PENYUSUNAN BUKU DAN ARTIKEL DIPLOMASI BENCANA ALAM SEBAGAI MODA KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN DAN MITIGASI BENCANA ALAM

(1)

Bidang Ilmu Sosial

Kode/Nama Rumpun Ilmu:593/Hubungan Internasional

LAPORAN AKHIR TAHUN KE 3 HIBAH BERSAING

Penyusunan Buku dan Artikel Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional

Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam

Ketua Peneliti: Ratih Herningtyas,S.IP,MA

NIDN: 0521017801

Anggota :

Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si NIDN: 0510105301

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

(3)

ABSTRAK

Tujuan akhir penelitian tahun ke 3 adalah terbitnya buku peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah di Indonesia dan terdesiminasikannya artikel ilmiah dalam Jurnal Nasional terakreditasi.

Pengambilan lokasi penelitian di Propinsi DIY, terkait dengan telah ditetapkannya DIY sebagai daerah rawan bencana gempa bumi dan erupsi Merapi. Populasi penelitian adalah birokrasi, baik di level eksekutif maupun legislatif, di pemerintah daerah Propinsi DIY dengan metode sampling stratified random sampling.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelusuran naskah buku diplomasi dengan menggunakan pendekatan soft power, penyebaran quisioner, wawancara mendalam dan focus group discussion kepada aparat birokrasi di pemerintah daerah Propinsi DIY, konsultasi pakar dan kemudian dijadikan analisis padu dalam buku Diplomasi Bencana Alam.

Untuk menyusun buku dan artikel Jurnal akan dilakukan penelitian pustaka dan curah gagas dengan ahli dan praktisi diplomasi di beberapa universitas di Indonesia.

Key words: Strategi Diplomasi Bencana Alam, Kerjasama Internasional, Peningkatan Kapasitas


(4)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Bencana alam di Indonesia cenderung menjadi fenomena yang terus menerus terjadi. Selama tahun 2008 saja, WALHI mencatat telah terjadi 359 bencana alam yang menimpa sebagian wilayah di Indonesia, meliputi banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.1 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang rawan bencana gempa bumi, dan erupsi Merapi beserta efek yang ditimbulkannya seperti bencana wedhus gembel dan banjir lahar dingin.

Dalam konteks tertentu, bencana seringkali difahami sebagai sesuatu yang bersifat negatif. Namun dalam konteks studi diplomasi, issue bencana alam justru dapat dikelola menjadi modal sosial positif untuk menyelesaikan problem sosial, ekonomi, politik dan sosial budaya di daerah rawan bencana. Bencana alam memiliki keunikan untuk dikapitalisasi sebagai instrumen strategis untuk membangun kolaborasi kerjasama regional maupun internasional untuk meningkatkan infrastruktur yang dapat mengurangi derajat kerugian material maupun immaterial dari bencana yang sewaktu-waktu terjadi.

Peratruran Perundang-Undangan yang mengatur tentang bencana alam tidak memasukkan konsep diplomasi bencana alam sebagai intrumen yang penting dalam proses penanggulangan bencana alam. Kondisi ini kemudian berakibat kepada penatalaksanaan bencana alam seringkali bersifat reaksioner, atau meminjam istilah Jusuf Kalla, “bencana alam senantiasa berangkat dari angka 0.” Proses penatalaksanaan managemen bencana alam yang pro-aktif melalui penguatan diplomasi bencana alam diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengkapitalisasi isu bencana alam sebagai modal sosial untuk membangun kerjasama internasional yang produktif bagi proses mengurangi dampak dari bencana alam itu sendiri.2

       

1 WALHI : 359 Bencana Alam di Indonesia dalam http://www.antaranews.com/view/?i=1244199032

diakses pada 1 Maret 2010

2

Lihat lebih jauh dalam pandangan Kemenlu RI dalam memaknai arti penting diplomasi bencana http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2009/12/16/7133/Diplomasi-Kemanusian-antara-Indonesia-dan-Hongaria- atau lihat pernyataan Menlu Martin Natalegawa tentang tangible currency dalam diplomasi

http://www.indonesia.go.id/id/index.php/content/view/335/index.php?option=com_content&task=view &id=11803&Itemid=1&news_id=18


(5)

Hasil penelitian Pelembagaan Diplomasi Bencana Alam Untuk Mengkapitalisasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Untuk Mengantisipasi dan Mengurangi Dampak Bencana Alam di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ini diharapkan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah strategis;

Pertama, terlembaganya konsep dan praktik diplomasi bencana alam dalam produk perundang-undangan yang terkait dengan bencana alam, sehingga akan mendukung produktivitas dan efektivitas managemen bencana alam yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Penelitian dapat digunakan sebegai referensi dasar bagi upaya revisi UU No 24 Tahun 2007 yang tidak mengatur secara sistematis tentang arti penting diplomasi bencana alam.

Kedua, meningkatnya kerjasama internasional yang dibangun oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak dari bencana alam. Penelitian ini diharapkan akan dapat mensitumuli inisiatif untuk melakukan serangkaian kerjasama internasional antara pemerintah pusat dan daerah dengan fihak negara asing, organisasi internasional berbasis pemerintah, organisasi internasional berbasis non pemerintah, maupun perusahaan multi nasional untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam. Riset tentang penatalaksanaan diplomasi bencana di tingkat pemerintah daerah akan memperkuat kapasitas diplomasi Indonesia secara umum dalam memperjuangkan kepentingan nasional yang berhubungan dengan isu bencana alam.

Ketiga, meningkatnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi issue bencana alam sebagai intrumen kerjasama internasional baik di tingkat pusat dan daerah. Pelembagan strategi diplomasi bencana terhadap birokrasi di daerah akan meningkatkan inisitaif dan profesionalitas birokrasi di daerah dalam menjalankan praktik diplomasi bencana alam secara produktif dan efisien. Keberhasilan birokrasi daerah menjalankan praktik diplomasi bencana alam yang efektif dan efisien yang bersinergi dengan pemerintah pusat, akan mampu mengakumulasi lebih banyak sumberdaya terutama dari luar negeri untuk mengurangi dampak negatif dari bencana alam.

I.2. Tujuan Khusus


(6)

1. Menyusun buku peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY.

2. Menulis artikel Jurnal untuk dipublikasikan dalam Jurnal Nasional terakreditasi

I.3. Urgensi(Keutamaan) Penelitian

Penelitian tentang pelembagaan diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki arti penting dalam beberapa hal sebagai berikut :

Pertama, masihnya rendahnya political will dari pemerintah Indonesia dalam melakukan kapitalisasi isue bencana alam sebagai intrumen penting dalam membangun kerjasama internasional untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam. Hal ini ditandai dengan tidak diaturnya konsep dan praktik diplomasi bencana alam dalam produk perundang-undangan tentang bencana alam baik di level pusat maupun daerah. Kondisi ini kemudian mengakibatkan terjadi persoalan ketidakjelasan mekanisme pengaturan kebijakan terkait dengan penatalaksanaan praktik diplomasi bencana alam sehingga mengakibatkan berbagai kebijakan pusat dan daerah yang terkait dengan kerjasama internasional untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam saling tunggu-menunggu.

Upaya untuk mengkapitalisasi issue bencana alam dalam membangun kerjasama internasional sebagai kebijakan yang strategis, karena memungkinkan proses transfer pengetahuan, tehnologi, pengalaman maupun good practices secara komprehensif dan sistematis dengan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang sama. Proses transformasi ini akan memungkinkan kapasitas pemerintah dalam mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam akan semakin tinggi sehingga proses managemen bencana alam yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah akan menjadi lebih baik.

Kedua, masihnya rendahnya kerjasama internasional yang dibangun oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mengantisipasi dan mengurangi dampak dari bencana alam. Selama ini kerjasama yang dibangun lebih menfokuskan diri kepada kerjasama dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dibandingkan dengan kerjasama yang bersifat mempersiapkan sistem kebijakan dan infra-struktur untuk menanggulangi bencana alam. Pilihan kebijakan ini mengakibatkan managemen bencana alam yang dilakukan pemerintah cenderung


(7)

bersifat reaksioner, tidak fokus, dan parsial. Pengaruh kebijakan pemerintah dalam membangun kerjasama internatif yang tidak komperehensif tersebut mengakibatkan investasi sosial, ekonomi, tehnologi untuk mengantisipasi bencana alam menjadi sangat rendah. Penelitian ini diharapkan akan dapat mensitumuli serangkaian kerjasama internasional antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam.

Ketiga, masih rendahnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi issue bencana alam sebagai intrumen kerjasama internasional. Diplomasi pada dasarnya merupakan praktik untuk melakukan negosiasi dengan stakeholder internasional, seperti negara, organisasi internasional yang berbasis pemerintah (international-govermental organization), organisasi internasional yang berbasis non pemerintah (international non govermental organization), maupun perusahaan-perusahaan international (multi national corporation) untuk memperjuangkan pencapaian kepentingan nasional. Praktik diplomasi dengan aktor tersebut membutuhkan seperangkat pengetahuan, skill, maupun etika diplomasi yang memadai agar praktik diplomasi tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien., egaraPenelitian tentang

Rendahnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam dalam mengkapitalisasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional mengakibatkan kapasitas birokrasi daerah dalam menjalankan praktik diplomasi bencana alam menjadi angat tidak memadai. Kondisi ini kemudian berakibat kepada rendahnya inisiatif birokrasi di pemerintah daerah baik di level eksekutif dan yudikatif untuk mengartikulasikan kerjasama internasional sebagai instrumen strategi untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam.


(8)

BAB II STUDI PUSTAKA

Studi diplomasi bencana memaknai bencana sebagai sebuah instrumen yang penting untuk memperjuangkan kepentingan politik seperti perdamaian, kepentingan ekonomi seperti kolaborasi kerjasama ekonomi antar negara secara lebih intensif, atau kepentingan sosial budaya untuk membangun komunitas humanis dan berkeadaban. Fenomena bencana alam jika difahami dalam perspektif positif, justru dapat memberikan nilai tambah yang sangat besar untuk menyelesaikan berbagai problem kemanusian yang selama ini tak terpecahkan melalui diplomasi politik maupun ekonomi yang seringkali berwatak distributif, menang dan kalah.

Menurut Louise K. Comfort, issue bencana sekarang ini menjadi isu yang sangat krusial bagi peningkatan kualitas kesejahteraan manusia. Bencana harus didefinisikan secara lebih luas, tidak hanya sebatas isu bencana alam semata namun juga bencana penyakit menular yang memiliki efek global seperti endemic virus Flu Burung, Flu Babi, ataupun isu pemananasan global. Pendefinisian bencana sebagai isu global diharapkan akan dapat meningkatkan emphati dari masyarakat dunia untuk terlibat bersama menyelesaikan problem bencana.

Disaster Diplomacy examines the role of disaster-related activities not just in international affairs and international relations, but also in political conflicts not involving more than one independent state. Disaster Diplomacy also embraces a wide definition of "disaster", not just rapid-onset events such as earthquakes and industrial explosions, but also events which are more diffuse in space and time such as droughts, epidemics, and global changes. These latter events have been termed "chronic disasters", "creeping changes", and "disaster conditions" amongst other terms.3

Studi kontemporer yang dilakukan oleh I. Kelman menunjukkan bahwa bencana tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas tertentu dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik yang selama ini tak terpecahkan, baik dalam konteks persoalan dalam level nasional

        3

Louise K. Comfort, “Disaster: Agent of Diplomacy or Change in International Affairs?", Disaster Journal, 2002


(9)

maupun antara negara.4 Argumen besar dari Kelman adalah bencana justru memberikan ruang yang besar bagi fihak-fihak yang memiliki potensi sebagai daerah yang rawan bencana untuk mencari ruang yang bisa dikerjakan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari bencana alam itu sendiri.

Studi Kelman tentang konflik Aceh memberikan gambaran yang sangat menarik. Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia, telah berlangsung lebih dari 25 tahun, dan untuk menyelesaikan masalah konflik Aceh telah dilakukan upaya perundingan damai semenjak tahun 1995 dengan melibatkan banyak fihak. Namun upaya damai tersebut senantiasa mengalami jalan buntu. Baru pada perdamaian Helsinki antara GAM dan Indonesia justru mengalami kemajuan yang berarti, di mana perundingan ini terjadi pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh.5

Studi Kelman semakin menunjukan fungsionalitas diplomasi bencana alam6. Dalam studinya juga menunjukkan bahwa bencana alam juga dapat dikelola untuk menjadi ruang bagi peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih luas. Negara-negara yang tergolong sebagai daerah yang rawan bencana atau potensial mengalami bencana alam, yang sebelumnya tidak melakukan kerjasama yang intensif, bahkan cenderung bermusuhan secara politik, kemudian memilih melakukan kerjasama untuk mengurangi resiko dan dampak bencana. Indonesia, Cina dan Jepang memilih meningkatkan kualitas hubungan kerjasama di samping karena persoalan ekonomi, juga terkait dengan potensi Cina, Jepang dan Indonesia sebagai daerah rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Studi tentang fungsionalitas diplomasi bencana alam juga dilakukan oleh Weizhun. Menurut Weizhun, pertumbuhan ekonomi China yang progresif dalam 10 tahun terakhir ini tidak dapat dilepaskan dari upaya kapitalisasi pemerintah China untuk mengelola bencana alam, sebagai sarana membangun kerjasama internasional dengan negara-negara yang selama ini mencurigai kebijakan China yang interventif. China bukan lagi dianggap sebagai kekuatan yang dianggap musuh, karena China

       

4 Kelman, I. 2006. "Disaster Diplomacy: Hope Despite Evidence?". World Watch Institute Guest Essay, 2006, Kelman, I. 2007. "Disaster diplomacy: Can tragedy help build bridges among countries?"

UCAR Quarterly, Fall 2007, p. 6, Kelman, I. 2007. "Weather-Related Disaster Diplomacy". Weather and Society Watch, vol. 1, no. 3, pp. 4,9

5 Kelman, I. and J.-C. Gaillard. 2007. "Disaster diplomacy in Aceh". Humanitarian Exchange, No. 37

(March 2007), pp. 37-39. Atau lihat dalam Gaillard, J.-C., E. Clavé, and I. Kelman. 2008. "Wave of peace? Tsunami disaster diplomacy in Aceh, Indonesia". Geoforum, vol. 39, no. 1, pp. 511-526.

6

Kelman, I. 2008. "Disaster Diplomacy: Diplomats should not rely on disasters". vol. 47, 12 April 2008, pp. 8-9


(10)

justru menunjukan politik emphati untuk terlibat dalam kerjasama dengan negara-negara yang rawan bencana alam. Dari sinilah kemudian investasi China dapat ditanam di negara-negara yang selama ini menolak investasi modal dari China.

The practice of Disaster Diplomacy has a great influence and actual values on improving national and international interests. Disaster Diplomacy is flexible and multiform yet uncertain and there are some restrictions in the process of diplomatic practice. Disaster Diplomacy can also promote the Chinese role "as a responsible and powerful country".7

The Cambridge Review telah melakukan serangkaian penelitian tentang proses memaknai bencana ke dalam diskursus diplomasi bencana. Studi dari The Cambridge Review menunjukan temuan yang sangat menarik, bahwa diplomasi bencana alam memberikan peluang yang sangat luas bagi negara-negara yang selama ini terlibat dalam konflik kepentingan politik maupun ekonomi, untuk kemudian memilih bekerjasama daripada meneruskan pilihan untuk berkonflik.

The Cambridge Review of International Affairs which analyse critically the argument for disaster diplomacy as an opportunity to increase cooperation among rival states are re-examined in a CAS framework. Based on the application of CAS to the case studies, the article concludes that creative diplomacy for disaster reduction is most effective at the 'edge of chaos', that narrow region where there is sufficient structure to hold and exchange information, but also sufficient flexibility to adapt new alternatives to meet urgent needs. 8

Indonesia merupakan daerah yang teridentifikasi sebagai daerah yang rawan terjadi bencana alam yang sangat beragam. Bencana yang terjadi mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat baik berupa korban jiwa manusia, kerugian harta benda maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai antara lain kerusakan sarana dan prasarana serta fasilitas umum, penderitaan masyarakat dan sebagainya.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga

        7

Weizhun M, The Apocalypse of the Indian Ocean Earthquake and Tsunami". World Politics and Economy (Chinese Academy of Social Sciences), vol. 6 (in Chinese). Atau dalam Weizhun, M. and Q. Tianshu. 2005. "Disaster Diplomacy: A New Diplomatic Approach?". Shanghai Institute For International Studies International Review, Spring 2005, pp. 111-124 (in Chinese).

8

Kelman, I. and T. Koukis (eds). 2000. 'Disaster Diplomacy', special section in Cambridge Review of International Affairs (edited by Charlotte Lindberg Clausen), vol. XIV, no. 1, pp. 214-294


(11)

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.9

Pemaknaan secara negatif terhadap kondisi geografis dan topografis yang rawan bencana alam justru akan melahirkan sikap dan kebijakan yang lari dari kenyataan dan realitas kehidupan. Dari beragam studi tentang diplomasi bencana alam justru menunjukkan bahwa Indonesia yang teridentifikasi rawan bencana alam justru dapat memodifikasi realitas ini untuk diubah menjadi energi positif untuk membangun kerjasama yang lebih luas. Hal ini akan dapat dicapai manakala pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki social awareness terhadap isu diplomasi bencana.

Dalam sejarah utuhnya diplomasi bencana alam beberapa kali berujung pada hasil gemilang yang inspiratif dan menuai harapan untuk diaplikasikan lebih jauh. Namun banyak upaya tidak sepenuhnya berhasil, bahkan beberapa mengalami kegagalan yang memperburuk keadaan bencana. Kelman menjelaskan10 bahwa bencana alam pada dasarnya memperikan peluang yang jarang muncul karena keadaan non-bencana mendominasi interaksi diplomatik. Bencana alam dapat berdampak pada improvisasi, memperburuk, atau berdampak minimal tergantung pada situasi yang dimainkan dan pilihan sikap pemain. Kemungkinan bencana alam biasanya berdampak positif, namun selalu ada pihak yang berusaha menggagalkan upaya diplomasi.

Kasus Yunani-Turki, Aceh, dan Afrika Selatan menjadi contoh berharga bagi berhasilnya diplomasi bencana alam, dan banyak menuai kajian lebih lanjut. Namun upaya diplomasi bencana alam di India-Pakistan, AS-Iran, dan AS-Kuba yang tidak sepenuhnya berhasil, ditambah kegagalan massif seperti di Ethiopia-Eritrea, Filipina, dan Sri Lanka menjadikan kajian diplomasi bencana alam menjadi penuh debat. Diplomasi bencana alam untuk tujuan soft-power pun mencatatkan beberapa negara yang dianggap manipulatif dengan meng-endorse tuntutan yang berlebihan sebagai kompensasi pemberian bantuan, seperti AS dan Turki. Ada pula negara yang mau menerima bantuan bencana alam, namun tetap menolak kerjasama internasional lebih lanjut, bahkan meneruskan upaya yang dapat berujung pada bencana militer yakni Korea Utara.

        9

Definisi Bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

10


(12)

Pada kasus India-Pakistan sebenarnya diplomasi bencana alam telah menjadi katalis proses perdamaian di Kashmir selama beberapa putaran perundingan, namun masalahnya diplomasi bencana alam sendiri tidak dapat berdiri sendiri dan perlu disokong oleh diplomasi pada jalur lain. Dukungan diplomasi pada jalur lain kurang pada kasus India-Pakistan. Kasus AS-Iran dan kasus AS-Kuba sebenarnya cukup mirip, diplomasi bencana alam coba dilakukan berlapis-lapis melalui pemerintah, para-diplomacy NGO, dan kerjasama akademisi dengan tujuan besar. Namun upaya ini gagal dikarenakan ada pihak-pihak berkuasa yang begitu berpengaruh dalam pemerintahan untuk menggagalkan diplomasi bencana alam ini. Rezim Fidel Castro di Kuba banyak disebutkan bertanggungjawab atas gagalnya diplomasi bencana alam AS-Kuba. Pada kasus AS-Iran sebenarnya saling pengertian telah mulai terbangun pada gempa bumi Bam di Iran, dengan masuknya bantuan AS ke Iran, Iran mengajukan syarat bantuan ini tidak bertendensi politik. Namun media di kedua negara yang berlebihan mengekspos rasa saling curiga akhirnya juga berkontribusi pada gagalnya upaya diplomasi bencana alam. Hasilnya pada gempa bumi di selatan Iran tahun 2005, Iran menolak bantuan dari AS. Pada tahun yang sama ketika AS terkena dampak Badai Katrina, AS menolak pula bantuan dari Iran.

Diplomasi bencana alam sepenuhnya gagal di Ethiopia-Eritrea, Filipina, dan Sri Lanka. Pada kasus Ethiopia-Eritrea diplomasi bencana alam sama sekali tidak berkontribusi pada proses perdamaian, bahkan ketika perang dua negara masih berlangsung diplomasi bencana alam justru memperburuk keadaan. Upaya diplomasi bencana alam yang diinisiasi pihak ketiga, banyak menuai saling kecurigaan diantara pemerintahan kedua negara. Dua negara saling tuduh terutama ketika Eritrea menawari pelabuhannya diperbolehkan sebagai jalur masuk pasokan bantuan kekeringan ke Ethiopia. Ethiopia menolak tawaran ini dengan alasan pelabuhan di negara lain masih banyak dan kecurigaan bahwa Eritrea akan mencuri pasokan bantuan. Diplomasi bencana alam di Filipina juga mengalami kegagalan. Ketika banjir besar melanda Provinsi Quezon, pemerintah Filipina berusaha menjalankan diplomasi bencana alam untuk merangkul separatis komunis New People Army (NPA). Namun sayangnya regu militer yang datang membantu proses tanggap bencana di Provinsi Quezon dihadang tembakan peluru oleh kombatan NPA. Pemerintah Filipina yang terintimidasi kemudian menyalahkan NPA sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kejadian banjir besar, dengan pengrusakan hutan. Tidak berbeda dengan di Sri Lanka, proses diplomasi bencana tsunami Samudera Hindia


(13)

untuk merangkul etnis Tamil dan Sinhala yang berkonflik berujung gagal. Kegagalan ini dipicu perebutan bantuan bencana yang berujung konflik.

Kelman lebih lanjut menjelaskan bahwa kegagalan-kegagalan yang muncul pada level substansi disebabkan beberapa faktor11. Faktor pertama adalah diplomasi bencana alam seringkali dipahami mengganggu proses tanggap bencana dan rekonstruksi yang dianggap lebih penting. Kedua, bencana alam sendiri dapat digunakan banyak pihak sebagai senjata untuk menekan dan menjatuhkan pihak lain. Ketiga, penawaran pemberian bantuan sering dipahami sebagai bukti inferioritas dan superioritas salah satu pihak. Keempat, kesalahan pemahaman bahwa bencana alam seringkali dianggap sebagai jawaban final yang dapat menyelesaikan konflik.

Contoh keberhasilan diplomasi bencana alam Aceh, dan Yunani-Turki yang berbasis pada dedikasi untuk memperbaiki hubungan dan saling pengertian diperlukan masing-masing pihak agar diplomasi berjalan dengan baik dan saling menguntungkan.

Peneliti telah membangun road map diplomasi bencana alam sebagai sebuah diskursus baru dalam mensikapi isu bencana alam sebagai sebuah fenomena internasional dalam silabi perkuliahan diplomasi. Sebagai pengajar mata kuliah diplomasi selama kurang lebih 10 tahun, peneliti telah melakukan berbagai riset tentang studi diplomasi, baik dalam konteks diplomasi politik, ekonomi, atau bahkan perang terhadap terorisme maupun obat bius.

Peneliti mulai menekuni untuk mengkaji diplomasi bencana alam dalam tiga tahun terakhir, pasca terjadi gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005, maupun gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006. Apa yang terjadi di Yogyakarta bukan tidak mungkin dapat terulang kembali, bahkan dengan tingkat kerusakan yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan kawasan yang berada dalam wilayah Ring of fire dan sangat rawan gempa, karena terletak di antara pertemuan tiga lempeng yaitu Asia, Pasifik dan Australia. Daerah yang masuk rawan gempa adalah sepanjang pantai barat Sumatera, sepanjang pantai selatan Jawa, Maluku dan Papua. Daerah di Indonesia yang tidak dilewati lempengan tersebut hanyalah Kalimantan.12

Dalam asumsi yang dikembangkan peneliti, birokrasi pemerintah sebagai garda depan pelayanan publik dituntut untuk mengedepankan aspek responsivitas,

       

11 I. Kelman, “Acting on Disaster Diplomacy”, pp. 227-34. 12

Pendapat Kepala Bidang Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Badan Geologi, I Gede Suantika dalam http://www.suaramedia.com/dunia-teknologi/sains/18235-potensi-gempa-indonesia-paling-tinggi-di-dunia.html diakses pada tanggal 14 Maret 2010


(14)

akuntabilitas, dan efisiensi. Aspek responsivitas menghendaki agar pelayanan publik bisa memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk dalam situasi darurat seperti penanganan bencana alam. Sedangkan aspek akuntabilitas mengisyaratkan supaya pelayanan publik lebih mengutamakan transparansi dan kesamaan akses setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang mereka butuhkan. Proses dan harga pelayanan-pelayanan publik juga harus transparan, dan didukung oleh kepastian prosedur serta waktu pelayanan. Sedangkan aspek efisiensi meliputi pemenuhan pelayanan publik yang cepat, serta hemat tenaga.

Gempa bumi yang terjadi di Aceh, Yogyakarta, dan Padang merupakan situs bencana yang menyebabkan kerusakan yang massif, baik dalam konteks korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur. Terdapat kecenderungan bahwa segala keputusan maupun pengelolaan bencana alam terpusat di Jakarta, sehingga berakibat kepada keterlambatan bantuan dan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat korban bencana alam sebagai implikasi birokrasi yang panjang. Proses mengurangi dampak dari bencana alam yang dahsyat tersebut baik dalam konteks jangka pendek berupa pemberian pelayanan medis dan pangan kepada korban gempa, maupun jangka panjang berupa pelayanan rekonstruksi pemukiman dan prasarana umum, memiliki dampak jangka panjang.

Pada skala yang lebih luas, bencana alam dapat melahirkan beberapa problem sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang sangat serius di tingkat nasional sebagai akibat terkonsentrasikannya sumber daya politik, ekonomi, sosial dan keamanan ke daerah bencana. Ketergantungan pemerintah daerah kepada Pusat justru akan memperburuk kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola isu bencana, karena akan mudah dituduh oleh banyak stakeholders bencana alam sebagai pemerintah yang tidak responsif.

Problem yang juga sering muncul terkait dengan bantuan humaniter internasional adalah adanya misi-misi tersembunyi (hidden agenda) dari fihak pemberi bantuan, baik atas nama negara maupun LSM internasional.13 Beberapa masalah yang muncul terkait isu ini adalah; pertama, kekhawatiran intervensi kekuatan asing sebagai akibat banyaknya tentara asing yang masuk ke wilayah bencana dan memanfaatkannya untuk kebutuhan strategis maupun spionase yang pada

        13

Lihat dalam

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/02374315/diplomasi.regional.bencana.alam yang diunduh pada 5 Januari 2010


(15)

akhirnya akan mengancam keamanan nasional14. Kedua, kekhawatiran terjadinya trafficking terhadap anak-anak korban bencana yang tidak terkelola dengan baik.15

Ketiga, kekhawatiran terjadi penetrasi misionaris untuk menyebarkan agama tertentu terhadap korban bencana yang dapat menganggu kestabilan sosial dan politik domestik.16Keempat, masalah politik terkait bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik. Kasus ini mencuat tatkala terdapat sejumlah logistik yang dikelola oleh Satkorlak di Sumatera Barat terdapat simbol-simbol resmi negara Israel.17

Beranjak dari studi yang telah dilakukan peneliti dalam 3 tahun terakhir ini, peneliti mencoba menyusun road map penelitian sebagai berikut;

Pada tahap pertama, perlu dilakukan studi untuk menganalisis arti penting diplomasi bencana alam dalam konteks managemen bencana alam. Terdapat kecenderungan besar bahwa produk UU tentang bencana alam di level pusat dan daerah belum menempatkan variabel diplomasi bencana alam sebagai sesuatu yang perlu diatur secara sistematis. Sedangkan di berbagai negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi seperti Jepang, China, Turki, dan Iran telah menempatkan variabel diplomasi bencana alam sebagai instrumen penting dalam memobilisasi sumber daya untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam. Kedua, mengidentifikasi persoalan-persoalan yang timbul terkait dengan praktik diplomasi bencana alam. Penelitian ini akan memperkuat argumen bahwa tidak terintegrasikannya variabel diplomasi bencana alam dalam struktur perundang-undangan akan menyebabkan proses memobilisasi sumberdaya untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam akan menjadi tidak efektif dan efisien.

Ketiga, mengidentifikasi strategi, model, tehnik dan instrument diplomasi bencana alam dalam membangun kerjasama internasional. Penelitian ini untuk mengetahui variasi strategi, model, dan tehnik diplomasi bencana alam yang

        14

Issue ini merebak dalam kasus bencana tsunami di Aceh, di mana banyak tentara dari Amerika Serikat maupun Australia yang terlibat dalam proses pemberian bantuan dengan membawa sejumlah peralatan medis maupun non medis berupa kapal tanker.

15 Kasus tentang trafficking hampir terjadi dalam setiap issue bencana alam, baik di Srilangka, Turki,

Iran, Afghanistan, maupun di Aceh dan Padang.

16 Kasus ini sempat mencuat dalam bencana alam di Padang maupun Aceh, sehingga Pimpinan Pusat

Muhammadiyah sempat menolak bantuan yang menyertakan symbol-simbol keagamaan tertentu. Lihat dalam pandangan Sudibyo Markus dalam Suara Muhammadiyah, Edisi Maret, 2010.

17

Lihat lebih jauh dalam http://www.berita2.com/nasional/umum/1328-menentang-bantuan-israel-untuk-gempa-sumbar.html yang diunduh pada 3 Januari 2010


(16)

diterapkan di berbagai negara, dan dipilih sesuai dengan derajat kepentingan dari pemerintah daerah di daerah bencana.

Keempat, menyusun usulan naskah akademik sebagai usulan untuk pembuatan kebijakan strategis dalam penatalaksanaan diplomasi bencana alam di daerah. Penelitian ini dipergunakan untuk melakukan proses restrukturisasi produk perundangan yang berkaitan dengan bencana alam agar memasukkan konsep diplomasi bencana alam sebagai instrumen penting dalam managemen bencana alam.

Kelima, setelah teridentifikasi kapasitas pemahaman birokrasi daerah terutama di daerah rawan bencana, maka akan dilakukan program peningkatan kapasitas baik dalam tataran konsep maupun perumusan kebijakan yang terkait dengan diplomasi bencana alam.

Pada tahap keenam, road penelitian tentang issue diplomasi bencana alam agar terlembagakan dalam konteks perundangan-undangan, maupun kurikulum pendidikan baik dalam pendidikan nasional maupun kedinasan. Proses pelembagaan ini penting dilaksanakan agar tidak terjadi mis-interpretasi akibat mis-konsepsi dalam memahami dan melaksanakan praktik diplomasi bencana alam.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

a. Pendekatan

Penelitian untuk menyusun buku Diplomasi Bencana Alam menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui makna dan relevansi diplomasi bencana alam sebagai instrument kerjasama internasional untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Terdapat 3 pertanyaan pokok yang hendak diketahui; 1) Bagaimana birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY memandang arti penting diplomasi bencana alam dalam konteks managemen bencana 2) bagaimana mendiskursuskan birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY sebagai birokrasi yang memiliki keahlian diplomasi dalam mengelola bencana alam 3) Dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan kerjasama internasional oleh pemerintah daerah dengan menggunakan kekuatan soft power bencana alam.

b. Tekhnik pengumpulan data

Untuk mendapatkan informasi yang valid, penelitian ini melakukan: 1) Penelitian pustaka 2) Survai dan focused group discussion terhadap birokrasi di pemerintah daerah Propinsi DIJ, baik eksekutif maupun legislatif, BNPB, Satkorlak, PMI maupun stakeholder bencana alam lainnya untuk mengeksplorasi pengalaman yang berstruktur dari aparat birokrasi tersebut dalam mengelola isu bencana 3). Konsultasi pakar, curah gagas dengan ahli-ahli diplomasi di beberapa universitas di Yogyakarta

c. Teknik analisis data

Teknis analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk menganalisis tentang arti penting pelembagaan diplomasi bencana alam dalam mendekonstruksi relevansi diplomasi bencana alam dalam konteks mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam dipergunakan analisis wacana maupun analisis isi terhadap dokumen-dokumen UU tentang kebencanaan alaman, maupun praktik-paktik diplomasi bencana alam di berbagai negara

2) Untuk menganalisis efektivitas modul peningkatan kapasitas birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY dilakukan melalui 5 tahap besar yakni,

Pertama, tahap rekasi, di mana dalam level ini, pengukuran dilakukan untuk mengetahui derajat ketertarikan stakeholder terhadap modul yang ditawarkan.


(18)

Kedua tahap Learning, di mana dalam tahap ini pengukuran dilakukan untuk menentukan apakah mereka telah mempelajari prinsip, ketrampilan dan pengetahuan tentang diplomasi bencana alam yang sudah mereka pelajari.

Ketiga, tahap aplikasi perilaku, di mana dalam tahap ini dilakukan pengukuran terhadap dimensi praktik yang diterapkan oleh stakeholder atas seperangkat pengetahuan dan keahliaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini seberapa jauh inisiatif kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengkapitalisasi bencana alam sebagai modal social penting.

Keempat, Business Impact. Pada tahap ini diukur pengaruh pelembagaan diplomasi bencana alam terhadap berkurangnya resiko ataupun derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam.

Kelima, Return of Investment, yakni melakukan pengukuran terhadap efektivitas pelembagaan diplomasi bencana alam dalam mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana alam.

d. Populasi dan sampel

Populasi penelitian ini adalah birokrasi, baik di level eksekutif maupun legislative, di pemerintah daerah Propinsi DIY, dengan mengambil sampel penelitian dengan metode stratified random random sampling.

e. Lokasi penelitian

Pengambilan lokasi penelitian di Propinsi DIY, terkait dengan posisi geografis Propinsi DIY yang telah ditetapkan sebagai daerah rawan bencana gempa bumi, dan Erupsi Merapi yang telah menyebabkan 7000 ribu penduduk meninggal dunia, 15.000 luka, dan sekitar 200 ribu rumah penduduk rusak parah dan sedang. Dan erupsi Merapi yang menyebabkan 1000 penduduk meninggal dunia, 5000 luka, dan 55 ribu rumah rusak parah.

Kegiatan tersebut dapat ditunjukkan secara ringkas melalui tabel berikut ini :

Tabel Penelitian

No Aktivitas Tujuan Tehnik

Pengumpulan Data

Tehnik Analisis

Data

Luaran Tahun Implemen

-tasi

1 Pengidentifikasi an pemaknaan bencana alam oleh birokrasi pemerintah daerah di Mengetahui paradigma yang dikembangkan pemerintah daerah dalam Wawancara, Focus group discussion Interpretat if Lapora n Riset dan Artikel Jurnal Tahun Pertama


(19)

Propinsi DIY pengelolaan bencana alam 2 Pengidentifikasi

an kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan diplomasi bencana alam sebagai sarana untuk mengurangi dampak bencana alam Mengevaluasi kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah tentang prinsip-prinsip dan tata laksana diplomasi bencana alam

Studi dokumen Analisis Isi Lapora n Riset, Review Kebijak an dan Artikel Jurnal Tahun Pertama

3 Pengidentifikasi an strategi, model, tehnik dan instrumentasi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional Mengetahui model, tehnik dan instrumentasi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisa si bencana alam sebagai moda kerjasama internasional, termasuk di dalamnya mitra yang potensial diajak berkolaborasi

Studi dokumen Analisis isi

Lapora n Riset

Tahun Pertama

4 Penyusunan naskah akademik penatalaksanaan diplomasi bencana alam sebagai masukan dalam revisi UU Bencana alam maupun Perda tentang Bencana alam Menyusun naskah akademik penatalaksanaa n diplomasi bencana alam sebagai masukan dalam revisi UU Bencana alam maupun Perda tentang Bencana alam Wawancara, studi Kasus Analisis Wacana Naskah AKade mik Tahun ke 2

5 Penyusunan modul Penyusunan modul Focus group discussion, Analisis Wacana

Modul Tahun ke 2


(20)

peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY expert meeting

6 Mensosialisasik an modul peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY Mensosialisasi kan modul peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah Propinsi DIY In-House Training Analisis Wacana Birokra si Yang Capabl e dan Kebijak an yang Progres if Tahun ke 2

7 Penyusunan draft naskah buku Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam Menyusun draft naskah buku yang komprehensif tentang diplomasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional dalam pengelolaan dan mitigasi bencana alam

Studi Pustaka Analisis isi

Draft buku

Tahun ke 3

8 Penyusunan draft naskah buku Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam Mengeksplora si pengalaman yang berstruktur dari aparat birokrasi tersebut dalam mengelola isu bencana untuk melengkapi draft buku yang telah dibuat

Wawancara Analisis

wacana Revisi draft buku Tahun ke 3

9 Finalisasi draft buku dan penyusunan Melakukan finaslisasi Wawancara dan expert meeting Analisis wacana Buku dan artikel Tahun ke 3


(21)

naskah artikel jurnal diplomasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional dalam

pengelolaan dan mitigasi bencana alam

buku dan

artikel jurnal dengan

Konsultasi pakar, curah gagas dengan ahli-ahli

diplomasi di beberapa universitas di Yogyakarta


(22)

BAB IV

HASIL YANG DICAPAI

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian tahun ketiga ini meliputi 2 kegiatan utama, yaitu pertama,

pengumpulan dan kajian referensi tentang diplomasi bencana serta kedua, melakukan wawancara dan hasilnya didiskusikan melalui Expert Meeting dengan beberapa tokoh atau peneliti yang terkait dengan isu diplomasi dan bencana. Hasil dari dua kegiatan ini kemudian dirumuskan dan disusun menjadi sebuah buku teks yang berjudul

Diplomasi Bencana : Sejarah, Peluang dan Kerjasama Internasional.

Selama pelaksanaan penelitian, tidak ditemukan kendala berarti, baik dalam proses pencarian referensi maupun wawancara dengan para ahli tentang diplomasi dan isu-isu bencana. Sebagai sebuah isu yang relatif masih baru, diplomasi bencana menjadi sebuah topik diskusi yang dinamis, cair dan memunculkan ide-ide dan gagasan pengembangan yang bisa dipersiapkan sebagai topik kajian baru.

B. Hasil dan Pembahasan

Isu bencana menjadi salah satu isu dan tantangan kontemporer dalam dunia Internasional yang membutuhkan perhatian, kajian dan penanganan khusus. Bencana yang telah terjadi, mencatatkan sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan, yaitu dampak yang ditimbulkannya mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat baik berupa korban jiwa, kerugian material-harta benda, kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai seperti kerusakan sarana dan prasarana, fasilitas umum dan lain sebagainya. Selain itu, bencana juga merupakan sebuah ancaman yang tidak dapat diprediksi oleh negara-negara dunia, ia dapat datang kapan saja dan dimana saja, tidak membedakan apakah negara yang mengalami bencana tersebut negara miskin, negara berkembang ataupun negara maju juga dapat menghadapi ancaman bencana.

Di sisi yang lain, fenomena terjadinya bencana telah membuka sekat pembatas antar negara dan asal kewarganegaraan yang selama ini terkotak-kotak dalam sebuah batas teritorial dan aturan diplomatik yang kaku. Bencana telah mendorong pergerakan aktor-aktor baru, yang tidak hanya menampilkan negara sebagai


(23)

satu-satunya aktor yang terlibat, namun juga mendorong munculnya aktor-aktor lain seperti lembaga-lembaga donor, individu dan kelompok-kelompok kemanusiaan untuk membantu penanggulangan bencana di sebuah negara, atas nama solidaritas kemanusiaan transnasional.

Melihat dampak terjadinya bencana yang menimbulkan beragam kerugian dan kerusakan serta fenomena solidaritas kemanusian transnasional tersebut, sudah sewajarnya jika kajian tentang bencana menjadi perhatian berbagai pihak, baik individu, kelompok, organisasi maupun Negara yang secara politik memiliki otoritas untuk mengeluarkan kebijakan dan sumberdaya untuk menghadapi peristiwa bencana. Dalam taraf tertentu penyelesaian persoalan bencana disadari tidak dapat dilakukan sendiri namun membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam konteks ini, bencana dapat dikembangkan sebagai sebuah kajian yang terkait dengan kerjasama antar pihak, dan secara spesifik kerjasama antara Negara dan aktor internasional lainnya.

1. Definisi dan Jenis Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan bencana berdasarkan faktor penyebabnya yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial

adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.


(24)

Reduction (UN-ISDR) membagi bencana berdasarkan sebab terjadinya yaitu bencana oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Selain itu UN-ISDR juga membedakan bencana berdasarkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain: Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana .

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ketiga jenis bencana yang dibedakan berdasarkan faktor penyebabnya mengalami pertumbuhan yang cukup serius. Perubahan iklim dan menurunnya daya dukung lingkungan membawa konsekuensi meningkatnya jumlah kejadian bencana. Sementara peristiwa-peristiwa non alam seperti kasus epidemi seperti SARS, Flu Burung, dan Flu Babi ataupun kebocoran instalasi nuklir Fukusima juga menggambarkan bagaiman ancaman bencana non alam juga mengalami peningkatan. Ditambah lagi bencana sosial yang disebabkan persaingan antar kelompok masyarakat, konflik sosial maupun konflik politik seperti yang terjadi di Suriah, Myanmar atau bahkan yang terjadi di Poso, Ambon atau Aceh membawa konsekuensi persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan.

2. Fakta Bencana (alam maupun manusia)

Menurut Buku Tahunan Statistik PBB untuk Asia dan Pasifik 2014, wilayah Asia dan Pasifik merupakan wilayah yang paling rawan terjadinya bencana alam di dunia. Jumlah kejadian bencana alam antara tahun 2004 dan 2013 yang dilaporkan, 41,2 persen atau 1.690 kejadian, terjadi di kawasan Asia-Pasifik dan menyumbang lebih dari 60 persen dari jumlah masyarakat yang kelaparan di dunia. Laporan ini juga menunjukkan bahwa kematian akibat bencana di kawasan Asia-Pasifik naik lebih dari tiga kali lipat dalam dekade terakhir, dimana sebagian besar akibat bencana yang ekstrim.

Di antara sub-wilayah Asia-Pasifik, Asia Tenggara – terutama Indonesia dan Filipina – yang paling terpukul oleh bencana alam yang


(25)

menewaskan lebih dari 350.000 yang diakibatkan oleh kurang lebih 500 insiden. Jumlah kematian yang tercatat dari bencana alam naik dari 205.388 antara tahun 1994 dan di tahun 2003 menjadi 713.956 antara tahun 2004 dan 2013, dengan 1,5 miliar orang yang terkena dampak bencana. Jumlah kematian ini sebagian besar diakibatkan oleh efek dari berbagai bencana besar, termasuk gempa bumi dan tsunami Samudera Hindia tahun 2004, gempa Kashmir di Pakistan pada tahun 2005, gempa bumi Sichuan di Tiongkok pada tahun 2008 dan topan Nargis di Myanmar, serta gelombang panas di Federasi Rusia tahun 2010.

Berdasarkan kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis, Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.508 pulau, terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan di antara dua lautan, Lautan Hindia dan Pasifik. Selain itu, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Indo Australia, Eurasia dan Pasifik, yang berpotensi menimbulkan gempa bumi apabila lempeng-lempeng tersebut bertumbukan. Indonesia juga mempunyai 129 gunung api aktif, 80 diantaranya berbahaya.18 Selain bencana gempa dan gunung berapi, bencana alam lainnya yang seringkali melanda Indonesia adalah tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kekeringan serta bencana akibat ulah manusia seperti kegagalan teknologi, konflik sosial, kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan data yang dilansir BNPB, kejadian bencana yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 saja misalnya, terdapat peningkatan 46,66 % dari tahun sebelumnya, yaitu dari 888 kejadian bencana pada tahun 2007 menjadi 1.306 kejadian bencana di tahun 2008. Sementara, di tahun 2009 terdapat peningkatan sejumlah 652 kejadian bencana atau terdapat peningkatan kejadian bencana sebanyak 50% dari tahun 2008. Diagram berikut menggambarkan secara lebih jelas tren peningkatan kejadian bencana dari tahun 2002 – 2009.

        18


(26)

Diagram 4.1 Kejadian Bencana di Indonesia

Tahun 2002 – 2009

Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB

Peningkatan kejadian bencana tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena peningkatan kejadian bencana alam atau sistem pendataan bencana di tingkat daerah (BNPD) mengalami peningkatan. Indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur peningkatan kejadian bencana di Indonesia adalah meningkatnya jumlah bencana alam yang terjadi sebagai akibat semakin rusaknya lingkungan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui peningkatan kerusakan lingkungan di Indonesia adalah laju kerusakan hutan yng mencapai 1,1 juta hektar pertahun, sementara kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi terhadap kerusakan hutan “hanya” 500 ribu hektar pertahun. 19 Banyaknya hutan yang rusak tersebut menjadi penyebab meningkatnya kejadian bencana di Indonesia seperti banjir, tanah longsor dll. Banjir merupakan salah satu kejadian bencana yang paling sering terjadi sebagai akibat kerusakan hutan. Hal ini dibuktikan dengan data rata-rata kejadian bencana banjir yang terjadi di kurun waktu 2002 -2009 adalah 297 kejadian/ tahun. Sebagai pembanding bencana kekeringan sebanyak 156 kejadian/tahun atau kebakaran yang rata-rata terjadi sebanyak 147 kejadian/tahun. Untuk data lebih lengkapnya bisa dilihat dalam tabel 1 berikut ini :

        19


(27)

Tabel 4.1

Rata-rata Kejadian Bencana di Indonesia tahun 2002-2009

Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB

Dari sekian banyak kejadian bencana di Indonesia, gempa bumi adalah kejadian bencana pada tahun 2009 yang mengakibatkan jumlah korban meninggal dan hilang terbanyak. Bencana ini terjadi 12 kali dan menimbulkan korban meninggal dan hilang sebanyak 1.330 jiwa. Data selengkapnya bisa dilihat dalam grafik berikut :


(28)

Grafik 4.1

Korban meninggal dan hilang akibat bencana tahun 2009

Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan tren bencana di Indonesia menunjukkan peningkatan secara signifikan. Kerugian akibat bencana setiap tahunnya mencapai lebih dari Rp10 triliun. Angka itu tidak termasuk kerugian akibat bencana skala besar seperti gempa dan tsunami di Aceh dan Mentawai, serta erupsi Gunung Merapi beberapa waktu lalu.20 Peningkatan intensitas bencana dipengaruhi kondisi perubahan iklim akibat pemanasan global serta kerusakan lingkungan yang terjadi di sebagian besar wilayah Tanah Air.

Berdasarkan data UN International Strategy for Disaster Reduction (UN/ISDR) dari tahun 1991 sampai 2005, Indonesia mengalami kerugian akibat dampak bencana sebesar USD 27.84 Juta. Sehingga Indonesia menempati urutan 6 dunia setelah US (USD 364.94 Juta), Jepang (USD 208.88 Juta), China (USD 172.76 Juta), Rusia (USD 29.76 Juta) dan Korea (USD 28.58 Juta). Dari delapan kejadian bencana besar di Indonesia, total kerugian dan kerusakan sebesar Rp105 trilliun.

Kerugian untuk bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias sebesar Rp41,4 trilliun. Gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 sebesar Rp29,1 trilliun. Gempa bumi di Sumatera Barat pada tahun 2007 sebesar Rp2,5 trilliun. Banjir Jakarta tahun 2007 sebesar Rp5,2 trilliun. Gempa bumi

        20

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/27/315927/293/14/Awas-Tren-Bencana-Terus-Meningkat-Kerugian-Rp10-Triliun


(29)

di Bengkulu tahun 2007 sebesar Rp1,9 triliun. Gempa bumi di Padang tahun 2009 sebesar Rp20,9 triliun. Kemudian kerusakan akibat gempa bumi dan tsunami Mentawai tahun 2010 sebesar Rp 0,35 trilliun. Banjir bandang Wasior tahun 2010 sebesar Rp0,28 trilliun dan Erupsi Merapi tahun 2010 sebesar Rp3,56 trilliun

Sebagai akibat dari besarnya korban dan kerugian material akibat terjadinya bencana alam, masyarakat cenderung menganggap bencana alam sebagai sebuah peristiwa yang membawa konsekuensi negatif bagi kehidupan mereka, seperti kehilangan anggota keluarga, harta benda dan kehilangan kehidupan sosial yang telah mereka bangun bertahun-tahun. Pemaknaan secara negatif terhadap bencana alam berkorelasi terhadap pemaknaan mereka terhadap kondisi geografis dan topografis yang rawan bencana alam, yang justru akan melahirkan sikap dan kebijakan yang lari dari kenyataan dan realitas kehidupan. Realitas ini mendorong pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara untuk berperan lebih besar dalam upaya antisipasi dan penanggulangan bencana di Indonesia.

3. Dampak bencana alam terhadap kehidupan manusia

Tahun 2011 disebut oleh portal National Geographic Indonesia

sebagai tahun yang memegang rekor terbesar dalam hal jumlah kerugian akibat bencana alam sebagai hasil perhitungan sebuah perusahaan asuransi asal Jerman. Selama enam bulan pertama pada 2011, jumlah kerugian akibat bencana alam sudah mencapai 265 miliar dolar AS.21 Jumlah itu dua kali lipat lebih besar dari kerugian akibat bencana sepanjang 2010 dan lima kali lebih tinggi daripada rata-rata kerugian dalam sepuluh tahun terakhir. Kerugian terbesar sebelumnya tercatat pada 2005, dengan jumlah kerugian sekitar 220 miliar dolar AS. Di sisi lain, jumlah korban jiwa akibat bencana alam pada 2010 masih lebih buruk dibandingkan 2011. Bencana alam sampai saat ini mengakibatkan kematian 19.380 jiwa. Pada rentang waktu yang sama pada tahun 2010, sudah 230.300 orang meninggal akibat bencana alam.22

Bencana alam terbesar pada enam bulan pertama 2011 adalah gempa        

21

http://m.nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1592/2011-pemegang-rekor-kerugian-terbesar-akibat-bencana-alam diakses pada tanggal 12 November 2011

22


(30)

bumi 9,0 SR yang terjadi 11 Maret di Jepang. Gempa besar itu diikuti dengan gelombang tsunami serta bencana nuklir tersebut mengakibatkan kerugian sekitar 210 miliar dolar AS. Data terkini dari Kepolisian Jepang menunjukkan sudah 10.000 orang tewas akibat bencana tersebut. Lebih dari 17.440 orang masih dinyatakan hilang dan 2.775 orang luka-luka.Masih ada sekitar 250.000 orang kehilangan tempat tinggal, kekurangan makanan, air minum, dan tempat penampungan. Paling tidak 18.000 rumah hancur dan 130.000 rumah rusak berat. Hitungan awal biaya pembangunan kembali Jepang adalah sekitar 25 triliun yen atau 309 miliar dollar AS. Dana itu termasuk untuk membangun kembali infrastruktur, rumah, dan pabrik-pabrik. Namun, perkiraan biaya tidak termasuk dampak ekonomi yang terjadi akibat bencana tersebut. Kerusakan akibat gempa dan tsunami ini disebutkan sebagai terburuk yang dialami Jepang sejak akhir Perang Dunia Kedua.

4. Penanggulangan Bencana dan Upaya Pengembangan Kerjasama antar Negara

Pasca Bencana Tsunami yang terjadi pada tahun 2004, bencana menjadi sebuah isu dan persoalan global. Tak kurang dari 18 negara yang terletak di sekitar Samudera Hindia terdampak dan merasakan berbagai kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut. Kenyataan adanya ancaman nyata dari bencana alam tersebut menggugah kesadaran global tentang potensi bencana yang akan datang kapan saja dan bisa terjadi dimana saja. Hal ini mendorong dan membangkitkan persatuan dan kesatuan serta solidaritas nasional dan internasional. Semua negara di dunia, tidak hanya yang terdampak langsung oleh bencana, bergandengan tangan untuk meringankan beban para korban bencana. Bahkan dalam konteks Indonesia, bencana Tsunami membawa peluang diselesaikannya konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia.

Kesadaran akan bencana juga membawa perubahan pada proses legalisasi Undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan dan penanggulangan bencana, dibentuknya lembaga-lembaga maupun organisasi pemerintah maupun non pemerintah yang melibatkan diri dalam penanggulangan Bencana seperti BNPB dan BPBD di


(31)

Indonesia, Asean Committee on Disaster Management – ACDM), maupun kerjasama internasional dalam penanganan bencana untuk pengembangan sistem peringatan dini, latihan dan gladi internasional, forum-forum kerjasama riset, pengelolaan bantuan internasional dan lain sebagainya. Kajian tentang bencana tidak lagi menjadi kajian “diatas meja”, namun telah terealisasi menjadi kerjasama operasional yang berkembang pesat dengan beragam bentuknya. Dalam konteks ini, isu bencana ternyata dapat digunakan sebagai sarana kerjasama internasional yang menjadi salah satu kajian diplomasi. Terminologi yang dianggap merepresentasikan pemanfaatan isu bencana sebagai sarana kerjasama internasional itu kemudian lebih dikenal sebagai diplomasi bencana.


(32)

BAB V KESIMPULAN

Penelitian Hibah Bersaing tahun ketiga dengan judul Penyusunan Buku dan Artikel Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam, merupakan penelitian terakhir dari penelitian multiyear yang dimulai pada tahun 2012. Penelitian multiyear ini diawali dengan penelitian dengan judul dengan Peningkatan Kapasitas Birokrasi Pemerintah daerah Propinsi DIY Dalam Melakukan Diplomasi bencana Alam yang diselesaikan tahun 2013. Penelitian tahun kedua yang dikerjakan tahun 2014 berjudul Penyusunan Modul Peningkatan Kapasitas Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Mengkapitalisasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penelitian Hibah Bersaing tahun kedua dari tiga tahun periode penelitian. Dari keseluruhan hasil kegiatan dalam penelitian tahun pertama hingga tahun ketiga ini ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum mengalami peningkatan pengetahuan tentang bencana alam di Indonesia, persoalan bencana alam di Yogyakarta yang menjadi bagian kehidupan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta sehari-hari serta dampaknya bagi masyarakat serta Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan bencana alam. 2. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan

pengetahuan tentang konsep diplomasi bencana alam, pemanfaatannya dan pihak-pihak yang potensial untuk praktek diplomasi bencana alam.

3. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami peningkatan pengetahuan tentang praktik paradiplomasi sebagai alternatif pemanfaatan diplomasi bencana , konsep dan manfaat sister city sebagai salah satu bentuk praktek paradiplomasi dalam isu bencana

4. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami peningkatan dalam hal pengetahuan menentukan negara mitra, langkah-langkah membangun kerjasama internasional, modal yang diperlukan untuk


(33)

membuka kerjasama, pengetahuan tentang letter of intent dan mou dalam pengembangan kerjasama serta pemanfaatan KJRI sebagai pintu masuk dalam membuka kerjasama internasional.

5. Peningkatan kapasitas Birokrasi yang diamati dan diteliti penulis kemudian didokumentasikan dalam Naskah buku Diplomasi Bencana: Sejarah, Peluang dan Kerjasama Internasional dengan ISBN 978-602-71592-9-7 yang bertujuan untuk mendesiminasi hasil penelitian tiga tahun ini kepada masyarakat luas, khususnya birokrasi pemerintah daerah dari propinsi lainnya.

Selama pelaksanaan penelitian ini ditemukan satu contoh kasus bagaimana diplomasi bencana alam dilaksanakan oleh pemerintah Prefektur Yamanashi Jepang yang menginisiasi kerjasama dengan Pemerintah Propinsi DIY pada 12 Agustus 2014. 23 Mereka tertarik untuk belajar tentang Kegunungapian, mengingat Prefektur Yamanashi juga memiliki gunung api yang masih aktif dan rawan bencana seperti pemerintah propinsi DIY. Dari inisiasi ini muncul berbagai kerjasama diluar kegunungapian dan penanggulangan bencana seperti budaya dan kerjasama ekonomi. Dengan contoh kasus tersebut, penelitian ini telah membuktikan signifikansi dari diplomasi bencana sebagai moda kerjasama internasional. Untuk selanjutnya diharapkan pemerintah daerah khususnya DIY mampu berperan aktif menginisiasi kerjasama internasional dengan negara-negara lain yang potensial memberikan manfaat yang lebih luas. Oleh sebab itu diperlukan sebuah kegiatan lanjutan dari penelitian ini untuk akselerasi pemanfaatan diplomasi bencana sebagai sarana kerjasama internasional.

       

23


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Gaillard, J.-C., E. Clavé, and I. Kelman. 2008. "Wave of peace? Tsunami disaster diplomacy in Aceh, Indonesia". Geoforum, vol. 39, no. 1

Kelman, I. 2006. "Disaster Diplomacy: Hope Despite Evidence?". World Watch Institute Guest Essay, 2006

---, 2007. "Disaster diplomacy: Can tragedy help build bridges among countries?" UCAR Quarterly, Fall 2007

---. 2007. "Weather-Related Disaster Diplomacy". Weather and Society Watch, vol. 1, no. 3

---, I. 2008. "Disaster Diplomacy: Diplomats should not rely on disasters". vol. 47, 12 April 2008

Kelman, I. and J.-C. Gaillard. 2007. "Disaster diplomacy in Aceh". Humanitarian Exchange, No. 37 (March 2007)

Kelman, I. and T. Koukis (eds). 2000. 'Disaster Diplomacy', special section in Cambridge Review of International Affairs vol. XIV, no. 1

Le Billon, P. and A. Waizenegger. 2007. "Peace in the Wake of Disaster? Secessionist Conflicts and the 2004 Indian Ocean Tsunami". Transactions of the Institute of British Geographers, vol. 32, no. 3

Louise K. Comfort, “Disaster: Agent of Diplomacy or Change in International Affairs?", Disaster Diplomacy Journal, 2002

Weizhun M, 2008, The Apocalypse of the Indian Ocean Earthquake and Tsunami". World Politics and Economy (Chinese Academy of Social Sciences), vol. 6 Weizhun, M. and Q. Tianshu. 2005. "Disaster Diplomacy: A New Diplomatic

Approach?". Shanghai Institute For International Studies International Review, Spring 2005

http://www.antaranews.com/view/?i=1244199032 diakses pada 1 Maret 2010

http://www.sumbarprov.go.id/detail.php?id=347 diakses pada tanggal 14 Maret 2010

http://www.suaramedia.com/dunia-teknologi/sains/18235-potensi-gempa-indonesia-paling-tinggi-di-dunia.html diakses pada tanggal 14 Maret 2010

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/02374315/diplomasi.regional.bencana. alam


(35)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2009/12/16/7133/Diplomasi-Kemanusian-antara-Indonesia-dan-Hongaria-

http://www.indonesia.go.id/id/index.php/content/view/335/index.php?option=com_co ntent&task=view&id=11803&Itemid=1&news_id=18


(36)

(37)

(38)

(39)

LOCAL GOVERNMENT BUREAUCRACIES’ PERSPECTIVE ON DISASTER DIPLOMACY  AS A MODE OF COOPERATION BETWEEN STATES 

CASE STUDY: YOGYAKARTA SPECIAL PROVINCE INDONESIA 

Ratih Herningtyas & Surwandono   

Abstract    

This paper aims to examine how the issue of disasters in Indonesia can be modified into a positive social capital to solve social, economic, political and social culture’s problems in disaster prone areas. The natural geographic and physical setting of Indonesia is located between the Indian Ocean, South China Sea, and Pacific Ocean, place the country at the center of typhoon, tectonic and volcanic belts. It has significant levels of exposure to earthquakes, tsunamis, volcanic eruptions, droughts, floods, and cyclones. Some of the latest and most destructive natural disasters were the earthquake followed by tsunami that hit Aceh on 2004, earthquake hit Yogyakarta and Central Java on 2006 and volcanic eruption of Mount Merapi Yogyakarta and Central Java 2011.

Data and analysis of this paper conducted by distributing questionnaires, in-depth interviews, and focus group discussion with the local government bureaucracy and practitioners in Yogyakarta.

This paper found that local government bureaucracy believes that disaster diplomacy can be utilized as a strategic means to increase cooperation between state, as well as social capital to solve certain problems in disaster prone areas. Using Para diplomacy practices in term of disaster issues, local government bureaucracy and Indonesian government in general, has abundant of possibility to improve cooperation and collaboration between states that can reduce the disasters’ material and immaterial losses, as well as intensify development of other potential cooperation in the wider issues.

 

Keywords : disaster, diplomacy, international cooperation, para diplomacy 

 


(40)

Yogyakarta, 21 October 2015

LETTER OF ACCEPTANCE

The International Conference on Social Politics 2016 Number: 40/HI/ICSP/IX-2015

Dear Ratih Herningtyas and Surwandono,

We are pleased to inform you that your abstract entitled LOCAL GOVERNMENT

BUREAUCRACIES’ PERSPECTIVE ON DISASTER DIPLOMACY AS A MODE OF COOPERATION

BETWEEN STATES (CASE STUDY: YOGYAKARTA SPECIAL PROVINCE INDONESIA) has been

accepted for the International Conference on Social Politics 2016, Yogyakarta, Indonesia (26-28 January 2016). Please find the following page for the template of Full Paper.

An abstract is just the beginning: to participate in the conference you should submit a full paper due 25 November 2015 for peer review and register by no later than 2 December 2015. We would like to inform you as well that a number of selected papers will be published on Journal of Government and Politics.

If you have further questions, please do not hesitate to contact us at icsp@umy.ac.id or eko@umy.ac.id.

Sincerely yours,

Eko Priyo Purnomo, Ph.D. Conference Chair


(41)

DIP L OM ASI B ENCANA RA T IH H ERNIN GTY AS & S UR W AN D ONO 2015

DIPLOMASI

BENCANA

SEJARAH

, PELUANG,

DAN KERJASAMA

INTERNASIONAL

Bencana lebih sering dipandang sebagai hal yang negatif, yang identik dengan penderitaaan dan kenestapaan. Indonesia sebagai wilayah ring of fire, tidak harus diratapi namun justru harus disikapi dengan positif dan pro-aktif. Bencana tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjual ratapan serta kesedihan atau diplomasi tangisan (crying diplomacy), namun perlu dilembagakan diplomasi bencana sebagai modal sosial yang bermartabat untuk mengelola kebencanaan.

Buku ini akan mengantarkan pandangan baru, yang diangklat dari hasil riset yang mendalam terhadap praktik diplomasi bencana di berbagai negara bahwa bencana memiliki sejumlah hikmah yang dapat dikelola menjadi modal kemanusiaan bagi peningkatan kesejahteraan, rekonsiliasi, dan kerjasama internasional.

isbn

logo

RATIH HERNINGTYAS

SURWANDONO


(42)

(43)

(44)

(45)

(1)

Yogyakarta, 21 October 2015

LETTER OF ACCEPTANCE

The International Conference on Social Politics 2016

Number: 40/HI/ICSP/IX-2015

Dear Ratih Herningtyas and Surwandono,

We are pleased to inform you that your abstract entitled LOCAL GOVERNMENT

BUREAUCRACIES’ PERSPECTIVE ON DISASTER DIPLOMACY AS A MODE OF COOPERATION

BETWEEN STATES (CASE STUDY: YOGYAKARTA SPECIAL PROVINCE INDONESIA) has been

accepted for the International Conference on Social Politics 2016, Yogyakarta, Indonesia (26-28 January 2016). Please find the following page for the template of Full Paper.

An abstract is just the beginning: to participate in the conference you should submit a full paper due 25 November 2015 for peer review and register by no later than 2 December 2015. We would like to inform you as well that a number of selected papers will be published on Journal of Government and Politics.

If you have further questions, please do not hesitate to contact us at icsp@umy.ac.id or eko@umy.ac.id.

Sincerely yours,

Eko Priyo Purnomo, Ph.D. Conference Chair


(2)

DIP

L

OM

ASI

B

ENCANA

RA T IH H ERNIN GTY AS & S UR W AN D ONO

2015

DIPLOMASI

BENCANA

SEJARAH

, PELUANG,

DAN KERJASAMA

INTERNASIONAL

Bencana lebih sering dipandang sebagai hal yang negatif, yang identik dengan penderitaaan dan kenestapaan. Indonesia sebagai wilayah ring of fire, tidak harus diratapi namun justru harus disikapi dengan positif dan pro-aktif. Bencana tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjual ratapan serta kesedihan atau diplomasi tangisan (crying diplomacy), namun perlu dilembagakan diplomasi bencana sebagai modal sosial yang bermartabat untuk mengelola kebencanaan.

Buku ini akan mengantarkan pandangan baru, yang diangklat dari hasil riset yang mendalam terhadap praktik diplomasi bencana di berbagai negara bahwa bencana memiliki sejumlah hikmah yang dapat dikelola menjadi modal kemanusiaan bagi peningkatan kesejahteraan, rekonsiliasi, dan kerjasama internasional.

isbn

logo

RATIH HERNINGTYAS

SURWANDONO


(3)

(4)

(5)

(6)