PERAN ORANG TUA DALAM MENUMBUHKAN KEPRIB

PERAN ORANG TUA DALAM MENUMBUHKAN KEPRIBADIAN ANAK

Umi Anisa

Fakultas Tariyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro

Abstrak
Keluarga dengan segala aspeknya merupakan sekumpulan yang terdiri dari ikatan-ikatan social
dalam kehidupan keluarga rumah tangga. Orang tua, terutama ayah sebagai kepala keluarga dan
ibu sebagai kepala rumah tangga merupakan faktor utama dalam membuat proses pembinaan,
pendidikan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak-anak. Kepribadia ideal anak-anak
bergantung pada upaya yang dilakukan kedua orang tua sedini mungkin sehingga anak-anka
mampu memahami berbagai pengenalan, pengalaman social baik melalui bimbingan, latihanlatihan pendidikan, terutama melalui proses pembinaan keagamaan dengan baik. Dengan melalui
moral spiritual, merupakan jaminan bagi anak-anak pada harapan berkarakter islami atau
berkpribadian akhlaq mulia.
Kata kunci: peran orang tua, kepribadian anak
Abstract:
Families with any community is a group of social bonds in the domestic family life. The parents,
especially the father as the haed of the family and the mother as the head of household, are the
main actors in the dyeing proses of coaching, education, growth and development of children’s

personality. Ideal personality of wide range of recognition, social experience through guidance,
exercises and education, particilary through the development process of religious well. With
morale through spiritual, is a guarantee for kids there will be hape of an Islamic character of
personality of noble character.
Keyword: role of parents, children personality

PENDAHULUAN
Setiap manusia medambkan anaknya menjadi anka yang cerdas dan bermnafat. Cerdas
dari sisi kemampuan kognitif dan intelektual, cerdas spiritual, dan cerdas eksistensial. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan anak yaitu faktor genetik (bawaan) dan faktor
lingkungan. Untuk mewujudkan harapan memiliki anak cerdas,upaya yang dilakukan tidak
sekedar memberikan asupan gizi yang seimbang, mengasuh dan mendidik dengan baik,
mengupayakan ligkungan yang “se-hat” dan memberikan fasilitas, tetapi juga mengupayaan
lingkungan psi-kologis yang kondusif. Lingkungan psikologis yang kondusif dapat memberikan
rasa aman dan nyaman, sehingga anak akan tumbuh menjadi anak yang meiliki rasa percaya diri
(self-confidence) dan memiliki keyaki-nan pada kemampuan (self-effiacacy). Dalam hal ini,
orang tua memiliki peran penting untuk membantu anak mengembangkan potensi dan mencapai
tugas perkembangannya.
Dengan demikian keluarga berarti mempunyai peranan yang tidak kecil dalam
membentuk jiwa dan kepribadian seorang anak, karena baik buruknya pribadi dan jiwa anak

sangat tergantung dari keluarga atau kedua orang tuanya. Kalau keluarga selalu menanamkan
nilai-nilai yang baik ke dalam jiwa anak, tentu anak cepat atau lambat akan pasti memiliki
pribadi dan jiwa yang baik pula, sebaliknya kalau keluarga tidak menanamkan nilai-nilai yang
baik, maka sudah barang tentu pribadi dan jiwa anak akan menjadi tidak baik pula.
Keluarga merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kelangsugan kehidupan
anak dan merupakan lingkungan atau rumah yang pertama kali dikenal oleh anak. Keluargalah
(kedua orang tua) yang bertanggung jawab memenuhi segala tuntutan dan kebutuhan anak, baik
kebutuhan biologis maupun kebutuhan psikologis. Suasana aman, tentram, bahagia dan damai
serta keserasian hubungan harmonis antara ayah dan ibu harus sentiasa terpancar dilingkungan
ini, karena suasana demikianlah anak akan dapat memperoleh rasa kasih sayang dan perhatian
yang diharapkan.
Dengan tanpa perhatian yang serius dan kasih sayang yang penuh dari orang tua
terutama, maka sudah tentu akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan mental
anak yang sehat dan normal, dan ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak itu sendiri.
Dalam masalah ini, maka dalam tulisan berikut penulis perlu mengungkapkan secara singkat
masalah bagaimana peranan orang tua dalam membentuk kepribadian anak.

PEMBAHASAN
Kepribadian dan Kesehatan Mental
Kepribadian adalah organsasi dinamis didalam diri individu sebagai sistem psikofisis

yang menentukan caranya yang khusus dalam menyesuaikan diri terhada lingkungan (Alport,
1951, dalam Suryabrata, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa individu memiliki cara tersendiri
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya adalah individu yang adaftif atau sehat mental. Selain itu, individu yang dapat
menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungannya, rentan mengalami gangguan mental.
World Health Organization (2011) mengartikan kesehatan mental (mental health) sebagai
suatu kondisi kesejahteraan (well-being) dimana setiap individu menyadari potensi pribadinya,
dapat mengatasi stressor normal dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan
berdaya guna dan mampu memberikan peranan positif pada kelompoknya.
Uraian diatas menunjukkan perkembangan kepribadian yang optimal dan kesehatan
mental pada orang dewasa, yang menjadi target dari pertumbuhan individu. Seorang anak
idealnya berkembang menjadi individu dewasa yang sehat mental yang memiliki kepribadian
yang adaftif. Untuk itu, anak perlu mengembangkan kepribadian yang kompetetif, yaitu yang
mempunyai keterampilan tinggi, motivasi berprestasi, kompetensi sosial, dan memiliki
keterampilan untuk mengendalikan dan mengatasi masalah, dimana hal ini juga menunjukkan
perkembangan kepribadian yang optimal dan kesehatan mental di dalam diri anak.
Peran Utama Kedua Orang Tua
Memahi isi kandungan Firman Allah Swt dalam surah at-Tahrim ayat 6, maka dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya tuga-tugas dan kewajiban kedua orang tua sebagai kepala
keluarga dapat dikelompokkan antara lain sebagai berikut:

Sebagai pemelihara dan pelindung keluarga. Orang tua sebagai kepala keluarga mempunyai
tugas dan fungsi sebagai pelindung dan pemelihara anggota keluarganya. Baik moral maupun
materinya. Hal ini sesuai dengan maksud salah satu hadits Rasulallah Saw. Yang sudah popular
di masyarakat atau ummat, yang artinya “setiap kamu adalah orang yang memiliki tanggung
jawab dan setiap kamu akan bertanggung jawab atas apa yang kamu pertanggung jawabkan”.

Sebagai pelindung dan pemelihara anggota keluarganya, orang tua diminta untuk memberikan
jaminan material untuk kelangsungan hidup keluarganya, antar lain seperti nafkah dan
sebagainya. Hal ini dijabarkan dalam Firman Aallah Swt dalam surah al-Thalaq ayat 6, yang
artinya tempatkanlah mereka itu dimana saja kamu bertempat tinggal dan janganlah kamu
memberi mudharat kepada mereka untuk menyempitkan atas mereka”.
Dengan demikian keluarga atau orang tua mempunyai tanggung jawab untuk melndungi dan
memelihara seluruh anggota keluarganya dari segala sesuatu yang buruk, dengan cara
memberikan perlindungan dan menciptakan rasa aman dalam jiwa seluruh anggota keluarga.
Karena hanya dengan jiwa yang terlindungi, dan merasa amanlah anak akan dapat tumbuh dan
berkembang dengan kepribadian yang baik dan stabil.
Sebagai pendidik. Secara kodrat orang tua berperan dan berfungsi sebagai pendidik, yaitu
selain memberikan perlindungan dan pemeliharaan kepada anaknya, orang tua juga berkewajiban
memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anak. Karena melalui pendidikan anak ini akan
mendapat pengalaman dan dapat mengembangkan diri secara aktif dan optimal. Sebagai

pendidik orang tua memberikan nilai-nilai kepada anak melalui latihan-latihan atau pembiasaan.
Dalam hal ini menurut Imam Ghazali, bahwa “melatih anak-anak ialah suatu hal yang penting
sekali, karena anak sebagai amanah Allah Swt bagi orang tuanya, anak memiliki hati yang suci
bagaikan mutiara cemerlang. Bersih dari segala ukiran serta gambaran, ia dapat menerima segala
yang diukirkan atasnya atau condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya, maka ia
dibiasakan kearah kebaikan dan diajarkan kebaikan, jadilah ia anak yang baik dan bahagia di
dunia dan akhirat, sedangkan orang tua serta pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya.
Tetapi bila ia dibiasakan dengan kebiasaan jelek atau dibiarkan dalam kejelekan, maka celakalah
ia, sedangkan orang tua dan pemeliharaannya akan mendapat beban dosanya. Untuk itu wajiblah
wali atau orang tuanya menjaga anak (keluarga) dari perbuatan dosa, dengan mendidik dan
mengajarnya berakhlak baik lagi mulia, menjaga dari temen-temen yang jahat dan tidak boleh
membiasakan anak dengan bernikmat-nikmat.
Selanjutnya bagaimana tugas orang tua dijelaskan dalam salah satu sabda Rasulallah Saw,
yang artinya sebagai berikut: aank itu dari hari ke-7 lahirnya disembelihkan aqiqah, serta diberi
nama dan disingkirkan dari segala kotoran-kotoran, jika ia telah berumur 6 tahun, ia dididik
beradab susila, dan dipisahkan tempat tidurnya, dan jika iatelah berumur 13 tahun, dipukul

agar mausembahyang (diharuskan). Bila ia berumur 16 tahun, ayahnya di izinkan
mengawinkannya, setelah itu ayah berjabat tangan dengannya dan mengatakan: saya telah
mendidik, mengajar, dan mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah Swt dari

fitnahan-fitnahan di dunia dan siksaan di akhirat”.
Hal ini menunjukan bahwa tugas dan kewajiban orang tua tidaklah ringan sebagai
pendidik. Bahkan sebenarnya tugas dan kewajiban orang tua belumlah dianggap selesai
meskipun anaknya sudah berumah tangga. Artinya bahwa orang ua tetap masih harus merasa
bertugas dan berkewajiban untuk selalu menegur dan membimbing anak-anaknya bila anaknya
salah langkah.
Kemudian kategori aspek kepribadian seseorang pada garis besarnya dapat digolongkan
kedalam tiga hal, yaitu sebagai berikut:
Pertama, aspek-aspek kejasmanian yang meliputi tingkah laku luar yang mudah nampak dan
ketahuan dari luar, misalnya cara-caranya berbuat dan berbicara.
Kedua, aspek-aspek kejiwaan meliputi yang tidak segera dapat dilihat dan ketahuan dari luar,
misalnya cara-cara seseorang berpikir, bersikap dan minatnya.
Ketiga, aspek-aspek kerohanian yang luhur meliputi aspek-aspek kejiwaan yang lebih abstrak,
yaitu falsafah hidup dan kepercayaan. Ini meliputi sistem nilai yang telah meresap ke dalam
kepribadian, yang telah menjadi bagian dan mendarah daging dalam kepribadian seseorang yang
dapat mengarahkan dan memberi corak seluruh kehidupan kehidupan individu.
Atas dasar tersebut, maka kepribadian seseorang merupakan seluruh totalitas dari diri
seseorang yang terbentuk karena faktor-faktor pembawaan dan faktor-faktor dari lingkungan,
terutama lingkungan keluarga. Untuk membentuk suatu kepribadian yang baik dan bermoral
tidaklah mudah seperti yang diharapkan, diperlukan suatu proses berkesinambungan sejak anak

usia dini. Pembentukkan kepribadian anak terjadi secara berangsur-angsur, tahap demi tahap
seirama dengan dunia pertumbuhan dan perkembangannya, bukanlah sekali jadi, melainkan
sesuatu yang tumbuh dan berkembang. Menurut Zakiah Daradjat bahwa secara umum proses
pembentukkan kepribadian seseorang itu terjadi melalui tiga tahap, yakni melalui tahap
pembiasaan-pembiasaan, tahap pembentukkan pengertian, sikap dan minat, serta tahap
pembentukkan kerohanian yang luhur.

Pembentukkan kebiasaan adalah penanaman atau latihan-latihan terhadap kecakapankecakapan berbuat, mengucapkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu, seperti cara berpakaian,
bangun pagi, sholat, puasa dan sebagainya. Setiap pendidik terutama orang tua hendaknya
menyadari bahwa dalam pembinaan dan pembentukkan kepribadian anak sangat diperlukan
pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan
jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak,
yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena
telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Untuk membina anak agar memiliki sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan
penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik. Yang
diharapkan nanti dia akan memiliki sifat-sifat tersebut dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan
dan latihan-latihan itulah yang membuat dia cenderung kepada melakukan yang baik dan
meninggalkan yang kurang baik. Anak pada usia balita biasanya memiliki sifat imitasi yang
sangat kuat, dia di ibaratkan sebagai kaset kosong yang selalu siap merekam segala yang dilihat

dan didengarnya baik maupun buruk. Karena itulah anak pada usia ini sangat cocok sekali untuk
memberikan latihan dan pembiasaan tentang segala sesuatu, di samping itu perlu dibarengi pula
dengan contoh teladan dari orang tua, termasuk dari keluarga-keluarga lainnya. Pembentukan
dan pendidikan agama dan moral dalam keluarga sebelum anak masuk sekolah, terjadi secara
tidak formal. Pendidikan agama pada usia ini melalui pengalaman anak, baik ucapan yang
didengarnya maupun perlakuan yang didapatnya. Oleh karena itu, peran dan keadaan kedua
orang tua dalam kehidupan anak sehari-hari (keluarga) mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam pembinaan pembentukan kepribadian anak. Karena pada tahun-tahun pertama dari
pertumbuhan dan perkembangan itu, anak mampu berpikir dan mengingat kata-kata yang mereka
kuasai masih sangat terbatas, serta mereka belum mampu memaham kata-kata yang tidak jelas,
akan tetapi mereka dapat merasakan sikap, tidakan dan perasaan dari kedua orang tuanya.
Mereka merasa disayangi atau dibenci oleh orang tua mereka, anak akan merasa senang kalau
orang tua rukun, sebaliknya abak merasa sedih apabila orang tua meraka tidak akur dalam
kehidupan keluarga.

Peran Orang Tua dalam Pengembangan Kepribadian Anak
Dalam perkembangan kepribadian, masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat
penting. Di masa kanak-kanak, peran orang tua sangat dominan untuk mengasuh dan mendidik
anak untuk menjadikan anak pribadi yang sehat mental. Dalam mengasuh anaknya, orang tua
memiliki cara tersendiri. Gaya pengasuhan orang tua menggambarkan 2 dimensi utama perilaku.

Dimensi pertaa adalah emosionalitas: yaitu kehangatan dan responsivitas orang tua. Orang tua
dapat bersikap hangat, responsive dan berpusat pada anak (child-centered) dalam pendekatannya
kepada anak. Atau orang tua dapat menolak, tidak responsive, tidak terlibat dalam interaksi
dengan anaknya, dan lebih terfokus pada kebutuhan dan keinginan pribadinya sendiri.
Dimensi yang kedua adalah control, yaitu tingkat kendali orang tua terhadap anaknya.
Orang tua dapat sangat menuntut anak dengan memberikan batasan perilaku anak, yaitu
mengenai apa yang perilakunya dan memilih alternatif perilaku yang bertanggung jawab secara
sosial. Sementara orangtua yang kurang mengontrol anak, tidak memberikan batasan dan
memperbolehkan anak melakukan apapun yang diinginkannya. (Hetherington, 2006).
Berdasarkan kedua dimensi dari perilaku orang tua, yaitu kontrol dan emotionality
(kehangatan dan responsivitas) dan juga menurut Baumrind mengenai pola asuh, Maccoby dan
Martin (1983), menjabarkan 4 tipe pola asuh orang tua, yaitu: authoritative, authoritarian,
permissive, dan uninvolved. Dimensi kehangatan dan reponsivitas yang tinggi, disertai dengan
dimensi kontrol dan moderat, membentuk tipe pola asuh authoritative. Pola asuh ini mempunyai
karakteristik: (1) Orang tua bersikap hangat, terlibat dalam pengasuhan anak, dan responsive.
Hal ini dapat membuat anak merasa dipahami dan diperhatikan. Demekian juga anak akan
belajar untuk memperhatikan kebutuhan orang lain, hal ini bermanfaat dalam perkembangan
sosialisasinya di lingkungan. (2) Mendukung dan berminat terhadap perilaku anak yang
membangun. Contohnya anak belajar bahasa Inggris lewat game interaktif di computer, orang
tua menjukkan persetuan dab antusiasnya ketika anak melakukan kegiatan tersebut. Orang tua

juga harus memperhatikan harapan dan pendapat anak. Misalnya anak mengusulkan untuk
kursus berenang karena ia menyukai kegiatan tersebut dan ingin mahir berenang. Orang tua
menerima usulan tersebut dengan senang hati dan membicarakan mengenai waktu dan tempat
kursus tersebut dengan anak. Jika pada saat ini orang tua belum mempunyai biaya, dibicarakan
juga mengenai cara untuk mencapai harapan tersebut. Hal ini membuat anak merasa berharga

dan memiliki hak sehingga pola pikir anak akan terasah dan termotivasi untk mengembangkan
potensinya. (3) memberikan alternative tindakan. Jika suatu aktivitas atau tindakan yang
diharapkan anak tidak mungkin terlaksana, orang tua dapat membuka pikiran anak dengan
menyampaikan alternatif kegiatan lain. Dengan demikian cara pikir anak mudah mengatasi
berbagai

permasalahan

dalam

kehidupannya.

(4)


membentuk

standar

atau

aturan,

mengkomunikasikannya dengan jelas pada anak, dan melaksakannya dengan sungguh-sungguh.
Orang tua dan anak dapat membuat kesepakatan mengenai aturan, misalnya jadwal anak untuk
menonton tv, mandi, makan malam dan mengerjakan PR atau belajar. Kesepakatan ini
disampaikan sejelas-jelasnya pada anak termasuk konsenkuens jika kesepakatan ini di langgar.
(5) Tidak mengalah pada paksaan anak. Ada kalanya anak memaksa keiginannya pada orang tua,
bahkan sampai berguling-guling dilantai sebelum keinginannya dipenuhi. Misalnya anak TK
minta dibelikan HP, orang tua merasa anak tersebut belum saatnya dibelikan HP karena masih
terlalu kecil dan masih teledor dalam menyimpan barang miliknya. (6) Memperlihatkan
ketidaksukaan pada perilaku buruk anak. Saat anak menampilkan perilaku buruk misalnya
bermain game computer yang bertema kekerasan padahal telah dilarang orang tua, orang
menampilkan ekspresi wajah tidak suka dan dengan tegas mengungkapkan ketidaksetujuan. Hal
ini membuat anak semakin memahami mengenai perilaku seperti apa yang diharapkan dan tidak
diharapkan darinya. (7) Mengkonfrontasikan ketidakpatuhan anak. Orang tua juga konsisten
dalam enjalankan aturan dan konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan anak. Dengan
demikian anak memahami pentingnya aturan dan memahami orang lain. (8) Mengharapkan
perilaku anak yang matang, mandiri, yang sesuai dengan usia anak. Membuat anak terdorong
menjadi anak yang dapat mengendalikan diri, mandiri, dan mengembangkan kompetensinya. (9)
Merencanakan kegiatan dan melakuakan aktivitas dengan anak. Orang tua menyediakan waktu
yang berkualitas bersama anak. Hal ini akan mengakrabkan hubungan orang tua dan anak.
Upaya Membentuk Kepribadian Anak
Tindakan dan perlakuan kedua orang tua terhadap anak dan saudaranya merupakan
perilaku yang akan menjadi bagian kepribadian keluarganya di kemudian hari. Tindakan dan
perlakuan orang tua yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan moral susila, akan
menimbulkan pengalaman hidupdalam jiwa anak sesuai dengan agama, yang kemudian akan
tumbuh dan menjadi unsur-unsur yang merupakan dalam pribadinya nanti. Latihan dan

pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-qur’an
dan sebagainya harus dibiasakan sejak dini, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang
melakuakan ibadah tersebut. Anak dibiasakan seperti itu, sehingga dengan sendirinya akan
terdorong untuk melakukannya tanpa saluran dari luar, melainkan dari dalam. Latihan
keagamaan menyangkut akhlak ibadah sosial atau hubungan sesame manusia dengan ajaran
agama jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata. Latihan disini dilakukan
melalui contoh yang diberikan oleh orang tua, karena itu orang tua hendaknya memiliki
kepribadian yang dapat mencerminkan agama.
Dalam pembentukan pribadi anak, pembiasaan dari latihan ini sangat penting, karena
pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.
Semakin banyak pengalaman agama yang diperolehnya melalui pembiasaan itu, maka semakin
banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah dia dibentuk dengan nilai
moral. Pembentukkan pengertian dan sikap pada taraf pertama baru merupakan drill. Dengan
tujuan agar caranya dilakukan lebih tepat kemudian pada taraf kedua barulah diberi pengetahuan
sebagai contoh memberikan pengertian tentang sikap sabar, kekusaan allah, tidak boleh dengki,
dendam, dan sebagaiya. Pembentukkan sikap, pembinaan moral atau Pembina pertama adalah
orang tua kemudian guru. Sikap kedua orang tua terhadap agama akan mencerminkan kepada
anak. Jika orang tua menghormati ketentuan-ketentuan agama, maka akan bertumbuhlah pada
jiwa anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya jika sikap orang tua terhadap
agama negatif, acuh tak acuh atau meremehkan maka demikian pula lah sikap yang tumbuh
dalam jiwa anak. Pembentukan kerohanian yang luhur alat utamanya adalah perilaku dan tenagatenaga kejiwan sebagai alat tambahan. Hasilnya adalah kesadaran dan pengertian yang
mendalam segala yang dipikikannya, dipilihnya dan diputuskannya serta dilakukannya adalah
berdasarkan keinsyafannya sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
Proses pembentukan pribadi seseorang dapa dilakukan secara bertahap oleh keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Dalam lingkungan keluarga orang tua merupakan idola bagi anak,
dimana anak perempuan akan mengidolakan ibunya, sedangkan anak laki-laki akan
mengidolakan bapaknya. Sehingga kalau figur ayah dan ibunya baik dan bermoral tinggi maka
kesan yang diterima akan baik pula, namun sebaliknya bila figure ayah dan ibunya kurang baik
dan kurang bermoral, maka kesan yang diterima anak kurang baik pula. Seorang anak yang

dibesarkan, dididik dalam rumah tangga yang aman dan tentram, penuh dengan kasih sayang
akan bertumbuh dan berkembang dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula.
Lebih lagi apabila orang tuanya mengerti agama dan menjalankannya dengan tekun dan taat.
Setiap gerakan, sikap dan perlakuan yang diterima oleh anak dalam keluarganya akan
menemukan cara pribadinya yang akan bertumbuh nanti.
Dalam hal ini,pertama sekali dari pihak ibu dituntut untuk lebih aktif berperan, karena ibu
biasanya memiliki sikap yang lebih lembut, sabar, dan perhatian kepada anaknya. Apabila ibu
tenang, penyayang dapat mengerti ciri-ciri pertumbuhan yang sedang dialami oleh anaknya dan
tekun menjalankan agama serta dapat melatih anaknya untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai
moral yang ditentukan oleh nilai agama, dan tahu pula sekedarnya psikologi anak dalam segala
tingkat usia dengan ciri dan problemanya masing-masing. Maka ia akan daapat membina moral
anak-anaknya secara teratur dan sehat.
Peran ibu dalam pembinaan dan pembentukan moral dan mental anak sangat penting dan
besar sekali, karena pembinaan moral dan agama itu lebih banyak terjadi dalam lingkungan
keluarga melalui pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh anggota keluarganya,
dibandingkan denagn pengalaman pendidikan formal. Karena niali-nilai moral dan agama yang
akan menjadi pengendali dan pegaruh dalam kehidupan manusia adalah nilai – nilai yang masuk
dan terjalin kedalam pembinaan pribadi, akan semakin besar pengaruhnya dalam pengendalian
tingkah laku dan pembentukan sikap pada khususnya.
Kesimpulan
Bersadarkan uraian diatas maka bagi penulis memberi kesimpulan bahwa peran kedua orang tua
terutama dan termasuk keluarga sebagai Pembina sekaligus pendidik utama dan pertama dalam
suatu kehidupan keluarga, sangat besar pengaruhnya bahkan sangat menentukan perilaku
kehidupan jiwa dan kepribadian anak dan keluarga. Oleh karena itu, baik buruknya akhlak
perangai, perilaku atau pribadi sang anak dan keluarga, banyak ditentukan oleh sistem pola
pembinaan, latihan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua terutama dan lingkungan
kelurga, dimana anak yang sudah mendapatkan pengenalan, pengalaman dan pendidikan,
terutama pendiddikan moral dan spiritual misalnya yang kuat dari keluarganya, akan dapat
mempertahankan eksistensi kepribadian potensinya dari pengaruh-pengaruh sosial dan
lingkungan yang kurang bersahabat. Yang terpenting dalam hal ini bahwa setiap anggota

keluarga semestinyalah mempunyai keyakinan yang mendalam bahwa dalam membina, melatih
dan mendidik anak-anak dan keluarga sebagai upaya maksimal agar bagaimana sang anak dan
anggota keluarga yang sholeh dan sholeha masa depan, merupakan suatu amanah, tugas dan
kewajiban mulia menurut agama islam.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, edisi 8, Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1989
Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimy, Mukhtar al-Ahadis al-Nabawiyyah wa al-Hikmah alMuhamadiyyah, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubraa, tt.
Ary H. Gunawan, 2000, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rinea Cipta
A.Mustafa, 1987, 150 Hadits-hadits Pilihan Untuk Pembinaan Akhlak dan Iman, Surabaya: alIkhlas
Arifin, 1977, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga,
edisi 3, Jakarta: Bulan Bintang
Imam Bawani, 1990, Ilmu Jiwa Perkembangan Dalam Konteks Pendidikan Islam, edisi 1,
Surabaya: Bina Ilmu
Mustafa Fahmi, 1977, Kesehatan Jiwa Dalam Keluarga Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1,
terjemahan Zakiah Daradjat, Jakarta: Bulan Bintang
Sumardi Suryabrata, 1986, Psikologi Kepribadian, edisi 3, Jakarta: Rajawali Press
Syafi’ah, 2008, Pengantar Psikologi Perkembangan, edisi 1, Pekanbaru: Suska Press
Zakiah Daradjat, 1982, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, edisi 4, Jakarta: Bulan
Bintang