BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN BALITA KE POSYANDU

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Ambulasi Dini 2.1.1 Defenisi Ambulasi Dini

Menurut Asmadi (2009: 122) ambulasi adalah kegiatan berjalan yang menggunakan tubuh secara efisien, tidak banyak keluar tenaga, terkoordinasi, dan dapat mempertahankan keseimbangan selama aktivitas. Ambulasi dini adalah cara menggunakan tubuh yang tidak banyak menggunakan tenaga, terkoordinasi, dan dapat mempertahankan keseimbangan selama aktivitas, Hidayat (2009: 203). Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien paska operasi dimulai dari bangun dan duduk disisi tempat tidur sampai pasien turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai belajar berjalan dengan bantuan alat sesuai kondisi pasien, Fauzi (2010: 312).

2.1.2 Manfaat Ambulasi Dini

Ambulasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk mulai berjalan. Menurut Asmadi (2009: 125) manfaat ambulasi dini adalah sebagai berikut:

1) Menurunkan insiden komplikasi immobilisasi pasca operasi.

Komplikasi meliputi : sistem integumen, kerusakan integritas kulit seperti abrasi dan dekubitus. Sistem kardiovaskuler meliputi penurunan kardiak reserve, peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatik dan phlebotrombosis. Sistem

6 6


(2)

respirasi, penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi volunter maksimal, penurunan ventilasi/perfusi setempat dan mekanisme batuk yang menurun. Sistem pencernaan, anoreksia, konstipasi dan metabolisme. Sistem perkemihan, infeksi saluran kemih. Sistem muskuloskeletal, penurunan massa otot, osteoporosis, pemendekan serat otot dan kontraktur sendi.

2) Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi.

3) Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi abdomen. 4) Mempercepat proses pemulihan pasien pasca operasi.

5) Mengurangi tekanan pada kulit/dekubitus. 6) Penurunan intensitas nyeri.

7) Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal.

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini

Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah menurut Saputra (2013: 282) adalah sebagai berikut:

1) Pertumbuhan dan perkembangan

Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses diseluruh kehidupan seseorang dimana dia bergerak dari potensial untuk mencapai aktualisasi diri. Terhadap usia dan perkembangan sistem muskuloskeletal dan saraf berpengaruh terhadap postur, proporsi tubuh, massa tubuh, pergerakan, serta reflek tubuh seseorang, Saputra (2013: 282).

2) Status Kesehatan

Status kesehatan adalah kondisi pasien dari badan, jiwa, dan sosial yang sehat dan dapat bekerja secara normal. Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau


(3)

sistem saraf, trauma, atau kecacatan dapat mengganggu pergerakan dan mekanisme tubuh, Saputra (2013: 282).

Kesehatan adalah suatu hal yang kontinu, yang berada dari titik ujung sehat wal’afiat sampai dengan titik pangkal sakit serius. Notoatmodjo (2012: 3 - 4) mengklasifikasikan bentangan sehat-sakit menjadi tiga, yakni:

(1) Body movement, di mana seseorang masih bisa menggerakkan anggota tubuhnya, walaupun dalam keadaan sakit.

(2) Mobility, di mana seseorang mampu melakukan kegiatan kemana saja (mobilitas), walau belum/tidak dapat menjalankan tugas atau pekerjaan utamanya.

(3) Major role activity, di mana seseorang masih mampu melakukan kegiatan utamanya, sesuai dengan pekerjaan atau tugasnya.

3) Status Mental

Status mental menurut Saputra (2013: 282) adalah keadaan kejiwaan yang dimiliki seseorang. Kondisi psikologis seseorang dapat mempengaruhi keinginan seseorang bergerak. Kondisi depresi atau stres yang berkepanjangan dapat menguras energi sehingga individu tidak antusias untuk melakukan aktivitas. Kondisi ditandai dengan penurunan napsu makan, perasaan tidak bergairah, dan pada akhirnya menyendiri.

4) Nutrisi

Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemiliharaan kesehatan. Nutrisi tersebut didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.


(4)

Nutrisi dibutuhkan untuk mempetahankan status kesehatan. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan pelemahan otot sehingga aktivitas atau pergerakan berkurang. Asupan nutrisi yang berlebihan dapat menyebabkan individu menjadi mudah lelah sehingga pergerakannya terbatas. Saputra (2013: 282).

5) Situasi dan Kebiasaan

Kebiasaan adalah pengulangan sesuatu secara terus menerus yang tertanam dalam jiwa atau tabiat. Individu dengan tingkat kesibukan tinggi secara tidak langsung akan sering menggerakkan tubuhnya, sedangkan individu yang tidak memiliki kesibukan yang tinggi akan lebih sedikit beraktivitas atau menggerakkan tubuh, Saputra (2013: 283).

6) Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah nasihat, sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita sakit. Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Ambulasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan berpatisipasi dalam latihan, Saputra (2013: 283).

Ada 4 jenis dukungan keluarga menurut Jhonson (2010: 7), yaitu: (1) Dukungan Informasional.

Keluarga berfungsi untuk menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.


(5)

(2) Dukungan Penilaian.

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian. (3) Dukungan Instrumental.

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun, selain itu individu merasa bahwa ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.

(4) Dukungan emosional.

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai keingintahuan orang lain. 7) Pengetahuan

Pengetahuan adalah informasi yang telah diproses dan diorganisasikan untuk memperoleh pemahaman. Seseorang memiliki pengetahuan yang lebih tentang penggunaan mekanika tubuh akan terdorong untuk melakukan mekanika tubuh dengan benar sehingga mengurangi tenaga yang dikeluarkan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang mekanika tubuh akan berisiko mengalami gangguan koordinasi, Saputra (2013: 283).


(6)

Pengetahuan secara kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan menurut Notoatmodjo (2007: 144) yaitu:

(1) Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tau merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.

(2) Memahami (comprehention). Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginteprestasikan materi tersebut secara benar.

(3) Aplikasi (aplikasi). Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang jelas dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

(4) Analisis (analisysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi/suatu obyek kedalam komponen-komponen dalam satu struktur organisasi dan ada kaitannya satu sama lain.

(5) Sintesis (syntesis). Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formasi baru dari formulasi yang ada. (6) Evaluasi (evaluation). Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu obyek atau materi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.


(7)

Kriteria pengukuran tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007: 146) adalah:

(1) Pengetahuan baik: bila jawaban benar 76 – 100 %. (2) Pengetahuan cukup: bila jawaban benar 56 – 75 %. (3) Pengetahuan kurang: bila jawaban benar < 56 %.

2.2.1 Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

2.2.1.1 Latihan ambulasi menurut Hidayat (2009: 206 - 208) 1) Miring kiri miring kanan di atas tempat tidur (Hari pertama) 2) Duduk di atas tempat tidur (Hari kedua)

Prosedur kerja:

(1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. (2) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badanya dengan

telapak tangan menghadap ke bawah.

(3) Berdirilah di samping tempat tidur dan letakkan tangan pada bahu pasien. (4) Bantu pasien untuk duduk dan beri penopang atau bantal.

3) Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda (Hari ketiga) Prosedur kerja:

(1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. (2) Pasang kunci kursi roda.

(3) Berdirilah menghadap pasien dengan kedua kaki merenggang. (4) Tekuk sedikit lutut dan pinggang Anda.

(5) Anjurkan pasien untuk meletakkan kedua tangannya di bahu Anda. (6) Letakkan kedua tangan Anda di samping kanan dan kiri pinggang pasien.


(8)

(7) Ketika kaki pasien menapak di lantai, tahan lutut Anda pada lutut pasien. (8) Bantu pasien berdiri tegak dan berjalan sampai ke kursi roda.

(9) Bantu pasien duduk di kursi roda dan atur posisi agar nyaman. 4) Membantu pasien berjalan (Hari ketiga)

Prosedur kerja:

(1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. (2) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badan atau memegang

telapak tangan Anda.

(3) Berdirilah di samping pasien dan pegang telapak tangan dan lengan bahu pasien.

(4) Bantu pasien berjalan. 2.3 Konsep Fraktur 2.3.1 Defenisi Fraktur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan. Patah tulang biasanya disebabkan oleh karena trauma atau kekuatan fisik dan dapat disebabkan oleh: kecelakaan lalu lintas, jatuh, tumor, infeksi, osteoporosisi, olah raga, maupun beban yang berlebihan, Saryono (2008: 22). Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Penyebab fraktur meliputi pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrem, Suratun, dkk (2008: 148).

Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang sering disebabkan


(9)

oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula dan juga dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah, Suratun, dkk (2008: 148).

2.3.2 Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur menurut Saryono (2008: 22) dibagi menjadi dua yaitu: 1) Fraktur tertutup (closed) yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar.

2) Fraktur terbuka (open/compound) yaitu bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.

Fraktur terbuka terbagi tiga derajat yaitu: 1) Derajat I:

(1) Luka < 1 cm.

(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka parah. (3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif fragmen. (4) Kontaminasi minimal.

2) Derajat II:

(1) Laserasi > 1 cm.

(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse. (3) Fraktur kominutif sedang.


(10)

3) Derajat III:

(1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan neuro vascular.

(2) Kontaminasi tinggi.

Fraktur derajat III terbagi atas:

a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse; atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.

b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpencar atau kontaminasi masif.

(3) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak, Saryono (2008: 22 - 23).

2.4 Fraktur Ekstremitas Bawah

Menurut Thomas (2011: 245) jenis-jenis fraktur pada bagian ekstremitas bawah, antara lain sebgai berikut:

1) Fraktur Collum Femoris

Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi di sebelah proksimal linea intertrochanterica pada daerah intrakapsular sendi panggul. Fraktur collum femoris pada manula terjadi secara spontan atau disebabkan oleh trauma dengan energi rendah. Populasi ini biasanya menderita osteoporosis senilis (Tipe II), yang menyebabkan kelemahan baik pada tulang kortikal maupun trabekular collum femoris dan merupakan predisposisi terjadinya fraktur. Pasien muda, perlu energi


(11)

yang tinggi untuk dapat menyebabkan fraktur collum femoris sehingga dislokasi fraktur dan kerusakan aliran darah biasanya akan lebih besar pada kasus seperti ini, Thomas (2011: 245 - 246).

2) Fraktur Intertrochanter

Fraktur intertrochanter adalah fraktur yang terjadi di antara trochanter major dan minor sepanjang linea intertrochanterica, di luar kapsul sendi. Jatuh yang terjadi pada seorang pasien osteoporosis senilis atau pasca menopause merupakan kejadian yang terbanyak pada fraktur ini. Trauma berenergi tinggi menyebabkan fraktur tipe ini pada pasien muda; pada keadaan ini, fraktur intertrochanter biasanya menyertai fraktur corpus (shaft) femoris. Thomas (2011: 262).

3) Fraktur Subtrohanter Femur

Fraktur subtrohanter merupakan fraktur yang terjadi antara trohanter minor dan di dekat sepertiga proksimal corpus femur. Fraktur dapat meluas ke proksimal sampai daerah intertrochanter. Fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma berenergi tinggi pada pasien muda atau perluasan fraktur intertrochanter ke arah distal pada pasien menula, Thomas (2011: 276).

4) Fraktur Corpus Femoris

Fraktur corpus femoris adalah fraktur diafisis femur yang tidak melibatkan daerah artikular atau metafisis. Trauma energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab terbanyak fraktur femur. Fraktur ini berhubungan dengan trauma jaringan lunak yang berat dan pada saat yang bersamaan terjadi luka terbuka.


(12)

Trauma energi rendah dan gaya tidak langsung juga dapat menyebabkan fraktur pada manula yang tulangnya osteopenik atau melemah akibat tumor. Cedera tulang patologis biasanya sebagai akibat gaya puntiran atau spiral dan jarang disertai cedera jaringan lunak, Thomas (2011: 291).

5) Fraktur Femur Suprakondilar

Fraktur femur suprakondilar melibatkan aspek distal atau metafisis femur. Daerah ini mencangkup 8-15 cm bagian distal femur dan fraktur ini sering melibatkan permukaan sendi. Banyak sistem klasifikasi kompleks yang harus dianjurkan untuk fraktur ini, dan semuanya mencoba untuk mendefinisikan jumlah kominutif dan derajat dislokasi fragmen fraktur.

Sistem klasifikasi AO yang diperbeharui oleh Muller diterima secara luas. Sistem ini mencangkup pembagian fraktur menjadi ekstraartikular (Tipe A), unikondilar (Tipe B), dan bikondilar (Tipe C). Klasifikasi ini kemudian dibagi menjadi subtipe 1-3 pada masing-masing kelompok. Derajat keparahan fraktur semakin meningkat dan prognosisnya semakin buruk sejalan dengan peningkatan tipe dari A ke C, serta dari 1 ke 3.

Pasien berusia muda, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi tinggi, seperti tertabrak mobil. Fraktur ini biasanya disertai cedera penyerta lainnya. Pasien manula, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi rendah, seperti jatuh. Thomas (2011: 309 - 310).

6) Fraktur Patella

Fraktur patella diklasifikasikan menjadi fraktur dengan dislokasi atau tanpa dislokasi/nondislokasi. Fraktur patella yang mengalami pergeseran sendikurang


(13)

dari 1-2 mm atau pemisahan fragmen fraktur kurang dari 3 mm, dianggap sebagai fraktur nondislokasi. Fraktur patella juga dapat dideskripsikan sebagi fraktur transversal, longitudinal, atau kominutif. Fraktur patella ekstraartikular juga melibatkan kutub patella dan biasanya disebabkan oleh cedera avulsi.

Trauma langsung pada patella merupakan penyebab tersering fraktur patella. Gaya tidak langsung akibat kontraksi kuat m. Quadriceps juga bisa menyebabkan fraktur patella, Thomas (2011: 323).

7) Fraktur Plato Tibia

Fraktur plato tibia merupakan fraktur pada aspek proksimal atau metafisis os. Tibia dan sering juga melibatkan permukaan sendi. Fraktur ini diklasifikasikan menjadi enam tipe menurut Schatzker.

(1) Tipe I adalah fraktur baji (wedge) atau belah (split) plato tibia lateral.

(2) Tipe II adalah fraktur split depression plato lateral dan melibatkan cedera sendi.

(3) Tipe III adalah fraktur depresi murni plato lateral yang juga melibatkan cedera sendi.

(4) Tipe IV adalah fraktur split depression plato tibia medial, sering melibatkan eminensia interkondiler dan ligamentum cruciatum terkait. Fraktur tipe ini sering disertai dengan cedera sendi.

(5) Tipe V adalah fraktur bikondiler yang melibatkan kedua sisi palto. Tipe ini dikenal sebagai fraktur terbalik (inverted Y fracture) dan biasanya disertai dengan cedera sendi.


(14)

Spina tibia terletak pada permukaan proksimal os. tibia. Fraktur spina tibia diklasifikasikan dan ditangani secara berbeda fraktur plato tibia. Fraktur spina tibia yang miring ke arah anterior tapi dasar frakturnya masih tetap melekat dengan os. tibia diklasifikasikan menjadi tipe I bila derajat kemiringan frakturnya ringan dan tipe II bila derajat kemiringannya besar. Fraktur spina tibia tipe III – spina tibia terlepas seluruhnya dari os. tibia, diklasifikasikan menjadi tipe III-A bila fragmen frakturnya tidak berotasi dan tipe III-B bila disertai dengan rotasi.

Penanganannya meliputi pemasangan gips sepanjang kaki dalam posisi ekstensi selama 6 minggu untuk tipe I, II, dan III-A. Semua raktur tipe III-B dan tipe I, II, atau III-A yang tidak dapat dilakukan ekstensi penuh memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi interna, dan biasanya ditangani dengan lag screw fragmen kecil.

Fraktur plato tibia paling sering terjadi akibat gaya ke arah medial, yang menghasilkan deformitas valgus (“bumper fracture” klasik). Fraktur ini juga dapat terjadi akibat gaya ke arah lateral (menyebabkan deformitas varus), gaya kompresi aksial, atau kombinasi gaya aksial dengan gaya langsung ke arah medial atau lateral. Pasien muda dengan tulang metafisis yang relatif kuat biasanya mengalami fraktur split murni (tipe I). Pasien tua dengan tulang metafisis yang relatif lemah, biasanya mengalami fraktur depresi. Thomas (2011: 336 - 338). 8) Fraktur Corpus Tibia

Fraktur corpus tibia adalah fraktur diafisis yang biasanya tidak melibatkan persendian atau daerah metafisis. Trauma berenergi besar pada impaksi langsung dapat mengakibatkan fraktur transversal atau kominutif yang sering menghasilkan


(15)

fraktur terbuka. Trauma tidak langsung berenergi rendah akibat puntiran (twisting) saat kaki menapak pada tanah atau jatuh dari ketinggian, dapat mengakibatkan fraktur berpola spiral atau oblique, Thomas (2011: 353).

9) Fraktur Plafond Tibia

Fraktur plafond (permukaan artikuler distal) tibia terjadi di permukaan horizontal penanggung beban tibia distal. Fraktur malleolus medialis atau lateralis mungkin dengan atau tanpa melibatkan plafond. Fraktur pilon adalah farktur plafond dengan garis fraktur yang memanjang sampai supramalleolar distal tibia, dengan atau tanpa disertai pergeseran, dapat bersifat kominutif luas maupun impaksi.

Fraktur plafond tibia disebabkan oleh impaksi berenergi tinggi, biasanya merupakan gaya deselerasi seperti yang terjadi saat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan kendaraan bermotor, Thomas (2011: 371).

10) Fraktur Pergelangan Kaki

Fraktur pergelangan kaki meliputi fraktur pada malleolus medialis dan literalis maupun permukaan distal sendi os. tibia dan fibula. Fraktur pergelangan kaki meliputi:

(1) Fraktur malleolus lateral tunggal (ekstraartikular). (2) Fraktur bimalleolar (intraartikular).

(3) Fraktur malleolus medialis (intraartikular).

(4) Fraktur bimalleolar ekuivalen (intraartikular), fraktur pada malleolus lateralis disertai dengan sisi medial celah pergelangan kaki yang melebar.


(16)

(5) Fraktur trimalleolus (intraartikular), melibatkan malleolus medialis dan literalis dan aspek posterior plafond tibia.

Fraktur pergelangan kaki dapat merobek sindesmosis distal antara tibia dan fibula. Semua fraktur pergelangan kaki melibatkan cedera ligamen. Gaya yang relatif lemah, akibat pergerakan seperti tergelincir atau memutar pergelangan kaki, merupakan penyebab utama fraktur pergelangan kaki. Gaya berenergi tinggi langsung atau tidak langsung, seperti yang terjadi ketika kecelakaan kendaraan bermotor, juga dapat menyebabkan fraktur pergelangan kaki.

Pola cedera pergelangan kaki tergantung pada posisi kaki saat kejadian cedera, bisa supinasi maupun pronasi. Kombinasi antara posisi kaki dan gaya perusak memberikan pola tertentu fraktur pergelangan kaki. Empat gaya perusak yang paling sering (sesuai frekuensinya) adalah supinasi/rotasi eksterna, pronasi/rotasi eksterna, supinasi/adduksi, dan pronasi/rotasi abduksi. Pergerakan tubuh dengan kaki menapak akan mengakibatkan memperberat cedera. Puntiran akan mengakibatkan rotasi eksterna. Jatuh pada satu sisi akan menghasilkan cedera adduksi atau abduksi, Thomas (2011: 390 - 392).

11) Fraktur Talus

Fraktur hindfoot adalah fraktur yang melibatkan calcaneus dan talus. Fraktur talus meliputi fraktur collum talus, corpus talus, atau caput talus, dan juga fraktur osteokondral dan fraktur prosesus lateralis.

Fraktur corpus dan collum talus biasanya diakibatkan oleh cedera energi tinggi seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur caput dan aspek posterior talus biasanya terjadi akibat dari pembebanan aksial. Fraktur


(17)

osteokondral dan prosesus lateralis dapat terjadi bersamaan dengan sprain pergelangan kaki atau sprain subtalar dan fraktur. Thomas (2011: 414).

12) Fraktur Calcaneus

Fraktur hindfoot adalah fraktur yang melibatkan calcaneus (os. kalsis) ataupun talus beserta prosesusnya. Fraktur calcaneus bersifat intraartikular, melibatkan sendi subtalar dan kadang-kadang sampai sendi kalkaneokuboid. Fraktur non artikular calcaneus biasanya melibatkan bagian posterior calcaneus yang berbentuk paruh; posterior beak (bagian posterior os. calcaneus yang meliputi tempat inseri dari tendon Achilles) dan dapat disertai atau tanpa melibatkan cedera tendon Achilles.

Fraktur calcaneus (os. kalsis) sering terjadi diakibatkan oleh benturan yang mendadak dan berkecepatan tinggi pada tumit, seperti pada kecelakaan kendaraan bermotor. Thomas (2011: 432 - 433).

13) Fraktur Midfoot

Farktur midfoot melibatkan sendi tarsometatarsal (Lisfranc), os. cuneiforme, naviculare (scaphoid), dan cuboid. Cedera terjadi pada sendi tarsometatarsal dapat dengan atau tanpa disertai fraktur basis metatarsal dan didekripsikan lebih jauh sebagai homolateral (bila melibatkan subluksasi metatarsal pada satu arah yang sama), isolated (dengan pergeseran satu atau dua metatarsal) atau divergen (pergeseran pada bidang sagital maupun koronal. Ada berbagai fraktur tulang naviculare (scaphoid) meliputi avulsi korteks, fraktur tuberositas (yang biasa melibatkan tendon tibialis posterior), fraktur korpus, dan fraktur tekan (stress facture).


(18)

Tiga penyebab tersering fraktur midfoot adalah cedera akibat puntiran kaki depan, pembebanan aksial pada kaki yang terfiksasi, dan remuk. Cedera puntiran sering terjadi saat kecelakaan kendaraan bermotor ketika kaki dipaksa abduksi atau ketika kaki depan terfiksasi sedangkan midfoot dan hindfoot terpuntir disekitarnya, seperti ketika kaki terperangkap dalam anak tangga. Beban aksial pada kaki yang terfiksasi dapat terjadi pada satu dari dua cara: kompresi aksial ekstrinsik pada tumit, seperti ketika jatuh dengan kaki yang sangat dorsofleksi, atau pergelangan kaki equinus ekstrim dengan beban aksial dari berat badan, seperti yang terjadi saat turun dari pelana kuda. Impaksi langsung yang dapat meremukkan dorsum kaki biasanya terjadi pada kecelakaan industri. Pada cedera ini, klinisi harus benar-benar teliti mengevaluasi kaki akan adanya sindrom kompartemen dan cedera pada arteria dorsal pedis, Thomas (2011: 451 - 453). 14) Fraktur Forefoot

Fraktur ferefoot adalah fraktur yang melibatkan ibu jari atau jari-jari kaki lainnya (falangs), metatarsal, atau tulang-tulang sesamoid. Fraktur falangs atau fraktur metatarsal bisa berupa fraktur intraartikular atau ekstraartikular. Fraktur falangs atau metatarsal dapat melibatkan kolum dan korpus. Fraktur ini juga melibatkan sendi Lisfranc. Fraktur metatarsal diklasifikasikan sebagi fraktur stabil dan tidak stabil. Konfigurasi tidak stabil biasanya melibatkan fraktur multipel metatarsal yang kominutif, fraktur dengan pergeseran ataupun fraktur lain yang melibatkan metatarsal pertama. Fraktur ini dapat mengalami komplikasi sindrom kompartemen kaki atau pengelupasan kulit.


(19)

Fraktur korpus metatarsal kelima proksimal memiliki eponim fraktur Jones. Fraktur ini sering dikacaukan dengan fraktur apofiseal pada basis metatarsal kelima. Fraktur sesamoid meliputi terbelahnya atau fragmentasi dari satu atau dua tulang kecil yang terdapat tendon fleksor hallusis longus. Tulang ini penting karena perannya dalam distribusi beban ferefoot.

Fraktur falangs proksimal pertama disebabkan oleh trauma langsung atau akibat mekanisme avulsi, seperti ketika ibu jari kaki tersangkut kaki meja atau kaki kursi. Fraktur falangs jari kaki lainnya biasanya diakibatkan oleh trauma langsung.

Fraktur metatarsal pertama sampai metatarsal keempat biasanya diakibatkan oleh trauma langsung. Fraktur metatarsal kedua sampai kelima dapat juga terjadi sebagai akibat cedera puntiran. Fraktur tekan diafisis umumnya terjadi pada metatarsal kedua sampai keempat dan umumnya disebabkan oleh trauma berulang. Fraktur avulsi apofisis proksimal dan korpus proksimal metatarsal kelima dapat terjadi setelah cedera inversi pada pergelangan kaki ketika sedang plantarfleksi, Thomas (2011: 474 - 475).

2.5 Tahap Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis dan terjadi secara alami pada setiap patah tulang. Tahapan penyembuhan fraktur menurut Saryono (2008: 26) adalah sebagi berikut:

1) Haematom: adanya perdarahan disekitar patah tulang karena terputusnya pembuluh darah tulang dan periost.


(20)

(1) Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom. 24 jam suplai darah ke ujung fraktur meningkat.

(2) Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak dapat diabsorbsi selama proses penyembuhan tersebut berubah dan berkembang menjadi granulasi.

2) Proliferasi sel:

(1) Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berpaliferasi pada sekitar fraktur. (2) Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus,

lapisan periosteum melebihi tulang.

(3) Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung fraktur.

3) Pembentukan callus:

(1) Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk callus.

(2) Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus. (3) Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang

melebihi normal. Ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan, sementara itu meluas melebihi garis fraktur.

4) Ossification/fase penyatuan klinis: terjadi penulangan atau osifikasi yang menyebabkan callus fibrosa menjadi callus tulang.

(1) Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam kalsium dan bersatu di ujung tulang.

(2) Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan berakhir pada bagian tengah.


(21)

(3) Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.

5) Konsilodasi dan remodelling: terjadi penggantian sel tulang secara berangsur-angsur yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Kekuatan callus ini sama dengan kekuatan tulang biasa. (1) Terbentuknya tulang yang bersal dari callus dapat dibentuk dari aktivitas

osteoblast dan osteoklas.

Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur menurut Saryono (2008: 27) adalah sebagai berikut:

1) Immobilisasi fragmen tulang. 2) Kontak fragmen tulang maksimal. 3) Vaskularisasi darah yang memadai. 4) Nutrisi yang baik.

5) Latihan beban pada tulang panjang.

6) Hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.

Faktor yang dapat menghambat penyembuhan fraktur menurut Saryono (2008: 27 - 28) :

1) Trauma lokal ekstensif. 2) Kehilangan tulang.

3) Immobilisasi tidak optimal.

4) Adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang. 5) Infeksi.

6) Keganasan lokal.


(22)

8) Radiasi tulang. 9) Usia.

10) Kortikosteroid.

Penyebab tidak menyambungnya fraktur (Nonuion) menurut Saputra (2012: 408) adalah sebagi berikut:

1) Destruksi jaringan lunak secara berlebihan pada saat terjadi luka dan pada waktu tindakan reduksi terbuka.

2) Fraktur yang mengakibatkan perdarahan yang buruk seperti collum femoris, skafoid, dan talus.

3) Immobilisasi yang tidak adekuat.

4) Interposisi jaringan lunak di antara fragmen-fragmen. 5) Infeksi.

6) Distraksi fraktur yang berlebihan. 7) Keadaan defisiensi seperti skorbut.

2.6 Terapi Aktivitas Ambulasi Dini Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Berdasarkan Letak Frakturnya.

1) Fraktur Collum Femoris

Pasien dilatih untuk menggulingkan diri ke sisi yang sehat dan kemudian bangun sendiri dari tempat tidur. Pasien yang tidak bisa melakukannya, pasien dilatih untuk mendorong diri menggunakan ekstremitas atasnya dan bangun secara perlahan dari tempat tidur. Bantal harus diletakkan di antara lutut untuk mencegah gerakan adduksi dan rotasi internal, serta kemungkinan dislokasi prostesis dan tekanan pada tempat fraktur, Thomas (2011: 252).


(23)

2) Fraktur Intertrochanter

Penanggungan beban yang dapat ditoleransi pada ekstremitas yang sakit, pasien dapat menggunakan ekstremitas tersebut untuk transfer dari tempat tidur ke kursi. Saat transfer, pasien biasanya duduk pada sisi tempat tidur yang sama dengan sisi tungkai yang fraktur. Tungkai yang sakit kemudian dijuntaikan dari tempat tidur, dan pasien duduk. Pasien yang tidak mampu melakukannya, dapat digunakan pengangkat tungkai. Transfer ini dilatih menggunakan pengangkat tungkai untuk menyangga tungkai yang sakit dan mengayunkannya ke sisi tempat tidur untuk mencapai posisi duduk. Lengan kemudian digunakan untuk mendorong diri dari tempat tidur atau kursi ke posisi berdiri (bukan menggapai walk walker tergelincir). Alat bantu seperti crutch atau walker dapat digunakan sebagai penyokong ketika pasien berdiri. Pasien yang tidak boleh menanggung beban, transfer stand pivot pada kaki yang sehat dapat dilatih. Tempat tidur ditinggikan dapat membantu mengurangi tekanan pada panggul. Pasien dapat juga menggunakan tungkai yang sehat untuk transfer jika pasien tidak merasa nyaman atau mengalami nyeri pada sisi yang sakit, Thomas (2011: 267).

3) Fraktur Subtrochanter Femur

Penanggungan beban diperbolehkan sesuai toleransi bila korteks medial telah pulih. Fraktur kominutif, pasien hanya diperbolehkan toe-touch weight bearing dan diinstruksikan berjalan dengan gaya berjalan tiga titik menggunakan crutch. Walker atau crutch harus digunakan sebagai penyangga dan penstabil selama pemindahan. Pasien diajari untuk naik turun tangga menggunakan crutch; pasien


(24)

manula harus menggunakan pegangan samping bersama dengan tongkat quad dengan dasar yang lebar, Thomas (2011: 282).

4) Fraktur Corpus Femoris

Mobilitas di atas tempat tidur, pasien diinstruksikan untuk berguling ke salah satu sisi tempat tidur dan menggunakan ekstremitas atas untuk mendorong tegak ke posisi duduk. Penanggungan beban sudah diperbolehkan, pasien dapat menggunakan tungkainya yang sakit untuk menanggung beban minimal saat berpindah antara tempat tidur dan kursi dengan bantuan. Pasien yang tidak diperbolehkan menanggung beban diinstruksikan berpindah dengan berdiri bersandar menggunakan crutch, Thomas (2011: 298).

5) Fraktur Femur Suprakondilar

Pasien diinstruksikan untuk transfer stand/pivot menggunakan crutch atau walker, tanpa penanggungan beban. Thomas (2011: 315).

6) Fraktur Patella

Pasien diinstruksikan untuk berguling ke satu sisi tempat tidur dan bangkit ke posisi duduk dari posisi telentang dengan mendorong badanya menggunakan ekstremitas atas. Seiring penanggungan beban penuh diperkenalkan, pasien dapat melakukan transfer ambulasi menggunakan ekstremitas yang sakit. Awalnya, alat bantu seperti tongkat penyangga (crutch) atau alat bantu jalan (walker) dapat digunakan sebagai penyokong selama transfer karena pasien mungkin merasa nyeri dan kesakitan, Thomas (2011: 327).


(25)

7) Fraktur Plato Tibia

Pasien tidak boleh melakukan penanggungan beban pada sisi yang terkena dan diinstruksikan menggunakan crutch untuk transfer, Thomas (2011: 343).

8) Fraktur Corpus Tibia

Pasien harus diajari cara menggunakan crutch atau walker, untuk pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Pasien yang tidak diperbolehkan untuk menggunakan beban, harus diajarkan untuk melakukan stand/pivot transfer, Thomas (2011: 361).

9) Fraktur Plafond Tibia

Pasien diinstruksikan untuk melakukan stand/pivot transfer tanpa di bolehkan menanggung beban, menggunakan crutch/walker, Thomas (2011: 378).

10) Fraktur Pergelangan Kaki

Pasien diajarkan stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011: 402).

11) Fraktur Talus

Pasien diajari stand/pivot transfer tanpa menanggung beban dari tempat tidur ke kursi, dan sebaliknya. Pasien memerlukan alat bantu seperti crutch atau walker untuk transfer dan ambulasi, Thomas (2011: 420).

12) Fraktur Calcaneus

Pasien diajari stand/pivot transfer tanpa menanggung beban dari tempat tidur ke kursi, dan sebaliknya. Pasien memerlukan alat bantu seperti crutch atau walker untuk transfer dan ambulasi, Thomas (2011: 439).


(26)

13) Fraktur Midfoot

Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011: 459).

14) Fraktur Forefoot

Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011: 485).


(27)

1) Ririn Purwanti & Wahyu Purwaningsih (2012) Judul:

Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus Di RSUD Dr. Moewardi

Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien yang telah dilakukan operasi fraktur humerus yang di ruang rawat inap bedah di RSUD Dr. Moewardi sebanyak 150 pada bulan Januari-Desember 2011

Pada penelitian ini pasien post operasi fraktur humerus diberikan latihan Range Of Motion (ROM) sebanyak 9 kali.

Bedasarkan hasil uji statistik wilcoxon math pair test, dapat diketahui nilai z hitung sebesar 4,940 dengan angka signifikan (p) 0,000 dari hasil tersebut akan dibandingkan dengan z tabel untuk taraf signifikansi 5% yaitu sebesar 1,96. Bedasarkan hasil tersebut diketahui z hitung (4,940)> z tabel (1,96) dan angka signifikan (p) < 0,05 sehingga ada pengaruh signifikan latihan ROM aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur humerus di RSUD Dr. Moewardi.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre Eksperimen Design dengan rancangan One Group Pre-Post Test


(28)

Judul:

Hubungan Ambulasi Dini Terhadap Aktifasi Peristaltik Usus Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan Anestesi Umum Di Ruang Mawar II RS. Dr Moewardi Surakarta Tahun 2011.

Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan Jumlah sampel yang dipakai pada

penelitian ini adalah 25 sampel dikarenakan teknik samplingnya menggunakan total sampling.

Pada penelitaian ini pasien post operasi fraktur eksteremitas bawah dilatih ambulasi dini

Hasil penelitian berdasarkan output korelasi kendall’s (ambulasi) terlihat angka 1,000 menunjukkan korelasi yang sangat kuat dan output korelasi kendall’s tau_b (peristaltic usus) terlihat angka 0,941 menunjukkan korelasi yang sangat kuat, pada baris sig. (2-tailed) terlihat angka 0,000 oleh karena probabilitas < 0,05, berarti hubungan ambulasi dini dan peristaltik usus adalah signifikan pada taraf kepercayaan 95 %, sehingga Ha diterima.

Jenis penelitian ini adalah korelasi dengan desain cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel indevenden dan devenden hanya satu kali pada satu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.


(29)

2.8 Kerangka Konseptual

Kerangaka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah. Menurut Saputra (2013: 282) faktor yang mempengaruhi ambulasi dini adalah faktor pertumbuhan dan perkembangan, faktor status kesehatan, faktor status mental, faktor nutrisi, faktor situasi dan kebiasaan, faktor dukungan sosial dan faktor pengetahuan.

Penelitian ini meneliti faktor status kesehatan pasien, faktor dukungan sosial, faktor pengetahuan dan faktor yang paling dominan.

Faktor yang mempengaruhi:

1) Status kesehatan 2) Dukungan keluarga 3) Pengetahuan

4) Pertumbuhan dan perkembangan 5) Status mental 6) Nutrisi

7) Situasi dan kebiasaan

Keterangan gambar: : Diteliti : Tidak diteliti : Berpengaruh

Gambar 2.1 Kerangka penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

Ambulasi dini 1) Pasien miring kiri

miring kanan. 2) Duduk

3) Duduk di samping tempat tidur 4) Belajar

keseimbangan berdiri

5) Belajar berjalan

- Dilaksanakan - Tidak di laksanakan


(30)

2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab pertayaan dalam penelitian. Setiap hipotensi terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan, Nursalam (2011: 56).

Mengetahui signifikasi (p) dari suatu hasil statistik (Hypothesis test), maka kita dapat menentukan tingkat signifikansi: (p) 0,05 (1 kemungkinan untuk 20); 0,01 (1 untuk 100) dan 0,001 (1 untuk 1000). Sering digunakan signifikansi level 0,05. Signifikansi ini maka kita dapat menentukan apakah hipotesis akan diterima atau ditolak (jika p < 0,005), Nursalam (2011: 58).

2.5.1 Tipe Hipotesis

1) Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan unttuk pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik. Hipotesis nol dapat sederhana atau kompleks dan bersifat sebab atau akibat.

2) Hipotesis alternatif (Ha/H1) adalah hoptesis penelitian. Hipotesis ini yang menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau lebih variabel. Hubungan, perbedaan, dan pengaruh tersebut dapat sederhana atau kompleks, dan bersifat sebab-akibat, Nursalam (2011: 59).

Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini sebagai berikut:

Ha1 : Ada pengaruh status kesehatan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

Ha2 : Ada pengaruh dukungan sosial terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.


(31)

Ha3 : Ada pengaruh pengetahuan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.


(1)

13) Fraktur Midfoot

Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011: 459).

14) Fraktur Forefoot

Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011: 485).


(2)

2.7 Penelitian Terkait

1) Ririn Purwanti & Wahyu Purwaningsih (2012) Judul:

Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus Di RSUD Dr. Moewardi

Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien yang telah dilakukan operasi fraktur humerus yang di ruang rawat inap bedah di RSUD Dr. Moewardi sebanyak 150 pada bulan Januari-Desember 2011

Pada penelitian ini pasien post operasi fraktur humerus diberikan latihan Range Of Motion (ROM) sebanyak 9 kali.

Bedasarkan hasil uji statistik wilcoxon math pair test, dapat diketahui nilai z hitung sebesar 4,940 dengan angka signifikan (p) 0,000 dari hasil tersebut akan dibandingkan dengan z tabel untuk taraf signifikansi 5% yaitu sebesar 1,96. Bedasarkan hasil tersebut diketahui z hitung (4,940)> z tabel (1,96) dan angka signifikan (p) < 0,05 sehingga ada pengaruh signifikan latihan ROM aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur humerus di RSUD Dr. Moewardi.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre Eksperimen Design dengan rancangan One Group Pre-Post Test


(3)

2) Joko Prayitno & Dwi Susi Haryati (2011) Judul:

Hubungan Ambulasi Dini Terhadap Aktifasi Peristaltik Usus Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan Anestesi Umum Di Ruang Mawar II RS. Dr Moewardi Surakarta Tahun 2011.

Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan Jumlah sampel yang dipakai pada

penelitian ini adalah 25 sampel dikarenakan teknik samplingnya menggunakan total sampling.

Pada penelitaian ini pasien post operasi fraktur eksteremitas bawah dilatih ambulasi dini

Hasil penelitian berdasarkan output korelasi kendall’s (ambulasi) terlihat angka 1,000 menunjukkan korelasi yang sangat kuat dan output korelasi kendall’s tau_b (peristaltic usus)

terlihat angka 0,941

menunjukkan korelasi yang sangat kuat, pada baris sig. (2-tailed) terlihat angka 0,000 oleh karena probabilitas < 0,05, berarti hubungan ambulasi dini dan peristaltik usus adalah signifikan pada taraf kepercayaan 95 %, sehingga Ha diterima.

Jenis penelitian ini adalah korelasi dengan desain cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel indevenden dan devenden hanya satu kali pada satu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.


(4)

2.8 Kerangka Konseptual

Kerangaka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah. Menurut Saputra (2013: 282) faktor yang mempengaruhi ambulasi dini adalah faktor pertumbuhan dan perkembangan, faktor status kesehatan, faktor status mental, faktor nutrisi, faktor situasi dan kebiasaan, faktor dukungan sosial dan faktor pengetahuan.

Penelitian ini meneliti faktor status kesehatan pasien, faktor dukungan sosial, faktor pengetahuan dan faktor yang paling dominan.

Faktor yang mempengaruhi:

1) Status kesehatan 2) Dukungan keluarga 3) Pengetahuan

4) Pertumbuhan dan perkembangan 5) Status mental 6) Nutrisi

7) Situasi dan kebiasaan

Keterangan gambar: : Diteliti : Tidak diteliti : Berpengaruh

Gambar 2.1 Kerangka penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

Ambulasi dini 1) Pasien miring kiri

miring kanan. 2) Duduk

3) Duduk di samping tempat tidur 4) Belajar

keseimbangan berdiri

5) Belajar berjalan

- Dilaksanakan - Tidak di laksanakan


(5)

2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab pertayaan dalam penelitian. Setiap hipotensi terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan, Nursalam (2011: 56).

Mengetahui signifikasi (p) dari suatu hasil statistik (Hypothesis test), maka kita dapat menentukan tingkat signifikansi: (p) 0,05 (1 kemungkinan untuk 20); 0,01 (1 untuk 100) dan 0,001 (1 untuk 1000). Sering digunakan signifikansi level 0,05. Signifikansi ini maka kita dapat menentukan apakah hipotesis akan diterima atau ditolak (jika p < 0,005), Nursalam (2011: 58).

2.5.1 Tipe Hipotesis

1) Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan unttuk pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik. Hipotesis nol dapat sederhana atau kompleks dan bersifat sebab atau akibat.

2) Hipotesis alternatif (Ha/H1) adalah hoptesis penelitian. Hipotesis ini yang menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau lebih variabel. Hubungan, perbedaan, dan pengaruh tersebut dapat sederhana atau kompleks, dan bersifat sebab-akibat, Nursalam (2011: 59).

Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini sebagai berikut:

Ha1 : Ada pengaruh status kesehatan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

Ha2 : Ada pengaruh dukungan sosial terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.


(6)

Ha3 : Ada pengaruh pengetahuan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.