observasi awal sampai dengan pengumpulan laporan kuliah kerja lapangan ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
(20)
Tabel 1.1
Jadwal Laporan Kuliah Kerja Lapangan
No
Waktu Kegiatan
Tahun 2010
Juni Juli Agust Sept Okt Nov 1 Observasi Awal
2 Pengajuan surat ke Kantor BAPPEDA 3 Pengajuan Judul
Laporan KKL 4 Pelaksanaan KKL 5 Pengumpulan Data
Laporan KKL
6 Pengolahan Data Laporan KKL
7 Penyusunan Laporan KKL
8 Pengumpulan Laporan KKL
(21)
21 2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja dalam sebuah organisasi merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan tugas organisasi, baik itu dalam lembaga pemerintahan maupun swasta. Kinerja berasal dari bahasa job performance atau actual perpormance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang atau suatu institusi). Kamus bahasa Indonesia. Berikut pengertian kinerja
Menurut Awar Prabu Mangku Negara dalam bukunya yang berjudul evaluasi kinerja sumber daya manusia kinerja sumberdaya manusia adalah prestasi kerja atau hasil kerja output baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai dalam persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. (Mangku Negara 2005:9)
Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi pemerinthan tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. kinerja tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sebagaimana yang dikemukakan oleh Keith Davis dalam buku Anwar Prabu Mangku Negara.
1. Faktor Kemampuan Ability
Secara psikologis, kemampuan ability terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality knowledge+skill. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQsuperior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatan dan terampil dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari maka akan mudah menjalankan kinerja maksimal.
2. Faktor motivasi Motivation
Motivasi diartiakan sebagai suatu sikap attitude piminan dan karyawan terhadap situasi kerja situation dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif fro terhadap situasi
(22)
kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka berpikir negatif kontra terhadap situasi kerjanya akan menunjukan pada motivasi kerja yang rendah. Situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. (Mangku Negara 2005:13)
Berdasarkan pengertian diatas bahwa suatu kinerja dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal faktor tersebut meliputi faktor yang berasal dari intern maunpun ekstern. Dalam menilai kinerja apakah sudah berjalan dengan yang direncanakan perlu diadakan suatu evaluasi kinerja sebagai mana yang dikemukakan oleh Andrew E. Sikula dalam buku Anwar Prabu Mangku Negara.
Evaluasi kinerja atau penilaian merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penapsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa objek orang ataupun sesuatu barang. Mangku Nagara (2005:69)
Dari beberapa pendapat tentang penilaian atau evaluasi kinerja dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk menilai kinerja pegawai dan organisasi. Disamping itu juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja dengan tepat dan memberikan tanggung jawab kepada pegawai atau organisasi sehingga dapat meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang.
2.2 Pengertian Aparatur
Aparatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu lembaga pemerintahan disamping faktor lain seperti uang, alat-alat yang berbasis teknologi misalnya komputer dan internet. Oleh karena itu,
(23)
sumber daya aparatur harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan untuk mewujudkan profesional pegawai dalam melakukan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeworno Handayaningrat bahwa:
Aparatur adalah aspek-aspek administrasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau Negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional. Aspek organisasi itu terutama pengorganisasian atau kepegawaian (Soewarno,1982:154).
Pendapat tersebut mengemukakan bahwa aparatur merupakan aspek-aspek administrasi yang diperlukaan oleh pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan atau Negara. Sedangkan Sarwono mengemukakan lebih jauh tentang aparatur pemerintahan bahwa yang dimaksud tentang aparatur pemerintahan ialah orang-orang yang menduduki jabatan dalam kelembagaan pemerintahan (Soewarno,1982:154).
Kinerja aparatur tidak lepas dari apa yang dinamakan dengan sumber daya manusia. SDM Merupakan salah satu faktor penunjang dalam menjalankan tugas kepegawaian bagi aparatur. Setiap aparatur mempunyai tugas menjalankan fungsi organisasi dan pemerintahan dengan baik dan terarah, berikut pengertian tentang sumberdaya aparatur.
Sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur adalah kemampuan yang
(24)
dimilki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu. (Badudu dan Sutan, 1996:1372).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa sumber adaya aparatur merupakan sesuatu yang dimiliki seorang pegawai yang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Sumber daya aparatur merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja suatu pemerintahan. Untuk itu sumber daya aparatur perlu dikelola melalui pemberian pendidikan dan latihan yang diterapkan oleh pemerintah, untuk mengembangkan sumber daya aparatur. Sehingga kinerja suatu pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat Sub Bagian Data dan Informasi Kepegawaian dapat mewujudkan profesional pegawai. Sehingga kinerja aparatur tersebut berdasarkan jabatan dan pekerjaan yang dibebankan kepada aparatur tersebut.
Berkaitan dengan sumber daya aparatur di atas, untuk mewujudkan profesional pegawai. Menurut Jhon M. Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris Indonesia, bahwa profesional adalah seorang tenaga ahli, pekerjaan yang sesuai di bidangnya, dan berdasarkan jabatan.(Echols dan Hassan, 1996:449).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa profesional merupakan kinerja seseorang sesuai dengan jabatan yang diberikan kepadanya. Tugas yang diberikan kepada orang tersebut harus dipertanggungjawabkan, karena merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan serta pekerjaan yang diberikan kepadanya tidak boleh ditinggalkan sebelum pekerjaan itu selesai.
(25)
2.3 Pengertian Pelayanan Publik
Mengenai peran dan fungsi pemerintahan dalam pelayanan dijelaskan oleh Arief Budiman sebagai berikut:
“sebagaimana fungsi pemerintah dalam melakukan pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Negara yang dijalankan melalui pemerintahannya mempunyai misi tersendiri yaitu menciptakan masyarakat yang lebih baik dari sekarang” (Budiman dalam Wiryatmi, 1996:2).
Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa kegiatan pelayanan oleh pemerintah, merupakan fungsi utama sebagai upaya untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian pemerintah memiliki peran dan fungsi melakukan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Dalam membahas pengertian pelayanan publik, sebaiknya terlebih dahulu dibahas mengenai pengertian pelayanan. Arti pelayanan secara etimologis menurut Poerwadarminta, yaitu:
“berasal dari kata “layan” yang berarti membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang, kemudian palayanan dapat diartikan sebagai, perihal atau cara melayani, service atau jasa, sehubungan dengan jual beli barang atau jasa” (Poerwadarminta, 1995:571).
Hal ini sejalan dengan pendapat Normann tentang karakteristik pelayanan, yaitu meliputi:
1. pelayanan merupakan suatu produksi yang mempunyai sifat yang tidak dapat diraba, berbeda dengan barang produksi lain (barang jadi atau barang industri yang berwujud)
2. pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial
3. produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempat yang sama
(26)
Menurut kedua pendapat di atas bahwa pelayanan adalah membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang, dan berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam karakteristiknya pelayanan merupakan suatu produksi yang mempunyai sifat yang tidak dapat diraba, pelayanan juga kenyataanya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial, serta pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempat yang sama dari produksi dan konsumsi.
Definisi mengenai pelayanan publik dikemukakan oleh Saefullah adalah:
“pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi penduduk negara yang bersangkutan, dilihat dari prosesnya, terjadi interaksi antara yang memberi pelayanan dengan yang diberi palayanan. Pemerintah sebagai lembaga birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sedangkan masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah” (Saefullah, 1999:5).
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan publik sebagai:
“segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” (dalam Ratminto, 2006:4-5).
Berdasarkan definisi-definisi pelayanan di atas, dapat dilihat bahwa pemberian pelayanan merupakan proses yang dilakukan organisasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bersama. Pelayanan publik
(27)
merupakan pemberian layanan dari organisasi pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat serta dalam rangka mengimplementasikan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Pendapat lain mengenai definisi pelayanan publik dikemukakan oleh Moenir sebagai: “kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materil melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya” (Moenir, 1995:26).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa:
“pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat” (Wasistiono, 2001:51-52).
Berdasarkan kedua pendapat di atas bahwa pelayanan publik itu diselenggarakan sesuai dengan sistem atau prosedur dan bukan hanya diberikan instansi atau lembaga pemerintah saja, melainkan juga diberikan oleh pihak swasta. Kegiatan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah untuk masyarakat meliputi banyak hal, yaitu yang menyangkut semua kebutuhan masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Pamudji bahwa:
“jasa pelayanan pemerintah yaitu berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa, jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa-jasa, yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan keluarga, pelayanan pendidikan, pelayanan pencarian keadilan” (Pamudji, 1994:21-22).
(28)
Berdasarkan pendapat di atas, jasa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yaitu berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa, jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan keluarga, serta pelayanan administrasi misalnya pelayanan pembuatan IMB.
2.4 Pengertian Kualitas Pelayanan Publik
Pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas, hubungan kualitas dengan pelayanan dikemukakan oleh Sampara Lukman bahwa:
“kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam memberikan layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik” (Lukman, 1999:14).
Sejalan dengan pendapat Lovelock kualitas pelayanan adalah “sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan” (Lovelock dalam Tjiptono, 1996:59). Hal ini berarti apabila jasa atau layanan yang diterima rendah, dari yang diharapkan oleh pelanggan atau masyarakat maka dipersepsikan buruk, suatu layanan yang diberikan aparatur pemerintah itu harus menjamin efisiensi dan keadilan serta harus memiliki kualitas yang mantap. Kualitas merupakan harapan semua orang atau pelanggan.
(29)
Supranto menyebutkan beberapa dimensi atau ukuran dari kualitas pelayanan, yaitu:
“meliputi keandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya, keresposifan (responsiveness), kemampuan untuk membantu pelanggan dan ketanggapan, keyakinan (confidence) pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau (assurance), empati (empaty) syarat untuk peduli memberikan perhatian pada pelanggan, berwujud (tangibles), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi” (Supranto, 1997:107).
Adapun pendapat Pasuraman mengemukakan lima prinsip pelayanan publik agar kualitas pelayanan dapat dicapai, yaitu :
1. bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi
2. keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan
3. daya tanggap (resposiveness), yaitu keinginan para staff untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap
4. jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan dapat dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan
5. empati (empaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan
(Pasuraman dalam Tjiptono, 1996:70).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa ukuran kualitas pelayanan terdiri dari reliability, tangibles, resposiveness, assurance, empaty, dan confidence. Komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak sempurna bila ada komponen yang kurang. Kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, dan dapat dilihat bahwa
(30)
kepuasan pelangganlah yang harus diprioritaskan bukan keinginan penyedia jasa (pemerintah).
Emil Salim mengemukakan bahwa “pelayanan bertolak dari rasa kepedulian, pelayanan harus diberikan dengan segala senang hati dan dengan muka yang menyenangkan” (Salim dalam Suit dan Almasdi, 1996:99). Selain berhubungan dengan beberapa dimensi di atas kualitas layanan juga menyangkut sikap aparat dan proses pelayanan, sikap yang bersahabat dengan empati yang tinggi merupakan bagian dari proses pelayanan yang seharusnya. Dengan kata lain, masyarakat menuntut pelayanan yang baik dari pemerintah.
Untuk memberikan pelayanan publik yang baik atau memberikan pelayanan publik yang berkualitas tinggi, aparatur pemerintah harus memiliki tiga aspek yang diuraikan oleh Supriatna adalah:
1. memiliki tanggung jawab yang tinggi selaku abdi negara dan abdi masyarakat
2. responsif terhadap masalah yang dihadapi masyarakat khususnya yang membutuhkan pelayanan masyarakat dalam arti luas
3. komitmen dan konsisten terhadap nilai standar dan moralitas dalam menjalankan kekuasaan pemerintah
(Supriatna, 1996:98).
Berdasarkan pendapat di atas, aparatur pemerintah tidak boleh lepas dari konsistensi terhadap landasan falsafah dan hukum sebagai nilai dan moral yang dijunjung tinggi, dan harus berorientasi pada kepentingan masyarakat karena aparatur pemerintah adalah pelayan masyarakat dan harus memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata
(31)
Laksana Pelayanan Umum menyebutkan bahwa dalam memberikan pelayanan publik harus menerapkan prinsip, dan pola dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut:
1. kesederhanaan yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan;
2. kejelasan yaitu mencakup persyaratan teknis dan administrasi, pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik serta rincian biaya dan tata cara pembayaran;
3. kepastian waktu yaitu pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
4. akurasi yaitu produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah;
5. keamanan proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum;
6. tanggung jawab yaitu pimpinan atau pejabat penyelenggara pelayanan publik yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik;
7. kelengkapan sarana dan prasarana yaitu tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika);
8. kemudahan akses yaitu tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi informatika (telematika);
9. kedisipilinan, kesopanan, dan keramahan yaitu pemberi layanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas;
10. kenyamanan yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan sepert toilet, tempat parkir dan tempat ibadah;
(dalam Ratminto, 2006:22-23).
Berdasarkan pendapat di atas bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, aparatur pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan publik perlu memperhatikan dan
(32)
menerapkan kesepuluh prinsip tersebut karena kesepuluh prinsip adalah pedoman tata laksana dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib dilaksanakan oleh seluruh instansi pemerintah.
Ratminto berpendapat bahwa pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila :
”penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanan (masyarakat) mendapatkan prioritas utama. Dengan demikian, pengguna jasa diletakkan di pusat yang mendapatkan dukungan dari a) Kultur organisasi pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa, b) Sistem pelayanan dalam organisasi penyelenggara pelayanan, dan c) Sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa” (Ratminto, 2006:52-53).
2.5 Kultur Organisasi
Menurut Peter F Druicker kultur organisasi adalah:
”Organizational Culture is the body of solutions to external and internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore thought to new members as the correct way to perceive, think about, and feel in relation to those problems (pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait)” (Druicker dalam Pabundu, 2006:4).
Sejalan dengan pendapat di atas, definisi kultur organisasi menurut Robbins adalah: ”esensi yang dipergunakan dalam memberikan perhatian kepada suatu hal sampai paling detail, harus agresif dalam pelaksanaan tugas” (Robbins dalam Tampubolon, 2004:189). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kultur organisasi merupakan pokok untuk menyelesaikan masalah-masalah eksternal maupun internal di dalam organisasi dan mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara
(33)
yang tepat untuk memahami dan menyelesaikan terhadap masalah-masalah yang terkait. Kultur organisasi menurut Crown Dirgantoro terdiri dari beberapa indikator, yaitu:
a. Struktur organisasi; b. Tujuan organisasi; c. Kebijakan organisasi; (Dirgantoro, 2004: 42).
Sedangkan menurut Fred Luthans dan Stephen P.Robbins, indikator kultur organisasi terdiri dari :
a. Perilaku individu yang tampak;
b. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi; c. Peraturan-peraturan yang berlaku;
d. Iklim organisasi;
e. Inisiatif individu organisasi; f. Pengawasan kerja
g. Pengarahan pimpinan
(Luthans dan Robbins dalam Mangkunegara, 2005: 122-123). Secara lebih rinci, indikator-indikator kultur organisasi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik, karena akan menjelaskan bagaimana kedudukan, tugas, dan fungsi dialokasikan dalam organisasi. Hal ini mempunyai dampak yang siginifikan terhadap cara orang melaksanakan tugasnya dalam organisasi, ketika arah dan strategi organisasi secara keseluruhan telah ditetapkan serta struktur organisasi telah dibentuk, maka hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut melakukan kegiatan atau menjalankannya tugas dan fungsinya. Adapun
(34)
definisi tentang struktur organisasi dijelaskan oleh Malayu Hasibuan adalah:
”suatu gambar yang menggambarkan tipe organisasi, pendepartemenan organisasi, kedudukan dan jenis wewenang pejabat, bidang dan hubungan pekerjaan, garis perintah dan tanggung jawab, rentang kendali dan sistem pimpinan organisasi” (Hasibuan, 1996:131).
Sejalan dengan pendapat di atas Robbins mengatakan bahwa struktur organisasi mempunyai tiga komponen yaitu:
1. kompleksitas berarti dalam struktur organisasi
mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau pembagian kerja, jumlah tingkatan dalam organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis;
2. formalisasi berarti dalam struktur organisasi memuat tentang tata cara atau prosedur bagaimana suatu kegiatan itu dilaksanakan (Standar Operating Prosedures), apa yang boleh dan tidak dapat dilakukan;
3. sentralisasi berarti dalam struktur organisasi memuat tentang kewenangan pengambilan keputusan, apakah disentralisasi atau desentralisasi;
(Robbins dalam Kurniawan, 2005:69).
Berdasarkan pendapat kedua di atas, bahwa struktur organisasi merupakan suatu gambar yang menggambarkan tentang jenis atau tipe organisasi, pendepartemenan atau pembagian bidang-bidang, kedudukan dan jenis wewenang pejabat, bidang dan hubungan pekerjaan yang terkait, garis perintah dan tanggung jawab serta rentang kendali dan sistem pimpinan organisasi. Fungsi struktur organisasi tersebut menunjukan bahwa struktur organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi, sehingga dengan demikian struktur organisasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. Komponen-komponen struktur organisasi yang mendukung harus disusun
(35)
dengan baik, dan pembagian kerja atau spesialisasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan, saling menunjang, jelas wewenang tugas dan tanggung jawabnya, serta tidak tumpang tindih. Suatu organisasi haruslah terstruktur dengan baik dan tepat untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Tujuan Organisasi
Definisi tujuan organisasi dijelaskan oleh Sondang P. Siagian yaitu: ”penentuan arah yang akan ditempuh oleh organisasi, sarana dan prasarana apa yang diperlukan, produk apa yang akan dihasilkan, dan siapa yang akan jadi penggunanya, bentuk dan jenis interaksi dengan lingkungan eksternal, kultur organisasi bagaimana yang akan ditumbuhkembangkan, serta teknologi yang bagaimana yang akan dimanfaatkan” (Siagian, 2005:43).
Sejalan dengan pendapat di atas, George R. Terry mengemukakan tujuan organisasi adalah ”hasil yang diinginkan yang melukiskan skope yang jelas, serta memberikan arah kepada usaha-usaha seseorang manajer” (Terry dalam Hasibuan, 1996:18). Berdasarkan kedua pendapat di atas, tujuan organisasi merupakan penentuan arah yang jelas yang akan ditempuh oleh suatu organisasi dengan sarana dan prasarana apa yang diperlukan, produk apa yang akan dihasilkan, dan siapa yang akan jadi penggunanya, bentuk dan jenis interaksi dengan lingkungan eksternal, kultur organisasi bagaimana yang akan ditumbuhkembangkan, serta teknologi yang bagaimana yang akan dimanfaatkan. Tujuan organisasi merupakan kesepakatan seluruh pengurus dan anggota organisasi tersebut.
(36)
c. Kebijakan Organisasi
Menurut pendapat Carl Friedrich bahwa kebijakan organisasi merupakan:
”arah suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu” (Friedrich dalam Winarno, 2005:16).
Sejalan dengan pendapat Laswell dan Kaplan bahwa kebijakan sebagai ”suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah” (Laswell dan Kaplan dalam Islamy, 1997:14). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan adalah tindakan yang dilakukan atas usulan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu untuk mencari peluang dalam mengatasi hambatan-hambatan agar dapat mewujudkan sasaran dan tujuan yang terarah. Kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu.
d. Perilaku Individu dalam Organisasi
Perilaku individu dalam organisasi dijelaskan oleh Manahan Tampubolon sebagai berikut:
”perilaku manusia dalam organisasi, yang mana dengan menggunakan ilmu pengetahuan tentang bagaimana manusia bertindak dalam organisasi. Perilaku organisasi ini mendasarkan pada analisis terhadap manusia yang ditujukan bagi kemanfaatan orang” (Tampubolon, 2004:2).
(37)
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Lindsay dan Patrick bahwa elemen kunci dari perilaku individu dalam organisasi adalah:
”orang, struktur, teknologi, dan lingkungan di mana organisasi itu berkedudukan dan jangkauan operasionalnya. Lingkungan organisasi juga dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal” (Lindsay dan Patrick dalam Tampubolon, 2004:2-3).
Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa perilaku individu dalam organisasi adalah mengenai perilaku manusia yang dilakukannya di dalam organisasi yaitu bagaimana manusia bertindak dalam organisasi, perilaku atau sikap manusia di dalam organisasi bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi. Perilaku individu organisasi dipengaruhi oleh manusianya sendiri, struktur, teknologi dan lingkungan, kedudukan serta jangkauan operasional organisasi tersebut baik lingkungan eksternal maupun lingkungan internal.
e. Norma-Norma dalam Organisasi
Norma atau etika di dalam suatu organisasi menurut Manahan Tampubolon merupakan:
”ukuran bagi anggota organisasi untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan kaidah-kaidah norma tersebut, dan norma yang semakin mendalam dan meresap dalam diri anggota organisasi tidak tertulis lagi. Etika adalah yang membungkus tingkah laku anggota organisasi tersebut untuk bertindak sesuai dengan kriteria norma, yang pada akhirnya proses pendalaman norma ini yang disebut sebagai budaya” (Tampubolon, 2004:185).
Berdasarkan pendapat di atas, norma dalam suatu organisasi merupakan ukuran bagi seluruh anggota organisasi untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan kaidah-kaidah norma yang diterapkan oleh suatu
(38)
organisasi, serta etika merupakan yang membungkus tingkah laku anggota organisasi tersebut untuk bertindak sesuai dengan kriteria norma yang berlaku.
f. Iklim Organisasi
Gary A. Yukl menjelaskan bahwa iklim organisasi adalah:
”terciptanya hubungan kerja yang harmonis yang saling percaya yang dilandaskan kepada keimanan dan ketakwaan antara seluruh anggota organisasi dan memahami dengan jelas serta melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajibannya” (Yukl dalam Mangkunegara, 2005:133).
Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan terciptanya suasana hubungan kerja yang harmonis yang saling percaya dengan berlandaskan kepada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, antara seluruh anggota organisasi dan memahami dengan jelas serta melaksanakan tugas, fungsi dan kewajibannya. Dalam suatu organisasi perlu diciptakan iklim kerja yang kondusif serta organisasi perlu dikelola secara profesional agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
g. Inisiatif Individu dalam Organisasi
Inisiatif individu dalam organisasi menurut Stephen P. Robbins merupakan:
”tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi” (Robbins dalam Pabundu, 2006:10).
(39)
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa inisiatif individu dalam organisasi merupakan tingkat tanggung jawab, kebebasan seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi untuk mengemukakan pendapatnya. Pendapat dari seseorang tersebut perlu dihargai oleh organisasi maupun pimpinan organisasi sepanjang menyangkut ide dalam memajukan dan mengembangkan organisasi.
h. Pengawasan Kerja Organisasi
Menurut Hendri Fayol pengawasan kerja dalam organisasi adalah: ”tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan itu, pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap manusia, benda, perbuatan maupun hal-hal lainnya” (Fayol dalam Sarwoto, 1985: 95).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa pengawasan kerja dalam suatu organisasi merupakan tindakan meneliti yang dilakukan oleh seorang pimpinan, apakah segala sesuatu sudah tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan. Pengawasan bertujuan menunjukan atau menemukan kelemahan-kelemahan dalam organisasi agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan tersebut, pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap manusia, benda, perbuatan maupun hal-hal lainnya.
(40)
i. Pengarahan Pimpinan Organisasi
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara pengarahan pimpinan dalam organisasi merupakan:
”pemberian pengarahan oleh pimpinan kepada bawahan untuk bekerja produktif dan disiplin serta memberikan penyuluhan agar berpartisipasi aktif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehari-hari dan merupakan salah satu pembinaan pimpinan terhadap seluruh pegawainya” (Mangkunegara, 2005:135).
Berdasarkan pendapat di atas, pengarahan pimpinan dalam suatu organisasi merupakan pemberian pengarahan oleh pimpinan kepada bawahan agar bekerja dengan produktif dan disiplin serta memberikan penyuluhan agar berpartisipasi aktif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehari-hari dan merupakan salah satu wujud pembinaan pimpinan terhadap seluruh pegawainya.
2.6 Sistem Pelayanan Publik
Menurut pendapat Mahmudi bahwa sistem pelayanan publik adalah sebagai ”proses segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Mahmudi, 2005:229). Sistem pelayanan publik menurut Fitzsimons mempunyai beberapa indikator yaitu:
a. Reliability yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar;
b. Tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya;
c. Responsiveness yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat;
(41)
d. Assurance yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan;
e. Empaty yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen
(Fitzsimons dalam Sinambela, 2006: 7).
Sejalan dengan pendapat di atas indikator sistem pelayanan publik menurut Lijan Poltak Sinambela terdiri dari:
a. Transparansi yaitu: pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
b. Akuntabilitas yaitu: pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Kondisional yaitu: pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas;
d. Partisipatif yaitu: pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; e. Kesamaan hak yaitu: pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
(Sinambela, 2006: 6).
Secara lebih rinci, indikator-indikator sistem pelayanan publik tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Reliability
Menurut Zeithaml dan Berry, reliability atau relibilitas adalah “kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat tepat dan benar” (Zeithaml & Berry dalam Ratminto, 2006: 175-176). Berdasarkan pendapat di atas, bahwa reliability merupakan kemampuan petugas penyelenggara pelayanan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara akurat, tepat pada sasaran serta benar sesuai dengan prosedur yang berlaku.
(42)
b. Tangibles
Definisi mengenai tangibles dijelaskan oleh Moenir sebagai:
“sarana yang ada untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan layanan. Sarana terbagi atas dua macam, pertama sarana kerja dan kedua fasilitas, sarana kerja meliputi peralatan, perlengkapan dan alat bantu, sedang fasilitas meliputi gedung dengan segala kelengkapannya, fasilitas komunikasi dan kemudahan lain” (Moenir, 2006:127).
Berdasarkan pendapat yang di atas, bahwa tangibles merupakan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap masyarakat. Sarana dan fasilitas seperti gedung, fasilitas alat komunikasi, komputer, jaringan Internet serta fasilitas lainnya harus tersedia dengan lengkap. Kelengkapan sarana dan prasarana dengan tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai sangat menunjang dalam memudahkan proses penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat.
c. Responsiveness
Menurut Ratminto responsiveness atau responsivitas merupakan: “kemampuan pemberi pelayanan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap pemberi pelayanan terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan masyarakat” (Ratminto, 2006:180-181).
Sejalan dengan pendapat Lenvinne bahwa definisi responsiveness atau responsivitas adalah:
“mengacu kepada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan
(43)
dan keinginana masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerjanya dinilai semakin baik” (Lenvinne dalam Kurniawan, 2005:47).
Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa responsiveness adalah kemampuan pemberi pelayanan untuk dapat mengenali dengan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat harus mengacu kepada keselarasan, apabila telah mengacu kepada keselarasan serta semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerjanya dinilai semakin baik.
d. Assurance
Menurut Parasuraman assurance atau kepastian merupakan “pengetahuan dan kesopanan para pemberi pelayanan dan kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada pelanggan atau masyarakat” (Parasuraman dalam Ratminto, 2006:176). Sejalan dengan pendapat Fitzsimons, assurance ditandai dengan “tingkat perhatian etika dan moral dalam memberikan pelayanan” (Fitzsimons dalam Sinambela, 2006:7). Berdasarkan kedua pendapat di atas, assurance merupakan sikap dan kemampuan para pemberi pelayanan dengan memperhatikan etika dan moral serta bersikap sopan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, agar masyarakat mendapat kepercayaan.
(44)
e. Empaty
Definisi empaty dijelaskan oleh Ratminto sebagai “perlakuan atau perhatian penyelenggara jasa pelayanan atau providers terhadap isu-isu aktual yang sedang berkembang di masyarakat” (Ratminto, 2006:182). Sejalan dengan pendapat di atas, Parasuraman menjelaskan bahwa empaty meliputi “kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan” (Parasuraman dalam Tjiptono, 1996:70). Berdasarkan pendapat di atas, empaty merupakan sikap perhatian pemberi pelayanan dengan melakukan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dalam memahami terhadap kebutuhan masyarakat.
f. Transparansi
Menurut Ratminto transparansi atau keterbukaan merupakan: “ukuran keterbukaan tentang prosedur atau tata cara, penyelenggaraan pemerintahan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta” (Ratminto, 2006: 181-182).
Sejalan dengan pendapat di atas, Mahmudi menjelaskan definisi transparansi sebagai “pemberian pelayanan publik bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti” (Mahmudi, 2005:234). Hal ini berarti transparansi merupakan suatu ukuran tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan dan hal-hal lain yang berkaitan
(45)
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan agar mudah diketahui, dipahami dan dimengerti oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
g. Accountability
Menurut Lenvinne pengertian tentang accountability atau akuntabilitas adalah:
“mengacu kepada seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat” (Lenvinne dalam Kurniawan, 2005:47). Sejalan dengan pendapat di atas, definisi mengenai akuntabilitas dijelaskan oleh Mahmudi bahwa: “pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Mahmudi, 2005:234). Akuntabilitas merupakan acuan kepada seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan. Kinerja organisasi publik atau penyelenggara pelayanan dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan masyarakat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(46)
h. Kondisional
Kondisional dijelaskan oleh Sinambela merupakan “pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektifitas” (Sinambela, 2006:6). Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kondisional merupakan suatu kondisi yang sesuai dengan kemampuan antara pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
i. Partisipatif
Menurut Sinambela partisipatif adalah: “pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat” (Sinambela, 2006:6). Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, bahwa partisipatif merupakan sikap para pemberi pelayanan selain memberikan pelayanan terhadap masyarakat juga mendorong peran serta masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
j. Kesamaan Hak
Menurut Mahmudi kesamaan hak dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah “pemberian pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi baik dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial” (Mahmudi, 2005:234). Berdasarkan pendapat
(47)
yang dikemukakan di atas, bahwa kesamaan hak merupakan pemberian pelayanan dengan tidak membeda-bedakan atau tidak melakukan diskriminasi baik dilihat dari aspek apa pun khusunya ras, golongan, agama, suku dan status sosial lainnya karena semua masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah.
2.7 Sumber Daya Manusia (SDM)
Profesionalisme SDM dalam melaksanakan pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah faktor utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas secara dinamis, tanggap, cepat serta tepat sasaran. SDM memegang peranan yang sentral dan paling menentukan. Tanpa SDM yang handal, penggunaan pemanfaatan sumber-sumber lainnya akan menjadi tidak efektif. Indikator SDM menurut Zeithaml dan Berry terdiri dari:
a. Kompetensi; b. Kesopanan; c. Kredibilitas.
(Zeithaml & Berry dalam Ratminto, 2006: 183).
Sejalan dengan pendapat di atas indikator SDM menurut Ratminto terdiri dari :
a. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan, dan tanggung jawabnya);
b. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
c. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan penyelesaian pelayanan kepada masyarakat;
(48)
d. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;
e. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;
f. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan atau status masyarakat yang dilayani;
g. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
(Ratminto, 2006: 226-227).
Secara lebih rinci, indikator-indikator SDM tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Competence
Menurut Hooghiemstra mengenai competence atau kompetensi adalah:
“suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan. Secara ketidaksamaan dalam kompetensi-kompetensi inilah yang membedakan seseorang perilaku unggul dan perilaku yang berprestasi rata-rata, untuk mencapai kinerja sekedar cukup atau rata-rata diperlukan kompetensi batas atau kompetensi esensial. Kompetensi batas dan kompetensi esensial tertentu merupakan pola atau pedoman dalam pemilihan karyawan, perencanaan dan pengalihan tugas dan penilaian kerja” (Hooghiemstra dalam Kurniawan, 2005:87).
Sejalan dengan pendapat di atas, Zeithaml mengemukakan bahwa kompetensi merupakan: “tuntutan yang harus dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan” (Zeithaml dalam Kurniawan, 2005:52). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kompetensi merupakan tuntutan yang harus dimiliki oleh setiap aparatur penyelenggara pelayanan yaitu pengetahuan dan
(49)
keterampilan yang baik. Setiap aparatur berkompetensi agar mendapatkan prestasi yang unggul dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
b. Credibility
Menurut Ratminto credibility atau kredibilitas merupakan suatu: ”kejujuran yang dimiliki oleh petugas pelayanan dan kejujuran tersebut sangat diperlukan karena akan mendorong petugas pelayanan untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan. Sikap jujur akan membentengi seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya” (Ratminto, 2006:134).
Sejalan dengan pendapat di atas, Zeithaml mengemukakan bahwa kredibilitas adalah ” sikap jujur para pegawai penyelenggara pelayanan dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat” (Zeithaml dalam Kurniawan, 2005:53). Kredibilitas merupakan suatu sikap kejujuran yang harus dimiliki setiap aparatur penyelenggara pelayanan, karena sikap jujur akan membentengi seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
c. Kejelasan Petugas Pelayanan Publik
Menurut Mahmudi bahwa definisi mengenai kejelasan petugas pelayanan publik adalah:
”kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik, unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa, atau tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan publik, serta rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaranya.” (Mahmudi, 2005:235).
(50)
Sejalan dengan pendapat di atas, kejelasan petugas pelayanan didefinisikan oleh Ratminto sebagai ”keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan, dan tanggung jawabnya)” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan kedua pendapat di atas, bahwa kejelasan petugas pelayanan merupakan keberadaan dan kepastian petugas yang berwenang dan yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian apabila ada keluhan, persoalan, sengketa atau tuntutan dari masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan.
d. Kedisiplinan Petugas Pelayanan Publik
Menurut Moenir kedisipilinan petugas pelayanan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat adalah:
”disiplin dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan terdiri atas dua bentuk disiplin, yaitu disiplin waktu dan disiplin perbuatan, kedua bentuk disiplin itu menyatu dalam perwujudan kerja. Ada disiplin waktu tidak ada disiplin perbuatan, tidak akan ada disiplin dalam hal waktu akan mengecewakan, karena kedua bentuk disiplin harus ditegakan bersama” (Moenir, 2006:125).
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Gordon dan Watkins disiplin merupakan: ”suatu kondisi atau sikap yang ada pada semua anggota organisasi yang tunduk dan taat pada aturan organisasi” (Gordon dan Watkins dalam Moenir, 2006:94). Hal ini berarti bahwa kedisiplinan yang perlu ditegakan oleh setiap aparatur meliputi disiplin waktu dan disiplin perbuatan agar tunduk dan taat pada aturan yang berlaku.
(51)
e. Tanggung Jawab Petugas Pelayanan Publik
Menurut Siagian definisi tanggung jawab aparatur penyelenggara pelayanan merupakan: ”kewajiban seorang bawahan untuk melaksanakan tugas sebaik mungkin yang diberikan oleh atasannya. Inti dari tanggung jawab adalah kewajiban” (Siagian, 1983:53). Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa tanggung jawab yang dikemukakan oleh Ratminto adalah: ”kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan penyelesaian pelayanan kepada masyarakat” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan pendapat di atas, tanggung jawab merupakan kejelasan wewenang dan kewajiban aparatur sebagai penyelenggara pelayanan dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
f. Kemampuan Petugas Pelayanan Publik
Definisi mengenai kemampuan petugas pelayanan dijelaskan oleh James adalah:
”kemampuan melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Dengan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan dari pada unsur lain, seperti otot, saraf, perasaan dan pikiran, dengan kombinasi yang berbeda dari masing-masing unsur, tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan” (James dalam Kurniawan, 2005:85). Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa menurut Brown ada tiga jenis kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap petugas pelayanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yaitu:
”pertama, kemampuan teknis (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang
(52)
diperlukan untuk melaksanakan tugas yang diperoleh dari pengalaman, training, dan pendidikan. Kedua, kemampuan sosial (social/human skill), kemampuan dan kata putus (judgment) dalam pekerja dengan melalui orang lain, mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. Ketiga, kemampuan konseptual (conceptual skill), kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang unit kerja masing-masing ke dalam organisasi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar tujuan dan kebutuhan kelompok sendiri” (Brown dalam Kurniawan, 2005:85).
Berdasarkan pendapat di atas, kemampuan petugas penyelenggara pelayanan harus memiliki kemampuan secara teknis yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode dan teknik serta peralatan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya selain kemampuan secara teknis petugas penyelenggara pelayanan dituntut memiliki kemampuan untuk memotivasi orang lain dalam melaksanakan tugas dan mampu untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang unit kerja masing-masing ke dalam organisasi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas secara dinamis dan tanggap, cepat serta tepat sasaran.
g. Kecepatan Petugas Pelayanan Publik
Menurut Ratminto, kecepatan petugas pelayanan merupakan ”target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan” (Ratminto, 2006:226-227). Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kecepatan petugas pelayanan
(53)
adalah target yang harus diselesaikan oleh petugas pelayanan dalam menyelesaikan tugasnya dengan tepat dan benar.
h. Keadilan Petugas Pelayanan Publik
Mertin mengemukakan bahwa keadilan petugas dalam menyelenggarakan pelayanan adalah:
”perlakuan yang sama kepada masyarakat selain itu juga perlakuan yang adil untuk masyarakat yang pluralistik kadang-kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama misalnya menghapus diskriminasi suku, ras, agama” (Mertin dalam Kurniawan, 2005:75).
Sejalan dengan pendapat di atas, keadilan petugas pelayanan seperti yang dikemukakan Ratminto merupakan: ”pelaksanaan pelayanan dengan tidak membeda-bedakan golongan status masyarakat yang dilayani” (Ratminto, 2006:227). Keadilan petugas penyelenggara pelayanan merupakan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan dengan tidak membeda-bedakan golongan di dalam status masyarakat karena seluruh masyarakat memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintah.
i. Kesopanan dan Keramahan Petugas Pelayanan Publik
Menurut Ratminto kesopanan dan keramahan petugas pelayanan merupakan: ”sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati” (Ratminto, 2006:227).
(54)
54
3.1 Gambaran Umum Bappeda Kota Bandung 3.1.1 Latar Belakang Lembaga
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung adalah salah satu lembaga teknis di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Awal mula pembentukan Bappeda bermula ketika pada tahun 1972 Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan penyempurnaan Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappemda) Provinsi Jawa Barat dengan membentuk Badan Perancang Pembangunan Kotamadya (Bappemko) dan Badan Perancang Pembangunan Kabupaten (Bappemka), yang merupakan badan perencanaan pertama di Indonesia yang bersifat regional dan lokal serta ditetapkan dengan SK Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 43 Tahun 1972.
Setelah berjalan 2 tahun, kedudukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I dikukuhkan dan diakui dengan SK Presiden No. 15 Tahun 1974, sedangkan untuk Daerah Tingkat II masih berlaku SK Gubernur. Baru kemudian dengan SK Presiden No. 27 Tahun 1980, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II diakui secara nasional. Dengan SK Presiden tersebut, lahirlah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I atau Bappeda Tingkat I dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II atau Bappeda Tingkat II.
(55)
Pertimbangan yang mendasari terbitnya SK Presiden No. 27 Tahun 1980, yaitu:
1. Untuk meningkatkan keserasian pembangunan di daerah diperlukan adanya peningkatan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional;
2. Untuk menjamin laju perkembangan, keseimbangan, dan kesinambungan pembangunan di daerah diperlukan perencanaan yang lebih menyeluruh, terarah, dan terpadu.
Dalam lingkup Kota Bandung sendiri, pembentukan Bappeda Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung didasarkan pada Perda No. 21 Tahun 1981 dan Perda No. 24 Tahun 1981, sebagaimana telah mengalami penyesuaian sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka Pemerintah Kota Bandung menata kembali Struktur Organisasi Perangkat Daerahnya, termasuk merubah nama Bappeda Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung menjadi Bappeda Kota Bandung. Perubahan ini ditetapkan dengan Perda Kota Bandung No. 06 Tahun 2001 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Tingkat Kota Bandung, sedangkan uraian tugas dan fungsinya ditetapkan dengan Perda No. 17 Tahun 2001 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung.
Kemudian dengan berlakunya Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Daerah, maka keberadaan lembaga Bappeda di
(56)
masing-masing daerah disesuaikan dengan tuntutan reformasi dan kebutuhan daerahnya dalam rangka pemenuhan optimalisasi pelayanan kinerja. Terkait dengan hal tersebut, susunan organisasi Bappeda Kota Bandung kembali ditetapkan dengan Perda No. 12 tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota Bandung.
Pemahaman penyelenggaraan pemerintahan yang efektif adalah ketika suatu pemerintahan dapat dengan cepat dan tepat mencapai sasaran yang diinginkan serta perencanaan yang baik. Berkembangnya demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta adanya komitmen nasional untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) mendorong Pemerintah untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang dibutuhkan untuk menumbuhkan prakarsa daerah sekaligus memfasilitasi aspirasi daerah sesuai dengan keanekaragaman kondisi masing-masing daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi tonggak penting dimulainya pelaksanaan otonomi tersebut, sehingga daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut adalah Pemerintah Daerah harus dapat lebih meningkatkan kinerjanya dalam
(1)
vii
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 3.1 Struktur Organisasi Bappeda Kota Bandung ... 63
(2)
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Model Kerangka Pemikiran ... 17
(3)
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Kuliah Kerja Lapangan dari Universitas
Komputer Indonesia Bandung.
Lampiran 2 Surat penyetujuan Kuliah Kerja Lapangan di Bappeda Kota Bandung
Lampiran 3 Daftar absensi Kuliah Kerja Lapangan di Bappeda Kota Bandung
Lampiran 3 Surat Keterangan telah melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan dari Bappeda Kota Bandung.
(4)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Data Pribadi
Nama Lengkap : Rio Alfando
Tempat dan Tanggal Lahir : Sungailiat, 21 juli 1989 Nomor Induk Mahasiswa : 41707020
Program Studi : Ilmu Pemerintahan Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : [email protected]
No. HP : 085222666569
Alamat : Jl. Banbayang Cihaur No.99 Berat Badan : 50 Kg
Tinggi Badan : 165 Cm
Status : Belum Kawin
Nama Ayah : Ide Jomeri Pekerjaan Ayah : TNI-AD
Nama Ibu : Rosana
(5)
Pendidikan Formal
TK MELATI SUNGAILIAT(1994-1995) SDN 15 SUNGAILIAT (1995-2001) SLTPN 2 SUNGAILIAT (2001-2004) SMAN 1 SUNGAILIAT (2004-2007)
Universitas Komputer Indonesia Program Studi Ilmu Pemerintahan (2007-Sekarang)
Pendidikan Non Formal
a. Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) Di Kampus, yang dilaksanakan pada hari selasa, 11 Desember 2007 di Auditorium Unikom.
b. Semi Loka Half Day Public Speaking, yang dilaksanakan pada hari
kamis, 8 Mei 2008 di Auditorium Unikom.
c. Stadium Generale (Kuliah Umum) Prodi Ilmu Pemerintahan yang
dilaksanakan pada hari sabtu, 23 Februari 2008.
d. Pelatihan Protokoler Pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang dilaksanakan pada 23 Maret 2008.
e. Kunjungan Lembaga Program Studi Ilmu Pemerintahan ke Pemerintah Kabupaten Garut (BPPK Intel), yang dilaksanakan pada hari kamis, 22 Mei 2008.
f. Mentoring Agama Himpunan Ilmu pemerintahan, yang dilaksanakan pada 9 September 2008.
g. Penyuluhan Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Bagi Generasi Muda dilaksanakan pada hari selasa, 9 Juni 2009.
(6)
h. Table Manner Course, yang dilaksanakan di Hotel Golden Flower. i. Toefl di Unikom dilaksanakan pada 14 juni 2010.
Bandung, November 2010