Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D- Phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal

(1)

PENGARUH PEMBERIAN INSEKTISIDA (ESBIOTHRIN,

IMIPROTHRIN DAN D-PHENOTHRIN) PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus rattus

):

KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI DAN

GINJAL

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA. Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal. Dibawah bimbingan WIWIN WINARSIH dan AGUS SETIYONO.

Esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin merupakan insektisida sintetik golongan pyrethroid. Pyrethroid adalah racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada organisme yang keracunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berat badan, mortalitas, dan gejala klinis tikus selama perlakuan, serta patologi anatomi dan gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus putih (Rattus rattus) galur Sprague Dawley yang diberi formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) dengan dosis bertingkat pada uji toksisitas akut. Sebanyak 5 ekor tikus digunakan untuk kontrol dan masing-masing 5 ekor untuk dosis 5000; 2500; 1250 dan 625 mg/kg bb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pemberian insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada uji toksisias akut oral adalah sebagai berikut: penurunan berat badan dan mortalitas hanya terjadi pada kelompok tikus dosis 5000 mg/kg bb; gejala klinis yang terjadi pada tikus umumnya adalah tremor, lemah, bulu berdiri, diare dan lakrimasi. Perubahan patologi anatomi pada hati tikus umumnya adalah kongesti. Perubahan patologi anatomi pada ginjal tikus adalah kongesti serta batas korteks dan medula tidak jelas. Perubahan histopatologi pada hati tikus berupa kongesti, degenerasi hidropis dan apoptosis. Perubahan histopatologi pada ginjal berupa oedema glomerulus, degenerasi hidropis dan apoptosis pada tubulus, endapan protein di lumen dan dilatasi tubulus serta kongesti pada interstisium. Derajat keparahan kejadian kongesti pada hati dan ginjal merupakan kongesti berat.

Kata Kunci: Insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin), Hati, Ginjal, Tikus Putih, Histopatologi


(3)

ABSTRACT

Esbiothrin, imiprothrin and d-phenothrin are synthetic insecticide, a group of pyrethroid. It is an axonic poison in the fibrous nerve. These are caused tremor and movement incoordination. The aim of this research was to described body weight, mortality, clinical sign, and gross lession, also the histopathological change of liver and white rat’s kidney (Ratus rattus) of the Sprague Dawley groove that were given insecticide formulation (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) with the other level of acute toxic test. Five white rats as control and five for each dose groups 5000; 2500; 1250 and 625 mg/kg bw. The result of this research showed that decrease of body weight and mortality just happened to the highest dose; clinical signs which happened were tremor, weak, standing hair, diarrhea, and lacrimation.The gross lession in liver was congestion. Kidney was congestion which border between cortex and medulla was not seen clearly. The histopathological changes of liver were congestion, hydropic degeneration, apoptosis, and necrose. Kidney showed oedema glomerulus, degeneration and apoptosis on epithel tubule, protein settle in lumen and tubule dilatation also congestion in interstitium. The congestion in liver and kidney were heavy.

Key Words: Insecticide (esbiothrin, imiprothrin and d-phenothrin), Liver, Kidney, White Rat, Histopathology


(4)

PENGARUH PEMBERIAN INSEKTISIDA (ESBIOTHRIN,

IMIPROTHRIN DAN D-PHENOTHRIN) PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus rattus

):

KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI DAN

GINJAL

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA B04104110

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D- Phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian

Histopatologi Hati dan Ginjal Nama : Aqilah Zainaba Istiqlal Baldatina NRP : B04104110

Disetujui,

Pembimbing I

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi NIP. 131 878 931

Pembimbing II

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD NIP. 131 760 847

Diketahui, Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Lahir di Malang pada tanggal 26 Agustus 1985. Putra dari H. Dzikri Abdul Rochman dan Hj. Lis Sa’adah. Penulis menghabiskan masa sekolah TK hingga SMA di Malang. Lulus dari TK Taman Siswa (Taman Indria) Turen tahun 1992. Dilanjutkan SD Taman Siswa (Taman Muda) Turen dan lulus tahun 1998. Kemudian masuk SLTP Negeri 2 Turen tahun yang sama dan lulus tahun 2001. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2004. Diterima di IPB melalui jalur USMI di tahun yang sama.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus dan anggota DKM An Nahl sejak tahun 2004 hingga 2008. Penulis juga aktif di BEM FKH periode 2005-2006 sebagai Bendahara II. Semasa kuliah penulis juga terdaftar sebagai anggota Himpro Ruminansia dan Himpro Ornithologi dan Unggas. Pada kepengurusan IMAKAHI 2004-2006 penulis juga aktif sebagai pengurus. Penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam semester ganjil tahun akademik 2006-2007 dan asisten praktikum Patologi Sistemik 2 semester ganjil 2008-2009.

Penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul ”Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal” di bawah bimbingan Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi dan Bapak Drh. Agus Setiyono MS, PhD.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin atas segala-galanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAAW.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi selaku Pembimbing Skripsi pertama 2. Drh. Agus Setiyono MS, PhD selaku Pembimbing Skripsi kedua

3. Bapak Dr. Drh. Iman Supriatna selaku Pembimbing Akademik

4. Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penilai seminar 5. Bapak Drh M Fakhrul Ulum selaku moderator seminar

6. Ibu Drh Tutik Wresdiyati, PhD selaku dosen penguji sidang

7. Keluarga Besar Pondok Pesantren Biba’afadlrah (minal alif ilal ya’)

8. Abah, Ibu, mZur, dPida, Awa, Iza, Uma, Ari, 2 pejuangku (Abdillah&Ali Asghar), Keluarga Besar Abah (H Abdurrahman) dan Ibu (H Yusuf) 9. Staf Laboratorium Patologi (Pak Kasnadi, Pak Ndang dan Pak Soleh) 10.Dosen dan staff di AFF, KRP dan IPHK serta seluruh civitas FKH IPB 11.Saudara “seperjuangan” se-FKH dan se-IPB (minal alif ilal ya’) esp 41 12.Keluarga Ceria, An Nahl, ISC, “Mencit”, Sunkarers, Kartikaers, Asy Syifa 13.Asteroidea (41 Terbaik dan Teristimewa), kakak dan adik tingkat

14.Himarema (Himpunan Mahasiswa Arek Malang)

15.Semua pihak, semoga Allah membalas dengan ridha dan JannahNya. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2008


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Uji Toksisitas ... 4

Pestisida ... 6

Insektisida ... 7

Pyrethroid ... 7

Esbiothrin ... 8

Imiprothrin ... 9

D-phenothrin... 9

Tikus ... 10

Hati ... 11

Ginjal ... 18

METODOLOGI ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Alat dan Bahan ... 25

Metode Penelitian ... 25

Analisa Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Berat Badan dan Kematian ... 29

Perilaku (Gejala Klinis) ... 30

Patologi Anatomi (Makroskopis) ... 31

Histopatologi (Mikroskopis) ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN... 44

Kesimpulan ... 44


(9)

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan Peringkat Kruskal Wallis Skor Histopatologi Hati ... .... 32

2. Kongesti Pembuluh Darah pada Hati ... .... 35

3. Rataan Peringkat Kruskal Wallis Skor Histopatologi Ginjal... .... 37


(11)

PENGARUH PEMBERIAN INSEKTISIDA (ESBIOTHRIN,

IMIPROTHRIN DAN D-PHENOTHRIN) PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus rattus

):

KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI DAN

GINJAL

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

ABSTRAK

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA. Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal. Dibawah bimbingan WIWIN WINARSIH dan AGUS SETIYONO.

Esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin merupakan insektisida sintetik golongan pyrethroid. Pyrethroid adalah racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada organisme yang keracunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berat badan, mortalitas, dan gejala klinis tikus selama perlakuan, serta patologi anatomi dan gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus putih (Rattus rattus) galur Sprague Dawley yang diberi formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) dengan dosis bertingkat pada uji toksisitas akut. Sebanyak 5 ekor tikus digunakan untuk kontrol dan masing-masing 5 ekor untuk dosis 5000; 2500; 1250 dan 625 mg/kg bb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pemberian insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada uji toksisias akut oral adalah sebagai berikut: penurunan berat badan dan mortalitas hanya terjadi pada kelompok tikus dosis 5000 mg/kg bb; gejala klinis yang terjadi pada tikus umumnya adalah tremor, lemah, bulu berdiri, diare dan lakrimasi. Perubahan patologi anatomi pada hati tikus umumnya adalah kongesti. Perubahan patologi anatomi pada ginjal tikus adalah kongesti serta batas korteks dan medula tidak jelas. Perubahan histopatologi pada hati tikus berupa kongesti, degenerasi hidropis dan apoptosis. Perubahan histopatologi pada ginjal berupa oedema glomerulus, degenerasi hidropis dan apoptosis pada tubulus, endapan protein di lumen dan dilatasi tubulus serta kongesti pada interstisium. Derajat keparahan kejadian kongesti pada hati dan ginjal merupakan kongesti berat.

Kata Kunci: Insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin), Hati, Ginjal, Tikus Putih, Histopatologi


(13)

ABSTRACT

Esbiothrin, imiprothrin and d-phenothrin are synthetic insecticide, a group of pyrethroid. It is an axonic poison in the fibrous nerve. These are caused tremor and movement incoordination. The aim of this research was to described body weight, mortality, clinical sign, and gross lession, also the histopathological change of liver and white rat’s kidney (Ratus rattus) of the Sprague Dawley groove that were given insecticide formulation (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) with the other level of acute toxic test. Five white rats as control and five for each dose groups 5000; 2500; 1250 and 625 mg/kg bw. The result of this research showed that decrease of body weight and mortality just happened to the highest dose; clinical signs which happened were tremor, weak, standing hair, diarrhea, and lacrimation.The gross lession in liver was congestion. Kidney was congestion which border between cortex and medulla was not seen clearly. The histopathological changes of liver were congestion, hydropic degeneration, apoptosis, and necrose. Kidney showed oedema glomerulus, degeneration and apoptosis on epithel tubule, protein settle in lumen and tubule dilatation also congestion in interstitium. The congestion in liver and kidney were heavy.

Key Words: Insecticide (esbiothrin, imiprothrin and d-phenothrin), Liver, Kidney, White Rat, Histopathology


(14)

PENGARUH PEMBERIAN INSEKTISIDA (ESBIOTHRIN,

IMIPROTHRIN DAN D-PHENOTHRIN) PADA TIKUS PUTIH

(

Rattus rattus

):

KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI DAN

GINJAL

AQILAH ZAINABA ISTIQLAL BALDATINA B04104110

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D- Phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian

Histopatologi Hati dan Ginjal Nama : Aqilah Zainaba Istiqlal Baldatina NRP : B04104110

Disetujui,

Pembimbing I

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi NIP. 131 878 931

Pembimbing II

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD NIP. 131 760 847

Diketahui, Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Lahir di Malang pada tanggal 26 Agustus 1985. Putra dari H. Dzikri Abdul Rochman dan Hj. Lis Sa’adah. Penulis menghabiskan masa sekolah TK hingga SMA di Malang. Lulus dari TK Taman Siswa (Taman Indria) Turen tahun 1992. Dilanjutkan SD Taman Siswa (Taman Muda) Turen dan lulus tahun 1998. Kemudian masuk SLTP Negeri 2 Turen tahun yang sama dan lulus tahun 2001. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2004. Diterima di IPB melalui jalur USMI di tahun yang sama.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus dan anggota DKM An Nahl sejak tahun 2004 hingga 2008. Penulis juga aktif di BEM FKH periode 2005-2006 sebagai Bendahara II. Semasa kuliah penulis juga terdaftar sebagai anggota Himpro Ruminansia dan Himpro Ornithologi dan Unggas. Pada kepengurusan IMAKAHI 2004-2006 penulis juga aktif sebagai pengurus. Penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam semester ganjil tahun akademik 2006-2007 dan asisten praktikum Patologi Sistemik 2 semester ganjil 2008-2009.

Penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul ”Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal” di bawah bimbingan Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi dan Bapak Drh. Agus Setiyono MS, PhD.


(17)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin atas segala-galanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAAW.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi selaku Pembimbing Skripsi pertama 2. Drh. Agus Setiyono MS, PhD selaku Pembimbing Skripsi kedua

3. Bapak Dr. Drh. Iman Supriatna selaku Pembimbing Akademik

4. Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penilai seminar 5. Bapak Drh M Fakhrul Ulum selaku moderator seminar

6. Ibu Drh Tutik Wresdiyati, PhD selaku dosen penguji sidang

7. Keluarga Besar Pondok Pesantren Biba’afadlrah (minal alif ilal ya’)

8. Abah, Ibu, mZur, dPida, Awa, Iza, Uma, Ari, 2 pejuangku (Abdillah&Ali Asghar), Keluarga Besar Abah (H Abdurrahman) dan Ibu (H Yusuf) 9. Staf Laboratorium Patologi (Pak Kasnadi, Pak Ndang dan Pak Soleh) 10.Dosen dan staff di AFF, KRP dan IPHK serta seluruh civitas FKH IPB 11.Saudara “seperjuangan” se-FKH dan se-IPB (minal alif ilal ya’) esp 41 12.Keluarga Ceria, An Nahl, ISC, “Mencit”, Sunkarers, Kartikaers, Asy Syifa 13.Asteroidea (41 Terbaik dan Teristimewa), kakak dan adik tingkat

14.Himarema (Himpunan Mahasiswa Arek Malang)

15.Semua pihak, semoga Allah membalas dengan ridha dan JannahNya. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2008


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Uji Toksisitas ... 4

Pestisida ... 6

Insektisida ... 7

Pyrethroid ... 7

Esbiothrin ... 8

Imiprothrin ... 9

D-phenothrin... 9

Tikus ... 10

Hati ... 11

Ginjal ... 18

METODOLOGI ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Alat dan Bahan ... 25

Metode Penelitian ... 25

Analisa Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Berat Badan dan Kematian ... 29

Perilaku (Gejala Klinis) ... 30

Patologi Anatomi (Makroskopis) ... 31

Histopatologi (Mikroskopis) ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN... 44

Kesimpulan ... 44


(19)

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan Peringkat Kruskal Wallis Skor Histopatologi Hati ... .... 32

2. Kongesti Pembuluh Darah pada Hati ... .... 35

3. Rataan Peringkat Kruskal Wallis Skor Histopatologi Ginjal... .... 37


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Esbiothrin ... .... 9

2. Imiprothrin ... .... 9

3. D-phenothrin ... .... 10

4. Tikus putih ... .... 11

5. Hati ... .... 12

6. Ginjal ... .... 19

7. Kandang Kelompok Tikus dan Rak Penyimpanan Kandang. ... .... 26

8. Rotary Microtome ... .... 26

9. Diagram Rata-rata Berat Badan Kelompok Tikus Kontrol dan Kelompok Tikus Perlakuan ... .... 29

10.Diagram Rataan Skoring Perubahan Histopatologi pada Hati ... .... 33

11.Apoptosis dan degenerasi hidropis pada hepatosit... .... 34

12.Kongesti pembuluh darah pada hati ... .... 36

13.Diagram Rataan Skoring Perubahan Histopatologi pada Ginjal ... .... 37

14.Oedema glomerulus ... .... 38

15.Degenerasi dan apoptosis sel epitel tubulus ... .... 39

16.Dilatasi tubulus ... .... 41

17.Endapan protein dalam lumen tubulus ... .... 42


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 49 2. Tabel 1. Rata-rata berat badan tikus kontrol dan perlakuan ... 51 3. Tabel 2. Kematian tikus perlakuan ... 51 4. Tabel Gejala Klinis Kelompok Dosis 5000 mg/kg bb ... 52 5. Tabel Gejala Klinis Kelompok Dosis 2500 mg/kg bb ... 52 6. Tabel Gejala Klinis Kelompok Dosis 1250 mg/kg bb ... 53 7. Tabel Gejala Klinis Kelompok Dosis 625 mg/kg bb ... 54 8. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 5000 mg/kg bb ... 54 9. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 2500 mg/kg bb ... 55 10. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 1250 mg/kg bb ... 55 11. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 625 mg/kg bb ... 55 12. Tabel Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Hati ... 55 13. Tabel Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Ginjal ... 56


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah hama permukiman menurut Sigit et al (2006) semakin banyak dirasakan di masyarakat. Hal ini dapat mengganggu kenyamanan penduduk di dalamnya. Kondisi demikian menuntut penggunaan senyawa kimia yaitu pestisida untuk pengendalian hama tersebut. Pestisida merupakan suatu bahan atau campurannya yang berfungsi sebagai pembunuh, pencegah, pemberantas, repellan atau pengusir beberapa hama (organisme pengganggu) diantaranya serangga, tikus atau hewan lain (Anonimous 2008a; Triharso 1994). Dari banyaknya jenis jasad pengganggu, Wudianto (2002) mengklasifikasikan pestisida menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan yaitu: insektisida, fungisida, bakterisida, nematisida, akarisida, rodentisida, moluskisida, herbisida, dan pestisida lain (pisisida, algisida, avisida, larvisida, pedukulisida, silvisida, ovisida, piscisida, termisida, arborisida dan predasida).

Menurut Sigit et al (2006) insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga dan –cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga hama. Jenis-jenis insektisida yaitu: Hidrokarbon klorin, Organophosphor, Karbamat, Phenotiazine, Pyrethroid dan turunan racun tanaman.

Pyrethroid merupakan golongan insektisida yang besar selain organofosfat dan karbamat. Pyrethroid banyak digunakan untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman sayuran, hias, pangan dan perkebunan serta untuk keperluan rumah tangga dan gudang (Dadang 2007). Pada penelitian ini digunakan bahan aktif esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin yang termasuk golongan pyrethroid.

Esbiothrin adalah insektisida berspektrum luas (Anonimous 2008g). Esbiothrin merupakan pirethroid sintetik dengan aktivitas yang cepat untuk memberantas hama insekta pada rumah tangga, komersial dan area industri. Zat ini digunakan untuk memberantas nyamuk, lalat dan rayap (Anonimous 2007b; 2008g).

Imiprothrin merupakan pyrethroid sintetik. Bentuknya cair dan berwarna kuning. Sifat kimia zat ini stabil serta tidak ditemukan sensitisasi pada kulit. Efek


(24)

yang ditimbulkan apabila keracunan imiprothrin antara lain hipersensitivitas, fibrilasi otot, tremor, ataksia, pernapasan tidak teratur/cepat, excess salivasi, urinasi, nonkarsinogenik dan nonmutagenik (Anonimous 2008c).

Phenothrin menurut Anonimous (2008c;2008b) termasuk ke dalam grup kimia pyrethroid. Phenothrin merupakan insektisida nonsistemik melalui racun kontak dan racun perut. Zat ini cepat didegradasi di lingkungan dan sedikit resiko pada manusia jika digunakan dalam konsentrasi rendah untuk mengontrol nyamuk (Anonimous 2008e).

Penggunaan semua golongan pestisida ini menyangkut tiga hal penting yaitu keefektifan senyawa kimia itu, teknologi aplikasi, dan bahaya atau keracunan yang mungkin dihadapi oleh manusia di sekitarnya (Sigit 2006). Syarat pestisida yang ideal menurut Triharso (1994) dan Wudianto (2002) adalah mempunyai toksisitas oral dan dermal yang rendah, tidak persisten, tidak meninggalkan residu, tidak berakumulasi, efektif terhadap organisme sasaran, tidak mematikan organisme bukan sasaran, mempunyai spektrum sempit, dan tidak menimbulkan resistensi pada organisme sasaran.

Penggunaan pestisida pada lingkungan dapat menimbulkan dampak ganda yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah terberantasnya organisme sasaran sedangkan dampak negatifnya adalah terjadi keracunan pada organisme bukan sasaran. Penggunaan pestisida ini menurut Prasojo (1984) memang diakui secara luas mampu menumpas hama dan penyakit tanaman secara telak. Namun sangat disayangkan pestisida dapat membawa akibat ikutan yang merugikan antara lain pencemaran lingkungan, mematikan binatang-binatang bukan sasaran bahkan mematikan manusia.

Dalam upaya mengurangi dampak negatif yang muncul maka pestisida harus lulus uji toksisitas. Untuk menilai potensi bahaya pestisida terhadap manusia digunakan uji toksisitas pada hewan coba yang sesuai misalnya tikus. Toksisitas yang digunakan dapat bersifat akut, sub akut atau kronik (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).


(25)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berat badan, mortalitas, dan gejala klinis tikus selama perlakuan, serta patologi anatomi dan gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus putih (Rattus rattus) galur Sprague Dawley yang diberi formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) dengan dosis bertingkat pada uji toksisitas akut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang berat badan, mortalitas, dan gejala klinis tikus selama perlakuan, serta patologi anatomi dan gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus putih (Rattus rattus) galur Sprague Dawley yang diberi formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) dengan dosis bertingkat pada uji toksisitas akut.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Uji Toksisitas

Jalan masuk pestisida ke dalam tubuh adalah melalui kulit, mata, paru-paru dan saluran pencernaan. Adanya perbedaan proses penyerapan memberikan dampak yang berbeda pula. Racun yang masuk melalui saluran pencernaan akan langsung dibawa ke hati dan racun tersebut akan mengalami biotransformasi oleh enzim yang ada di dalam hati. Racun yang masuk melalui kulit, mata dan paru-paru langsung masuk ke dalam darah dan dibawa ke organ-organ lainnya di dalam tubuh sehingga racun akan sedikit atau hampir mengalami penguraian (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).

Uji toksisitas pestisida pada tikus putih merupakan salah satu upaya untuk mengetahui daya racun dan efek sampingnya terhadap manusia. Pengujian secara biologi bila dibandingkan dengan pengujian secara kimia dan fisika lebih memberikan gambaran tentang reaksi makhluk hidup terhadap bahan yang diuji tersebut. Gambaran yang diperoleh dapat berupa informasi perilaku, jumlah kematian yang terjadi, abnormalitas fungsi organ tubuh atau gangguan fisiologis lainnya. Informasi ini secara analogi dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pestisida beracun terhadap manusia (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004). Menurut Harmita & Radji (2005) pengujian toksisitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Uji toksisitas akut

Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronik)

Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan yaitu tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek misalnya selama 14 dan 28 hari.


(27)

Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hewan, misal 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat kecuali untuk percobaan karsinogenik.

Uji Toksisitas Akut

Sebagian besar penelitian ini dirancang untuk menentukan LD50 obat. LD50

obat didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba. Penelitian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksis spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Harmita & Radji 2005).

Uji Toksisitas Akut Oral

Pengujian secara oral bertujuan untuk mengetahui daya racun suatu pestisida apabila langsung masuk ke dalam saluran cerna. Pengujian ini dilakukan karena keracunan yang paling umum pada manusia adalah melalui makanan dan minuman. Jumlah yang diberikan tidak lebih dari 2-3% berat tubuh (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004). Secara umum obat harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan. Bila akan diberikan peroral, zat/cairan tersebut harus diberikan dengan sonde (Harmita & Radji 2005). Pemberian zat uji dapat berupa makanan, kapsul atau larutan/cairan (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).

Intoksikasi (Keracunan)

Keracunan menurut Koeman (1987) berarti bahwa suatu zat kimia telah menganggu proses fisiologis, sehingga kondisi organisme tersebut tidak lagi dalam keadaan sehat. Sifat dan intensitas gejala penyakitnya tergantung pada antara lain jenis racunnya, jumlah yang masuk ke dalam tubuh, lamanya keracunan, kondisi tubuh dan kebiasaan organisme tersebut. Hati dan ginjal merupakan organ yang rentan terhadap pengaruh cukup banyak zat kimia.


(28)

Kerentanan ini terjadi karena erat fungsinya dalam proses sirkulasi darah. Hati dapat mudah berhubungan dengan zat yang diserap dari saluran pencernaan dan ginjal melalui vena porta.

Pestisida

Pestisida merupakan suatu bahan atau campurannya yang berfungsi sebagai pembunuh, pencegah, pemberantas, repellan atau pengusir beberapa hama (organisme pengganggu) diantaranya serangga, tikus atau hewan lain (Anonimous 2008a; Triharso 1994). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1973 dalam Prasojo (1984) dan Triharso (1994) istilah pestisida berarti semua bahan kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

1.memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian

2.memberantas rerumputan

3.mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan 4.mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman

5.memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan atau ternak

6.memberantas atau mencegah hama-hama air

7.memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan

8.memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Syarat pestisida yang ideal menurut Triharso (1994) dan Wudianto (2002) adalah mempunyai toksisitas oral dan dermal yang rendah, tidak persisten, tidak meninggalkan residu, tidak berakumulasi, efektif terhadap organisme sasaran, tidak mematikan organisme bukan sasaran, mempunyai spektrum sempit, dan tidak menimbulkan resistensi pada organisme sasaran. Dari banyaknya jenis jasad pengganggu, Wudianto (2002) mengklasifikasikan pestisida menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan yaitu: insektisida,


(29)

fungisida, bakterisida, nematisida, akarisida, rodentisida, moluskisida, herbisida, dan pestisida lain (pisisida, algisida, avisida, larvisida, pedukulisida, silvisida, ovisida, piscisida, termisida, arborisida dan predasida)

Insektisida

Menurut Sigit et al (2006) insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga dan –cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga hama. Menurut Wikipedia (2008a) insektisida merupakan pestisida yang digunakan untuk memberantas insekta dalam semua bentuk perkembangan termasuk telur dan larva. Insektisida digunakan untuk pertanian, obat, industri, dan kebutuhan rumah tangga. Jenis-jenis insektisida yaitu: Hidrokarbon klorin, Organophosphor, Karbamat, Phenotiazine, Pyrethroid dan turunan racun tanaman. Mekanisme kerja insektisida menurut Vittum (2008) adalah memblok sistem saraf dari serangga target. Sel saraf pada semua hewan menerima impuls dari titik stimulus kemudian disampaikan ke sistem saraf pusat (otak) atau dari sistem saraf ke otot untuk mensignal respon.

Pyrethroid

Pyrethroid merupakan golongan insektisida yang besar selain organofosfat dan karbamat (Dadang 2007). Pyrethroid diketahui sebagai insektisida organik tertua, yang diekstrak dari bunga Chrysantemum. Termasuk dalam golongan pyrethroid antara lain allethrin, barthrin, cypermethrin, deltamethrin, dimethrin, fenvalerat, permethrin, phenothrin, pyrethrin, resmethrin, tetramethrin dan derivat pyrethroid lainnya (Peterle 2001). Pyrethroid cepat dimetabolisme dan toksisitasnya rendah terhadap burung dan mamalia (Peterle 2001; Dadang 2007). Zat ini cepat diekskresikan pada burung dan mamalia daripada insekta dan ikan. Dalam Dadang (2007) disebutkan bahwa pyrethroid banyak digunakan untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman sayuran, hias, pangan dan perkebunan serta untuk keperluan rumah tangga dan gudang.

Pyrethroid adalah racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf (Sigit et al 2006) dan menunjukkan pengaruh knock down (kelumpuhan) yang cepat


(30)

pada serangga sehingga menimbulkan kelumpuhan dan berakhir dengan kematian (Dadang 2007). Pyrethroid terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodiumchannel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Pyrethroid terikat pada sodium channel (saluran natrium) ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada organisme yang keracunan (Sigit et al 2006).

Semua senyawa pyrethroid menurut Dadang (2007) adalah lipofilik dengan kelarutan yang teramat sangat rendah dalam air, titik didihnya tinggi, cairannya pekat dengan tekanan uap rendah. Hanya beberapa senyawa yang mempunyai tekanan uap agak tinggi seperti aletrin, protrin, piretrin I, tetapi tidak piretrin II. Sifat-sifat ini kemungkinan yang membuat pyrethroid bekerja cepat pada serangga, namun demikian senyawa ini efektif sebagai racun kontak tetapi kurang efektif sebagai racun perut.

Esbiothrin

Esbiothrin adalah insektisida berspektrum luas (Anonimous 2008g). Esbiothrin merupakan pirethroid sintetik dengan aktivitas yang cepat untuk memberantas hama insekta pada rumah tangga, komersial dan area industri. Zat ini digunakan untuk memberantas nyamuk, lalat dan rayap (Anonimous 2008g; WHO 2007). Nama dagang dan nama lain esbiothrin antara lain allethrin termasuk Alleviate, Pynamin, d-allethrin, d-cisallethrin, Bioallethrin, Pyresin, Pyrexcel, Pyrocide dan trans-allethrin (Anonimous 2008l). Nama kimia: (R,S)-3-allyl-2-methyl-4-oxocyclopent-2-enyl-(1R,3R)-2,2 dimethyl-3- (2-methylprop-1-enyl) cyclopropanecarboxylate. Bentuknya cair dan berwarna kuning/coklat. Esbiothrin larut dalam air tetapi tidak larut pada sebagian besar pelarut organik.

Mekanisme kerja esbiothrin adalah nonsistemik dengan aplikasi melalui racun kontak, racun perut dan pernapasan serta sebagai modulator sodium channel (Anonimous 2008f). Toksisitas akut oral, toxic LD50 378-432 mg/kg pada tikus.

Sifat zat ini nonkarsinogenik, nonteratogenik dan nonmutagenik (Anonimous 2008c). Struktur kimia esbiothrin menurut Anonimous (2008d) yaitu:


(31)

Gambar 1. Esbiothrin. Sumber: http://www.be-longgroup.com/ Sanitary-and-Disinfection/EsBiothrin.html, 2008.

Imiprothrin

Menurut Anonimous (2008c) imiprothrin merupakan pyrethroid sintetik. Bentuknya cair dan berwarna kuning. Sifat kimia zat ini stabil serta tidak ditemukan sensitisasi pada kulit. Antidota imiprothrin tidak diketahui. Efek yang ditimbulkan apabila keracunan imiprothrin antara lain hipersensitivitas, fibrilasi otot, tremor, ataksia, pernapasan tidak teratur/cepat, excess salivasi, urinasi, nonkarsinogenik dan nonmutagenik. Toksisitas akut oral LD50 pada tikus betina

sebesar 2400mg/kg dan jantan 4500mg/kg. Nama kimia: campuran 20% 2,5-dioxo-3-prop-2-ynylimidazolidin-1-ylmethyl (1R)-cis -2,2-dimethyl-3-(2-methylprop-1-enyl) cyclopropanecarboxylate dan 80% 2,5-dioxo-3-prop-2-ynylimidazolidin-1-ylmethyl (1R)-trans -2,2-dimethyl-3-(2-methylprop-1-enyl)cyclopropanecarboxylate. Struktur kimia imiprothrin:

Gambar 2. Imiprothrin. Sumber:

http://www.sumitomo-chem.com.au/msds/esbiothrin+d-phenothrin+imiprothrin.pdf, 2008

D-phenothrin D-phenothrin menurut Anonimous (2008c;2008b) termasuk ke dalam grup


(32)

>5000mg/kg pada tikus. Antidota jika keracunan tidak diketahui. Nama kimia: 3-phenoxyl-benzyl-(1RS)-cis, trans chrysanthemate. Struktur kimia zat ini adalah:

Gambar 3. D-phenothrin. Sumber:

http://www.sumitomo-chem.com.au/msds/esbiothrin + d-phenothrin + imiprothrin.pdf, 2008 Phenothrin merupakan insektisida nonsistemik melalui racun kontak dan racun perut. Zat ini cepat didegradasi di lingkungan dan sedikit resiko pada manusia jika digunakan dalam konsentrasi rendah untuk mengontrol nyamuk. Efek umum yang dapat ditimbulkan oleh d-phenothrin adalah gangguan pada sistem saraf. Gejala pada saraf ini merupakan efek dari toksisitas akut. Efek pada rodensia dapat berupa tremor dan salivasi (ATSDR 2005).

Tikus

Tikus mempunyai sifat tenang, mudah ditangani, tidak begitu fotofobik seperti halnya mencit, aktifitas tidak demikian terganggu dengan adanya manusia, bila diperlakukan kasar tikus menjadi galak (Harmita & Radji 2005). Tikus merupakan hewan nokturnal yaitu beraktivitas di malam hari. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith 1988). Klasifikasi tikus putih galur Sprague Dawley (Wikipedia 2008b) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodensia Famili : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus rattus


(33)

Gambar 4. Tikus Putih Galur Sprague Dawley. Sumber: http: //www.scanbur.eu/products/Lab_animals_bkl_SD.htm, 2008. Hati

Hati merupakan sebuah organ dalam vertebrata. Organ ini memiliki peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Hati juga memproduksi empedu, yang penting dalam pencernaan (Wikipedia 2008b). Dalam Guyton & Hall (1997) juga disebutkan bahwa fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan.

Anatomi, Fisiologi dan Histologi Hati

Dalam Himawan (1979) disebutkan bahwa hati merupakan alat tubuh terbesar. Hati terdiri atas lobus kanan, lobus kiri, lobus caudatus, dan lobus quadratus. Lobus kanan ialah terbesar kira-kira 3/5 bagian, lobus kiri 3/10 bagian dan sisanya 1/10 bagian ditempati lobus caudatus dan quadratus. Hati diliputi oleh simpai yang disebut simpai Glisson. Simpai ini berpadu dengan jaringan intrahepatik. Hati mendapat vaskularisasi darah dari vena porta dan arteri hepatika. Darah disalurkan ke luar hati melalui vena hepatika. Empedu disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intra dan ekstrahepatik. Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu berkumpul dalam daerah yang disebut porta hepatis.


(34)

Gambar 5. Hati. Sumber: http://www.en.Wikipedia.org/wiki/tikus+hati+ginjal

Menurut Guyton & Hall (1997) lobulus merupakan unit fungsional dasar hati. Lobulus hati terbentuk mengelilingi vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan.

Di dalam septum juga terdapat venula porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah mengalir ke sinusoid hepar gepeng dan bercabang yang terletak di antara lempeng-lempeng hepar dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hepar terus-menerus terpapar dengan darah vena porta. Di dalam septum interlobularis juga ditemukan arteriol hepatika. Arteriol ini menyuplai darah arteri ke jaringan septum di antara lobulus yang berdekatan, dan banyak arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hati (Guyton & Hall 1997).

Selain sel-sel hepar, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain yaitu : (1) sel endotel khusus dan (2) sel Kupffer besar, yang merupakan makrofag jaringan (juga disebut sel retikuloendotel), yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang sangat besar. Di bawah lapisan ini terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang Disse. Jutaan ruang Disse menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum interlobularis (Guyton&Hall 1997) .


(35)

Dalam Himawan (1979) disebutkan terdapat 3 jenis jaringan yang penting dalam organ hati yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan susunan saluran empedu. Histologi hati terdiri atas lobulus yaitu lobulus anatomik dan lobulus fungsional. Lobulus fungsional terdiri atas segitiga Kiernan sebagai titik tengah dan vena sentralis sebagai batas luar. Lobulus anatomik terdiri atas vena sentralis sebagai titik tengah yang mengalirkan darah ke vena sublobularis dan kemudian ke vena hepática; parenkim hati yang terdiri atas selapis sel hati dan kanal empedu kecil-kecil; sinusoid yang berlapiskan sel Kupffer (susunan retikuloendotel); ruang Disse yang terletak antara sel hati dan sinusoid; dan segitiga Kiernan atau daerah portal sebagai batas luar lobulus. Daerah portal ini terdiri atas jaringan ikat lanjutan simpai Glisson, cabang vena porta, cabang arteri hepatika, saluran empedu intrahepatik (duktus), pembulih limfe, saraf dan lain-lain.

Menurut Bevelander (1979) dua macam sel utama yang perlu diamati pada hati adalah: (1) sel parenkim (hepatosit) yang membentuk plat-plat tipis atau lembaran-lembaran yang terpisah oleh sinusoid-sinusoid, dan (2) sel retikuloendotelial yang fagositosis, yang membentuk selaput-selaput sinusoid. Hepatosit terlibat dalam sintesa komponen-komponen sekresi empedu; dalam penyerapan dan penimbunan zat-zat makanan; pembuangan obat-obatan, zat-zat racun, dan senyawa-senyawa yang terbentuk secara alami seperti hormon; dan dalam sintesa dan pelepasan beberapa protein darah seperti albumin, pengangkutan globulin, dan protein-protein yang membekukan darah. Sel-sel fagosit terlibat dalam penyaringan darah sewaktu ia melalui sinusoid. Sel-sel ini mempunyai peranan penting dalam memelihara respon pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi.

Patologi Hati Kelainan kongenital

Beberapa kelainan kongenital yang terjadi pada hati menurut Himawan (1979) antara lain: aplasi, hipoplasi, lobus Riedel (pertumbuhan berlebihan lobus kanan ke bawah) dan kista.


(36)

Trauma

Kondisi trauma dapat terjadi pada waktu lahir, terpukul atau tertabrak mobil. Kelainan trauma ini dapat berupa hematoma subscapularis (bila pecah akan terjadi hemoperitoneum yang dapat menyebabkan kematian) dan robekan (dapat menyebabkan empedu keluar sehingga terjadi peritonitis empedu).

Degenerasi

Degenerasi dalam patologi dapat diartikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel (Spector & Spector 1993). Himawan (1979) menyebutkan bahwa degenerasi dapat terjadi pada sitoplasma atau inti. Degenerasi sitoplasma hati kadang-kadang disertai kelainan inti sekunder, atrofi dan nekrosa sel, sehingga sel menjadi hilang karenanya. Luas degenerasi lebih penting daripada jenisnya bagi gangguan fungsi hati.

Degenerasi pada sitoplasma menurut Himawan (1979) antara lain: 1. degenerasi lemak/ perlemakan (fatty methamorphosis)

Degenerasi lemak/lipidosis merupakan akumulasi lemak netral pada sitoplasma (Cheville 1999). Lemak dalam sel hati menunjukkan adanya ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan luar jaringan hati akibat metabolisme.

2. degenerasi amiloid

Penimbunan amiloid, suatu kompleks protein-karbohidrat, tampak dalam ruang Disse, yaitu antara sel hati dan sinusoid dan kadang-kadang pada dinding pembuluh darah.

3. degenerasi berbutir (cloudy swelling)

Degenerasi ini sebagai kelainan postmortem akibat kerusakan hati pada saat sebelum mati, misalnya karena infeksi, intoksikasi dan toxaemia gravidarum. Selain itu dapat juga karena mitokondria bengkak, kadar protein atau asam amino dalam sitoplasma yang bertambah, imbibisi sel oleh protein serum dan hidrasi ion natrium akibat permeabilitas dinding sel hati yang terganggu. Sel hati bengkak dengan sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein, sehungga dinamakan juga ”albuminous degeneration”.


(37)

Sitoplasma tampak lebih gelap dan sedikit bervakuol daripada biasa akibat glikogen yang berkurang.

4. degenerasi hidropik

Beberapa sel menunjukkan rarefaksi sitoplasma, biasanya dengan inti yang terletak di tengah dan batas sel yang jelas. Sitoplasma bervakuol tetapi tidak mengandung lemak atau glikogen. Zat asidofilik sebagai gambaran halus hanya tampak sedikit saja dan kadang-kadang juga tidak. Dinamakan degenerasi hidropik karena zat yang mengisi sitoplasma menyerupai cairan. Degenerasi hidropik mendahului nekrosa dan masih reversibel.

5. degenerasi hialin

Bergumpalnya sitoplasma yang disertai reaksi asidofilik protein ialah tingkat lanjut degenerasi asidofilik. Gumpalan sitoplasma asidofilik dinamakan hialinisasi dan tampak pada beberapa penyakit, bergantung pada cairan fiksasinya.

Hialinisasi dalam Himawan (1979) dapat berupa: a. Benda Mallory (Mallory bodies)

Tampak di sekitar inti sebagai benda merah, bercabang dan mungkin berasal dari butir-butir yang berpadu, misalnya pada perlemakan dan degenerasi hidropik sitoplasma. Kelainan ini ditemukan pada alkoholisme dan penyakit gizi.

b. Benda asidofilik atau eosinofilik

ialah asidofili homogen yang mulai pada suatu bagian sitoplasma dan kemudian mengenai seluruh sitoplasma. Mula-mula inti menjadi piknotik dan kemudian hilang. Bersamaan dengan ini sel dikeluarkan dari lapisan sel hati ke dalam ruang jaringan sebagai benda bundar yang sangat refraktil. Benda asidofilik yang dapat mengandung pigmen tengguli dan vakuol lemak dilukiskan oleh Councillman pada Yellow fever dan dinamakan Councillman bodies. Jisim seperti ini tetapi tidak berlemak atau berpigmen, juga dianggap khas untuk penyakit hepatitis virus, terutama pada tingkat mendadak. Kelainan itu dapat juga ditemukan pada mononucleosis infectiosa. Koagulasi asidofilik yang merata itu, yang dianggap sebagai tempat bersarangnya virus ternyata tidak khas untuk


(38)

penyakit virus, karena dapat juga ditemukan setelah luka bakar yang diobati dengan asam tanat dan pada intoksikasi dengan brombenzen.

6. penimbunan glikogen

Dalam keadaan normal glikogen ditemukan dalam sitoplasma sel hati manusia atau hewan yang bergizi baik.

7. atrofi

Atrofi setempat disebabkan desakan dari luar misalnya tumor. Sedangkan atrofi umum pada sel hati terjadi pada penyakit gizi, penyakit menahun dan orang tua. Bila disertai pigmen lipofuscin maka dinamakan Brown atrophy.

Dalam Himawan (1979) disebutkan bahwa degenerasi pada inti antara lain:

1. vakuolisasi

Keadaan ini disebabkan oleh perubahan keseimbangan cairan dalam sel hati akibat bertambahnya cairan. Kelainan ini reversibel dan tidak bergantung kepada banyaknya glikogen intranukleus. Gejala vakuolisasi tidak dapat dihubungkan dengan suatu penyakit tertentu secara statistik.

2. inclusion bodies

Inti sel hati kadang-kadang mengandung inclusion bodies eosinofilik, yang berbatas jelas dari sekitarnya yang basofilik. Dapat ditemukan pada keracunan timah hitam dan pada penyakit virus yang tafsirannya tidak diketahui dengan pasti. Inclusion bodies dapat dibedakan dengan inclusion glikogen karena tidak memberikan reaksi glikogen.

3. piknosis (inti tampak lebih padat, warnanya gelap hitam), karioreksis (inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek), karyolisis (inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat, tidak nyata).

Nekrosa

Dalam Himawan (1979) disebutkan ciri-ciri nekrosa ialah tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang, kolaps atau bendungan rangka hati dengan eritrosit. Kelainan itu ialah tingkat lanjut degenerasi dan irreversibel. Sebab nekrosa sel hati ialah rusaknya susunan enzim sel. Tampak atau tidaknya sisa sel hati bergantung pada lamanya dan jenis nekrosa itu, misalnya pada kebanyakan


(39)

kerusakan kimia, sel hati mati perlahan-lahan dan menarik leukosit. Sedangkan pada penyakit virus, sel biasanya hancur terserak menjadi bagian kecil-kecil yang menarik histiosit. Rangka retikulin dan kolagen tidak tidak menjadi nekrotik kecuali ada iskhemia. Lokasi nekrosa hati yang berbeda-beda tidak dapat diterangkan dengan pasti. Nekrosa dapat dibagi menurut lokalisasi dan luasnya sebagai berikut:

1. nekrosa fokal

Nekrosa fokal merupakan kematian sebuah sel atau sekelompok sel kecil di mana saja dalam lobulus. Nekrosa fokal biasa digunakan untuk sarang berbatas jelas dari sel hati yang nekrotik atau hilang. Leukosit dan histiosit dengan proliferasi sel Kupffer dapat merupakan tanda satu-satunya kelainan itu. Bagian sel hati kecil-kecil dan bakteri kadang-kadang dapat ditemukan. Ukuran sel nekrosa fokal berbeda-beda dari hanya satu sel sampai kepada daerah yang garis tengahnya 1 milimeter. Yang lebih besar biasanya terletak dalam intermediary zone lobulus. Patogenesanya ialah kematian sel setempat akibat toksin bakteri atau penyumbatan sinusoid oleh proliferasi sel Kupffer atau trombus fibrin. Nekrosa fokal atau sebuah sel terjadinya cepat. Reaksi sel bergantung kepada jenis kerusakan

2. nekrosa zonal • nekrosa sentral • nekrosa midzonal • nekrosa tepi

Umumnya nekrosa tepi atau periportal timbul bersamaan dan mungkin disebabkan oleh radang tepi lobulus dan susunan portal.

3. nekrosa masif dan submasif

Nekrosa submasif ditemukan pada nekrosa sentral yang sering menjalar dengan pembentukan jembatan jaringan nekrotik antara lobus yang berdampingan. Nekrosa itu dapat mengenai satu atau beberapa lobulus dengan pulau-pulau jaringan hati normal di dalamnya. Nekrosa masif ialah hilangnya seluruh sel hati dalam lobulus.


(40)

Hipoksia pada nekrosa zonal, masif atau submasif biasanya tidak merusak rangka retikulin, sel Kupffer atau sel mesenkim lainnya. Sel-sel itu hanya menjadi nekrotik. Daerah nekrotik yang tidak menunjukkan inti sering dikelilingi leukosit.

5. kerusakan akibat obat-obatan (drug-induced injuries) Radang (Hepatitis)

Beberapa jenis hepatitis antara lain hepatitis virus jenis fatal (acute yellow atrophy, subacute red atrophy, fulminant hepatitis), Hepatitis virus akut tidak fatal (acute nonfatal viral hepatitis), hepatitis virus ringan (subsiding nonfatal viral hepatitis), hepatitis virus persisten (persistent nonfatal viral hepatitis) dan hepatitis cholestatik (cholangiolitik, cholangitik/pericholangitik).

Toksisitas Hati

Hati sering menjadi organ sasaran karena beberapa hal. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal ini membuat sebagian besar toksikan menjadi mudah diekskresikan (Lu 1995).

Ginjal

Anatomi dan Histologi Ginjal

Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk seperti kacang (Wikipedia 2008b; Frandson 1992)dan unilobular (Banks1986). Menurut Banks (1986) ginjal tersusun atas korteks dan medula. Medula merupakan bagian ginjal yang persis mengelilingi pelvis renalis (Frandson 1992). Medula tampak bergaris-garis karena adanya tubulus-tubulus pengumpil yang tersusun secara radial. Di dalam medula juga terdapat loop Henle. Korteks yang terletak antara kapsul jaringan ikat dan medulla tampak seperti granula karena banyaknya glomeruli.


(41)

Gambar 6. Ginjal. Sumber: http://biomed.brown.edu/Courses/BI108/ BI108_2001_Groups/ WAK/renalphys/renalanatomy.html, 2008.

Ginjal tersusun atas nefron-nefron. Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan tubulus renalis. Tubulus renalis terdiri atas 3 bagian yaitu tubulus contortus proximalis, ansa henle (descendens dan ascendens) serta tubulus contortus distalis (Himawan 1979).

Menurut Bevelander (1979) glomerulus adalah bagian nefron yang berfungsi untuk produksi suatu ultrafiltrat dari plasma. Glomerulus tersusun dari suatu anyaman kapiler yang dilapisi oleh sel endotel, suatu daerah sentral sel-sel mesangial (juga disebut daerah sentrolobular, daerah tangkai, atau daerah interkapiler) dan lapisan-lapisan dari kapsul Bowman dengan membran dasar yang bersangkutan.

Pada irisan jaringan glomerulus terlihat sebagai benda lonjong atau bulat yang terdiri dari sekumpulan kapiler yang mengandung banyak sel darah merah dan dibatasi oleh ruangan kecil. Ruang itu adalah rongga dari kapsul Bowman dan terbentuk oleh invaginasi kapiler menjadi suatu pelebaran ujung nefron. Jadi kapsul Bowman adalah suatu struktur epitel yang berlapis dua yang tersusun dari epitel pipih dengan nukleus menggembung ke dalam ruang (Bevelander 1979).

Nefron, atas dasar anatominya terdiri dari empat bagian yaitu kapsul Bowman, tubula proksimal dan tubula distal. Kapsula Bowman terdiri atas lapisan parietal yaitu epitel pipih dengan nukleus-nukleus yang mencolok yang menonjol ke dalam ruang kapiler dan epitel visceral membentuk lembaran tipis di atas


(42)

lekuk-lekuk kapiler glomerulus. Sel-sel yang membentuk epitel visceral merupakan sel bercabang yang disebut podosit. Endotel kapiler terdiri dari sel-sel pipih tipis dengan sekumpulan sitoplasma di daerah nukleus. Komponen lain dari glomerulus terdiri atas sel-sel dan matriks-matriks interseluler yang menduduki tempat antara lekuk-lekuk kapiler, yang dikenal dengan mesangium. Sel-sel mesangium (interkapiler) terletak pada percabangan lekuk-lekuk kapiler tadi (Bevelander 1979).

Menurut Banks (1986) tubulus proksimal ginjal merupakan saluran yang terpanjang, terluas dan merupakan segmen yang paling berkembang dari nefron. Tubulus proksimal terdiri atas bagian convoluta dan bagian recta. Fungsi tubulus proksimal convoluta sangat penting dan segmen ini mudah terinfeksi oleh penyakit dan toksin/racun. Tubulus ini dikelilingi oleh sel kubus sebaris dengan brush border yang berkembang baik. Tubulus distalis convoluta berukuran pendek dan tidak seluas tubulus proksimal. Sel pada tubulus ini kurang asidofilik daripada tubulus proksimal. Nukleus sel ini terletak di tengah.

Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ penting dalam pengaturan asam basa dan keseimbangan cairan tubuh (Bevelander 1979). Dalam Frandson (1992) juga disebutkan bahwa ginjal merupakan organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur berguna yang kembali dari filtrat, yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk buangan plasma. Menurut Ressang (1984) pada umumnya fungsi ginjal ialah untuk mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan: 1. mengeluarkan dari darah air yang berlebihan

2. mengeluarkan sisa-sisa metabolisme sebagai ureum, asam urin, alantoin, ammonia, asam hipurat, metabolit-metabolit triptofan

3. mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan 4. mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah, misalnya

pigmen-pigmen darah atau pigmen-pigmen-pigmen-pigmen yang terbentuk di dalam badan.

Dalam Himawan (1979) disebutkan bahwa glomerulus berfungsi sebagai filter/penyaring, dan ultrafiltrat bebas protein berkumpul dalam ruang glomerulus


(43)

dan mengalir ke dalam tubulus. Tubulus contortus proximalis berfungsi dalam reabsorpsi isosmotik lebih kurang 80% air filtrat, seluruh glukosa dan bagian terbesar natrium (87%), klorida dan vitamin C. Epitel tubulus memindahkan bahan yang diresorpsi melalui cairan interstitsal ke dalam kapiler peritubulus. Pada bagian ini juga terjadi sekresi kreatinin dan penicillin ke dalam air kemih. Ansa henle mempunyai epitel pipih yang berfungsi sebagai selaput dialisis selektif, meresorpsi air. Dalam tubulus contortus distalis terjadi pembuatan urin menjadi lengkap dengan reabsorpsi fakultatif daripada air, ion-ion natrium, klorida, fosfat dan sulfat, serta sekresi ion ammonium dan hidrogen. Sekresi ion-ion ini mengawetkan basa.

Menurut Frandson (1992) suplai darah bagi ginjal berasal dari arteri renalis yang masuk ke hilus ginjal dan terbagi menjadi beberapa cabang yang ukurannya relatif besar, yaitu arteri-arteri interlobar. Arteri ini menuju ke perifer di antara piramid-piramid hampir mendekati korteks, yang kemudian membelok dan melengkung seperti busur, yang karenanya disebut arteri-arteri arciform atau arcuate.

Tiap-tiap arcuate membuat beberapa percabangan arteri interlobar yang selanjutnya menjadi arteriol-arteriol aferen. Setiap arteriol kemudian bercabang dan menyusun suatu jaringan kapiler yang mengelilingi bagian lainnya dari nefron. Arteriol-arteriol yang meniggalkan glomeruli di dekat medulla membuat cabang-cabang dan langsung menuju ke medulla sebagai arteri recti, dimana kemudian membentuk jaringan-jaringan kapiler di sekitar tubulus pengumpul dan loop Henle. Vena arcuate mengalirkan balik darah dari korteks dan medulla melewati medulla sebagai vena interlobar dan masuk ke vena renalis. Saluran limfa mengalirkan cairan dari ginjal ke nod limfa.

Patologi Ginjal

Perubahan-perubahan pada ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, pada tubulus, pada interstisium dan pembuluh darah. Perubahan-perubahan pada pembuluh darah lebih banyak ditemukan pada manusia daripada hewan. Di dalam glomerulus sering ditemukan radang. Tubulus sering memperlihatkan tanda-tanda degenerasi. Interstisium sering mengalami radang dan pertambahan jaringan ikat.


(44)

Pada dinding pembuluh darah sering terjadi perubahan-perubahan proliferasi (Ressang 1984).

Dalam ginjal cepat terjadi autolisis sesudah hewan mati. Hal ini terutama ditemukan pada epitel tubuli contorti yang mikroskopik sangat menyerupai tanda-tanda degenerasi. Karena itu harus diketahui berapa lama sesudah mati hewan diseksi (Ressang 1984)

Kelainan Bawaan

Beberapa kelainan bawaan pada ginjal antara lain: kelainan jumlah jaringan ginjal. Kelainan ini dibagi menjadi 2 yaitu defisiensi parenkim ginjal definitif (agenesis ginjal unilateral, bilateral dan hipoplasi) dan jaringan ginjal berlebihan (”supernumerary kidney”). Kelaianan bawaan yang kedua adalah kelainan letak/posisi, bentuk dan orientasi antaralain: ectopia renis (simplex dan menyilang/crossed), perpaduan ginjal (renal fusion), kelainan perputaran/rotasi dan lobulasi fetal yang persisten. Kelainan bawaan yang ketiga adalah kelainan diferensiasi antaralain displasi ginjal (total, segmental, fokal dan disertai obstruksi kongenital), penyakit ginjal polikistik (jenis adultum dan infantil), penyakit kistik pada medula (ginjal bunga karang/sponge kidney dan uremia medullary cystic disease), kista ginjal simpleks, kista ginjal multilokuler dan berbagai kista yang berasal ginjal.

Penyakit pada Glomerulus

Beberapa penyakit primer yang terutama menyerang glomerulus dapat dibagi menjadi lima golongan besar yaitu glomerulonefritis proliferatif, kelainan minimal, nefropati membranosa (epimembranosa atau ekstramembranosa), glomerulosklerosis fokal dan glomerulonefritis menahun (kronik).

Sindrom nefrotik

Sindrom ini bukan suatu penyakit tersendiri melainkan merupakan kompleks gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciri-ciri sebagai berikut: oedema umum, proteinuria (termasuk albuminuria), hipoproteinemia (khususnya hipoalbuminemia), hiperlipidemia (khususnya hiperkolesterolemia) dan lipiduria.

Penyakit pada Tubulus Nefrosis


(45)

Nefrosis merupakan kelainan ginjal degeneratif yang terutama mengenai tubulus. Klasifikasi nefrosis yaitu sebagai berikut:

1. Nefrosis akut (acute tubular necrosis) a. Nefrosis toksik

- nefrosis kimiawi - nefrosis cholemik - nefrosis osmotik - nefrosis vakuoler b. Nefrosis hipoksik 2. Nefrosis kronik

a. nefrosis myeloma b. nefrosis melanurik

Sindrom de Toni-Debre-Fanconi (sindrom Fanconi)

Istilah ini digunakan untuk gangguan pada fungsi tubulus contortus proksimalis oleh berbagai sebab. Gejala-gejalanya adalah rachitis atau osteomalasia yang resisten terhadap pemberian vitamin D dalam dosis konvensional, glikosuria, aminoasiduria dan hiperphosphaturia, biasanya juga disertai asidosis dan hipokalemia. Kadang-kadang juga diserti timbunan cystine pada berbagai alat tubuh termasuk ginjal (cystinosis). Kelainan ini mungkin akibat gangguan reabsorpsi tubuler dan menyebabkan gangguan metabolisme kalsium dan elektrolit. Gambaran ini dalam klinik dikenal sebagai “renal tubular acidosis”. Dikenal dua bentuk yaitu pada bayi dan anak (akut dan kronis) dan pada orang dewasa.

Penyakit pada Interstisium

Dikenal dua bentuk reaksi radang interstisium pada ginjal yaitu: nefritis interstisialis (reaksi radang hampir seluruhnya terbatas pada jaringan interstisial), yang kedua pyelonefritis (menunjukkan reaksi radang yang mulai pada interstisium, akan tetapi cepat menyebar dan juga mengenai tubulus, glomerulus dan pembuluh darah.


(46)

Penyakit pada Pembuluh Darah

Pembuluh darah ikut terserang pada hampir semua jenis penyakit ginjal. Beberapa contohnya adalah nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, ginjal arteriosklerotik senilis, infark ginjal dan nekrosis korteks akut.

Toksisitas Ginjal

Fungsi utama ginjal adalah menyingkirkan buangan metabolisme normal dan mengekskresi xenobiotik dan metabolitnya serta fungsi nonsekretori. Urin adalah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Struktur pembentuk ginjal adalah nefron. Nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik, dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan. Beratnya beberapa efek beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total. (Lu 1995).


(47)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Januari 2007 hingga Juni 2008.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang pemeliharaan tikus terbuat dari plastik beserta tutup kawat sebanyak 8 buah, timbangan elektronik, sonde lambung 1ml, alat tulis, kalkulator, alat-alat nekropsi, tissue processor, refrigerator, rotary microtome, tissue cassete, pencetak parafin, glass object + cover dan mikroskop.

Bahan yang digunakan adalah pestisida dengan bahan aktif Esbiothrin 0,12%, Imiprothrin 0,02% dan d-Phenothrin 0,03%, Buffer Neutral Formaline (BNF) 10%, alkohol bertingkat (70-100%), alkohol absolut, xylol, parafin, pewarna Mayer’s Hematoxylin dan Eosin, perekat Permount untuk mounting dan diethyl eter untuk euthanasia. Sedangkan hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih Sprague Dawley sebanyak 25 ekor dengan rincian 5 ekor untuk kontrol dan masing-masing 5 ekor untuk 4 macam perlakuan. Bahan pendukung lain adalah makanan konsentrat dan air minum tikus. Sedangkan bahan untuk pengamatan adalah sediaan histopatologi organ hati dan ginjal.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan uji toksisitas akut oral insektisida berbahan aktif Esbiothrin 0,12%, Imiprothrin 0,02% dan d-Phenothrin 0,03% dengan dosis bertingkat yaitu dosis 5000 mg/kg bb, 2500 mg/kg bb, 1250 mg/kg bb, dan 625 mg/kg bb pada tikus putih Sprague Dawley. Masing-masing dosis dicobakan pada 5 ekor tikus jantan dan disiapkan pula 5 ekor tikus jantan untuk kontrol. Tikus yang digunakan berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200 gram.


(48)

Gambar 7. Kandang Kelompok Tikus dan Rak Penyimpanan Kandang. Sumber: Dokumentasi pribadi

Tikus diadaptasikan dalam laboratorium selama satu minggu. Sebelum diberi perlakuan tikus dipuasakan selama 24 jam. Kelompok kontrol dicekok akuades sebanyak 1 ml. Pemberian hanya 1 kali. Formulasi insektisida diberikan kepada 4 kelompok perlakuan secara oral sesuai dosis menggunakan sonde lambung sebanyak 1 ml. Setelah diberi perlakuan dilakukan pengamatan perubahan perilaku dan reaksi fisiologis setiap 24 jam sekali selama 14 hari. Pengamatan berupa penimbangan berat badan, penghitungan jumlah tikus yang mati dan gejala klinis yang tampak. Pada hari ke-14 semua tikus yang masih hidup dieuthanasia dengan eter dan dilakukan pengamatan patologi anatomi terhadap organ ginjal dan hati.

Gambar 8. Rotary microtome. Sumber: Dokumentasi pribadi

Tahap berikutnya adalah pembuatan sediaan histopatologi yang tercantum pada Lampiran 1 dan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10 hingga 40x10. Berdasarkan pengamatan histopatologi


(49)

tersebut dibuat skor keadaan organ tiap perlakuan dosis bertingkat pada uji toksisitas akut oral.

Pengamatan histopatologi hati dan ginjal dilakukan dengan skoring berdasarkan perubahan yang terjadi. Penilaian terhadap hati dan ginjal adalah sebagai berikut:

a. Peubah pengamatan histopatologi: • Hati

0= normal 1= degenerasi 2= apoptosis • Ginjal - Glomerulus

0= normal 1= oedema - Tubulus

0= normal 1= degenerasi 2= apoptosis 3= endapan protein 4= dilatasi

b. Skoring derajat keparahan kongesti pembuluh darah hati dan ginjal

Normal : Kongesti < 10%

Ringan : Kongesti 10%-25%

Sedang : Kongesti 25%-50%

Berat : Kongesti >50%

Persentase diperoleh dari = jumlah pembuluh darah kongesti x 100% jumlah total pembuluh darah


(50)

Analisa Data

Hasil pengamatan berat badan, gejala klinis, kematian, patologi anatomi dan hasil evaluasi histopatologi berupa kongesti pembuluh darah disajikan secara deskriptif. Hasil evaluasi histopatologi dianalisis menggunakan metode statistik nonparametrik Kruskal Wallis untuk melihat pengaruh masing-masing perlakuan dan dilakukan pada batas kepercayaan 95%.


(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.Berat Badan dan Kematian

Rata-rata hasil penimbangan berat badan tikus kontrol dan perlakuan yang diberi formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) pada uji toksisitas akut selama 14 hari terdapat pada Gambar 9. Data secara rinci tercantum pada Lampiran 2. Pada kelompok tikus dosis 5000 mg/kg bb rata-rata berat badan selama tiga hari pertama menurun terus hingga pada hari keempatnya tidak ada lagi yang hidup. Penurunan berat badan ini diduga karena adanya gangguan pada saluran pencernaan akibat adanya pyrethroid yang masuk ke dalam tubuh. Saluran pencernaan merupakan salah satu jalan terjadinya penyerapan zat- zat toksik selain kulit, mata dan paru paru. Bahan kimia dapat merusak permukaan internal saluran pencernaan (Manahan 2003) sehingga mengganggu proses penyerapan makanan.

Pada kelompok tikus dosis 2500 mg/kg bb; 1250 mg/kg bb dan 625 mg/kg bb tidak menunjukkan hambatan penambahan berat badan. Hal ini diduga karena tubuh tikus masih dapat bertahan dengan adanya racun pyrethroid di dalam tubuhnya.

Gambar 9. Rata-rata Berat Badan Kelompok Tikus Kontrol dan Kelompok Tikus Perlakuan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah dilakukan pengujian toksisitas akut oral insektisida dosis maksimal 5000 mg/kg bb terjadi kematian 3


(52)

ekor (60%) pada hari pertama pengamatan. Kematian ini terjadi yaitu pada 2, 4, dan 12 jam setelah perlakuan. Waktu kematian tikus yang lain masing-masing 1 ekor (20%) pada hari ke-2 dan ke-3 (data tercantum pada Lampiran 3). Dosis 2500; 1250 dan 625 mg/kg bb tidak menyebabkan kematian. Salah satu efek yang ditimbulkan apabila keracunan imiprothrin adalah pernapasan tidak teratur/cepat (Anonimous 2008c). Kematian (mortalitas) ini diduga karena efek racun pyrethroid dengan dosis cukup tinggi yang masuk ke dalam tubuh tikus sehingga mengganggu proses pernapasan tikus serta mempengaruhi homeostasis fungsi tubuhnya.

2. Perilaku (Gejala Klinis)

Kelompok tikus dosis 5000 mg/kg bb selama pengamatan perilaku tampak bahwa aktivitas motorik tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sangat bervariasi. Pada waktu pengamatan 2 jam setelah perlakuan sebanyak 100% tikus perlakuan menunjukkan sikap tubuh yang tidak normal berupa tremor, lemah dan bulu berdiri. Hal ini sesuai dengan sifat pyrethroid yang merupakan racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf (Sigit 2006). Pada waktu pengamatan 12 jam setelah perlakuan 60% tikus menunjukkan tremor, lemah dan bulu berdiri serta 20% mengalami diare. Racun yang masuk dalam tubuh melalui saluran pencernaan akan mendapat perlakuan yang sama seperti zat makanan. Pyrethroid ini juga akan dimetabolisme oleh tubuh. Beberapa racun kimia bahkan dapat merusak permukaan internal saluran pencernaan (Manahan 2003). Diare terjadi akibat hipermotilitas usus karena adanya zat asing yang masuk ke dalam tubuh tikus.

Pyrethroid terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Pyrethroid terikat pada sodium channel (saluran natrium) ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada organisme yang keracunan (Sigit 2006).


(53)

Pada hari ke-2 sebanyak 40% tikus menunjukkan gejala berupa lakrimasi, lemah dan bulu berdiri. Sedangkan pada hari ke-3 sebanyak 20% tikus menunjukkan kelemahan dan bulu berdiri (data gejala klinis tercantum pada lampiran 4). Pada kelompok perlakuan dengan dosis 2500 mg/kg bb; 1250 mg/kg bb dan 625 mg/kg bb selama pengamatan secara umum menunjukkan gejala kelemahan dan bulu berdiri (data gejala klinis masing-masing tercantum pada Lampiran 5, 6 dan 7).

3. Patologi Anatomi (makroskopis organ)

Hati dan ginjal merupakan organ yang rentan terhadap pengaruh cukup banyak zat kimia. Kerentanan ini terjadi karena erat fungsinya dalam proses sirkulasi darah. Hati dapat mudah berhubungan dengan zat yang diserap dari saluran pencernaan dan ginjal melalui vena porta (Koeman 1987).

Jalan masuk pestisida ke dalam tubuh adalah melalui kulit, mata, paru-paru dan saluran pencernaan (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004). Menurut Lu (1995) racun yang masuk melalui saluran pencernaan akan langsung dibawa ke hati dan racun tersebut akan mengalami biotransformasi oleh enzim yang ada di dalam hati. Tikus yang terkena racun pyrethroid dosis tinggi (1000 mg/kg bb) menunjukkan kerusakan hati (Fishel 2005). Perubahan patologi anatomi pada hati dan ginjal berupa kongesti. Pada ginjal juga terlihat batas antara korteks dan medulla tidak jelas.

Kongesti merupakan bentuk inflamasi (peradangan) akut (Jones 1997). Menurut Abrams dalam Price (1994) kongesti adalah keadaan di mana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika dilihat secara makroskopis daerah jaringan atau organ yang mengalami kongesti berwarna lebh merah (ungu) kerena bertambahnya darah di dalam jaringan. Hal ini terjadi diduga karena pengaruh pemberian pyrethroid (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin) peroral pada tikus. Data selengkapnya tentang perubahan patologi anatomi hati dan ginjal tikus tercantum pada Lampiran 8, 9, 10, dan 11.


(54)

4. Histopatologi (Mikroskopis)

4.1 Gambaran Histopatologi Hati Tikus setelah Pemberian Insektisida pada Uji Toksisitas Akut

Hasil pengamatan histopatologi hati kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan menunjukkan adanya perubahan pada parenkim (sel hati) dan interstisium. Pada sel hati terjadi degenerasi hidropis dan apoptosis yang tersebar di seluruh bagian hati. Kongesti merupakan perubahan yang terjadi pada interstisium. Rataan peringkat Kruskal Wallis skor histopatologi hati disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Peringkat Kruskal Wallis Skor Histopatologi Hati

Perubahan Histopatologi Perlakuan

Degenerasi Apoptosis

Kontrol 8,50a 8,50a

5000 mg/kg bb 8,50a 6,00a

2500 mg/kg bb 8,50a 7,00a

1250 mg/kg bb 8,50a 11,33a

625 mg/kg bb 6,00a 7,17a

Keterangan: a= Tidak berbeda nyata pada semua kelompok perlakuan.

Rataan Kruskal Wallis pada perubahan histopatologi berupa degenerasi dan apoptosis sel hati kelompok kontrol maupun perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Jenis degenerasi yang terjadi adalah degenerasi hidropis. Seluruh hati kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol mengalami degenerasi hidropis. Hal ini diduga disebabkan adanya gangguan metabolisme pada organ hati akibat pemberian formulasi insektisida (esbiothrin, imiprothrin dan d-phenothrin). Demikian pula dengan kejadian apoptosis. Apoptosis terjadi pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Gambaran umum skoring perubahan histopatologi yang terjadi pada hati disajikan pada Gambar 10. Dari diagram ini terihat bahwa antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak berbeda nyata baik pada perubahan degenerasi maupun apoptosis.


(55)

R a t a -r a t a

Dosis (mg/kg bb)

Gambar 10. Diagram Rataan Skoring Perubahan Histopatologi pada Hati

Hati sering menjadi organ sasaran karena beberapa hal. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati (Lu 1995). Oleh karena itu hati sering mengalami kerusakan akibat adanya racun yang masuk ke dalam tubuh. Kerusakan dapat terjadi pada sel parenkim (hepatosit) maupun pada sel retikuloendotelial yang membetuk sinusoid. Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada hati tikus ini yaitu hemorrhagi pada vena sentralis, serta degenerasi hidropis dan nekrosa pada hepatosit. Dalam Spector & Spector (1993) disebutkan bahwa sel-sel hati sangat berdiferensiasi dan mempunyai banyak fungsi khusus namun sel-sel tersebut beregenerasi sama cepat seperti jaringan tubuh lain.

Sel adalah unit kehidupan terkecil pada tubuh makhluk hidup. Sel-sel secara normal berada dalam homeostasis yaitu keseimbangan metabolik dengan sel lain dan cairan ekstrasel yang membentuk lingkungan mikro. Sel mempunyai respon terhadap kebutuhan metabolik tubuh, pasokan energi dan berbagai rangsang fisiologik dan patologik dengan melakukan adaptasi. Adaptasi merupakan penyesuaian reversibel terhadap keadaan lingkungan yang mencakup perubahan dalam fungsi atau morfologi sel atau keduanya. Apabila rangsangan eksternal melebihi kapasitas sel untuk beradaptasi maka terjadi cedera sel irreversibel dan akhirnya sel mati. Kematian sel patologik disebut nekrosa (Damjanov 2000).

Menurut Jones (1997) penyebab kerusakan dan kematian sel yaitu: (1) bentuk kerusakan kinetik (mekanik, thermal dan radiasi); (2) terekspos bentuk


(56)

reaktif bahan kimia eksogen (campuran berbahaya, toksin tanaman dan mikrobiologi) dan bahan kimia endogen (toksin metabolit, peroksida dan radikal bebas; (3) kekurangan nutrien esensial (air, oksigen, dan bahan makanan); dan (4) reaksi imunologik dan kelainan genetik. Dua tipe kematian sel yaitu kematian sel accidental yang disebut nekrosa dan kematian sel terprogram yang disebut apoptosis.

Degenerasi hidropis yang terjadi pada hepatosit disebabkan meningkatnya cairan intraseluler akibat adanya gangguan metabolisme di hati. Hal ini memberikan gambaran sitoplasma dan organel yang keruh dan bervakuola. Degenerasi hidropis biasanya mengawali hampir semua kematian sel kecuali apoptosis (Jones 1997). Gambaran histopatologi hepatosit yang mengalami apoptosis dan degenerasi hidropis disajikan pada Gambar 11.

b

a

Gambar 11. Apoptosis (a) dan degenerasi hidropis (b) pada hepatosit. Dosis 5000 mg/kg bb. Pewarnaan HE. Perbesaran 20x10. Bar 40μm

Berbagai toksin tertentu menurut Himawan (1979) berpengaruh terhadap endotel pembuluh darah tanpa diketahui terdapatnya gangguan jelas terhadap mekanisme pembekuan darah. Toksin dapat berupa zat kimia, racun ular dan


(1)

Tikus (gram) Hari

ke-

Kontrol 5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb

1 176,45 181,40 172,26 182,64 173,18

2 178,87 180,23 179,88 180,08 186,62

3 183,60 162,75 174,20 183,83 191,44

4 185,21 Mati 172,52 179,33 187,64

5 186,90 Mati 178,14 177,33 191,24

6 189,80 Mati 180,62 176,70 188,30

7 192,10 Mati 183,32 181,20 188,12

8 195,40 Mati 176,54 176,75 188,74

9 196,87 Mati 184,54 182,20 188,14

10 197,00 Mati 188,18 181,88 194,88

11 201,23 Mati 189,36 187,18 196,18

12 203,45 Mati 191,42 192,78 202,46

13 204,54 Mati 191,58 192,38 203,82

14 204,98 Mati 192,16 189,05 194,64

Lampiran 3. Tabel 2. Kematian tikus perlakuan

Jumlah Kematian (%) Hari

ke-

Dosis 5000 mg/kg bb

Dosis 2500 mg/kg bb

Dosis 1250 mg/kg bb

Dosis 625 mg/kg bb

1 60% (3 ekor) - - -

2 20% (1 ekor) - - -

3 20% (1 ekor) - - -

4 - - - -

5 - - - -

6 - - - -

7 - - - -

8 - - - -

9 - - - -

10 - - - -

11 - - - -

12 - - - -

13 - - - -


(2)

Lampiran 4. Tabel gejala Klinis Kelompok Dosis 5000 mg/kg bb Tikus Hari ke-

1 2 3 4 5 1 (mulai 1 jam

si)

Lemah,

tremor, bulu berdiri

Lemah, tremor, bulu berdiri, mati 2 jam si

Lemah, tremor, bulu berdiri, mati 4 jam si

Lemah,

tremor, bulu berdiri

Lemah, tremor, bulu berdiri, diare, mati 12 jam si

2 Lakrimasi, lemah, bulu berdiri, mati

- - Lakrimasi, lemah, bulu berdiri

-

3 - - - lemah, bulu

berdiri, mati -

Lampiran 5. Tabel gejala Klinis Kelompok Dosis 2500 mg/kg bb Tikus Hari

ke- 1 2 3 4 5

1 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

2 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

3 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

4 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

5 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

6 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

7 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

8 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

9 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

10 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

11 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

12 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

13 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

14 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri


(3)

Tikus Hari

ke- 1 2 3 4 5

1 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

2 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

3 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

4 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

5 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

6 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

7 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

8 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

9 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

10 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

11 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

12 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

13 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

14 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri


(4)

Lampiran 7. Tabel gejala Klinis Kelompok Dosis 625 mg/kg bb Tikus Hari

ke- 1 2 3 4 5

1 Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah

2 Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah

3 Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah

4 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

5 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

6 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

7 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

8 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

9 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

10 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

11 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

12 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

13 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

14 Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lemah, bulu berdiri

Lampiran 8. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 5000 mg/kg bb Tikus

Organ

1 2 3 4 5 Hati Berwarna merah

gelap (kongesti)

Berwarna

merah gelap (kongesti)

Berwarna

merah gelap (kongesti)

Berwarna

merah gelap (kongesti)

Berwarna

merah gelap (kongesti) Ginjal Berwarna merah

gelap

(kongesti), batas korteks dan medulla tidak jelas

Berwarna

merah gelap (kongesti), batas korteks dan medulla tidak jelas

Berwarna

merah gelap (kongesti) batas korteks dan medulla tidak jelas

Berwarna

merah gelap (kongesti), batas korteks dan medulla tidak jelas

Berwarna

merah gelap (kongesti), batas korteks dan medulla tidak jelas


(5)

Tikus Organ

1 2 3 4 5 Hati Hati belang, tepi

berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap Ginjal Berwarna merah

gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap Lampiran 10. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 1250 mg/kg bb

Tikus Organ

1 2 3 4 5 Hati Hati belang, tepi

berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap Ginjal Berwarna merah

gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap Lampiran 11. Tabel Patologi Anatomi Kelompok Dosis 625 mg/kg bb

Tikus Organ

1 2 3 4 5 Hati Hati belang, tepi

berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap

Hati belang, tepi berwarna merah gelap Ginjal Berwarna merah

gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Berwarna merah gelap

Lampiran 12. Tabel Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Hati

Ranks

Perubahan Dosis N Mean Rank

Degenerasi Kontrol 5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

8.50 8.50 8.50 8.50 6.00 Apoptosis Kontrol

5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

8.50 6.00 7.00 11.33 7.17


(6)

Test Statisticsa,b

Degenerasi Apoptosis

Chi-Square df Asymp. Sig

4.000 4 .406

2.678 4 .613

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Dosis

Lampiran 13. Tabel Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Ginjal

Perubahan Dosis N Mean Rank

Oedema glomerulus Kontrol 5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

5.00 10.17 7.00 7.67 10.17 Degenerasi tubulus Kontrol

5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

8.50 6.00 8.50 8.50 8.50 Apoptosis tubulus Kontrol

5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

4.00 9.00 9.00 9.00 9.00 Dilatasi tubulus Kontrol

5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

13.17 8.83 6.00 6.00 6.00 Endapan protein Kontrol

5000 mg/kg bb 2500 mg/kg bb 1250 mg/kg bb 625 mg/kg bb Total

3 3 3 3 3 15

11.50 4.33 10.67 10.50 3.00

Test Statisticsa,b Oedema

glomerulus

Degenerasi tubulus

Apoptosis tubulus

Dilatasi tubulus

Endapan protein

Chi-Square df

Asymp. Sig

3.766 4 .439

4.000 4 .406

8.571 4 .073

9.789 4 .044

10.249 4 .036 c. Kruskal Wallis Test


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kitosan Terhadap Struktur dan Kadar Residu Pb pada Ginjal Tikus Putih (Rattus sp.) Jantan yang Dipapari Plumbum Asetat

1 39 77

Pengaruh Ekstrak Biji Coklat (Theobroma cacao) Terhadap Gambaran Histopatologi Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus strain wistar) dengan Perlemakan Hati Non Alkoholik

0 13 25

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun dan Buah Muda Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa) Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih Jantan (Rattus Norvegicus) Yang Diinduksi Parasetamol

2 35 17

Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamate (MSG) Peroral Terhadap Kolesterol Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus Strain Wistar)

1 9 23

Pengaruh Pemberian Nutrisi Kedelai dan Olahraga Teratur terhadap Kadar MDA (Malondialdehid) Hati Tikus Putih (Rattus novergicus strain Wistar)

0 20 23

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Mahkota Dewa Terhadap Gambaran Histopatologi Paru Tikus Putih yang Diinduksi 7,12-Dimethylbenz[α]anthracene (DMBA)

0 7 60

Struktur Histopatologi Ginjal dan Hati Kambing Penderita Tripanosomiasis Pasca Pengobatan Berenil

0 0 8

Pengaruh Kitosan Terhadap Struktur dan Kadar Residu Pb pada Ginjal Tikus Putih (Rattus sp.) Jantan yang Dipapari Plumbum Asetat

0 0 20

Pengaruh Kitosan Terhadap Struktur dan Kadar Residu Pb pada Ginjal Tikus Putih (Rattus sp.) Jantan yang Dipapari Plumbum Asetat

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ginjal - Pengaruh Kitosan Terhadap Struktur dan Kadar Residu Pb pada Ginjal Tikus Putih (Rattus sp.) Jantan yang Dipapari Plumbum Asetat

0 0 9