Nasionalisme pers: studi kasus peran medan prijaji dalam menumbuhkan kesadran kebnagsaan

NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI
DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta

Oleh:
R. M. Joko Prawoto Mulyadi
NIM: 105033201150

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/ 2011 M

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama


: R.M. Joko Prawoto Mulyadi

Tempat / Tanggal lahir

: Jakarta, 12 Januari 1986

Alamat

: Jalan Kebon Nanas Selatan 2, OTISTA III
Rt.007/05 no.30 Jakarta Timur

Kebangsaan

: Indonesia

Agama

: Islam


Pendidikan

:
1. TK. Islam An-Nuriyyah, Otista, Jakarta
Timur.
2. SD. Muhammadiyah 55, Tebet, Jakarta
Selatan.
3. Madrasah Diniyyah An-Nafi’ah
4. SMPN 73, Tebet, Jakarta Selatan.
5. SMUN 26, Tebet, Jakarta Selatan.
6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FISIP,
Ilmu Politik

ii

ABSTRAK

Judul

: NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN

MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN
KESADARAN KEBANGSAAN

Sebagai suatu tema kajian menarik, nasionalisme atau istilah lain yang
berkaitan dengannya juga memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Hal yang
demikian itu terjadi akibat nasionalisme kerap ditulis dengan ‘N’ huruf awalan
kapital. Artinya, ia terlanjur diasosiasikan sebagai sebuah ideologi sebagaimana
juga ideologi lain semisal Marxisme, Sosialisme, dan sebagainya. Namun
demikian, apa yang akan saya bahas pada karya ini bukan Nasionalisme dengan
‘N’, melainkan nasionalisme dengan ‘n’. Sekilas lalu apalah artinya dari huruf
awalan kapital atau tidak, namun kelak dalam pembahasan itu akan berdampak
besar.
Apa yang dimaksud nasionalisme dengan ‘n’ bukanlah sebagai ideologi,
tapi suatu rasa kebangsaan. Atau dalam istilah lain juga disebut kesadaran
kebangsaan. Nasionalisme model ini yang akan menjadi pembahasan kita. Sebuah
kesadaran kebangsaan yang disemai di ladang kering tanah koloni bernama
Hindia Belanda. Bukan petani atau peladang, tapi jurnalis yang menyemai bibit
kesadaran kebangsaan itu melalui media berupa surat kabar.
Dalam hal ini, surat kabar yang dimaksud tentu adalah surat kabar yang
mengawali upaya pembenihan kesadaran kebangsaan tersebut. dan pilihan jatuh

pada sebuah surat kabar yang terbit pada 1907, Medan Prijaji, dengan seorang
jurnalis berwatak keras, R.M. Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini menjadi pilihan
sebab selain ia selaku pionir dalam usaha pembibitan kesadaran ke ‘kita’an
sebagai sebuah bangsa, juga memiliki sikap politik yang tegas. Sejak dari jargon
sampai pada artikel, surat kabar yang sempat mencapai tiras 2000 ini benar-benar
menariik garis tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’, yakni antara penjajah Kolonial
dengan yang dijajahnya, yang dalam istilahnya digunakan identitas oposisi antara
’bangsa jang terprentah’ dengan ‘bangsa jang memerentah’.

iii

KATA PENGANTAR
Bismihi Ta’ala
Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa alihi alath’har. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala nikmatNya. Shalawat dan
salam terhatur kehadirat Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Semua itu adalah
ungkapan syukur karena berkat rahmat itulah skripsi “NASIONALISME PERS:
STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN
KESADARAN KEBANGSAAN” terselesaikan.
Beragam kisah menarik saya jumpai di tengah perjalanan penulisan skripsi
yang berawal dari makalah saya dalam sebuah seminar tentang Pers dan

Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tahun lalu. Biarlah
tersimpan dalam kenangan dan terbuka pada saatnya. Namun yang terpenting
adalah rampungnya penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dan beroleh
gelar sarjana. Tentu semua ini tak lepas dari jasa yang tak berbilang dari berbagai
pihak.
Untuk itu, saya haturkan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo, kakek buyut yang secara ironis harus saya
kenal dari buku, baru kemudian diceritakan orang tua. Aku masih
menziarahimu, di makam dan pada ratusan lembar buah penamu dalam
Medan Prijaji.
2. Alm. S. Syahabuddin Shahab, kakek yang mengajariku bermain dengan
kertas, pena, dan mesin ketik sejak kecil. Seorang penyiar, pengajar tafsir,
dan Soekarnois yang membuatku akrab dengan dunia tulis menulis.
3. Alm. R.M. Dicky Permadi Tirtoadhisoerjo, ayah yang selalu mendidik
dengan caranya yang unik. Yang dengan santai namun pasti,
menjadikanku begitu akrab dengan buku. Amanat terakhirmu sebelum
wafat telah kujalankan, skripsi ini salah satunya. Pesanmu masih kuingat,
bahwa pilihan ‘menjadi seorang idealis harus tahan keadaan sulit’.
4. Syarifah Fathiyyah Shahab, ibu yang dengan segala keteguhan hati dan
kesabaran menjalani hari-hari menunggu kelulusanku. Pengertian yang

luar biasa atas jalan sunyi yang kupilih membuatku tetap tegar.

iv

v

5. Pramoedya Ananta Toer. Bung, melalui bukumu, aku mengenal asalusulku, dan banyak hal luar biasa tentang nasion kita.
6. Prof. Dr. Bahtiar Efendi. Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Dr. Ali Munhanif, ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
8. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, sekretaris Program Studi sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukan
dan memberi bantuan referensi penting.
9. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10. Indra B Aden, melalui pria yang kutemui semasa kuliah di IISIP ini aku
mengenal Pram, dan akhirnya, Tirto.
11. Muhidin M Dahlan, yang telah memberikan foto copy Medan Prijaji
melalui Iswara yang didapatnya dari Bung Pram. Terus menulis, kawan.
12. Teman-teman peneliti di Jogja, khususnya Iswara N Raditya, kerja
kerasmu menulis Tirto akan berbuah suatu hari.

13. Kawan-kawan Kelompok Studi Kedai Pemikiran: Rendi, Aga, Lendi,
Nurman,

Andika,

yang

telah

bersama-sama

mengkaji

masalah

keIndonesiaan, termasuk pers dan membantu melengkapi referensi. Tetap
jalan, kawan. Ilmu untuk kemanusiaan!!.
14. Teman berbincang yang memberi kesan dengan segala warnanya: Hasan
sang pegandrung Semar, Riski si Aneuk Nangroe, Achmad Zaki dosen
muda yang menjadi teman diskusi tentang sastra, media, dan banyak hal.

15. Nabila ‘habiba’ al-Aidrus, ‘alarm’ terindah yang selalu mengingatkan
bahwa skripsi ini harus cepat selesai. Semoga segalanya indah pada
waktunya.

Semoga segala kebaikan terbalaskan. Sebagai sebuah skripsi yang beradu
cepat dengan waktu di sela kesibukan lain yang menghimpit, tentu karya
ini jauh dari sempurna. Namun semoga dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Jakarta 15 Juni 2011
R.M. Joko Prawoto Mulyadi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................................... ii
ABSTRAK..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
DAFTAR ISI.................................................................................................. vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 11
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme..................................................... 13
B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial............................................. 24
C. Nasionalisme dalam Pers....................................................................... 30
BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS
A. Geliat Pers di Hindia Belanda............................................................... 41
B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik..................................................... 49
C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan................................. 58

vi

vii

BAB IV. NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP
PENJAJAHAN KOLONIALISME

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa.................................................... 65
B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa......................................... 70
C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: “Bangsa Jang Terprentah” dan
“Bangsa Jang Memrentah”....................................................................... 74
D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis
Revolusioner............................................................................................. 83
BAB V. KESIMPULAN..................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran kebangsaan atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah
‘nasionalisme’, merupakan tema perbincangan yang nyaris tak lekang digerogoti
usia. Sepertinya, hal tersebut akan terus dan terus diperbincangkan selama negeri
ini masih memiliki penghuni. Tema ini menjadi penting dan oleh karenanya selalu
up to date dikarenakan sifatnya yang merupakan bagian dari pembahasan jatidiri
bangsa, di mana di dalamnya terdapat temali cerita mengenai proses terbentuknya
sebuah bangsa. Bahkan dalam gaya yang agak hiperbolis namun saya pikir benar,

Hobsbawm menggambarkan bahwa sejarah manusia di planet Bumi ini tidak akan
dapat dipahami tanpa terlebih dahulu memahami istilah ‘bangsa’ dan kosakata
yang berasal darinya, tentu termasuk di dalamnya ‘nasional’ dan ‘nasionalisme’
dalam segala bentuk dan polemik pembahasannya.1
Di samping itu pula, apa yang kita sebut dengan ‘nasionalisme’ ini seolah
merupakan bahan bakar bagi lajunya sebuah bahtera besar bernama bangsa
dengan sekumpulan manusia yang bermula dari komunitas etni sebagai
penumpangnya. Dan bahan bakar itu harus terus menyala kobar mengepul demi
lajunya bahtera mengarungi luas samudera menuju satu pulau bernama
kemerdekaan sebagaimana bahtera itu ditujukan sejak awal.

1

E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)

h.1

1

2

Namun demikian, apakah semua awak mengenali apa kiranya bahan bakar
yang bernama ‘nasionalisme’ itu? Rasa-rasanya tidak semua dari mereka
memahaminya, tidak semua dari para penumpang bahtera bernama bangsa itu tahu
dari mana gerangan asal muasal diperolehnya bahan bakar ‘nasionalisme’ itu.
Atau bahkan, jangan-jangan tidak semua dari penumpang itu tahu bagaimana
rupa-rupanya wujud daripada bahan bakar bernama ‘nasionalisme’ tersebut.
Darimana ia digali atau dari rahim mana ia dilahirkan. Ini juga berarti bahwa apa
yang kita sebut sebagai para awak ‘bangsa’ itu tidak mengenal betul dirinya sebab
‘nasionalisme’ atau kesadaran kebangsaan sejatinya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari diri suatu bangsa, sebagaimana seseorang tak berjarak dengan
perasaannya.
Mengenai hal ini, saya teringat betapa dahulu di sekolah dasar hingga
sampai pada tingkat menengah atas, pelajaran sejarah memberi informasi
mengenai darimana datangnya kesadaran kebangsaan. Dan sepertinya, antara kita
tak jauh berbeda, sebab kita dibentuk di dalam suatu sistem pendidikan yang
sama, oleh rejim yang juga sama. Dari sana saya beroleh suatu pengetahuan
bahwa nasionalisme atau kesadaran kebangsaan itu dilahirkan oleh suatu
momentum besar. Sebuah momentum bernama Kebangkitan Nasional. Kita tahu,
bahwa konsekuensi dari menyebut dua kata ‘kebangkitan’ dan ‘nasional’ adalah
memunculkan dua kata yang tampaknya tak mau jauh-jauh dari momen itu,
‘Boedi Oetomo’. Mengapa demikian? Entah! Sebab kita terlanjur diajarkan
demikian. Kita terlanjur diajarkan bahwa rahim yang melahirkan momen

3

kebangkitan bangsa adalah organisasi modern yang lokomotifnya adalah Boedi
Oetomo.2
Tentang anggapan ini, pada mulanya sebagaimana pelajar lainnya, saya
hanya ikut saja. Sebab yang saya baca dan dengar pada umumnya memang
demikian. Pun dengan segala bacaan yang ada pada waktu itu. Sampai suatu
ketika saya bertemu dengan sebuah buku berjudul ‘Sang Pemula’ yang ditulis
oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan beraliran realis yang banyak
menulis karya sastra historis. Meski dengan segala kerendahan hatinya Bung Pram
menyebut bahwa karyanya tersebut bukanlah karya ilmiah sejarah, namun para
sejarawan

mengapresiasinya

sebagai

sebuah

karya

sejarah

yang

patut

diperhitungkan. Bahkan sejarawan besar sekelas Denys Lombard dalam
membahas sejarah masyarakat miskin Blora, merekomendasikan para pembaca
untuk juga merujuk karya Pramoedya ‘Cerita dari Blora’ untuk dapat menangkap
suasana Blora dengan kemiskinan yang meliputinya.3
Di dalam buku yang dilarang penguasa Orde Baru itu, saya mendapatkan
suatu informasi berharga yang membawa saya dalam perasaan senang sekaligus
terheran-heran sebab info semisal itu tak pernah saya dapati pada buku-buku
sejarah yang saya baca sebelumnya (tentunya versi Orde Baru). Satu dari sekian
banyak informasi berharga itu menyangkut kebangitan nasional atau cikal bakal
kebangkitan kesadaran kebangsaan. Uniknya, Bung Pram tidak hanya melihat sisi
kebangkitan tersebut dari faktor organisasi modern (yang juga berbeda dari versi
penguasa), tapi juga melihatnya dari aspek media, dalam hal ini pers. Alhasil,
2

Bambang E. Budhyono, Menggugat Boedi Oetomo dalam Indonesia Newsnet vol.1.
No.1, h. 17
3
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Jogjakarta:Tiara Wacana, 2008) h. 29

4

dalam karya tersebut ia menggambarkan betapa pers, termasuk di dalamnya
Medan Prijaji, memainkan peran penting dalam membakar kesadaran kebangsaan
terutama bagi kalangan terpelajar.4
Namun demikian, kendati buku tersebut sudah dengan leluasa beredar dan
banyak dibaca kalangan akademisi, dan banyak pula menyusul karya senafas,
pembahasan seputar pers dan nasionalisme masih bernasib tak berbeda. Masih
menjadi topik yang kerap dilewatkan begitu saja, atau bahkan dilupakan. Mungkin
anggapan bahwa keberadaan pers kurang begitu mendapat perhatian akibat
ketidakpahaman akan betapa pentingnya instrumen yang satu ini menjadi sah
ketika ditujukan pada mereka yang awam. Tapi menjadi agak rancu dan amat
disayangkan ketika insan akademis pun masih belum membuka mata mengenai
hal ini. Berkenaan dengan masih belum ramainya jalan tersebut maka saya
memutuskan mengangkat tema penting ini untuk dituliskan.
Dalam skripsi ini, saya akan mencoba menuliskan betapa pers memainkan
peranan penting dalam proses penyemaian bibit kesadaran kebangsaan. Masalah
ini saya angkat dengan mengambil latar masa kolonial dengan Medan Prijaji
sebagai pers pada zaman tersebut. Ini saya lakukan bukan tanpa alasan. Pertama,
mengapa masa kolonial, sebab ini akan membantu kita untuk menemukan akar
genealogis proses lahirnya kesadaran kebangsaan. Kedua, mengapa pers, sebab
selama ini ketika berbicara masalah kebangkitan kesadaran kebangsaan, fokus
pembicaraan selalu ditujukan pada satu nama, Boedi Oetomo. Pandangan tersebut
seolah memberi kesan bahwa organisasi modern yang masih berwatak Jawa

4

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra,1985) h. 68 dan 146

5

Sentris tersebut adalah satu-satunya pemberi sumbangsih atas bangkitnya
kesadaran kebangsaan.
Meskipun belakangan banyak lahir pandangan berbeda perihal siapa bidan
yang membantu proses lahirnya kesadaran kebangsaan semisal tesis yang diajukan
M.C. Ricklefs bahwa tonggak kebangkitan nasional bukanlah Boedi Oetomo,
melainkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan pada 4 Juli 1927 oleh
Bung Karno.5 Pendapat lain lagi datang dari Ahmad Syafii Maarif. Beliau seolah
berupaya mencarikan jalan tengah perihal momen kelahiran kebangkitan nasional
atau kesadaran kebangsaan. Jalan tengah itu adalah dengan mengusung hari
Sumpah Pemuda.6 Ini tentu bari sebagian pandangan, sebab ada berbagai pendapat
lain yang akan lahir berdasar pada latar cara pandang golongan atau orang yang
memberi pandangan. Kelompok Islam sentris misalnya pasti akan mengusung
Sarekat Islam sebagai tonggak kebangkitan nasional. Mengenai hal ini akan saya
bahas pada bab II dari karya tulis ini dalam bagian nasionalisme. Termasuk pada
bagian itu pula saya akan jelaskan mengapa pada bagian-bagian awal saya
memberi tanda kutip pada kata nasionalisme.
Namun demikian, bersamaan dengan beragamnya pandangan tersebut di
atas, agaknya peran pers tetap tak mendapat perhatian, atau bahkan tak begitu
dianggap keberadaannya. Padahal sejatinya daya tohok sebuah berita bisa
merogoh jantung penguasa. Sebagaimana digambarkan dalam terbitan Pertja
Selatan, sebuah suratkabar yang pada generasi setelah Medan Prijaji melakukan

5

M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal
MAARIF vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.4
6
Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF
vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.11

6

perlawanan terhadap kolonialisme, bahwa ”journalist ada satoe toekang
gembreng, satoe censor, satoe adviseur, satoe regert dari keradjaan, satoe
pendjaga dari kebangsaan. Soerat kabar jang mardika ada lebih ditakoetin
daripada seriboe bajonet jang tadjem.” 7 Pun demikian halnya dengan Medan
Prijaji, surat kabar pribumi pertama dengan kesadaran politik yang dibidani oleh
R.M. Tirtoadhisoerjo ini benar-benar seperti lambangnya, seorang ksatria
memanah. Medan Prijaji ibarat busur yang melejitkan anak panah pemikiran kritis
ke arah jantung ‘bangsa jang memrentah’ dan kroni-kroninya hingga mereka
muntah darah.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembahasan seputar kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan
tema yang sangat luas dan dapat didekati dari berbagai sisi, demikian pula halnya
dengan tema seputar pers yang dapat diamati dari berbagai sudut. Terlebih ketika
keduanya disandingkan menjadi pasangan tema dalam sebuah karya tulis ilmiah,
tak terbayangkan betapa berlimpahnya aspek yang dapat disajikan.
Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang menyelimuti saya
sebagai seorang mahasiswa program sarjana strata satu, dan untuk memudahkan
saya dalam menggembala sekawanan ide liar di tengah luasnya tema tersebut,
maka dalam skripisi ini, saya mencoba membatasi masalah pada kesadaran
kebangsaan atau nasionalisme Indonesia (pada masa itu istilah ‘Indonesia’ sendiri
belum lahir) yang kesadaran awalnya dibangkitkan oleh pers bumiputera bernama

7

Basilus Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan
(Yogyakarta: LKIS, 2009) h. xvi

7

Medan Prijaji. Dan untuk mempermudah, maka saya merumuskannya ke dalam
format pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah gagasan kesadaran kebangsaan terdapat dalam Medan
Prijaji?
2. Bagaimana kesadaran kebangsaan ditemukan dalam Medan Prijaji?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini ditujukan untuk memperkaya sudut pandang
mengenai proses kelahiran kesadaran kebangsaan atau momen
kebangkitan nasional yang selama ini didominasi oleh perspektif
gerakan organisasi moderen-sentris.
2. Penulis berharap hasil penelitian ini berguna bagi peminat studi
yang berkenaan dengan tema penelitian dan menambah referensi
mengingat terbatasnya referensi seputar tema penelitian ini.
D. Tinjauan Pustaka
Studi atau penelitian tentang bagaimana pers memainkan peran aktif dalam
upaya menyemai bibit kesadaran kebangsaan memang belum seramai tema
lainnya. Terlebih di Indonesia, penelitian yang memfokuskan diri pada
bagaimana peran pers dalam menanamkan dan sekaligus menyulut kesadaran
kebangsaan belum banyak dijumpai. Mengenai keterbatasan ini, saya alami
langsung dari betapa sulitnya mencari literatur berkenaan dengan tema
tersebut. Beruntung saya bertemu dengan karya Pramoedya Ananta Toer,
‘Sang Pemula’ yang pada akhirnya membawa saya jauh masuk pada studi ini.

8

Karya ini terbilang kuat sebab ia menyandarkan analisisnya pada sumber
primer. Di dalamnya, sang penulis mencoba menuturkan sepak terjang Medan
Prijaji dengan merekam jejak langkah sang empunya, R.M. Tirtoadhosoerjo
yang pada saat kesadaran politiknya menjadi matang maka ia menjadikan
terbitannya sebagai pers yang berpolitik.
Karya lain yang juga komprehensif dan memiliki cakupan lebih luas
datang dari negeri Jiran. Sebuah buku yang sejatinya merupakan desertasi
doktoral Ahmat Adam berjudul ‘Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan
Kesadaran Keindonesiaan’ juga memberikan gambaran jelas bagaimana
perjalanan panjang pers di Hindia Belanda, dari mulai berada di tangan bangsa
Eropa, Tionghoa, hingga berada total dalam genggaman bumiputera yang pada
gilirannya memainkan peran sebagai motor gerakan penyadaran kesadaran
kebangsaan. Bakan dalam karya ini, Adam juga memberi suatu gambaran
betapa kesadaran kebangsaan kita juga muncul, salah satunya akibat dari
memanasnya kesadaran kebangsaan warga Tionghoa di tanah Nusantara.8
Adapun karya terkini berkenaan dengan karya seputar Medan Prijaji dan
Tirtoadhisoerjo adalah beberapa karya yang merupakan buah kerja keras
kawan-kawan peneliti muda di Yogyakarta di bawah koordinasi Muhidin M
Dahlan. Karya semisal Tanah Air Bahasa, memang hanya menampilkan
sepintas lalau profil Medan Prijaji dan Tirtoadhisoerjo, namun format yang
selayang pandang itu bukan berarti bahwa buku yang merupakan kumpulan
artikel ini miskin data. Hanya saja memang karya yang memuat kumpulan esai

8

Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan ( Jakarta:
Hasta Mitra, 2003) h. 209

9

singkat tersebut tak cukup memadai bagi kita yang ingin menyelam lebih
dalam. Karya lain yang menurut saya luarbiasa adalah sebuah buku berjudul
‘Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan’
yang merupakan hasil penyusunan ulang karya-karya Tirtoadhisoerjo baik
yang termuat dalam Medan Prijaji maupun terbitan lain. Kendati merupakan
kompilasi karya yang disusun dan ditulis ulang, namun apa yang dilakukan
penyusunnya, Iswara N Raditya, merupakan suatu yang meletihkan. Selain itu,
karya ini layak diapresiasi sebab membantu memudahkan kita yang ingin
meneliti seputar Medan Prijaji, Tirtoadhisoerjo, suratkabar lainnya atau yang
berkenaan dengan itu tanpa harus bergulat dengan sulitnya mencari naskah
asli yang sulit ditemukan.
Namun demikian, karya-karya tersebut umumnya merupakan karya
sejarah yang disajikan selayaknya karya historis. ‘Sang Pemula’ misalnya,
lebih menyoroti

pada

tokoh

Tirtoadhisoerjo

dalam berbagai

aspek

kehidupannya, salah satunya di bidang pers. Meskipun dalam buku yang lebih
nampak sebagai sebuah biografi ini termuat pula karya fiksi dan non-fiksi dari
Tirtoadhisoerjo yang dimuat dalam terbitan-terbitan, namun Pramoedya
Ananta Toer tidak fokus pada pembahasan seputar Medan Prijaji saja.9 Karya
lain semisal ‘Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan
Kebangsaan’ yang ditulis Iswara N Raditya pun bernafas sama, sejarah.
Sejatinya, karya ini lebih merupakan sebuah upaya penyelamatan naskah
9

Dalam Sang Pemula, khususnya pada bagian yang menerangkan kiprah Tirtoadhisoerjo
di bidang pers, Pramoedya tidak terfokus hanya pada Medan Prijaji, namun lebih kepada
menyoroti jejak langkah Tirtoadhisoerjo sebagai seorang jurnalis di beberapa media semisal
Pemberita Betawi yang di kepalai oleh seorang hoofdredactuur atau pemimpin redaksi asing,
hingga akhirnya ia memiliki terbitannya sendiri. Lih. Pramoedya ananta Toer. Sang Pemula.
Bagian I. Bab II (Jakarta: Hasta Mitra, 1985)

10

bersejarah yang disusun ulang ke dalam format buku. Dan karenanya kita
tidak bisa menuntut banyak tentang analisis seputar peran politik Medan
Prijaji di dalamnya. Kemudian karya Ahmat Adam ‘Sejarah Awal Pers dan
Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan’ pun lebih fokus pada sudut pandang
historis, meskipun sebagai sebuah karya desertasi doktoral tentunya
menyiratkan banyak analisis. Karya-karya lain yang bertebaran seputar sejarah
pers pergerakan pun hanya memuat sepintas lalu tentang Medan Prijaji dan
kiprahnya. Ini membuat saya tertantang untuk menuliskan sebuah karya utuh
yang membahas peran Medan Prijaji dalam melawan laku kesewenangan dari
penguasa. Dan sebuah motivasi datang dari karya Basilus Triharyanto ‘Pers
Perlawanan’ yang membahas secara utuh sepak terjang koran Pertja Selatan
di Palembang dalam menghadapi kolonialisme. Hingga akhirnya saya semakin
yakin dan optimis bahwa penulisan tentang kiprah Medan Prijaji dalam
menumbuhkan rasa kebangsaan ini harus terwujud.
E.

Metode Penelitian
Dalam penelitian untuk kepentingan penulisan karya tulis ilmiah atau

skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis pada
kepustakaan dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni dengan memberi
pemaparan umum menyengkut nasionalisme serta analisis lebih fokus pada
Suratkabar Medan Prijaji. Dan sebagai faktor penting dari proses penelitian
tersebut, tentu diperlukan data yang saya peroleh dari dua tipe data, yakni primer

11

dan sekunder.10 Data primer merupakan data yang saya peroleh berupa terbitan
Medan Prijaji tahun ke III. 1909. Sedangkan data sekunder merupakan data
pendukung yang saya ambil dari berbagai sumber semisal buku, jurnal, majalah,
koran, video yang berisi wawancara ataupun sumber lain yang berkaitan dengan
topik penelitian.
F.

Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian. Bab I. Merupakan bab

awal yang membahas tentang latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta
sistematika penulisan. Sedangkan pada bab berikutnya, bab II, memuat bahasan
seputar landasan teori yang menjelaskan mengenai apa itu pers, bagaimana peran
pers dalam membangun opini publik, apa itu nasionalisme, dan akhirnya
bagaimana gambaran nasionalisme dalam pers yang banyak merujuk pada
Benedict Anderson.
Pada bagian selanjutnya, yakni bab III, akan memuat mengenai latar
historis yang menjelaskan cikal bakal kelahiran nasionalisme yang dibidani oleh
pers dengan menggambarkan geliat pers di nusantara beserta coraknya masingmasing, dari yang komersil sampai ideologis, dari yang agamis, kesukuan, hingga
berwatak nasional. Pada bab ini pula dimuat sosok Tirtoadhisoerjo, sang pelopor
pers kebangsaan yang tak bisa dilepaskan dari pembahasan. Dan pada bab IV akan
ditampilkan bagaimana Medan Prijaji memainkan peran dalam menumbuhkan
sentimen kebangsaan. Pada bab ini termuat betapa Medan Prijaji memuat artikel10

Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2009 (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009) h.466.

12

artikel tajam yang menyerang laku semena-mena penguasa, istilah “bangsa jang
memerentah” dan “bangsa jang terprentah” sebagai penegasan identitas nasional
sebuah bangsa, lingua franca sebagai bahasa operasional pers dan identitas
bangsa, serta akhirnya bagaimana Medan Prijaji memberi pengaruh terhadap
kemunculan kaum nasionalis revolusioner. Terakhir, bab V merupakan bagian
penutup yang memuat kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.

BAB II
LANDASAN TEORI
Studi nasionalisme memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Oleh
karenanya, banyak disiplin ilmu lain yang kerap ‘turun tangan’ dalam membahas
tema ini. Sebut saja pendekatan pscakolonial yang di dalamnya juga didapati
beragam analisis seperti linguistik, semiotik dan pers. Pada bagian ini saya tidak
akan berkutat pada pendekatan pascakolonial yang menurut beberapa tokohnya
sendiri, problematis. Tetapi saya akan membahas nasionalisme melalui salah satu
aspek pembentuknya saja, pers. Namun demikian, sebelum masuk pada
pembahasan menyangkut pers dan kaitannya dengan nasionalisme, terlebih dahulu
saya akan paparkan sedikit mengenai bangsa dan kebangsaan.
A.

Pengertian Nasion dan Nasionalisme
Sebelum masuk pada pembahasan Nasionalisme, maka terlebih dahulu

saya akan berikan sedikit gambaran tentang apa itu bangsa. Sebab ini akan sangat
berkaitan meskipun pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan pembahasan
‘bangsa’ terselip di tengah pembahasan nasionalisme. Pembahasan mengenai
bangsa juga menjadi penting sebab mau atau tidak, cepat atau lambat, kita akan
bertemu dengan pembahasan tentang yang mana melahirkan yang mana, apakah
bangsa

melahirkan

nasionalisme

atau

sebaliknya,

nasionalisme

(dalam

kapasitasnya sebagai kesadaran kebangsaan, atau lebih tepatnya nationalitas)
melahirkan bangsa.
Dalam pandangan teoritikus seperti Anthony D Smith, ‘bangsa’
merupakan istilah yang paling problematik dan kerap mengundang perdebatan.

13

14

Mengenai hal ini, Charles Tilly menyebutnya sebagai salah satu hal yang paling
menimbulkan

teka-teki

dan

tendensius

dalam

kamus

politik.

1

Upaya

mendefinisikan istilah bangsa memang tak semudah melafalkannya. Berbagai
definisi coba ditawarkan oleh teoritisi mulai dari definisi objektif

yang

menekankan aspek bahasa, wilayah, dan sebagainya hingga definisi subjektif yang
lebih menekankan aspek sikap, sentimen dan persepsi.
Definisi objektif dapat kita ambil dari contoh pengertian yang datang dari
Joseph Stalin yang mengatakan bahwa sebuah bangsa terbentuk secara historis
yang merupakan komunitas rakyat stabil yang terbentuk dengan dasar kesamaan
bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, serta keadaan psikologis yang terwujud
dalam budaya bersama. Sedangkan definisi subjektif dapat kita ambil dari
Benedict Anderson yang berpandangan bahwa bangsa adalah suatu komunitas
politik yang dibayangkan.2
Dalam karya berjudul Nationalism a Very Short Introduction, Grosby
menuliskan:
“The nation is a territorial community of nativity...........It differs from
other territorial societies such as a tribe, city-state, or various „ethnic groups’ not
merely by the greater extent of its territory, but also because of its relatively uniform
culture that provides stability, that is, continuation over time.”3

Meskipun Grosby menengarai definisi tersebut sebagai suatu pengertian yang
agak rumit meskipun pada gilirannya ia memberikan titik cerah bernama
kesadaran kolektif yang mendasari sebuah bangsa. Namun dari kutipan tersebut

1

Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga,2002)h. 12
Benedict Anderson, Imagined Communities, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka
Pelajar, 2008) h. 8
3
“Bangsa adalah sebuah komunitas teritorial... ini berbeda dari masyarakat teritorial
lainnya seperti suku, negara kota, atau berbagai kelompok etnik tidak hanya berdasar pada luas
teritori lebih besar, tapi juga karena kebudayaan yang relatif seragam yang memberikan stabilitas,
karenanya, berkelanjutan sepanjang waktu”. lihat Steven Grosby, Nationalism A Very Short
Introduction. (Oxford, 2005) h. 7
2

15

setidaknya kita memperoleh ilustrasi awal bahwa apa yang disebut bangsa
merupakan suatu yang berbeda dari sekadar suku atau etnik yang berkelompok
dalam sebuah komunitas. ini menjadi penting untuk digarisbawahi meski pada
gilirannya kita akan mendapati betapa sejarah nasionalisme Eropa menjadi
demikian rumit oleh sebab tumpang tindih antara bangsa dan ras.
Dalam sebuah bab mengenai nasionalisme, Lathrop Stoddard menuliskan
bahwa istilah bangsa dan ras kerap digunakan seenaknya dan oleh karenanya
menciptakan kebingungan. 4 Ketumpangtindihan ini, dalam pandangan Smith,
merupakan akibat yang tak terhindarkan sebab bangsa dan komunitas lainnya
(seperti etnik atau ras) sama-sama merupakan bagian dari kelompok fenomena
yang sama. Hanya saja bangsa bukan merupakan komunitas etnik oleh karena apa
yang saya sebut terakhir tidak memiliki rujukan politik.5
Namun Smith menggarisbawahi bahwa dalam praktiknya, tidak ada garis
tegas yang membatasi antara bangsa dan komunitas etnik, terlebih jika melihat
pada definisi David Miler yang mengartikan bangsa secara sangat berdekatan
dengan komunitas etnik. Menurutnya, bangsa merupakan suatu komunitas yang
terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen saling menguntungkan, memiliki
latar sejarah, berkarakter aktif, berhubungan dengan wilayah tertentu, dan
dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas.6
Sementara menurut Stoddard, perbedaan antara bangsa dan ras sangatlah
jelas. Bangsa merupakan suatu pengertian yang berlandaskan pada keadaan
psikologis, sebuah gagasan. Sedangkan ras lebih bersifat jasmaniah yang dapat
4

Lathrop Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbitan, 1966) h. 138
Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah h. 14
6
Anthony, Nasionalisme...., h. 15

5

16

ditentukan oleh ciri fisik.7 Nah, berangkat dari pengertian bangsa tersebut, maka
kita akan sampai pada suatu pemahaman bahwa bangsa dilahirkan oleh sebuah
keadaan jiwa (sate of mind) yang menuntun seseorang atau sekelompok orang
untuk hidup bersama dalam semacam ikatan persaudaraan suci. Rasa kebangsaan
atau kesadaran kebangsaan inilah yang pada akhirnya kita kenal dengan gagasan
kebangsaan atau ‘nasionalisme’.
Lantas bagaimana dengan pertanyaan mengapa sekelompok orang yang
sudah memiliki kemapanan identitas sebagai sebuah ras, etnik atau suku yang
merupakan realitas nyata harus membangun ulang identitas baru yang masih
berjarak dengan diri mereka. Identitas bernama bangsa itu saya katakan berjarak
sebab memang ia belum hadir bersama kelompok manusia yang berkumpul di
bawah naungan identitas suku atau etnis tertentu. Dalam bahasa yang juga kerap
dikutip orang, Bennedict Anderson bahkan menyebutnya masih dalam
pembayangan.
Namun tentu bukan sekadar lamunan, melainkan pembayangan yang
mampu melahirkan pentas drama ke “kita” an dengan segala keterikatan yang
menggugah, sekaligus kolosal.8 Tentu istilah bangsa yang lahir dari pembayangan
kembali mengundang perdebatan akibat ragam penafsiran atas istilah tersebut.
Namun pada bab empat kita akan coba membincang hal tersebut, bahwa masih
dalam upaya ‘pembayangan’, Tirtoadhisoerjo tidak memetik gagasan kebangsaan
dari langit, namun memungutinya dari bumi.

7
8

Lathrop, Dunia Baru Islam. h. 138
Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 11

17

Dan mengenai mengapa sekelompok orang memilih untuk beralih pada
indentitas baru bernama bangsa, tidak lain adalah karena mereka merasa bahwa
identitas lamanya tidak lagi menawarkan sesuatu di tengah dialektika sejarah dan
persentuhan mereka dengan realitas sosial politik yang terus bergulir sejurus
waktu. Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bahwa pada mulanya bangsa ini
belum ada dan masih merupakan komunitas-komunitas etnik yang terpencar dan
tak terhubung dalam sebuah gulungan pola komunikasi sebagaimana saat ini kita
dapat beroleh informasi tentang apa yang menimpa saudara kita di Jogja dan
daerah lain dalam hitungan detik.
Mengenai hal ini, lebih lanjut akan kita bahas pada bagian berikut di mana
suratkabar memainkan peran melipat jarak dan oleh karenanya sebuah bangsa
memiliki peluang untuk dihadirkan dalam apa yang disebut Anderson dengan
‘pembayangan’. Pun demikian halnya dengan bab empat yang akan mempertajam
pembayangan tersebut melalui teks yang menghadirkan kontradiksi antara bangsa
‘jang terprentah’ dengan bangsa ‘jang memerentah’.
Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan mengapa sekelompok manusia mau
hidup bersama di bawah naungan baru bernama bangsa juga tak luput dari
pantauan seorang teoritikus Marxis, E. J. Hobsbawm. Dalam catatnnya,
Hobsbawm menggarisbawahi bahwa di antara alasan yang menjadikan sebab
mengapa sekelompok orang mau menjadi Bangsa adalah juga sama sebagaimana
pandangan umum, yakni pada adanya rasa kesamaan pada beberapa aspek semisal
bahasa, kebudayaan, teritori, atau kesukuan. 9 Namun sebagaimana juga dirasa

9

E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992) h. 5

18

Hobsbawm, saya melihat bahwa kriteria ini tak selamanya cocok dalam beberapa
hal. Utamanya dalam hal dasar kesukuan. Saya khawatir bahwa aspek ini
memiliki kecenderungan untuk mengantarkan kita pada apa yang disebut Stoddard
sebagai pseudo rasial pada pengalaman Eropa.10
Sedangkan pembahasan mengenai bahasa sebagai salah satu instrumen
bangsa akan kita temukan pada bab empat yang akan menjelaskan peran media
dalam memediasi linguafranca sebagai identitas budaya dan politik sebuah
bangsa sekaligus sarana mengkonstruk realitas baru bernama bangsa itu sendiri di
kepala para pembacanya. Sedangkan aspek lain yang juga perlu mendapat catatan
adalah mengenai wilayah.
Tentu kita sepakat bahwa apa yang kita sebut dengan nasional bukan
hanya melulu manusia sebagai entitas bangsa, melainkan juga wilayah. Namun
patut kiranya dicatat mengenai keberadaan di mana seorang atau kelompok
berdiam di “luar” teritori nasional. Masih mengutip Hobsbawm bahwa
‘nasionalitas’ juga berhak dilekatkan pada seseorang di mana pun ia tinggal.11
Ada sebuah contoh mengenai hal ini dalam sejarah kebangsaan kita. Pada
polemik kebangkitan nasional, kerap kali kita dihadapkan pada perdebatan pelik
yang salah satu nadanya adalah penolakan terhadap mereka yang berada di luar
wilayah Nusantara. Namun pada saat yang sama juga kita tak dapat memungkiri
bahwa apa yang dilakukan sekelompok pelajar atau mahasiswa bumiputera di
negeri Belanda dalam sebuah kelompok bernama Indische Vereeniging atau kelak

10
11

Lathrop, Dunia Baru Islam, h. 141
Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7

19

berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922, juga memberikan
sumbangan berarti bagi gerakan kesadaran kebangsaan.12
Boleh jadi cara pandang ini juga yang mendasari pemikiran Syafii Maarif
untuk mengatakan bahwa organisasi yang pada gilirannya melahirkan sosok seperi
Hatta, Sjahrir, dan sebagainya ini merupakan salah satu tonggak kebangkitan
nasional.13 Ini sekaligus merupakan suatu contoh betapa keberadaan seorang dari
kelompok bernama bangsa itu bukan menjadi masalah sebagaimana juga
pandangan ini dilontarkan para Marxis Austria.14
Sekarang kita masuk pada pembahasan nasionalisme. Sebagai sebuah
pokok bahasan, nasionalisme memang cukup rumit dan memiliki keunikannya
sendiri. Pembahasannya pun menjadi tidak sesederhana ideologi lain semisal
sosialisme,

komunisme,

liberalisme,

dan

sebagainya.

Oleh

karena

ketidakmudahan mengurai tema ini maka pada bagian awal saya kerap
menggunakan tanda kutip pada kata nasionalisme. Ini memang sengaja saya
lakukan dengan maksud menekankan bahwa hal tersebut masih multi makna dan
akan saya bahas pada bagian ini.
Perdebatan demi perdebatan pasti akan kita jumpai dalam tema ini dan
kalau toh ada kesepakatan mengenai istilah nasionalisme, sebagaimana ditulis
Anthony D Smith, itu mengenai kesamaan pandangan mengenai nasionalisme
sebagai sebuah istilah modern. Sejarah nasionalisme memang tak bisa dilepaskan
dari akar kelahirannya, Eropa. Masih dalam catatan Smith bahwa istilah
12

M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal
MAARIF vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 8
13
Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF
vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 11
14
Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7

20

nasionalisme dalam konteks sosial politik merujuk pada dua nama, yakni filsuf
Jerman Johann Gottfried Herder dan seorang biarawan kontra-revolusioner
Perancis, Uskup Augustin de Barruel. Menurut Smith pada mulanya, sekitar tahun
1836, istilah nasionalisme hadir dalam bahasa Inggris berkenaan dengan doktrin
teologis yang mengatakan bahwa ada bangsa tertentu yang merupakan bangsa
pilihan Tuhan.15
Namun dalam catatan Lathrop Stoddard, alih-alih mengusung rasa
kebangsaan sebagai satu kesatuan entitas bangsa, sejarah nasionalisme Eropa
justeru sarat dengan muatan rasial. Ini tampak dari pemahaman mereka mengenai
nasionalisme atau rasa kebangsaan yang pada umumnya merujuk pada apa yang
disebut Stoddard dengan persamaan dan kesatuan kebudayaan, bahasa, dan
sejarah. 16 Namun landasan kesamaan tersebut masih merujuk pada dasar ras
apakah itu Slavia, Latin, Anglosakson, Teuton dan semacamnya. Masih menurut
Stoddard bahwa pada mulanya ide kebangsaan berpangkal pada cara pandang
yang picik dari abad pertengahan yang menyandarkan sebab perbedaan antara
bangsa dengan batasan geografis, feodal, serta perbedaan logat bahasa. Namun
pada paruh pertama dari abad 19 pandangan tersebut kian meluas.
Dengan berkembangnya paham atau gagasan kebangsaan ini, maka
gagasan awal mulai ditinggalkan. Stoddard mencatat bahwa pada masa inilah
nasionalisme hampir-hampir dimaknai meliputi semua yang sedarah seketurunan
oleh ikatan bahasa, budaya, dan sejarah, meskipun mereka sangat berjauhan.17

15

Anthony, Nasionalisme.... h. 6
Lathrop, Dunia Baru Islam h. 140
17
Lathrop, Dunia Baru..... h. 140

16

21

Namun demikian, ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam sejarah
nasionalisme Eropa, terjadi tumpang tindih antara kesadaran kebangsaan dengan
semangat kejayaan ras. Ini akan tampak jelas ketika pada akhirnya sejarah
menunjukkan pada kita bahwa nasionalisme Eropa sebagaimana kita bahas tadi
mengalami metamorfosa dan segera menjadi paseudo rasial (meminjam istilah
Stoddard) dengan diusungnya panji-panji “Pan Jermania”, “Pan slavia”, “Pan
Britania”, “Pan Latinia”, dan sebagainya.18
Kendati demikian, sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bahwa
permasalahan tumpang tindihnya pemahaman antara nasionalisme dengan
pandangan rasial dapat dihindari ketika kita tidak tumpang tindih dalam
memahami antara bangsa dengan ras. Bahwa yang saya sebut pertama lebih
merupakan suatu yang berdasar pada keadaan psikologis sedangkan yang kedua
adalah keadaan jasmaniah yang ditandai dengan ciri fisik.
Maka berdasar pada pemahaman ini kita akan mendapati bahwa
nasionalisme sejatinya merupakan suatu keadaan jiwa, suatu keyakinan sejumlah
besar manusia untuk bersatu dan hidup bersama sebagai satu kesatuan sebagai
sebuah entitas bangsa.19
Sebuah tawaran mengenai penggunaan istilah nasionalisme datang dari
Anthony D Smith. Melalui definisi yang disodorkan Smith, kita dapat memetik
pandangan yang melihat nasionalisme setidaknya dalam lima sudut. Pertama,
Smith mengajak kita untuk

melihat nasionalisme sebagai sebuah proses

pertumbuhan atau pembentukan bangsa. Kedua, ia memandang nasionalisme
18
19

Lathrop, Dunia Baru ..... h. 141
Lathrop, Dunia Baru..... h. 137

22

sebagai sentimen atau kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, Smith menyorotinya
sebagai anasir yang memuat peran penting bahasa dan simbolisme bangsa.
Keempat, ia memandangnya sebagai sebuah gerakan sosial politik yang ditujukan
demi bangsa. Dan terakhir, ia mengartikannya sebagai sebuah doktrin dan atau
ideologi bangsa dalam artian umum maupun khusus.
Ada sebuah poin yang mesti digarisbawahi menyangkut pengertian kedua,
yakni sentimen atau kesadaran. Hal ini penting sebab merupakan kata kunci
pembahasan kita sekaligus menjadi alasan mengapa pada bagian awal tuisan ini,
saya menghindar sejak dini dari penggunaan istilah nasionalisme dan kalau toh
terpaksa maka saya menulisnya dalam tanda kutip. Mengenai pengertian kedua
ini, Smith memberi catatan khusus sebab sentimen kebangsaan seseorang tidak
serta merta membuat ia terlibat dalam gerakan nasionalis.20 Agak aneh terdengar
memang, tapi itulah faktanya menurut Smith. Dan secara tidak langsung,
penjelasan ini juga membantu menerangkan mengapa saya memilih istilah
kesadaran kebangsaan atau kita bisa menyebutnya proto nasionalisme. Sebab
istilah nasionalisme lebih cenderung mengarah pada konotasi ideologis yang
mapan dan tersistematisasi dan terlanjur dimaknai sebagai ideologi politik sebuah
partai dan semacamnya.
Kendati demikian, kita tak perlu terlalu dipusingkan dengan istilah tersebut
ketika kita tahu bahwa ada fase di mana kesadaran kebangsaan atau nasionalisme
berjalan pada tahapan-tahapan yang selaras dengan laju sejarah terbentuknya
bangsa. Sebagai kesadaran kebangsaan, kita melihat nasionalisme mula-mula atau
proto nasionalisme tak ubahnya fase penyemaian benih-benih sebuah bangsa
20

Anthony, Nasionalisme.... h. 7

23

sebagaimana dilakukan Tirtoadhisoerjo dengan suratkabarnya, Medan Prijaji.
Berikutnya, nasionalisme berkembang menjadi sebuah semangat gerakan
pembebasan sampai pada upaya pembentukan sebuah negara, dan setelah itu kita
bertemu dengan nasionalisme yang telah bermetamorfosa menjadi ideologi politik
partai dan semacamnya dalam konstelasi politik yang sudah berbeda dengan tahap
awal penyemaian benih-benih tadi.
Melalui ilustrasi tersebut, saya rasa kita tak akan terlilit kepeningan yang
lahir dari istilah nasionalisme. Sebuah tawaran yang datang dari Ben anderson
agaknya akan makin memperjelas mengenai bagaimana semestinya kita
memandang nasionalisme. Dalam pandangan Anderson, kerumitan yang selama
ini terjadi ialah akibat dari pemahaman kita yang terlanjur mencatat Nasionalisme
dengan “N” kapital. Sehingga konsekuensi logisnya, ia akan cenderung dimaknai
sejajar dengan Marxisme atau Liberalisme. Masih menurut Anderson, jika saja
kita melihat nasionalisme dengan “n” kecil, maka hal itu tidak akan teradi dan
oleh karenanya tak akan ada kerumitan. Ini juga sekaligus mengantarkan kita
untuk meletakkan nasionalisme menjadi sesuatu yang berbagi ruang dengan
agama atau kekerabatan, bukan dengan Isme-isme lain. 21 Pengertian yang
ditawarkan Anderson ini akan membantu kita dalam melihat nasionalisme dalam
kaitannya dengan proses awal, yakni penyemaian benih kesadaran kebangsaan
yang dimainkan salah satunya oleh media, dalam hal ini Medan Prijaji.
Setelah jernih dengan penjelasan di atas, saya akan kembali mengajak kita
semua untuk bersentuhan dengan Smith. ia mencatat bahwa ada yang disebut
dengan definisi kerja nasionalisme yang diartikan sebagai suatu gerakan ideologis
21

Benedict Anderson, Imagined Communities, h.8

24

guna mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas sebuah
kelompok dengan sejumlah anggota yang memiliki kebulatan tekad untuk
membentuk bangsa.22 Ia juga mencatat bahwa di negara-negara pascakolonial di
kawasan Afrika dan Asia, tentu negara kita termasuk di dalamnya, nasionalisme
tidak berhenti atau terbatas hanya pada sasaran politik, tapi juga menyangkut
identitas nasional terutama berkenaan dengan masalah budaya.
Ia menambahkan bahwa setiap nasionalisme mengejar sasaran identitas
nasional ini dalam tingkatan berbeda-beda, namun akan kembali pada ideal
bangsa tersebut. 23 Dalam kasus Indonesia, pembahasan-pembahasan lanjut akan
mengantarkan pembaca untuk sampai pada apa sebenarnya ideal daripada Bangsa
yang juga sekaligus menjelaskan pada kita watak nasionalisme kita. Dan tentunya,
bagaimana kesadaran kebangsaan itu disemai melalui peran penting surat kabar
yang tak hanya menjadi kontra opini penguasa, tapi juga mengkonstruksi gagasan
bangsa.
B.

Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial
Dalam kajian sosiologi politik dan atau komunikasi politik, kita akan

bertemu dengan pembahasan seputar bagaimana pers memainkan peran dalam
mengkonstruk opini publik. Namun demikian, terlebih dahulu kita akan sepakati
bahwa apa yang kita sebut dengan pers adalah media yang dicetak. Istilah ini
dapat kita tarik dari dua akar bahasa, yakni Belanda dan Inggris. Dalam bahasa
Inggris kita kerap menemuinya dalam kata ‘Press’ sedangkan dalam bahasa
Belanda pers ditulis apa adanya dengan ‘pers’. Namun keduanya memiliki arti
22
23

Anthony, Nasionalisme..... h. 11
Anthony , Nasionalisme..... h. 12

25

yang sama, yakni media yang dicetak dengan cara dipres atau ditekan. Tentu
istilah dengan definisi ini akan mengantarkan kita pada betapa sempitnya ruang
makna pers mengingat kemajuan teknologi mutakhir.
Benar bahwa pada gilirannya, pemaknaan pers tidak dibatasi hanya pada
lingkup media cetak saja, namun termasuk di dalamnya media lain semisal radio,
televisi, dan media online. Mengenai pengertian yang mengalami perluasan
makna ini kita dapat mengambil perumpamaan dari kegiatan “Press Conference”
di mana yang hadir bukan hanya para jurnalis cetak melainkan juga radio, televisi,
atau dunia maya.

24

Namun demikian berkenaan dengan pembahasan kita

mengenai suratkabar, maka apa yang saya maksudkan dengan pers di sini tak lain
adalah dalam pengertiannya yang semula, media cetak. Dalam keterbatasan ruang
ini, saya juga tidak akan mengajak kita semua untuk masuk pada perdebatan
istilah yang tak jauh dari pers, yakni publisistik dan jurnalistik, sebab pada
akhirnya kesemuanya itu bermuara pada suatu proses pengemasan dan
pendistribusian informasi kepada orang banyak.
Oleh karena perannya sebagai pengawal opini publik, maka pers memiliki
peran penting yang juga sekaligus merupakan tanggung jawab moral yang dipikul
di pundaknya. Dalam pandangan Magnis Suseno misalnya, dikatakan bahwa salah
satu peran pers adalah mengawal kehidupan publik. Yakni dengan cara
menyediakan terus menerus informasi kepada masyarakat banyak yang tidak
hanya berupa apa yang ada, rekaman atas realitas objektif, tapi juga yang
seharusnya, pengetahuan tentang bagaimana cara pemecahan masalah yang

24

1999) h. 26

Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos,

26

melingkupi realitas tersebut. Masih meminjam cara pandang Magnis, bahwa
dalam kaitannya dengan alam kehidupan kolonialisme dan feodalisme, pers tidak
hanya menjadi satu dari sekian penggali makam Kolonialisme, tapi juga
mengubur feodalisme atau dalam istilah Magnis ‘feodalisme tradisional’. Sebab
feodalisme dapat tetap bertahan hidup dikarenakan tersumbatnya akal pikiran
rakyat dari realitas objektif dan gagasan-gagasan pembaharuan.25
Masih menurut Romo yang juga profesor filsafat ini, ia melihat bahwa
dalam menjalankan misinya yang mulia itu, maka pers harus dibekali dengan etika
pers yang di dalamnya termuat setidaknya tiga aspek seperti tanggung jawab
dalam menyajikan informasi, mengemukakan penilaian, dan sebagai pasar ide
bagi