PLAY THERAPY ART EXPRESSION MEDIA MENGGAMBAR UNTUK MENGURANGI STRESS ANAK JALANAN KORBAN PELECAHAN SEKSUAL

PLAY THERAPY ART EXPRESSION MEDIA MENGGAMBAR UNTUK MENGURANGI STRESS ANAK JALANAN KORBAN PELECAHAN SEKSUAL

Zakki Nurul Amin, S.Pd. Edwindha Prafitra Nugraheni, S.Pd., Kons.

Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang zakki.nurul.amin@gmail.com edwindhaprafitra@rocketmail.com

Abstrak

Kehidupan anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Salah satunya yang saat ini sering menjadi sorotan adalah kasus kekerasan, eksploitasi, dan pelecahan seksual. Secara psikologis anak jala- nan belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh. Sementara itu dengan kompleksitas permasala- han yang ada, seringkali tidak dapat dihindari stress yang dialami oleh anak jalanan, dalam hal ini stress akibat pelecahan seksual. Artikel ini ditulis sebagai salah satu upaya untuk menjawab isu permasalahan sosial tersebut. Play therapy art expression media menggambar dengan lima R tahap terapi ini yakni : Relating (Berhubungan), Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali), Reexperience (Mengalami kembali), dan Resolving (Memecahkan) harapannya dapay digunakan sebagai salah satu intervensi dalam membantu mengu- rangi stress pada anak jalanan korban pelecahan seksual.

Kata kunci: Play Therapy Art Expression Media Menggambar, Stress, Anak Jalanan Korban Pelecahan Seksual

Pendahuluan but menyebar di berbagai titik kota Semarang, di antaranya kawasan Tugu Muda, Simpang Lima,

Anak jalanan adalah fenomena nyata pe- pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan nyebab munculnya permasalahan sosial yang Metro, Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan Banyumanik (Jawa Pos, 21 Juli 2008, dalam Wi- masyarakat. Keberadaan anak jalanan diabai- jayanti, 2010). kan dan tidak dianggap ada oleh sebagian besar

Kehidupan anak jalanan sangat rentan ter- masyarakat, terutama masyarakat awam. Anak hadap berbagai permasalahan. Beberapa perma- jalanan, dipercaya semakin tahun semakin me- salahan yang mengancam anak jalanan misalnya ningkat jumlahnya. Menurut data Badan Pusat kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan lain, Statistik jumlah anak jalanan saat ini kurang lebih komunitas dewasa, Satpol PP, bahkan kekerasan 154.861 jiwa (data Badan Pusat Statistik, dalam seksual; penggunaan pil, alkohol dan rokok; dan http://www.bps.go.id). Sebagian besar terdapat penyakit-penyakit menular seperti HIV/AIDS di Ibu Kota Jakarta, dan sebagain lainnya ter- (Wijayanti, 2010). Dalam penelitian Widyatwa- sebar dalam kota-kota besar lainnya di wiliayah ti, dkk (2005), menyebutkan pula bahwa anak Indonesia seperti Surabaya, Makassar, Bandung, jalanan sangat rentan terhadap berbagai jenis Yogyakarta, Semarang, dan Batam.

dan bentuk kekerasan baik fisik maupun seksual, Di wilayah Semarang khususnya, peker- namun mereka umumnya tidak berdaya meng- jaan yang dilakukan anak jalanan bermacam- hadapi kekerasan tersebut. Anak jalanan berada macam. Di tengah-tengah derita dan penyiksaan dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang mereka alami, mereka tetap harus berjuang jelas dan tidak jarang menjadi masalah bagi ba- mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa nyak pihak seperti keluarga, masyarakat, dan ne- bertahan hidup dan tidak kelaparan. Pekerjaan gara. yang dilakukan seperti pengamen, tukang semir,

Kondisi nyata di lapangan, permasalahan penjual koran, ciblek, pedagang asongan dan si- yang saat ini sering menjadi sorotan adalah kasus sanya bekerja apa saja, termasuk menjadi mayeng kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak (pemungut barang sampah). Anak jalanan terse- jalanan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000) da-

Alamat korespondensi:

ISBN 968-602-14132-1-0

Gedung A2, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229 Gedung A2, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229

2 September 2000; Kompas, 4 September 2000 dalam Shalahuddin, 2010). Secara psikologis anak jalanan adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mem- punyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan se- ring menimbulkan berbagai konflik dan benturan dalam diri anak jalanan. Oleh karena itu secara psikologis, anak jalanan sangat rentan mengala- mi stress, kecemasan, dan depresi.

Stress secara khsuus megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang dinilai mengancam atau membaha- yakan. Hal-hal yang menimbulkan stress disebut dengan stressor, di mana stressor-stressor yang ada akan memicu terjadinya kecemasan dan depresi, yang dampak lebih jauh lagi akan men- garahkan perilaku akan pada sikap-sikap negatif dan melanggar norma. Beberapa bentuk dari aki- bat stress anak jalanan akan mudah berperilaku antisosial: berkelahi, mencuri, merampas, dan memeras.

Play therapy digunakan untuk memun- culkan kekuatan terapeutik dari bermain yang digunakan untuk menolong konseli mencegah dan memecahkan masalah dan mencapai per- kembangan yang optimal. Play Therapy digu- nakan sebagai alat diagnosis dan penyembuhan. Sedangkan menggambaar sebagai wujud dari art expresiion merupakan salah satu bentuk permai- nan yang dapat digunakan untuk mengenali sim- bol non verbal dan metafora yang dikomuniksi- kan dengan proses kreatif, yang mungkin sukar diekspresikan dengan kata-kata atau dengan mo- dalitas lainnya (Loekmono, 2012). Therapy ini selain dapat mengungkap stressor anak, tindakan melukis itu sendiri dapat bersifat menyembuhkan karena memulai proses menguasai suatu kejadian dan keadaan sehingga membuat anak lebih ber- daya, sehingga harapnnya dapat membantu anak

jalanan yang mengalam stress untuk mengurangi bahkan mengatasi stressnya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengajukan artikel program intervensi komunitas anak jalan dengan menggunakan Play Therapy Art Expression Menggunakan Media Menggambar Untuk Mengurangi Stress Anak Ja- lanan. Harapannya dengan progam intervensi ini dapat digunakan untuk membantu anak-anak ja- lanan khususnya, terkait permasalahan dan stress yang dialami.

Definisi

a. Anak Jalanan

Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 (dalam Pugara, 2010) disebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup di jalanan dan anak yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membia- yai hidupnya, baik yang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Menurut Shalahuddin (2000), yang dimaksudkan anak jalanan adalah individu yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna memperta- hankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya menunjuk pada “jalanan” saja, me- lainkan juga tempat tempat lain seperti pasar, pu- sat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan stasiun.

Berdasarkan pengertian di atas maka da- pat ditarik kesimpulan bahwa anak jalanan ada- lah anak yang menghabiskan sebagian besar wak- tunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat umum.

b. Stress pada Anak Jalanan

Sebenarnya stres merupakan hal yang se- nantiasa dialami oleh manusia dalam kesehari- annya dan merupakan suatu bagian yang tidak terelakkan dari proses perjalanan kehidupannya. Hampir setiap saat manusia berada dalam situ- asi stres, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam berhubungan dengan masyarakat. Proses perjalanan tersebut pada akhirnya dapat memun- culkan stres.

Clifford T. Morgan, dkk., 1986, dalam Tanti (2007) berpendapat bahwa terminologi stress mengacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai Clifford T. Morgan, dkk., 1986, dalam Tanti (2007) berpendapat bahwa terminologi stress mengacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Sedangkan yang terkait beberapa masalah maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksu- yang sering dijumpai dan menjadi stressor oleh al merupakan suatu bentuk perilaku berkonotasi anak jalanan Departemen Kesehatan juga me- seksual yang dilakukan secara sepihak atau tidak nyebutkan permasalahannya yakni (1) lingkun- dikehendaki oleh korban karena dapat menim- gan kumuh, udara tercemar, sengatan matahari, bulkan reaksi negatif pada diri korban. Pelecehan dan gas kendaraan bermotor, (2) perilaku berisi- seksual sebenarnya bukan soal seks. Intinya ada- ko pelanggaran hukum, (3) pengaruh dan teka- lah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas, se- nan kelompok sosial, (4) stres, dan (5) rawan ter- kalipun pelaku mencoba meyakinkan korban dan hdap kekerasan. Lebih jauh lagi sebagai dampak dirinya sendiri bahwa ia melakukannya karena dari permasalahan-persamalahan tersebut antara seks atau romantisme. Dengan kata lain, pelaku lain :

baru merasa “berarti” ketika ia bisa dan berhasil

1. Rentan terkena penyakit infeksi, seperti merendahkan orang lain secara seksual. ISPA, diare, tifus, hepatitis, dan kulit mau-

Lebih jauh lagi Annisa (2007), menyebut- pun rawan masalah gizi.

kan bahwa bentuk pelecehan seksual ini sangat

2. Sulit memperoleh akses pelayanan kesehatan luas seperti main mata, siulan nakal, komentar di lingkungan tempat tinggal anak jalanan.

yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan,

3. Perilaku berisiko di antara anak jalanan yang colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh dapat menyebabkan penyakit menular sek- tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang ber- sual, seperti GO, sifilis, dan HIV/AIDS seb- sifat seksual, ajakan berkencan dengan iming- agai akibat perilaku seks bebas.

iming atau ancaman, ajakan melakukan hubun-

4. Pengaruh dan tekanan kelompok yang men- gan seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga gakibatkan anak jalanan minum alkohol, dapat berupa komentar atau perlakuan negatif merokok, dan menyalahgunakan NAPZA yang berdasar pada gender, karena pada dasarnya yang berdampak bagi kesehatan.

pelecehan seksual merupakan pelecehan gender,

5. Akibat stres, anak jalanan mudah berperilaku yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender se- antisosial: berkelahi, mencuri, merampas, seorang. dan memeras.

6. Banyak terjadi kasus perkosaan, sodomi, dan

d. Play Therapy Art Expression (Terapi Bermain

pelecehan seksual lain.

Ekspresi Seni)

Bila diamati, pendekatan play therapy

(terapi bermain), tampaknya lebih menyentuh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan aspek-aspek perkembangan pada anak (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan dan sesuai dengan karakteristik hubungan so- pada anak di tahun 2010. Menurut Sutrisno sial anak-anak jalanan yang cenderung tidak (2010) Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, menyukai suatu yang serius. Terapi bermain, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus keke- sebagai salah satu intervensi kesehatan mental, rasan. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi dirancang untuk membantu anak-anak tumbuh kepada anak adalah kekerasan seksual sebanyak gembira dalam dunianya. Untuk itu, konseling 45,7 persen (53 kasus), kekerasan fisik sebanyak dengan pendekatan bermain menjadi suatu pen-

c. Pelecahan Seksual

25 persen (29 kasus), penelantaran sebanyak 20,7 dekatan yang layak untuk dipergunakan dalam persen (24 kasus), dan kekerasan psikis 8,6 persen rangka membantu anak yang mengalami stres (10 kasus). Kekerasan seksual yang biasa dilaku- dengan alasan, pertama, masa anak adalah masa kan adalah pelecehan seksual.

bermain. Konseling dengan cara bermain, berar- Pelecehan seksual adalah segala macam ti telah menempatkan anak dalam habitatnya. bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang Kedua, kecenderungan anak belum seluruhnya dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan mampu mengungkapkan perasaan, ketakutan, oleh orang yang menjadi sasaran hingga me- kecemasan, dan kegelisahannya melalui baha- nimbulkan reaksi negatif seperti rasa malu, ma- sa verbal. Maka, melalui terapi bermain, segala bermain. Konseling dengan cara bermain, berar- Pelecehan seksual adalah segala macam ti telah menempatkan anak dalam habitatnya. bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang Kedua, kecenderungan anak belum seluruhnya dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan mampu mengungkapkan perasaan, ketakutan, oleh orang yang menjadi sasaran hingga me- kecemasan, dan kegelisahannya melalui baha- nimbulkan reaksi negatif seperti rasa malu, ma- sa verbal. Maka, melalui terapi bermain, segala

Menurut Freud dan Erikson (dalam Sant- rock, 1999) bermain sangat berguna dalam sua- tu proses penyesuaian diri dan dapat membantu anak dalam mengatasi kecemasan dan masalah yang terjadi. Berbagai tekanan yang mereka ala- mi akan menurun ketika mereka melakukan sua- tu permainan sehingga anak dapat melakukan pola coping terhadap masalah yang mereka ala- mi. Lebih lanjut, Goleman (2001) menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada dua penyembu- han sekaligus yang dapat terjadi dalam proses permainan. Pertama, ingatan (traumatik) yang terwujud dalam bentuk permainan akan berada dalam konteks kecemasan tingkat rendah sehing-

ga dapat mengumpulkan ingatan tentang trauma. Kedua, dalam permainan, anak-anak dapat me- megang kendali, ke mana arah akhir cerita akan dibawa. Oleh karena itu anak-anak merasa bera-

da dalam posisi pihak yang menang dan mere- ka dapat mengendalikan keadaan serta menjadi lebih berdaya. Dengan demikian, berarti anak telah memiliki kunci menuju penyembuhan akan stressnya.

Terapi bermain mampu menciptakan sua- tu hubungan yang harmonis dan dinamis antara konselor dengan anak (klien). Dengan terapi ini, sangat memungkinkan tercipta suatu relasi yang aman bagi anak untuk mengekspresikan dan me- lakukan eksplorasi ke dalam dirinya yang beru- pa pikiran, perasaan, pengalaman, dan tingkah lakunya. Disebut terapi bermain karena dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat permai- nan. Setiap permainan memiliki makna simbo- lis yang dapat membantu konselor untuk dapat mendeteksi sumber-sumber permasalahan anak. Sukmanigrum (2001) menyebutkan, sekurang- nya ada lima bentuk alat permainan. Pertama, alat permainan ekspresi seni, seperti: pensil, cat air, lilin, krayon. Kedua, alat permainan khayal, seperti: boneka, pedang-pedangan, atau pistol- pistolan, Ketiga, alat bermain konstruksi seper- ti: balok susun, lego. Keempat, bentuk games, seperti: congklak, domino, ular tangga, kartu, dan yang kelima, alat permainan lempar, seperti: bola, dan papan dart.

Menurut Sukmanigrum (2001), terapi ber- main berdampak positif bagi pertumbuhan kese- hatan mental anak. Terapi bermain tidak hanya

memfasilitasi anak dalam mengungkapkan emo- sinya, tetapi juga membantu terapis (konselor) untuk mendeteksi apa yang menjadi sumber ke- takutan. mereka. Ketakutan yang dibawa ke alam bawah sadar akan terbawa melalui jenis dan pili- han permainan yang mereka lakukan.

Salah satu teknik dalam terapi bermain yang dapat digunakan untuk membantu anak yang mengalami trauma akibat kekerasan adalah dengan menggunakan teknik menggambar. Tek- nik ini berkembang karena adanya kecendrun- gan anak belum mampu mengekspresikan diri, pikiran dan peresaan mereka secara tepat untuk disampaikan kepada orang lain dengan menggu- nakan kata-kata. Menurut Sujanto (1980) yang digambar anak adalah yang penting-penting saja Anak menggambar apa yang diketahui, bukan yang dilihat. Selain dapat mengungkap ekspresi stress, media seni melukis atau menggambar cen- derung mampu mereduksi serta mengeliminasi sumbersumber keteganggan, sehingga lambat laun akan berpengaruh kepada pemulihan anak. Pandangan ini berdasarkan temuan yang disam- paikan Goleman (2001) bahwa salah satu cara untuk memperoleh gambar yang melekat dalam pikiran anak adalah melalui seni karena seni itu sendiri merupakan medium alam tak sadar. Jalur ini seringkali digunakan untuk mengobati anak- anak yang mengalami trauma. Terkadang, seni dapat membuka jalan bagi anak untuk membi- carakan saat mengerikan yang tidak akan berani mereka bicarakan dengan cara lain.

Menggambar dapat menjadi solusi bagi anak dalam mengekspresikan pikiran dan pe- rasaan baik yang positif maupun yang negatif tentang diri, orang tua, keluarga, dan dunianya. Menurut Djiwandono (2005) gambar memberi- kan arti kepada konselor jika dihubungkan den- gan anak-anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang dewasa. Kon- selor dapat menangkap sekilas perasaan dan piki- ran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak dapat diobservasi dalam model terapeutik yang lain.

Gambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis dengan membebaskan perasaan dan memecahkan kon- flik secara aman. Proses menggambar dan ha- silnya sebagai cara untuk membebaskan konflik, mengalami kembali suatu kejadian, menyalurkan kembali melalui sublimasi, dan memecahkannya. Djiwandono (2005) berpendapat melalui proses yang artistik, media menggambar dan hasil ak- hir memberikan arti (1) membangun hubungan dengan anak, (2) mengukur kebutuhan anak, (3) Gambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis dengan membebaskan perasaan dan memecahkan kon- flik secara aman. Proses menggambar dan ha- silnya sebagai cara untuk membebaskan konflik, mengalami kembali suatu kejadian, menyalurkan kembali melalui sublimasi, dan memecahkannya. Djiwandono (2005) berpendapat melalui proses yang artistik, media menggambar dan hasil ak- hir memberikan arti (1) membangun hubungan dengan anak, (2) mengukur kebutuhan anak, (3)

Ketika konselor siap untuk memulai terapi dan keadaan sehingga membuat anak lebih ber- bermain, hal yang dibutuhkan adalah beberapa daya.

mainan dan materi mainan untuk memudahkan komunikasi dengan anak. Materi atau bahan

Prosedur Pelaksanaan mainan harus dipilih atau diseleksi untuk memu- dahkan pelaksanaan terapi kepada anak. Mainan

harus sederhana, mempunyai konstruksi yang Pendekatan play therapy art expression, kuat dan sehat, mudah bagi anak memanipulasi akan lebih menyentuh dengan aspek-aspek per- dan inajinasi. Seperti yang diungkapkan Ginott kembangan pada anak dan sesuai dengan karak- (dalam Christiana, 2008) memilih mainan seca- teristik hubungan sosial anak-anak jalanan yang ra rasional harus (1) memudahkan dalam men- cenderung tidak menyukai suatu yang serius. gembangkan kontak dengan anak; (2) membang- Terapi ini dengan menggunakan media meng- kitkan dan mendorong katarsis; (3) membantu gambar, sebagai salah satu intervensi kesehatan mengembangkan insight; (4) melengkapi dalam mental, dirancang untuk membantu anak-anak mengetes realita; (5) sebagai media untuk terja- tumbuh gembira dalam dunianya. Terapi ini dinya perubahan. Sebagain besar terapis Axline, menjadi suatu pendekatan yang layak untuk di- Ginott, Landreth (dalam Christiana, 2008) setuju pergunakan dalam rangka membantu anak men- bahwa mainan dan materi peramainan harus me- gungkap ekspresi stress, mereduksi serta menge- mudahkan timbulnya ekspresi anak, mendorong liminasi sumber-sumber ketegangan, sehingga kreativitas, membantu anak-anak menyalurkan lambat laun akan berpengaruh kepada pemuli- emosinya dan memberikan jalan keluar bagi eks- han anak.

a. Penjelasan Umum

presi agresif. Mainan dan meteri permainan di- Gambar memberikan arti kepada konselor berakan untuk masing-masing tujuan terapi dan jika dihubungkan dengan dinamika psikologis bagaimana menggunakannya. Bentuk-bentuk anak-anak, msalnya anak yang terluka, menga- terapi bermain dapat dilakukan memalui berba- singkan diri, kecewa, dan tidak dapat mengung- gai media, dalam hal ini akan lebih dikhusukan kapkan pikiran dan perasaan mereka kepada play therapy art expression menggunakan media orang dewasa. Konselor dapat menangkap se- menggambar. kilas perasaan dan pikiran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak dapat diobserva-

b. Tahap-Tahap Pelaksanaan

si dalam model terapeutik yang lain. Selain itu Lima tahap dalam proses bermain melipu- gambar dapat memberikan kesempatan kepada ti 5 terapi R: Relating (berhubungan), Releasing anak untuk melakukan katarsis dengan membe- (melegakan) perasaan, Re-Creating (mencipta- baskan perasaan, stressor, dan memecahkan kon- kan kembali) kejadian-kejadian pengalaman- flik secara aman.

pengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience Prinsip-prinsip dalam terapi bermain se- (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang bagaimana dijelaskan oleh Axline (dalam Chris- kacau dengan suatu cara yang memudahkan pe- tiana, 2008) adalah sebagai berikut : (1) Terapis negrtian baru, dan Resolving (memecahkan) ma- harus menciptakan suasana yang hangat, hubun- salah dan konflik dengan mempraktikan tingkah gan yang bersahabat dengan anak; (2) Terapis laku baru dalam bermain. menerima anak sebagaimana adanya; (3) Terapis harus mengembangkan perasaan permisif da-

c. Contoh Aplikasi

lam hubungan anak; (4) Terapis harus waspada Dalam penerapan play therapy art expres- terhadap perasaan anak yang diekspresikan dan sion menggunakan media menggambar dibutuh- direfeksikan kembali dalam bentuk tingkah laku; kan alat-alat dan bahan-bahan untuk menunjang (5) Terapis diharpkan mengahargai kemampu- penerapan terapi oleh konselor. Adapun bahan- an anak dalam memcehkan masalahnya sendiri bahan yang perlu disiapkan adalah alat tulis pen- jika diberi kesempatan untuk melakukannya; (6) sil, crayon warna dan buku gambar A4. Adapun Terapis tidak diperkenankan langsung menegur contoh aplikasinya akan dijelaskan berdasarkan perbuatan anak, atau intervensi nilai ; (7) Terapis penjabaran dari tahap-tahap pelaksanaan Terapi jangan cepat-cepat melakukan terapi; (8) Terapis Bermain:

1. Relating (berhubungan), dalam tahap ini

d. Evaluasi dan Tindak Lanjut

konselor mencoba membina dan memban- Dalam terapi ini, evaluasi dilakukan keti- gun rapport dengan anak, menciptakan ka proses terapi berlangsung dan melalui hasil/ hubungan yang dekat, hangat, nyaman, gambar yang dibuat oleh anak-anak. Ketika pro- percaya, rileks, dan bebas berekspresi den- ses berlangsung, konselor memahami dinami- gan tidak kaku dan canggung. Tahap awal ka psikologis anak yang ditujukan baik secara ini menjadi sangat penting karena menjadi verbal maupun non verbal. Sedangkan evaluasi awal dibentuknya therapeutic alliance antara hasil dilakukan dengan mengintrepetasi makna konselor dan konseli. Pada tahap ini untuk dan pesan yang tertera dalam gambar anak, jika membangun rapport yang baik dapat dilaku- diperlukan konselor dapat pula meminta anak kan dengan perkenalan, melakukan game- menceritakan dan menjelaskan maksud dan arti game ice breaking, menyampaikan maksud gambar yang dibuatnya. Gambar yang dibuat dan tujuan, dan mengenali kondisi dinamika anak akan memiliki beberapa pemaknaan, antara hubungan untuk memberikan terapi.

bermakna positif dan negatif, ataupun bermakna

2. Releasing (melegakan) perasaan. Dalam biasa saja terkait dinamika psikologis anak. tahap ini konselor melakukan penerimaan

Sedangkan sebagai tindak lanjut dalam (acceptance) kepada konseli, memahami terapi ini adalah dengan melihat hasil evaluasi, kondisi dengan empathic understanding, dimana apabila dirasa dalam proses terapai ini di- memberikan reassurance, serta menegas- temukan pengalaman-pengalaman atau stressor kan bahwa kehadirannya menerima apapun yang masih belum dapat ditemukan pemecahan- kondisi konseli.

nya sendiri oleh konseli, maka dapat dilanjutkan

3. Re-Creating (menciptakan kembali) ke- dengan melakukan pelayanan konseling secara jadian-kejadian pengalaman-pengalaman, individual untuk lebih mengintenskan terapi ban- hubungan-hubungan. Dalam tahap ini kon- tuan. selor mencoba mengungkapkan kembali kejadian-kejadian dan pengalaman yang di- Simpulan alami konseli yang belum dapat terselesaikan (unfinishing business) atau masih menggan-

Pendekatan play therapy art expression gu dalam benak konseli, terkadang pengala- menggunakan media menggambar, digunakan man yang dialami konselilah sebagai faktor sebagai salah satu intervensi dalam membantu penyebab stress yang dialaminya. Oleh ka- untuk mengurangi stress pada anak jalanan kor- rena itu dalam tahap ini konselor mencoba ban pelecahan seksual. Terapi ini menjadi suatu memunculkan kembali untuk menciptakan pendekatan yang layak untuk dipergunakan da- kesadaran konseli terkait stress yang diala- lam rangka membantu anak mengungkap ekspre- minya.

si stress, mereduksi serta mengeliminasi sumber-

4. Reexperience (mengalami kembali) perasaan sumber keteganggan, sehingga lambat laun akan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara berpengaruh kepada pemulihan anak. yang memudahkan pengertian baru. Sete-

Dalam terapi ini pula konselor membantu lah konseli memahami pengalaman dan konseli untuk menemukan pikiran dan perasaan hubungan-hubungan yang menyebabkan yang terdalam melalui karya seni dan yang ber- stress, konseli mulai merasakan kembali pen- makna, dan membantu mereka untuk mempero- galaman-pengalaman stress yang ia alami. leh insight dan pertimbangan, sehingga berkem- Pada tahap ini konselor mengembangkan bang lebih baik pemahaman dari diri sendiri dan harapan-harapan, kebutuhan, serta pemaha- menghubungkan orang-orang disekitarnya. man baru yang lebih positif dari diri konseli

Lima tahap dalam proses bermain melipu- terkait pengalaman stess yang dialaminya.

ti 5 terapi R: Relating (Berhubungan), Releasing

5. Resolving (memecahkan) masalah dan kon- (Melegakan) perasaan, Re-Creating (mencip- flik dengan mempraktikan tingkah laku takan kembali) kejadian-kejadian pengalaman- baru dalam bermain. Setelah konseli me- pengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience mahami pengalaman-pengalaman stressnya, (Mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang serta mampu mengembangkan harapan dan kacau dengan suatu cara yang memudahkan pen- pemahaman baru yang lebih positif, pada gertian baru, dan Resolving (Memecahkan) ma- tahap ini konseli diminta mengekspresikan salah dan konflik dengan mempraktikan tingkah pengalaman, stress, masalah, dan juga hara- laku baru dalam bermain. pan-harapannya ke dalam media yang telah disediakan dengan cara menggambar.

Daftar Pustaka Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakar-

ta: Aksara Baru.

Annisa, Rifka. 2007. Pelecehan Seksual. Avail- Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain Sebagai able at http://www.kesrepro.info [accessed

Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca 2012/02/11]

Trauma Pada Anak. Jurnal Psikologi. Fakultas Christiana, Elisabeth. 2008. Teknik Terapi Bermain

Psikologi Unpad.

pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Pendidikan Sutrisno, Elvan Dany. 2010. KPAI Banyak Temukan Dasar Universitas Negeri Surabaya.

Kekerasan Seksual pada Anak di Tahun 2010. Djiwandono, Sri Esti. W. 2005. Konseling dan Tera-

Available at http://www.detiknews.com [ac- pi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: PT

cessed 2012/02/12]

Gramedia Widiasarana Indonesia. Tanti, Rias. 2007. Stres dan Kehidupan Penghuni Lem- Goleman, D. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta :

baga Pemasyarakatan. Jurnal Penelitian Sosial PT Gramedia Pustaka Utama.