SARANA BERFIKIR ILMIAH

SARANA BERFIKIR ILMIAH

Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah seperti perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menjugi hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari hari. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika indukti. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistik.

Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang

Sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah.

Pengertian Sarana Berfikir Ilmiah menurut para ahli :

1. Menurut Salam (1997:139): Berfikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan/mendapatkan ilmu. Berfikir ilmiah adalah proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.

2. Menurut Jujun S.Suriasumantri. Berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi.

3. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah 2006:118). Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian pembuktian.

merupakan proses berfikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan pengetahuan ilmiah yang sudah ada.

4. Menurut Eman

Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan

Untuk itu terdapat syarat syarat yang membedakan ilmu (science), dengan pengetahuan (knowledge), antara lain :

1. Menurut Prof.Dr.Prajudi Atmosudiro, Adm. Dan Management Umum 1982. Ilmu harus ada obyeknya, terminologinya, metodologinya, filosofinya dan teorinya yang khas.

2. Menurut Prof.DR.Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial 1985. Ilmu juga harus memiliki objek, metode, sistematika dan mesti bersifat universal.

Sumber sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas: Pengalaman. Otoritas . Cara berfikir deduktif. Cara berfikir induktif . Berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah).

Hal hal yang perlu diperhatikan dari sarana berpikir ilmiah adalah :

1. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu.

2. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.

Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta

semaksimal mungkin Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”. Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, karena tanpa adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai langkah yang harus ditempuh. Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu : bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep konsep yang berlaku umum

menggunakan

akalnya

Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari hari.

Fungsi berfikir ilmiah , sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan kegiatan ilmiah secara keseluruhan. Dalam hal ini berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah.

Pada hakikatnya sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana sarana berpikir ilmiah ini kita harus dapat menguasai langkah langkah dalam kegiatan langkah berfikir tersebut. Sebagai makhluk hidup yang paling mulia, manusia dikaruniai kemampuan untuk mengetahui diri dan alam sekitarnya. Melalui pengetahuan, manusia dapat mengatasi kendala dan kebutuhan demi kelangsungan hidupnya.

Karenanya tidak salah jika Tuhan menyatakan manusialah yang memiliki peran sebagai wakil. Tuhan dibumi, melalui penciptaan kebudayaan. Proses penciptaaan kebudayaan dan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di mulai dari sebuah proses yang paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk berfikir. Meskipun sebenarnya hewan memiliki kemampuan yang sama dengan manusia dalam hal berfikir, tetapi makhluk yang terakhir hanya dapat berfikir dengan kemampuan terbatas pada instink dan demi kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan hewan, manusia dalam proses berfikir melampaui diri dan kelangsungan hidupnya, bahkan hingga menghadirkan kebudayaan dan peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang nyata nyata tidak dapat dilakukan oleh makhluk Tuhan yang lain.

Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut sebagai penalaran Keduanya adalah berfikir dengan intuis dan berfikir berdasarkan wahyu Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut sebagai penalaran Keduanya adalah berfikir dengan intuis dan berfikir berdasarkan wahyu Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar

atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya, kegiatan berfikir adalah proses dasar dari pengetahuan manusia. kita membedakan antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non ilmiah. Hanya saja, pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar. Perbedaan berfikir ilmiah dari berfikir non ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor mendasar yaitu:

1. Sumber pengetahuan Berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan berfikir non ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan pada perasaan manusia.

1. Ukuran kebenaran Berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.

Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan

Adapun ciri ciri bahasa di antaranya yaitu:

1. Sistematis artinya memiliki pola dan aturan.

2. Arbitrer (manasuka) artinya kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya.

3. Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi

4. Sebagai symbol yang mengaju pada objeknya dan lain sebagainya.

Kelemahan bahasa dalam menghambat komunikasi ilmiah yaitu : Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan, syarat syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit.

Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli

(bahasa adalah suatu sistem simbol simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi). Peran bahasa disini adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah dan sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada komunikasi. Adapun ciri ciri bahasa ilmiah yaitu:

1. Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi.

2. Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.

3. Intersubjektif, yaitu ungkapan ungkapan yang dipakai mengandung makna makna yang sama bagi para pemakainya

4. Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.

Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat syarat: Bebas dari unsur emotif, Reproduktif, Obyektif, Eksplisit.

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni,

1. Sebagai sarana komunikasi antar manusia.

2. Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.

Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai nilai budaya, pikiran, dan nilai nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.

Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa Indonesia

keagamaan perlu pula ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan tegas, jelas, dan eksplisit konsep konsep yang rumit dan abstrak.

Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah :

1. Koordinator kegiatan kegiatan dalam masyarakat.

2. Penetapan pemikiran dan pengungkapan.

3. Penyampaian pikiran dan perasaan

4. Penyenangan jiwa

5. Pengurangan kegonjangan jiwa Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:

1. Simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah.

2. Emotif menonjol dalam komunikasi estetik.

3. Afektif (George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175). Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur unsur informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1990, 175, dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.

Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:

1. Instrumental yaitu: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya.

2. Fungsi Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.

bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.

3. Fungsi Interaksional

yaitu:

penggunaan

4. Fungsi Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.

5. Fungsi Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.

6. Fungsi Imajinatif yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).

7. Fungsi Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan.

8. Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.

Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu :

1. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibagi menjadi dua yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.

2. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik.

Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut:

1. Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.

2. Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.

Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan, bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilah istilah atau lambang lambang untuk mewakili pengertian pengertian tertentu. Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat kalimat deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik mengunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah.

Untuk melakuakan kegiatan ilmiah secara lebih baik diperlukan sarana berfikir salah satunya adalah Matematika. Sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan secara berfikir ini ada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Matematika adalah bahasa yang melambaikan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang lambang matematika bersifat artificial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus rumus yang mati.

Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Umpamanya: kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek kecepatan jalan kaki seorang anak dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya mempunyai arti yang jelas yakni kecepatan jalan kaki seorang anak. Demikian juga bila kita hubungkan kecepatan jalan kaki seorang ana dengan obyek lain misalnya: jarak yang ditempuh seorang anak”yang kita lambangkan dengan y, maka kita lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x dimana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai konotasi emosional, selain itu bersifat jelas dan spesifik.

Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Disamping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan macam macam ilmu pengetahuan. Matematika dalam perkembangannya memberikan masukan masukan pada bidang bidang keilmuan yang lainnya. Konstribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam lebih ditandai dengan pengunaan lambang lambang bilangan untuk menghitung dan mengukur, objek ilmu alam misal gejala gejalah alam yang dapat diamatidan dilakukan penelaahan secara berulang ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Disamping objeknya yang tak terulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang lambang bilangan.

Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika

Peranan Matematiki sebagai sarana berfikir ilmiah dapat menggunakan alat alat yang mempunyai kemampuan sebagai berikut:

1. Menggunakan algoritma.

2. Melakukan manupulasi secara matematika.

3. Mengorganisasikan data.

4. Memanfaatkan symbol, table dan grafik.

5. Mengenal dan menenukan pola.

6. Menarik kesimpulan.

7. Membuat kalimat atau model matematika.

8. Membuat interpretasi bangun geometri.

9. Memahami pengukuran dan satuanya.

10. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.

Adapun kelebihan dan kekurangan matematika:

1. Kelebihan matematika adalah: tidak memiliki unsur emotif dan bahasa matematika sangat universal.

2. Kelemahan dari matematika adalah bahwa matematika tidak mengandung bahasa emosional (tidak mengandung estetika) artinya bahwa matematika penuh dengan simbol yang bersifat artifersial dan berlaku dimana saja.

Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada dasarnya didasarkan Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada dasarnya didasarkan

1. Menurut Anas Sudiono dalam bakhtiar, 2010, 198, secara etimologi kata statistik berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan bagi suatu negara. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka data kuantitatif saja.

2. Sedangkan menurut (Sudjana 1996 : 3) Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara cara pengumpulan data, pengelolaan atau penganalisiannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.

Jadi statistika merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan untuk mengelolah dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam kegiatan ilmiah diperlukan data data, metode penelitian serta penganalisaan harus akurat. Statistika diterapkan secara luas dan hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Peranan statiska diterapkan dalam penelitian pasar, produksi, kebijaksanaan penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing, pemilihan resiko dalam pemberian kredit dan lain sebagainya.

Peranan Statistika dalam tahap tahap metode keilmuan:

1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populas.

2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen..

3. Teknik untuk menyajikan data data, sehingga data lebih komunikatif.

4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan.

Adapun hubungan statiska antara Sarana berfikir Ilmiah Bahasa, Matematika dan Statistika, yaitu sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah, dimana bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan yang memiliki ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif, merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan memakai pola berpikir silogismus.

Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Sedangkan berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Adapun salah satu pendapat dari para ahli mendefinisikan atau berpendapat bahwa berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis masuk akal, empiris dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan . Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga (3) yaitu : Bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah, Matematika sebagai sarana berfikir ilmiah,dan Statistika sebagai sarana befikir ilmiah.

1. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah.

2. Matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan

3. Statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep konsep yang berlaku umum.

Bakhtiar, Amsal. 2009. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sumarna, Cecep. 2008.

. Bandung: Mulia Press. Suriasumantri, Jujun S. 2003.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang besar.

Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah

Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika. Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika. Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut

Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika semua yang disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak dampak negatif maupun positif dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.

&'

1. Pengertian Metode Ilmiah Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip prinsip logis terhadap

penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”[2]

Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:

a. Berdasarkan fakta

b. Bebas dari prasangka

c. Menggunakan prinsip prinsip analisa

d. Menggunakan hipolesa d. Menggunakan hipolesa

f. Menggunakan teknik kuantifikasi [3]

Adapun Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu :

a. )

b. , yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.

.Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.

untuk menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).

Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.

f. "

g. ) Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu penelitian ilmiah.[4]

Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :

1. Rasa ingin tahu

2. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada ada)

3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)

4. Tekun (tidak putus asa)

5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)

6. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)[5] Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian

(research). Research berasal dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga research atau penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan.

Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1961) ialah penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh fakta baru dalam cabang ilmu pengetahuan.

Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan (dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain.

Ciri ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981)

a. Dilakukan dengan cara cara yang sistematik dan seksama.

b. Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan (menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan)

c. Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata

d. Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain

e. Dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) oleh peneliti lain [6]

Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:

a. , Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.

b. , Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.

c. , artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.

*, artinya suatu penelitian menjahui aspek aspek subyektif yaitu tidak mencampurkannya dengan nilai nilai etis.

d. '!+

e. *, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.[7]

Ada tiga tingkatan penelitian ilmiah untuk sampai kepada perwujudan ilmu/teori, yaitu :

a. Penelitian Eksploratif,Penelitian ekploratif adalah penelitian dalam untuk upaya mencari masalah/menjajagi masalah.

b. Penelitian Pengembangan

c. Penelitian Verifikasi .

Kebenaran tertuang dalam ungkapan ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum hukum, teori teori, ataupun rumus rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.[8]

Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut:

a. Yang logis ialah yang masuk akal

b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra rasional

c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam

d. Yang supra rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.

e. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra rasional. [9] Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu: 1. Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh sungguh ada, betul demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5. Jalan kebetulan.[10]

Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.[11]

Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran

Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian probabilitas.[12]

Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat, pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[13]

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya

). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).[14]

Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau

T Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya, dipukul, kemudian bunyi.

T Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi penelitian psikologi membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan masa depan peserta didik.

T Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.

T Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameter parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.

T Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya lebih rendah.

T Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.

T Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi T Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi

Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non ilmiah paling tidak kita dapat membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah.

Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu.

Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun yang benar benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya. Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.[16]

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk mendapatkan kebenaran adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan, proses, dan hasil

Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.

Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [17]

Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata kata yang memiliki arti yang dapat berupa:

_ Pertanyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”, _ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”, _ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun _ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”

Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan, Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan,

Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran yaitu terori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi adalah suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori lainnya adalah teori korespondensi dengan tokohnya Bertrand Russel (1872 1970 ), pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung , maka pernyataan tersebut tidak benar.[19]

Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran

kenyataan yang diketahuinya.[20]

pengetahuan

harus

sesuai

dengan

Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.

Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi yang berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat

satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang unsur unsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[21] Kelemahan dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.

Kedua teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis.

Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang mempunyai doktrin doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[22]

Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.

Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal, Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan kesejehateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman, pengetahuan, cita cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.[23]

Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu. Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah langkah sama akan yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu. Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah langkah sama akan yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir

Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal.

Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah” dapat disimpulkan bahwa :

1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinya. Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah

2. Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.

Abbas, H.M. 1997 “

# , Intan Pariwara, Yogyakarta,

Al Thoumy Al Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., , Jakarta, Bulan Bintang, cet 1.

Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, , Jakarta, Rineka Cipta.

Bertrand Russel, 2007,

, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet 3.

Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, " % , Kanisiusn Jakarta

Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, &

, Jakarta, Pustekom Diknas.

Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, & ' , Bandung, Alfabeta, cet 2

Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, & , Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. 3.

Sukmadinata, Nana

, Bandung, Remaja Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.

Suriasumantri, Jujun.S.,2010, ( Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet.22.

Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, & , Raja Grafindo Persada.

Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009,

, Remaja Rosdakarya Tafsir , Ahmad, Dr., 1995,

( Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati.

Purwadarminta,

Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, % #

Wahyudi, Imam, 2004, )

* , Desember, Jilid 38, Nomor 3(

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PENDAHULUAN Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang cabang dalam filsafat,

yang di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?.

di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang

( di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma norma moral/professional? [1]

Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?

Ontologi dalam filsafat ilmu mempelajari hakikat apa atau objek apa yang dipelajari oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan daya tangkap manusia. Sedangkan dari segi istilah ontologi berarti studi yang membahas sesuatu yang ada.

Ontologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika mengkaji mengenai realitas atau kenyataan; mengkaji alam di balik realitas dan menyelidiki hakikat di balik realitas. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu realitas, apakah Tuhan ada. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

1. Objek Formal Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan

kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam

2. Metode dalam Ontologi Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :

abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.

Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt P) Badan itu sesuatu yang lahiri (S Tt) Jadi, badan itu fana’ (S P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:

Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt S) Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt P) Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a

Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas batas antara bidang bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang bidang yang tidak memungkinkannya.

Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”? [3]

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman pengalaman inderawi. Menurut Locke, Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman pengalaman inderawi. Menurut Locke,

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman pengalaman inderawi yang pertama tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom atom yang menyusun objek objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal hal yang factual.

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsut unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak tidaknya dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

e. Dan masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473 1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan pernyataan (nilai nilai) yang terdapat dalam ajaran ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564 1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).

Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma norma moral/professional? [4]

1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.

2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.

3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma norma moral? [5]

Jujun S. Suriasumantri, ( Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, ( Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.

Louis O. Kattsouff, ( Tiara Wacana, Yogjakarta Sidi Gazalba,

( Yogjakarta, 1995.

1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan

keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan diuraikan mengenai ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika.

2. Pengertian Aksiologi Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti

nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 : 234). Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai nilai khususnya etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 : 234). Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai nilai khususnya etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan

Dari definisi definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

3. Pengertian ilmu kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau

mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu).

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari , mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan, 2010:108).

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan

Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects) (Ihsan, 2010 :111 112).

4. Pengertian Moral Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara

hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo, 2009:147).

Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271).

Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147).

Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang

5. Hubungan antara Ilmu dan Moral Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia

sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri, 2000 : 229).

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu.

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai nilai budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri, 2000:234).

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.

Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri, 2000:235).

Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan, 2010:280).

Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk

Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak berilmu.

6. Tanggung jawab sosial Ilmuwan Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi

seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. (Suriasumantri,1998:244) Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang baik.

Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah.

Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap, berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta fakta pengujian.

Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang memberikan nilai.

7. Pengaruh Ilmu, Moral dan tanggung jawab sosial Ilmuwan terhadap revolusi genetika

Hamid dalam Kamusnya mengartikan revolusi adalah perubahan yang berlangsung secara cepat, sedangkan genetika adalah cabang biologi yang menyelidiki hereditas serta segala seluk beluknya secara ilmiah; ajaran tentang pewarisan (Hamid : 170 & 553). Bisa dikatakan bahwa revolusi genetika adalah sebuah penelitian yang membahas tentang rekayasa genetik (keturunan).

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah

ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu sudah banyak sekali, namun penelaahan penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung, dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.

Revolusi genetika, seperti kemajuan reproduksi dan rekayasa manusia oleh manusia adalah sebuah contoh dari pengaruh pesatnya ilmu (Ihsan, 2010 : 273). Dengan kata lain, Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains, disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains. Yang jadi pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan teknologi.

Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas menyatakan sikap menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal ilmu. Menghadapi Ilmu dan teknologi yang telah berkembang begitu pesat yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan teknologi untuk keluhuran martabat manusia. Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, dan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam menangani revolusi genetika. Aksiologi memandang permasalahan diatas dapat dilihat dari baik buruknya seorang ilmuwan itu sendiri yang mempunyai ilmu dan moral serta tanggung jawab sosial dalam menyikapi revolusi genetika.

Era modern acapkali merujuk kepada kemajuan sangat pesat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Istilah

itu sendiri sebenarnya mulai memasuki kawasan perdebatan intelektual Eropa Barat pada abad ketujuh belas, yang diartikan sebagai peristiwa yang sedang terjadi atau sedang berlangsung, atau mutakhir. Dari sini, kadang kemodernan sering disalah artikan sebagai lawan dari tradisional, antik dan klasik, ketinggalan zaman, kuno dan sejenis itu (Bauman, 1993: 592).

Dari aspek perkembangan keilmuan, era modern ditandai dengan perubahan paradigma berpikir terhadap sesuatu baik berupa fenomena kealaman maupun sosial. Zygmunt Bauman (1993:592).berpendapat bahwa perkembangan keilmuan modern menjadi sebuah konsep yang militan melalui kemajuan penemuan cara cara keilmuan setelah René Descartes di Perancis dan Isaac Newton (juga Francis Bacon) di Inggris. Figur figur inilah yang kemudian menjadi simbol kompetisi perkembangan ilmu era modern oleh para generasi berikutnya, terutama di bidang ilmu pasti alam.

Kemajuan peradaban umat manusia di era (modern) ini secara esensial merupakan penerapan akal manusia (rasionalisasi) terhadap tugas untuk menciptakan dunia yang lebih baik demi memenuhi kebutuhan hidup umat manusia itu sendiri. Untuk itulah, proses kreatif manusia melalui serangkaian observasi, eksperimentasi dan evaluasi, pada akhirnya menemukan sejumlah instrumentasi kehidupannya dari berbagai teknologi modern yang ia buat seperti saat sekarang.

Sayangnya, kemajuan tersebut menjadi dilematis. Di satu sisi membawa kemudahan kemudahan bagi keperluan umat manusia. Tapi di sisi lain, ada dampak buruk yang diakibatkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dalam bentuk teknologi modern, seperti: maraknya

krisis lingkungan; krisis nilai nilai kemanusiaan dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia dengan makin meningkat jumlah penggunaan senjata pembunuh massal; dan krisis moral. Krisis lingkungan pada skala global seperti dampak penipisan lapisan ozon ( +

), di skala regional seperti dampak hujan asam (

), perubahan

iklim (

), serta di tingkat lokal seperti polusi oleh limbah domestik, limbah bahan berbahaya beracun (B3), kerusakan hutan, dan berkurangnya ketersediaan air bersih, serta kerusakan terumbu karang, telah menimbulkan keprihatinan masyarakat global. Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan sejak 1972 di Stockholm hingga Konferensi yang sama di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992 (Brown, 1995: 2 3) mencerminkan betapa krisis lingkungan hidup bukan semata persoalan lokal nasional, tetapi sudah menjadi persoalan mondial bersama umat manusia.

Sedangkan krisis kemanusiaan, sebagai contoh, tampak dari betapa banyaknya rezim suatu negara mempergunakan perangkat teknologi senjata perang modern, yang semula “diniatkan” untuk menjaga ketentraman warga negara, dan membela diri dari kemungkinan serangan pihak asing, tetapi justru diselewengkan untuk menindas kelompok minoritas (etnis/agama) di negerinya. Penggunaan senjata bio kimia oleh

pemerintahan Saddam Hussen di Irak terhadap etnis Kurdi, merupakan salah satu contoh saja. Pada taraf tertentu, teknologi modern dipergunakan negara untuk mengekang kebebasan politik warga negara, pemerintahan Saddam Hussen di Irak terhadap etnis Kurdi, merupakan salah satu contoh saja. Pada taraf tertentu, teknologi modern dipergunakan negara untuk mengekang kebebasan politik warga negara,

Di bagian lain, kecanggihan teknologi seperti internet selain menyuguhkan informasi informasi penting bagi para penggunanya, tapi juga sekaligus pada bersamaan menghidangkan “wacana tandingan” berupa sajian

) yang dapat merusak akhlak. Ini hanyalah satu contoh betapa teknologi modern telah menghadapkan dua pilihan tindakan yang pada satu sisi mendukung tingginya moralitas, ataupun krisis (merosotnya) moralitas pada sisi lainnya..

Dari uraian di atas, pertanyaan lanjutan yang perlu dikemukakan adalah: Mengapa kemajuan iptek telah membawa sejumlah krisis? Bagaimana seharusnya iptek dibangun? Lalu, bagaimana nilai nilai moral mengeliminir dampak buruk (negatif) penggunaan iptek tersebut?

Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kenneth Boulding (Wilardo, 1997: 241) mengatakan bahwa sebagian besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah berkat tat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan (Wilardo, 1997: 241).

Namun, kebenaran bukanlah satu satunya nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para ilmuwan. Di samping itu nilai nilai yang perlu dijadikan panduan dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah etika keilmuan. Adalah penting dikemukakan pesan historis Albert Einstein di hadapan para mahasiswa -

pada saat Perang Dunia II tengah berlangsung (1938), di mana patut dijadikan pesan moral dalam pengembangan Iptek. Einstein mengatakan bahwa: "Btidak cukup kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia.

agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan" (Einstein, 1997: 248 249).

Nilai dan tanggung jawab moral terhadap iptek, tentu saja menjadi satu keharusan yang semestinya dimiliki. Tragedi lakon "Frankeisten", yang mengisahkan egoisme seorang ilmuwan untuk menciptakan makhluk "manusia baru" dari jenazah pesakitan tanpa mengindahkan norma dan etika seorang ilmuwan, pada akhirnya menciptakan bumerang bagi dirinya sendiri. "Makhluk ciptaan" ilmuwan tadi kemudian membunuh "sang penciptanya" itu sendiri, yaitu sang ilmuwan egois tadi. Hal ini sejalan dengan apa yang selalu diperingatkan Einstein (1950) tentang bahaya penggunaan teknologi nuklir. Ia dengan pedasnya mengecam penerapan dan penyalahgunaan senjata nuklir.

Di antara pengecam bahaya penyalahgunaan nuklir, misalnya * . &

/dan 2100 ilmuwan lain yang menandatangani Deklarasi Menton), )

& (yang meskipun kalah tetapi sempat dan masih terus berjuang melawan Himpunan Fisika Amerika [American Physical Society] yang berkuasa dan sok legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkeley (yang menyelenggrakan rangakaian kuliah tentang tanggung jawab kemasyarakatan para ilmuwan). Di samping itu masih ada lagi, misalnya: para pengikut "Summer Science Institue" pertama tentang hubungan timbal balik antara ilmu dan masyarakaat (yang diselenggarakan di Knox College dan menghasilkan seperangka resolusi tajam), *

yang melontarkan gagasannya tentang "sikap humanologis", dan berpuluh puluh ilmuwan dari 50 negara yang bersama sama membentuk wadah kegiatannya, yakni "Perkumpulan demi Tanggung Jawab Keilmuan" (Association for Scientific Responsibility).

Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat dewasa ini maupun angkatan angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindaarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat dewasa ini maupun angkatan angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindaarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk

Konsekuensi moral terhadap dampak penyalahgunaan iptek mengakibatkan perlunya alternatif alternatif yang dipilih untuk menjadikan iptek bernilai bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Tanpa pertimbangan berdasarkan nilai nilai akan berakibat berulangnya tragedi yang disebabkan oleh dampat penerapan iptek seperti dikemukakan di atas.

Tawaran Hidajat Nataatmadja (Kummadin,1995:92 93) tampak cukup berguna untuk mengembalikan iptek menjadi bernilai. Hidajat Nataatmadja mencoba menegakkan realisme, bahwa ilmu (sains) hanyalah merupakan salah satu manifestasi dari fitrah manusia, sehingga bukan ilmu yang harus menerangkan manusia apa adanya, melainkan manusialah yang harus menerangkan ilmu itu apa. Yaitu, bahwa aktualnya fitrah manusia dalam kehidupan empiris adalah menunjukkan keimanan religius dan keimanan akan transendensi, yaitu suatu

dan terhadap Sumber Agung (Allah); dengan menganggap relatif segala kekuasaan, segala kekayaan dan segala pengetahuan. Ini berarti pikiran manusia harus berpijak pada dua dasar pikiran, yakni iman dan transendensi, sehingga agama benar benar menjiwai seluruh perikehidupan manusia.

Langkah langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah: pertama, mencari titik lemah ilmu dan bagaimana titik lemah ini dapat kita perbaiki. Titik lemah itu terdapat pada landasan dogmatiknya (paradigma), misalnya ilmu itu universal benar, objektivitas, netralitas etik, rasionalisme, empirisme, relativisme, dan lain lain, yang kesemuanya itu seakan akan menjamin kebenaran ilmu. Tapi sebenarnya, semua dogma dogma itu sama dengan mitos yang diyakini manusia primitif. Ini sebagai bukti Langkah langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah: pertama, mencari titik lemah ilmu dan bagaimana titik lemah ini dapat kita perbaiki. Titik lemah itu terdapat pada landasan dogmatiknya (paradigma), misalnya ilmu itu universal benar, objektivitas, netralitas etik, rasionalisme, empirisme, relativisme, dan lain lain, yang kesemuanya itu seakan akan menjamin kebenaran ilmu. Tapi sebenarnya, semua dogma dogma itu sama dengan mitos yang diyakini manusia primitif. Ini sebagai bukti

Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa :

1. Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari

berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak.

2. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.

3. Revolusi genetika adalah pengaruh dari pesatnya perkembangan ilmu dan moral serta tanggung jawab seorang ilmuwan. Aksiologi memandang hal ini dari permasalahan objek etika dan estetika atau baik buruknya seorang ilmuwan dalam menyikapi Revolusi genetika

%&

Bakhtiar, Amsal. 2009. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hamid Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya : Penerbit Apollo http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu diakses tanggal 26 nopember 2011 Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010. Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:

Rineka Cipta. Sumarna, Cecep. 2008.

. Bandung: Mulia Press. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi

Aksara, 2009. Suriasumantri, Jujun S. 2003.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL KELAS V MELALUI METODE PERMAINAN DI SEKOLAH DASAR NEGERI 1 SUKARAME BANDAR LAMPUNG YUSNIAR SDN 1 SUKARAME, Bandar Lampung ABSTRACT - View of Upaya Meningkatkan Hasil

0 0 8

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN KETUNTASAN BELAJAR KOMPETENSI DASAR MENDESKRIPSIKAN RUMAH SEHAT MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME BAGI PESERTA DIDIK KELAS I DI SEKOLAH DASAR NEGERI 1 SUKARAME BANDAR LAMPUNG An

0 0 10

1 LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan STKIP PGRI BANDAR LAMPUNG http:jurnal.stkippgribl.ac.idindex.phplentera EFEKTIVITAS BAHAN AJAR “MARI MEMBACA CEPAT” PADA PEMBELAJARAN MEMBACA CEPAT DAN PEMAHAMAN SISWA KELAS V SD NEGERI

0 0 10

INTELLECTUAL PROPERTY ANIMASI DI INDONESIA DALAM BUKU KATALOG NGANIMASI INDONESIA

0 2 10

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN AJAR TIRUAN (MAKET) TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PEMBELAJARAN SEJARAH MATERI KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA PRAAKSARA SISWA KELAS X SMA LAB SCHOOL UNSYIAH SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2017-2018 Devi Ana Amalia1 , Mawardi2 , Nurasi

0 1 5

MANFAAT PENTING “BENDA CAGAR BUDAYA” SEBAGAI PENINGGALAN SEJARAHARKEOLOGI UNTUK KEPENTINGAN AGAMA,SOSIAL BUDAYA, SOSIAL EKONOMI, PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN (STUDI KAJIAN BUDAYA) Ida Bagus Nyoman Wartha Dosen Prodi Sejarah, FKIP Unmas Denpasar ABSTRAK

1 1 8

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU HUKUM

0 0 10

PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM Oleh Siti Humulhaer) Abstrak - Filsafat Hukum Mtri Pdkg Hukuman Mati Fil H

0 0 11

BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PERTANIAN

0 1 32

FILSAFAT HUKUM PANCASILA: ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS

0 1 84