Kajian pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-fish project)dan dampaknya terhadap keadaan sosial-ekonomi masyarakat di Kabupaten Bengkalis

(1)

(

CO-FISH PROJECT

) DAN DAMPAKNYA TERHADAP

KEADAAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT

DI KABUPATEN BENGKALIS

IRWAN KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

IRWAN KURNIAWAN. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co-Fish Project) dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis. (HERMTANTO SIREGAR sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan SLAMET SOEDARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sebagian besar penduduk di Kabupaten Bengkalis tempat dilaksanakannya

Co-Fish Project pada tahun 1998-2005 bermata pencaharian sebagai nelayan, dengan kondisi sosial-ekonomi relatif rendah dan sering terjadi konflik dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan memerikan pelaksanaan Co-Fish Project dan mengkaji perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan, termasuk kearifan lokal dan konflik yang terjadi, dan merumuskan arah pengembangan pengelolaan sumberdaya perikanan. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif, uji beda dan analisis hierarki proses (AHP). Hasil analisis menunjukkan bahwa Co-Fish Project tidak berhasil memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Untuk perbaikan pengelolaan sumberdaya perikanan dirasa perlu adanya campur tangan pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana yang diperlukan, dan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan peran dan fungsi kelembagaan yang diperlukan guna tercapainya perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kabupaten Bengkalis.


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co-Fish Project) dan Dampaknya Terhadap Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


(4)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan atas tinjauan masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa IPB.


(5)

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI KABUPATEN BENGKALIS

IRWAN KURNIAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(6)

Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis Nama : Irwan Kurniawan

NIM : A155040111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ir. Slamet Soedarsono, MPP Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya-lah penulis dapat menyelesaikan tesis ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor (SPs-IPB).

Tesis yang berjudul Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co-Fish Project) dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis ini membahas tentang pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis, keadaan sosial-ekonomi masyarakat, kearifan lokal dan konflik antar nelayan, dan arah pengelolaan sumberdaya perikanan yang diharapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D selaku Ketua Program Studi

Ilmu-Ilmu Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB).

2. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Slamet Soedarsono, MPP, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu dan membimbing penulis hingga tersusunnya tesis ini.

3. Selain itu, penulis haturkan juga terima kasih kepada rekan-rekan keluarga besar Program Studi PWD yang telah banyak menyumbangkan gagasan dan pemikiran yang berguna bagi penyelesaian penulisan tesis ini.

4. Salam hormat dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Abu Bakar Abas dan Ibu Zaharah yang telah menjadi panuntun dan panutan dalam menyikapi seluk beluk kehidupan ini, serta terimakasih kepada segenap keluarga, semoga Allah swt selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada mereka semua.

5. Akhirnya ucapan terimakasih penulis kepada orang yang selalu sabar menemani penulis De’ (Dhona) dalam penyelesaian tesis ini, semoga apa yang kita doa dan usahakan selama ini mendapat ridho dari yang Maha Kuasa.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bogor, September 2007


(8)

Penulis dilahirkan di Bengkalis pada tanggal 1 April 1979, sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Abu Bakar Abas dan Ibu Zaharah.

Riwayat pendidikan penulis: menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 049 Bengkalis pada tahun 1992, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Selatbaru pada tahun 1995, dan pendidikan menengah atas di Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Daerah Riau di Pekanbaru pada tahun 1998, dan pendidikan Sarjana di Universitas Islam Riau Pekanbaru pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian pada tahun 2004. Setelah lulus S1 penulis langsung melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Institut Pertanian Bogor, di Bogor.


(9)

Halaman

PRAKATA ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Indonesia ... 14

2.2 Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir ... 18

2.3 Co-Fish Project dalam Upaya Peningkatan Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat ... 22

2.4 Evaluasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 28

2.5 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 32

2.6 Kelembagaan Lokal dan Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan ... 35

2.7 Fenomena Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan ... 37

2.8 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 45

2.9 Penelitian Terdahulu ... 48

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 52

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 55

4.2 Metode Pengumpulan Data ... 55

4.3 Metode Pemilihan Responden... 57

4.4 Metode Analisis ... 59

4.4.1 Pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 59


(10)

4.4.3 Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 62

4.4.4 Konflik antar Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Bengkalis ... 63

4.4.5 Analisis Hirarki Proses (AHP) Arah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ke Depan ... 63

V KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Sejarah Singkat ... 71

5.2 Kondisi Geografis ... 71

5.3 Kondisi Sosial-Ekonomi ... 72

5.4 Kondisi Perikanan ... 75

5.5 Kondisi Sasaran Co-Fish Project ... 77

5.6 Kondisi Umum Desa Kedabu Rapat Kecamatan Rangsang (Non Sasaran Co-Fish Project) ... 82

VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 84

6.1.1 Konsep Co-Fish Project dalam Meningkatkan Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan ... 84

6.1.2 Penentuan Lokasi Sasaran Proyek ... 87

6.1.3 Penentuan Masyarakat Sasaran Proyek ... 87

6.1.4 Institusi Co-Fish Project ... 88

6.1.5 Pendanaan Co-Fish Project ... 90

6.1.6 Program Co-Fish Project dalam Meningkatkan Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan ... 91

6.1.7 Partisipasi Sasaran dalam Co-Fish Project ... 103

6.1.8 Keberlanjutan Program Co-Fish Project Setelah Masa Proyek Habis ... 109

6.2 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan ... 124

6.2.1 Perubahan Sosial-Ekonomi Sebelum dan Setelah Co-Fish Project ... 124

6.2.2 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan ... 133

6.2.3 Tingkat Pendapatan Nelayan Sasaran dan Non Sasaran Co-Fish Project ... 134

6.3 Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 135

6.4 Konflik antar Nelayan Rawai (Tradisional) dengan Nelayan Jaring Batu (Bottom Gill Net) dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 145

6.5 Tidak Berbekasnya Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 165

6.6 Arah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ke Depan ... 175


(11)

VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ... 201

7.2 Saran ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 203


(12)

Halaman

1 Uraian tujuan, aspek, alat analisis, variabel, jenis dan sumber

data ... ... 56

2 Persebaran jumlah responden menurut kecamatan dan desa penelitian ... 58

3 Persebaran jenis responden menurut elemen, pemangku kepentingan dan jabatan ... 58

4 Indikator kesejahteraan masyarakat, keadaan tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas transportasi nelayan sasaran Co-Fish Project ... 62

5 Skala perbandingan/komparasi berpasangan ... 65

6 Matriks perbandingan berpasangan ... 67

7 Formula matriks pendapati individu ... 67

8 Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis menurut kecamatan ... 73

9 Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis umur 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan pada tahun 2005 ... 74

10 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2004 ... 74

11 Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 76

12 Produksi perikanan di Kabupaten Bengkalis tahun 1999-2005 ... 76

13 Perkembangan jumlah rumah tangga perikanan di Kabupaten Bengkalis tahun 2000-2005 ... 77

14 Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis tahun 2001-2005 ... 77

15 Distribusi penduduk pada masing-masing desa sasaran Co-Fish Project berdasarkan kelompok umur ... 78


(13)

16 Distribusi penduduk pada desa sasaran Co-Fish Project

berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga nelayan ... 79

17 Distribusi masyarakat nelayan berdasarkan jenis alat tangkap... 79

18 Kondisi Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Barat,

Kabupaten Bengkalis ... 82

19 Kondisi sektor perikanan Desa Kedabu Rapat, Kecamatan

Rangsang Barat, Kabupaten Bengkalis ... 83

20 Daftar anggaran pinjaman luar negeri (ADB) dan dana APBN

tahun 1998-2005 pada pelaksanaan Co-Fish Project

di Kabupaten Bengkalis ... 91

21 Alokasi dana pembangunan di sektor perikanan pada APBD

Kabupaten Bengkalis dari tahun 2000-2004 ... 91

22 Kelompok usaha bersama (KUB) binaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 95`

23 Kegiatan Co-Fish Project pada program pelatihan di Kabupaten

Bengkalis ... 97

24 Kegiatan Co-Fish Project pada program pembinaan terhadap

masyarakat ... 97

25 Kegiatan Co-Fish Project pada program pembangunan dan perbaikan sarana prasarana dasar di Kabupaten Bengkalis .... 99

26 Kelompok nelayan perikanan tangkap yang mendapat bantuan

cold box dari Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 101

27 Kegiatan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis dalam

program pengelolaan lingkungan ... 102

28 Kelompok-kelompok masyarakat sasaran binaan pada program pengelolaan lingkungan dari Co-Fish Project di Kabupaten

Bengkalis ... 103

29 Partisipasi masyarakat sasaran pada pelaksaan Co-Fish Project .. 107

30 Kondisi serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok usaha bersama (KUB) binaan Co-Fish Project setelah masa proyek

habis di Kabupaten Bengkalis ... 113

31 Kondisi perumahan nelayan sebelum dan setelah Co-Fish


(14)

32 Ketersediaan bahan bakar pada rumah tangga sebelum dan

setelah Co-Fish Project ... 126

33 Kepemilikan sarana hiburan dan transportasi rumah tangga

nelayan sebelum dan setelah Co-Fish Project ... 127

34 Ketersediaan fasilitas MCK rumah tangga nelayan sebelum dan

setelah Co-Fish Project ... 127

35 Pemanfaatan fasilitas penerangan listrik rumah tangga nelayan

sebelum dan setelah Co-Fish Project ... 128

36 Kepemilikan armada penangkapan ikan sebelum dan setelah

Co-Fish Project ... 129

37 Tingkat pendapatan nelayan di sektor perikanan tangkap setelah

Co-Fish Project ... 130

38 Pekerjaan nelayan selain sektor perikanan sebelum dan setelah Co-Fish Project ... 132

39 Pendapatan total rumah tangga nelayan setelah Co-Fish Project . 133

40 Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan setelah Co-Fish

Project ... 133

41 Perbandingan tingkat pendapatan nelayan sasaran dan non

sasaran Co-Fish Project ... 135

42 Aktor yang berpengaruh dalam pengembangan pengelolaan

sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 181

43 Faktor yang menjadi isu utama dalam pengembangan

pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 184

44 Permasalahan-permasalahan yang menjadi prioritas pada faktor

sosial ... 186

45 Skenario yang menjadi prioritas pada peningkatan hubungan

antar nelayan ... 188

46 Skenario yang menjadi prioritas pada penyelesaian konflik antar

nelayan ... 189

47 Fasilitas yang menjadi prioritas dalam pembangunan sarana dan


(15)

48 Skenario yang menjadi prioritas pada pembangunan fasilitas

nelayan ... 191

49 Elemen-elemen yang menjadi prioritas pada aspek partisipasi

masyarakat ... 192

50 Permasalahan yang menjadi prioritas pada peningkatan ekonomi

masyarakat nelayan ... 193

51 Skenario yang menjadi prioritas pada peningkatan pendapatan

masyarakat nelayan ... 194

52 Skenario yang menjadi prioritas pada perbaikan mata

pencaharian masyarakat nelayan ... 195

53 Elemen-elemen yang menjadi prioritas pada peningkatan peran

serta kelembagaan ... 196

54 Skenario yang menjadi prioritas pada peningkatan peran serta

kelembagaan ekonomi ... 197

55 Langkah-langkah yang menjadi prioritas dalam menjaga

keberlanjutan sumberdaya perikanan ... 198

LAMPIRAN

1 Hasil analisis tingkat kesejahteraan responden sasaran

Co-Fish Project ... 209

2 Rekap kejadian konflik antara kelompok nelayan tradisional (rawai) dengan kelompok nelayan jaring batu (bottom gill net)

sejak tahun 1985 sampai tahun 2006 ... 212


(16)

Halaman

1 Produksi rumah tangga perikanan (RTP) Kabupaten Bengkalis ... 5

2 Kerangka pemikiran penelitian ... 54

3 Keuntungan menggunakan AHP ... 66

4 Hasil perikanan tangkap (a) dan (b), perikanan budidaya (c) dan (d) ... 75

5 Rantai pemasaran hasil perikanan pada desa sasaran ... 81

6 Peran Co-Fish Project dalam peningkatan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan di Kabupaten

Bengkalis ... 86

7 Konsep Co-Fish Project dalam penentuan sasaran di Kabupaten

Bengkalis ... 88

8 Struktur organisasi Co-Fish Project ... 89

9 Struktur organisasi Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 90

10 Usaha Co-Fish Project dalam pembangunan kelembagaan

sebagai mata pencaharian alternatif di Kabupaten Bengkalis ... 93

11 Sistem Pembangunan kelembagaan masyarakat yang dilakukan

oleh Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 94

12 Sistem pelatihan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan

oleh Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis ... 96

13 Co-Fish Project pada program pembangunan dan perbaikan

sarana prasarana di Kabupaten Bengkalis ... 98

14 Alur distribusi paket bantuan cold box bagi masyarakat nelayan

sektor perikanan tangkap ... 100

15 Alur distribusi pemberdayaan masyarakat dalam menjaga konservasi lingkungan yang dilaksanakan oleh Co-Fish Project


(17)

16 Alur permasalahan penyebab bubarnya KUB binaan Co-Fish

Project setelah masa proyek habis ... 114

17 Alur permasalahan yang dihadapi oleh kelompok dan

stakeholders hasil pelatihan dan pembinaan Co-Fish Project

setelah masa proyek habis ... 115

18 Kondisi paket bantuan cold box yang dihadapi masyarakat

nelayan sasaran di Kabupaten Bengkalis setelah Co-Fish Project 116

19 Kondisi bangunan sarana prasarana (PAH) di beberapa desa

sasaran di Kabupaten Bengkalis setelah Co-Fish Project ... 117

20 Kondisi salah satu PAH bantuan Co-Fish Project jauh dari pemukiman penduduk (a), kondisi salah satu PAH yang tidak

selesai dibangun co-fish project dan tidak bisa dimanfaatkan (b) 118

21 Banunan pabrik es di Desa Selatbaru (a), bangunan pabrik es di

Desa Meskom (b), kedua bangunan ini tidak beroperasi lagi ... 118

22 Alur permasalahan sarana prasarana (pabrik es mini) bantuan

Co-Fish Project (Selatbaru dan Meskom) di Kabupaten

Bengkalis ... 119

23 Kapal patroli perikanan bantuan Co-Fsih Project ... 120

24 Gedung nelayan Desa Jangkang dan Pambang bantuan Co-Fish

Project yang tidak termanfaatkan oleh nelayan (a) dan (b) ... 120

25 Papan himbauan Co-Fish Project dalam menjaga kelestarian mangrove (a), masyarakat tetap memanfaatkan mangrove (b) dan (c) ... 121

26 Kondisi program pengelolaan lingkungan (konservasi mangrove) yang dilaksanakan oleh Co-Fish Project pada beberapa desa

sasaran di Kabupaten Bengkalis ... 122

27 Keterlibatan sasaran dan usaha pebaikan serta keberlanjutan

program setelah Co-Fish Project selesai di Kabupaten Bengkalis 123

28 Perahu nelayan tradisional (a), gotong royong kampung pada

waktu istirahat melaut (b), rembuk (diskusi) para nelayan (c) ... 142

29 Sistem masyarakat nelayan tradisional (rawai) di Kabupaten Bengkalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya


(18)

30 Cara pandang masyarakat nelayan jaring batu (bottom gill net)

dalam pengelolaan dan pemanafaatan sumberdaya perikanan laut 152

31 Ikan kurau yang sering mengakibatkan konflik antar nelayan berat rata-rata 5-6 kg/ekor dengan harga di tingkat nelayan 50-60

ribu rupiah/kg (a) dan (b) ... 153

32 Rantai pemasaran ikan kurau nelayan jaring batu ... 153

33 Rawai dalam satu unit (a), cara membuat alat tangkap rawai (b),

mata pancing dan pemberat rawai (c) ... 156

34 Jaring batu (a), pemberat (b), mesin penggerek jaring (c) ... 157

35 Peta konflik antar nelayan dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 161

36 Kondisi pembakaran kapal jaring batu oleh nelayan tradisional (a), aparat keamanan ikut serta menggunakan jaring batu dan

ditangkap nelayan tradisional (b) dan (c) ... 162

37 Faktor penyebab tidak berbekasnya Co-Fish Project di

Kabupaten Bengkalis ... 167

38 Tingkat identifikasi dalam pengembangan pengelolaan

sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 176

39 Struktur hierarki arah pengembangan pengelolaan sumberdaya

perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 200

LAMPIRAN


(19)

Halaman

1 Pernyataan sikap nelayan rawai Kecamatan Bantan ... 220

2 Pernyataan sikap gerakan masyarakat nelayan jaring batu

Kabupaten Bengkalis ... 222

3 Berita acara penangkapan oknum aparat keamanan Kabupaten

Bengkalis menggunakan jaring batu (bottom gill net) ... 224

4 Keputusan Menteri Pertanian Tentang Jalur-Jalur Penangkapan

Ikan ... 225

5 Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Tentang Penertiban dan Pengawasan Jaring Kurau/Jaring Batu

(Bottom Gill Net) di Wilayah Perairan Provinsi Riau ... 230

6 Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Tentang Pengelolaan

Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis ... 232

7 Keputusan Bupati Bengkalis Tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring Batu/Jaring Kurau (Bottom Gill Net) di Wilayah Perairan

0-4 Mil Kabupaten Bengkalis ... 243

8 Lembaran kuisioner dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat dari pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-Fish

Project) di Kabupaten Bengkalis ... 244

9 Lembaran kuisioner AHP persepsi stakeholder tentang arah pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke


(20)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim karena sebagian besar wilayahnya adalah lautan, dan wilayah daratannya merupakan pulau-pulau dengan jumlah yang sangat banyak. Potensi kelautan Indonesia sangat besar dan beragam, yakni memiliki 17,5 ribu pulau dan luas laut 5,8 juta km2 mempunyai garis pantai sepanjang 81 ribu km dengan potensi sumberdaya terutama sumberdaya perikanan laut yang cukup besar (Dahuri 1998). Kemudian Budiharsono (2005) menyatakan potensi kelautan yang besar tersebut baru dimanfaatkan sebagian kecil saja. Sebagai contoh, potensi perikanan tangkap laut baru dimanfaatkan sekitar 62 persen. Potensi budidaya perikanan pantai (tambak) dan laut (marineculture) juga baru sebagian kecil termanfaatkan. Rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan terutama disebabkan oleh beberapa masalah antara lain: 1) pemerintah dan masyarakat masih mengutamakan eksploitasi daratan, 2) kualitas sumberdaya manusia yang terlibat dalam sektor kelautan relatif masih rendah, khususnya di perikanan tangkap, 3) introduksi teknologi baru dalam perikanan tangkap tidak terjangkau oleh nelayan yang kondisi sosial-ekonominya rendah, serta 4) sistem kelembagaan yang ada belum mendukung sektor kelautan.

Disatu sisi yang lain, Dahuri (1998) juga menyatakan bahwa peluang pembangunan kelautan Indonesia yang cukup cerah pada masa mendatang merupakan tantangan yang besar pula bagi bangsa Indonesia. Adapun tantangan pembangunan kelautan antara lain adalah: 1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat bahari, khususnya masyarakat nelayan ke tingkat kehidupan yang layak, 2) peningkatan kualitas masyarakat nelayan, 3) produk kelautan dapat memenuhi kebutuhan domestik dan meningkatkan devisa negara, 4) pemanfaatan sumberdaya kelautan harus dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, 5) pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya kelautan harus dilakukan secara terpadu baik antar sektoral maupun antar wilayah, 6) diperlukan perangkat hukum berupa perundang-undangan yang secara efektif mampu memberikan kepastian hukum dalam aspek pengelolaan, yang di dalamnya termasuk aspek perencanaan dan pemanfaatan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat, dan 7) diperlukan


(21)

usaha yang keras dalam upaya menegakkan dan memperkokoh kedaulatan wilayah laut nasional dan yuridiksi Indonesia sebagai perwujudan wawasan nusantara.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sumberdaya laut potensial karena sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Secara keseluruhan, luas wilayah Provinsi Riau meliputi ± 329,9 ribu km2, namun hanya kurang dari sepertiganya yang terdiri dari daratan, yaitu seluas 94,6 ribu km2 (28,7%). Dua pertiga lebih wilayah Riau merupakan lautan, yaitu sekitar 235,4 ribu km2 (71,3%). Luas wilayah ekonomis sendiri lebih luas lagi yaitu dengan memasukkan Zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang totalnya adalah 379 ribu km2 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau 2004).

Menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Tahun 2003 produksi perikanan di daerah Riau sebagian berasal dari perikanan laut, data menunjukkan bahwa dari jumlah 349,4 ribu ton produksi ikan pada tahun 2002, sebanyak 315,7 ribu ton atau 90,4 persen merupakan hasil perikanan laut dan budidaya. Sedangkan sisanya 33,7 ribu ton (9,6%) adalah hasil dari perikanan umum, tambak dan kolam. Bila dibandingkan dengan total produksi ikan pada tahun 2001 yang berjumlah 332,2 ribu ton berarti pada tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 5,2 persen. Nilai produksi perikanan pada tahun 2002 sebesar 3,7 triliun rupiah. Sedangkan tahun 2001 tercatat sebanyak 1,4 triliun rupiah.

Lebih lanjut Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Tahun 2004 juga menyatakan pesisir dan laut mendominasi sebagian besar luas wilayah Provinsi Riau dengan luas lebih dari 62 persen dari total luas Provinsi Riau. Namun potensi besar ini belum terlalu tersentuh dikarenakan orientasi pengelolaan sumberdaya alam masih lebih diarahkan pada sektor daratan. Hal ini menunjukkan bahwa laut sepertinya tidak menjadi perhitungan, padahal mengacu pada hasil riset yang dilakukan IPB pada akhir tahun 2003, potensi laut Provinsi Riau menyimpan kekayaan lebih dari US$ 1.4 juta per tahun.

Meskipun potensi perikanan tinggi, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal terutama oleh nelayan tradisional. Permasalahan ini menyebabkan tingkat penghidupan masyarakat masih tetap memprihatinkan. Badan penelitian dan pengembangan (Balitbang) Provinsi Riau 2004 mencatat dari 4,5 ribu


(22)

penduduk Provinsi Riau 22,2 persen diantaranya tergolong miskin. Permasalahan ini menggambarkan provinsi yang terkenal kaya ini sekaligus merupakan contoh daerah dengan masalah kemiskinan yang lengkap, mulai dari faktor sumberdaya alam dan lingkungan, struktural, serta kultural. Dalam mencari penyelesaian masalah tersebut Dahril (2001) menyatakan dimasa mendatang perikanan dan kelautan diharapkan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Provinsi Riau. Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan bersifat dapat diperbaharui (renewable resources), artinya selagi potensi sumberdaya perikanan ini dapat dikelola secara baik dan benar maka akan dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian rakyat dan negara secara berkelanjutan.

Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau, sebagian besar penduduk di daerah ini bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Oleh karena itu Kabupaten Bengkalis juga merupakan daerah penghasil padi, palawija, hortikultura dan tanaman perkebunan serta perikanan yang merupakan hasil dari penangkapan dan budidaya.

Kalau dilihat dari indeks pembangunan manusianya, pembangunan manusia di Kabupaten Bengkalis dapat dikategorikan menengah keatas. Hal senada dapat dilihat dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004, memberikan suatu analisis yang terinci atas tingkat pembangunan manusia di seluruh Indonesia. Dalam analisis tersebut digunakan tolok ukur khusus yang disusun oleh UNDP yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ini merupakan ukuran yang menggabungkan ukuran tingkat pendapatan, usia harapan hidup dan pendidikan terakhir. Secara global IPM yang disusun UNDP untuk tahun 1999 dan 2002, memberikan Kabupaten Bengkalis dengan skor pada tahun 1999 sebesar 66,9 dengan peringkat 74. Sedangkan skor pada tahun 2002 sebesar 69,4 dengan peringkat 77. Laporan IPM ini mengalami peningkatan skor dari tahun 1999 sampai 2002 sebesar 2,5. Peningkatan indeks ini mencerminkan membaiknya kualitas manusia Kabupaten Bengkalis, namun terjadi penurunan peringkat IPM Kabupaten Bengkalis terhadap seluruh kabupaten/kota secara nasional. Dari nilai skor IPM ini menunjukkan Kabupaten Bengkalis dikategorikan tingkat pembangunan manusianya pada golongan menengah ke atas menurut skala Internasional (UNDP 2004).


(23)

Human Development Report mendefinisikan pembangunan manusia sebagai proses bertambahnya pilihan-pilihan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Beberapa ukuran yang paling penting dalam hal ini bahwa setiap orang dapat menjalani hidup dengan usia yang lebih panjang dan sehat, memperoleh pendidikan, serta menikmati hidup yang layak. Pilihan-pilihan hidup tersebut termasuk kebebasan berpolitik, jaminan hak azasi manusia, dan berbagai unsur kehormatan manusia lainnya. Dengan kata lain, pembangunan merupakan suatu proses dari bertambahnya pilihan-pilihan serta meningkatnya kesejahteraan yang diperoleh. Jika pembangunan manusia menyangkut terbukanya pilihan-pilihan baru, maka kemiskinan berarti terhapusnya kesempatan untuk memperoleh pilihan-pilihan yang paling dasar bagi sebuah masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka (UNDP 2004).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bengkalis menunjukkan luas Kabupaten Bengkalis yaitu 11,5 ribu km2, terletak di pantai Timur Pulau Sumatera dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Produksi perikanannya sebagian besar berasal dari usaha penangkapan di perairan Selat Malaka, budidaya laut dengan sistem Keramba jaring apung (KJA), serta budidaya air payau dengan pola usaha tambak, dan budidaya kolam. Sebagai wilayah kepulauan, Kabupaten Bengkalis banyak menggunakan wilayah perairan dan pantai sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian masyarakatnya. Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan sangat tergantung pada sektor perikanan tangkap.

Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis Tahun 2004, dilihat dari Produksi rumah tangga perikanan (RTP) yaitu produksi setiap kepala keluarga nelayan sebenarnya empat tahun terakhir ini justru mengalami penurunan. Produksi rumah tangga perikanan Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 1.


(24)

6312

7145

7690 7683

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2000 2001 2002 2003Tahun

RT

P

Jumlah RTP

Gambar 1 Produksi rumah tangga perikanan (RTP) Kabupaten Bengkalis.

Penurunan produksi RTP ini disebabkan wilayah tangkap (fishing ground) nelayan yang tidak bertambah hanya di perairan teritorial (tradisional) serta disebabkan tingginya eksploitasi dengan indikasi meningkatnya jumlah alat tangkap baik alat tangkap statis maupun bergerak.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis masih belum terorganisir dengan baik, meskipun ada pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh instansi terkait namun masih belum begitu dirasakan oleh masyarakat nelayan, pada prinsipnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan tidak mengenal batas wilayah, tergantung kemampuan armada yang dimiliki. Tidak ada satupun wilayah yang dapat diklaim sebagai milik desa, suku ataupun kelompok tertentu. Dengan kondisi ini maka semua nelayan mempunyai akses yang sama untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan dan lingkungan sekitarnya. Dengan kondisi seperti ini maka sejauh ini tidak ada aturan-aturan formal yang dibuat oleh nelayan untuk dijadikan pedoman dalam mengelola lingkungan laut.

Walaupun tidak ada ketentuan yang mengatur, nelayan sudah menyadari bahwa perairan sebagai milik bersama tersebut perlu dikelola secara kearifan lokal. Pelanggaran dalam mengelola perairan laut seperti menggunakan bom, dan penggunaan alat pencemaran lain tidak pernah dilakukan.

Dalam memanfaatkan perairan laut sebagai tempat mencari nafkah masih ada nelayan yang mempercayai kearifan budaya tradisional. Kearifan tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk mitos-mitos tertentu. Adapun mitos-mitos yang masih dipercayai tersebut antara lain:


(25)

1. Bila hasil tangkap nelayan berkurang dari biasanya, mereka melakukan doa bersama diatas perahu penangkapan mereka dengan menyediakan makanan dan hidangan tertentu. Mitos ini terkait erat dengan legenda yang pernah ada yakni Penyemahan Tanjung Jati.

2. Tidak boleh berbicara kotor dan takabur pada waktu berada di tengah laut. 3. Dilarang mencuci bejana ditengah laut, karena akan menimbulkan angin

topan (badai).

4. Dilarang melewati wilayah perairan tertentu pada waktu menangkap ikan, daerah ini hanya para nelayan yang mengetahuinya dan diperoleh informasi secara turun temurun. Dengan mentaati kearifan lokal tersebut para nelayan yakin bahwa kelestarian laut akan tetap terjaga.

5. Adanya kearifan lokal nelayan dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan yaitu dalam bentuk kelembagaan merawai yang di dalamnya terdapat berbagai aturan dalam bentuk pengaturan penggunaan alat tangkap, pengaturan waktu melaut serta upaya ritual laut.

Disamping adanya kearifan lokal yang dianut oleh para nelayan dalam menjaga kelestarian laut, secara resmi ada pula sejumlah peraturan baik dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah maupun kesepakatan-kesepakatan antar instansi terkait yang diterbitkan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah. Adapun Peraturan-Peraturan yang diterbitkan pemerintah sebagai berikut: 1. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999, Tentang Jalur-Jalur

Penangkapan Ikan.

2. Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Nomor 523.41/KL/SK-27, Tentang Penertiban dan Pengawasan Jaring Batu (Bottom gill net) di Wilayah Perairan Provinsi Riau.

3. Peraturan Daerah Kabupaten bengkalis nomor 20 Tahun 2000, Tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis

4. Keputusan Bupati Bengkalis Nomor 52 Tahun 2003, Tentang Pelarangan Pengopersian Jaring Batu (Bottom gill net) di Wilayah Perairan 0-4 mil Kabupaten Bengkalis.

Namun aturan-aturan formal di atas, realitas di lapangan belum banyak diketahui masyarakat nelayan, hal ini disebabkan terisolasinya mereka secara


(26)

geografis, rendahnya pendidikan dan masih terbatasnya jangkauan sosialisasi dari berbagai peraturan tersebut oleh pemerintah. Kondisi tersebut salah satu menjadi penyebab munculnya permasalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, yang akhir-akhir ini sering terjadi konflik antar nelayan. Konflik yang terjadi disebabkan oleh penggunaan alat tangkap jaring batu (bottom gill net) yang dikelola oleh pengusaha perikanan, sehingga penggunaan jaring batu ini berakibat terjadi pengurasan sumberdaya ikan secara berlebihan (over fishing). Disamping pengurasan sumberdaya ikan, penggunaan jaring batu juga berakibat fatal terhadap krisis sosial antar nelayan. Konflik yang terjadi semakin berlarut-larut meskipun sudah ada peraturan yang diterbitkan tentang pengaturan penggunaan jaring batu oleh pemerintah daerah baik Provinsi Riau maupun Kabupaten Bengkalis, namun pelaksanaan peraturan di tingkat lapangan tidak berjalan secara optimal sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab konflik antar nelayan tetap terjadi.

Konflik antar kelompok nelayan di perairan Kabupaten Bengkalis selama ini menurut nelayan tradisional direduksi seolah-olah hanya menjadi urusan para nelayan saja. Pemerintah Kabupaten Bengkalis sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan laut di wilayahnya juga kurang optimal berperan mengatasi konflik antar nelayan. Namun dari pihak pemerintah daerah mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi konflik ini, namun realisasi di lapangan sangat sedikit dapat dukungan antara kedua belah pihak baik itu nelayan tradisional maupun pengusaha perikanan yang dalam hal ini sebagai pengguna jaring batu.

Aspek mendasar dari konflik antar nelayan itu yakni bagaimana mengelola sumberdaya milik bersama (commons property) secara adil dan bijaksana oleh nelayan dan pihak terkait lainnya dengan memperhatikan masalah ekonomi dan kelestarian lingkungan. Harus kita sadari hukum positif kita belum mengatur secara memuaskan konflik sosial dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum yang bersifat inovatif dan kontekstual.

Oleh karena itu, pengaturan yang jelas tentang pengelolaan atas sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis yang rawan konflik sosial sangat diperlukan agar konflik antar nelayan yang terjadi tidak terulang lagi. Karena


(27)

disamping aspek konstitusional, pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan ini perlu dilakukan karena tuntutan kebutuhan untuk mengembangkan pembangunan sektor perikanan dan kelautan yang berdimensi jangka panjang, dimana kepentingan-kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat dipadukan. Dengan demikian kelangsungan hidup kesejahteraan nelayan keberlanjutan dari sumberdaya perikanan dapat dijamin secara seimbang.

Disamping hal di atas, pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan langkah konstruktif untuk memulihkan kondisi sumberdaya perikanan. Bagaimanapun juga intervensi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk ikut bertanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan secara lestari masih sangat diperlukan.

Dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, diperlukan suatu langkah yang strategis dalam bentuk manajemen pengelolaan serta aspek pemberdayaan masyarakat di wilayah pantai yang sangat erat kaitannya dengan upaya pembinaan masyarakat nelayan yang terintegrasi dengan upaya pembinaan teknis produksi, budidaya, pengelolaan sumber-sumber dan pemeliharaannya serta penegakan hukum dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan pemikiran tersebut diperlukan suatu studi yang mendalam guna mengidentifikasi keperluan usaha dan strategi alternatif diversifikasi mata pencaharian sehingga masyarakat nelayan mampu keluar dari belenggu kemiskinan serta krisis sosial.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan masyarakat nelayan akibat krisis ekonomi, pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan telah melaksanakan proyek pengelolaan sumberdaya perikanan (coastal community development and fisheries resource management). Nama proyek ini lebih populer disebut Co-Fish Project. Salah satu pendekatan Co-Fish Project adalah meningkatkan partisipasi masyarakat berupa organisasi masyarakat yang dibentuk secara bersama antara pihak proyek dengan masyarakat dengan prinsip pengelolaan secara cooperative management, yang memiliki tujuan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil dan merata. Disamping itu, tujuan lain yang ingin dicapai dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah terwujudnya pembangunan perikanan berbasis


(28)

masyarakat, mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, serta salah satu mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses partisipatif.

Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah dilaksanakannya

Co-Fish Project yaitu di Pulau Bengkalis (Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan Bantan), lokasi ini dipilih berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Komitmen sosial dan kemasyarakatan.

2. Kondisi sumberdaya dan lingkungan yang ada serta kebutuhan akan pengelolaan sumberdaya.

3. Kondisi sosial-ekonomi dan prasarana daerah setempat.

4. Pemantapan atau penyusunan kelembagaan untuk pengelolaan serta resiko-resiko sumberdaya perikanan.

Pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis sudah dimulai pada tahun 1998-2005. Proyek ini dengan pelaksanaannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendayagunaan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Gagasan munculnya proyek ini didasarkan atas beberapa masalah yang ditemukan di sektor perikanan, diantaranya adalah kemiskinan masyarakat nelayan. Untuk itu perlu dicari langkah-langkah pengenalan terhadap mata pencaharian alternatif dan tambahan untuk meningkatkan pendapatan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.

Proyek pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-Fish Project) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjawab permasalahan di atas. Melalui proyek ini masyarakat nelayan mempunyai kebebasan untuk memilih, merencanakan dan menetapkan kegiatan ekonomi yang dibutuhkan berdasarkan musyawarah. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pelaksanaan, pengawasan dan keberlanjutannya.

Begitu pentingnya Co-Fish Project dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan masyarakat nelayan melalui penguatan kelembagaan sosial-ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan secara


(29)

1. Apakah rumusan proyek telah sesuai dengan perumusan yang telah ditetapkan?

2. Apakah pelaksanaan proyek sesuai dengan rencana yang dirumuskan? 3. Apakah hasil yang dicapai dapat memberikan kontribusi bagi upaya

peningkatan sosial-ekonomi masyarakat?

Dari pemaparan di atas, dalam upaya mengetahui sejauh mana keberhasilan Co-Fish Project, perlu diajukan pertanyaan dan dicari jawabannya apakah proyek ini memberikan dampak positif bagi masyarakat sesuai dengan tujuannya. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang menitikberatkan pada pelaksanaan proyek ini di Kabupaten Bengkalis. Disamping itu juga, diharapkan dari hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan pemikiran mengenai model pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan serta menjadi bahan masukan dalam kajian kebijaksanaan perencanaan pembangunan di Kabupaten Bengkalis terutama pada sektor perikanan.

1.2 Perumusan Masalah

Program-program dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah banyak dilakukan serta telah menyumbangkan devisa cukup besar bagi negara, namun hanya sebagian kecil nelayan saja yang sudah mengalami perbaikan keadaan sosial-ekonomi sedangkan sebagian besar nelayan masih dalam kondisi kemiskinan. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan

nelayan antara lain: 1) Rendahnya tingkat teknologi penangkapan, 2) Kecilnya skala usaha, 3) Belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan,

serta 4) Status nelayan yang sebagian besar adalah buruh.

Disamping permasalahan di atas, yang tidak kalah pentingnya fenomena yang terjadi ditatanan sosial masyarakat nelayan adalah sering timbulnya konflik antar nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Konflik yang terjadi pada umumnya disebabkan karena adanya perbedaan penggunaan alat tangkap dan pelanggaran wilayah penangkapan ikan, masalah ini berlarut-larut sangat lama sehingga nelayan dalam kesehariannya mencari nafkah selalu dihantui oleh ketakutan.


(30)

Sebagaimana yang kita ketahui sangat banyak peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan konflik antar nelayan, tetapi realita di lapangan berbicara lain bahwa konflik tetap saja merupakan salah satu potret sosial nelayan yang selalu terjadi.

Dua permasalahan di atas yaitu kesejahteraan dan sosial masyarakat nelayan harus menjadi suatu agenda besar bagi kita untuk mempelajari dan mencari solusi agar bagaimana keadaan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat ditingkatkan. Untuk itu bagaimana peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah melakukan suatu tindakan strategis dalam peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan selama ini apakah sesuai dengan yang diharapkan atau sebaliknya.

Banyak program atau proyek dibidang perikanan telah dilaksanakan dalam usaha untuk meningkatkan keadaan sosial-ekonomi masyarakat

nelayan, salah satunya Proyek pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-Fish Project) yang dilaksanakan di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

Proyek pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-Fish Project) merupakan proyek yang dilaksanakan atas kerjasama pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan dengan Asean Development Bank (ADB). Gagasan munculnya proyek ini didasarkan atas beberapa masalah yang ditemukan dalam sektor perikanan dan peningkatan kemiskinan masyarakat nelayan yang dapat menyebabkan kerugian-kerugian sosial yang semakin luas. Sehingga perlu dicari langkah-langkah strategis guna menjaga kelangsungan sumberdaya dalam jangka waktu yang lama dengan melakukan pengenalan terhadap mata pencaharian alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan serta memperbaiki keadaan sosial masyarakat nelayan.

Dalam implementasinya, Co-Fish Project menggariskan berbagai program yang dimaksud untuk meningkatkan keadaan sosial-ekonomi masyarakat nelayan yang menjadi sasaran proyek, untuk itu sangat penting mendeskripsikan program-program yang dilaksanakan Co-Fish Project, antara lain: bagaimana kriteria masyarakat yang menjadi sasaran proyek, bagaimana keadaan sosial-ekonomi masyarakat setelah proyek, bagaimana dilakukan suatu evaluasi apakah proyek yang dilaksanakan mencapai


(31)

keberhasilan atau tidak, apakah relevan, efisiensi, efektif, bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat sasaran, serta bagaimana keberlanjutannya. Hal tersebut penting untuk merumuskan bagaimana arah kebijakan yang ideal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis.

Dilihat dari setiap permasalahan yang ada khususnya permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis melalui proyek yang dilaksanakan, hal ini akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, untuk itu dirasakan perlu dilakukannya suatu penelitian tentang: "Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co-Fish Project) dan Dampaknya Terhadap Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis”.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis? 2. Apakah ada perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan

akibat dari pelaksanaan Co-Fish Project?

3. Bagaimana peran kearifan lokal dan konflik yang terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis?

4. Bagaimana arah pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan pelaksanaan Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis. 2. Menganalisis perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan

akibat dari pelaksanaan Co-Fish Project.

3. Mendiskripsikan peran kearifan lokal dan konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis

4. Merumuskan persepsi stakeholder tentang arah pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.


(32)

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memperkaya arah pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai langkah alternatif khususnya dalam proses dan pelaksanaan program peningkatan sosial-ekonomi masyarakat. Disamping itu, diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan referensi dan masukan dalam rangka memahami karakteristik, potensi, dan aspirasi masyarakat yang dapat diakomodasi dalam mengevaluasi kebijakan pembangunan daerah, khususnya di Kabupaten Bengkalis.


(33)

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Indonesia

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Abubakar 2004). Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access

yang memberikan anggapan bahwa setiap orang merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property). Sehubungan dengan masalah tersebut Anwar (2005) menyatakan bahwa pada kenyataan sumberdaya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumberdaya yang dapat mengakibatkan kerusakan dari sumberdaya itu sendiri. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara sesuka hati dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, tanpa terlalu memikirkan bagaimana menjaga dan memelihara kelestariannya. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dipikirkan bagaimana kelestarian serta keberlanjutan dari sumberdaya perikanan tersebut.

Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu rangkaian tindakan yang terorganisir untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama untuk memanfaatkan dan memelihara sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (sustainable). pengelolaan sumberdaya perikanan adalah merupakan proses yang terpadu antara lain meliputi kegiatan pengumpulan informasi, melakukan analisis, menyusun perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya, perumusan dan pelaksanaan serta evaluasi. Pengelolaan sumberdaya perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara, yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

Secara umum pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang diterapkan di Indonesia masih bersifat sentaralistik (Satria 2002). Dengan


(34)

demikian dapat diartikan dengan sistem ini proses pengelolaan sumberdaya perikanan semuanya diatur oleh pemerintah baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat nelayan yang dalam hal ini sebagai pengguna dari sumberdaya perikanan tersebut hanya menerima informasi tentang hasil-hasil kebijakan dari pemerintah. Kebijakan seperti ini dalam penerapannya sering menimbulkan kelemahan. Sehubungan dengan fenomena tersebut, Satria (2002) juga menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis sentralistik memiliki beberapa kelemahan antara lain: 1) aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi kepada masyarakat serta dalam pelaksanaanya sangat sulit diterapkan sehingga dalam hal ini sasaran yang diharapkan tidak tercapai, dan 2) biaya transaksi yang harus dibayar dalam pelaksanaan dan pengawasan sangat besar, hal ini berimplikasi lemahnya penegakan hukum.

Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun lokal. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada. Hal tersebut diakibatkan pendekatan yang digunakan selama ini masih merupakan pendekatan top-down. (Yahya 2005).

Selanjutnya Murdiyanto (2004) menyatakan pola pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah seringkali menghadapi kendala berupa tidak dipatuhinya aturan yang telah diterbit dan ditetapkan. Aturan yang ada menjadi mandul, tidak dapat dijalankan karena dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat nelayan sebagai pengguna sumberdaya, pemaksaan pemberlakuan aturan sering berakibat terjadinya konflik antara pihak pemerintah sebagai pengelola dan nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya. Masalah ini pada gilirannya pemerintah akan menanggung kerugiaan yang timbul akibat kegagalan mencapai tujuan pengelolaan yang diperparah dengan hilangnya segala energi


(35)

berupa dana (biaya) dan tenaga yang telah dikerahkan untuk merancang dan menjalankan proses pengelolaan secara sia-sia.

Disamping kelemahan-kelemahan di atas, pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat sentralistik juga dapat menimbulkan masalah dalam bentuk kelemahan-kelemahan dalam implementasinya, Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dalam pengelolaan sumberdaya secara sentralistik antara lain: 1) ketidakberdayaan dalam mencegah terjadinya kelebihan eksploitasi sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah diterapkan karena dibutuhkan waktu dalam peroses sosialisasi serta pelaksanaan, 2) kesulitan dalam penegakan hukum. Hal ini disebabkan kurangnya aparat dan fasilitas pendukung untuk melakukan pengawasan serta pengendalian di tingkat lapangan, 3) sering terjadi pertentangan antara peraturan yang diterbitkan pemerintah dengan aturan secara informal yang dianut ditingkat masyarakat setempat, sehingga menyebabkan timbulnya kemelut sosial di tengah masyarakat, 4) administrasi serta birokrasi yang tidak efektif yang menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi, 5) wewenang yang terdistribusi pada berbagai institusi, hal ini dapat mengakibatkan ketimpangan dalam pelaksanaannya, serta 6) data dan informasi yang disampaikan pemerintah sering kurang benar dan tidak akurat, sehingga tidak benar-benar menggambarkan realita di lapangan.

Dari beberapa uraian tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia yang terjadi selama ini belum dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sumberdaya perikanan serta masyarakat nelayan yang dalam hal ini sebagai pengguna sumberdaya perikanan. Tetapi sebaliknya terjadi pengurasan yang tidak memikirkan kelestarian terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri.

Dalam mencari langkah untuk mengeliminir serta mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut, Satria (2002) menyatakan perlu dicari suatu konsep dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat yang bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada pembangunan manusia, dimana sistem pengambilan keputusan dalam pelaksanaan program pengelolaan sumberdaya


(36)

perikanan berada ditangan organisasi yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri, sehingga pembangunan yang diprogramkan benar-benar dirasakan atau dimiliki oleh masyarakat. Sependapat dengan pandangan tersebut, Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa pemberdayaan komunitas nelayan harus dilakukan dengan tepat dan harus berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepada peningkatan kesadaran akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar masyarakat. Disamping itu juga, Nikijuluw (2002) mendefinisikan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebagai suatu proses pemberian berupa wewenang, tanggung jawab, serta kesempatan kepada masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan sumberdaya dengan terlebih dahulu memahami kebutuhan, tujuan serta aspirasinya. Seiring dengan pendapat tersebut Murdiyanto (2004) menyatakan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas merupakan model pengelolaan dimana dalam melakukan pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya perikanan masyarakat setempat mengambil tanggung jawab utama (signifikan).

Menurut Kusumastanto, et al. (1998) ciri-ciri dan sifat pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat antara lain: 1) pengelolaan sumberdaya alam cenderung berkelanjutan, 2) struktur pihak yang terlibat sederhana, hal ini dapat mempermudah dalam penerapan kebijakan atau program di lapangan mudah dilaksanakan, 3) bentuk pemanfaatan yang terbatas dan termasuk skala kecil, 4) tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen, karena komponen pengelolaannya berasal dari masyarakat itu sendiri, dan 5) rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam tinggi.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat diharapkan mampu untuk memacu peran sektor perikanan untuk memberikan kontribusi bagi peningkatan pembangunan. Untuk mendukung kelancaran dalam penerapan proses pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat, Mustamin (2003) menyatakan dalam melibatkan masyarakat lokal diperlukan pengetahuan, ketrampilan, perekonomian yang memadai dan partisipasi masyarakat. Untuk itu peran lembaga formal dan informal yang dalam hal ini sangat menentukan dalam mempersiapkan


(37)

masyarakat sebagai langkah awal sebelum penerapan suatu bentuk pengelolaan yang melibatkan masyarakat setempat.

Berhubungan dalam rangka memacu peran sektor perikanan di masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan telah

menetapkan empat misi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu: 1) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perikanan dan kelautan

khususnya nelayan dan petani ikan kecil, 2) peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, 3) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan, serta 4) terciptanya stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa (Dahuri 2000).

Harapan-harapan tersebut bukan merupakan hal yang mudah dalam proses pencapaiannya dengan berbagai macam permasalahan mendasar yang masih tersimpan, namun dengan keyakinan dan kekuatan yang digalang dari semua pihak, maka sumberdaya perikanan Indonesia dengan keanekaragaman (diversity) yang melimpah dengan jumlah stok yang sangat besar akan tetap memberi harapan dan peluang yang terbuka lebar untuk mewujudkan misi tersebut. Sesuai dengan pendapat Yahya (2005) bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan melalui kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan.

2.2 Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir

Menurut Dahuri (1999), perencanaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan mengacu kepada perpaduan antara prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pembangunan wilayah). Selanjutnya Budiharsono (2003) menyatakan ada sepuluh pilar pokok yang merupakan penopang bagi pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan yaitu: 1) pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, 2) perencanaan partisipatif dan penganggaran yang berkelanjutan, 3) pemberdayaan ekonomi rakyat, 4) peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia, 5) pembangunan prasarana dan sarana,


(38)

8) pengembangan demokrasi substantif inklusif, 9) perdagangan internasional dan antar wilayah, dan 10) pertahanan keamanan.

Didalam Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, menurut Nikijuluw (2002) perlu pelibatan masyarakat pesisir secara aktif mencakup sebagai berikut: 1) memberikan konsepsi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan, 2) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal, 3) menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli, 4) membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi generasi kini dan yang akan datang, dan 5) merehabilitasi habitat, dan memperkaya sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan yang berbasis masyarakat berarti bahwa masyarakat ikut menentukan atau dilibatkan dalam proses perencanaan, pemanfaatan, monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sumberdaya alam atau disebut juga dengan Community-Based Resource Management (CBRM).

Kemudian juga dinyatakan Nikijuluw (2002), dengan diberlakukannya CBRM diharapkan tujuan-tujuan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan dapat dicapai. Tiga tujuan utama pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas, pemerataan hasil dan kesejahteraan secara proporsional, dan pencapaian keberlanjutan sumberdaya. Ketiga tujuan ini merupakan pilar yang secara bersama dan seimbang mendukung keberadaan suatu sumberdaya alam

bagi kepentingan masyarakat. Ketiga tujuan ini harus dicapai secara bersama-sama, mengabaikan salah satu tujuan akan mengakibatkan pemanfaatan

dan pengelolaan sumberdaya menjadi tidak sehat yang akhirnya akan merusak sumberdaya itu sendiri serta menyengsarakan kehidupan masyarakat.

Menurut Budiharsono (2003), selain pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, perlu juga dilakukan perbaikan lingkungan tempat tinggal masyarakat pesisir yang saat ini sebagian besar dalam kondisi kumuh, lingkungan dan prasarana produksi serta meningkatkan peran masyarakat dalam menata dan mengelola lingkungan hidupnya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan hidup, baik tempat tinggal mereka maupun


(39)

habitat atau kawasan tempat kegiatan ekonomi produktif dijalankan, 2) membangun infrastruktur terutama yang menyangkut dengan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, 3) meningkatkan perencanaan dan pembangunan secara spasial dan daya dukung lingkungannya, 4) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok species dan habitat, koservasi dan rehabilitasi, mitigasi bencana, dan mengendalikan pencemaran.

Menurut Dahuri (1999), dalam proses perencanaan pembangunan wilayah pesisir, perlu diwujudkan dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Adapun tahap-tahap pengelolaan wilayah pesisir terpada berbasis masyarakat sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan

Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam, konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional (Dahuri, 1999).

Selanjutnya menurut Nikijuluw (2002), dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya


(40)

pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk 1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang

kehidupan mereka 2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan 3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan

2. Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana

Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti pemerintah daerah, masyarakat lokal, investor/swasta, instansi sektoral, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: 1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. 2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat

lokal dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan 3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari

masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan 4) penegakan hukum dan peraturan,


(41)

yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

3. Tahap Monitoring dan Evaluasi

Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.

Menurut Dahuri (1999), pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya mengelola sumber daya di wilayah pesisir, yang cukup menjanjikan dalam rangka meningkatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Kemudian beliau juga menyatakan setidaknya ada 4 (empat) keuntungan yang didapatkan dalam pengelolaan berbasis masyarakat: 1) masyarakat ikut mengontrol sumber daya di sekitar mereka, 2) dukungan yang luas dari masyarakat dalam pengelolaan sumber daya yang ada, 3) ketersediaan data yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya tersebut, 4) pengelolaan sumber daya dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di sekitarnya.

2.3 Co-Fish Project dalam Upaya Peningkatan Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia ke depan harus benar-benar mengarah kepada sistem pembangunan yang memanfaatkan ekosistem laut beserta segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya untuk kesejahteraan suatu bangsa secara berkelanjutan (on sustainable basis). Salah satu tujuan pembangunan yang ingin dicapai adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungannya (Dahuri 2000).

Untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan perikanan tersebut, diwujudkan suatu pencapaiannya salah satu melalaui Co-Fish Project. Proyek pengelolaan sumberdaya perikanan atau yang sering disebut dengan

Co-Fish Project adalah suatu proyek pemerintah yang salah satu tujuannya adalah untuk memajukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Co-Fish Project


(42)

berkelanjutan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Dalam upaya memperbaiki mutu sumberdaya perikanan serta habitatnya, proyek ini juga melakukan berbagai kegiatan dalam memajukan sumberdaya perikanan atau yang termasuk ke dalam Coasntal Fisheries Resource Management atau yang lebih dikenal dengan CFRM(Co-Fish Project 1998).

Gagasan munculnya proyek ini didasarkan atas beberapa masalah yang ditemukan pada sektor perikanan, diantaranya adalah semakin berkurangnya sumberdaya perikanan dan peningkatan kemiskinan masyarakat nelayan yang dapat menyebabkan kerugian-kerugian sosial yang semakin luas. Untuk itu perlu dicari langkah-langkah yang strategis guna menjaga kelangsungan sumberdaya dalam jangka waktu yang lama dengan melakukan pengenalan terhadap mata pencaharian alternatif dan tambahan untuk meningkatkan pendapatan serta memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat nelayan (Feliatra, et al. 1999).

Untuk mencapai tujuannya, Co-Fish Project melakukan berbagai langkah antara lain: 1) mengurangi tekanan di sektor perikanan tangkap, 2) mencegah terjadinya penangkapan yang berlebihan dan bersifat merusak, 3) meningkatkan kualitas hidup masyarakat nelayan, serta 4) mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang. Proyek ini mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan serta meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya dan pembangunan sektor perikanan secara berkelanjutan (Murdiyanto 2004).

Melalui Co-Fish Project berbagai upaya dilaksanakan bertumpu pada pendekatan multi-sektor dan azas partisipatif melalui pemgembangan kerjasama yang harmonis antara masyarakat selaku penerima manfaat dengan instansi terkait di tingkat pusat dan daerah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Upaya tersebut telah menunjukkan indikasi hasil positif berupa terbangunnya kesamaan persepsi dan kesatuan tindakan manajemen (managemnet measures) diberbagai kelompok stakeholder mengenai strategi pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkesinambungan, antara lain berupa penyusunan rencana dan

implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan seperti pembangunan

fish sanctuary, pengelolaan dan rehabilitasi mangrove, pembangunan terumbu karang buatan, resolusi konflik, restoking serta pelarangan terhadap penangkapan


(43)

ikan yang merusak (destructive fishing). Kegiatan-kegiatan tersebut disertai dengan penegakan aturan pengelolaan yang telah disepakati bersama antara anggota masyarakat yang dipelihara sebagai perangkat kebijakan lokal untuk selanjutnya diproyeksikan menjadi salah satu sumber penetapan hukum positif dalam bentuk peraturan daerah tentang pengelolaan sumberdaya perikanan (Murdiyanto 2004).

2.3.1 Tujuan dan Ruang Lingkup Co-Fish Project

Penangkapan ikan skala kecil telah menjadi sumber pendapatan pilihan terakhir bagi banyak penduduk miskin di daerah proyek. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan akses terbuka atas sumberdaya perikanan, serta bertambahnya penduduk. Untuk itu tujuan utama proyek adalah : 1) menggalakkan pengelolaan yang lestari atau berkesinambungan dari sumberdaya perikanan 2) menurunkan atau mengentaskan kemiskinan di daerah pesisir melalui penyediaan kesempatan dalam meningkatkan pendapatan serta meningkatkan standar hidup masyarakat nelayan (Co-Fish Project 1998).

Dalam implementasinya Co-Fish Project menetapkan ruang lingkup kegiatan-kegiatan proyek ditujukan sebagai berikut: 1) menggalakkan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, 2) meningkatkan pendapatan dan memperbaiki standar hidup dari masyarakat nelayan, 3) merehabilitasi fasilitas fisik perikanan serta memperbaiki dan meningkatkan kondisi sanitasi dan lingkungan serta kualitas produk, 4) memantapkan kapabilitas dari masyarakat nelayan, organisasi-organisasi pembangunan masyarakat, serta lembaga pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan (Co-Fish Project 1998).

2.3.2 Program-Program Co-Fish Project

Dalam pelaksanan pengelolaan sumberdaya perikanan Co-Fish Project

melaksanakan program-program sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, yaitu kegiatan yang bertujuan membangun model pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan meningkatkan pendapatan masyarakat.


(44)

2. Penyadaran masyarakat, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan.

3. Penguatan kelembagaan masyarakat, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang meliputi koordinasi, perencanaan dan pengelolaan kegiatan.

4. Penegakan hukum, yaitu kegiatan yang bertujuan bagi penegakan dan penyadaran hukum.

5. Pengadaan serta perbaikan sarana dan prasarana, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan sosial maupun ekonomi bagi masyarakat nelayan.

6. Monitoring dan evaluasi, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk memantau secara terus menerus kondisi dan permasalahan dalam kegiatan pembangunan masyarakat dan pengelolaam sumberdaya perikanan (Co-Fish Project 1998).

2.3.3 Komponen dan Pendekatan Proyek

Dalam implementasimya Co-Fish Project menerapkan 4 (empat)

komponen sebagai berikut: 1) pengelolaan sumberdaya perikanan, 2) pengembangan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, 3) perbaikan

lingkungan, dan 4) pemantapan kelembagaan. Serta pendekatan-pendekatan dalam implementasi sebagai berikut:

1. Penggunaan suatu pendekatan partisipatif, dengan pendekatan ini masyarakat nelayan akan memiliki kesempatan untuk mengorganisasi diri mereka sendiri (dengan bantuan dari lembaga pemerintah dan LSM), mengidentifikasi kebutuhan khusus mereka, serta merencanakan dan melaksanakan program pengelolaan sumberdaya perikanan khas masyarakat dan program pengembangan usaha.

2. Pelaksanaan kegiatan proyek secara fleksibel di masing-masing lokasi proyek melalui penentuan pendekatan-pendekatan alternatif atas kebutuhan khas dari masyarakat nelayan.


(45)

3. Pembinaan kapasitas dari lembaga pemerintah dalam sektor perikanan, LSM dan masyarakat nelayan.

4. Penciptaan kerjasama dan koordinasi yang lebih erat antara lembaga pemerintah dan LSM dalam konteks peran dan tanggung jawab yang ditetapkan proyek (Co-Fish Project 1998).

2.3.4 Kerangka dan Prinsip Kerja Co-Fish Project

Co-Fish Project dalam pelaksanaannya telah memperkenalkan dan mengupayakan penerapan suatu konsep pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat partisipatif. Masyarakat nelayan sebagai penduduk yang menetap di daerah pesisir merupakan stakeholder utama dalam kegiatan perikanan. Kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain bertujuan untuk mengembangkan pengelolaan perikanan berbasis komunitas dengan pendekatan partisipatif terhadap masyarakat nelayan. Tujuan lain adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dengan memperbaiki tingkat penghasilannya, memberikan fasilitas prasarana sosial dan menciptakan lapangan kerja alternatif.

Upaya-upaya memperbaiki kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dilaksanakan dengan mengelola atau melakukan pengaturan bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam usaha menggali kekayaan laut untuk memenuhi kebutuhan pangan, memberikan lapangan kerja dan memperoleh devisa atau tujuan positif lainnya (Co-Fish Project 1998). Prinsip kerja yang dibangun Co-Fish Project dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai berikut (Co-Fish Project 1998):

1. Dinas Perikanan Kabupaten dan Dinas Perikanan Provinsi bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan.

2. Stakeholder pengelolaan sumberdaya perikanan adalah masyarakat nelayan, sektor swasta dan instansi pemerintah.

3. Stakeholder adalah mitra dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

4. Stakeholder mempunyai kewajiban dalam pekerjaan mengurus dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

5. Partisipasi adalah proses pengambilan keputusan dua arah untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian masalah.


(46)

6. Kesadaran masyarakat adalah kunci dari pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari.

7. Pengelolaan perikanan adalah proses yang terus menerus berdasarkan pengetahuan yang lebih baik.

8. Proses pengambilan keputusan yang transparan.

9. Legislasi serta penegakan hukum dan peraturan adalah dasar dari penataan pengelolaan perikanan.

2.3.5 Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan

Dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan Co-Fish Project diawali dengan kegiatan penyusunan data base perikanan pantai yang akan memberikan landasan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Upaya dilanjutkan dengan mengidentifikasi isu-isu tentang permasalahan sumberdaya perikanan dan sosial yang berpotensi menjadi konflik.

Tujuan kegiatan pada komponen ini dimaksud untuk mewujudkan berfungsinya mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan dan konservasi habitat ikan berbasis masyarakat yang dilakukan secara partisipatif. Hal tersebut terwujud melalui terciptanya pengaturan upaya pemanfaatan, perlindungan habitat ikan dan peningkatan kepedulian akan kelestarian sumberdaya perikanan. Beberapa bentuk kegiatan antara lain berupa rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem bakau yang rusak atau mencegah proses abrasi pantai dengan penanaman pohon bakau baru, pengelolaan ekosistem terumbu karang berupa pembentukan daerah perlindungan laut, pembuatan dan pemasangan terumbu karang buatan, pembentukan daerah suaka ikan, dan kegiatan restoking ikan.

Selain hal di atas, dilakukan pula berbagai kegiatan untuk mengurangi tekanan id sektor perikanan tangkap serta menghilangkan dan mencegah adanya praktek penangkapan yang bersifat merusak seperti penggunaan racun (potasium

sianida) dan pemakaian bahan peledak (pemboman ikan). Ditinjau dari masing-masing lokasi proyek, terdapat perbedaan fokus kegiatan karena adanya

perbedaan permasalahan yang dihadapi diantara lokasi-lokasi proyek dan kebutuhan masyarakat setempat yang berbeda (Co-Fish Project 1998).

Sebelum pelaksanaan proyek dilakukan Resources and Ecological Assessment (REA) dan Social and Ecomic Assessment (SEA). Aktivitas


(47)

penyusunan rencana pengelolaan perikanan (management plan) dilakukan berdasarkan hasil elaborasi data base tentang kondisi sumberdaya ikan dan habitat (ekologi) melaui kajian REA, serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan melalui kajian SEA yang dilakukan pada awal kegiatan proyek. Kajian REA memberikan informasi tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kondisi habitat serta isu yang terjadi dalam konteks pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Sedangkan kajian SEA memberikan informasi tentang tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan keluarganya. Informasi yang terangkum dalam REA dan SEA selanjutnya dipergunakan untuk menyusun rencana perikanan pantai (fishery management plan) yang bersifat umum dan rangkaian rencana aksi (action plan) yang merupakan rangkaian rencana kegiatan. Rencana kegiatan disusun berdasarkan prioritas isu yang ada pada masing-masing lokasi proyek. Begitu halnya dengan implementasi kegiatan yang dilaksanakan di lokasi-lokasi proyek dimulai dan disesuaikan dengan kajian REA dan SEA. Menurut jenisnya di setiap lokasi dilakukan berbagai kegiatan yang termasuk dalam rangkaian kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang disesuaikan dengan kerangka pemikiran proyek (Co-Fish Project 1998).

2.4 Evaluasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Secara umum kata evaluasi berarti penilaian hasil dari suatu kegiatan. Evaluasi adalah upaya untuk mendokumentasikan dan melakukan penilaian tentang apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Dwijowijoto (2004) menyatakan evaluasi adalah upaya membandingkan antara apa yang direncanakan dengan hasil yang dicapai. Dari berbagai pengertian di atas dapat dipahami bahwa evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk membandingkan antara apa yang direncanakan sebelum pelaksanaan program dengan hasil yang dicapai setelah program itu dilaksanakan dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditetapkan.

Dalam memahami pengertian tentang evaluasi, Dwijowijoto (2004) juga menyatakan secara umum terdapat dua konsep besar yang berhubungan dengan evaluasi yaitu:

1. Konsep evaluasi formatif, dimana evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilaksanakan selama program berjalan untuk memberikan informasi


(1)

Lampiran 9 Lembaran kuisioner AHP persepsi

stakeholder

tentang arah

pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke

depan

Nomor :………...

Tanggal Wawancara :………. Tempat Wawancara :……….

Nama Responden :

Kelompok : Pemerintah Daerah/Co-Fish Project/ Cendikiawan/Pengusaha Perikanan/ Masyarakat

Pekerjaan /Jabatan :

Alamat :

Kami mohon Bapak/ibu dapat mengisinya secara objektif dan benar karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah

PENELITI : IRWAN KURNIAWAN

A155040111

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

KAJIAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

(CO-FISH PROJECT ) DAN DAMPAKNYA TERHADAP

KONDISI SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BENGKALIS


(2)

PERSEPSI STAKEHOLDER TENTANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BENGKALIS

PETUNJUK PENGISIAN TABEL

1. Responden hanya mengisi nilai sesuai intensitas kepentingan, antara satu faktor terhadap faktor pembanding yang lain dengan memberi nilai antara 1-9.

2. urutan intensitas dengan keterangan seperti Tabel sebagai berikut. Tingkat

kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. 3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting daripada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya. 5 Elemen yang satu lebih penting dari

pada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih penting

daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan. 1. Menurut bapak/ibu dari kelima Aktor di bawah ini, aktor mana yang berpengaruh dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan a. Pemerintah

b. Co-fish Project

c. Pengusaha Perikanan d. Cendikiawan e. Masyarakat Elemen Pada

Aktor Pemerintah Cofis-Project

Pengusaha

Perikanan Cendikiawan Masyarak at Pemerintah

Cofis-Project Pengusaha Perikanan Cendikiawan Masyarakat

2. Menurut bapak/ibu dari keenam faktor di bawah ini manakah yang menjadi isu utama yang lebih diprioritaskan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Sosial

b. Sarana Prasarana c. Partisipasi Masyarakat d. Ekonomi

e. Kelembagaan f. Keberlanjutan


(3)

Faktor yang Menjadi Isu Utama

Sosial Prasarana Partisipasi

Masyarakat Ekonomi

Kelembag-aan

Keberlanj -utan Sosial

Sarana Prasarana Partisipasi Masyarakrat

Ekonomi Kelembagaan Keberlanjutan

3. Menurut bapak/ibu dari ketiga permasalahan di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan dalam menangani permasalahan sosial pada pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Hubungan antarnelayan b. Pendidikan

c. Konflik antarnelayan

Sosial Masyarakat Hubungan nelayan Pendidikan Konflik antarnelayan Hubungan

antarnelayan Pendidikan Konflik antarnelayan

4. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada peningkatan hubungan antarnelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Informasi

b. Pembangunan solidaritas antarnelayan Hubungan

Antarnelayan Informasi

Pembangunan solidaritas nelayan Informasi

Pembangunan solidaritas nelayan

5. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan dalam penyelesaian konflik antarnelayan pada pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Penertiban penggunaan jaring batu yang ada

b. Pemberian bantuan alat tangkap jaring batu kepada masyarakat tradisional Elemen Pada Konflik

Antarnelayan

Penertiban penggunaan jaring batu yang ada

Pemberian bantuan alat tangkap jaring batu kepada masyarakat

tradisional Penertiban penggunaan

jaring batu yang ada Pemberian bantuan alat tangkap jaring batu kepada

masyarakat tradisional

6. Menurut bapak/ibu dari kedua jenis fasilitas di bawah ini yang lebih diprioritaskan dalam pembangunan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.


(4)

b. Fasilitas Pemerintah Elemen Pada Sarana

Prasarana Fasilitas Nelayan Fasilitas Pemerintah

Fasilitas Nelayan Fasilitas Pemerintah

7. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada pembangunan fasilitas nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Pelabuhan perikanan b. Tempat pelelangan ikan Elemen Pada Pemb.

Fasilitas nelayan

Pelabuhan perikanan

Tempat pelelangan ikan Pelabuhan

ikan Tempat pelelangan ikan

8. Menurut bapak/ibu dari ketiga tahap partisipasi masyarakat di bawah ini manakah yang lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Evaluasi Elemen Pada

Partisipasi Masyarakat Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Perencanaan

Pelaksanaan Evaluasi

9. Menurut bapak/ibu dari kedua jenis permasalahan di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada peningkatan ekonomi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Pendapatan b. Mata Pencaharian Elemen Pada Ekonomi

Masyarakat Pendapatan Mata Pencaharian Pendapatan

Mata Pencaharian

10. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada peningkatan pendapatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Pascapanen b. Harga produksi


(5)

Elemen Pada Pendapatan

Nelayan Pascapanen Harga produksi

Pascapanen Harga produksi

11. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada perbaikan mata pencaharian untuk memperbaiki mata pencaharian masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Pembukaan lapangan kerja baru b. Pembangunan desa nelayan Elemen Pada Mata

Pencaharian Nelayan

Pembukaan lapangan kerja baru

Pembangunan desa nelayan

Pembukaan lapangan kerja baru

Pembangunan desa nelayan

12. Menurut bapak/ibu dari ketiga unsur-unsur kelembagaan di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada peningkatan peran serta kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Kelembagaan Nelayan b. Kelembagaan Pemerintah c. Kelembagaan Ekonomi

Elemen Pada Kelembagaan Kelembagaan Nelayan

Kelembagaan Pemerintah

Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan Nelayan

Kelembagaan Pemerintah Kelembagaan Ekonomi

13. Menurut bapak/ibu dari kedua skenario di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan pada peningkatan peran serta kelembagaan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Koperasi nelayan b. Lembaga perkreditan Elemen Pada Kelembagaan

ekonomi

Koperasi nelayan

Lembaga perkreditan Koperasi nelayan

Lembaga, perkreditan

14. Menurut bapak/ibu dari ketiga jenis upaya di bawah ini manakah yang lebih diprioritaskan dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan.

a. Pembatasan wilayah penangkapan ikan b. Pembatasan jenis alat penangkapan ikan c. Pembatasan izin usaha penangkapan ikan Keberlanjutan sumberdaya perikanan Batas

Wil. Tangkap ikan

Batas jenis alat tangkap ikan

Batas izin usaha tangkap ikan Pembatasan wilayah penangkapan ikan

Pembatasan jenis alat penangkapan ikan Pembatasan izin usaha penangkapan ikan


(6)